[Pembahasan Lengkap] Kemiringan Lereng (Slope)
Map Vision Indonesia

Kemiringan Lereng

Last Updated on March 7, 2023 by Map Vision Indonesia

Kemiringan Lereng

Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng (slope) menunjukkan besarnya sudut yang terbentuk dari perbedaan ketinggian pada sebuah bentang alam, yang biasanya disajikan dalam satuan persentase atau derajat.

Rumus Kemiringan Lereng

Seperti telah kami bahas pada awal postingan, bahwa nilai kemiringan lereng disajikan dalam satuan persentase atau derajat. Lalu bagaimana rumus untuk mengetahui kemiringan lereng sebuah wilayah tersebut?, berikut penjelasannya:

Cara Menghitung Kemiringan Lereng

Gambar 1. Cara Menghitung Kemiringan Lereng

Untuk menentukan sudut kemiringan lereng (alpha) dalam bentuk derajat dari gambar di atas, dapat dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:

Rumus Kemiringan Lereng (2)

maka:

Rumus Kemiringan Lereng dalam Derajat

Sedangkan untuk penyajian nilai kemiringan lereng dalam bentuk persentase, dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:

Rumus Kemiringan Lereng dalam Persen

Dari rumus perhitungan di atas, dapat diketahui bahwa semakin besar nilai derajat atau presentase dari kemiringan lereng sebuah wilayah, maka wilayah tersebut semakin curam, dan sebaliknya, jika semakin kecil maka wilayah tersebut merupakan wilayah dengan topografi yang datar (flat).

BACA JUGA:

1). [Tutorial Lengkap] Download dan Olah DEMNAS

2). 5 Citra Satelit yang Banyak Digunakan untuk Persyaratan IPPKH

3). Apa itu Citra Satelit?

4). Cara Memperoleh Citra Satelit

5). Siap-Siap!, Bakal Tersedia Citra Satelit dengan Resolusi 15 cm

Dan berikut tampilan hubungan antara satuan derajat dan persentase:

Gambar 2. Hubungan antara Satuan Derajat dan Persentase
(Sumber Gambar: Wikipedia)

Sebagai contoh kasus untuk mengetahui kemiringan lereng sebuah wilayah, Anda dapat menyimak perhitungannya di bawah ini:

Cara Menghitung Kemiringan Lereng

Gambar 3. Contoh Kasus Menghitung Kemiringan Lereng

Diketahui bahwa jarak secara horizontal di antara kedua titik pada gambar di atas adalah 102.85 meter, dengan beda ketinggian di antara dua titik tersebut yakni 40 meter (390 meter – 350 meter), maka nilai kemiringan lerengnya adalah sebagai berikut:

Contoh Kasus Kemiringan Lereng

Gambar 4. Ilustrasi Posisi Beda Ketinggian (Jarak Vertikal) dengan Jarak Horizontal

  • Untuk satuan dalam derajat:

Perhitungan Contoh Kasus Kemiringan Lereng dalam Derajat

  • Untuk satuan dalam persen:

Perhitungan Contoh Kasus Kemiringan Lereng dalam Persen

Klasifikasi Kemiringan Lereng

Terdapat banyak pengelompokkan (klasifikasi) kelas kemiringan lereng yang dibuat oleh sebuah lembaga ataupun peneliti, beberapa contohnya seperti berikut ini:

Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah

Tabel 1. Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, 1986

Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng Berdasarkan van Zuidam

Tabel 2. Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng Berdasarkan van Zuidam, 1985

Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng Berdasarkan Sintanala Arsyad

Tabel 3. Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng Berdasarkan Sintanala Arsyad, 1989

Alat Pengukur Kemiringan Lereng

Untuk mengetahui kemiringan lereng suatu wilayah dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan, kita dapat menggunakan berbagai alat pengukur kemiringan lereng seperti:

  • Suunto Level/Klinometer

Suunto Level/Klinometer merupakan sebuah alat sederhana yang digunakan untuk mengukur sudut elevasi yang dibentuk antara garis datar dengan sebuah garis yang menghubungkan antara sebuah titik pada garis data tersebut dengan titik lain yang berada pada puncak sebuah objek yang diukur.

Klinometer

Gambar 5. Klinometer

  • Hagameter

Fungsi utama dari alat ini yakni untuk pengukuran tinggi sebuah pohon, namun dapat digunakan juga untuk mengukur kemiringan lereng.

Gambar 6. Hagameter
(Sumber Gambar: IndoDigital)

  • Abney Level

Abney Level merupakan alat yang sering digunakan dalam beragam survey di lapangan, seperti untuk mengukur ketinggian pohon, kemiringan lereng, dan lain sebagainya. Alat ini terdiri dari tabung teropong tetap dan busur skala (dalam derajat). Kelebihan Abney Level yakni mudah digunakan, harga relatif terjangkau, serta hasil cukup akurat.

Abney Level

Gambar 7. Abney Level

  • Theodolite

Theodolite merupakan salah satu alat paling canggih saat ini yang digunakan untuk keperluan survey di lapangan. Alat ini digunakan terutamanya untuk menentukan ketinggian sebuah tanah dengan sudut mendatar dan sudut tegak, dan dapat digunakan juga untuk mengetahui kemiringan lereng sebuah wilayah.

Theodolite

Gambar 8. Theodolite

Memperoleh Data Kemiringan Lereng dari Data DEM

Selain pengukuran langsung di lapangan, kita juga dapat memperoleh data kemiringan lereng hasil pengolahan dari data Digital Elevation Model (DEM).

Akurasi nilai kemiringan lereng yang dihasilkan sangat tergantung dengan kualitas akurasi dari DEM yang kita olah.

Data DEM sendiri dapat diperoleh dari hasil perekaman satelit dengan sensor aktif, pengolahan citra satelit stereo, drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV), maupun dari wahana perekaman lainnya.

  • DEM dari Hasil Pengolahan Citra Satelit Sensor Aktif

Satelit dengan sensor aktif merupakan satelit yang mempunyai sumber tenaga sendiri dalam melakukan perekaman sebuah wilayah.

Sebagian besar satelit dengan sensor aktif menggunakan gelombang elektromagnetik mikro, yang dimanfaatkan pada teknologi RADAR (Radio Detection and Ranging).

Saat ini hasil pengembangan teknologi RADAR di bidang pemetaan yang paling banyak digunakan yaitu Synthetic Aperture Radar (SAR) dan Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR).

Kelebihan penggunaan sensor aktif dengan gelombang mikro yakni kemampuannya dalam “menembus” awan, sehingga citra yang dihasilkan bebas awan. Selain itu, dengan sumber tenaga yang berasal dari satelit itu sendiri, perekaman dapat dilakukan kapan saja (tidak seperti satelit sensor pasif yang harus melakukan perekaman ketika matahari “beroperasi” pada wilayah yang hendak direkam).

Citra RADAR yang dihasilkan oleh satelit sensor aktif banyak digunakan untuk melakukan deteksi perubahan penggunaan lahan suatu wilayah serta mendapatkan data Digital Elevation Model (DEM) melalui pengolahan lebih lanjut. Seperti contohnya data WorldDEM dengan resolusi spasial 12 meter dan akurasi vertikal 2 meter, yang diperoleh dari hasil pengolahan Citra Satelit TerraSAR-X dan TanDEM-X.

DSM dan DTM WorldDEM

Gambar 9. DSM (Bagian Kiri) dan DTM (Bagian Kanan) WorldDEM Resolusi Spasial 12 Meter
(Image Copyright: Airbus Defence & Space)

  • DEM dari Hasil Pengolahan Citra Satelit Stereo

Data DEM tidak hanya dapat dihasilkan dari pengolahan citra satelit hasil perekaman satelit sensor aktif, namun dapat juga diperoleh dari hasil pengolahan citra satelit dari satelit sensor pasif optis.

Berkebalikan dengan satelit sensor aktif yang mempunyai sumber tenaga sendiri dalam melakukan perekaman sebuah wilayah, satelit dengan sensor pasif harus mengandalkan sumber tenaga luar dalam pengoperasiannya.

Sumber tenaga satelit sensor pasif biasanya memanfaatkan gelombang elektromagnetik pada spektrum cahaya tampak (visible), inframerah dekat (near infrared), serta spektrum lainnya, yang berasal dari sinar matahari.

Satelit sensor pasif memanfaatkan gelombang elektromagnetik khususnya pada spektrum cahaya tampak bertujuan untuk menghasilkan tampilan citra satelit dengan kenampakan yang sesuai dengan penglihatan mata manusia “normal” seperti warna daun yang hijau, birunya laut, dan sebagainya.

Namun penggunaan gelombang elektromagnetik pada spektrum cahaya tampak mempunyai “kelemahan” dari sisi ketidakmampuannya dalam “menembus” awan, sehingga jika ketika satelit melakukan perekaman di wilayah yang sedang berawan, maka awan akan ikut terekam, dan membuat objek-objek yang berada di bawah awan tidak terlihat, dan mengurangi informasi yang dapat diperoleh dari citra satelit hasil perekaman.

Selain itu, dengan menggantungkan sumber tenaga dari sinar matahari, perekaman sebuah wilayah hanya dapat dilakukan ketika matahari “beroperasi” di wilayah tersebut. Oleh karenanya satelit dengan sensor pasif biasanya melakukan perekaman di sebuah wilayah, sekitar jam 10 pagi hingga 1 siang waktu setempat.

Tampilan citra satelit yang dihasilkan dari satelit sensor pasif berbentuk 2 dimensi (2D). Oleh karena itu untuk memperoleh data ketinggian dari citra satelit sensor pasif, diperlukan pengolahan dari citra satelit stereo.

Citra satelit stereo atau biasa disebut juga dengan stereoscopy merupakan citra satelit hasil perekaman satelit sensor pasif di sebuah wilayah, yang setidaknya direkam pada dua posisi yang berbeda (posisi backward (belakang), forward (depan), dan nadir (tegak lurus dengan wilayah perekaman)), dengan posisi yang saling bertampalan (overlap).

Dari hasil pengolahan citra satelit stereo dari sensor pasif, nantinya dapat diperoleh data DEM yang selain mengandung infomarsi nilai dalam sumbu X dan Y (koordinat), juga dalam sumbu Z (nilai ketinggian).

Gambar 10. DEM Hasil Pengolahan Citra Satelit Stereo Ikonos dengan Resolusi Spasial 1 Meter
(Image Copyright: Satellite Imaging Corporation)

Perlu diperhatikan bahwa untuk memperoleh data DEM dengan hasil yang baik dari citra satelit sensor pasif, maka harus digunakan citra satelit stereo yang bebas dari awan.

Permasalahan pembuatan DEM menggunakan citra satelit stereo di wilayah Indonesia sendiri, terutamanya untuk citra sateit dengan resolusi spasial sangat tinggi, terletak dari jarangnya perusahaan pemilik satelit observasi bumi seperti Maxar Technologies, Airbus Defence & Space, serta yang lainnya, melakukan pengaturan satelit yang dimilikinya untuk menghasilkan citra satelit stereo. Hal ini berkaitan dengan masih sedikitnya pemesanan citra satelit stereo untuk wilayah di Indonesia.

  • DEM dari Hasil Perekaman Drone atau UAV

Penggunaan drone untuk memperoleh kenampakan sebuah wilayah dengan resolusi spasial yang lebih tinggi lagi dibanding citra satelit, mulai marak digunakan dalam beberapa tahun belakangan ini.

Harganya yang terjangkau, penggunaan yang tidak terlalu rumit, serta foto hasil perekaman mempunyai resolusi spasial sangat tinggi, membuatnya menjadi salah satu primadona saat ini dalam dunia pemetaan.

Penggunaan drone tidak terbatas hanya untuk menghasilkan foto yang menunjukkan kenampakan wilayah tersebut, namun melalui pengolahan lebih lanjut dapat diperoleh data DEM di wilayah perekaman.

Orthophoto dan DEM dari Drone

Gambar 11. Foto Hasil Perekaman Drone (Kiri) dan DEM Hasil Pengolahan dari Perekaman Drone (Kanan)
(Sumber Foto: E&MJ)

  • DEM dari Hasil Perekaman Teknologi LiDAR

Teknologi lain yang saat ini digunakan untuk memperoleh data DEM di suatu wilayah yaitu teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR).

Sensor LiDAR biasanya dipasang pada sebuah wahana bergerak seperti pesawat, dan saat ini telah banyak juga disematkan pada drone ataupun mobil, serta beragam wahana lainnya,

LiDAR

Gambar 12. Light Detection and Ranging (LiDAR)
(Sumber Gambar: bit.ly/38vhdu1)

Prinsip kerja teknologi ini berupa pemancaran pulsa laser dari sensor menuju objek yang hendak direkam, dimana pantulan pulsa laser dari objek tersebut direkam oleh sensor.

Contoh Tampilan Data LiDAR

Gambar 13. Contoh Tampilan Data LiDAR
(Sumber Gambar: bit.ly/2BJzQhZ)

Sensor LiDAR mampu merekam beberapa pantulan dari objek di area perekaman yang disebut dengan multiple wave.

Hasil perekaman dapat berupa pantulan dari objek-objek di atas permukaan bumi seperti bangunan, kanopi pohon, serta objek-objek lainnya, sehingga nantinya dapat dibuat data Digital Surface Model (DSM), sedangkan pantulan lainnya dapat berasal langsung dari permukaan tanah (ground), sehingga nantinya dapat dibuat data Digital Terrain Model (DTM).

DTM dan DSM dari LiDAR

Gambar 14. Hasil Pantulan dari Objek di atas Permukaan Tanah (Kiri) dan pada Permukaan Tanah (Kanan)
(Sumber Gambar: bit.ly/38vhdu1)

Pada wahana, tidak hanya disematkan sensor LiDAR, namun juga alat Ground Positioning System (GPS) serta Inertial Measurement Unit (IMU).

Sensor dan Alat pada LiDAR

Gambar 15. Sensor dan Alat pada LiDAR
(Sumber Gambar: bit.ly/3grjRUo)

GPS digunakan untuk merekam posisi koordinat pada sistem proyeksi tertentu, yang dipasang selain pada wahana (diistilahkan sebagai Rover), juga ditempatkan di permukaan tanah (diistilahkan dengan Base Station).

Sedangkan IMU digunakan sebagai alat perekam kesalahan posisi maupun rotasi wahana ketika proses perekaman berlangsung. Hasil rekaman dari IMU digunakan untuk proses koreksi ketinggian hasil perekaman LiDAR.

Keunggulan dari penggunaan teknologi LiDAR ini antara lain proses perekamaan Area of Interest (AoI) dapat dilakukan pada malam hari karena menggunakan sensor aktif, proses perekaman objek lebih cepat dan area cakupannya juga lebih luas dibandingkan survei terestris, biaya lebih murah dan efisien jika dibandingkan survei terestris (dalam cakupan luas – lebih dari 1000 hektar), serta beberapa keunggulan lainnya.

Ada keunggulan, tentu juga ada kekurangannya, begitu juga dengan teknologi LiDAR. Berbeda dengan teknologi SAR yang dapat “menembus awan”, maka teknologi penggunaan LiDAR masih terkendala oleh kondisi cuaca, dimana area yang terhalang awan atau kabut menyebabkan pengukuran tidak presisi. Selain itu hasil perekaman pada objek di permukaan bumi yang terdapat air atau dalam kondisi basah, maka hasilnya juga kurang baik, karena pulsa laser lebih banyak diserap objek tersebut dibandingkan dipantulkan kembali.

Cara Mendapatkan Nilai Kemiringan Lereng dari Data DEM di QGIS

Melalui pengolahan dari data DEM, dengan menggunakan software pengolah data-data geospasial, kita dapat mengetahui nilai kemiringan lereng (slope) sebuah wilayah.

Bagi Anda yang ingin mengetahui caranya tersebut, kami telah membuat tutorialnya, dengan menggunakan software gratis QGIS.

Tutorial gratis ini dibuat dalam bentuk Portable Document Format (PDF), yang dapat Anda peroleh dengan klik tombol yang akan menuju nomor WA admin kami:

Cara Praktis Menghitung Luasan Kelas Kemiringan Lereng

Bagi Anda yang ingin mempelajari:

– Bagaimana cara mendapatkan data kemiringan lereng (slope) dari sebuah data Digital Elevation Model (DEM);

– Bagaimana cara melakukan klasifikasi kelas kemiringan lereng dari data kemiringan lereng yang telah Anda buat sebelumnya;

– Bagaimana cara merubah data kemiringan lereng yang masih berupa data raster menjadi data vektor berbentuk poligon, supaya luasannya dapat diketahui;

– Bagaimana cara menghitung luasan masingmasing kelas kemiringan lereng dalam satuan kilometer persegi (km2), meter persegi (m2), hektar (ha), ataupun satuan luas lainnya;

– Bagaimana cara menghitung luasan total masingmasing kelas kemiringan lereng serta luasan total seluruh kelas kemiringan lereng menggunakan bantuan software Microsoft Excel.

Anda dapat mempelajarinya melalui ebook tutorial premium yang kami buat.

Cara Praktis Menghitung Luasan Kelas Kemiringan Lereng

Anda akan dapat dengan dengan mudah memahami langkah demi langkah pengerjaan dalam ebook ini, karena kami membuat tutorial ini secara detail dengan bahasa yang mudah dipahami bahkan oleh Anda yang baru mengenal dunia RS & GIS. Kalaupun ternyata, terdapat bagian yang kurang Anda pahami, tenang saja, kami akan membantu Anda sampai paham.

Mungkin setelah kami menginformasikan hal ini, ada yang berpikir seperti ini: Ah, Saya belum butuh ebook ini karena belum ada proyek atau pekerjaan atau tugas di kampus terkait perhitungan luasan kelas kemiringan lereng tersebut, jadi buat apa Saya membeli ebook tersebut?.

Nah, bagaimana kalau keadaannya dibalik. Bagaimana jika tiba-tiba terdapat penawaran untuk mengerjakan sebuah proyek, atau pekerjaan, ataupun tugas terkait perhitungan kelas kemiringan lereng, dan Anda melewatkan proyek itu di depan mata Anda, atau Anda tidak dapat menyelesaikan pekerjaan atau tugas Anda, karena tidak mengetahui ilmu-nya, maka berapa besar kerugian yang akan Anda alami. Jangan sampai itu terjadi kepada Anda.

Cukup hanya dengan investasi Rp. 35 ribu saja, Anda dapat memiliki ebook ini, yang akan membuat Anda memperbesar kapasitas kemampuan Anda di bidang pemetaan. Jangan lewatkan penawaran menarik ini, hanya melintas dalam pikiran Anda.

Sambil Anda membayangkan manfaat besar dari ebook ini, silahkan Anda order dengan cara klik tombol di bawah ini, yang akan menuju nomor WA admin kami:

Contoh hasil pengolahan data DEM untuk mendapatkan nilai kemiringan lereng (slope), klasifikasi kelas kemiringan lereng, serta menghitung luasannya:

Poster Kemiringan Lereng Perhitungan Luasan Kelas Kemiringan LerengSemoga bermanfaat dan silahkan diorder melalui nomor WA di atas.

POSTINGAN MENARIK LAINNYA:

1). [Tutorial] Membuka File Geodatabase di QGIS versi 3.x

2). [Tutorial] Menampilkan Informasi Cuaca di QGIS

3). [Tutorial] Cara Memperoleh Anotasi di Google Maps

4). [Tutorial] Membuat Area Buffer dalam Beberapa Radius Menggunakan QGIS

5). [Tutorial] Membuat Grid di QGIS

Author: Map Vision IndonesiaMap Vision Indonesia merupakan team yang berisikan praktisi di bidang Citra Satelit, Penginderaan Jauh (Remote Sensing), Sistem Informasi Geografis (SIG), serta Pemetaan pada umumnya. Kami telah berpengalaman khususnya mengerjakan ratusan proyek pengadaan dan pengolahan serta mapping data citra satelit berbagai resolusi dari beragam vendor sejak tahun 2013.

Comment (1)

  1. bayu

    Terima kasih atas uraiannya, ijin bertanya, terkait lereng perhitungan kemiringan lereng dalam satuan persen, mengapa tidak menggunakan formula 45 derajat = 100 %? sehingga menjadi 20.8/45 x 100 % = 46.22 %

    Reply

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *