KOMPAS.com - Adriano Leite Ribeiro dianggap sebagai salah satu talenta emas sepak bola Brasil. Sayangnya, pria yang dijuluki L'Imperatore alias Sang Kaisar itu tidak benar-benar mencapai puncak kariernya.
Semasa jayanya bersama Inter Milan, Adriano adalah sosok penyerang mematikan.
Tubuh bongsor nan kokoh, kemampuan dribel khas pemain Brasil, dan sepakan kaki kiri maut adalah atribut yang tersemat pada pemain kelahiran Rio de Janeiro tersebut.
Namun, masa keemasan Adriano di lapangan hijau tak bertahan lama. Dari striker yang menjadi mimpi buruk bagi bek-bek lawan, karier Sang Kaisar runtuh hingga titik terendah.
Adriano mengawali karier sepak bola profesional bersama klub kota kelahirannya, Flamengo. Kemampuannya kemudian menarik minat salah satu klub top Liga Italia, Inter Milan.
Pada musim panas 2001, Inter memboyong Adriano ke Giuseppe Meazza. Namun, ia tak langsung mendapatkan tempat utama sehingga dipinjamkan ke Fiorentina pada paruh kedua musim 2001-2002.
Baca juga: Sejarah Nama San Siro dan Giuseppe Meazza, Stadion Kandang AC Milan dan Inter Milan
Sempat dilepas ke Parma setahun berselang, Adriano pulang ke Inter pada Januari 2003 dan langsung menjadi andalan lini depan I Nerazzurri.
Dalam waktu singkat, Adriano menunjukkan performa impresif. Ia sukses membukukan sembilan gol dari 16 laga Serie A pada paruh kedua musim 2003-2004.
Bersama timnas Brasil, Adriano berhasil memenangi Copa America 2004. Tak hanya tampil sebagai juara, ia juga menyabet Sepatu Emas dengan gelontoran tujuh gol serta dinobatkan sebagai pemain terbaik turnamen tersebut.
Adriano pun digadang-gadang bakal menjadi penerus Ronaldo sebagai ujung tombak Selecao.
Memasuki musim 2004-2005, Adriano kembali menjadi tumpuan Inter Milan. Ia sukses mencetak 16 gol dari 30 penampilan di Serie A.
Namun dari situ, awal kehancuran karier Adriano pun juga dimulai.
Adriano sejatinya masih bisa mencetak 13 gol dan membantu Inter Milan memenangi scudetto Serie A musim 2005-2006.
Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, Adriano semakin akrab dengan inkonsistensi. Di luar lapangan, ia mulai bersentuhan dengan alkohol dan kehidupan malam.
Baca juga: Perjalanan Inter Milan Meraih Gelar Juara Liga Italia 2020-2021
Pada 2006, Adriano sempat dua kali dicoret oleh pelatih timnas Brasil, Dunga, lantaran kedapatan berpesta di klub malam.
Sementara itu di Inter Milan, ketajaman Adriano mulai luntur di mana ia cuma bisa mencetak lima gol dari 23 penampilan liga musim 2006-2007.
Padahal, saat itu Adriano tengah berada pada usia emas seorang pesepak bola yaitu 25 tahun.
Usut punya usut, ada alasan memilukan di balik merosotnya penampilan Adriano.
Kematian sang ayah pada 2004 membuat Adriano begitu terpukul. Hal ini diungkapkan oleh mantan kapten Inter, Javier Zanetti.
"Ketika mendapatkan telepon soal kematian ayahnya, kami berada di kamar. Dia (Adriano) membanting telepon dan mulai berteriak dengan cara yang tidak bisa dibayangkan," ungkap Zanetti kepada TuttoMercato pada 2017 lalu.
"Sejak saat itu, Massimo Moratti (Presiden Inter Milan) dan saya memperlakukannya sebagai adik. Dia terus bermain sepak bola, mencetak gol dan mendedikasikan golnya untuk ayahnya dengan menunjuk langit. Namun, setelah panggilan telepon itu, tidak ada yang sama seperti sebelumnya."
Kegagalan menjaga Adriano pun diakui Zanetti sebagai kekalahan terbesar dalam karier legenda Inter Milan tersebut.
"Kami tidak bisa menariknya keluar dari terowongan depresi. Itu adalah kekalahan terbesar saya. Saya merasa tidak berdaya."
Baca juga: Mengapa Jersey Utama Manchester City Berwarna Biru Langit?
Pada 2018 lalu, Adriano membuat pengakuan bahwa ia merasa begitu menderita setelah kehilangan sosok ayah.
"Hanya saya yang tahu betapa besar penderitaan yang saya rasakan. Kematian ayah telah menghadirkan kekosongan besar dalam hidup saya dan merasa sangat kesepian," ungkapnya, dikutip Football Italia.
"Segalanya menjadi semakin buruk karena saya mengisolasi diri sendiri. Saat itu di Italia, saya sendirian, sedih, dan depresi, yang membuat saya mulai minum alkohol."
"Saya hanya merasa bahagia ketika minum dan melakukannya setiap malam yang membuat saya harus meninggalkan Inter Milan," tuturnya.
Adriano dilepas Inter pada 2009 dan ia pulang ke Brasil untuk memperkuat klub kampung halamannya, Flamengo.
Penampilan Sang Kaisar sempat menanjak dengan menyumbang 19 gol bagi Flamengo. Hal ini membuat AS Roma tertarik memboyongnya kembali ke Eropa. Namun, Adriano tak bisa lagi mencapai level seperti dulu.
Usai gantung sepatu pada 2016, Adriano sempat berada di titik terendah di mana ia tinggal di sebuah pemukiman kumuh di Brasil, Vila Cruzeiro, dan hidupnya dihancurkan oleh alkohol serta obat-obatan.
Pada Maret lalu, Adriano dikabarkan menjual sebuah rumah mewahnya seharga 1,3 juta euro (Rp 22,3 miliar) lalu pindah ke hotel di Rio de Janeiro.
Meski kariernya berakhir menyedihkan, Adriano tetap mendapatkan pengakuan atas kehebatannya di lapangan hijau.
Beberapa waktu lalu, Federasi Sepak Bola Brasil (CBF) memasukkan nama Adriano ke dalam Walk of Fame yang berada di luar Stadion Maracana. Sang Kaisar pun tak kuasa menahan air mata haru ketika mengetahui namanya masuk dalam daftar kehormatan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.