Contoh Terjemahan Inggris - Indonesia Teks Sumber (Inggris): Listening to the Air - Communicating across Cultures When I arrived at my hotel in New Delhi, I was hot and, more important, hungry. Although I would spend that week conducting classes for a group of Indian executives at the swank five-star Oberoi hotel, the Indian business school hosting me put me up in a more modest and much smaller residence several miles away. Though quiet and clean, it looked like a big concrete box with windows, set back from the road and surrounded by a wall with a locked gate. This will be fine, I thought as I dropped my bag off in my room. Staying in a simple hotel just steps from the bustle of workaday New Delhi will make it that much easier for me to get the flavor of the city. Lunch was at the top of my agenda. The very friendly young man behind the concierge desk jumped to attention when he saw me approaching. I asked about a good place to eat. “There is a great restaurant just to the left of the hotel. I recommend it highly,” he told me. “It is called Swagat. You can’t miss it.” It sounded perfect. I walked out to the road and looked to the left. The street was a whirlwind of colors, smells, and activities. I saw a grocery store, a cloth vendor, a family of five all piled onto one motor scooter, and a bunch of brown-speckled chickens pecking in the dust next to the sidewalk. No restaurant. “You didn’t find it?” the kind concierge asked in a puzzled tone as I re-entered the hotel. This time the young man explained, “Just walk out of the hotel, cross the street, and the restaurant will be on your left. It’s next to the market. There is a sign. You can’t miss it,” he said again. Well, apparently I could. I tried to do exactly as instructed, crossing the street immediately in front of the hotel and again looking to the left. As I saw no sign of the restaurant, I turned to the left and walked a while. It was a little confusing, as the street was jam-packed. After a minute or so, I came to a small side street full of people, food stalls, and women selling sandals and saris. Was this the market the concierge mentioned? But after careful examination of what I felt to be all possible interpretations of “on your left,” I began to
wonder if I was being filmed as a stunt for some type of reality TV show. I headed back to the hotel. The concierge smiled kindly at me again, but I could tell he was thinking I really wasn’t very smart. Scratching his head in bewilderment at my inability to find the obvious, he announced, “I will take you there.” So we left the hotel, crossed the street, turned to the left, and then walked for nearly ten minutes, weaving our way through traffic on the bustling sidewalk and passing several side streets and countless heads of cattle on the way. At last, just beyond a large bank, perched quietly over a fruit store on the second floor of a yellow stucco building, I spotted a small sign that read Swagat. As I thanked the concierge for his extreme kindness, I couldn’t help wondering why he hadn’t told me, “Cross the street, turn left, walk nine minutes, look for the big bank on the corner, and, when you see the big fruit store, look up to the second floor of the yellow stucco building for a sign with the restaurant’s name.” And as this question floated through my mind, I could tell that the kindly concierge was wondering, “How will this poor, dim-witted woman possibly make it through the week?” As my search for lunch in New Delhi suggests, the skills involved in being an effective communicator vary dramatically from one culture to another. In the United States and other Anglo-Saxon cultures, people are trained (mostly subconsciously) to communicate as literally and explicitly as possible. Good communication is all about clarity and explicitness, and accountability for accurate transmission of the message is placed firmly on the communicator: “If you don’t understand, it’s my fault.” By contrast, in many Asian cultures, including India, China, Japan, and Indonesia, messages are often conveyed implicitly, requiring the listener to read between the lines. Good communication is subtle, layered, and may depend on copious subtext, with responsibility for transmission of the message shared between the one sending the message and the one receiving it. The same applies to many African cultures, including those found in Kenya and Zimbabwe, and to a lesser degree Latin American cultures (such as Mexico, Brazil, and Argentina) and Latin European cultures (such as Spain, Italy, Portugal) including France.
The fact is that the hotel concierge provided all of the information necessary for someone from his own culture to find Swagat. An Indian living in the same Delhi cultural context would likely have figured out quickly where the restaurant was by the clues provided; she would have been eating her lunch while I was still wandering wearily around the streets. My quest for the Swagat restaurant illustrates that being a good listener is just as important for effective communication as being a good speaker. And both of these essential skills are equally variable from one culture to another. * * * Teks Terjemahan (Indonesia): MENDENGARKAN UDARA - Berkomunikasi Lintas Budaya Ketika saya tiba di hotel di New Delhi, saya kepanasan dan, yang lebih penting lagi, kelaparan. Walaupun saya akan menjalani minggu itu dengan mengajar sekelompok eksekutif India di hotel indah berbintang lima, Oberoi, namun sekolah bisnis India yang memfasilitasi saya menempatkan saya di hotel yang lebih sederhana dan lebih kecil, dan berjarak beberapa kilometer jauhnya. Meski tempat itu tidak berisik dan bersih, tapi bentuknya seperti kotak beton besar berjendela, jauh dari jalan dan dikelilingi oleh dinding dengan gerbang yang dikunci. Lumayan lah, pikir saya saat meletakkan tas di kamar. Tinggal di hotel sederhana yang hanya berjarak beberapa langkah dari runititas kesibukan di New Delhi akan mempermudah saya untuk mendapatkan “rasa” kota ini. Makan siang ada di jadwal teratas saya. Seorang pria muda yang sangat ramah di belakang meja penjaga pintu bangkit dengan siaga ketika dia melihat saya mendekat. Saya menanyakan tempat makan yang enak. “Ada restoran yang bagus, tepat di sebelah kiri hotel. Saya sangat menyarankannya,” dia memberi tahu saya. “Namanya Swagat. Pasti kelihatan.” Kedengarannya sempurna. Saya keluar menuju ke jalan raya dan menengok ke sebelah kiri. Jalanan terlihat bagaikan puting beliung warna, bau, dan aktivitas. Saya melihat toko bahan makanan, penjaja pakaian, satu keluarga terdiri dari lima orang berjejalan di atas satu sepeda motor sekuter, dan segerombolan anak ayam berbintik cokelat mematuk-matuk di tengah debu di samping trotoar. Tidak ada restoran.
“Anda tidak menemukannya?” penjaga pintu yang baik itu bertanya dengan nada heran saat saya masuk kembali ke hotel. Kali ini pria muda itu menjelaskan, “Keluar saja dari hotel, menyeberang, dan restoran itu ada di sebelah kiri Anda. Di sebelah pasar. Ada papan namanya. Pasti kelihatan,” dia kembali berkata. Well, sepertinya tidak. Saya berusaha melakukan tepat seperti yang disuruh, langsung menyeberang jalan di depan hotel, dan kembali menengok ke kiri. Ketika saya tidak melihat tanda-tanda restoran tersebut, saya berbelok ke kiri dan berjalan beberapa saat. Rasanya cukup membingungkan karena jalanan penuh sesak. Setelah kurang lebih satu menit, saya sampai di cabang jalan kecil yang penuh dengan orang, stan makanan, dan wanita-wanita yang menjual sandal dan sari. Apakah ini pasar yang disebutkan oleh si penjaga pintu? Tapi setelah memeriksa dengan teliti semua kemungkinan interpretasi “di sebelah kiri Anda,” saya mulai bertanya-tanya apakah saya sedang direkam untuk semacam program realiti TV. Saya pun kembali ke hotel. Penjaga pintu kembali tersenyum manis kepada saya, tapi saya tahu, dia pasti merasa saya tidak terlalu pintar. Sambil menggaruk kepala dengan bingung atas ketidakmampuan saya untuk menemukan sesuatu yang jelas, dia pun mengumumkan, “Saya akan mengantar Anda ke sana.” Jadi kami pun meninggalkan hotel, menyeberangi jalan, berbelok ke kiri, lalu berjalan hampir sepuluh menit, meniti jalan melewati lalu lintas di trotoar yang sibuk, dan melewati beberapa cabang jalan, serta kawanan sapi yang tak terhitung di sepanjang jalan. Akhirnya, tepat setelah sebuah bank besar, di atas sebuah toko buah di lantai dua bangunan berplester kuning, saya pun melihat papan nama kecil bertuliskan Swagat. Ketika saya berterima kasih kepada si penjaga pintu atas kebaikan hatinya yang luar biasa, saya terus bertanya-tanya kenapa dia tidak memberi tahu saya, “Menyeberang, belok kiri, jalan sembilan menit, cari bank besar di pojok, dan saat Anda melihat toko buah yang besar, mendongaklah ke lantai dua gedung berplester kuning untuk mencari papan nama restoran.” Dan saat pertanyaan ini terngiang-ngiang di dalam pikiran saya, saya tahu penjaga pintu yang baik hati itu bertanya-tanya, “Bagaimana caranya wanita malang yang kurang pintar ini bisa selamat menjalani sepanjang minggu ini?” Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman saya mencari makan siang di New Delhi, kecakapan yang membuat seseorang menjadi komunikator efektif sangatlah bervariasi pada setiap budaya. Di Amerika dan di budaya Anglo-Saxon lain, orang-orang terlatih (sebagian besar secara tidak sadar) untuk berkomunikasi seharfiah dan seeksplisit mungkin. Komunikasi yang baik ditentukan oleh
kejelasan dan keeksplisitan. Dan tanggung jawab untuk mengirimkan pesan dengan akurat, berada sepenuhnya di tangan si komunikator: “Kalau kau tidak mengerti, itu salahku.” Sebaliknya, di banyak budaya Asia, termasuk India, Tiongkok, Jepang, dan Indonesia, pesan sering kali disampaikan secara implisit. Jadi pendengar harus membaca makna yang tersirat. Komunikasi yang baik itu halus, berlapis-lapis, dan kadang tergantung pada subkalimat yang banyak sekali. Dan tanggung jawab pengiriman pesan dibagi antara orang yang mengirimkan pesan dan orang yang menerimanya. Hal yang sama berlaku pada banyak budaya Afrika, termasuk yang bisa ditemukan di Kenya dan Zimbabwe. Dan, dengan derajat yang lebih rendah, pada budaya Amerika Latin (seperti Meksiko, Brazil, dan Argentina) dan budaya Eropa Latin (seperti Spanyol, Italia, Portugal) termasuk Perancis. Faktanya adalah, penjaga pintu hotel menyediakan seluruh informasi yang diperlukan bagi seseorang di dalam budayanya sendiri untuk bisa menemukan Swagat. Orang India yang tinggal di dalam konteks budaya Delhi yang sama, kemungkinan besar akan segera mengetahui letak restoran tersebut dengan petunjuk yang diberikan. Dia mungkin sudah akan menyantap makan siangnya saat saya masih berkeliaran dengan letih di jalanan. Perjalanan saya mencari restoran Swagat menggambarkan, bahwa untuk menghasilkan komunikasi yang efektif, menjadi pendengar yang baik sama pentingnya dengan menjadi pembicara yang baik. Dan kedua kecakapan esensial ini berbeda-beda pada setiap budaya. * * *