Setelah KLB polio, muncul KLB campak - Anak Indonesia berisiko terkena wabah ‘tumpang-tindih’

vaksinasi

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar, Epidemiolog memperkirakan kemungkinan wabah yang ‘tumpang-tindih’ antara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang tingkat imunisasi dasarnya rendah.
  • Penulis, Trisha Husada
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Kemunculan Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di 31 provinsi setelah KLB polio bukan kebetulan. Para dokter dan pengamat mengatakan anak-anak Indonesia berisiko terkena berbagai penyakit akibat imunisasi dasar yang tertunda saat pandemi.

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan ada kemungkinan terjadi wabah yang ‘tumpang-tindih’ antara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi atau PD3I, khususnya di daerah-daerah yang tingkat imunisasi dasarnya rendah.

“Kemungkinan ada overlapping di beberapa wilayah ada pertussis, kan enggak merata. Misalnya di Aceh kemarin polio, mungkin daerah lain nanti campak,” ujar Pandu kepada BBC News Indonesia, Jumat (20/1)

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 menunjukkan baru 63,17% dari anak Indonesia berusia 12-23 bulan yang menerima imunisasi dasar lengkap (IDL). Angka tersebut hanya naik 2,08% dibandingkan tingkat imunisasi pada 2021, yakni 61,09%.

Untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah melaksanakan bulan imunisasi anak nasional (BIAN) serta bulan imunisasi anak sekolah (BIAS) untuk mengejar imunisasi yang tertinggal saat pandemi.

Meski begitu, Ketua Unit Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr Anggraini Alam, mengatakan bahwa sebagian masyarakat masih enggan memberikan imunisasi dasar kepada anak karena mereka tidak merasa perlu.

“Karena [mereka] merasa tidak perlu imunisasi, tidak tahu ada penyakit-penyakit tersebut. Takut diimunisasi,” ujarnya.

Kemenkes menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit campak di Indonesia di 31 provinsi hingga Desember 2022.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, dr Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, ada lebih dari 3.000 kasus campak sepanjang tahun 2022 yang tersebar di 31 provinsi.

“Ada 3.341 kasus di tahun 2022 dilaporkan di 223 kabupaten kota dari 31 provinsi,” ujar dr Nadia.

Pada November 2022 lalu, Kemenkes mendeklarasikan KLB polio, menyusul penemuan satu kasus polio tipe 2 di Aceh.

Baca juga:

Tertular campak karena belum imunisasi

Seorang tenaga kesehatan menyiapkan suntikan vaksin Difteri dan Tetanus pada saat imunisasi anak di sebuah sekolah dasar di Kota Lhokseumawe, pada 1 Desember 2022, Provinsi Aceh, Indonesia.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang tenaga kesehatan menyiapkan suntikan vaksin difteri dan tetanus pada saat imunisasi anak di sebuah sekolah dasar di Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Indonesia.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Di Puskesmas Pondok Pucung, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Pani menunggu gilirannya untuk konsultasi dengan dokter. Ibu dua anak ini mengaku kedua buah hatinya mulai menunjukkan gejala campak.

“Sudah dari hari Senin. Anak tetangga saya ada yang kena campak. Kulitnya merah-merah, sudah mulai turun panasnya. Tapi anak saya ini sudah keluar semua [merah-merah] tapi masih panas tinggi,” kata perempuan berusia 24 tahun itu.

Kedua anak Pani, yang berusia lima tahun dan empat tahun, menangis kesakitan di kursi ruang tunggu. Keduanya mengidap gejala demam dan batuk.

Ia mengaku kedua anaknya belum menerima vaksinasi campak. Bahkan, ia sendiri tidak tahu riwayat imunisasi kedua anaknya karena selama ini mereka diurus oleh ibunya yang kini sudah meninggal dunia.

“Kayaknya sih belum imunisasi, nggak lengkap imunisasinya. Buku pink itu kan nggak ada, jadi kita enggak tahu,” ungkapnya.

Buku ‘pink’ yang dimaksud Pani adalah buku berisi riwayat kesehatan kedua anaknya, termasuk daftar imunisasi yang sudah mereka terima.

“Ya kita juga bingung, karena [kedua anak saya] sudah umur segini juga kan. Harusnya imunisasi lengkap.”

Kepala Puskesmas Pondok Pucung, Suminah, mengatakan bahwa dalam menangani kasus seperti Pani dan anak-anaknya, mereka akan mencoba menelusuri riwayat imunisasi dasar di domisili mereka sebelumnya, yakni DKI Jakarta.

“Kasus tadi itu ternyata tinggalnya di DKI. Kita selalu telusur, jangan sampai warga kami yang Pondok Pucung terlupakan,” ujar Suminah.

Dita (kiri) menggendong anaknya saat menunggu giliran konsultasi di Puskesmas Pondok Aren, Jumat (20/1)
Keterangan gambar, Dita (kiri) menggendong anaknya saat menunggu giliran konsultasi di Puskesmas Pondok Aren, Jumat (20/1)

Menurut Suminah, anak-anak Pani merupakan kasus suspek campak pertama yang mereka terima dalam 2023 ini. Sebelumnya, terdapat lima kasus suspek campak yang ditemukan pada 2022, namun tidak semua terkonfirmasi campak.

Untuk mencegah wabah penyakit tersebut, sambung Suminah, Puskesmas melakukan sweeping setiap bulan sesuai arahan Dinas Kesehatan agar dapat mencapai target vaksinasi.

“Setiap hari Sabtu kami lakukan [imunisasi] di tingkat puskesmas setiap hari. Selanjutnya di posyandu-posyandu. Kami sudah mulai berjalan dengan baik,” katanya.

Sementara di Puskesmas Pondok Aren, Dita mengaku anaknya yang umur dua tahun masih belum menuntaskan imunisasi dasar. Anaknya tersebut masih belum menerima vaksin polio dan difteri, pertusis, dan tetanus (DPT).

“Yang abis ini DPT dulu, kan itu harus berurutan. Urutannya DPT dulu,” sebut Dita.

Ia sendiri khawatir karena anaknya belum mendapatkan vaksin tersebut. Sebab sekarang ini sudah banyak bermunculan berbagai jenis penyakit, terutama setelah pandemi Covid-19 mereda.

“Imunisasi lengkap itu wajib menurut aku. Karena kan itu untuk imunitas tambahannya dia, apalagi sekarang penyakit banyak tuh.

“Paling ini kalau imunisasi udah lengkap, yang DPT. Nanti saya rencananya mau vaksin flu,” ungkap Dita.

Anak yang belum imunisasi lengkap rawan terkena wabah ‘tumpang-tindih’

Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan anak-anak yang belum menerima imunisasi dasar berisiko terkena berbagai jenis penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan vaksin.

“Semua penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi. Itu difteri, pertussis, tetanus, polio, campak; semua itu vaksinasi dasar. Itu kalau tidak diberikan vaksinasi, maka anak akan bisa tertular dan bisa mewabah,” kata Pandu.

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi atau PD3I biasa diatur berdasarkan umur, mulai dari bayi berusia 0 sampai 11 bulan hingga anak SD kelas dua dan kelas lima.

Setelah munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB) polio di Aceh dan KLB campak yang telah terdeteksi di 31 provinsi, Pandu memprediksi penyakit-penyakit lain yang tergolong PD3I berpotensi menjadi wabah, bahkan bisa saja tumpang-tindih.

Sebab, penyakit-penyakit tersebut mudah menyerang anak yang tidak memiliki imunitas untuk melindungi mereka.

“Nanti kemungkinan ada overlapping di beberapa wilayah ada pertussis, kan enggak merata. Misalnya di Aceh kemarin polio, mungkin daerah lain nanti campak.

“Terutama yang mudah menular itu polio, pertussis atau batuk 100 hari. Terus difteri, terus kemungkinan campak. Karena campak tuh mudah menular apalagi anaknya kurang gizi.

Oleh karena itu, ia menganjurkan agar pemerintah segera menggiatkan imunisasi di seluruh daerah, khususnya untuk anak-anak yang sudah telat menerima imunisasi dasar.

“Harus dikejar, anak yang belum divaksinasi dikejar. Kayak polio itu semua langsung di-sweeping. Di satu kabupaten yang jadi masalah, mulai satu desa, semua desa di kabupaten itu langsung diberikan vaksinasi.”

Pandemi Covid membuat imunisasi lengkap tertunda

Seorang petugas kesehatan menunjukkan vaksin polio saat program vaksinasi di sebuah sekolah di Banda Aceh

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang petugas kesehatan menunjukkan vaksin polio saat program vaksinasi di sebuah sekolah di Banda Aceh

Baca juga:

Epidemiolog Pandu Riono mengatakan bahwa proses imunisasi dasar untuk bayi dan balita ‘terdisrupsi’ akibat tenaga kesehatan kewalahan dengan menangani banyaknya kasus covid-19.

“Disrupsi itu yang menyebabkan banyak anak yang tidak sempat divaksinasi. Kalau tidak sempat divaksinasi maka anak tidak mempunyai perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang sebenarnya masih ada di seluruh dunia,” kata Pandu.

Pada 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 63,17% anak umur 12-23 bulan telah menerima imunisasi dasar lengkap. Persentase tersebut hanya naik 2,08% poin jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Berdasarkan laporan tersebut, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki persentase anak yang menerima imunisasi lengkap tertinggi di Indonesia pada 2022, yakni mencapai 83,89%. Posisinya diikuti Bali dengan persentase penerima IDL pada anak sebesar 82,22%.

Sementara, Aceh menjadi provinsi dengan persentase anak yang menerima IDL paling rendah, yakni 22,52%. Di atasnya ada Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang masing-masing memiliki persentase sebesar 39,25% dan 42,44%.

Ketua Unit Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia, Dr Anggraini Alam, mengatakan bahwa sebagian dari masyarakat masih memandang imunisasi sebagai sesuatu yang menakutkan atau tidak terlalu diperlukan.

Hal tersebut tentu membuat tingkat vaksinasi di kalangan anak menurun.

“Karena [mereka] merasa tidak perlu imunisasi, tidak tahu ada penyakit-penyakit tersebut. Takut diimunisasi.”

Pada 2021, sambung Dr Anggraini, sebanyak 1,7 juta anak tidak mendapat imunisasi dasar lengkap. Sehingga, penyakit-penyakit seperti polio dan campak banyak bermunculan di daerah yang tidak mencapai target imunisasi mereka.

“Terjadi Kejadian Luar Biasa dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, terutama di daerah yang tidak mencapai target,” ujar Dr Anggi.

Ia menyebut difteri, tetanus, pertussis, polio, haemophilus influenza tipe B, campak rubela, hepatitis B, acille Calmette-Guerin (BCG), dan juga pneumokokus sebagai varian-varian yang kini berisiko menyerang anak-anak yang belum terimunisasi.

Pemerintah bertekad mengejar imunisasi tertinggal

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) meneteskan vaksin polio kepada pelajar Sekolah Dasar (SD) saat pencanangan Sub Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio di Banda Aceh

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) meneteskan vaksin polio kepada pelajar Sekolah Dasar (SD) saat pencanangan Sub Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio di Banda Aceh

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa pemerintah sudah berupaya mengejar imunisasi dasar yang tertinggal akibat pandemi dengan mengadakan bulan imunisasi nasional bagi anak.

Bahkan, bulan imunisasi tersebut sempat diperpanjang agar dapat memenuhi target.

"Kemarin sudah ada dua kali perpanjangan untuk mengejar target imunisasi," kata Nadia kepada BBC News Indonesia.

Menurut Nadia, saat ini penyakit menular yang kini berpotensi menjadi wabah adalah hepatitis, campak, rubela, polio, serta difteri. Oleh karena itu, Kemenkes ingin berfokus pada upaya mengedukasi masyarakat terkait pentingnya imunisasi.

"Penting juga pemahaman masyarakat dan orang tua [mengenai] pentingnya imunisasi ini," ungkapnya.

Dr Anggraini menilai upaya pemerintah dengan melaksanakan bulan imunisasi anak nasional (BIAN) sudah tepat, terutama dalam memperpanjang periode imunisasi anak yang melebihi sebulan.

“Upaya sangat baik dengan melakukan BIAN (bulan imunisasi anak nasional) yang hasilnya ternyata memerlukan waktu lebih dari satu bulan. yang seharusnya ditargetkan cakupan tinggi dalam satu bulan,” katanya.

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, juga menyatakan hal yang sama. Ia merasa bahwa ada perlunya penggiatan imunisasi anak diperpanjang lebih dari satu bulan.

“Satu-satunya cara untuk mencegah KLB ya itu, mengevaluasi bulan vaksinasi anak yang kemarin. Di mana wilayah-wilayah yang cakupannya masih rendah dilakukan lagi, mengejar. Diperpanjang aja imunisasi anaknya, jangan satu bulan,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kampanye dan edukasi terhadap masyarakat yang melibatkan pemerintah daerah agar semakin banyak masyarakat menjadi paham akan urgensi imunisasi.

"Kan tanggung jawabnya petugas kesehatan kan hanya memberikan vaksinasi tapi kalau terjadi penolakan di masyarakat atau masyarakat enggak divaksinasi atau menunda atau khawatir divaksinasi, ya susah, karena walaupun kita punya vaksin.

“Kalau vaksinasi kan pelayanannya sekaligus. Satu paket. Jadi mengejar istilahnya mengejar vaksinasi dasar karena itu esensial setiap anak di Indonesia harus mendapat vaksinasi itu.”