(PDF) IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN ONLINE DALAM MASA PANDEMIK COVID 19 | Hadion Wijoyo - Academia.edu
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang mencurahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua, serta dengan ijin-Nya, Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu Universitas Negeri Surabaya 2020 dengan tema “Penguatan Pendidikan Karakter Pada Era Merdeka Belajar”, dapat terlaksana dengan baik dan prosiding ini dapat diterbitkan. Tema seminar ini sangat penting untuk kita diskusikan karena pesatnya perkembangan revolusi industri menuntut output dan outcome pendidikan dapat memenuhi kebutuhan pasar industri. Namun demikian, dunia pendidikan juga dihadapkan pada menurunnya karakter bangsa: sikap toleransi, nasionalisme, menghargai perbedaan serta menurunnya tanggung jawab terhadap kebebasan berpendapat yang memicu munculnya berbagai fitnah pada berbagai sosial media, dimana penurunan karakter ini akan mengancam keberlangsungan kita dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tema seminar ini kami hadirkan untuk memberikan wacana dan wawasan baru tentang pentingnya peran pendidikan terutama bagi pendidik dalam memberikan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter terhadap anak didik pada Era Merdeka Belajar. Peran pendidik pada masa mendatang akan menuntut inovasi dan kreativitas yang sangat tinggi dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita pendidikan. Pendidikan dan pembelajaran yang sarat dengan muatan pengetahuan bila disinergikan dengan muatan sikap dan keterampilan yang terimplementasi, akan menghasilkan peserta didik yang mampu berkompetisi memenuhi kebutuhan dunia industri dan tetap menjaga keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seminar ini diikuti oleh guru, dosen, praktisi pendidikan, peneliti, serta mahasiswa dari berbagai Universitas yang ada di Indonesia yang telah membahas berbagai kajian di bidang ekonomi, psikologi, ilmu pengetahuan alam, teknologi, sosial budaya dan politik dalam pengembangan karakter pada Era Merdeka Belajar saat ini. Akhir kata, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Universitas Negeri Surabaya beserta jajarannya, Narasumber, Pemakalah, Peserta, Panitia, dan berbagai pihak yang telah berupaya menyukseskan Seminar Nasional 2020 ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati semua usaha baik kita. Aamiin YRA. Surabaya, 19 Sepetember 2020 Ketua Pelaksana Setyo Admoko, M.Pd ii KATA PENGANTAR KETUA LP3M UNESA Perkembangan dunia dan aktivitas manusia didalamnya mendorong pengambil keputusan tentang Pendidikan di Indonesia untuk mengantisipasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan tersebut. Salah satu yang ditempuh adalah dengan program Merdeka Belajar yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk belajar secara merdeka dari berbagai sumber baik orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan yang beragam. Pada program ini para siswa didorong memiliki kesempatan belajar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan serta passion yang sesuai dengan dirinya. Kondisi ini tentu memerlukan kemandirian bagi setiap pelajar yang menempuhnya, karena semua kebutuhan dan cara belajarnya akan ditentukan oleh dirinya sendiri. Proses kemandirian ini harus dikawal beriring dengan tahapan perkembangan individu yang menyertainya. Proses kemandirian ini perlu mendapat bekal yang cukup untuk melangkah dan mengambil keputusan yang tepat karena proses kemandirian sedikit sekali intervensi dari orang lain sehingga segala keputusan diambil secara individual. Proses kemandirian seperti itu tentu memerlukan karakter yang kuat sehingga setiap tindakan dan keputusan yang diambil dapat berguna dan diterima baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri. Oleh karena itu setiap pelajar pada era Merdeka Belajar perlu memiliki karakter yang kuat sebagai landasan dalam menempuh belajar di era ini dan untuk bekal dalam mengantisipasi perubahan dan kehidupan dimasa mendatang. Pusat Pendidikan Karakter, Bimbingan Konseling dan Layanan Psikologi pada Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Unesa memiliki tanggung jawab dan komitmen untuk Bersama-sama mengembangkan karakter yang dapat membekali pelajar dalam era Merdeka Belajar. Oleh karena itu melalui Seminar Nasional Penguatan pendidikan karakter pada era Merdeka Belajar diharapkan mampu membekali, menambah wawasan dan berbagai kemungkinan peluang yang dapat ditempuh untuk meningkatkan Pendidikan Karakter di era Merdeka Belajar. Semoga era Merdeka Belajar mampu mengantar pelajar Indonesia dan bangsa Indonesia pada kehidupan di masa depan dengan Karakter yang kuat. Surabaya, 19 September 2020 Ketua LP3M Unesa Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd. . iii PANITIA PELAKSANA Steering Committee : Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd. Dr. Himawan Wismanadi, M.Pd. Dr. Nanik Indahwati,S.Pd., M.Or. Dr. Umi Anugerah Izzati, M.Psi., Psikolog. Drs. Joni Susilowibowo, M.Pd. Organizing Committee Ketua Wakil Sekretaris : : Setyo Admoko, S.Pd., M.Pd. : Dra. Sri Sulistiani, M.Pd. : Listyaningsih, M.Pd. Dr. Rr. Nanik Setyowati, M. Si. Sulistyaningsih, S.H., M.M. Bendahara : Dra. Martini, M.Pd. Dr. Advendi Kristyandaru, M.Pd. Sie Acara : Supriyanto, S.Pd., M.Pd. Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP. Dr. M. Turhan Yani, M.A Drs. I Made Suwanda, M.Si. Arief Sudrajat, S.Ant., M.Si. Dr. Agusniar Dian Savitri, S.S., M.Pd. Sie Open Conference System (OCS) : Utama Alan Deta, S.Pd., M.Pd, M.Si. dan Humas Setya Chendra Wibawa, S.Pd., M.T. Ghea Sekar Palupi, S.Kom., M.I.M. Dr. Nurhayati, S.T., M.T. Syaiful Ardi, A.Md. Sekretariatan : Anis Trisusana, S.S., M.Pd. Henny Dwi Iswati, S.S, M.Pd. Rahmi Rahmayati, S.pd., M.Pd. Dr. Hj. Mutimatul, S.Ag., M.Ag. Tri Lestari, S..Pd Prosiding : Prof. Dr. Warsono, M.S. Olievia Prabandini Mulyana, M.Psi., Psikolog. Bambang Dibyo, S.Pd., M.Pd. Yohana Wuri Satwika, M.Psi., Psikolog. Perlengkapan : Drs. H. Lamijan Hadi Susamo, M.Pd. Aghus Sifaq, S.Or., M.Pd. Yon Setiawan Dokumentasi : Komarudin Sugianto, S.T. iv Reviewer : Prof. Dr. Warsono, MS. Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd. Dr. Nanik Indahwati,S.Pd., M.Or. Dr. Umi Anugerah Izzati, M.Psi., Psikolog. Dr. Rr. Nanik Setyowati, M. Si. Dr. Advendi Kristyandaru, M.Pd. Dr. M. Turhan Yani, M.A. Dr. Nurhayati, S.T., M.T. Dr. Hj. Mutimatul, S.Ag., M.Ag. Dr. Agusniar Dian Savitri, S.S., M.Pd. Editor : Olievia Prabandini Mulyana, M.Psi., Psikolog. Yohana Wuri Satwika, M.Psi., Psikolog. Bambang Dibyo Wiyono, S.Pd., M.Pd v SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL & CALL FOR PAPER 2020 “Penguatan Pendidikan Karakter Pada Era Merdeka Belajar” Surabaya, 19 September 2020 Auditorium LP3M, Lantai 9, Gedung W1, Kampus Unesa Lidah Wetan Surabaya No 1 2 Waktu 07.00 – 08.30 08.30 – 09.00 3 09.00 – 09.15 4 09.15 – 09.45 5 6 7 8 9 09.45 – 10.15 10.15 – 10.45 10.45 – 11.15 11.15 – 12.00 12.00 – 12.00 Acara Registrasi Peserta Pembukaan - Mendengarkan Lagu Indonesia Raya - Mendengarkan Mars UNESA - Tampilan video Unesa crisis center Pembacaan Do’a Laporan Ketua Panitia Sambutan Ketua LP3M Sambutan sekaligus Pembukaan dan Keynote Speaker: Rektor UNESA Video Robot Unesa Materi 1 “Merdeka Belajar Episode Kelima Guru Penggerak” Materi 2 “ Penguatan Pendidikan Karakter di Era Pandemi” Materi 3 “Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya di Era Merdeka Belajar” Keterangan Panitia / Mahasiswa Pembawa Acara: Drs. Joni Susilowibowo, M.Pd. / Prima Vidya Asteria, M.Pd. Panitia Dr. M. Turhan Yani, MA. Setyo Admoko, S.Pd, M.Pd. Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd. Prof. Dr. Nurhasan, M. Kes. Humas Unesa Pemateri 1 : Dr. Praptono, M.Ed. (Direktur GTK Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Kemdikbud) Moderator: Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP. Notulen: Tim IT LP3M Pemateri 2 : Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. (Ketua Umum PB PGRI, Guru Besar di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta) Moderator: Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP. Notulen: Tim IT LP3M Pemateri 3 : Dr. Martadi, M.Sn. (Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Dosen di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya) Moderator: Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP. Notulen: Tim IT LP3M TANYA JAWAB PENUTUP vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i KATA PENGANTAR KETUA PANITIA ........................................................................... ii KATA PENGANTAR KETUA LP3M UNESA .................................................................. iii PANITIA PELAKSANA ...................................................................................................... iv SUSUNAN ACARA ............................................................................................................. vi DAFTAR ISI ......................................................................................................................... vii PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA ERA MERDEKA BELAJAR Praptono ............................................................................................................................... 1 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PADA ERA MERDEKA BELAJAR DI SMP NEGERI 20 SURABAYA Bangkit Irmanudin Bahri .................................................................................................. 6 MERDEKA BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN JASMANI SEBAGAI MATA PELAJARAN PENGEMBANGAN KARAKTER Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto .............................................................. 12 PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MEMBENTUK SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERKOMPETEN UNTUK MEMBANGUN NEGARA Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri ............................................................... 16 PEMBELAJARAN DI ERA MERDEKA BELAJAR TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF PESERTA DIDIK Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya ....................................... 21 STUDI LITERATUR MENGENAI KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN DALAM LINGKUP INDUSTRI DAN ORGANISASI DI ERA GENERASI MILLENIAL Alfira Tara Rachmaningtyas, Felisca Novitria ................................................................ 26 MEMBANGUN KARAKTER BERBASIS BUDAYA JAWA PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0, REVOLUSI SOCIETY 5.0, DAN “MERDEKA BELAJAR” Sri Sulistiani, Sukarman .................................................................................................... 34 PERUBAHAN KARAKTER SISWA SETELAH PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN (DARING) SELAMA MASA PANDEMI COVID-19 Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya .................................... 42 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA YANG MENGIKUTI ORGANISASI DAN SCHOOL FROM HOME Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta ....................................................................................................... 46 INTEGRASI PENDIDIKAN LIFE SKILL DENGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENGUATKAN KARAKTER SISWA SEKOLAH DASAR Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan ........................ 52 vii PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PROKRASTINASI AKADEMIK MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA ANGKATAN 2017 Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani .......................................................... 58 PEMBELAJARAN EMANSIPATORIS BAGI MAHASISWA DI PERGURUAN TINGGI BERBASIS LITERASI DIGITAL DI ERA MERDEKA BELAJAR Rr Nanik Setyowati ............................................................................................................. 63 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS MASALAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Nur Wahyu Rochmadi ........................................................................................................ 69 PENINGKATAN PADA PERILAKU KERJA INOVATIF MELALUI GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL (SEBUAH STUDI LITERATUR) Nadhira Hafiza Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah ....................................................... 79 PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN PERUSAHAAN: SEBUAH STUDI LITERATUR Akbar Habibie, Zulia Tasnim ............................................................................................ 86 PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN (DARING) BAGI PESERTA DIDIK DI ERA MERDEKA BELAJAR Listyaningsih ....................................................................................................................... 94 STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM DUNIA KERJA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa Husnianita .......................................................... 99 PERBEDAAN KETERLIBATAN KERJA DITINJAU DARI UNIT KERJA PADA KARYAWAN Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini ............. 105 HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DENGAN INNOVATIVE WORK BEHAVIOR PADA RELAWAN STREET CHILDREN FOUNDATION SIDOARJO Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla ........................................................................ 110 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI MELALUI PRAKTIK PENGAJARAN YANG BERWAWASAN DEMOKRATIS Maya Mustika Kartika Sari ............................................................................................... 117 KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA: SEBUAH STUDI LITERATUR Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab ................................................................. 122 STRUKTUR DALAM MENULIS OPINI: MERDEKA BEROPINI DALAM MENDESKRIPSIKAN SESEORANG Norita Prasetya Wardhani, Hardono ................................................................................ 127 viii PENGARUH ANALISIS JABATAN UNTUK MENENTUKAN SPESIFIKASI JABATAN DALAM SUATU ORGANISASI : SEBUAH STUDI LITERATUR Muhammad Vandif Abdurrahman Syah, Raditya Seta Sukma .................................... 131 STUDI LITERATUR MENGENAI PENILAIAN KEBUTUHAN PELATIHAN (TNA) TERHADAP PRODUKTIVITAS KINERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya .................................................................................. 136 FAKTOR-FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI DISIPLIN KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN DAPAT Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani ............................................................. 145 PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI MAHASISWA ILMU HUKUM PADA ERA MERDEKA BELAJAR Muh Ali Masnun ................................................................................................................. 150 STUDI LITERATUR: ANALISIS PERAN KEPEMIMPINAN DALAM MENINGKATKAN KINERJA PEGAWAI SEBAGAI BENTUK KESUKSESAN BAGI PERUSAHAAN Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah ............................................ 155 PENGEMBANGAN LITERASI MORAL PESERTA DIDIK DENGAN BIMBINGAN KONSELING PERKEMBANGAN Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti ............................................................... 160 HUBUNGAN SELF COMPASSION UNTUK MENINGKATKAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA MAHASISWA ORGANISASI UNESA I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro .................................... 165 HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASI DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER MAHASISWA Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul 'Alimah ............................................................ 170 TRADISI GAWI ADAT DAN IMPLIKASINYA DALAM MKU PENDIDIKAN ETIKA DAN KEARIFAN LOKAL Farida Ariyani, Edi Siswanto, Siska Mega Diana ............................................................ 175 PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA ANGGOTA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN (HMJ) PSIKOLOGI UNESA Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri ....................................................................... 182 GAMBARAN RESILIENSI PADA BURUH PABRIK YANG MENGALAMI DAMPAK PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin ......................................................... 186 PENGARUH SELF LEARNING TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR PESERTA PELATIHAN DASAR CPNS ONLINE BMKG Juniarto Widodo ................................................................................................................. 195 ix BURNOUT DAN KOMITMEN TERHADAP TUGAS: TANTANGAN TENAGA MEDIS DALAM MENGHADAPI PANDEMI COVID-19 Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan .................................................... 199 PERAN PENTING KEPEMIMPINAN TERHADAP BUDAYA ORGANISASI GUNA MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DI TENGAH PESATNYA GLOBALISASI Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti .................................................................. 204 MENGIMPLEMENTASIKAN ENAM LANGKAH STRATEGIS DALAM PEMBELAJARAN SEBAGAI UPAYA UNTUK MENDIDIK ANAK BERKARAKTER Muhammad Akbar, Hasmiati ............................................................................................ 208 PENERAPAN KEPEMIMPINAN UNTUK MENCAPAI KEMAJUAN ORGANISASI (SEBUAH STUDI LITERATUR TENTANG KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI) Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti .......................................................................... 213 PERBEDAAN OCB DITINJAU DARI JENIS KELAMIN PADA ANGGOTA DPM FAKULTAS X UNESA Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawati .............................................................. 218 GAMBARAN KECENDERUNGAN KEMAMPUAN KERJASAMA AUD DI PPT SEKAR ARUM JAMBANGAN SURABAYA Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah .......................... 224 HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASI DENGAN PERILAKU INOVATIF PADA MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Erlina Yupra Handayani, Aulia Rahmah ......................................................................... 228 PENGARUH KEPUASAN KERJA DALAM MEMPENGARUHI KOMITMEN ORGANISASIONAL DITINJAU DARI TEORI KEPUASAN KERJA Gresya Agung Rakasiwi ..................................................................................................... 235 PENGARUH KONFLIK PERAN TERHADAP KESEHATAN MENTAL BAGI MAHASISWA YANG MENGIKUTI ORGANISASI UNESA Elang Dewantara, Agung Ruli Vebrianto ......................................................................... 240 DAMPAK COVID-19 TERHADAP PENERAPAN “BELAJAR DARING” PADA SISWA LUAR BIASA DI SD BANDAR KIDUL 2 KOTA KEDIRI Nabilla Bakda Mauludy ..................................................................................................... 244 STUDI LITERATUR ETOS KERJA PENGUSAHA MENGHADAPI DOMINASI ETNIK CINA DI INDONESIA MUSLIM DALAM Alaya Putri Ananda, Ciendya Putri Yuda Ramadhani ................................................... 248 PENTINGNYA KOMPETENSI KEPRIBADIAN BAGI GURU BK DALAM MEMBANGUN KARAKTER SISWA Cucu Kurniasih, Panji Nur Fitri Yanto, Bayu Selo Aji ................................................... 256 x PENGARUH STRES KERJA DALAM PEMILIHAN STRATEGI ANGGOTA HMJ PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA COPING Shima Zahrotunnisa', Atanasius Yudistira Putratama .................................................. 260 PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP DISIPLIN KERJA PADA ANGGOTA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN (HMJ) PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Risti Dwi Pramesti, Christina Ayu Wibisono ................................................................... 265 PENYESUAIAN DIRI SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN DARING DI SMA LABORATORIUM UNSYIAH PADA MASA PANDEMI COVID-19 Fajriani, Yulizar, Syaiful Bahri, Abu Bakar .................................................................... 271 PENGARUH KONFORMITAS TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF (CONSUMPTIVE BEHAVIOR) PADA MAHASISWA: SEBUAH STUDI LITERATUR Nadila Trisukma Devi, Sridewi Murni Agriyanti ............................................................ 279 PROYEK KARAKTERKU: MODEL PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI LEARNING FROM HOME DI ERA MERDEKA BELAJAR Oksiana Jatiningsih ............................................................................................................ 283 PENGARUH KEPUASAN KERJA DALAM MENINGKATKAN KARYAWAN PERUSAHAAN: SEBUAH KAJIAN LITERATUR KINERJA Martha Paula Veronika, Adela Alif Qintari ..................................................................... 290 STUDI LITERATUR MENGENAI MOTIVASI KERJA PADA KARYAWAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN Kusuma Purbaningtyas, Wiwin Muchollasho .................................................................. 295 AKTUALISASI NILAI NASIONALISME PANCASILA DI BLITAR DALAM PERAYAAN GREBEG Indah Iriani, Nur Wahyu Rochmadi ................................................................................. 301 STUDI LITERATUR: ANALISIS GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KOMITMEN ORGANISASI DALAM MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN Elsa Hutabarat, Julia Fatmawati ...................................................................................... 310 PERBEDAAN KOMITMEN AFEKTIF DITINJAU DARI USIA PADA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Putri Ramadhany, Rizky Dewantoro ................................................................................. 314 PERBEDAAN KOMITMEN AFEKTIF DITINJAU ANGGOTA DPM FIP UNESA 2019 DARI GENDER PADA Anggi Raylian Arum, Farisa Nur Amarina ...................................................................... 322 MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS VBA PADA POKOK BAHASAN ASAS BLACK : CERMINAN IMPLEMENTASI MERDEKA BELAJAR xi Farihun Ni'mah, Rifa Salsabila Amani ............................................................................. 329 KAJIAN LITERATUR MENGENAI DAMPAK KOMITMEN ORGANISASI PADA KINERJA KARYAWAN DI SUATU PERUSAHAAN Adisti Dian Safitri, Cici Fauziah Agustin .......................................................................... 334 EFEKTIVITAS MANAJEMEN STRATEGIS ORGANISASI PADA ORGANISASI MAHASISWA DI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA SEBAGAI BENTUK PERENCANAAN SDM Tasya Firly Febriana, Indah Nur Izzati ............................................................................ 339 PENEREPAN MODEL ROLE PLAYING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV MIN 17 PIDIE Nanda Saputra, Miswar Saputra ....................................................................................... 346 HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA PADA HMJ PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Yeni Febriani, Erlina Batari .............................................................................................. 352 E-LEARNING MATA KULIAH SUBTITLING PRODI SASTRA INGGRIS Mamik Tri Wedawati, Adam Damanhuri ........................................................................ 357 GAYA KEPEMIMPINAN DI LINGKUNGAN KERJA DAN ORGANISASI PADA ERA KEMERDEKAAN BELAJAR: STUDI LITERATUR Nurul Khoiriyah, Dinda Ayu Damayanti ......................................................................... 363 SEBUAH STUDI LITERATUR: PENGARUH SELF EFFICACY PADA KARYAWAN TERHADAP KARAKTER SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PERUSAHAAN ATAU ORGANISASI Firda Dwi Ismiantari, Dya Wahyu Anggraeni, Sholekhania Novita Raniswati ........... 369 HUBUNGAN ANTARA PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS DENGAN KOMITMEN PROFESIONAL PADA GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Suhermin, Umi Anugerah Izzati ........................................................................................ 378 STUDI LITERATUR: ANALISIS TEORI PEMBERIAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI PERUSAHAAN Salsabila Citra Mahendro Putri, Alsheta Marcha Nurriyana ........................................ 384 MENUMBUHKAN KESADARAN MASYARAKAT DI ERA NEW NORMAL DALAM RANGKA PENINGKATAN IMUNITAS Arik Susanti, Anis Trisusana, Ririn Pusparini, Esti Kurniasih, Rahayu Kuswardani, Inda Nur Abidah ................................................................................................................. 390 STUDI LITERATUR: ANALISIS PENGARUH PEMBERIAN MOTIVASI KERJA TERHADAP HASIL KINERJA DAN PRESTASI KERJA KARYAWAN Ayucitra Jalesveva Widyataqwa, Dwiyani Az Zahroh ..................................................... 395 IMPLEMENTASI MEDIA PEMBELAJARAN ONLINE YANG DIGUNAKAN OLEH DOSEN SELAMA PANDEMI COVID 19 Rochmawati, Luqman Hakim, Agung Listiadi, Eko Wahjudi, Vivi Pratiwi ................ 399 xii HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN DISIPLIN KERJA PADA DRIVER OJEK ONLINE DI SURABAYA Jesica Nur Azizah, Anisa Eka Septiningwulan ................................................................ 403 IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN ONLINE DALAM MASA PANDEMIK COVID 19 Denok Sunarsi, Hadion Wijoyo, Fikron Al Choir ............................................................ 411 xiii PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA ERA MERDEKA BELAJAR Praptono Direktur GTK Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud, mpraptono@gmail.com Abstrak Pendidikan karakter menjadi suatu kunci dalam mempererat pembangunan sumber daya manusia di Indonesia, sehingga perlu meningkatkan urgensi terhadap pentingnya penerapan pendidikan karakter. Arah kebijakan pendidikan karakter di Indonesia secara operasional kebijakan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 87/2017 tentang “Penguatan Pendidikan Karakter”, dengan konten utama pendidikan karakter, terdapat pada Pasal 3 Perpres No.87/2017. Berdasarkan dari Peraturan Presiden No. 87/2017 tersebut, maka Kemendikbud memiliki gagasan untuk mengembangkan platform pendidikan nasional yang mana jiwa utama dalam menyelenggarakan pendidikan ialah pendidikan karakter. Rencana strategis kemendikbud tahun 2020-2024 yaitu menciptakan Pelajar Pancasila dengan pewujudan atas serangkaian kebijakan dalam Merdeka Belajar. Keberhasilan dalam menciptakan pendidikan karakter berada pada bagaimana kepiawaian guru dalam menjadi inspirasi dan teladan yang baik bagi setiap murid, dengan demikian kebijakan merdeka belajar akan menjadi sangat relevan dalam mensukseskan pendidikan karakter. Kata Kunci: pendidikan karakter, kemendikbud, merdeka belajar. PENDAHULUAN Urgensi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter sekarang ini semakin disadari urgensinya bagi pembangunan sumberdaya manusia. Secara teoritis, sudah cukup banyak studi yang menunjukkan urgensi pendidikan karakter dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Studi yang dilakukan Marvin Berkowitz dan Melinda C Bier (2005) dari University of Missouri Saint Louis, Amerika, menunjukkan sekolah- sekolah yang menerapkan pendidikan karakter secara komprehensif mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan motivasi murid dalam meraih prestasi akademik dan penurunan drastis pada perilakuk negatif yang menghambat keberhasilan akademik. Studi ini sejalan dengan penemuan Joseph Zins, at.al (2004) bahwa faktor kegagalan murid, bukanlah pada kecerdasan otak melainkan pada kelemahan karakter, seperti rasa percaya diri dan motivasi yang kurang, kurang mampu bekerjasama, kurang mampu komunikasi, kurang rasa empati dan seterusnya. Pendapat senada juga dikemukakan Daniel Goleman (2018) tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, di mana 80 persen dipengaruhi kecerdasan emosi dan hanya 20 persen ditentukan kecerdasan otak. Penelitian tersebut seakan terkonfirmasi dengan bukti empiris dari beberapa negara yang sejak awal sudah memperkenalkan pendidikan karakter sejak dini, seperti Korea Selatan, Singapura, Cina dan seterusnya. Korea Selatan umpamanya, terkenal dengan kewajiban anak usia antara 18-28 tahun untuk masuk pendidikan wajib militer. Beberapa penelitian tersebut di atas sebetulnya melengkapi beberapa teori tetang modal manusia (human capital). Kalau Schultz (1961), Becker (1964) dan ilmuwan generasi seangkatannya masih menekankan pentingnya lama pendidikan dalam meningkatkan pendapatan maka generasi selanjutnya yang dipelopori oleh Hanushek dan Woessman (2007) mulai menekankan pentingnya mutu pendidikan (bukan akses pendidikan) yang akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan. Dan sekarang, mulai berkembang, pendekatan pendidikan karakter sebagai kunci memperkuat pembangunan sumber daya manusia. Arah Kebijakan Indonesia sudah cukup lama menyadari pentingnya pendidikan karakter. Masalah ini sudah diletakkan sebagai titik sentral dalam tujuan pendidikan. Hal itu digariskan dalam Pasal 31 ayat (3) Amandemen UUD 1945 yang menyebutkan, “ pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Amanah konstitusi ini menyiratkan bahwa tujuan utama pendidikan sebetulnya adalah pendidikan karakter yang tercermin dalam peningkatan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Setelah itu, barulah membangun kecerdasan bangsa. Tekanan kepada pendidikan karakter ini dipertegas dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana tujuan pendidikan dirumuskan sebagai berikut: 1 Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar Praptono “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Kalau memperhatikan rumusan tujuan pendidikan ini, maka aspek yang paling banyak dari tujuan pendidikan nasional justru terletak pada pendidikan karakter, seperti kata “beriman dan bertakwa”, “berakhlak mulia”, “cakap”, “kreatif”, “bertanggungjwab” dan “menjadi warga negara demokratis”. Sementara itu, aspek yang mengarah kepada kecerdasan intelligence atau cognitive skills hanya terwakili dalam kata “berilmu”. Bagaimana arah kebijakan pendidikan karakter di Indonesia? Rumusan kebijakan operasionalnya tertuang dalam Peraturan Presiden No. 87/2017 tentang “Penguatan Pendidikan Karakter”. Konten utama pendidikan karakter, menurut Pasal 3 Perpres No.87/2017 adalah sebagai berikut: PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meiiputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungiawab Rumusan ini cukup panjang, yang kalau disederhanakan dapat dikelompokkan dalam dua bagian. Konten yang terkait dimensi individual dan konten yang berdimensi sosial. Menurut hemat kami, pembagiannya adalah sebagai berikut: Dimensi Individual 1) Jujur, 2) Toleran, 3) Disiplin, 4) Bekerja keras, 5) Kreatif mandiri, 6) Rasa ingin tahu, 7) Gemar membaca, 8) Bertanggung jawab. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Dimensi Sosial Demokratis, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Komunikatif, Cinta damai, Peduli lingkungan, Peduli sosial. Seperangkat nilai yang terumuskan di atas merupakan formulasi dari nilai-nilai yang bersifat universal dan nilai-nilai yang bersifat lokal. Jujur, disiplin, kreatif, mandiri, bekerja keras dan bertangungjawab umpamanya, merupakan nilai kebaikan individu yang ada dalam masyarakat manapun dan juga merupakan nilai yang berkembang dalam ajaran agama. Rasanya, tak ada masyarakat atau ajaran agama yang menolak kebaikan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai semacam ini boleh dikatakan bersifat universal. Meskipun demikian, terdapat nilai-nilai yang bersifat khas suatu masyarakat yang selanjutnya menjadi ciri khas masyarakat tersebut. Nilai ini bukan berarti tidak ada dalam masyarakat lain, melainkan dalam masyarakat tertentu mendapat penguatan. Masyarakat Indonesia umpamanya, di samping terkenal dengan masyarakat yang kuat nilai keagamaannya juga sangat terkenal dengan nilai kegotongroyongan atau solidaritas sosial tanpa membedakan latar belakang suku dan agama. Di sini nilai kegotongroyongan berjalan seiring dengan nilai-nilai toleransi dan pluralisme dan dalam konstruksi modern berdampingan dengan nilai- nilai demokratis. Kekhasan Indonesia selanjutnya adalah semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Seperangkat nilai tersebut, diharapkan tertanam dalam diri peserta didik sehingga mampu menjadi acuan sikap dan perilaku sehingga membentuk karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan atau budi pekerti yang dapat membedakan seseorang dengan yang lain (2008:639). Makna senada juga ditemukan dalam Oxford Dictionary yang mendeskripsikan karakter sebagai the mental and moral qualities distinctive to an individual; the distinctive nature of something; the quality of being individual in an interesting or unusual way; strength and originality in a person’s nature; a person’s good reputation (kualitas mental dan moral yang khas pada seseorang; sifat khas sesuatu; kualitas individu dalam pandangan yang menarik atau tidak biasa; kekuatan dan orisinalitas dalam diri seseorang; reputasi yang baik seseorang). Secara sederhana, karakter adalah nilainilai moral tertentu yang mampu membentuk sikap seseorang dan sikap tersebut mewujud dalam perilaku sehari-hari. Saluran apakah yang digunakan dalam menanamkan nilai-nilai tersebut ? Perpres No. 87/2017 telah menggariskan bahwa untuk menanamkan nilai-nilai tersebut di atas, harus diupayakan melalui sistem pendidikan. Pasal 3 Perpres No.87/2017 menggariskan tujuan pendidikan karakter adalah sebagai berikut: 2 Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar Praptono a. Membangun dan membekali Peserta Didik sebagai generasi emas Indonesia Tahun 2045 dengan jiwa Pancasla dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan; b. Mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi Peserta Didik dengan dukungan pelibatan publik yang dilakukan melalui pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia; dan c. Merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, Peserta Didik, masyarakat, dan lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK. Dari tiga poin di atas, terlihat sistem pendidikan menjadi tumpuan utama pendidikan karakter. Hal ini sangat wajar karena sistem pendidikan merupakan institusi paling strategis dalam pendidikan karakter. Dan sebagaimana disebutkan dalam tujuan diatas, jalur pendidikan yang digunakan meliputi keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan formal, nonformal dan informal. Terkait pendidikan formal, maka penyelenggaraannya harus terintegrasi dengan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstra kurikulum. PEMBAHASAN Kemendikbud dan Pendidikan Karakter Sebagaimana amanah Perpres No. 87/2017, maka Kemendikbud harus mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan. Amanah ini diterjemahkan menjadi visi Kemendikbud yaitu “terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global”. Kalau kita cermati visi ini, maka akan tampak bahwa sebagian besar nilainilai yang hendak ditanamkan kepada Pelajar Pancasila adalah nilai-nilai yang terkait dengan pendidikan karakter, seperti beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri dan kreatif. Dalam Rencana Strategis Kemendikbud 2020-2024, Pelajar Pancasila digambarkan sebagai berikut Gambar 1 Pelajar Pancasila Sumber: Renstra Kemendikbud 2020-2024 Gambaran ideal Pelajar Pancasila tersebut hendak diwujudkan melalui serangkaian kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan Merdeka Belajar dapat terwujud secara optimal melalui: 1) Peningkatan kompetensi kepemimpinan, kolaborasi antar elemen masyarakat, dan budaya; 2) Peningkatan infrastruktur serta pemanfaatan teknologi di seluruh satuan pendidikan; 3) Perbaikan paa kebijakan, prosedur, dan pendanaan pendidikan; dan 4) Penyempurnaan kurikulum, pedagogi, dan asesmen. Perubahan yang diusung oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan terjadi pada kaegori: 1) Ekosistem pendidikan; 2) Guru; 3) Pedagogi; 4) Kurikulum; dan 5) Sistem penilaian Pada ekosistem pendidikan, Kemendikbud akan mengubah pandangan dan praktik yang bersifat mengekang kemajuan pendidikan, seperti penekanan pada pengaturan yang kaku, persekolahan sebagai tugas yang memberatkan, dan manajemen sekolah yang terfokus pada urusan internalnya sendiri menjadi ekosistem pendidikan yang diwarnai oleh suasana sekolah yang menyenangkan, keterbukaan untuk melakukan kolaborasi lintas pemangku kepentingan pendidikan, dan keterlibatan aktif orang tua murid dan masyarakat. Berkaitan dengan guru, Kebijakan Merdeka Belajar akan mengubah paradigma guru sebagai penyampai informasi semata menjadi guru sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar. Dengan demikian guru memegang kendali akan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di ruang kelasnya masing-masing. Penghargaan setinggi-tingginya bagi profesi guru sebagai fasilitator dari beragam sumber pengetahuan akan diwujudkan melalui pelatihan guru berdasarkan praktik yang nyata, penilaian kinerja secara holistik, dan pembenahan kompetensi guru. 3 Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar Praptono Dalam hal pedagogi, Kebijakan Merdeka Belajar akan meninggalkan pendekatan standardisasi menuju pendekatan heterogen yang lebih paripurna memampukan guru dan murid menjelajahi khasanah pengetahuan yang terus berkembang. Murid adalah pemimpin pemelajaran dalam arti merekalah yang membuat kegiatan belajar mengajar bermakna, sehingga pemelajaran akan disesuaikan dengan tingkatan kemampuan siswa dan didukung dengan beragam teknologi yang memberikan pendekatan personal bagi kemajuan pemelajaran tiap siswa, tanpa mengabaikan pentingnya aspek sosialisasi dan bekerja dalam kelompok untuk memupuk solidaritas sosial dan keterampilan lunak (soft skills). Dengan menekankan sentralitas pemelajaran siswa, kurikulum yang terbentuk oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan berkarakteristik fleksibel, berdasarkan kompetensi, berfokus pada pengembangan karakter dan keterampilan lunak, dan akomodatif terhadap kebutuhan DU/DI. Sistem penilaian akan bersifat formatif/mendukung perbaikan dan kemajuan hasil pemelajaran dan menggunakan portofolio. Dalam pendidikan karakter ada empat aspek filosofi pendidikan yang ditanamkan (olah hati, olah raga, olah karsa, dan olah pikir) dan lima nilai utama (religiositas, integritas, nasionalisme, gotong royong, dan kemandirian) yang menjadi fokus dalam pembentukan karakter seperti terlukis dalam gambar berikut ini. Gambar 2 Skema Penguatan Pendidikan Karakter Sumber: Renstra Kemendikbud 2020-2024 Penguatan Pendidikan Karakter dilaksanakan melalui pendekatan guru dan siswa secara langsung melalui kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler pada setiap jenjang pendidikan. a. Intrakurikuler Merupakan penguatan nilai-nilai karakter melalui kegiatan penguatan materi pembelajaran, metode pembelajaran sesuai dengan muatan kurikulum. b. Kokurikuler • Merupakan penguatan nilai-nilai karakter yang dilaksanakan untuk pendalaman dan/ atau pengayaan kegiatan Intrakurikuler sesuai muatan kurikulum. • Dapat dilakukan melalui kerja sama antar Satuan Pendidikan formal, dengan satuan Pendidikan Nonformal dan dengan lembaga keagamaan atau lembaga lain yang terkait seperti lembaga pemerintahan, lembaga kursus dan pelatihan, sanggar budaya, perkumpulan/organisasi kemasyarakatan, dunia usaha/dunia industri, dan/atau organisasi profesi terkait. c. Ekstrakurikuler • Merupakan penguatan nilai-nilai karakter dalam rangka perluasan profesi, bakat minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan kemandirian Peserta Didik secara optimal. • Meliputi kegiatan krida, karya ilmiah, latihan olah bakat/olah minat, dan kegiatan keagamaan seperti pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi, retreat, dan/atau baca tulis Al-Quran dan kitab suci lainnya. Penguatan pendidikan karakter tersebut diatas dilaksanakan dengan prmslp manajemen berbasis sekolah di mana yang menjadi tanggungjawab penyelenggaraan adalah kepala satuan Pendidikan dan guru. Penyelenggaraan pendidikan karakter pada satuan pendidikan formal dilaksanakan selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu dengan mempertimbangkan a) kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; b) ketersediaan sarana dan prasarana; c) kearifan lokal; dan d) pendapat tokoh agama atau tokoh masyarakat di luar komite sekolah. Kalau memperhatikan garis besar arah kebijakan pendidikan karakter sebagaimana diuraikan diatas, maka keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh kepiawaian guru untuk menjadi inspirasi dan teladan bagi murid-muridnya. Dan untuk itu, kebijakan merdeka belajar menjadi sangat relevan. PENUTUP Simpulan Berdasarkan dalam Pasal 31 ayat (3) Amandemen UUD 1945 yang menyebutkan, “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Amanah konstitusi ini menyiratkan bahwa tujuan utama pendidikan 4 Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar Praptono sebetulnya adalah pendidikan karakter yang tercermin dalam peningkatan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Tekanan kepada pendidikan karakter ini dipertegas dalam UU No.202003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana tujuan pendidikan dirumuskan sebagai berikut: “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Memperhatikan rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka aspek yang paling banyak dari tujuan pendidikan nasional justru terletak pada pendidikan karakter, seperti kata “beriman dan bertakwa”, “berakhlak mulia”, “cakap”, “kreatif”, “bertanggungjwab” dan “menjadi warga negara demokratis”. Perubahan yang diusung oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan terjadi pada kaegori: 1) Ekosistem pendidikan; 2) Guru; 3) Pedagogi; 4) Kurikulum; dan 5) Sistem penilaian Pada ekosistem pendidikan. Kemendikbud akan mengubah pandangan dan praktik yang bersifat mengekang kemajuan pendidikan, seperti penekanan pada pengaturan yang kaku, persekolahan sebagai tugas yang memberatkan, dan manajemen sekolah yang terfokus pada urusan internalnya sendiri menjadi ekosistem pendidikan yang diwarnai oleh suasana sekolah yang menyenangkan, keterbukaan untuk melakukan kolaborasi lintas pemangku kepentingan pendidikan, dan keterlibatan aktif orang tua murid dan masyarakat. Joseph E. Zins, Roger P. Weissberg, et al. (2004). Building Academic Success on Social and Emotional Learning: What Does the Research Say? New York: Teachers College Press. Majelis Permusyawaratan Rakyat.(2017). UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia. Jakarta: MPR. Oxford English and Spanish Dictionary, Thesaurus, and Spanish to English Translator https://www.lexico.com/definition/character Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020- 2024 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang “Penguatan Pendidikan Karakter”. Schultz, T.W. (1961). “Investment in Human Capital”. American Economic Review, Vol. 51. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional” DAFTAR PUSTAKA Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016) Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://kbbi.kemdikbud.go.id/ Becker, Gary S. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis with Special Reeference to Education. Chicago and London: The University of Chicago Press Berkowitz, Marvin dan Melinda C Bier. (2005). What works in character education: A research-driven guide for educators. Washington, DC: Character Education Partnership Goleman, Daniel. (2018) Emotional Intelligence. Jakarta: Pustaka Utama Gramedia. Hanushek, Eric dan Woessman (2007). Education Quality and Economic Growth. Washington DC: World Bank Group. https://doi.org/10.1080/15507394.2019.1626211 5 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PADA ERA MERDEKA BELAJAR DI SMP NEGERI 20 SURABAYA Bangkit Irmanudin Bahri SMP Negeri 20 Surabaya, bangkit.bahri@gmail.com Abstrak Proses pendidikan secara filsafati merupakan semua hal yang berkaitan dengan usaha manusia untuk mengerti dan memahami hakikat sebuah pendidikan. Filsafat pendidikan erat hubungannya dengan proses pelaksanaan pendidikan yang baik dan tujuan pendidikan dapat tercapai seperti yang dicitacitakan. Upaya peningkatan kualitas pendidikan sesungguhnya dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang dilaksanakan, sehingga pembelajaran yang ideal yaitu mengedepankan kebermaknaan dan kemanfaatan bagi pembelajar atau siswa. Saat ini menteri pendidikan dan kebudayaan berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan dua hal yaitu merdeka belajar dan program guru penggerak. Merdeka belajar adalah unit pendidikan yang terdiri atas sekolah, guruguru, dan siswanya punya kebebasan untuk berinovasi, serta kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Demi mewujudkan program merdeka belajar itu SMP Negeri 20 Surabaya mengembangkan bahan ajar berbasis jaringan yang diberi nama e learning SMP Negeri 20 Surabaya dengan menggunakan program Moodle. Pengembangan bahan ajar ini bertujuan pada aktivitas modernisasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi yang diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran secara produktif, efektif, interaktif, inspiratif, konstruktif, dan suasana yang menyenangkan. Kata Kunci: pendidikan, pembelajaran, sumber ajar. PENDAHULUAN Guru adalah pendidik profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, memberikan pengarahan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Semua tugas utama guru itu terangkai dalam proses kegiatan pembelajaran. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran, misalnya kreativitas guru dalam menggunakan model, metode, dan media pembelajaran yang menarik untuk menumbuhkan minat belajar siswa. Pemilihan dan penggunaan model, metode, dan media pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran dapat mengoptimalkan proses pembelajaran serta pencapaian tujuan pembelajaran. Guru dituntut mengembangkan kreativitasnya dalam melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Menurut Bahri (2017: 540), kurikulum yang dilaksanakan sebaiknya kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan, kebudayaan, minat, dan kondisi psikis peserta didik. Pada umumnya fungsi guru sudah dijabarkan sebelumnya, namun masih terdapat fungsi lain yaitu terkandung dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni (1) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa; (2) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; (3) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (4) memelihara komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; serta (5) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan dua hal yaitu merdeka belajar dan program guru penggerak. Merdeka belajar adalah unit pendidikan yang terdiri atas sekolah, guru-guru, dan siswanya punya kebebasan untuk berinovasi, serta kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Proses pembelajaran sesungguhnya memiliki peran penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga pembelajaran yang diselenggarakan dengan mengedepankan kebermaknaan dan kemanfaatan bagi pembelajar. Hal tersebut diharapkan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang dapat menstimulasi kemampuan peserta didik dalam mengeksplorasi dan menggali potensinya secara optimal dengan kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Menurut Sungkono, dkk. (2003: 1) pengembangan bahan ajar akan membantu guru agar pembelajaran lebih efektif, efisien, dan tidak melenceng dari kompetensi yang ingin dicapainya. Pada saat ini metode pembelajaran yang masih dominan digunakan oleh guru dalam mengajar, misalnya metode ceramah. Pembelajaran dengan metode ceramah menyebabkan menurunkan minat 6 Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya Bangkit Irmanudin Bahri semangat belajar siswa, siswa kurang aktif dalam pembelajaran, serta siswa sulit dikendalikan saat pembelajaran, bosan, merasa takut, dan tidak percaya diri. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa model, metode, dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru perlu inovasi untuk menggunakan media pembelajaran yang efektif dan efisien. Pada kenyataannya guru kurang optimal dalam menggunakan media dan Iptek yang tersedia di sekolah. misalnya media LCD proyektor dan media konkret. Berdasarkan pengalaman sebagai guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran SMP Negeri 20 Surabaya, terdapat lima isu yang teridentifikasi, antara lain (1) rendahnya pengetahuan dan keterampilan siswa dalam proses pembelajaran, (2) guru kurang variatif dan inovatif dalam penyampaian materi, (3) kurang optimalnya penggunaan Iptek dalam proses pembelajaran, (4) rendahnya fokus siswa pada kegiatan belajar yang berbasis teacher center, dan (5) masih kurangnya motivasi belajar siswa dalam pembelajaran yang berbasis konvensional. Isu-isu tersebut dianalisis menggunakan teknik AKPL untuk mengetahui isu mana yang dominan nilainya. Berdasarkan penetapan isu dengan menggunakan teknik AKPL, beberapa isu yang dominan akan dianalisis menggunakan teknik USG. Berdasarkan analisis teknik USG tersebut, maka dirumuskan isu yang paling dominan. Solusi yang diharapkan bisa mengatasi isu-isu dalam pembelajaran di SMP Negeri 20 Surabaya adalah pembuatan bahan ajar melalui e-learning atau pembelajaran berbasis elektronik. E-learning adalah suatu sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar. Keuntungan penyusunan bahan ajar menggunakan sistem e-learning antara lain, (1) lebih mudah diserap dengan adanya fasilitas multimedia; (2) lebih efektif dalam pembiayaan, yaitu tidak perlu instruktur, tidak perlu minimum audiensi, bisa dimana saja dan kapan saja, mudah untuk diperbanyak; (3) lebih ringkas dengan tidak banyak aturan formal di kelas, langsung pada pokok pembahasan, materi pelajaran sesuai kebutuhan; serta (4) tersedia waktu yang longgar, karena penguasaan materi tergantung pada keinginan dan kemampuan pemahaman siswa, mudah dimonitor, dan bisa diuji dengan tes elektronik. Pembuatan bahan ajar melalui e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya menggunakan aplikasi Moodle. Aplikasi ini adalah sistem pengelolaan pembelajaran yang bertujuan untuk memudahkan pembuatan, pendistribusian, dan penilaian tugas siswa secara paperless. E learning SMP Negeri 20 Surabaya memiliki fungsi sebagai media pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dan siswa untuk menciptakan kelas online atau kelas virtual. Pada dasarnya guru dapat memberikan bahan ajar yang diterima secara langsung oleh siswa. Berdasarkan uraian tersebut, maka disusun artikel dengan judul “Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya” METODE Penelitian ini bersifat kualitatif dengan dasar peneliti melakukan pengamatan terhadap kondisi yang alamiah. Penelitian kualitatif ini diterapkan dengan tujuan untuk menghasilkan data deskriptif berupa pengungkapan kata bersifat tulis atau lisan dan perilaku dari orangorang yang bisa diamati. Creswell (2014: 8) mengatakan, penelitian kualitatif adalah bentuk kegiatan penelitian yang menempatkan peneliti di dunia nyata. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa pengamatan langsung dan dokumentasi. Penelitian ini dilakukan berdasarkan keadaan pembelajaran di SMP Negeri 20 Surabaya dan dokumentasi teori-teori pembelajaran. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik AKPL dan USG. Menurut Idris, Irfan. dkk. (2017), AKPL yaitu A (Aktual), K (Kekhalayakan), P (Problematik), L (Kelayakan) dan USG, yaitu Urgency (U), Seriousnes (S), dan Growth (G). HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini adalah bentuk penyampaian hasil dan pembahasan penelitian mengenai pengembangan bahan ajar pada era merdeka belajar di SMP Negeri 20 Surabaya. Hasil dan pembahasan ini disampaikan melalui tiga sub-bab sebagai berikut ini. Analisis Isu Kegiatan Pembelajaran di SMP Negeri 20 Surabaya Berdasarkan pengalaman melaksanakan tugas sebagai guru dalam kegiatan pembelajaran di SMP Negeri 20 Surabaya, ditemukan beberapa isu di antaranya sebagai berikut. 1. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan siswa, 2. Guru kurang variatif dan inovatif dalam penyampaian materi pembelajaran. 3. Kurang optimalnya penggunaan Iptek dalam proses pembelajaran. 4. Rendahnya fokus siswa pada kegiatan belajar yang berbasis teacher center. 5. Masih kurangnya motivasi belajar siswa dalam pembelajaran yang berbasis konvensional. 7 Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya Bangkit Irmanudin Bahri Langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan isu mana yang akan menjadi prioritas utama yang dapat dicarikan solusi berdasarkan peran dan wewenang sebagai guru. Proses identifikasi isu tersebut menggunakan teknik AKPL yaitu A (Aktual), K (Kekhalayakan), P (Problematik), L (Kelayakan) untuk mengetahui isu mana yang dominan nilainya. Tabel 1 Identifikasi Isu Menggunakan Teknik AKPL No Isu 1 Masih kurangnya motivasi belajar siswa dalam pembelajaran yang berbasis konvensional. Guru kurang variatif dan inovatif dalam penyampaian materi pembelajaran. Kurang optimalnya penggunaan Iptek dalam proses pembelajaran. Rendahnya fokus siswa pada kegiatan belajar yang berbasis teacher center. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan siswa dalam pelajaran, 2 3 4 5 A K P L Total 5 4 3 2 14 3 5 1 4 13 2 1 4 5 12 3) Cukup berkaitan hajat hidup orang banyak 4) Berkaitan hajat hidup orang banyak 5) Sangat berkaitan hajat hidup orang banyak Problematik: 1) Permasalahan sederhana 2) Permasalahan kurang kompleks 3) Permasalahan cukup kompleks, namun tidak perlu segera diberikan solusi 4) Permasalahan kompleks 5) Permasalahan sangat kompleks. sehingga segera perlu diberikan solusi Kelayakan: 1) Masuk akal 2) Realitas 3) Cukup masuk akal dan realistis 4) Masuk akal dan realistis 5) Masuk sangat kompleks, sehingga perlu diberikan solusinya Berdasarkan penetapan isu dengan menggunakan teknik AKPL. maka dapat dikerucutkan menjadi tiga isu. Proses selanjutnya tiga isu tersebut diidentifikasi menggunakan teknik USG, yaitu Urgency (U), Seriousnes (S), dan Growth (G) untuk mendapatkan isu paling dominan. Tabel 2 Identifikasi Isu Menggunakan Teknik USG No 1 1 2 5 3 11 2 4 3 2 1 10 Kriteria penetapan indikator AKPL, antara lain sebagai berikut: Aktual: 1) Benar-benar pernah terjadi 2) Benar-benar sering terjadi 3) Benar-benar terjadi, namun bukan menjadi bahan pembicaraan 4) Benar-benar terjadi dan terkadang menjadi bahan pembicaraan 5) Benar-benar terjadi dan hangat dibicarakan Kekhalayakan: 1) Tidak berkaitan hajat hidup orang banyak 2) Sedikit berkaitan hajat hidup orang banyak 3 Isu Masih kurangnya motivasi belajar siswa dalam pembelajaran yang berbasis konvensional. Guru kurang variatif dan inovatif dalam penyampaian materi pembelajaran. Kurang optimalnya penggunaan Iptek dalam proses pembelajaran. U S G Total 5 4 3 12 3 2 4 9 4 3 1 8 Kriteria penetapan indikator USG, antara lain sebagai berikut. Urgency: 1) Tidak penting 2) Kurang penting 3) Cukup penting 4) Penting 5) Sangat penting Seriousness 8 Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya Bangkit Irmanudin Bahri 1) Timbul akibat yang tidak serius 2) Timbul akibat yang kurang serius 3) Timbul akibat yang cukup serius 4) Timbul akibat yang serius 5) Timbul akibat yang sangat serius Growth 1) Tidak berkembang 2) Kurang berkembang 3) Cukup berkembang 4) Berkembang 5) Sangat berkembang Berdasarkan analisis teknik AKPL dan USG yang telah dilaksanakan, maka simpulan yang diperoleh mengarah pada isu masih kurangnya motivasi belajar siswa dalam pembelajaran yang berbasis konvensional. Isu ini yang mendasari penyusunan bahan ajar menggunakan e learning SMP Negeri 20 Surabaya. Persiapan E Learning SMP Negeri 20 Surabaya Tahap kegiatan sosialisasi e-learning SMP Negeri 20 Surabaya ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan komitmen guru dan siswa untuk melaksanakan prosedur, maupun keterampilan guru dan siswa dalam melaksanakan elearning di SMP Negeri 20 Surabaya. Sebelum memberikan sosialisasi, penulis membuat materi dalam bentuk artikel e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya dan video tutorial yang diunggah di Youtube. Kedua bentuk materi inilah yang akan dijadikan panduan bagi guru dan siswa dalam melaksanakan penerapan elearning di SMP Negeri 20 Surabaya. Gambar 1 Video Tutorial E Learning Proses berikutnya dilaksanakan koordinasi dengan kepala ruang komputer untuk melaksanakan sosialisasi. Pada saat sosialisasi disampaikan mengenai teknis penerapan e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya meliputi, pengertian, tujuan, tahapan sesuai dengan materi panduan yang telah disusun, dan cara pelaksanaan pembelajaran yang meliputi pengisian absensi, pemberian materi, penugasan, dan penilaian hasil belajar siswa. Media e-learning SMP Negeri 20 Surabaya menggunakan aplikasi moodle. Pengelolaan e-learning SMP Negeri 20 Surabaya dapat dipelajari dan dilaksanakan dengan memperhatikan langkah-langkah berikut ini. 1. Buka peramban kemudian masuk ke website SMP Negeri 20 Surabaya. 2. Pilih menu e-learning pada website SMP Negeri 20 Surabaya. 3. Login pada halaman e learning SMP Negeri 20 Surabaya menggunakan username dan password yang sudah disepakati. 4. Proses selanjutnya silakan mengelola proses pembelajaran pada e learning SMP Negeri 20 Surabaya. Gambar 2 Penampilan E Learning Pengelolaan e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya menggunakan aplikasi moodle ini dirancang untuk mempermudah interaksi guru dan siswa dalam dunia maya. Aplikasi ini memberikan kesempatan kepada para guru untuk mengeksplorasi gagasan keilmuan yang dimilikinya kepada siswa. Guru memliki keleluasaan waktu untuk membagikan kajian keilmuan dan memberikan tugas mandiri kepada siswa. Selain itu, guru juga dapat membuka ruang diskusi bagi para siswa secara online. Pengaplikasian moodle sebagai media e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya dapat digunakan oleh siapa saja yang tergabung dengan kelas tersebut. Kelas tersebut adalah kelas yang didesain oleh guru yang sesuai dengan kelas sesungguhnya atau kelas nyata di sekolah. Moodle menyediakan kelas bagi siapa saja yang memiliki akses ke dalam aplikasi ini. Mengaplikasikan e learning SMP Negeri 20 Surabaya dapat dipelajari dengan memperhatikan langkahlangkah berikut ini. 1. Guru dapat menambahkan siswa secara melalui enroll method, sedangkan siswa akan bisa mengikuti proses pembelajaran dengan login ke dalam aplikasi ini. 2. Guru dapat menerapkan presensi kehadiran siswa melalui fungsi attandance, memberikan materi 9 Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya Bangkit Irmanudin Bahri melalui fungsi page, dan melakukan penilaian dengan fungsi quiz. 3. Selain memberikan tugas, guru juga menyampaikan pengumuman atau informasi terkait dengan materi menggunakan topik pengumuman atau chat pribadi. 4. Siswa dapat melacak setiap tugas yang hampir mendekati batas waktu pengumpulan di laman tugas dan mulai mengerjakannya. 5. Guru dapat melihat dengan cepat siapa saja yang belum menyelesaikan tugas, serta memberikan masukan dan nilai langsung di kelas. Bahan Ajar E Learning SMP Negeri 20 Surabaya Pemanfaatan bahan ajar dalam proses pembelajaran memiliki peran penting. Peran tersebut menurut Belawati (2003: 14) meliputi peran bagi guru, siswa, dalam pembelajaran klasikal, individual, maupun kelompok. E learning SMP Negeri 20 Surabaya memberikan kesempatan kepada guru untuk menyusun bahan ajar secara elektronik atau pembelajaran berbasis komputer. Beberapa komponen dalam penyusunan bahan ajar pada e learning SMP Negeri 20 Surabaya sebagai berikut. Perangkat Pembelajaran Bagian perangkat pembelajaran ini merupakan bagian awal bahan ajar pada setiap mata pelajaran di e learning SMP Negeri 20 Surabaya. Perangkat pembelajaran ini berisikan komponen perangkat pembelajaran dan presensi kehadiran siswa. Bagian materi dan latihan soal ini adalah modul pembelajaran secara online atau pembelajaran berbasis komputer. Pada bagian awal modul ini disampaikan instruksi atau petunjuk pelaksanaan proses pembelajaran. Diharapkan instruksi ini bisa membantu siswa dalam mengikuti proses pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Salah satu cara untuk menarik perhatian siswa dilakukan dengan cara menampilkan gambar sampul mata pelajaran masing-masing. Gambar 4 Instruksi Pembelajaran Bagian materi dan latihan soal berikutnya berisikan mengenai materi yang dipadukan dengan lembar kerja siswa pada setiap bab atau materi yang diajarkan oleh setiap guru. Materi ini berisikan pokok pembahasan yang sama seperti penyampaian guru dalam satu tatap muka, sedangkan lembar kerja siswa dimaksudkan untuk mengukur pencapaian siswa mengenai materi yang disampaikan. Penyampaian materi pada e learning SMP Negeri 20 Surabaya ini bisa dipadukan Gambar 3 Komponen Perangkat Pembelajaran Komponen perangkat pembelajaran yang terdapat di e learning SMP Negeri 20 Surabaya terdiri atas 1) sampul, 2) lembar pengesahan, 3) visi misi sekolah, 4) kalender akademik, 5) jadwal pelajaran secara umum, 6) jadwal mengajar pribadi, 7) rencana pekan efektif, 7) program tahunan, 8) program semester, 9) kriteria ketuntasan minimal, 10) silabus, 11) rencana pelaksanaan pembelajaran, 12) daftar presensi siswa, 13) daftar penilaian siswa, 14) lembar kerja siswa, 15) bank soal, dan 16) media. Semua komponen perangkat pembelajaran itu berupa link yang dikaitkan dengan file yang tersimpan di aplikasi drive. Materi dan Latihan Soal antara teks, gambar, dan video. Gambar 5 Tampilan Materi dan LK Siswa Pada setiap akhir bagian setiap materi dan latihan soal akan diakhiri dengan penilaian harian. Sementara pada akhir semua materi dan latihan soal yang sesungguhnya bersamaan dengan akhir semester, maka disediakan penilaian akhir semester dan penilaian akhir tahun. Baik lembar kerja siswa maupun penilaian akhir semester dan penilaian akhir tahun memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk mengukur pencapaian siswa mengenai materi yang disampaikan. Penilaian pada e learning SMP Negeri 20 Surabaya telah disesuaikan dengan perkembangan pendidikan 10 Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya Bangkit Irmanudin Bahri saat ini, yaitu penilaian autentik dalam kurikulum 2013. Penilaian autentik atau authentic assessment adalah pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kusnandar (2013: 35) mengatakan, penilaian autentik merupakan proses penilaian yang melibatkan beberapa bentuk pengukuran kinerja yang mencerminkan belajar peserta didik, prestasi, motivasi, dan sikap yang sesuai dengan materi pembelajaran. Penilaian autentik juga mengajarkan kepada peserta didik tentang pembelajaran yang bermakna karena peserta didik dapat menjadikan segala aktivitas dari pembelajaran sebagai pengalaman belajar yang senantiasa diingatnya. PENUTUP Simpulan Pengembangan bahan ajar pada e-learning SMP Negeri 20 Surabaya menggunakan aplikasi moodle sesungguhnya dirancang untuk mempermudah interaksi guru dan siswa dalam dunia maya. Aplikasi ini memberikan kesempatan kepada para guru untuk mengeksplorasi gagasan keilmuan yang dimilikinya kepada siswa. Guru memiliki keleluasaan waktu untuk membagikan kajian keilmuan dan memberikan tugas mandiri kepada siswa. Selain itu, guru juga dapat membuka ruang diskusi bagi para siswa secara online. Berdasarkan hal tersebut, hasilnya akan memberikan kotribusi tersendiri bagi visi dan misi SMP Negeri 20 Surabaya. Kontribusi yang paling tampak adalah dapat mewujudkan proses pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi informasi, sehingga dapat mewujudkan SMP Negeri 20 Surabaya menjadi sekolah unggulan yang terpercaya melayani kebutuhan pendidikan masyarakat. pelajaran secara interaktif, produktif, efektif, inspiratif, konstruktif, dan menyenangkan. 2. Demi terwujudnya visi dan misi SMP Negeri 20 Surabaya menjadi sekolah unggulan yang terpercaya melayani pendidikan masyarakat, maka pembelajaran berbasis elektronik atau e-learning ini perlu dikembangkan secara sistemik. DAFTAR PUSTAKA Belawati, Tian dkk. (2003). Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Creswell, John W. (2015). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Memilih di Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Idris, Irfan. dkk. (2017). Modul Pelatihan Dasar Calon PNS Analisis Isu Kontemporer. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Bahri, Bangkit Irmanudin. (2017). Refleksi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesusastraan Jawa sebagai Pengembang Pendidikan Karakter Pembelajaran Bahasa Indonesia. (makalah). Malang: Seminar Nitisastra II Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Kunandar. (2013). Penilaian Autentik: Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: PT Grafindo Persada. Sungkono, dkk. (2003). Pengembangan Bahan Ajar. Yogyakarta: FIP UNY. Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Saran Pelaksanaan penelitian mengenai pengembangan bahan ajar di era merdeka belajar di SMP Negeri 20 Surabaya ini merupakan sebuah kegiatan yang terencana. Perlu adanya penyusunan rencana yang matang sebelum menyusun bahan ajar. Penyusunan bahan ajar tersebut akan berjalan lebih optimal dengan adanya koordinasi dan diskusi dengan pihak-pihak terkait. Saran setelah dilakukannya penelitian ini adalah berkaitan dengan pihak-pihak terkait sebagai berikut. 1. Setiap guru harus bisa mengembangan bahan ajar yang arahnya pada aktivitas modernisasi dengan bantuan teknologi komunikasi yang diharapkan dapat membantu siswa dalam mencerna materi 11 MERDEKA BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN JASMANI SEBAGAI MATA PELAJARAN PENGEMBANGAN KARAKTER Advendi Kristiyandaru Pendidikan Olahraga, Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Surabaya, advendikristiyandaru@unesa.ac.id Kolektus Oky Ristanto Pendidikan Olahraga, Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Surabaya, kolektusokyristanto@unesa.ac.id Abstrak Salah satu tujuan pendidikan jasmani menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 adalah meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan serta mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerja sama, percaya diri dan demokratis. Hal ini menjadi dasar bahwa mata pelajaran PJOK ini memiliki peranan yang sangat penting dalan perkembangan proses belajar peserta didik. Guru pendidikan jasmani harus mampu menjadi agen transformasi bagi peserta didik baik dalam pembelajaran maupun di luar jam mengajar. Selain menyampaikan materi sesuai dengan kurikulum, guru juga dituntut untuk meningkatkan pentingnya literasi fisik bagi peserta didik. Konsep merdeka belajar dapat menjadi pemicu bagi peserta didik untuk mengembangkan karakter melalui aktivitas jasmani yang muncul dalam pembelajaran PJOK maupun di rumah. Peserta didik dapat memilih aktivitas fisik yang akan dilakukan sesuai dengan kegemarannya, sesuai arahan penerapan literasi fisik yang diberikan oleh guru, salah satunya dengan memberikan contoh permainan tradisional kepada peserta didik. Kata Kunci: PJOK, karater, peserta didik PENDAHULUAN Pembelajaran pendidikan jasmani atau yang saat ini dikenal dengan istilah PJOK, sudah diajarkan mulai jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematis bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional (Rosdiani, 2013). Salah satu tujuan pendidikan jasmani menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 adalah meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan serta mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerja sama, percaya diri dan demokratis. Selaras dengan pendapat di atas, Kristiyandaru (2010) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran PJOK yakni: 1) memiliki karakter yang kuat; 2) memiliki kepribadian yang kuat; 3) mempunyai kemampuan berpikir kritis, sikap sportif dan mempunyai keterampilan gerak; 4) memahami konsep dan mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani. Pembelajaran ini berorientasi pada pembinaan perilaku hidup sehat. Sehat yang dimaksud bukan hanya sehat secara jasmani tetapi juga sehat secara rohani. Peran guru PJOK sebagai salah satu sumber belajar serta fasilitator pembelajaran tentunya harus merancang model pembelajaran yang efektif dan menyenangkan sehingga peserta didik dapat mencapai tujuan dari pembelajaran yang diharapkan. Merdeka belajar dalam pembelajaran PJOK salah satunya dengan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk melakukan aktifitasnya tanpa dibatasi dan sesuai dengan kesenangan yang timbul dari peserta didik sendiri dengan menggunakan fasilitas yang telah disiapkan oleh guru untuk membentuk 3 pilar pendidikan jasmani, yakni sikap, pengetahuan dan keterampilan. Pemberian kebebasan beraktifitas bagi peserta didik bukan berarti peserta didik dibiarkan tanpa ada proses perencanaan, monitoring dan evaluasi. Guru berperan untuk membuat rambu-rambu agar sesuai dengan tujuan dari pembelajaran. METODE Berdasarkan hasil studi literatur pada beberapa artikel dan hasil penelitian maka penulis dapat memperoleh hal-hal baru dari data sekunder yang telah didapatkan dan dideskripsikan secara mendalam berdasarkan pemahaman terhadap konteks, memori dan emosi dari sumber data termasuk juga sumber-sumber yang lain yang memungkinkan (Maksum, 2018:104). PEMBAHASAN Proses pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan banyak mengalami perubahan sistem mulai dari perubahan kurikulum hingga metode mengajar 12 Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Jasmani sebagai Mata Pelajaran Pengembangan Karakter Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto yang harus dilaksanakan oleh guru. Perubahan kurikulum pada umumnya hanya dimaknai pada perubahan materi, jam mengajar, model perangkat dan evaluasi pembelajaran saja oleh guru PJOK. Perubahan tersebut tidak membawa banyak dampak pada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru meskipun dengan pengalaman kerja yang cukup memadai, baik dari segi latar belakang pendidikan maupun peningkatan keprofesian guru. (Yulianto, 2017:130). Dari temuan tersebut, dan juga berdasarkan hasil penelitian dari Hartati, dkk (2018) yang menunjukkan bahwa kebugaran dan kesehatan pelajar di Indonesia cenderung menurun dan ditampilkan pada diagram di bawah ini: Gambar 1. Perbandingan Tingkat Kebugaran Pelajar dalam (%) Dari diagram tersebut terlihat bahwa mulai tahun 1995 sampai dengan 2018 tingkat kebugaran pelajar semakin menurun hingga sampai 81,2% pada tahun 2018. Hal ini menunjukkan bahwa peran pembelajaran PJOK di sekolah maupun aktivitas peserta didik di luar sekolah masih belum efektif. Data tersebut juga didukung dengan tren prevalensi penyakit tidak menular dari 2013 sampai dengan 2018 menunjukkan peningkatan yang signifikan dan disajikan dalam diagram berikut: Gambar 2. Prevalensi penyakit tidak menular naik Tidak hanya kedua data tersebut yang sangat perlu mendapat perhatian, hal ini juga ditemukan pada dua penelitian lain yang dilaksanakan oleh Nurhayati, dkk (2018) di Surabaya. Dalam penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa 27,8% peserta didik sekolah menengah pertama (SMP) di Surabaya mengalami overweight, hal ini prevalensinya lebih tinggi daripada tingkat rerata yang dihimpun secara nasional. Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa masih banyak peserta didik SMP yang masih kelebihan berat badan dan dimungkinkan karena aktivitas fisiknya kurang. Penelitian pendukung lainnya adalah milik Indahwati, dkk (2018) terkait dengan kemampuan motorik peserta didik SD dan SMP di Surabaya yang menunjukkan bahwa 7,3% peserta didik kategori baik sekali, 20,7% kategori baik, 36% peserta didik berkategori sedang, 32% peserta didik dalam kategori kurang dan 4% lainnya pada kategori kurang sekali. Mutohir dan Soemosasmita (dalam Kristiyandaru, 2010) menjelaskan bahwa manusia yang sehat adalah sehat jasmani dan rohani. Sehat jasmani meliputi: 1) pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh yang serasi dan seimbang; 2) terampil ditunjukan dengan gerak yang makin kuat, cepat, tepat, lentur terkoordinasi, luwes, indah, anggun, dan tangkas, yang mendukung tercapainya prestasi olahraga; 3) bugar, yaitu tidak mengidap penyakit, dapat bekerja dan belajar relatif lama, dan masih memiliki daya cadang setelah bekerja dan belajar dengan keras; 4) segar, yaitu tampang selalu segar dan menarik. Selanjutnya sehat rohani mengacu pada perilaku berbudi pekerti luhur, meliputi: 1) sehat sosial artinya mampu bekerja sama, tolong menolong, sikap terbuka, toleransi; 2) sehat emosional artinya dapat mengendalikan diri, tenggang rasa, saling memaafkan, saling menghormati, dan dapat mengutarakan pendapat secara santun; 3) sehat mental yaitu kemampuan bersikap jujur, sportif, disiplin, rela berkorban, tangguh, mantap, mandiri, dan bertanggung jawab; 4) sehat intelektual artinya mampu menggunakan daya pikirnya untuk mengantisipasi segala situasi dan keadaan secara tepat dan cepat; dan 5) sehat spiritual yaitu dapat mengambil hikmah dan merasakan nikmat karena menghayati dan dapat mengaktualisasikan perilaku hidup sehat, karena mendapat limpahan rahmat dan anugerah dari Tuhan YME. Penjelasan di atas mengungkapkan bahwa tujuan utama dari pencapaian kesehatan yang dimiliki seseorang bukan hanya dari unsur jasmani saja, atau bahkan hanya cenderung kepada prestasi olahraga, melainkan kemampuan seseorang untuk memiliki value (nilai) dalam berpikir kritis, kreatif, mampu 13 Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Jasmani sebagai Mata Pelajaran Pengembangan Karakter Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto beradaptasi dengan cepat, bekerja sama, pengendalian diri, disiplin, jujur, tidak mudah menyerah dan sebagainya, yang ditanamkan atau dibentuk melalui aktivitas jasmani. Nilai-nilai tersebut akan muncul dalam perilaku keseharian, dan masyarakat awam akan menyebut sebagai karakter. Pertanyaan yang muncul saat ini, apakah pendidikan jasmani yang dilakukan sudah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan individu? Apakah anak didik kita sudah memahami nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam pembelajaran pendidikan jasmani? Jika kita renungkan sebenarnya sudah 12 tahun guru PJOK mencoba menginternalisasi nilai-nilai luhur atau karakter yang baik kepada mereka, mulai SD (6 tahun), SMP (3 tahun) dan SMA (3 tahun). Maka nilai-nilai karakter tersebut seharusnya sudah menjadi ciri khas/atribut perilaku mereka. Jika peserta didik sadar dan karakter sudah tertanam dalam diri peserta didik maka perilaku hidup sehat sudah menjadi otomatisasi. Pandangan di masyarakat tentang pembelajaran PJOK di sekolah, berpendapat bahwa guru PJOK hanya melakukan pembiaran saja ketika proses pembelajaran, peserta didik hanya diberikan bola saja sedangkan guru hanya menunggu dan beristirahat di bawah pohon (Maulana, 2018:3). Citra jelek seperti itu seharusnya sudah tidak sejalan dengan berbagai perubahan kurikulum dan metode yang terus diperbaharui, memang perlu adanya pembenahan dan perbaikan karakter dari seluruh elemen yang terlibat dalam proses pendidikan baik orang tua, guru dan peserta didik. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 87 Tahun 2017 yang berisi tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Dalam peraturan tersebut diserukan mengenai pendidikan karakter yang dibebankan pada satuan pendidikan dalam hal ini sekolah dan masyarakat terutama pada lingkup keluarga (Kemenkumham, 2017). Dari peraturan ini jelas bahwa peran Pendidikan Jasmnai, Olahraga dan Kesehatan di sekolah merupakan salah satu pendukung utama pendidikan karakter bagi peserta didik, hanya bagaimana kemasan yang cocok bagi peserta didik sesuai dengan gagasan merdeka belajar. Ada beberapa hal yang mendasar yang perlu diperhatikan ketika membentuk karakter peserta didik dalam pembelajaran PJOK yakni disiplin, tanggung jawab, kerjasama, tolerasi dan sportivitas (Sriyani, 2018). Kelima nilai karakter tersebut dapat dimasukkan dalam pembelajran PJOK melalui permainanpermainan yang inovatif, menarik dan dapat melibatkan seluruh peserta didik. Dengan bermain peserta didik akan enjoy dan tidak merasa terpaksa untuk melakukan gerak. Membahas peserta didik pasti tidah jauh dari kalimat “saya senang bermain”. Dalam bermain peserta didik tidak hanya mengembangkan nilai karakter saja melainkan juga mengembangkan kebugarannya saat bermain (Sujarno, dkk, 2013:164). Alternatif kegiatan bermain yang dapat digunakan guru adalah permainan tradisional, banyak nilai positif yang bisa diambil dari permaianan ini tergantung dari jenis permainannya. Misalkan saja “Go Back to Door” atau biasa disebut “gobak sodor”, dalam permainan ini peserta didik belajar untuk membentuk nilai karakter yaitu kerjasama dan kekompakan, dimana peserta didik harus memahami pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam melakukan sebuah pekerjaaan (Sasminta, 2012:97). Selain itu permainan ini juga dapat melibatkan banyak peserta didik dengan aktivitas yang lumayan padat. Ada dua tim yakni penyerang dan bertahan yang jumlahnya harus sama. Tugas regu penyerang adalah melewati seluruh penjaga yang berada di garis sodoor dari titik awal hingga kembali lagi ke titik awal (home). Sedangkan untuk regu penjaga bertugas untuk menangkap regu penyerang. Kemenangan ditentukan dari jumlah peserta yang mampu melewati regu penjaga dari titik awal hingga sampai ke titik awal penyerangan. Gambar 3. Permainan Go Back to Door Dari contoh permainan di atas dapat digunakan peserta didik dalam mengembangkan karakternya tidak hanya di sekolah saja, namun diluar sekolah peserta didik juga mampu memilih jenis aktivitas fisik yang sesuai dengan kegemarannya, inilah yang dinamakan merdeka belajar. Karakter yang lain dapat dikembangkan melalui pemberian tugas gerak yang dapat dilakukan di rumah. 14 Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Jasmani sebagai Mata Pelajaran Pengembangan Karakter Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto Peserta didik diberikan tugas untuk mencatat aktvitas fisik harian yang dilakukan dalam satu minggu. Peserta didik diberikan kebebasan untuk menentukan bentuk latihan, dengan memperhatikan frekuensi, intensitas dan durasi dalam beraktivitas. Beberapa karakter yang muncul dalam penugasan ini adalah: 1) Kemandirian, ditunjukkan dengan kemampuan peserta didik untuk memilih dan menentukan bentuk latihan. Guru memberikan literasi fisik dan peserta didik mampu memilih jenis aktivitas yang digemari. Kemandirian peserta didik juga memiliki peranan yang penting dalam mencapai tujuan PJOK. Pola berpikir menjadi hal utama yang berhubungan langsung dengan kinerja yang dihasilkan oleh peserta didik (Maksum, 2020); 2) Kedisiplinan, ditunjukkan dengan sikap disiplin melakukan aktivitas fisik sesuai dengan aturan yang telah ditentukan (misalnya minimal 3x dalam seminggu, pemanasan sebelum beraktivitas dan pendinginan setelah aktivitas); 3) Kejujuran, ditunjukkan dengan kesesuaian dalam mencatatkan apa yang telah dilakukan pada daftar catatan aktivitas harian. Walau tidak ada guru atau orang lain tetapi peserta didik dengan jujur mencatat sesuai dengan apa yang telah dilakukan. Dan masih banyak nilai karakter lain yang dapat dikembangkan. Oleh sebab itu penanaman karakter menjadi hal yang terpenting dalam proses penerapan merdeka belajar untuk mencapai tujuan dari pembelajaran PJOK. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kebugaran dan kesehatan pelajar makin menurun, maka pengelolaan pembelajaran pendidikan jasmani harus dikemas lebih baik. Merdeka belajar memiliki makna peserta didik sudah mandiri, mampu berpikir kritis dalam menentukan pendapat dan sikap. Melalui pendidikan jasmani maka penerapan merdeka belajar dapat diwujudnyatakan dengan membiasakan nilai karakter yang baik kepada peserta didik. Peserta didik sadar akan pentingnya literasi fisik bagi kehidupannya, sehingga segala aktivitas yang dilakukan bertujuan menjaga dan meningkatkan kebugaran dan menjadi insan yang merdeka. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2006. Permendiknas.No.22 tentang Tujuan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Depdiknas. Indahwati, dkk. 2018. Profil Kemampuan Motorik Anak SD dan SMP Se Kota Surabaya. Surabaya: Unesa Kristiyandaru, Advendi. 2010. Manajemen Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Surabaya: Unesa University Press. Kemenkumham. 2017. Peraturan Pemerintah No. 87 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemenkumham. Maksum, Ali. 2018. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. Surabaya: Unesa University Press. Maksum, dkk. 2020. Effect Of Learning Climate, Thinking Pattern, And Curiosity On Academic Performance In Higher Education. Lithuania: Problems of Education in the 21st Century Maulana, Lukman. 2018. Peran Guru Pendidikan Jasmani Dalam Membangun Karakter Peserta Didik Di SD Negeri Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Nurhayati, dkk. 2018. Profil Status Gizi Siswa SD dan SMP Negeri di Kota Surabaya. Surabaya: Unesa Rosdiani, Dini. 2013. Model Pembelajaran Langsung dalam Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Bandung: Alfabeta. Hartati, S.Y.H; Priambodo, A; Kristiyandaru, A. 2012. Permainan Kecil. Cara efektif mengembangkan fisik, motorik, keterampilan sosial dan emosional. Malang: Wineka Media. Sriyani. 2018. Pembentukan Karakter Siswa Lewat Olahraga, Semarang: SuaraMerdeka.com Sujarno. 2013. Permainan Tradisional dalam Pembentukan Karakter Anak. Balai Pelestarian Nilai Kebudayaan: Yogyakarta. Yulianto, dkk. 2017. Analisis Perubahan Kurikulum Pada Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan di Sekolah Dasar. Malang: Jurnal Pendidikan. Saran Guru PJOK perlu lebih banyak mengembangkan kegiatan pembelajaran yang menarik dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menampilkan nilai karakter yang diharapkan. Menerapkan literasi fisik untuk aktif bergerak bagi kehidupan sepanjang hayat. 15 PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MEMBENTUK SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERKOMPETEN UNTUK MEMBANGUN NEGARA Tio Kusuma Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, tio.17010664072@mhs.unesa.ac.id Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, aldiah.17010664138@mhs.unesa.ac.id Abstrak Pendidikan merupakan bagian penting dalam perkembangan suatu Bangsa. Pendidikan memegang peran dalam pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan memiliki kapasitas untuk mengurus negara. Pada saat ini, Indonesia memiliki tingkat kebutuhan yang sangat tinggi akan pendidikan, terutama pendidikan karakter. Sebab, banyak terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan moralitas atau perilaku yang tidak etis. Misalnya korupsi, tindakan kekerasan, dan sopan santun. Penelitian ini menggunakan metode literature review, mengumpulkan data-data yang relevan untuk membahas masalah di atas. Hasil yang didapatkan yang pertama adalah pendidikan karakter dapat diterapkan dengan digabungkan model pendidikan yang lainnya, seperti pendidikan multikultural dan pendidikan seni budaya. Kedua yaitu pendidikan karakter memiliki peran yang penting untuk mengatasi masalah yang ada di Indonesia. Karakter menjadi dasar utama dalam membangun hubungan antar manusia dan lingkungan. Apabila hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka akan menciptakan sumber daya manusia yang mandiri, tanggung jawab, dan mampu bersaing di skala internasional. Dengan begitu bisa meningkatkan perekonomian dan nilai sosial negara. Selain itu, pendidikan karakter bisa menjadi fasilitator untuk melestarikan kearifan lokal. Menanamkan pada generasi baru agar tetap lestari dan hilang dimakan oleh waktu. Kata Kunci: Pendidikan, karakter, sumber daya manusia. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membentuk kepribadian masyarakat. Pendidikan dapat dikatakan berhasil apabila sumber daya manusia di suatu negara memiliki kualitas yang baik, sehingga pendidikan ini memiliki peran yang sangat penting. UU No. 20 Tahun 2003 mengenai “Sistem Pendidikan Nasional” pasal 3, menyebutkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan karakter dengan tujuan mencerdaskan bangsa, dengan berkembangnya potensi peserta didik diharapkan dapat menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, mandiri, kreatif, sehat, dan bertanggung jawab. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 diatas, pendidikan sangat penting dalam proses pembentukan karakter manusia, dimana manusia dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki, mempunyai kekuatan spiritual untuk mengendalikan dirinya, serta menjadi warga Negara yang bertanggung jawab. Hal ini juga selaras dengan UU No. 20 tahun 2003 pasal 4 dimana pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan merupakan proses pemberdayaan manusia sepanjang hayat untuk mengembangkan potensi dan memberi teladan. Karakter merupakan bagian terpenting dan vital untuk mencapai tujuan hidup. Karakter menjadi sebuah dorongan untuk menjalani hidup lebih baik (Rosidatun, 2018). Pembentukan karakter di Indonesia tidak terlepas dari peran pancasila segai dasar Negara, karena didalam pancasila terdapat nilai-nilai yang mengatur tentang kehidupan. Pendidikan karakter bermakna sama dengan pendidikan moral dan ahlak. Pendidikan karakter ini memiliki tujuan untuk mencetak kepribadian atau karakter peserta didik menjadi pribadi yang lebih baik serta berguna bagi nusa dan bangsa dengan tidak meninggalkan nilai-nilai kehidupan (Ramli, 2003). Menjadikan manusia pintar dan cerdas mudah dilakukan, tetapi menjadikan manusia yang pintar, cerdas, dan berkarakter tentunya tidak mudah karena membutuhkan sebuah proses, karakter dalam hal ini adalah berahlak mulia, jujur, disiplin, kreatif, dan bertanggunng jawab. Apabila tujuan pendidikan hanya untuk membuat seseorang pintar tentu tidak sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan berbasis karakter harus memenuhi beberapa komponen utama yaitu mengamalkan ajaran agama, mengenali kelebihan dan kekurangan, menumbuhkan sikap percaya diri, menghargai keberagaman atau meningkatkan sikap toleransi, dan patuh terhadap aturan-aturan yang berlaku (Saifurrohman, 2014). Selain itu Murniyetti, dkk 16 Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri (2016) pendidikan karkter sangat penting bagi siswa, hal ini menuntut sekolah untuk mendesain kegiatan yang menarik dalam menyampaikan pendidikan karakter. Tujuan dari pendidikan karakter ini adalah untuk menumbuhkan kepribadian siswa dengan baik (Murniyetti, Engkizar, & Anwar, 2016). Data KPK menunjukkan bahwa terdapat 383 kasus korupsi di Indonesia pada kurun waktu tahun 2016 hingga tahun 2018. Setiap tahun kasus korupsi tidak semakin berkurang tetapi semakin bertambah, dapat dilhat dari tahun 2016 terdapat 96 kasus, tahun 2017 terdapat 123 kasus dan pada tahun 2018 terdapat 164 kasus. Dari 383 kasus telah ditetapkan sebanyak 277 orang yang menjadi tersangka korupsi. rata-rata tersangka korupsi ini adalah anggota DPR dan juga pejabat-pejabat tinggi Negara. Tentu bukan sembarang orang yang dapat menjabat menjadi anggota DPR dan menjadi pejabat di instansi pemerintahan mereka orang-orang yang pandai dan memiliki pendidikan yang tinggi, tetapi mereka tidak punya karakter yang baik, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan menjaga amanah dari rakyat. Selain kasus korupsi, kasus kekerasan terhadap guru juga banyak terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya dilansir dari detik.com “Guru SMA di Sampang, Madura Tewas Diduga Karena Dianiaya Siswa” hal ini terjadi pada tahun 2018, seorang siswa menganiaya gurunya sendiri hingga meninggal karena tidak terima mendapat teguran dari sang guru. Hal ini mneunjukkan bahwa siswa tidak memiliki karakter yang baik hingga berbuat hal yang sangat tidak terpuji. Berdasarkan kasus-kasus diatas, pendidikan karakter tentu sangat diperlukan di Negara Indonesia, karena Indonesia merupakan Negara yang cukup besar dan memiliki sumber daya manusia yang tidak sedikit, dengan begitu tentu diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Tentu membutuhkan proses dalam menerapkan pendidikan karakter, sehingga setiap jenjang pendidikan memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan karakter. Maka peneliti berfokus pada pentingnya dan manfaat penerapan pendidikan karakter di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin mengkaji lebih dalam bagaimana pendidikan karakter itu dianggap penting bagi sumber daya manusia terutama Negara Indonesia yang memiliki sumber daya manusia yang berlimpah. Peneliti juga ingin melihat bagaimana perkembangan-perkembangan penelitian terkait pendidikan karakter. METODE Penelitian ini menggunakan metode literature review atau studi kepustakaan. Literatur review ini merupakan tinjauan komprehensif dari topik spesifik yang telah diangkat sebelumnya dan kemudian ditujukan kepada pembaca mengenai apa yang sudah diketahui dan belum diketahui oleh pembaca mengenai topik tersebut (Denney & Tewksburry, 2013). Selain itu Cooper juga menyatakan bahwa literature review bertujuan untuk menginformasikan kepada pembaca mengenai penelitian pada saat itu dan kemudian dihubungkan dengan penelitian saat ini melalui literatur-literatur yang telah tersedia (Cresswell, 2010). Pengumpulan data dilakukan Penulis adalah dengan mengumpulkan data yang berkaitan dengan pendidikan karakter, baik berupa jurnal, artikel, buku, maupun surat kabar. Literatur review ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya pendidikan karakter dalam pendidikan di Indonesia. PEMBAHASAN Definisi Pendidikan Karakter Keberhasilan dari implementasi didasari oleh pemahaman konsep yang matang. Supaya mendapatkan konsep yang matang harus dikaji sampai dasar, supaya mendapatkan pengertian yang otentik. Sehingga, bisa menerapkan batasan atau acuan yang jelas. Pendidikan karakter terdiri dua kata yang memiliki maknanya masing-masing, yaitu pendidikan dan karakter. Pendidikan menurut Soyomukti (2010) adalah usaha untuk memberikan kesadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan perilaku yang lebih baik. Sementara Mayshandy (2019) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan upaya terencana untuk membimbing dan mendidik individu agar dapat berkembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, berilmu, dan bermoral. Kemudian, pemahaman konsep dari karakter, Fitri (2012) menerangkan yang namanya karakter adalah sifat-sifat manusia, kepribadian, budi pekerti, dan watak. Pendapat yang sama juga dari Ramadhan, G. M & Resmi (2019) bahwa karakter dimaknai sebagai sifat bawaan manusia dari lahir untuk dapat merespon situasi secara bermoral yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Kedua istilah tersebut, kemudian dikaitkan menjadi satu dan memiliki pemaknaan yang baru. Beberapa ahli menguraikan pendapatnya masing-masing terkait konsep pendidikan karakter itu seperti apa dan bagaimana. Misalnya, pendidikan karakter menurut Elkin dan Sweet (dalam Gunawan, 2012) adalah upaya yang disengaja dan dirancang dengan sistematis untuk 17 Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri memahami, peduli, dan menerapkan nilai-nilai etis pada manusia. Secara lebih rinci, Mochtarom (2017) menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha yang direncanakan dengan sadar untuk mengedukasi secara terpadu pada peserta didik di sekolah dengan mengacu nilai-nilai moral. Dari situ, dapat dipilah bahwa pendidikan karakter terdiri dari dua dimensi, dimensi individual, dan dimensi sosiokultural. Berdasarkan dimensi individual maka pendidikan karakter dimaknai sebagai upaya memperoleh kesadaran diri setiap manusia untuk dapat menyadari kebebasan diri dan tanggung jawab atas petumbuhan dirinya sendiri sebagai manusia yang berdikari (Hayati, 2012). Sementara dimensi sosio kultural pendidikan karakter dimaknai bahwa sistem sosial mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan karakter individu. Oleh karena itu, fokus pendidikan karakter adalah mengubah perilaku agar sesuai dengan standar yang baku dan mencakup perkembangan sosial siswa (Majid, A & Andayani, 2012). Pentingnya Pendidikan Karakter. Bangsa Indonesia kini terjadi krisis moralitas, identitas bangsa dan rasa nasionalisme. Endang Soemantri (dalam Budimansyah, D & Komalasari, 2011) mengatakan “bangsa Indonesia mengalami masa discontinue, unlinier, dan unpredictable” yang artinya bahwa masyarakat Indonesia kini mengalami pendangkalan terhadap rasa nasionalisme, identitas diri dan beragama. Negara tidak akan bisa bersaing dalam kancah internasional apabila memiliki sumber daya manusia (SDM) yang rendah akan moralitas, dan nasionalisme. Syahbudin (2018) menjelaskan apabila negara ingin bersaing di skala internasional baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya harus memperbaiki SDMnya terlebih dahulu terutama yang berkaitan dengan moralitas. Hal ini dilandasi terkait pembentukan kebijakan negara. Seperti yang disinggung sebelumnya, bahwa banyak pejabatpejabat negara atau pembuat kebijakan negara sering tertangkap kasus korupsi. Tidak integritas dan kejujuran dalam karakter para pejabatan tersebut. Maka secara logika, apabila pejabatnya seperti itu, berlaku juga pada kebijakannya. Sebab setiap kebijakan pasti memiliki bobot nilai yang menunjukkan kapasitas dari pembuatnya. Jika terus seperti ini, untuk mengurus negara sendiri pasti tidak akan berjalan dengan baik, apalagi dalam skala internasional. Dalam penelitian Sularso (2016) bahwa pendidikan karakter bisa digunakan untuk melestarikan budaya lokal sebagai identitas Bangsa Indonesia. Kearifan lokal yang diintegrasikan dalam pendidikan memberika peluang bagi siswa untuk dapat menyerap dan diterapkan sehingga pengetahuan tersebut tidak hilang. Selain untuk melestarikan, dapat diambil juga manfaatnya. Misalnya pendapat Soetomo (2012) yang mengatakan bahwa kearifan lokal berfungsi sebagai penjaga keseimbangan dan juga keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Telah diterapkan juga dalam penelitian Istiawati (2016) yang meneliti kearifan lokal adat ammatoa. Hasil yang didapat adalah kearifan lokal adat ammatoa mengandung pengetahuan ekologis yang berkaitan dengan keseimbangan alam yang dapat membentuk karakter cinta pada lingkungan atau konservasi. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi penting sebagai penyalur bagi kearifan lokal supaya tetap lestari. Pendidikan karakter tidak hanya berguna dalam skala luas, tapi juga berguna dalam skala individual. Berdasarkan penelitian dari Mayshandy (2019) bahwa pendidikan karakter dapat menuntun manusia untuk bisa menghindari kehidupan yang berat. Mengacu pada sejarah Cina pada tahun 1985 setelah mengalami keterpurukan dari dampak revolusi Mao Tse dong. Cina melakukan reformasi pendidikan dengan menerapkan pendidikan karakter sejak usia dini. Hal ini kemudian membawa hasil yang signifikan baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Pendidikan karakter menjadi alternatif yang sudah terbukti di negara lain. Bangsa Indonesia masih memiliki peluang dengan menerapkan pendidikan karakter untuk mengatasi permasalahan krisis moral, identitas bangsa, dan nasionalisme. Bahkan bisa berpengaruh pada perkembangan ekonomi negara di skala Internasional. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam implementasinya, banyak sekali nilai yang diterapkan. Pendidikan karakter di Indonesia mengacu pada agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional yang terpecah menjadi beberapa nilai seperti: 1) religius; 2) toleransi; 3) disiplin; 4) jujur; 5) kreatif; 6) mandiri; 7) kerja keras; 8) cinta tanah air; 9) demokratis; 10) cinta damai; 11) peduli lingkungan dan sosial; 12) tanggung jawab; 13) semangat kebangsaan (Dalimunthe, 2015) Mengacu dari aspek tersebut, banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari metode yang sesuai dan efektif untuk pendidikan karakter yang sesuai 18 Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri kebutuhan Bangsa Indonesia. Dalam penelitian Adibah (2014) yang meneliti pendidikan multikultural di Universitas Darul Ulum, menemukan bahwa pendidikan multikultural dapat membentuk karakter toleransi pada mahasiswa. Pendidikan multikultural memberikan fasilitas bagi mahasiswa untuk bisa mengerti dan memahami suku, budaya, dan agama lain sehingga dapat menerima dan menghargai perbedaan tersebut. Penelitian lain dari Fithriyana (2019) yang meneliti pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada santri pondok pesantren Ar-Rosyid dan At-Tanwir. Ditemukan bahwasanya terdapat hal yang menarik, yaitu sifat empatik para santri terbentuk karena proses internalisasi dari keteledanan tenaga pendidik dan pengurus pondok tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemodelan menjadi bagian penting dalam pendidikan karakter. Yulia (2016) juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa keteladanan merupakan metode yang paling efektif dalam keberhasilan pendidikan karakter. Seperti yang dikatakan Bandura pada teori Modelling-nya dan Ki Hadjar Dewantoro yang mengatakan bahwa dalam pendidikan harus menerapkan 3 konsep yaitu “Niteni, Nirokke, Nambahi” atau “Dilihat, Ditiru, dan Dibenahi”. Penelitian dari Syamsuddin (2019) menjelaskan bahwa pendidikan karakter bisa diajarkan dalam bidang seni. Madrasah Aliyah Negeri 1 Palu, memiliki pelajaran seni budaya yang menampilkan pertunjukan teater. Dalam pembelajaran, guru mempersiapkan alur cerita, dan adegan dengan menyelipkan kepribadiankepribadian yang ingin ditanamkan pada siswanya. Proses latihan teater sebelum tampil akan menjadi proses pembiasaan siswa untuk menerapkan karakter yang dimainkan. Dilakukan secara terus menerus hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Pada intinya, pendidikan karakter bisa diterapkan dengan mengaitkan kearifan lokal, dan seni. Semuanya memberikan sumbangsi yang sesuai dengan kebutuhan Bangsa Indonesia yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional dan Pancasila. Maka dari itu, semua metode harus bisa dikembangkan dan diterapkan secara berkala. Seperti yang dikatakan oleh Nurfalah (2016) dalam konteks pendidikan apabila ingin menanamkan karakter yang diinginkan pada anak, harus diarahkan juga supaya diterapkan dan menjadi kebiasaan. Sehingga yang muncul tidak hanya kesadaran kognitif untuk mengetahui yang benar dan salah. Tapi juga kesadaran untuk melakukannya (psikomotor). PENUTUP Simpulan Pendidikan karakter sangat penting untuk dikembangkan dan diajarkan pada anak sejak usia dini. Pada dasarnya pendidikan karakter di Indonesia sendiri mengacu pada agama, pancasila, budaya, dan pendidikan nasional. Pada pendidikan nasional telah diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan karakter ini dapat di terapkan melalui pembiasaan sejak dini sehingga dapat menajangkau emosi yang ada didalam diri individu. Terdapat tiga komponen penting agar pendidikan karakter ini berhasil yaitu moral knowing, moral acting, dan moral feeling. Pendidikan karakter memiliki peran yang penting dalam kehidupan bangsa, karena dengan adanya pendidikan karakter individu dapat mengenali dirinya sendiri kemudian dapat belajar mengenali orang lain, dengan begitu maka akan tercipta kehidupan yang berbasis nilai-nilai agama dan pancasila. Manfaat pendidikan karakter sendiri tidak hanya berguna secara individual tetapi juga secara luas bagi kehidupan, selain itu pendidikan karakter juga membenahi krisis moral yang ada di masyarakat. Dengan menanamkan pendidikan karakter yang berbasis pancasila tentu akan menjadikan sumber daya manusia yang ada di Indonesia menjadi pribadi yang baik dan mulia sehingga akan membawa Negara Indonesa menjadi Negara yang maju. Saran Pemerintah perlu memperhatikan dan meninjau ulang terkait pendidikan karakter yang telah diterapkan di Indonesia. Apakah pendidikan karakter tersebut sudah efektif atau perlu adanya inovasi-inovasi yang lain dan baru, karena hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya kasus-kasus korupsi, rendahnya moral siswa kepada guru, serta kasus lain yang setiap tahun masih terus bertambah. DAFTAR PUSTAKA Adibah, I. Z. (2014). Pendidikan multikultural sebagai wahana pembentukan karakter. Jurnal Madaniyah, 7, 175–190. Budimansyah, D & Komalasari, K. (2011). Pendidikan karakter: Nilai inti bagi upaya pembinaan kepribadian bangsa. Bandung: Widaya Aksara Press. Cresswell, J. W. (2010). Research Desain: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approach (3th ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dalimunthe, R. A. A. (2015). Strategi dan implementasi pelaksanaan pendidikan karakter di 19 Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri SMPN 9 Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Karakter, 5(1), 102–111. Denney, A. S., & Tewksburry, R. (2013). How To Write A Literature Review. Journal of Criminal Justice Education, 24(2), 218–234. Fithriyana, E. (2019). Menumbuhkan sikap empati melalui pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada sekolah berasrama. Jurnal Pendidikan Islam: Al Ulya, 4(1), 42–54. Fitri, Z. (2012). Pendidikan karakter berbasis nilai etika di sekolah. Jurnal Pendidikan Islam: Al Ulya, 4(1), 42–54. Gunawan., H. (2012). Pendidikan karakter konsep dan implementasi. Bandung: Alfabeta. Hayati, S. (2012). Mengembangkan potensi guru dan calon guru untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif. Jurnal Pkn Progresif, 7(1), 85–96. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sularso. (2016). Revitalisasi kearifan lokal dalam pendidikan dasar. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, 2(1), 73–79. Syahbudin, R. H. (2018). Peran pendidikan dalam membangun karakter bangsa yang bermoral. Jurnal At-Talim, 17(2), 161–170. Syamsuddin. (2019). Pembentukan karakter siswa berbasis pendidikan seni budaya di MAN 1 Palu. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 2(1), 29– 36. Yulia, P. (2016). Implementation of profesionalism of teacher and information of character in primary school students. Jurnal Dinamika Pendidikan Dasar, 8(1), 40–43. Istiawati, F. N. (2016). endidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal adat ammatoa dalam menumbuhkan karakter konservasi. Jurnal Cendekia, 10(1), 1–18. Majid, A & Andayani, D. (2012). Pendidikan karakter perspektif islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mayshandy, M. . (2019). Studi Literatur Pentingnya Penerapan Pendidikan Karakter bagi Pendidikan Formal Sekolah Menengah Pertama. Junal Scienceedu, 2(1), 67–71. Mochtarom, M. (2017). Pendidikan karakter bagi warga negara sebagai upaya mengembangkan good citizen. Jurnal Pkn Progresif, 12(1), 543–552. Murniyetti, Engkizar, & Anwar, F. (2016). Pola Pelaksanaan Pendidikan karakter Terhadap Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, 6, 2. Nurfalah, Y. (2016). Urgensi nilai-nilai pendidikan karakteri. Jurnal IAIT Kediri, 27(1). Ramadhan, G. M & Resmi, C. (2019). Analisis pendidikan karakter berbasis nilai kearifan lokal cipta gelar sukabumi dalam mengembangkan kecerdasan ekologis. Jurnal Edukasi, 11(2), 91– 102. Ramli, T. (2003). Pendidikan Karakter. Bandung: Angkasa. Rosidatun. (2018). Model Implementasi Pendidikan Karakter. Gresik: Caramedia Communication. Saifurrohman. (2014). Pendidikan Berbasis Karakter. Jurnal Tarbawi, 2, 2. Soetomo. (2012). Keswadyaan masyarakat, manifestasi kapasitas masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Soyomukti, N. (2010). Teori-teori Pendidikan. 20 PEMBELAJARAN DI ERA MERDEKA BELAJAR TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF PESERTA DIDIK Fatimah Suri Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru. email: fatimahsuri806@gmail.com Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya Pendidikan IPA, Universitas Muhammadiyah Riau, Pekanbaru, hadipurwanto@umri.ac.id Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru, merrynovaliza75@gmail.com, detramulya20@gmail.com Abstrak Artikel ini menelaah pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap kemampuan metakognitif peserta didik. Merdeka Belajar terkait dengan upaya sekolah dalam menanamkan Lifelong Learning Capacity (LLC) merupakan respon terhadap kebutuhan sistem pendidikan Revolusi Industri 4.0. Merdeka Belajar diperlukan untuk mewujudkan mutu pendidikan berkelanjutan dan kebutuhan utama yang ingin dicapai dalam sistem pendidikan atau lebih khusus dalam metode pembelajaran agar peserta didik mampu menguasai terhadap literasi sainteknologi dan sosial. Pembelajaran di era merdeka belajar berpengaruh terhadap kemampuan metakognitif peserta didik karena dalam pembelajaran, pengetahuan metakognitif yang dimiliki oleh peserta didik juga berkaitan dengan keyakinan dirinya tentang kecerdasan, seberapa sadarnya siswa tentang pengetahuannya dan tingkat kesulitan tugas yang dikerjakan dengan caranya sendiri dan dianggapnya terbaik untuk belajar yang efektif dan baik untuk dirinya sendiri, karena sistem pendidikan merdeka belajar mengutamakan pendidikan karakter. Artikel ini menggunakan penelitian pustaka (library research). Dengan sumber data dari jurnal, laporan hasil penelitian, dan artikel ilmiah. Oleh karna itu pembelajaran di era merdeka belajar adalah kebebasan untuk berinovasi, belajar atas motivasinya dan kemandirian, dan kreatif bagi guru serta peserta didik. Saat ini antara guru dan peserta didik memiliki pengalaman yang mandiri dan dari pengalaman yang ada tersebut guru dan siswa akan mediskursuskannya di ruang kelas maupun di luar kelas (outdoor learning). Sehingga guru beradaptasi dengan kemampuan metakongnitif yang dimiliki peserta didik. karena tugas guru dan pimpinan di sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat mengarahkan, memimpin, dan menggali daya kritis dan potensi dari diri peserta didik. Kata Kunci: Pembelajaran, Merdeka Belajar, Metakongnitif. PENDAHULUAN Belakangan ini ramai dibincangkan didunia pendidikan, dengan dicetuskannya konsep mengenai merdeka belajar oleh menteri pendidikan dan kebudayaan yaitu Nadiem Makarim. Pada setiap fase dan setiap era semua di-arahkan agar mendapatkan hasil yang semakin baik untuk kedepannya, namun faktanya masih tetap kurang maksimal. Akhirnya, oleh Nadiem Makarim dikeluarkan kebijakan yang dianggap masyarakat cukup revolusioner dan menjadi pembicaraan di ruang publik. Kebijakan itu adalah program ”Merdeka Belajar”. Program ini diwujudkan dalam kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN) mulai tahun 2021 diganti dengan sistem penilaian asesmen kompetensi dan survei karakter. (Kemendikbud) Nadiem Makarim saat berpidato pada acara Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 beliau mencetuskan konsep “Pendidikan Merdeka Belajar”. Konsep ini merupakan respons terhadap kebutuhan sistem pendidikan pada era revolusi industri 4.0. Nadiem Makarim menyebutkan merdeka belajar merupakan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan berfikir ditentukan oleh guru (Tempo.com, 2019). Jadi kunci utama menunjang sistem pendidikan yang baru adalah guru. Maka Guru dan siswa diharapkan mampu memiliki pemikiran atau pengetahuan dengan metakognisi, siswa akan “Tahu bahwa dia tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu”. Desmita (2012:132) menegaskan, matakognitif adalah “pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya”. Sehingga timbul rasa ingin tahu, karena siswa menggunakan proses kognitifnya untuk memikirkan prosesnya sendiri karena siswa sendiri dapat memandu dirinya sendiri dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan metakognitif nya di masa depan. Masalah pokok yang sering dihadapi guru yakni manajemen kelas. Oleh karena itu, kelas harus didesain kreatif dan inovatif. Serta konsep “Merdeka Belajar” tujuan pembelajaran akan bisa tercapai dengan baik jika guru sukses mendesain pengelolaan pembelajaran yang 21 Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya inovatif dan kreatif. Akan tetapi, berdasarkan fakta di lapangan ada beberapa masalah tentang Model pembelajaran yang diterapkan di setiap sekolah. Berdasarkan Hasil Penelitia (Purwanto, et al: 2020) banyak guru pelajaran IPA yang ada di Provinsi Riau kurang mengaplikasikan media pembelajaran, secara deskriptif dari hasil penelitian pada penerapan pembelajaran IPA secara daring yang di terapkan oleh setiap sekolah saat pandemik Covid-19. Spirit belajar atau semangat peserta didik malah mengalami penurunan, bahkan KI pada Pembelajaran IPA tidak sepenuhnya tersampaikan. Seharusnya dengan perkembangan teknologi informasi saat ini pembelajaran online merupakan proses pembelajaran yang bisa memanfaatkan teknologi informasi. Maka untuk pembelajaran di era merdeka belajar ini siswa diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan metakognitif yang dimilikinya. Pengetahuan metakognitif yang dimiliki oleh peserta didik berkaitan dengan keyakinan dirinya tentang kecerdasan, seberapa kesadaran, pengetahuannya dan tingkat kesulitan tugas yang dikerjakan dengan caranya sendiri dan dianggapnya terbaik (Sumampouw, 2011:28). Merdeka belajar terkait dengan upaya yang dilakukan sekolah dalam menanamkan Lifelong Learning Capacity (LLC) sebagai tema sentral revoluasi industri. Merdeka belajar diperlukan untuk mewujudkan mutu pendidikan berkelanjutar. Maka agar terwujudnya merdeka belajar perlu transformasi kurikulum sekolah & pembelajaran . Perlu transformasi manajemen pendidikan nasional untuk terwujudnya merdeka belajar (Unifah Rosyidi: 2020) Proses pembelajaran dibangunkan ekosistem pendidikan yang memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya nalar, karakter, inovasi, kemandirian, kenyamanan, dan keahlian siswa. Maka merdeka belajar dampat membentuk sumber daya yang unggul atau berkualitas untuk menuntaskan peluang pendidikan pada era Industri 4.0 serta diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan metakognitif yang dimiliki oleh peserta didik dengan tujuan kemajuan bangsa dan Negara. Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah di atas, maka perlu untuk meneliti mengenal lebih dalam sebagai sebuah kondisi yang akan dihadapi oleh pendidik dan peserta didik,serta alasan mengapa pendidik dan peserta didik membutuhkan sebuah konsep pembelajaran pada era merdeka belajar sebagai perubahan ke arah yang lebih baik. Bagaimana rencana penerapan pembelajaran pada era merdeka belajar, sebagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan yang siap menghadapi tantangan zaman dan memberikan sedikit analisis tentang bagaimana Pembelajaran pada era meredeka belajar. Kemudian, penulis berharap agar artikel ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan tentang bagaimana pembelajaran pada era merdeka belajar, bagi para pembaca, khususnya bagi pendidik dan peserta didik yang nantinya menjadi seorang calon pendidik, agar kiranya dapat menyadari bagaimana tantangan ke depan, pada kemampuan metakognitifnya sehingga dapat mempersiapkan diri untuk menjadi insan yang lebih baik dan bermanfaat METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah non riset, yakni penelitian studi pustaka, dengan mengumpulkan informasi dari beberapa sumber yakni buku, jurnal, internet, dan informasi berupa pendapat yang dikemukakan menteri pendidikan melalui beberapa acara yang penulis kutip dari Youtube. dengan tujuan untuk memperoleh informasi lebih dalam dan memberikan analisis terkait dengan konsep merdeka belajar di era merdeka belajar terhadap kemampuan metakongnitif peserta didik (Sugiyono, 2008). Penelitian pustaka (library research). Penelitian pustaka adalah penelitian yang teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara membaca berbagai literatur yang berkaitan dengan informasi serta relevansi terhadap topik penelitian (Sukardi, 2010 : 3435). PEMBAHASAN Menurut penulis terkait konsep yang dicetuskan oleh Menteri pendidikan yakni Bapak Nadiem Makarim, merupakan sebuah konsep yang sangat baik, dan merupakan bentuk upaya untuk kemajuan pendidikan khususnya pada jenjang perguruan tinggi dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Nadiem membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa alasan. Pasalnya, penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil penilaian pada siswa Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 Negara. Maka kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri, dan kreatif dapat dilakukan oleh unit pendidikan, guru, dan siswa. Karena saat ini antara guru dan siswa memiliki pengalaman yang mandiri di lingkungannya. Dan dari pengalaman yang ada tersebut akan didiskursuskan di ruang kelas dan lembaga pendidikan. Adaptasi sistem pendidikan di 22 Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya era Revolusi Industri 4.0 harus distimulasi dengan proses literasi baru tersebut. Siswa/peserta didik pada era industri 4.0 memiliki pengalaman yang padat dengan dunia digital atau visual saat ini. Dan tugas guru, kepala sekolah termasuk lembaga pendidikan dapat mengarahkan, memimpin, dan menggali daya kritis dan potensi siswa. Paulu Freire (Adhysaksti, 2015) menyatakan bahwa manusia yang utuh adalah manusia sebagai subjek yang mampu berintegrasi dengan lingkungan, integrasi muncul dari kemampuan untuk menyesuaikan diri darirealitas, ditambah kemampuan kritis untuk mengubah realitas. Artinya konsep pendidikan yang dijalankan harus mampu membangun keasadaran kritis. Untuk membangun kesadaran kritis dalam hal ini Paulo Freire menggagas konsep pendidikan berupa ”hadap-masalah”. Jadi, apa yang dipelajari siswa dalam sekolah tidak lepas dari persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan nyata. Bukan hanya materi yang menawarkan ilusi semata, yang realitanya sulit untuk diterapkan dan tidak diperlukan dalam kehidupan nyata. Maka dari itu pemahaman harus ditemukan dan dibangun sendiri oleh para pelaku atau dalam hal ini adalah belajar. Karena sekolah adalah tempat mengembangkan bakat, minat, rasa ”ceria” untuk belajar, menjadi manusia yang berilmu, berasa bebas menjadi manusia yang diinginkan (Rahardjo, 2018). Tiga orang tokoh dunia yang pemikirannya mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan yaitu Gurudev Rabindranath Tagore, Ki Hajar Dewantoro, Julius Nyerere, menggambarkan sekolah adalah sebuah taman yang menghadirkan suasana kegembiraan dan menjadi tempat bermain atau tempat belajar. Walaupun kepandaian, kecerdasan, dan ketrampilan merupakan dimensi yang penting, namun menengok kondisi Negara saat ini yang marak akan praktik korupsi, lemahnya kebijakan hukum, dan berbagai problema yang muncul akibat keserakahan oknum, maka yang diperlukan saat ini adalah pendidikan mampu mendidik siswa menjadi manusia yang budiman. Melalui pendidikan diharapkan mampu melahirkan manusia yang merdeka, kritis, dan peka terhadap realitas sosial, serta menghilangkan status quo seperti yang dihadapi pada masa orde baru. Hal ini tentunya sejalan dari gagasan yang dikemukaan oleh Paulo Freire yaitu pendidikan yang membebaskan atau memerdekakan. Maka guru dan siswa diharapkan mampu memiliki pemikiran atau pengetahuan dengan metakognitif, siswa akan “Tahu bahwa dia tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu”. Karena keterampilan siswa dalam memecahkan masalah diperlukan bagi siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam pembelajaran. Menurut Nurdalilah,dkk (2013) mengatakan bahwa siswa dikatakan telah mampu memecahkan suatu masalah jika siswa telah mampu memahami soal, mampu merencanakan pemecahan masalah tersebut. Tahap-tahap tersebut harus dimiliki seorang siswa untuk dapat memecahkan masalah. Selain itu, aspek kognitif dalam diri siswa sangat mendukung dalam memecahkan suatu masalah. Sagala (2010:12) mengemukakan bahwa kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran, atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analysis, sintesis dan evaluasi. Menurut Desmita (2014:131) aspek perkembangan kognitif sangat penting bagi proses belajar siswa disekolah, yakni keterampulan kognitif, yang salah satunya meliputi kemampuan metakognitif. Kemampuan metakognitif siswa sangat mendukung kemampuan seorang siswa. Selain itu guru merupakan inti dari pendidikan, tanpa guru pendidikan tidak akan berjalan dengan efektif. Oleh sebab itu, guru harus mampu menyeimbangkan antara sistem pembelajaran dengan teknologi yang kian semakin berkembang. Disini guru harus mampu menginovasi pembelajaran dari yang klasik menuju modrenisasi. Menggabungkan metode pembelajaran dengan teknologi, untuk membantu siswa memahami bahwa pendidikan dan teknologi harus sejalan dan mampu menciptakan kegiatan belajar dalam keadaan diamana saja. Oleh karena itu, revolusi pembelajaran menjadi satu keniscayaan. Inovasi pembelajaran 4.0 dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pendidik tentunya menguasai metode pembelajaran yang selama ini diterapkan. adapun mengadopsi dan mengembangkan metode pembelajaran yang sudah ada dengan berbagai kreativitas sendiri adalah langkah awal yang dapat dilakukan dalam rangka pembelajaran 4.0.(Joenaidy, 2019) Pembelajaran pada era merdeka belajar merupakan perpanjangan dari program merdeka belajar yang masih hangat diperbincangkan di bidang pendidikan, pembelajaran merdeka belajar memberikan guru dan siswa kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN) mulai tahun 2021 diganti dengan sistem penilaian Asesmen Kompetensi dan survei karakter. Tidak lepas dari itu statement ini merupakan langkah terciptanya peningkatan kualitas pendidikan yang dicetuskan oleh menteri pendidikan Nadiem Makarim. (Direktorat 23 Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020) Oleh karna itu Nadiem Makarim mecetuskan Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim karena keinginannya untuk menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu. Pokok-pokok kebijakan Kemendikbud RI tertuang dalam paparan Mendikbud RI di hadapan para kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota seIndonesia, Jakarta, pada 11 Desember 2019. Ada empat pokok kebijakan baru Kemendikbud RI, yaitu: 1. Ujian Nasional (UN) akan digantikan oleh Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen ini menekankan kemampuan penalaran literasi dan numerik yang didasarkan pada praktik terbaik tes PISA. Berbeda dengan UN yang dilaksanakan di akhir jenjang pendidikan, asesmen ini akan dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11. Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi sekolah untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya sebelum peserta didik menyelesaikan pendidikannya. 2. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diserahkan ke sekolah. Menurut Kemendikbud, sekolah diberikan keleluasaan dalam menentukan bentuk penilaian, seperti portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan lainnya. 3. Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Menurut Nadiem Makarim, RPP cukup dibuat satu halaman saja. Melalui penyederhanaan administrasi, diharapkan waktu guru dalam pembuatan administrasi dapat dialihkan untuk kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi. 4. Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi diperluas (tidak termasuk daerah 3T). Bagi peserta didik yang melalui jalur afirmasi dan prestasi, diberikan kesempatan yang lebih banyak dari sistem PPDB. Pemerintah daerah diberikan kewenangan secara teknis untuk menentukan daerah zonasi ini. (Media, Kompas Cyber: 201912-17) Itulah sebabnya guru dan siswa diharapkan mampu melakukan inovasi-inovasi dalam setiap proses pembelajarannya yakni pembelajaran yang berpusat pada siswa dan mahasiswa agar mendukung tercapainya lulusan yang berkualitas yang siap menghadapi situasi zaman yang terus berubah. Pendidikan selalu mengupayakan terciptanya peserta didik yang selalu melakukan pembaharuan demi pembaharuan dalam setiap waktu. Tidak hanya mampu berpendidikan tinggi akan tetapi mampu menjadi agen perubahan dalam lingkup kecil maupun besar. Satuan pendidikan yang paling berpengaruh dalam perubahan adalan perguruan tinggi. Mengapa demikian? Karena disinilah kematangan dalam menempuh pendidikan dan diharapkan menjadi perubahan dalam berpikir dan bertindak seagai calon pendidik nantinya. PENUTUP Simpulan Adapun dalam hal ini penulis menarik kesimpulan dari hasil analisis berdasarkan teori yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa, sebuah era revolusi industri 4.0 adalah era yang penuh dengan teknologi yang semakin meninggi, teknologi bisa menjadi teman juga bisa menjadi musuh, tergantung bagaimana kita menggunakannya. dengan kemajuan teknologi tersebut, bahkan menyebabkan sebuah pekerjaan dapat digantikan dengan mesin, dan muncul pekerjaan baru yang membutuhkan berbagai bidang ilmu. Karena dari konsep merdeka belajar merupakan tawaran dalam merekonstruksi sistem pendidikan nasional. Penataan ulang sistem pendidikan dalam rangka menyongsong perubahan dan kemajuan bangsa yang dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman. Dengan cara, mengembalikan hakikat dari pendidikan yang sebenarnya yaitu pendidikan untuk memanusiakan manusia atau pendidikan yang membebaskan. Dalam konsep merdeka belajar, antara guru dan murid merupakan subyek di dalam sistem pembelajaran. Serta meningkatkan pengetahuan metakognitif yang dimiliki oleh peserta didik agar siswa menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan belajar secara efektif dan siswa tahu bagaimana belajar yang baik untuk dirinya sendiri dengan keyakinan dirinya tentang kecerdasan yang dimiliki, seberapa kesadaran, pengetahuannya. Saran Dengan adanya artikel ini banyak hal baru yang di dapatkan tentunya mendapatkan ilmu yang lebih mendalam mengenai pembelajaran di era merdeka belajar, untuk pembaca agar dapat menjadi bahan informasi untuk meningkatkan lagi pembelajaran yang lebih efektif, inovatif pada pembelajaran di era merdeka belajar saat ini, serta dapat menjadikan acuan untuk saya melakukan penelitian lanjut pada topik yang berbeda. 24 Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya DAFTAR PUSTAKA Apriyanti Riri. (2016). ANALISIS KETERAMPILAN METAKOGNITIF SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA APLIKASI PERBANDINGAN. Publikasi Ilmiah.hlm.(6) Desoete, Anemi,Herbert Roeyers dan Ann Busysee. “Metacognition and Mathematical problem Solving in Grade 3”. Journal of Learning Dissabilities. Vol. 34. Desmita. (2014). Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Remaja Rosdakarya. Lailia Firda, Utama Budi, Wisudarianti Ria.(2019). Pemanfaatan Portal/Web E-Learning Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Di Sma Negeri 4 Singaraja. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Undiksha 13. Volume 9 Nomor 1.No.5. Page435-44 Freire, P. (1984). Pendidikan pembebasan. PT Gramedia sebagai Industri 4.0. Fitrah: Journal of Islamic Education, 1(1), 141-157. Rahardjo, T. (2018). Sekolah biasa saja. Yogyakarta: INSISTPress. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta Sagala, Syaiful. 2010. Konsep Pembelajaran. Bandung: Alfabeta dan Makna Siregar Nurhayani, Sahirah Rafidatun, Amsal Harahap Arsikal. (2020). KONSEP KAMPUS MERDEKA BELAJAR DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0. Journal of Islamic Education, 1(1), 141-157. Sukardi. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Askara. Tohir, M. (2020). Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. praktek Hadi Purwanto, Defrizal Hamka, Witri Ramadhani, Detra Mulya, Fatimah Suri, Merry Novaliza. (2020). Problematics Study of Natural Sciences (IPA) Online at Junior High School in the Time of the Pandemic Covid-19. International Journals of Sciences and High Technologies. Volume 2. Nomor 2. 189-191 Ibda, H., & Rahmadi, E. (2018). Penguatan literasi baru pada guru madrasah ibtidaiyah dalam menjawab tantangan era revolusi industri 4.0. JRTIE: Journal of Research and Thought of Islamic Education, 1(1), 1-21. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.Vol 18. Balitbang Kemendikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. Lisnawati, L. (2018). Korelasi Antara Keterampilan Metakognisi Dengan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Pada Materi Lingkungan: Penelitian Deskriptif-korelasional pada siswa kelas X SMAN 26 Bandung (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung). Nurdalilah, dkk.2013.”Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematika dan Pemecahan Masalah pada Pembelajaran Berbasis Masala dan Pembelajaran Konvensional di SMA Negeri 1 Kualuh Selatan."Jurnal PendidikanMatematika/volume 6/no 2.page 109119. Paulo Freire. (1984). Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia. Siregar, N., Sahirah, R., & Harahap, A. A. (2020). Konsep Kampus Merdeka Belajar di Era Revolusi 25 STUDI LITERATUR MENGENAI KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN DALAM LINGKUP INDUSTRI DAN ORGANISASI DI ERA GENERASI MILENIAL Alfira Tara R. Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, alfira.17010664006@mhs.unesa.ac.id Felisca Novitria Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, felisca.17010664016@mhs.unesa.ac.id Abstrak Untuk menjadi seorang pemimpin di era revolusi industri 4.0 dengan sebagian besar karyawan yang berasal dari generasi milenial merupakan sebuah tantangan, terlebih jika pemimpin juga berasal dari generasi yang sama. Dukungan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengalihkan banyak pekerjaan secara digital. Dengan banyaknya generasi muda di Indonesia yang memiliki karakteristik yang khas dan potensi besar terhadap perubahan, maka kepemimpinan yang muncul pun harus menyesuaikan dengan keadaan saat ini. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan karakteristik kepemimpinan, kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin ini, dan bagaimana mengembangkan figur pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan organisasi/perusahaan di era generasi milenial sekarang dengan menggunakan metode penelitian studi literatur. Hasil telaah literatur menunjukkan bahwa pemimpin milenial harus memiliki digital mindset, cepat beradaptasi, senantiasa mengamati lingkungan sekitar, pemikiran yang terbuka, berani untuk berubah, dan pantang menyerah. Gaya kepemimpinan yang efektif diterapkan di era generasi milenial adalah gaya kepemimpinan transformasional dan etis. Dengan gaya kepemimpinan ini berdampak positif pada perkembangan motivasi dan performa karyawan. Untuk mengembangkan seseorang menjadi pemimpin milenial yang baik, diperlukan identifikasi terhadap karyawan yang berpotensi tinggi, menyesuaikan pengembangan dengan gaya belajar milenial, tidak terbatas pada pembelajaran dan segera mempromosikan generasi milenial pada peran kepemimpinan lebih cepat Kata Kunci: Kepemimpinan, karakteristik, generasi milenial PENDAHULUAN Setiap organisasi ataupun perusahaan memerlukan sumber daya manusia yang memiliki etos kerja yang baik demi tercapainya sebuah tujuan. Pencapaian tujuan dalam organisasi juga harus memperhatikan aspek-aspek penting diantaranya peran kepemimpinan atau pemimpin. Pemimpin nantinya harus bisa mengelola pegawai atau karyawan dengan baik supaya tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, pemimpin harus bisa mengelola sumber daya manusia dan menetapkan metode yang digunakan dalam memimpin pegawai atau karyawan demi tercapainya tujuan tersebut. Pola kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin terhadap pegawai atau karyawannya akan berpengaruh pada dampak yang akan dihasilkan. Dampak tersebut bisa positif dan negatif. Dampak postif dari pemimpin yang baik diantaranya atasan dan bawahan memiliki cara berpikir yang positif, kesadaran untuk tidak melanggar komitmen, kenyamanan antara pemimpin dan bawahan, motivasi dan kepuasan untuk terus bekerja apabila pemimpin menggunakan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional, sedangkan dampak negatif dari pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan leissez faire akan melahirkan sikap arogan, otoriter, komunikasi yang buruk antara pemimpin dan bawahan serta ketidaknyamanan dan ketidakpuasan dilingkungan kerja sehingga terjadi kegagalan dalam memimpin (Bass & Avoilo, 2012). Menjadi seorang pemimpin yang baik pada generasi masyarakat milenial saat ini dan kedepan menjadi satu tantangan yang kritis. Pada era generasi milenial saat ini, oragnisasi yang efektif dapat terwujud apabila para pemimpin dalam organisasi tersebut dapat memenuhi kriteria yang ditentukan sebagai pemimpin yang kredibel, pemimpin yang mempunyai kemampuan mengontrol bawahan dengan baik, berintelektual dan berwawasan luas, dan memiliki visi misi yang jauh kedepan. Kepemimpinan milenial perlu mendukung pekerja supaya memiliki sikap kemandirian dan jiwa entrepreneurship. Kemajuan teknologi informasi menjadi hal yang penting untuk saat ini, teknologi semakin canggih dan berkembang dari masa ke masa. Kemajuan teknologi dan infirmasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat saat ini. Laju informasi dan pengetahuan bergerak begitu cepat tanpa kendala, semua berubah dalam hitungan sekian detik semua masyarakat bisa 26 Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial Alfira Tara R, Felisca Novitria menikmati kecanggihan teknologi. Mulai dari proses penggalian informasi, penyebaran berita, tren masa kini, teknologi yang terus berkembang hingga berbagai produk yang bisa dinilai masyarakat hanya dengan melihat layar handphone masing-masing. Sebagai bangsa yang besar dan semakin diperhitungkan di kancah internasional, Indonesia memiliki banyak tantangan yang harus diselesaikan. Membangun Indonesia berarti membangun mental rakyatnya sehingga gagasan revolusi mental pun lahir dan dicetuskan pemerintah sebagai gerakan yang masif. Untuk mencapai perubahan yang besar dan membangun mental yang kuat diperlukan proses yang besar pula, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus mengalami pembaharuan rupanya kepemimpinan model lama pun tidak sesuai dengan generasi milenial saat ini. Oleh karena itu harus ada pembaharuan sistem dan perlu dikembangkan model-model kepemimpinan yang sesuai dengan masa sekarang. Dengan banyaknya generasi muda di Indonesia yang memiliki potensi besar terhadap perubahan, maka gaya kepemimpinan yang muncul pun harus menyesuaikan dengan keadaan saat ini. Generasi milenial saat ini memengaruhi banyak hal sehingga juga harus dipimpin dengan gaya kepemimpinan milenial. Praktek kepemimpinan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Kepemimpinan milenial memiliki pendekatan yang khas karena adanya digitalisasi yang terus merambah didunia kerja sehingga tidak memungkinkan lagi seorang pemimpin untuk bertindak secara konvensional. Di samping itu, dibutuhkan karakter pula kepemimpinan yang mampu mereduksi berbagai sikap negatif dan mampu mengeluarkan semua potensi positif dari generasi milenial seperti melek teknologi, bergerak cepat, haus ilmu pengetahuan, dan publikasi. Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan smartphone, maka akses komunikasi antar individu sudah semakin mudah. Yang semula harus bertemu kini ruang pertemuan fisik beralih ke ruang pertemuan digital. Pemimpin milenial harus bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di lingkungan kerjanya, misalnya dengan mengadakan rapat via whatsapp ataupun Anywhere Pad, mengganti surat undangan tertulis dengan undangan via email ataupun Telegram, dan membagi product knowledge via Whatsapp. Apabila seorang pemimpin tidak berupaya mendigitalisasi pekerjaannya pada era saat ini dan tidak mengalami perubahan seiring dengan kemajuan teknologi, maka pemimpin seperti itu akan ketinggalan dengan organisasi lain yang lebih modern dan memanfaatkan kecanggihan teknologi demi kemajuan oragnisasinya. Seperti yang dilansir oleh DDI (Development Dimensions International) dalam penelitiannya pada tahun 2016, mayoritas millenial leader menyukai sebuah perusahaan yang fleksibel terhadap jam kerja dan tempat mereka bekerja. Hal ini tentu saja disebabkan karena kecanggihan teknologi yang membuat orang bisa bekerja dimana saja dan kapan saja. Dapat disaksikan bahwa hari ini banyak sekali coffeeshop yang berfungsi sebagai co-working space bertebaran di tempat kita dan sebagian besar pengunjungnya adalah millenials. Generasi milenial juga dikenal lebih menyukai sesuatu yang instan, cara ini bisa dipersepsikan negatif atau positif. Posititifnya generasi ini menyukai sesuatu yang praktis dan simple, negatifnya generasi ini mungkin memiliki daya tahan yang lebih rendah terhadap tekanan dan stress karena terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat dan instan sehingga kurang sabar jika hasil yang diperoleh tidak muncul seketika. Dengan memahami karakter generasi milenial ini, kepemimpinan yang muncul pun perlu menjadi bagian dari figure yang cocok dengan mereka (Kartono, 2010) Kepemimpinan Kepemimpinan menurut Rivai dan Mulyadi (2011:12) meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi pegawai atau karyawan dalam mencapai tujuan, mempengaruhi interprestasi mengenai peristiwa-peristiwa para pekerjaa, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas lain untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama yang baik dan kerja tim yang solid dan kompak, mendapatkan dukungan satu sama lain dan saling sharing dengan orang lain untuk mendapatkan pengetahuan baru. Kepemimpinan merupakan sebuah proses dalam memengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui tentang hal-hal yang harus dilakukan dan cara melakukannya, serta proses dalam memfasilitasi usaha kolektif dan individual dalam mencapai tujuan bersama (Yukl, 2010:8). Pemimpin yang baik bisa terlihat dari beberapa keunggulan yang dimilikinya dalam memimpin orang lain. Menurut Terry (dalam Brantas, 2009) seorang pemimpin yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Energi: seorang peimpin yang baik akan selalu mempunyai kekuatan mental dan fisik dalam menghadapi segala persoalan yang mungkin terjadi di organisasi tersebut atau mengarahkan bawahan dalam bekerja. 27 Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial Alfira Tara R, Felisca Novitria 2. Stabilitas emosi: sebagai seorang pemimpin tentunya tidak memiliki pikiran yang buruk dengan pekerja lain atau prasangka karena akan sangat berpengaruh terdahadap hubungan harmonis antara atasan dan bawahan, pemimpin juga harus mampu mengendalikan diri dan mengontrol emosi dengan baik, tidak cepat marah kepada bawahan apabila bawahan melakukan kesalahan, serta mempunayi kepercayaan diri yang tinggi karena percaya diri memiliki peran penting bagi seorang pemimpin. 3. Human relationship: seorang pemimpin tentunya diharuskan mempunyai pengetahuan dalam berhubungan dengan orang lain seperti menghormati pendapat orang lain, ramah, dan menghargai orang lain. Sehingga pemimpin memiliki hubungan dan relasi yang baik dengan orang lain. 4. Personal motivation: pemimpin sebagai seseorang yang memiliki jabatan tinggi tentunya seorang pemimpin yang memiliki keinginan menjadi pemimpin besar selain itu, pemimpin harus dapat memotivasi dirinya sendiri dan memotivasi bawahan. 5. Communication skill: menjadi seorang pemeimpin diharuskan untuk mempunyai kecakapan dalam berkomunikasi karena komunikasi faktor yang sangat penting dalam organisasi. apabila pemimpin memiliki cara komunikasi yang buruk oragnisasi tersebut juga tidak akan dapat berkembang dengan baik. 6. Teaching skill: sebagai pimpinan, seorang pemimpin diharapkan mampu mempunyai kecakapan untuk mengajarkan, menjelaskan, dan mengembangkan bawahannya. Karena bawahan tentu saja perlu diarahkan, dibimbing, dan didorong untuk mengembangkan skillnya. 7. Social skill: pemimpin harus mempunyai keahliankeahlian yang digunakan untuk mempimpin organisasinya. Misalnya keahlian dalam bidang sosial seperti suka menolong apabila mengetahui ada bawahan yang sedang mengalami kesusahan, selalu mendukung apabila bawahannya ingin maju, ramah kepada semua orang terutama pegawai dan bawahannya, dan sluwes dalam bergaul. 8. Technical competent: sebagai seorang pemimpin hal utama yang mesti dimiliki yaitu kecakapan dalam menganalisis, merencanakan, mengorganisasi, mendelegasikan wewenang, menyusun konsep, dan mengambil keputusan dalam organisasi. karena hal tersebut merupakan aspke penting yang harus dimiliki oleh pemimpin organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai. Adapun prinsip-prinsip kepemimpinan menurut Atmadja (2012) sebagai berikut: 1. Peramu talenta Seorang pemimpin harus dapat meramu orangorang yang dipimpinnya sehingga mereka mampu menjalankan misi dan tugas-tugas organisasi dengan baik. Meramu artinya pemimpin dapat memilih orang-orang terbaik yang dimilikinya, kemudian menempatkannya pada posisi, tanggung jawab, dan kewenangan yang sesuai sehingga akan mengahsilkan kerjasama dan kinerja sinergis yang luar biasa. 2. Inspiring by modelling Menjadi seorang pemimpin tentunya juga harus bisa menjadi contoh atau panutan yang baik bagi anak buahnya. Cara yang bisa dilakukan untuk oleh pemimpin yaitu merasa dirinya sebagai seorang model. Melakukan pekerjaan yang baik, tepat waktu dan displin karena kekuatan mempengaruhi (power of influence) juga ditentukan oleh kemampuan pemimpin dalam menginspirasi bawahan melalui peran panutan. 3. Empowerment and motivation Sebagai seorang pemimpin harus mampu menemukan potensi-potensi tersembunyi yang terdapat dalam diri anak buahnya, kemudian melakukan pelatihan atau menggali potensi lebih dalam untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul. 4. Productive harmony Artinya iklim organisasi dimana karyawan, pemimpin dan semua pekerja memiliki hubungan yang hangat layaknya kekeluargaan, harmonis karena mereka memiliki satu tujuan yang sama yang harus dicapai dan hubungan antar pekerja terjalin sangat baik. 5. Everyone is importance Pemimpin yang menganggap bahwa “everyone is importance” akan selalu menghargai setiap pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya dari divisi manapun. Karena pemimpin seperti ini memiliki prinsip bahwa semua divisi dan bagian yang ada dalam organisasi memiliki peran yang penting bagi organisasi itu sendiri. 6. Guardian Pemimpin adalah pelindung. Maksudnya adalah sebagai pimpinan dalam organisasi, seorang pemimpin harus ada ketika pegawai atau karyawan sedang menghadapi persoalan-persoalan pelik 28 Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial Alfira Tara R, Felisca Novitria yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri sehingga membutuhkan bantuan pemimpin. Selain itu, Kartono (2014) menyatakan untuk menjadi pemimpin harus mempunyai 1. Kekuasaan: kekuasaan artinya seorang pemimpin harus memiliki kekuatan otoritas, legalitas, mampu menggerakkan bawahan untuk mengerjakan pekerjaan dalam mencapai tujuan. 2. Kewibawaan: seorang pemimpin pasti memiliki kelebihan / keunggulan dalam membuat kebijakan yang tegas supaya semua pegawai atau karyawan patuh terhadap aturan yang telah dibuatnya. 3. Kemampuan: pemimpin pasti diharruskan memiliki kesanggupan dalam mengatur dan memberi arahan kepada bawahan apabila ada yang tidak mengerti, memiliki kekuatan yang besar karena harus mengurus sebuah organisasi, dan memiliki kecakapan dan inetraksi sosial yang tinggi. Generasi Millenial Menurut Manheim (dalam Kemenpppa, 2018) generasi adalah konstruksi sosial yang terdapat sekelompok orang yang memiliki kesamaan usia dan pengalaman historis. Individu yang berada dalam satu generasi akan memiliki kesamaan tahun lahir dalam rentang 20 tahun dengan dimensi sosial dan sejarah yang sama. Generasi merupakan sekelompok individu yang memiliki identitas kesamaan usia, tahun kelahiran, lokasi, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kehidupan kelompok tersebut, sehingga memengaruhi fase pertumbuhan mereka secara signifikan (Kupperschmidt, dalam Kemenpppa, 2018). Generasi milenial merupakan sekelompok individu yang lahir dalam rentang tahun 1981-2000an (Long, 2017). Generasi ini adalah penggerak utama dalam fenomena bonus demografi, terutama dengan potensi kesetaraan gendernya akan mampu meningkatkan perekonomian negara. Generasi milenial terdiri dari mayoritas penduduk usia produktif dengan peranannya yang penting. Untuk memasuki dunia kerja, para milenial akan lebih memiliki bermacam-macam jenis profesi yang karakteristiknya berbeda dari beberapa generasi sebelumnya. Untuk memaksimalkan potensi ini, maka perlu lebih memahami karakteristik milenial. Ciri utama kaum milenial adalah peningkatan penggunaan dan kelekatan dengan media komunikasi dan teknologi digital di kehidupan sehari-hari. Dengan adanya kemajuan teknologi ini, para milenial memiliki karakteristik kreatif, informatif, passionate dan produktif. Generasi ini juga memiliki komunikasi yang terbuka, bebas, kritis, berani, dan reaktif terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Generasi milenial memiliki kualitas yang lebih unggul dalam segi pendidikan, dan memiliki minat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Kemenpppa, 2018). Menurut Harrison (2017) generasi milenial mmiliki keinginan bekerja pada perisahaan yang mengembangkan pemikiran kreatif / inovatifnya, sehingga mereka dapat berkompetensi dan mengembangkan kontribusi positif bagi organisasi. Hal ini juga didukung oleh banyak cendekiawan yang mengakui bahwa para milenial memiliki karakteristik yang percaya diri terhadap teknologi dan kompeten di tempat kerja. Maka dari itu, berdasarkan pemaparan diatas, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana karakteristik kepemimpinan, kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin ini, dan bagaimana mengembangkan figur pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan organisasi/perusahaan di era generasi milenial sekarang. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur, yaitu dengan telaah dan pengumpulan data melalui sumber-sumber tertulis seperti buku, jurnal, dan surat kabar, terkait kepemimpinan di era generasi millenial. PEMBAHASAN Setiap generasi memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari perkembangan zaman generasi sebelumnya. Berkaitan dengan hal ini, setiap generasi membutuhkan pemimpin dengan karakteristik yang berbeda-beda. Di era revolusi industri 4.0 yang bermula sejak sekitar tahun 2010, ditandai dengan adanya perkembangan penggunaan internet, mesin dan rekayasa kecerdasan sebagai penggerak utama konektivitas antar manusia dan mesin (Prasetyo, 2018). Era revolusi industri 4.0 ini telah banyak digerakkan oleh kaum milenial yang lahir pada tahun 1980-2000an (Suwardana, 2018). Kepemimpinan milenial didefinisikan sebagai kepemimpinan masa kini yang menyesuaikan dengan gaya generasi baru yang lahir pada era 1980-an. Pola kepemimpinan milenial tidak sama dengan pola kepemimpinan lama dari generasi sebelumnya. Generasi milenial lebih memiliki keberanian dalam berinovasi karena mereka lebih termotivasi menciptakan startup atau merintis usaha dan bisnis baru. 29 Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial Alfira Tara R, Felisca Novitria Pada dasarnya generasi milenial merupakan generasi yang aktif dalam bekerja, belajar, maupun berbisnis. Konsep kepemimpinan bagi masyarakat milenial yaitu sebagai teladan bagi orang lain. Selain memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, dibutuhkan pula kemampuan dan kapasitas dalam memimpin, serta memiliki pola perilaku yang baik. Untuk itu, pemimpin generasi milenial perlu memiliki karakteristik: dapat menjadi teladan yang baik, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki sense of belonging, sense of participation, sense of responsibility, dan dapat menciptakan kerjasama yang baik dikalangan anggotanya. Selain itu, karakteristik khas dari generasi milenial adalah kemampuannya dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, dimana media online menjadi kebutuhan sehari-hari mereka. Generasi milenial juga lebih berani dalam berinovasi, lebih menyukai kemandirian dan menyukai sesuatu yang cepat, praktis, ataupun instan. Figur kepemimpinan generasi milenial harus dapat memahami karakteristik tersebut dan menjadi bagian dari mereka. Maka dari itu, kepemimpinan milenial perlu memahami dan menerapkan pola komunikasi generasi milenial, yaitu dengan ikut menggunakan media sosial. Pemimpin juga harus dapat mendorong munculnya inovasi, kreativitas, dan kemandirian jiwa wirausaha mereka secara konkrit (Ambarwati & Raharjo, 2018). Selain itu, dalam lingkungan kerja, perubahan dari generasi ke generasi merupakan subjek yang memunculkan perkembangan manajemen sumber daya manusia (SDM). Untuk mewujudkan kepemimpinan ideal yang dapat memaksimalkan potensi positif dan mengurangi sikap negatif yang dimiliki kaum milenial, terdapat beberapa aspek-aspek karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin di era revolusi industri 4.0 adalah sebagai berikut (Peramesti & Kusuma, 2018): 1. Digital Mindset Digital mindset merujuk pada pemikiran seseorang yang senantiasa dapat memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pekerjaannya. Hal ini dapat diwujudkan melalui pertemuan digital/online melalui platform media sosial. Kecanggihan teknologi ini membuat pekerjaan menjadi fleksibel, dapat dikerjakan dimanapun dan kapanpun. Jika pemimpin tidak berinisiatif dalam melakukan digitalisasi, maka akan dianggap sebagai pemimpin yang tidak adaptif. 2. Observer dan Active Listener 3. 4. 5. 6. Seorang pemimpin harus dapat menjadi pengamat sekaligus pendengar yang aktif. Hal ini dikarenakan kaum milenial yang memiliki keinginan untuk diperhatikan dan menyukai kebebasan berekspresi di media sosial, sehingga apabila diperhatikan, mereka cenderung merasa dihargai dan termotivasi. Terutama jika diberikan kesempatan untuk mengungkapkan idenya dan berbagi pengalaman. Agile Pemimpin yang agile merujuk pada pemimpin yang cerdas dalam melihat peluang, cepat beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi perubahan di organisasinya. Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki pemikiran yang terbuka dan bersedia menerima ketidakjelasan (ambiguity). Inclusive Makna inclusive mengacu pada kemampuan cara berpikir yang luas dalam memandang suatu permasalahan. Pemimpin yang inclusive dibutuhkan karena cara pandang individu semakin kompleks karena kemudahan akses terhadap berbagai informasi akan membentuk perspektif yang berbeda-beda. Maka dari itu, seorang pemimpin diharapkan dapat mengahrgai berbagai sudut pandang pemikiran yang ada untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu, pemimpin juga harus memberikan pemahaman pentingnya nilai-nilai, budaya, dan visi dalam organisasinya. Brave to be Different Menjadi pemimpin yang berani mengambil resiko dalam mencapai tujuan yang berbeda dengan budaya atau kebiasaan orang lain di lingkungan sekitar merupakan suatu tantangan bagi pemimpin milenial. Pemimpin perlu mengubah kondisi tersebut dan menanamkan pemahaman bahwa berbeda itu merupakan hal yang diperbolehkan selama disertai dengan perencanaan dan tujuan yang jelas. Unbeatable Unbeatable mrujuk pada sikap pantang menyerah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, terutama dalam memimpin kalangan milenial yang cenderung malas dan merasa paling benar sendiri. Selain itu, pemimpin harus memiliki cara berpikir positif dan semangat yang tinggi dalam mencapau suatu tujuan. Persangan kerja yang semakin ketat menuntut pemimpin untuk meningkatkan keterampilan ataupun kemampuannya, sehingga penting bagi pemimpin memiliki sikap yang mampu bangkit dari kegagalan dan pantang menyerah. 30 Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial Alfira Tara R, Felisca Novitria Pola kepemimpinan yang berlaku di suatu perusahaan ataupun organisasi juga perlu disesuaikan dengan karyawan dan perkembangan generasi milenial. Menurut Suyanto, Mu’ah, Purwanti, dan Sayyid (2019), kepemimpinan transformasional adalah suatu gaya kepemimpinan yang efektif dalam memberikan motivasi kepada para bawahan agar dapat berperilaku sesuai tujuan yang diinginkan, terutama dikalangan milenial. Gaya kepemimpinan ini mencerminkan karakteristik kalangan milenial yang berorientasi pada peningkatan produktivitas yang mengandalkan kreativitas dan inovasi. Kepemimpinan transformasional mengutamakan prinsip-prinsip yang inspiratif dan dapat memberikan dukungan perkembangan SDM disuatu organisasi. Dengan menerapkan kepemimpinan transformasional, maka akan mendukung adaptasi terhadap perubahan dan perkembangan teknologi informasi komunikasi di era revolusi industri 4.0 dan dapat memaksimalkan peran milenial dalam memajukan suatu organisasi/perusahaan. Kepemimpinan transformasional ini juga sangat cocok jika diterapan dalam organisasi beriklim dinamis, yang memerlukan kreativitas dan inovasi yang tinggi. Adapun penelitian oleh Mangundjaya dan Ratnaningsih (2017) yang juga membuktikan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan visi dan penilaian positif terhadap pemberdayaan psikologis generasi X dan Y. Hal ini berarti bahwa kedua generasi tersebut memiliki kecocokan terhadp gaya kepemimpinan transformasional, yang dapat mengembangkan interaksi antara atasan dan bawahan, sehingga berdampak positif pada perkembangan SDM-nya. Selain itu, Widjaja (2020) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional dalam industri manufaktur menunjukkan bahwa organisasi membutuhkan manfaat timbal balik dari semangat inspirasi, advokasi, pemberdayaan, dan komunikasi secara efektif di seluruh organisasi untuk kesuksesan di masa depan. Transformasi kepemimpinan mengacu pada tujuan melengkapi pekerja dengan keyakinan dan kemampuan untuk beradaptasi dan menjadi lebih inovatif di tempat kerja; sehingga perkembangan program kepemimpinan menjadi faktor yang penting dalam menentukan bentuk dan seberapa signifikan perkembangan peran kepemimpinan bagi keberhasilan keberlanjutan organisasi di masa depan. Pemimpin yang fokus pada industri manufaktur 4.0 menunjukkan kekhawatiran bahwa pemimpin saat ini kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk masa depan, kecuali pemimpin milenial mempelajari sesuatu yang berbeda dari apa dilihat dan ditiru oleh para pemimpin lainnya. Generasi milenial memiliki tugas yang kebih menantang yang membutuhkan pengalaman baru, evaluasi, dan pengenalan performa tertentu. Para milenial menempati kepentingan tertinggi pada peluang perbaikan pekerjaan. Sekarang, generasi milenial dan revolusi industri menantang sistem kepercayaan lama. Seiring dengan hal tersebut, diperlukan kepemimpinan untuk menuju perubahan di masa depan dengan nilai-nilai dan norma sosial yang baru. Para pemimpin harus belajar beradaptasi dengan norma-norma baru yang fokus pada kebutuhan pekerja karena globalisasi dan teknologi telah merobohkan hambatan jarak dan pekerjaan intelektual. Organisasi harus memikirkan kembali program pengembangan kepemimpinan yang efektif dengan mempertimbangkan aspek budaya dalam memenuhi kebutuhan pekerja saat ini untuk menjadi pemimpin masa depan nantinya. Selain kepemimpinan transformasional, adapun gaya kepemimpian etis yang efektif diterapkan pada generasi milenial. Long (2018) menunjukkan bahwa kepemimpinan etis merupakan gaya kepemimpinan yang paling efektif setelah survei. Kepribadian seorang pemimpin dapat memengaruhi gaya kepemimpinan yang ia praktikkan. Atribut seorang pemimpin yang efektif adalah mempercayai peluang kesuksesan yang ada, keterampilan komunikasi yang baik, empatik, dan dapat memberikan penilaian yang baik. Pemimpin dengan pola perilaku dan suasana hati yang positif akan lebih diterima oleh para karyawan dan mendorong performa kerja mereka, yang pada akhirnya dapat memengaruhi sikap karyawan dalam mengambil keputusan. Selain itu, keutamaan seorang pemimpin adalah kemampuan bekerja dengan integritas dan bertanggung jawab. Perilaku ini memiliki hubungan terkuat untuk memotivasi karyawan millenial. Memberikan kejelasan peran adalah perilaku yang paling disukai kedua dengan memberikan panduan etika. Sebaliknya, menunjukkan perilaku keadilan dan pembagian kekuasaan tidak akan efektif untuk memotivasi karyawan milenial. Kepuasan kerja karyawan dapat meningkat karena perilaku kepemimpinan ini diterapkan. Pada gilirannya akan memiliki dampak sosial yang positif pada individu, maupun pada komunitas yang bekerja untuk para pemimpin yang mempraktikkan gaya kepemimpinan etis. Menurut Kelly dan Vamos (2018), terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pemimpin milenial, antara lain : 1. Mengidentifikasikan bakat potensi tinggi milenial. 31 Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial Alfira Tara R, Felisca Novitria SDM dan para manajemen profesional perlu mengidentifikasi karyawan milenial yang berpotensi tinggi dan melacak mereka untuk pengembangan kepemimpinan khusus berdasarkan strategi pengembangan personal tiap individunya. 2. Menyesuaikan pengalaman belajar dan pengembangan dengan gaya belajar milenial, preferensi, dan konten harapan. Ketika datang ke pelatihan formal dan pengalaman pengembangan, milenium menginginkan fleksibilitas. Divisi SDM dan manajemen profesional perlu menyusun ataupun memperbarui pelatihan dan pengembangan pengalaman agar lebih singkat, dapat diakses secara online, dan tersedia kapan saja untuk sesuai dengan fleskibilitas generasi milenial. Pembelajaran formal dan pengembangan harus terfokus pada soft skill untuk pengembangan keterampilan kepemimpinan yang lebih transformasional, yang mencakup: komunikasi, relationship building, etiket bisnis, cara menginspirasi dan memengaruhi orang lain. 3. idak membatasi pengembangan keterampilan kepemimpinan pada pembelajaran formal dan pengembangan pengalaman sendiri. Keterampilan kepemimpinan dapat dipelajari di luar pembelajaran formal dan pengalaman pengembangan. Generasi milenial menginginkan umpan balik tatap muka tentang kinerja mereka. Pembinaan formal, mentoring, dan program jobshadowing dapat memenuhi kebutuhan pengembangan keterampilan kepemimpinan bagi milenial. Seperti misalnya program rotasi pekerjaan yang dapat meningkatkan pengetahuan tentang organisasi dan industri mereka, serta pertemuan bulanan antara karyawan milenial dan pelatih SDM untuk membahas tujuan karir dapat membantu mereka tetap berkomitmen pada organisasi. 4. Mempromosikan generasi milenial pada peran kepemimpinan secara lebih cepat daripada generasi sebelumnya. Perusahaan atau organisasi dapat menawarkan kesempatan bagi generasi milenial untuk melakukan peran kepemimpinan. Hal ini dapat dilakukan dengan menjadikan mereka sebagai pemimpin tim/ proyek berbasis tim, menjadikan mereka mentor bagi karyawan senior, rotasi pekerjaan, dan tour of duty dapat memungkinkan mereka mempelajari keterampilan kepemimpinan yang mereka perlukan untuk berhasil mengambil posisi kepemimpinan di organisasi mereka. PENUTUP Simpulan Kepemimpinan milenial didefinisikan sebagai kepemimpinan masa kini yang menyesuaikan dengan gaya generasi baru yang lahir pada era 1980-an. Pola kepemimpinan milenial tidak sama dengan pola kepemimpinan lama dari generasi sebelumnya. Generasi milenial lebih memiliki keberanian dalam berinovasi karena mereka lebih termotivasi menciptakan startup atau merintis usaha dan bisnis baru. Pemimipin milenial harus memiliki digital mindset, keberanian untuk berubah, cepat beradaptasi, senantiasa mengamati lingkungan sekitar, pemikiran yang terbuka, dan pantang menyerah. Gaya kepemimpinan yang efektif diterapkan di era generasi milenial adalah gaya kepemimpinan transformasional dan etis. Dengan gaya kepemimpinan ini berdampak positif pada perkembangan motivasi dan performa karyawan. Menurut Kelly dan Vamos (2018), terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pemimpin milenial, antara lain: 1. Mengidentifikasikan bakat potensi tinggi milenial. 2. Menyesuaikan pengalaman belajar dan pengembangan dengan gaya belajar milenial, preferensi, dan konten harapan. 3. Tidak membatasi pengembangan keterampilan kepemimpinan pada pembelajaran formal dan pengembangan pengalaman sendiri. 4. Mempromosikan generasi milenial pada peran kepemimpinan secara lebih cepat daripada generasi sebelumnya. Generasi milenial adalah generasi yang memiliki kemampuan dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, dimana media online menjadi kebutuhan sehari-hari mereka. Generasi milenial juga lebih berani dalam berinovasi, lebih menyukai kemandirian dan menyukai sesuatu yang cepat, praktis, ataupun instan, sehingga figur kepemimpinan generasi milenial harus dapat memahami karakteristik tersebut dan menjadi bagian dari mereka. Maka dari itu, kepemimpinan milenial perlu memahami dan menerapkan pola komunikasi generasi milenial, yaitu dengan ikut menggunakan media sosial. Saran Berhasil tidaknya organisasi dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada kepemimpinannya. Pemimpin yang bertanggung jawab dalam mengintegrasikan antara keinginan dan kebutuhan dari anggota organisasi dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi, sehingga sebuah kepemimpinan harus dapat menyesuaikan 32 Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial Alfira Tara R, Felisca Novitria dengan tuntutan dan perkembangan zaman, terlebih pada era generasi milenial saat ini. Rivai, V., & Mulyadi, D. (2011). Kepemimpinan dan perilaku organisasi (edisi ke-3). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Suyanto, U.Y., Mu’ah, M., Purwanti, I., & Sayyid, M. (2019). Transformational leadership: Millenial leadership style in industry 4.0. Manajemen Bisnis, 9(1), 53-63. Ambarwati, A., & Raharjo, S.T. (2018). Prinsip kepemimpinan character of a leader pada era generasi milenial. Philanthropy Journal of Psychology, 2(2), 114-127. Atmadja, Stanley. S. (2012). Inside the giant leap: How abundance mind creates performing climate to achive extraordinary result. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Bass, B. M., & Avoilo, B. J. (2012). Bass & stodghill’s handbook of leadhership: theory, research and managerial application 3rd ed. New York: Free Press. Wong, C.A. (2007). The relationship between nursing leadhership and patient outcomes: a systematic review. Jounal University of Western Ontario London. Yukl, G.2010. Leadership in organizations. New Jersey: Prentice Hall. Brantas. (2009). Dasar-dasar manajemen. Bandung: alfabeta Harrison, A.E. (2017). Exploring millenial leadership development: An evidence assessment of information communication technology and reverse mentoring competencies. Case Studies in Business and Management, 4(1), 25. Kartono, K. (2010). Pemimpin dan kepemimpinan apakah kepemimpinan abnormal itu?. Jakarta. Rajawali press Kartono, K. (2014). Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: Grafindo Persada. Kelly, K., & Vamos, C. (2017). Developing Millenial Leaders. UNC Executive Development. Diunduh dari execdev.kenan-flagler.unc.edu Kemenpppa. (2018). Statistik gender tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia. Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Long, S. (2017). Exploring which leadership style are effective with millenial employees. ProQuest Dissertation and Theses, 171. Long, S. (2018). Leading millennial employees through ethical leadership. International Journal of Business and Management Invention, 7(12), 4852. Mangundjaya, W.H., & Ratnaningsih, I.Z. (2017). Gaya kepemimpinan transformasional, jenis generasi, dan psychological empowerment pada karyawan PT. X Karawang. Jurnal Empati, 6(1), 436-441. Peramesti, N. P. D. Y., & Kusmana, D. 2018. "Kepemimpinan Ideal Pada Era Generasi Milenial". TRANSFORMASI: Jurnal Manajemen Pemerintahan. 33 MEMBANGUN KARAKTER BERBASIS BUDAYA JAWA PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0, REVOLUSI SOCIETY 5.0, DAN “MERDEKA BELAJAR” Sri Sulistiani Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya, srisulistiani@unesa.ac.id Sukarman Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya, sukarman@unesa.ac.id Abstrak Penguatan karakter harus dilakukan seiring dengan era Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society 5.0, dan “Merdeka Belajar”. Pendidikan karakter bangsa yang bersumber pada budaya nasional yang berarti berakar pada budaya lokal. Nilai-nilai luhur budaya lokal itulah yang dekat dengan anak dan dapat ditanamkan melalui pendidikan informal (keluarga) formal, maupun non formal. Karakter bangsa dibangun melalui 4 olah yang berakar pada budaya Jawa, yaitu olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga. Keempat olah menghasilkan karakter dasar jujur, cerdas, peduli, dan tangguh yang kemudian dikembangkan menjadi karakter-karakter lainnya. Melalui studi pustaka dan analisis deskriptif pembangunan dan penguatan karakter bangsa dapat dilakukan dengan bahasa, sastra, seni budaya Jawa. Seni budaya Jawa, seperti unggah-ungguh basa, tembang, dan ungkapan tradisional mengandung nilai-nilai yang menjadi penguat karakter bangsa, seperti demokratis, religius, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, mandiri, jujur, toleran, bekerja keras, cinta tanah air, semangat kebangsaan, komunikatif, peduli sosial, dan lainnya. Kata kunci: karakter, budaya Jawa, Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society 5.0, “Merdeka Belajar” Berbicara tentang “Jawa” di era globalisasi PENDAHULUAN mengingatkan kita akan ungkapan ”wis nJawa, durung Perkembangan revolusi industri (RI) 4.0, yang ditandai nJawa, lan ora nJawa”. Ungkapan ini dalam konsep oleh literasi data atau big data, literasi teknologi budaya Jawa merupakan cerminan etika dan moralitas dengan perkembangan teknologi digital yang luar masyarakat Jawa. Ungkapan ini merupakan cerminan biasa, ternyata dilengkapi dengan literasi sumber daya hati nurani (karsa) yang sudah, belum, dan tidak sesuai manusia yang humanistik. Mengapa? Ternyata dengan tuntutan moralitas dan etiket Jawa (Saryono, secanggih-canggihnya perkembangan teknologi 2007:44). Antara etika dan moral memiliki hubungan yang erat, jika etika berupa aturan tentang tingkah digital yang diciptakan oleh manusia, literasi manusia laku, maka moral merupakan hasilnya. Ungkapan ”wis menjadi penting agar manusia bisa bertahan, berfungsi, nJawa” berarti sudah mengerti dan menguasai dan dapat memahami interaksi yang kompleks di segala konteks atau lingkungan. Sepintar apapun moralitas dan etiket Jawa, ”durung nJawa” berarti pada tataran proses untuk mengerti, dan ”ora nJawa” manusia tidak dapat hidup dengan teknologi yang bisa memiliki dua pengertian, yakni memang tidak merupakan benda mati, manusia secara langsung maupun tidak langsung sebagai makhluk individu mengerti ”Jawa” atau mengerti tentang ”Jawa” tapi tidak melakukan etika dan moralitas Jawa tersebut. sekaligus makhluk sosial membutuhkan orang lain Yang terpenting terkait etika dan moralitas, adalah atau masyarakat dalam segala urusannya kehidupan di (1) tingkah-laku dan tata nilai sesuai dengan tatanan dunia ini. Perkembangan teknologi digital yang luar masyarakat yang timbul dari hati sendiri, (2) rasa biasa cepatnya mempengaruhi seseorang untuk tanggung jawab yang menyertai tindakan itu, dan (3) mendapatkan data dan informasi dengan mudah dan perilaku mendahulukan kepentingan masyarakat dari cepat tanpa batas ruang dan waktu, tidak cukup untuk pada keinginan dan kepentingan pribadi (Drajat dalam menjalani kehidupan ini. Memang saat ini manusia Widayati, dkk, 2008:94). Kearifan lokal dalam dituntut menjadi pribadi yang mandiri, tetapi harus kaitannya dengan produk budaya mencakup 5 dapat berkomunikasi, berkolabarasi, berpikir kritis, kegiatan, yaitu: (1) sikap religius sebagai cerminan kreatif, dan inovatif. Yang semuanya itu tidak tercapai, jika mengabaikan peran individu dalam kehidupan kearifan lokal yang berkaitan dengan perilaku dan sikap dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta sosial yang humanis, ‘memanusiakan manusia’. alam semesta, yaitu Tuhan Yang Mahaesa; (2) perilaku 34 Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar” Sri Sulistiani, Sukarman diri sendiri sebagai upaya pengendalian diri agar dapat menerima dan diterima oleh masyarakat di luar dirinya; (3) tatacara berkomunikasi atau bergaul dengan masyarakat luas sebagai bagian dari dirinya; (4) perilaku dan sikap dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga dan kerabat lainnya; dan (5) kearifan lokal yang berkaitan dengan lingkungan yang memberi manfaat positif kepada kehidupan, serta membuat hidup menjadi aman dan nyaman (Sutarto, 2010:vii). Nilai kearifan lokal atau local genius yang dicontohkan sebagai dasar pembangunan pendidikan karakter bangsa. Karakter mengacu pada perilaku yang berkaitan dengan nilai-nilai yang baik, perbuatan yang baik, menjalani kehidupan yang baik, menciptakan lingkungan yang baik, sehingga semua hal yang “baik’ itu terejawantahkan dalam semua perilaku dan terpatri dalam diri pribadi (Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 2010). METODE Artikel ini merupakan hasil studi pustaka tentang penguatan karakter yang terkandung dalam budaya Jawa dalam kaitannya dengan era RI 4.0, RS 5.0, dan “Merdeka Belajar”. Masalah yang dikaji adalah nilainilai karakter yang terkandung dalam budaya Jawa yang merefleksikan era RI 4,0, RS 5.0, dan “Merdeka Belajar. Teknik analisis isi dan analisis deskriptif digunakan untuk membuat penggambaran objektif tentang sesuatu keadaan sesuai dengan situasinya. Melalui studi dokumentasi, pengambilan data dilakukan dengan memahami sistem tanda yang dapat dianalogikan sebagai kata atau kalimat dan cara penulisannya. Untuk pengujian keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber dan teori, serta dengan cara diskusi dengan teman sejawat. Hasil analisis diharapkan menambah wawasan terhadap pembaca bahwa penguatan pendidikan karakter berakar pada latar belakang budaya lokal (daerah) sebagai komponen utama yang memperkuat budaya nasional. PEMBAHASAN Pembahasan dilakukan dengan mengkaji sumber pustaka yang terkait dengan era Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society 5.0, dan “Merdeka Belajar dan karakter yang berbasis budaya Jawa. Selayang Pandang Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society 5.0, dan “Merdeka Belajar” Konsep Society 5.0 muncul pertama kali di Jepang sebagai dampak RI 4.0. Konsep ini menggambarkan suatu tatanan masyarakat yang berpusat pada manusia yang hidup di tengah perkembangan teknologi. Dalam RI 4.0 masyarakat dapat melacak, mengunduh, dan menganalisis informasi dari berbagai sumber big data dan dengan era Society 5.0 data yang ada dianalisis melalui kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang hasilnya dikembalikan untuk kepentingan manusia dalam berbagai bentuk dalam ruang fisik. Era Revolusi Industri 4.0 Banyak negara-negara maju maupun yang sedang berkembang memasukkan RI 4.0 sebagai agenda wajib gerakan nasional untuk meningkatkan daya saing di kancah pasar global. Perkembangan RI ini sebenarnya menggambarkan bagaimana sejarah perkembangan peradaban kehidupan manusia dari jaman purbakala sampai dengan era digital saat ini. Proses perkembangan tersebut digambarkan berikut ini Gambar 1. Revolusi Industri 4.0 (Sumber: www.kompasiana.com) (1) Revolusi Industri 1.0 (abad 18) dikenal dengan istilah food gathering atau tahap meramu dan berburu, yang terjadi pada zaman purbakala dengan peradaban dan teknologi yang masih sangat minim. Peradaban manusia pada zaman itu berburu dan memanfaatkan apa yang mereka temukan di alam. (2) Revolusi Industri 2.0 (abad 19) dikenal dengan revolusi agrarian, karena seiring dengan perkembangan keilmuan manusia yang semula mengumpulkan makanan beralih menjadi memproduksi makanan melalui sistem pertanian dan mulai penerapan teknologi produksi massal bertenaga listrik (3) Revolusi Industri 3.0 (abad 20) dikenal dengan industri mesin, yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia yang beralih ke tenaga mesin sebagai pola kerja. Pabrik-pabrik memanfaatkan elektronik dan teknologi informasi (TI). (4) Revolusi Industri 4.0 (abad 21-sekarang) dikenal dengan era digital dengan memanfaatkan jaringan internet. Berbagai sendi kehidupan manusia didominasi oleh kemajuan teknologi informasi, yang ditandai dengan big data, big teknologi dan literasi manusia. 35 Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar” Sri Sulistiani, Sukarman Perkembangan RI 4.0 melahirkan “robot cerdas” dan “pabrik cerdas” yang memaksimalkan fungsi internet yang digunakan sebagai promotor untuk mengoptimalkan rantai produksi. Dengan adanya big data dan teknologi ternyata perlu adanya sisi humanistis dalam melakukan semuanya, sehingga dikembangkan literasi manusia (human literacy) sebagai penyeimbang bahwa manusia dalam kehidupannya membutuhkan interaksi langsung dengan manusia lainnya. Bergabungnya berbagai teknologi berbasis Internet of Things (IoT) yang disimpan ke dalam big data tersebut kemudian diproses oleh Artificial Intelligence (kecerdasan buatan).. Menyikapi pengaruh yang luar biasa dahsyat, yang perlu diperhatikan ketika menghadapi RI 4.0 di dunia pendidikan, antara lain: a. Era Disrupsi 4.0 Clayton Christensen dan Michael Porter memopulerkan istilah disrupsi sebagai perkembangan dari tradisi berpikir yang kompetitif “untuk bisa menang” atau “agar kamu menang”, kamu harus membuat beberapa orang kalah” (for you to win, you’ve got to make some body lose). Era disrupsi adalah masa ketika perubahan suatu masa yang terjadi dengan tidak terduga, namun mendasar dan mengenai hampir semua aspek kehidupan (Bashori, 2018: 287). Ciriciri yang menandai era disrupsi, yaitu penggunaan teknologi online secara besar-besaran pada sebagian besar perusahaan mengutamakan kecakapan sosial (social skills) dalam bekerja dan untuk menjual produk mereka. Untuk mengatasi disrupsi ada tiga opsi, yaitu (1) berisi atau keluar (contain or exit), (2) jadilah gangguan (be the disruption), dan (3) merusak pengganggu (undermine the disruptor). b. Era Literasi 4.0 Era literasi ditandai dengan bergesernya literasi lama yang bersandar ke calistung (membaca, menulis berhitung) ke literasi baru berbasis RI 4.0, yaitu 1) Literasi Data (big data) yaitu kemampuan untuk membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi di dunia digital; 2) Literasi Teknologi yaitu kemampuan memahami cara kerja mesin dan aplikasi teknologi (Coding, Artificial Intelligence, & Engineering Principles); dan 3) Literasi Manusia yaitu tumbuhnya manusia yang humanis, komunikatif, dan mampu mendesain. Revolusi Society 5.0 (RS 5.0) Society 5.0 menjadikan The Internet of Things suatu kearifan budaya baru yang membuka peluang-peluang bagi kemanusiaan dengan kecerdasan buatan yang mentransformasi big data pada segala sector kehidupan untuk meningkatkan kemampuan manusia. Dunia berubah dengan cepat dan signifikan karena big data meretas batas ruang dan waktu. Pengembangan alur informasi terkait dengan pengembangan revolusi masyarakat 5.0 berikut ini . Entering Society 5.0 (https://karinov.co.id/revolusi-industri-5-jepang) Hal itu tentunya akan memberikan dampak pada ketahanan nasional jika tidak ada filter yang menyaring masuknya arus budaya asing. Oleh karena itu, penguatan integritas bangsa melalui penguatan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan terus melakukan penataan, pemeliharaan, pemertahanan, pelestarian, dan pengembangan secara terus-menerus dari generasi ke generasi. Ancaman ketahanan nasional saat ini berbentuk digital melalui dunia maya, bukan lagi berbentuk fisik lagi. Dampak yang ditimbulkan, yaitu: a. Dunia semakin terkoneksi Dunia yang semakin terkoneksi sebagai dampak nyata dari RI 4.0 dan RS 5.0 menyebabkan seolaholah batas-batas negara hilang. Hilangnya batasbatas ini tentu mengancam bangsa Indonesia dalam berbagai hal, misalnya jatidiri dan identitas bangsa akan terpengaruh oleh penetrasi pengaruh budaya asing yang semakin sulit disaring dan tidak terkendali. Hal yang takkalah berbahaya adalah pengaruh big data yang menyebabkan informasi segala aktivitas masyarakat Indonesia terekam dan dapat diakses oleh siapapun, termasuk potensi bocornya rahasia dan privasi negara. Pendataan identitas pemegang handphons termasuk salah satu upaya untuk mengantisipasi dan mengendalikan informasi agar tidak sembarangan disebarkan. b. Dunia semakin kompetitif Di era teknologi digital ini peran manusia semakin banyak digantikan oleh munculnya robot-robot cerdas. Pekerjaan-pekerjaan dalam dunia industri banyak yang diselesaikan oleh robot dan peran manusia tidak dibutuhkan lagi. Ini adalah ancaman 36 Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar” Sri Sulistiani, Sukarman dan sekaligus ujian bagi pendidikan Indonesia. Jika problema pendidikan ini gagal diatasi pemerintah, itu berarti masyarakat Indonesia mengalami kekalahan bersaing dengan robot ciptaannya dan itu akan berdampak terhadap peningkatan angka pengangguran. Konsep RS 5.0 secara sederhana merupakan tatanan integrasi masyarakat yang memusatkan pada hakikat manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based). Aplikasi RS 5.0 yang merupakan peradaban baru yang diterapkan oleh pemerintah Jepang dalam menghadap masalah angka generasi tua yang tinggi yang membutuhkan pelayanan kesehatan, solusi dilakukan dengan membuat sistem remot menggunakan artificial intelligence (AI) dan menciptakan robot perawat. AI dan robot juga diaplikasikan untuk mengatasi tingginya biaya perawatan infrastruktur lainnya. Indonesia saat ini belum memiliki kompleksitas AI seperti negara ASEAN lainnya. Penerapan AI yang sudah dirasakan dalam bentuk-bentuk yang sederhana saat ini adalah chatbot yang aplikasinya dijumpai dalam pesan instan seperti Line, Telegram ataupun Whatsapp. Chatbot merupakan bagian program komputer yang didesain dalam sebuah platform berbentuk teks ataupun audio untuk menstimulasi percakapan dengan pengguna manusia. Tujuan praktis Chatbot memanfaatkan akuisisi informasi untuk memberi layanan personal, bantuan online sebagai suatu jenis agen percakapan (conversational agent). Selama jaringan ada internet, chatbot bisa merespons kebutuhan kita. Misalnya, dengan chatbot, kita bisa minta informasi tentang kondisi cuaca dalam hitungan detik, chatbot sudah akan menjawabnya, juga ketika ingin memesan makanan (go food) chatbot sudah mengorderkan sesuai selera. Pendidikan “Merdeka Belajar” Esensi “Merdeka Belajar” yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 adalah program kebijakan yang memberikan kemerdekaan berpikir kepada mahasiswa dan kepada dosen dalam mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Tujuan “Merdeka Belajar” ialah agar proses pembelajaran dapat membuat para dosen, mahasiswa, serta orangtua bisa mendapat suasana yang membahagiakan, menyenangkan, dan jauh dari tekanan yang membuat mahasiswa tidak nyaman. Kemerdekaan atau kebebasan berpikir sebenarnya sudah dimiliki oleh mahasiswa, karena dalam belajar selain memiliki potensi atau bakat yang dibawa sejak lahir, juga dipengaruhi oleh lingkungan dan daya intelektual. Pendidikan Tinggi merupakan agen perubahan (agent of change). Hanya orang-orang yang berkompeten yang mampu “mengubah dunia” secara progresif dalam bidangnya yang membuat dunia semakin maju. Untuk mencapai kompetensi, diperlukan adopsi dan adaptasi berbagai ilmu global maupun lokal. Ilmu lokal dalam kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan negara multibudaya dengan beragam kearifan lokal tidak dapat ditinggalkan dalam perkembangan dan penguasaan ilmu global. Pada saat ini pemuda Indonesia adalah generasi emas yang dimiliki bangsa. Program “Merdeka Belajar” yang dicanangkan pemerintah saat ini merupakan langkah tepat untuk meningkatkan dan pemerataan kualitas pendidikan untuk melahirkan SDM unggul serta berdaya saing. Untuk itu, maka perlu diperkuat pendidikan yang melahirkan SDM dengan keterampilan kognitif dan kreatif dalam menyelesaikan persoalan. Manusia Indonesia yang mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan berdaya saing global harus dapat diwujudkan dengan sistem pendidikan Indonesia, yang dilakukan dengan perbaikan kurikulum, sumber daya pengajar, dan infrastruktur. Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa Pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society 5.0, dan “Merdeka Belajar” Pendidikan karakter harus ditanamkan sejak dini, baik secara informal di lingkungan keluarga, secara formal di sekolah, maupun secara nonforma di masyarakat. Pendidikan karakter secara formal menjadi muatan wajib dalam proses pembelajaran, berdampingan dengan penguatan literasi, pengembangan keterampilan abad 21 (kritis, kreatif, kolaboratif, komunikatif), dan pengembangan penilaian HOTS. Pendidikan karakter yang baik harus mencakup ketiga ranah secara terpadu, yaitu aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), merasakan dengan baik (loving the good, moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Nilai karakter bangsa dibangun dengan kearifan lokal Jawa, yakni olah hati yang melahirkan karakter jujur, olah pikir yang melahirkan karakter cerdas, olah rasa yang melahirkan karakter peduli, dan olah raga yang melahirkan karakter tangguh. Keempatnya karakter dasar itu kemudian dikembangkan menjadi karakter-karakter lainnya. Hal itu seperti digambarkan pada bagan berikut ini: 37 Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar” Sri Sulistiani, Sukarman (Samani & Hariyanto, 2011:25) Keempat karakter tersebut sebenarnya juga sudah tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menjelaskan tujuan pendidikan nasional juga mengembangkan 4 karakter di atas, yaitu karakter sikap spiritual ditunjukkan dengan kalimat, "agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia", sedangkan sikap sosial dibangun melalui perilaku demokratuis dan bertanggungjawab yang membutuhkan peran individu sebagai makhluk sosial. Pelanggaran norma karakter bangsa di lingkungan pendidikan yang ditopang akselerasi informasi dan komunikasi yang berkembang tanpa batas ruang dan waktu cukup banyak, dimulai dari perilaku pelajar yang cenderung hedonis, terlibat pergaulan bebas, seks bebas melanda kalangan pelajar, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), aborsi, Aids, narkoba, semakin memperlihatkan kehidupan yang tidak bermoral Ketuhanan. Pendidikan dapat dipandang sebagai media untuk penanaman nilai keimanan yang menjadikan generasi muda tidak mudah terpengaruh dengan perilaku yang amoral. Materi pembelajaran budaya Jawa yang mengandung muatan pendidikan karakter, antara lain sebagai berikut. Unggah-Ungguh Basa Berbicara tentang unggah-ungguh basa tidak dapat dilepaskan dengan budaya sopan santun dan tatanan untuk saling menghormati kepada orang lain. Saat ini budaya sopan santun sudah mulai langka dijumpai di kalangan anak-anak muda. Situasi ini oleh Soekanto (1993: 26) disebut dengan istilah “anomie”, yaitu situasi yang ditandai dengan memudarnya nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat dan tidak adanya normanorma atau aturan untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Unggah-ungguh basa merupakan alat untuk menciptakan jejak sosial, namun di sisi lain unggah-ungguh basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial (Suhono, 1952:12). Struktur masyarakat merupakan faktor yang menentukan struktur bahasa. Makin rumit unggah-ungguh basa makin rumit juga tingkat sosialnya. Poerwadarminto (1953) juga mengemukakan hal yang senada bahwa unggah-ungguh basa memang rumit walaupun tatanan yang pokok hanya 2, yaitu basa ngoko lan krama. Bentuk krama sering pula disebut dengan bentuk basa sehingga jika ada orang yang tidak bisa menggunakan bentuk krama dengan benar, orang itu akan disebut “uwong ora bisa basa “ orang yang tidak bisa menggunakan bahasa (bahasa Jawa halus). Tingkat tutur bahasa Jawa ada empat, yaitu 1) ngoko, 2) ngoko alus, 3) krama, dan 4) krama alus (Sudaryanto dalam Sasangka, 2004:16). Dalam konteks komunikasi yang sopan dan santun dipilih ragam krama dengan maksud untuk menghormati dan menghargai orang yang diajak bicara. Unggah-ungguh ini mengatur tatacara berbahasa yang terkait dengan umur, jabatan, dan golongan. Terkait dengan bahasa Jawa sebagai sarana pendidikan sopan santun pada anak, Sabdawara (2001:127-128) mengemukakan fungsi bahasa Jawa sebagai berikut: (1) Berfungsi komunikatif di samping bahasa, (2) sarana perwujudan sikap nilai-nilai luhur budaya Jawa, (3) sopan santun berbahasa Jawa, (4) rasa tanggung jawab untuk memperbaiki dan kesopanan yang menjadi hiasan diri pribadi, yang dibangun dengan sikap tenggang rasa, saling menghormati, dan menjaga tutur kata yang tidak menyinggung perasaan atau menyakiti orang lain. Apabila dirunut lebih lanjut, penyebab fenomena tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, yang berasal dari diri atau pribadi siswa yang dipengaruhi oleh pola pendidikan karakter di lingkungan keluarga. Wujud pembentukan karakter anak dan perkembangannya di lingkungan keluarga dan sekitarnya membangun identitas diri anak (Idrus, 2012: 120). Jika anak tidak mempunyai kepribadian yang baik, hal itu menunjukkan kegagalan pendidikan di ranah keluarga. Perilaku kesopanan yang yang terbangun secara internal, misalnya menganggukkan kepala jika bertemu dengan orang lain dan menggunakan ragam bahasa yang baik. Orang Jawa mengatakan “ora duwe duga” atau “ora duwe tata krama” untuk seseorang yang tidak memiliki sopan santun. Faktor eksternal yang menyebabkan disintegritas karakter, antara lain pengaruh globalisasi dan lingkungan pergaulan bebas. Di era RI 4.0 dan RS 5.0 dengan perkembangan internet dan teknologi digital yang meretas batas ruang dan waktu, anak-anak bisa mengakses apa saja melalui big data. Apabila tidak disikapi secara bijak dan mendampingan dari orang dewasa, perkembangan digital dapat membawa dampak negatif dalam tahap perkembangan dan pencarian jatidiri anak. 38 Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar” Sri Sulistiani, Sukarman Pengenalam unggah-ungguh bahasa Jawa sejak dini dapat dilakukan dengan cara, yaitu: (1) bernyanyi lagu-lagu anak berbahasa Jawa.(2) bercerita/ mendongeng berbahasa Jawa, dan (3) bermain peran untuk melatih mengucapkan kalimat bahasa Jawa sederhana. Hal itu juga dapat dilakukan dengan media sosial, youtube, Instagram, dan lainnya. Tembang Dalam kesusastraan Jawa kita mengenal, yaitu (1)tembang dolanan, (2) tembang cilik atau macapat, (3) tembang tengahan, dan (4) tembang gedhe atau kawi. Selain itu kita juga mengenal tembang kreasi, yang termasuk di dalamnya tembang campursari, kroncong, dan langgam. Tembang-tembang tersebut ditinjau dari isi mengandung nilai-nilai yang bisa dipakai sebagai media pendidikan karakter. Dalam konteks tembang macapat, seperti Serat Tripama, Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, Serat Dewa Ruci, Serat Sabda Jati, dan Serat Kalatidha emerupakan contoh karya yang banyak mengandung nilai karakter. Dalam serat-serat tersebut mengandung ajaran tentang budi pekerti, keimanan, religiusitas, tong-menolong, bersikap kesatria, saling menghormati, cara mengormati guru, cara belajar yang baik, dan lain sebagainya. Dalam Serat Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV mengandung nilai karakter yang patut diteladani dari Patih Suwanda. Sebagai seorang patih memiliki kecerdasan, kemampuan, dan keberanian (guna, kaya, purun) untuk melindungi dan menunjukkan darma baktinya kepada negara dan rajanya. Hal itu seperti kutipan tembang berikut ini: Yogyanira kang para prajurit/ Lamun bisa sira anulada/ Duk ing nguni caritane/ Andelira Sang Prabu/ Sasrabahu ing Maespati/ Aran patihSuwanda/ Lalabuhanipun/ Kang ginelung triprakara/ Guna kaya purun ingkang den antepi/ Nuhoni trah utama. Tembang ini memberikan contoh karakter kepemimpinnan melalui tokoh Patih Suwanda. Patih Suwanda yang memilki kepandaian, kemampuan, dan keberanian (guna, kaya, purun) yang dipegang teguh dalam menjalankan perintah raja (Sang Sasrabahu). Selain Serat Tripama, Mangkunegara IV juga mengarang Serat Wedatama. Salah satu bait tembangnya bercerita tentang bedanya orang dungu dengan orang pandai. Orang yang dungu bicaranya ngelantur, membual, tidak masuk akal, dan sombong. Berbeda dengan orang pandai selalu bicara cermat dan hati-hati, tetap gembira walau dihina, tidak merana disebut bodoh, bahkan berani mengalah untuk menutupi aib si dungu atau si bodoh. Hal itu seperti kutipan berikut ini: Mangkono ilmu kang nyata/ sanyatane mung we reseping ati/ bungah ingaran cubluk/ sukeng tyas yen den ina/ nora kaya si punggung anggung gumunggung/ ugungan sadina dina/ aja mangkono wong urip. Kutipan tembang tersebut mengajarkan tentang ilmu yang nyata yang dapat memberikan ketenteraman hati. Seseorang yang sudah mantap dengan sejatinya ilmu akan merasakan bahwa ilmu sejati yang sempurna hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena keyakinan itulah, seseorang tidak akan merasa sakit hati ketika dikatakan bodoh dan selalu gembira jika dihina. Pendidikan karakter juga tertuang dalam tembang dolanan. Tembang dolanan selalu dikaitkan dengan permainan-permainan, walaupun sekarang ini sudah banyak ditinggalkan oleh anak-anak, karena tergusur oleh permainan modern seperti play station, game on line, video game, game watch, dan sebagainya. Berdasarkan bentuk dan sifatnya, Overbeck (dalam Parwatri, 2004: 119) mengelompokkan empat golongan permainan anak-anak Jawa, yaitu: (1) permainan biasa (gewone spelen), (2) nyanyian (liederen), (3) nini thowok dan permainan sejenisnya (ni thowok en verwante spelen), dan (4) permainan sihir (biologeerspelen). Lagu dolanan yang mengandung unsur lagu dan permainan dapat dipakai untuk pembelajaran dan penanaman budi pekerti dan nilaia-nilai luhur budaya Jawa pada anak, seperti nilai tanggungjawab, kejujuran, keberanian, sportivitas, saling menghormati dan menghargai, berperilaku adil, dan masih banyak lagi. Permainan dapat memberikan dampak positif dalam mendidik anak, antara lain: (1) menghilangkan stress ketika proses pembelajaran, (2) menyingkirkan keseriusan yang menghambat, (3) mengajak orang lain berpartisipasi, (4) meningkatkan variasi proses belajar, (5) mengembangkan kreativitas diri, (6) mencapai tujuan dengan kesenangan, (7) memberi pengalaman dalam meraih makna belajar, dan (8) memfokuskan siswa sebagai sumber belajar (Suyatno, 2005:14). Salah satu contoh teks tembang dolanan yang menanamkan karakter adalah “Padhang Rembulan” berikut ini: Ya prakanca dolanan neng njaba/ Padhang bulan padhange kaya rina/ Rembulane wis angaweawe/ Ngelingake aja turu sore-sore. Melalui tembang dolanan “Padhang Rembulan” dapat ditanamkan nilai budaya Jawa, seperti kekaguman dan takjub atas keindahan alam semesta, kekeluargaan, solidaritas, gotong royong, dan bekerja sama. Peradaban kehidupan pedesaan juga digambarkan dalam lagu dolanan “Jago Kluruk” berikut ini: Ing wayah esuk jagone kluruk/ Rame swarane pating kemruyuk/ 39 Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar” Sri Sulistiani, Sukarman Banget senenge sedulur tani/ Bebarengan padha nandur pari/ Srengenge nyunar wetan prenahe/ Manuke ngoceh ana wit-witan/ Pating cemruwit endah swarane/ Tambah asri jagad seisine. Lagu tersebut memberikan gambaran indahnya suasana pedesaan di pagi hari dengan suara ayam berkotek, kicauan burung, kabut yang menyelimuti lingkungan memberikan rasa tenteram dan damai, yang berbeda dengan suasana kota. Selain tembang macapat dan dolanan, beberapa tembang campursari juga mengandung nilai-nilai karakter yang bisa digunakan dalam pembelajaran. Tembang “Anoman Obong” misalnya memberikan membangun karakter tentang kepahlawanan Anoman yang menyelamatkan Dewi Sinta yang diculik oleh Dasamuka. Kesetiaan kepada Prabu Rama, menjadikan Anoman tergugah jiwa kesatrianya untuk menyelamatkan isteri dari rajanya. Kutipan tembangnya:“…..//Ceritane Wayang Ramayana/ Ing negara Ngalengka Diraja/ Ratu buta Rahwana Raja/ Gawe geger nyolong Dewi Shinta// Anoman Si Kethek Putih// Sowan/mlebu taman Shinta dijak mulih/Konangan Indrajit lan patih/Anoman ora wedi getih//....”. Dalam lirik lagu “Kidung Wahyu Kalaseba”, lebih mengungkapkan muatan spiritual ajaran nilai-nilai Islam makrifat, yaitu berisi ajaran kesejatian hidup “manunggaling kawula Gusti” yang harus diketahui umat manusia. Untuk tetap eksis pada era RI 4.0 dan RS 5.0, generasi muda harus dibekali dengan sikap spiritual yang kuat agar mampu menghadapi tantangan jaman. Misalnya: mampu mengendalikan diri, menjaga hawa napsu, bertaqwa kepada Tuhan. Kutipan tembangnya: “Rumeksa ingsun laku nista ngayawara/ Kelawan mekak hawa, hawa kang dur angkara/ Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda/ Hingga pupusing jaman// Hameteg ingsun nyirep geni wisa murka/ Maper hardening panca, saben ulesing netra/…” Melalui “Kidung Wahyu Kalaseba” ini identik dengan spiritualisme Islam berbaur nuansa mistisisme Jawa yang mengingatkan kepada manusia jika kelak menghadap kepada Sang Maha Kuasa. Ungkapan-ungkapan Jawa Ungkapan merupakan nilai-nilai kearifan lokal atau local genius yang telah dimiliki dan secara turuntemurun dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa, antara lain paribasan, bebasan, saloka, cecandran, wangsalan, cangkriman, parikan. Ungkapan-ungkapan Jawa banyak mengandung nilai-nilai karakter yang patut diteladani, antara lain: bisaa rumangsa, aja rumangsa bisa (saling tenggang rasa); ngundhuh wohing pakarti (semua orang akan memetik hasil perbuatannya); wong salah seleh (orang yang berbuat salah akan kelihatan); rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (orang yang menjaga kerukunan akan kuat, karena bertengkar akan menghancurkan semuanya); memayu hayuning bawana (menjaga keselamatan dunia); sura dira jayaningrat lebur dening pangastut (segala perbuatan angkara/kejahatan akan hancur oleh perbuatan baik), dan masih banyak lagi lainnya. Nilai karakter yang ditanamkan seperti tidak boleh bersikap sombong, berhati-hati dalam bertingkah-laku, menjaga harga diri, jangan merendahkan orang lain, menjaga persatuan, berhemat, dan karakter bangsa lainnya. “Merdeka Belajar” yang berbasis RI 4.0 dan RS 5.0 memberikan kemerdekaan kepada pendidik maupun peserta didik untuk mengembangkan jiwa dan cita-cita dengan memanfaatkan teknologi yang melampaui langit dan yang melampaui batas ruang kelas dan batas dunia. Kurikulum “Merdeka Belajar” harus mampu mengakomodasi pembangunan karakter yang menjadi sebuah solusi untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. PENUTUP Simpulan Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan terus dilakukan pada kondisi apapun, termasuk RI 4.0, RS 5.0, dan “Merdeka Belajar” saat ini. Pembangunan karakter harus tetap berakar pada nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai filter untuk menyaring pengaruh budaya asing yang dapat merusak dan tidak sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia. Salah satu bentuk upaya membangun karakter melalui budaya Jawa dapat dilakukan dengan mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa pada generasi muda melalui media tatap muka (luring) maupun melalui online atau daring. Nilai-nilai luhur yang mengandung karakter terkandung dalam unggah-ungguh basa, tembang, maupun ungkapan tradisional. Saran Artikel ini dapat dikembangkan dengan studi budaya Jawa lainnya, seperti nilai-nilai karakter dalam cerita wayang, kethoprak, ludruk yang diambil dari youtube. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2001). Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah I. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas. 40 Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar” Sri Sulistiani, Sukarman Idrus, Muhammad. (2012). “Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa” dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, No. 2, Juni 2012. Univesitas Negeri Yogyakarta. Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Parwatri, dkk. (2004). Laku. Depok: Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Inddonesia Poerwadarminta, W.J.S. (1953). Sarining Parama Sastra Djawa. Djakarta: Noordoff Kolff Riyanto, Theo. (2004). Pendidikan Pada Usia Dini. Tuntunan Psikologis dan Pedagogis bagi Pendidik dan Orang Tua. Jakarta: gramedia Widiasarana Indonesia. Suyatno. (2005). Permainan Pendukung Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grasindo. Widayati, Sri Wahyu. dkk.(2008). Ilmu Sosial Budaya Dasar.Surabaya: Unesa University Press. Sumber lain: (1) (gurupembaharu.com/.../pembelajaran-bahasaindonesia, diunduh tanggal 12 September 2015). (2) (https://id.wikipedia.org/wiki/Digitalisasi). (3) (www.klinikpendidikan@gmail.com). (4) https://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/05/ 29/model-pembelajaran-quantum-quantumlearning/ (5) http://quantumteachingandlearning.blogspot.co.id/ 2012/09/quantum-teaching-and-learning.html Rohmadi, Muhammad & Lili Hartono. (2011). Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa: Teori dan Pembelajarannya. Surakarta: Pelangi Press. Samani, Muchlas & Hariyanto.(2011). Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya. Saryono,Djoko. (2011). Sosok Nilai Budaya Jawa: Rekonstruksi Normatif Idealitas. Yogyakarta: Aditya Media’ Soekanto, Soerjono. (1993). Kamus Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sabdawara. (2001). ‘Pengajaran Bahasa Jawa Sebagai Wahana Pembentukan Budi Pekerti Luhur’. Makalah Konggres. Yogyakarta: Konggres Bahasa Jawa III. Sayuti, Suminto A. (2007). ‘Yang Lokal dan Nasional di Tengah Budaya Global’. Makalah Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis FISE UNY tanggal 8 September 2007. Sudaryanto. (1995). Linguistik: Identitasnya, Cara Penanganan Obyeknya, dan Hasil Kajiannya. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sujamto. (1992). Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Effhar & Dahara Prize Suharti.(2001). ‘Pembiasaan Berbahasa Jawa Krama dalam Keluarga Sebagai Sarana Pendidikan Sopan Santun’. Makalah Konggres. Yogyakarta: Konggres Bahasa Jawa III. Sasangka, Sry Satriya Catur Wisnu. (2004). Tingkat Tutur Bahasa Jawa Berdasarkan Leksikon Pembentukannya. Surabaya: Yayasan Djoyo Bojo Suhono, Antun. (1952). Paramasastra Djawa. Djogja: Hien Hoo Sien. Sutarto, Ayu. (2010). Kearifan Lokal Jawa (Pesanpesan Mulia dari Leluhur). Surabaya: Bidang PNFI –Nilai Budaya, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. 41 PERUBAHAN KARAKTER SISWA SETELAH PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN (DARING) SELAMA MASA PANDEMI COVID-19 Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya, muchammadsukma@mhs.unesa.ac.id Renny Rachmatya Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya, renrachmatya@gmail.com Abstrak Artikel ini membahas tentang pengembangan karakter yang terbentuk pada siswa sekolah dasar. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengembangan karakter siswa sekolah dasar dalam penerapan pembelajaran selama menggunakan daring. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran siswa, guru, dan orang tua sebagai pengawas dalam mengembangkan karakter siswa guna mendasari untuk mencapai kompetensi sumber daya manusia yang unggul. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif yang membandingkan aspek yang berkaitan dengan topik penelitian dan diperkuat dengan pembahasan pada penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan karakter siswa sekolah dasar yang terbetuk setelah pembelajaran daring perlu dilakukan secara masif dan disiplin agar dapat mencapai tujuan pembelajaran terutama dalam membangun karakter dan sikap siswa yang baik secara berkelanjutan. Pengembangan karakter dan sikap siswa sekolah dasar harus dilakukan beriiringan dalam waktu tertentu. Kedua proses ini membutuhkan pembiasaan untuk menjadikan siswa sekolah dasar memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dalam belajarnya. Peningkatan kompetensi siswa dapat dilakukan dengan menyediakan proses transfer pengetahuan antar guru ke siswa, siswa ke siswa, maupun orang tua yang mengawasi siswa. Kunci kesuksesan berasal dari komitmen maupun komunikasi. Kata Kunci: Karakter Siswa, Orang Tua, Pembelajaran Daring PENDAHULUAN Pandemi COVID-19 merupakan musibah yang memilukan bagi seluruh penduduk yang berada di bumi yang menyebabkan seluruh segmen kehidupan manusia di bumi terganggu, tanpa terkecuali pendidikan. Pemerintah dihadapakan pada dua pilihan yang sangat berat antara menjaga stabilitas ekonomi tanpa mempedulikan keganasan dari COVID-19 atau membuat batasan-batasan yang dapat mencegah penyebaran covid 19. Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dimana hal tersebut akan membatasi kegiatan dan mengurangi sosialisasi dengan orang lain dalam bidang keagamaan, ekonomi, bahkan pendidikan. Dalam bidang pendidikan diambil keputusan besar untuk menutup sekolah dari SD, SMP, SMA maupun universitas dan memberlakukan pembelajaran online. Karakter pembelajaran siswa sebelum adanya pandemik covid siswa tingkat sekolah dasar biasanya mencontoh perilaku guru yang langsung ditirukan oleh siswa tersebut. contohnya pada siswa kelas 2 tingkat sekolah dasar yang akan memulai pembelajaran matematika mengenai perkalian. Dimana biasanya siswa tersebut diberikan perintah untuk mencatat kemudian menghafal secara bersama sama. Sampai pada guru memeriksa hafalan siswa satu persatu dengan maju kedepan kelas atau pertanyaan cepat sebelum pulang. Saat pembelajaran dilakukan dirumah, peran guru yang biasanya dilakukan disekolah harus digantikan oleh seseorang yang mendampingi siswa belajar di rumah. Jika peran seseorang yang mendamping siswa belajar dirumah tidak dapat memerankan tugas guru dengan baik, maka karakter siswa yang terbentuk antara siswa yang belajar secara langsung dengan siswa yang belajar secara daring akan berbeda. Pembelajaran daring hampir terjadi selama 3 bulan lamanya dan tentunya pembelajaran menggunakan sistem ini memiliki kendala-kendala yang akan dirasakan oleh siswa, orang tua, guru bahkan sekolah. Kendala tersebut merupakan hal mendasar dalam menunjang sistem pembelajaran daring sebagai berikut ini pada poin 1) guru dan siswa di Indonesia yang tidak seluruhnya paham akan penggunaan teknologi menjadi hambatan tersendiri dalam pembelajaran secara daring; 2) perangkat teknologi yang mendukung pembelajaran daring terkesan mahal bagi kalangan keluarga menegah ke bawah. serta guru yang berada di daerah terpencil pun masih belum dapat menjangkau peralatan teknologi pendukung tersebut. perlu adanya perhatian 42 Perubahan Karakter Siswa Setelah Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) Selama Masa Pandemi Covid 19 Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya yang lebih kepada guru maupun murid agar mereka mendaptakan melakukan pembelajaran secara daring.; 3) akses internet yang terbatas serta masih belum merata di pelosok negeri menjadi penghambat dalam pembelajaran yang dilaksanakan di rumah. Penyebaran internet belum dinikmati oleh semua lembaga pendidikan baik sekolah dasar maupun sekolah menengah. Jaringan internet yang ada kondisinya masih belum memadai untuk diberlakukan pembelajaran secara daring; 4) Kesejahteraan guru dan murid seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah karena hal tersebut dapat menghambat keberlangsungan pembelajaran daring. Ketika menggunakan kuota internet untuk memenuhi kebutuhan media daring, maka jelas mereka tidak sanggup membayarnya. Pemanfaatan media daring memberikan dilema tersendiri, dimana ketika menteri pendidikan memberikan semangat produktivitas harus tetap melaju, namun negara pun masih belum bisa hadir dalam memfasilitasi kebutuhan biaya yang dimaksud dikarenakan kondisi yang semakin buruk masih terjadi pada masa pandemic Covid. Melalui kendala-kendala yang telah disampaikan di atas, menujukkan kondisi pembelajaran yang dilalui daring masih terbilang belum maksimal sesuai dengan harapan dan tujuan yang dibuat oleh pemerintah. Kesalahan-kesalahan menghadapi kebijakan DARING juga terletak pada para pelaku pendidikan dan orang tua. Adapu kesalahan tersebut sebagai berikut pada poin 1) guru tidak memberikan pembelajaran yang sama baiknya dengan pembelajaran saat tatap muka di sekolah. Guru dinilai hanya memberikan tugas yang menurut beliau dapat menjadi ukuran pemahaman murid akan suatu materi. Guru juga sepertinya tidak mempedulikan bagaimana proses siswa mendapatkan jawaban untuk tugas yang diberikan seperti mengandalkan teman, mengandalkan google. Melalui hal tersebut dapat dikatakan bahwa siswa memiliki sifat yang tidak bertanggung jawab dan tidak mandiri; poin 2) peranan yang besar juga dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendampingi kegiatan belajar siswa pada saat ini. Dimana yang sangat terlihat bahwa orang tua terlalu mengurusi bahkan dapat dikatakan mengerjakan pekerjaan yang diberikan oleh guru. Sepertinya orang tua lupa akan tujuan utama dalam menyekolahkan anak. Orang tua mengira bahwa tujuannya adalah agar anak mendapatkan nilai yang bagus. Padahal dengan terlalu ikut campur orang tua menyebabkan tujuan mereka menyekolahkan tidak tercapai; Poin 3) siswa tidak melakukan pembelajaran secara maksimal, terbukti dengan banyaknya anak-anak yang melakuan kegiatan di luar rumah seperti bermain dengan teman sebayanya sampai larut malam. Siswa hanya terpaku dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh guru. Tugas tersebut merupakan bentuk aplikasi yang harus dikerjakan oleh siswa, bukan semata sebagai indikator yang menunjukkan bahwa siswa sedang belajar. Adapun kesalahan di atas perlu ditindak lanjuti lebih dalam agar sistem daring dapat berjalan efektif dan efisien untuk membentuk karakter siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Penulis melakukan pengumpulan kendala dan kesalahan yang seharusnya bisa antisipasi agar siswa dapat memiliki karakter bertanggung jawab untuk dirinya sendiri terutama dalam belajarnya. METODE Penelitian dengan metode naratif deskriptif dilakukan untuk meninjau permaslahan yang terkait. Penelitian desktiptif yang dipaparkan oleh Sugiyono (2011) ialah penelitian yang memiliki tujuan dalam mengetahui nilai dari variabel mandiri, meliputi satu atau lebih variabel (independen) dengan tidak membuat hubungan maupun perbandingan dengan variabel lainnya. Artikel penelitian ini akan mengacu pada sejumlah hasil yang berada dilapangan berupa permasalahan yang terkait untuk membahas dan menganalisis terhadap kesesuaian dengan masalah penelitian yang dijadikan topik. Dari hasil karakter siswa yang terbentuk selama kondisi Covid-19 maka akan di tinjau sebagai bentuh penilaian tersendiri oleh peneliti sehingga seluruh elemen pendidikan yang terkait dapat merencanakan kegiatan pembelajaran daring yang baik dan efektif. Karakter siswa merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh siswa karena akan tertanam sehingga berpengaruh untuk jenjang berikutnya. Data sekunder atau literatur akan dijadikan dasar sebagai pendukung topik penelitian. Dokumen yang sudah didapat dari pencarian berupa jurnal, buku, berita media massa, catatan, transkrip, dan sebagainya akan diberikan analisis secara interpretatif dimana data yang diperoleh dapat dicari keterkaitan dengan topik kemudian dibuatlah kesimpulan yang sesuai. PEMBAHASAN Karakter Siswa Yang Ingin Dibentuk Selama Masa Covid-19 Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah perihal pendidikan dalam kasus pandemik covid ini pastinya sangat membingungkan dimana urusan pendidikan yang seharusnya diserahkan ke sekolah sekarang berpindah alih mejadi urusan rumah yang pastinya membuat orang tua sangat kebingungan dalam 43 Perubahan Karakter Siswa Setelah Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) Selama Masa Pandemi Covid 19 Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya mengatasi hal ini. Perlu disadari bahwa pencapaian sesuai dengan target kurikulum bukan merupakan masalah yang penting, masalah yang paling penting dalam menghadapi situasi seperti ini adalah kebahagiaan anak-anak dalam menjalani proses belajar di rumah. Kurangnya dampingan orang tua berakibat serius pada mentalitas anak. Bagi sebagian orang tua yang memiliki kesadaran tentang pendidikan karakter. Namun, ada sebagian orang tua yang bersikap tidak peduli akan hal tersebut. Pendidikan karakter menjadi salah satu jawaban untuk menyelesaikan banyak persoalan yang saat ini ada. Penerapan nilai karakter religius mencerminkan ketaqwaan terhadap tuhan yang maha esa. Jika dulu sebelum adanya peristiwa ini semua hal tersebut ditandai dengan menjalankan ajaran agama, menghargai perbedaan agama, toleransi, dan mencintai lingkungan. Diharapkan dari peristiwa ini menyadarkan siswa tentang keagungan tuhan yang maha esa tanpa mengubah karakter yang telah terbentuk. Penerapan karakter nasionalis ditunjukkan melalui sikap apresiasi budaya bangsa, rela berkorban, cinta tanah air. Pada saat ini hal tersebut dapat ditandai dengan mengaplikasikan sikap peduli terhadap sesama. Contohnya: menjalankan semua protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut meruaka contoh peduli akan sesama. Karakter gotong royong mencerminkan tindakan saling mengahargai dan bahu membahu dalam menyelesaikan persoalan bersama-sama, memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan. Contohnya dengan sikap menjaga orang yang termasuk dalam seseorang yang reatif akan peristiwa ini ataupun yang telah diberikan julukan ODP dan PDP. Agar masayarat tersebut menjadi tanggung jawab warga sekitar untuk urusan semua hal yang berkaitan dengan beliau. Peran Siswa, Guru, dan Orang Tua Siswa harus sadar diri bahwa mereka tidak bisa lagi belajar mengandalkan guru. Oleh karena hal tersebut, maka perlu dihadapi dengan keinginan kuat untuk belajar. Pada kasus anak balita usia 1-3 tahun yang memiliki masa golden age, anak tersebut mempelajari hal baru yang menurut mereka menarik. Hal baru tersebut membuat anak tersebut memiliki rasa penasaran yang besar sehingga mengulang prosesnya berkali-kali sampai bisa. Contohnya anak kecil yang bernama Mahira sangat penasaran dengan bunyi yang keluar dari headset saat didekatkan ditelinganya. Dia mengulangi bebrapa kali, sampean memahami bahwa headset bisa mengeluarkan bunyi. Di waktu yang lain, saat sesorang memegang hp dan headset, Mahira langsung pensaran dengan headsetnya daripada hp. Contoh tersebut menunjukkan bahwa keinginan yang kuat dari balita usia 1-3 tahun dapat di tiru dan dilakukan secara terus menerus sehingga pada saat pembelajaran pada siswa SD dimulai pada kelas 1 hingga 6 dengan memberikan metode pembelajaran yang variatif, agar siswa memiliki minat belajar semakin besar. Kemudian peran guru tetap dimaksimalkan meskipun sudah tidak bisa lagi bertatap muka secara langsung dengan siswa dalam proses pembelajarannya. Guru memberikan tutorial live secara langsung kemudian membuat diskusi grup yang menarik serta memberi pemantauan dan apresia. Kemudian dimulai dari pengawasan dalam proses praktek pembelajaran yang harus disipin. Peran orang tua menjadi hal penting dilakukan sebagai pengawas langsung untuk menggantikan guru dalam tatap muka. Orang tua harus sadar bahwa perhatian yang biasanya diberikan guru kepada siswa tidak bisa lagi dilakukan, maka orang tua yang menggantikannya. PENUTUP Simpulan Di masa pandemi covid-19 ini, dapat diambil hikmah dalam membentuk karakter siswa agar memiliki keyakinan kuat untuk membentuk pribadi yang disiplin secara mandiri terutama dalam proses belajarnya yang harus bisa mencerminkan dari program merdeka belajar yang digagas oleh pemerintah. Peran guru memeng berkurang secara langsung tapi dapat dibantu oleh orang tua siswa agar memberikan pengawasan yang sesuai dalam kegiatan belajarnya. Saran Perlu adanya kesadaran untuk memperbaiki dan mengoptimalkan pembelajaran secara daring karena menjadi dilemma tersendiri bagi elemen terkait seperti pemerintah, kepala sekolah, guru, siswa, bahkan orang tua. Sejatinya musibah ini bisa menjadi sesuatu yang mendewasakan diri agar selalu menjadi orang terus berproses menjadi lebih baik dari segala sisi. DAFTAR PUSTAKA Ade Nasihudin Al Ansori. (2020). Belajar di Rumah Akibat Corona COVID-19, Ini Pendapat dan Harapan Anak Indonesia. Liputan6. https://m.liputan6.com/health/read/4224969/belajar -di-rumah-akibat-corona-covid-19-ini-pendapatdan-harapan-anak-indonesia 44 Perubahan Karakter Siswa Setelah Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) Selama Masa Pandemi Covid 19 Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya Dewi, Wahyu Aji Fatma. (2020). Dampak Covid-19 Terhadap Implementasi Pembelajaran Daring Di Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan Volume 2 Nomor 1 April 2020 Halm 55-61 Research & Learning in Education https://edukatif.org/index.php/edukatif/index April.2020.Poskita.co:https://poskita.co/2020/04/0 2/peran-orangtua-dalam-pembelajaran-jarak-jauh Hilna Putria, Luthfi Hamdani Maula, Din Azwar Uswatun. (2020). Analisis Proses Pembelajaran Dalam Jaringan (DARING) Masa Pandemi COVID-19 pada Guru Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu Volume 4 Nomor 4 Tahun 2020 Halm. 861 – 872 Research & Learning in Elementary Education https://jbasic.org/index.php/basicedu/index Hero, Hermus & Sni.M.S. (2018). Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas V Disekolah Dasar Inpres Iligetan. Jurnal Pendidikan Dasar 01 (2) Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Nipa, Indonesia. Nurwanti, Nunung & Nurlaeli.R.D. (2020). Kelekatan (Attachment) Ibu dan Anak Selama Covid-19. Akademia Edu Padmadewi. (2018). Memberdayakan Keterlibatan Orang Tua Dalam Pembelajaran Literasi Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Sosial Humaniora Vol 7, No 1 Pemerintah Pusat . (2020). Surat edaran mendikbud no 4 tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat Covid-19. Retrieved from Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai KEMENDIKBUD :https://pusdiklat.kemdikbud.go.id/surat-edaranmendikbud-no-4-tahun-2020-tentang-pelaksanaankebijakan-pendidikan-dalam-masa-darurat penyebarancorona-virus-disease-covid-1-9/ Purwanto, A., Pramono, R., Asbari, M., Budi Santoso, P., Mayesti Wijayanti, L., Chi Hyun, C., & Setyowati Putri, R. (2020). Studi Eksploratif Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar. Universitas Muhammadiyah Enrekang. EduPsyCouns (Journal of Education, Psychology and COunseling), 2(1), 1–12. Ratna, Ningrum W. (2018). Pengaruh peranan dan pola asuh orang tua terhadap hasil belajar siswa sekolah dasar negeri (SDN) di kecamatan Bogor Barat. Jurnal pendidikan,17(2), 129-137) Rizqon Halal Syah Aji. (2020). Dampak Covid-19 pada Pendidikan di Indonesia: Sekolah, Keterampilan, dan Proses Pembelajaran. Jurnal Sosial & Budaya Syar-FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 7 No. 5 (2020), pp. 395-402, DOI: 10.15408/sjsbs.v7i5.15314 Winingsih, Endang. (2020). Peran Orang Tua Dalam Pembelajaran Jarak Jauh. 45 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA YANG MENGIKUTI ORGANISASI DAN SCHOOL FROM HOME Priskilla Narendra Wijaya Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Priskilla.17010664045@mhs.unesa.ac.id Noval Achmad Muamar Pamungkas Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Noval.17010664071@mhs.unesa.ac.id Dhea Karina Pramesta Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Dhea.17010664076@mhs.unesa.ac.id Abstrak Dalam menghadapi pandemi Covid-19, maka pemerintah menerapkan self-quarantine. Di mana hal ini berdampak kepada berbagai hal salah satunya adalah sistem pendidikan di Indonesia. Pembelajaran yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka kini berubah menjadi school from home. Mengacu pada fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosional dan stres akademik pada mahasiswa yang mengikuti organisasi dan school from home. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan skala kecerdasan emosional dan stres akademik. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres akademik yang dirasakan oleh mahasiswa yang mengikuti organisasi. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional individu, maka semakin rendah stress akademik yang dirasakan selama school from home sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan emosional individu, maka semakin tinggi stress akademik yang dirasakan oleh mahasiswa yang aktif berorganisasi selama school from home tersebut. Maka dapat disimpulkan hubungan keduanya bersifat terbalik. Hal ini berarti apabila kecerdasan emosional individu tinggi, maka kemungkinan tingkat stress rendah akan lebih besar dan begitu pula sebaliknya. Kata Kunci: Kecerdasan emosional, stres akademik, organisasi, school frome home. PENDAHULUAN Mahasiswa adalah seseorang yang diharapkan sebagai calon pemimpin bangsa di masa depan nanti. Sebagai calon pemimpin diperlukan sudut pandang baik, kepribadian, mental, dan kondisi jiwa yang stabil. Seorang mahasiswa selayaknya dapat memecahkan masalah-masalah yang cenderung rumit, mampu mengatasi tantangan yang dihadapi, dan memiliki pikiran positif terhadap dirinya sendiri (Kholidah & Alsa, 2012). Kehidupan mahasiswa tidak luput dari macam-macam permasalahan yang dihadapi, sumber permasalahan yang dihadapi juga datang dari berbagai faktor seperti lingkungan sosial, pertemanan, diri sendiri, dan juga keluarga. Transisi dari kehidupan saat sekolah memasuki dunia perkuliahan bisa menjadi salah satu faktor yang dapat membuat stress dikarenakan perubahan signifikan yang dialami oleh seorang mahasiswa. Salah satu perubahan yang akan langsung dirasakan oleh mahasiswa baru yaitu gaya dan tuntutan dalam pembelajaran dimana sebelum memasuki perkuliahan mereka masih mendapatkan bimbingan penuh dari seorang guru tetapi setelah memasuki perkuliahan mahasiswa diharuskan untuk bersikap mandiri dalam menjalankan segala kegiatan akademisnya seperti kegiatan belajar mengajar, menuntaskan tugas, praktikum, dan syarat-syarat untuk menghindari Drop Out yang dimana perubahan tersebut signifikan dibandingkan saat di sekolah menengah. Menurut Gunawati (2006) masa peralihan yang dialami oleh mahasiswa dapat menjadi dorongan untuk menghadapi tugas dan tuntutan perkembangan baru dimana tugas dan tuntutan tersebut muncul untuk menuntut mahasiswa untuk melakukann penyesuaian diri. Stres yang dialami seorang seorang mahasiswa selama menjalani masa studi perkuliahan dapat membuat pola pikir mahasiswa menjadi kacau dikarenakan kompleksitas masalah yang dihadapi. Tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian teknis tetapi mahasiswa juga dituntut untuk mempunyai sikap mental dan kerangka berpikir tertentu sehingga wawasan luas yang didapatkan oleh mahasiswa bisa diterapkan dalam lingkungan sosialnya. Hans Selye (dalam Pinel, 2009) memiliki teori bahwa stressor psikologis dan fisik menginduksi respon stress yang secara umum sama. Respon stres termasuk hal yang 46 Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta bervariasi dan cenderung kompleks dimana respons terguantung kepada sifat orang yang mengalami stres, kapan stres tersebut datang, dan bagaimana individu bereaksi terhadap stres yang dialaminya. Mahasiswa juga dalam kesehariannya dituntut untuk peka dengan apa yang sedang terjadi di sekitar lingkungannya. Dengan segala hal yang harus dipenuhi oleh mahasiswa kecerdasan emosi sangat diperlukan oleh mahasiswa untuk mengendalikan emosi-emosi yang datang di kehidupan sehari-harinya dan bahkan emosi yang tidak diinginkan untuk muncul seperti rasa pesimis, malu, amarah, putus asa, dan kesedihan. Seseorang yang dapat mengenali lalu mengelola emosi yang ada pada dirinya dengan baik maka emosi tersebut dapat menjadi sumber energy positif agar dapat melawan emosi yang cenderung kurang menyenangkan. Tidak hanya untuk menangani emosi negatif, dengan mengenali emosi yang dirasakan mahasiswa dapat mengerti emosi orang lain dan dapat membina hubungan satu sama lain. Dengan kemampuan tersebut individu dapat membimbing tindakan dan pikiran untuk beradaptasi terhadap tekanan dan tuntutan di mana individu tersebut berada (Megawati, 2010). Semenjak pandemik Covid-19, masyarakat dianjurkan untuk tetap berada di rumah. Di mana anjuran tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek, salah satunya merupakan pendidikan. Maka dari itu, peneliti ingin meneliti keterkaitan kecerdasan emosional dan stres akademik pada mahasiswa yang aktif berorganisasi dan menerapkan perkuliahan daring atau school from home. Tinjauan Pustaka Stres merupakan penilaian individu terkait suatu fenomena baik sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, atau membahayakan, hal tersebut selanjutnya termanifestasi dalam respon individu baik secara kognitif, fisiologis, emosional, maupun perilaku. Hal-hal yang diartikan sebagai peristiwa yang penuh dengan tekanan dapat bervariasi pada setiap individu berdsarkan interpretasinya terhadap fenomena tersebut (Widury, 2010). Menurut Sarafino (2012) stres merupakan suatu keadaan saat individu merasa terdapat ketidaksesuaian antara kemampuan yang dimiliki dengan situasi tertentu yang bersumber dari aspek biologis, psikologis, dan sosial yang pada gilirannya menyebabkan ketidakseimbangan dalam segi psikologis dan fisiologis inidvidu tersebut sehingga individu merasa situasi tersebut sebagai hal yang menekan dan mengancam. Stres akademik merupakan kondisi yang dipersepsikan sebagai menekan secara psikologis oleh seseorang yang sebagian besar bersumber dari kegiatan akademik serta tuntutan lainnya sehubungan dengan tekanan akademik yang mempengaruhi individu tersebut secara psikologis maupun perilaku (Sun, Dunne, Hou, & Xu, 2011). Sementara itu menurut Wilks (2008) Stress akademik merupakan stres yang bersumber dari tekanan dari kegiatan akademik. Hal ini bersumber dari kombinasi antara tuntutan akademik yang melebihi kapasitas individu tersebut. Stres dapat diartikan sebagai suatu stimulus yang menuntut individu untuk melakukan upaya tertentu diluar hal-hal yang biasanya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Stres dapat menyebabkan respon tertentu baik secara emosional, fisik, serta tindakan yang menimbulkan kesulitan pada individu tersebut dalam menghadapinya. Respon terhadap stressor juga dapat berkaitan dengan penilaian individu tersebut serta evaluasinya terhadap stressor apakah stressor tersebut sesuai atau tidak dengan kemampuan individu serta strategi yang dimiliki oleh individu untuk menghadapinya (Gadzella, 1994). Stres yang dialami oleh mahasiswa dapat menimbulkan dampak tertentu, diantaranya adalah rasa gelisah, gangguan pada sistem pencernaan, ketegangan, khawatir dan kecemasan, rasa sakit pada bagian leher maupun bahu (Agolla & Ongori, 2009). Lebih lanjut menurut Widury (2010) stress dapat memberikan dampak terhadap kesehatan individu seperti sakit kepala atau migrain, penyakit fisik, serta system kekebalan tubuh. Stressor akademik dapat berasal dari berbagai hal seperti kondisi akademik yang dipersepsikan menekan oleh siswa, dalam hal ini menyebabkan stress akademik yang tinggi. Tuntutan akademik tersebut dapat bersumber baik dari orang tua, teman sebagaya, maupun guru, selain itu factor lainnya dapat terkait dengan cara individu dalam melakukan manajemen waktu, permasalahan terkait finansial, hubungan dengan guru, serta dukungan dan kegiatan sosial (Barseli, Ahmad, & Ifdil, 2018). Menurut Lazarus (1984) respon seseorang dapat berbeda dalam mengelola tuntutan yang dipersepsikan sebagai hal yang menekan. Perbedaan dalam menyikapi stressor yang berasal dari dalam diri maupun luar yang menjadi sumber stress dapat ditentukan oleh cara individu tersebut dapat mengelola stressor (Barseli, Ahmad, & Ifdil, 2018) serta karakteristik tertentu yang dimiliki oleh individu tersebut (Gunawati & Listiara, 2006). Salah satu 47 Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta karakteristik tersebut adalah kecerdasan emosional individu yang berkaitan dengan emosi. Menurut Goleman (1996) emosi merupakan perasaan serta pikiran yang bersumber dari proses kognisi yang dilakukan oleh individu dalam menghadapi suatu fenomena yang dapat ditunjukkan oleh kondisi biologis tertentu serta mendorong individu tersebut untuk bertindak dengan cara tertentu. Lebih lanjut Goleman (1995) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengidentifikasi perasaan yang dimiliki oleh diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan untuk memotivasi diri dan mengatur perasaan yang dirasakan dalam menghadapi stressor sehingga berpengaruh pada tindakan yang dilakukannya. Lebih lanjut Menurut Salovey & Mayer (1990) Kecerdasaan emosi yaitu kemampuan individu dalam melakukan pemantauan terhadap perasaannya dan perasaan orang lain serta menggunakan informasi yang diperoleh untuk memandu cara berpikir dan bertindak. hal ini berarti bahwa kecerdasan emosi terkait dengan kemampuan untuk mempersepsikan, menggunakan, memahami, dan memanajemen emosi yang dirasakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kecerdasan emosi dapat dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal menurut Goleman (1999) sebagai berikut: 1. Faktor internal Dalam hal ini kecerdasan emosi turut dipengaruhi oleh bagian otak tertentu yakni neo korteks lobus prefrontal yang memiliki fungsi dalam proses berpikir seseorang, serta system limbik dan amigdala yakni bagian dari otak yang terletaj dibagian bawah yang berfungsi dalam mengatur emosi tertentu. 2. Faktor eksternal Dalam hal ini kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh hal-hal diluar diri individu tersebut seperti misalnya pengaruh yang dating dari lingkungan baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat dimana individu tersebut berinteraksi. Tanpa disadari, terus berada di rumah dapat meningkatkan tingkat stres individu. Bekerja dari rumah dapat disebut juga dengan teleworking atau working from home. Hal ini merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh individu secara berbayar dari rumah maupun mereka yang bekerja dari rumah. Hal ini memungkinkan individu untuk memperoleh berbagai keragaman pengalaman dalam pekerjaan rumahan atau bekerja dari rumah (Crosbie & Moore, 2004). Sistem ini diterapkan dalam berbagai aspek salah satunya pendidikan. Terutama di tengah pandemic Covid-19 yang mengharuskan individu untuk berdiam di rumah. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian dengan data yang dianalisis berupa angka. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan perhitungan statistic tertentu (Jannah, 2018). Teknik pengambilan sampel penelitian adalah dengan menggunakan purposive sampling. Teknik ini merupakan suatu teknik yang berdasarkan pada kehendak peneliti. Maka dari itu, dalam penentuan subjek penelitian terdapat beberapa kriteria yang perlu terpenuhi dalam subjek (Jannah, 2018). Subjek dalam penelitian ini berjumlah 57 responden dengan rentang usia 18-21 tahun. Kriteria dari resonden tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mahasiswa, baik di perguruan tinggi negeri/swasta/politeknik lainnya; 2) Aktif dalam kegiatan organisasi baik di dalam maupun luar kampus; 3) Tengah melakukan sistem pembelajaran daring atau school from home; 4) Berusia 18-21 tahun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecerdasan emosional dan stress akademik dengan metode likert. Hasil validitas instrumen skala kecerdasan emosional dan stress akademik menunjukkan semua item dinyatakan valid. Hasil reliabilitas skala kecerdasan emosional adalah sebesar 0.930, sedangkan untuk stress akademik sebesar 0.715. Hal ini berarti kedua skala tersebut reliabel. Analisis data penelitian menggunakan analisis regresi dengan SPSS Statistics for windows versi 24. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk menguji adanya hubungan terkait kecerdasan emosional dengan stres akademik pada mahasiswa yang berorganisasi dan menjalani school from home. Hasil analisis regresi terangkum dalam tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Correlations Kecerdasan Stres Emosional Akademik Kecerdasan Pearson 1 -.331* Emosional Correlation Sig. (2.012 tailed) N 57 57 Stres Akademik Pearson -.331* 1 Correlation Sig. (2.012 tailed) N 57 57 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). 48 Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta Hasil dari perhitungan tersebut, menunjukkan bahwa Sig. (2-tailed) bernilai 0.012<0.05. hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan stress akademik mahasiswa. Selain itu, didapatkan korelasi antara kecerdasan emosional dan stress akademik (r) adalah sebesar 0.331. Tanda negatif menunjukkan bahwa korelasi kedua variabel ini bersifat terbalik. Hal ini berarti, semakin tinggi kecerdasan emosional individu, maka semakin rendah stress akademik yang dirasakannya sebagai mahasiswa aktif berorganisasi dan menerapkan sistem pembelajaran school from home. Semenjak pandemik Covid-19, masyarakat dianjurkan untuk tetap berada di rumah. Di mana anjuran tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek, salah satunya merupakan pendidikan. Sistem pembelajaran yang sebelumnya tatap muka, menjadi pembelajaran daring atau school from home. Hal ini diterapkan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perkuliahan. Berkaitan dengan sistem daring, tentu saja beberapa faktor luar memengaruhi kelancaran pembelajaran tersebut seperti: hilangnya motivasi belajar, miskomunikasi, masalah keamanan data, kesulitan dalam monitoring pembelajaran, dan sinyal jaringan. Tanpa disadari, faktor-faktor tersebut menjadi sumber stress mahasiswa yang aktif di organisasi dan menerapkan sistem pembelajaran school from home. Dalam kondisi seperti ini, peran kecerdasan emosional individu sangat membantu dan menentukan seberapa besar individu mampu mengatasi rasa stres yang dirasakannya. Goleman (1995) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengidentifikasi perasaan yang dimiliki oleh diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan emosional juga merupakan kemampuan untuk memotivasi diri dan mengatur perasaan yang dirasakan dalam menghadapi stressor sehingga berpengaruh pada tindakan yang dilakukannya. Lebih lanjut Menurut Salovey & Mayer (1990) kecerdasaan emosi yaitu kemampuan individu dalam melakukan pemantauan terhadap perasaannya dan perasaan orang lain serta menggunakan informasi yang diperoleh untuk memandu cara berpikir dan bertindak. hal ini berarti bahwa kecerdasan emosi terkait dengan kemampuan untuk mempersepsikan, menggunakana, memahami, dan memanagemen emosi yang dirasakan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional dapat memengaruhi bagaimana individu mengatasi stressor yang diperolehnya. Hal ini sama halnya dengan mahasiswa yang aktif berorganisasi dan menerapkan sistem pembelajaran daring atau school from home. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, beberapa faktor luar dapat meningkatkan stress yang dirasakan individu selama pembelajaran daring. Salah satu faktornya adalah kesulitan dalam melakukan monitoring pembelajaran. Maka dari itu, untuk melakukan monitoting pembelajaran tersebut, diberikan tugas untuk mengukur seberapa besar pemahaman pelajar mengenai pembelajaran yang telah diberikan. Hal ini diakui oleh sejumlah 45 responden yang terlibat dalam penelitian ini. Jumlah ini merupakan 79% dari total keseluruhan responden. Mereka menyatakan bahwa tugas yang diberikan selama perkuliahan daring aatau school from home terlalu banyak. Selanjutnya, berkaitan dengan sinyal jaringan, sebanyak 20 responden menyatakan memiliki kendala jaringan selama perkuliahan daring atau school from home. Jumlah ini merupakan 35% dari total keseluruhan responden. Mereka menyatakan bahwa memiliki kendala jaringan untuk melaksanakan perkuliahan daring atau school from home. Sebanyak 43 responden atau 75% dari total keseluruhan responden mengaku kehilangan motivasi belajar semenjak perkuliahan daring atau school from home. Hal ini membuat responden kesulitan untuk berkonsentrasi selama pembelajaran daring atau school from home tersebut. Selanjutnya, sebanyak 23 responden mengaku ragu untuk menyampaikan pendapatnya selama perkuliahan daring atau school from home. Jumlah ini merupakan 40% dari total keseluruhan responden. Keraguan dalam mengemukakan pendapat tersebut merupakan bentuk ketakutan akan miskomunikasi yang mungkin terjadi. seperti yang telah disampaikan sebelumnya, miskomunikasi menjadi salah satu faktor luar yang dapat meningkatkan stres individu. Hal ini juga merupakan kelemahan dari sistem pembelajaran daring atau school from home tersebut. Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan, maka dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional berhubungan dengan stres akademik yang dirasakan oleh mahasiswa yang aktif berorganisasi dan menerapkan sistem pembelajaran daring atau school from home. Nilai negatif pada hasil korelasi kecerdasan emosional dan stres akademik (r) menunjukkan adanya korelasi terbalik. Di mana hal ini berarti, apabila tingkat kecerdasan emosional individu tinggi maka tingkat stres akademiknya semakin rendah. Begitu juga sebaliknya, apabila tingkat kecerdasan emosional individu, maka tingkat stres akademik yang 49 Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta dirasakannya selama perkuliahan daring atau school from home semakin tinggi pula. Berdasarkan paparan sebelumnya, hal ini dikarenakan kecerdasan emosional membantu individu dalam mengidentifikasi perasaannya maupun orang lain. Di mana informasi tersebut menjadi dasar individu dalam berpikir dan bertindak. Fungsi lainnya dari kecerdasan emosional individu adalah untuk memanajemen emosi yang dirasakan dalam menghadapi stressor yang dimiliki. Bagaimana individu bertindak dalam menghadapi stressor atau strategi coping yang diterapkannya, dapat memengaruhi apakah individu tersebut dapat mengatasi stressornya. Apabila individu tidak mampu mengatasi stressor ini, maka akan timbul rasa stres yang dirasakannya. Hal ini juga berlaku dalam pendidikan atau akademik, maka dari itu muncul istilah stres akademik. Stres akademik sendiri merupakan stres yang bersumber dari akademik. Hal ini berarti stressor yang dirasakan dapat berupa konflik dalam pembelajaran, sistem pembelajaran, mau pun bobot atau jumlah tugas yang diberikan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa 79% responden menyatakan tugas yang diberikan terlalu banyak. Selain itu, 40% responden menyatakan ragu dalam menyampaikan pendapatnya di perkuliahan, meski pun menerapkan sistem perkuliahan daring atau school from home. Lalu, 75% responden juga menyatakan bahwa telah kehilangan motivasi belajar semenjak perkuliahan daring atau school from home. Padahal seperti yang diketahui, motivasi belajar merupakan aspek penting dalam pembelajaran itu sendiri. Faktor sinyal jaringan juga dapat menjadi stressor individu selama menerapkan perkuliahan daring atau school from home. Hal ini diakui oleh 35% responden yang memiliki kendala jaringan untuk melakukan perkuliahan daring atau school from home tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 57,25 % responden, kemungkinan mengalami hal tersebut. Di mana hal ini merupakan stressor selama perkuliahan daring atau school from home. Hasil penelitian relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Julika dan Setiyawati (2019). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan stres akademik saling berhubungan dalam memengaruhi tingkat kesejahteraan indvidu. Penelitian yang dilakukan oleh Muhnia, Isnah, dan Hapsah (2019) menunjukkan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres pada mahasiswa tingkat pertama. Di mana hubungan ini bersifat negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Situmorang dan Desiningrum (2018) juga menunjukkan hasilnya yang serupa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional individu, maka strategi coping stres yang dimiliki juga semakin baik. hal ini mampu mengurangi tingkat stres yang dirasakan oleh individu tersebut. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosional individu, semakin rendah tingkat stres yang dirasakannya. Hal ini juga relevan dengan hasil penilitian yang dilakukan oleh Sofyanti dan Prihastuti (2017). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hasil signifikan antara kecerdasan emosional dan efikasi diri pada tingkat stres akademik yang dirasakan oleh siswa. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional berhubungan negatif dengan stres akademik pada mahasiswa yang mengikuti organisasi dan menerapkan perkuliahan daring atau school from home. Hubungan negatif ini berarti apabila kecerdasan emosional individu tinggi, maka tingkat stres akademik yang dirasakannya rendah. Begitu juga sebaliknya, apabila tingkat kecerdasan emosional individu rendah, maka tingkat stres akademik yang dirasakannya semakin tinggi. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisa data dalam penelitian yang diperoleh serta pembahasan, kesimpulan dalam penelitian ini bahwa mahasiswa yang menjalani perkuliahan daring atau school from home memiliki tingkat stres akademik. Berdasarkan hasil yang telah dibahas sebelumnya, sebagian besar responden yaitu sebanyak 57,25 % responden, kemungkinan mengalami hal tersebut. Di mana hal ini merupakan stressor selama perkuliahan daring atau school from home. Tingakatan stres akademik tersebut dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosional individu tersebut. Hubungan ini bersifat negatif, sehingga apabila kecerdasan emosional tinggi maka stres akademik yang dialami lebih rendah. Aspek dalam kecerdasan emosi yang terkait dengan stres akademik mahasiswa yaitu kemampuan dalam memanajemen emosi dan memotivasi diri. Oleh sebab itu kecerdasan emosi penting untuk ditanamkan dan diterapkan melalui berbagai cara atau program tertentu untuk meminimalisir peningkatan stres akademik pada mahasiswa. 50 Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta Saran Saran yang dapat disampaikan terkait penelitian ini adalah individu, khususnya mahasiswa yang aktif dalam organisasi dan menerapkan sistem perkuliahan daring atau school from home dapat mencari alternative strategi coping yang baik. Selain itu, individu tersebut juga dapat meningkatkan kemampuan kecerdasan emosional yang dimilikinya sehingga stres akademik yang dirasakan juga semakin rendah. Hasil dari penelitian ini juga dapat dikembangkan dalam penelitian yang membahas kecerdasan emosional dan stres akademik, khususnya dengan metode pembelajaran daring atau school from home. Selain itu, diharapkan dalam penelitian selanjutnya, peneliti dapat memperbanyak jumlah subjek. Hal ini dapat dilakukan agar data yang diperoleh bersifat lebih universal. DAFTAR PUSTAKA Agolla, J. E., & Ongori, H. (2009). An assessment of academic stress among undergraduate students: the case of university of Botswana. Educational Research and Review, 4, 63-70. Barseli, M., Ahmad, R., & Ifdil. (2018). Hubungan stress akademik siswa dengan hasil belajar. Jurnal Pendidikan Indonesia, 4(1), 40-47. Crosbie, T., Moore J. (2004).Work life balance and working from home. Social Policy & Society, 3(3), 223-233. Gadzella, B. M. (1994). Student life stress inventory: identification of and reaction to stressors. Pyschological Reports, 74, 395-402. Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: What it can matter more than IQ. New York: Bantam Books. Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence. London: Bloomsbury Publishing. Goleman, D. (1999). Working with emotional intelligence. New York: Bloomsbury. Gunawati, R. S & Listiara, A. (2006). Hubungan antara efektivitas komunikasi mahasiswa dosen pembimbing utama skripsi dengan stress dalam menyusun skripsi pada mahasiswa program studi psikologi fakultas kedokteran universitas diponegoro. Jurnal Psikologi Undip, 3(2), 93-115. Gunawati, R., Hartati, S., & Listiara, A. (2006). Hubungan antara efektivitas komunikasi mahasiswa-dosen utama pembimbing skripsi dengan stres dalam menyusun skripsi pada mahasiswa program studi psikologi universitas diponegoro. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 93115. Jannah, M. (2018). Metodologi penelitian kuantitatif untuk psikologi. Surabaya: UNESA Press. Julika, S., & Setiyawati, D. (2019). Kecerdasan emosional, stres akademik, dan kesejahteraan subjektif pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology (GAMAJOP), 5(1), 50-59. Kholidah, E. N., & Alsa, A. (2012). Berpikir positif untuk menurunkan stres psikologis. Jurnal Psikologi, 67-75. Lazarus, R. S., Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer Publishing Company. Mayer, J. D., & Salovey, P. (1990). Emotional intelligence. Imagination, Cognition, and Personality, 9(3), 185-211. Megawati, P., & Yuwono, S. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Stres Kerja Pada Perawat ICU dan Perawat IGD. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 169-178. Muhnia, Isnah, W. O. N., & Hapsah. (2019). Relationship between emotional intelligence with stress level of first year student in Nursing Program Study Medical Faculty Hasanuddin University. Indonesian Contemporary Nursing Journal, 2(2), 1-10. Sarafino, E. O., & Smith, T. W. (2012). Health psychology: biopsychosocial interactions.New Jersey: John Wiley & Sons. Situmorang, G. C. I., & Desiningrum, D. R. (2018). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan coping stress pada mahasiswa tingkat pertama jurusan musik di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Jurnal Empati, 7(3), 279-285. Sofyanti, R., & Prihastuti. (2017). Pengaruh kecerdasan emosi dan efikasi diri terhadap stres akademik di Madrasah Aliyah Nurul Islam Desa Bades Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang. Jurnal Psikologi dan Perkembangan, 6, 24-39. Sun J., Dunne M. P., Hou, X. E., Xu, A. Q. (2011). Educational stress scale for adolescent: development, validity, and reability with Chinese student. Journal of Psychoeducational Assesment, 29(6), 534-546. Wilks, S. E. (2008). Resilience amid academic stress: the moderating impact of social support among social works students. Advances in Social Work, 9(2), 106-125. 51 INTEGRASI PENDIDIKAN LIFE SKILL DENGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENGUATKAN KARAKTER SISWA SEKOLAH DASAR Erika Maulita Zuliyawati SD Islam Terpadu At-Taqwa 2 Surabaya, erikamaulitaz95@gmail.com Ani Setiya Agustin SD Sampoerna Academy Surabaya, anisetiya08@gmail.com Galih Majesty Erawan SD Laboratorium Unesa Surabaya, galiherawan@gmail.com Abstrak Pembelajaran jarak jauh sebagai dampak wabah Covid-19 mengubah fokus pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan saat ini berfokus pada kecakapan hidup (life skill) yang terkait dengan pandemi Covid-19. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pembelajaran yang dapat dirancang oleh guru dengan mengintegrasikan pendidikan life skill dan pembelajaran matematika untuk menguatkan pendidikan karakter di era merdeka belajar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Hasilnya, pendidikan life skill di sekolah dasar dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran Matematika. Aktivitas sederhana untuk mengembangkan life skill yang dapat diajarkan kepada siswa sekolah dasar adalah menyapu. Melalui aktivitas tersebut, terdapat konsep Matematika yang dapat dipelajari oleh siswa sekaligus terdapat kemampuan yang dapat dikembangkan oleh siswa. Konsep Matematika yang dipelajari yaitu jenis-jenis bangun datar, konsep luas bangun datar, dan pengukuran bangun datar dengan satuan tidak baku. Selain itu, kemampuan siswa yang dapat dikembangkan adalah kemampuan spasial. Integrasi pendidikan life skill dengan pembelajaran Matematika dapat menguatkan karakter siswa, di antaranya karakter tanggung jawab, peduli, dan mandiri. Kata Kunci: Life Skill, Pembelajaran Matematika, Karakter. PENDAHULUAN Covid-19 atau Corona Viruse Disease merupakan salah satu wabah penyakit yang menyerang manusia hampir di seluruh dunia. Virus tersebut tergolong baru dan belum ditemukan vaksin untuk pengobatan dari efek yang ditimbulkan. Wabah Covid-19 muncul pertama kali di Kota Wuhan, China dengan kasus pertama pada bulan November 2019. Penyebaran virus tersebut dapat melalui percikan air liur saat berbicara atau bersin sehingga penyebarannya sulit untuk dihentikan (WHO, 2020). Beberapa negara yang terdampak virus ini, melakukan lockdown sebagai salah satu upaya untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena pandemik virus corona. Masyarakat positif corona pertama kali masuk pada awal bulan Maret tahun 2020 (CNN Indonesia, 2020). Penyebaran terjadi begitu cepat sehingga objek-objek yang digunakan sebagai tempat bersosialisasi masyarakat terpaksa harus ditutup dan dihindari. Pemerintah pun mengambil tindakan untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Beberapa perusahaan terpaksa harus berhenti beroperasi agar menghentikan penyebaran virus. Selain itu, anak-anak yang bersekolah terpaksa harus dirumahkan mulai tanggal 16 Maret (CNN Indonesia, 2020). Terdapat 61 negara yang telah menutup sekolah untuk meminimalisir penyebaran pada bulan Maret 2020 (UNESCO, 2020). Berdasarkan data dari google news, terdapat 147.000 kasus terkonfirmasi positif corona per tanggal 21 Agustus 2020 di Negara Indonesia. Wabah Covid-19 turut memengaruhi penyelenggaraan sekolah di Indonesia. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Covid-19. Pada masa pandemik, siswa melakukan proses pembelajaran jarak jauh dari rumah dengan memanfaatkan teknologi yang dapat diakses dari rumah. Pembelajaran dilakukan tanpa bertemu dengan guru. Hal tersebut menjadi tantangan bagi guru dan siswa, khususnya siswa sekolah dasar (SD) karena mengalami perubahan dalam pelaksanaan pendidikan. Perubahan tersebut membuat guru, siswa maupun orang tua harus bertindak dalam merespon sikap dan perilaku dengan cara cepat belajar hal yang baru demi kelancaran proses pembelajaran siswa (Wiryanto, 2020). Pembelajaran jarak jauh membutuhkan kerja sama orang tua karena dalam pelaksanaannya karena guru tidak dapat memantau siswa secara langsung. Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu inovasi 52 Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan pendidikan dalam menghadapi ketersediaan sumber belajar yang variatif dan bergantung pada infrastruktur teknologi yang dimiliki (Dewi, 2020). Pembelajaran jarak jauh menjadi tantangan guru untuk mentransformasi materi kepada siswa menggunakan teknologi. Pembelajaran jarak jauh hanya mempertemukan siswa dan guru secara virtual tanpa berhadapan langsung. Pembelajaran di rumah melibatkan orang tua dalam persiapan maupun pelaksanaannya. Namun demikian guru tetap mencari cara terbaik untuk memberikan pembelajaran jarak jauh yang bermakna bagi siswa. Terdapat dua faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan siswa dalam melakukan pembelajaran jarak jauh yaitu faktor lingkungan dan karakteristik siswa (Nakayama, Yamamoto, dan Santiago, 2007). Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kesiapan dan kerja sama orang tua dalam mendampingi siswa selama pembelajaran serta memberikan fasilitas agar siswa dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh. Sementara itu, faktor karakteristik siswa yang dimaksud adalah antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran jarak jauh. Jika siswa semangat, maka mereka dapat mengikuti pembelajaran dengan lebih mudah. Siswa SD dengan rata-rata umur 6-11 tahun sangat membutuhkan proses pembelajaran yang konkrit karena mereka sedang mengalami tahap operasional konkrit (Bujuri, 2018). Hal tersebut tentu menjadi tantangan untuk siswa ketika tidak bisa bertatap muka dan mengikuti instruksi guru secara langsung. Siswa membutuhkan benda yang konkrit dalam pembelajaran dan aktivitas yang dapat mereka lakukan agar pembelajaran menjadi bermakna. Pada umumnya, siswa SD akan mudah jenuh jika guru memberikan sesuatu yang abstrak dan tidak dapat dibayangkan oleh siswa. Guru menjadi salah satu peran yang penting dalam pembelajaran (Anwar, 2012). Pada pembelajaran jarak jauh, guru memegang peran penting dalam berinovasi dan berkreasi dengan cepat terkait metode atau model pembelajaran apa yang akan digunakan dalam pembelajaran jarak jauh. Terlebih lagi, adanya gagasan “Merdeka Belajar” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem semakin mendukung guru untuk bebas menggunakan sumber belajar dalam pembelajaran (https://gtk.kemdikbud.go.id/, 2020). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan pada era merdeka belajar lebih dipersingkat sehingga guru lebih bebas berkeksplorasi dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan materi. Inovasi pembelajaran oleh guru saat ini sangat diperlukan untuk tetap mencapai tujuan pendidikan Indonesia meskipun dalam keadaan pembelajaran jarak jauh (Dewi, 2020). Proses pembelajaran yang dilakukan dari rumah membuat siswa banyak beraktivitas di rumah dan subjek yang ditemui oleh siswa secara nyata adalah orang tua (Abdussomad, 2020). Hal ini bisa menjadi kesempatan untuk menguatkan pendidikan kecakapan hidup (life skill) anak. Pendidikan life skill merupakan proses belajar tentang kecakapan hidup yang harus dimiliki oleh siswa sehingga siswa mudah beradaptasi di tengah masyarakat (Yuliwulanda, 2017). Dalam hal ini, siswa tidak hanya pandai secara intelektual, namun diharuskan untuk terampil dan mandiri pada era sekarang (Desy dkk, 2019). Pendidikan life skill dapat diajarkan dimana saja sesuai dengan tujuan. Terdapat dua jenis pendidikan life skill, yaitu: 1) kecakapan hidup general (generic life skill), dan 2) kecakapan hidup spesifik (specific life skill). Generic life skill yaitu kecakapan hidup yang mencakup kecakapan personal dan sosial. Specific life skill mencakup kecakapan vokasional dan akademik. Spesific life skill dibutuhkan dalam suatu pekerjaan atau keahlian tertentu (Depdiknas, 2007). Siswa pada tingkat SD sampai SMP masih difokuskan pada kecakapan hidup general (generic life skill). Pendidikan life skill yang dikuatkan pada siswa tingkat SD masih sangat sederhana (Anwar, 2006). Siswa akan melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengenal dirinya sendiri seperti merapikan tempat tidurnya sendiri, menyapu kamarnya sendiri, menjaga barangnya sendiri, dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat pendidikan siswa maka pendidikan life skill yang harus dikuasai atau ditingkatkan akan semakin kompleks seperti kecakapan dalam berfikir rasional dan kepeduliaan terhadap masyarakat yang lebih luas. Pada pembelajaran jarak jauh, mayoritas siswa berinteraksi dengan orang tua atau saudara di rumah. Di dalam rumah, mereka tentu memiliki barang-barang pribadi yang dapat menjadi objek untuk menguatkan life skill kemandirian siswa. Hal ini menjadi kesempatan yang baik bagi guru dan orang tua untuk menguatkan life skill siswa sehingga siswa dapat lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan masyarakat karena adanya pendidikan life skill yang diajarkan sejak dini. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan Pendidikan dalam masa darurat penyebaran Covid-19 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, saat belajar dari rumah siswa difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup (life 53 Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan skill) yang terkait dengan pandemik Covid-19. Pendidikan life skill penting diterapkan untuk siswa. Guru harus dapat berinovasi dalam menguatkan life skill siswa dalam pembelajaran jarak jauh. Guru dapat berinovasi dengan mengintegrasikan pembelajaran dengan life skill pada siswa (Depdiknas, 2003). Pembelajaran yang dipilih adalah pembelajaran yang sesuai dan dapat digunakan untuk menguatkan life skill siswa. Integrasi pembelajaran dengan life skill dapat diterapkan pada siswa sekolah dasar. Guru merancang pembelajaran pada mata pelajaran tertentu dan diintegrasikan dengan life skill yang dapat dicapai oleh siswa. Setiap gerakan atau aktivitas akan dihubungkan dengan topik pada mata pelajaran tertentu. Selanjutnya, pendidikan life skill yang diimplementasikan dengan baik akan memengaruhi karakter siswa (Purnomo, 2019). Terdapat lima karakter utama yang menjadi target Kemendikbud untuk seluruh siswa di Indonesia yaitu karakter religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royong. Karakter mandiri merupakan karakter yang memungkinkan untuk dibangun pada siswa sekolah dasar. Generic life skill dapat memengaruhi karakter kemandirian siswa (Purnomo, 2019). Karakter mandiri merupakan karakter yang tidak bergantung pada orang lain untuk mendapat kebutuhan siswa sendiri dan menggunakan tenaga, pikiran, dan waktu untuk mewujudkan harapan dan cita-cita. Pembelajaran yang akan dibahas terkait integrasi dengan life skill adalah mata pelajaran Matematika. Pembelajaran Matematika bagi siswa sekolah dasar dapat dijadikan dasar dari mata pelajaran lain, berguna untuk kepentingan hidup di lingkungannya, dan mengembangkan pola pikir siswa sekolah dasar (Karso, 2014). Pembelajaran matematika yang masih bersifat abstrak akan menjadi konkret tidak hanya dengan media tetapi dengan learning by doing atau siswa beraktifitas akan membuat pembelajaran matematika menjadi konkret dan lebih bermakna bagi siswa (Yuhasriati, 2012). Berdasarkan kondisi dan referensi di atas maka dirumuskan masalah “Bagaimana integrasi pendidikan life skill dengan pembelajaran Matematika dapat menguatkan pendidikan karakter di era merdeka belajar?”. Tujuan penelitian ini digunakan untuk mengetahui pembelajaran yang dapat dirancang oleh guru dengan mengintegrasikan pendidikan life skill dan pembelajaran matematika yang sesuai dengan kondisi siswa untuk menguatkan pendidikan karakter di Era Merdeka Belajar. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Studi pustaka memanfaatkan sumber perpustakaan sebagai bahan untuk dikumpulkan, dibaca, dicatat, dan diolah, sehingga tidak menggunakan penelitian lapangan (Zed, 2004). Penelitian studi pustaka ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Data yang diperoleh peneliti langsung berupa teks atau angka, bukan pengetahuan yang didapat dari kegiatan penelitian di lapangan, (2) Data bersifat siap pakai, yang artinya peneliti langsung bisa menggunakan data yang ada di perpustakaan. (3) Data yang diperoleh merupakan sumber sekunder, karena tidak orisinil dari lapangan, (4) Data tidak akan berubah (berupa informasi statistik). Berdasarkan hal tersebut, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah buku, jurnal, dan dokumen lain yang relevan dengan topik penelitian. PEMBAHASAN Integrasi Pendidikan Life skill dengan Pembelajaran Matematika Pendidikan kecakapan hidup (life skill) menurut Olim dan Ali (2007) merupakan salah satu upaya meningkatkan kompetensi pribadi, akademik, sosial, dan vokasional. Tujuannya adalah agar siswa mampu memenuhi kebutuhan dan menghadapi tantangan kehidupan secara efektif. Dalam menjalani kehidupan, manusia tentu menghadapi permasalahan. Life skill merupakan keterampilan seseorang dalam memahami potensi dirinya dan menemukan alternatif untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Kemampuan memecahkan masalah tersebut diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, melainkan bermanfaat bagi lingkungan keluarga maupun masyarakat. Nurhilmiyah (2018) menjelaskan bahwa life skill penting dikuasai oleh anak sejak dini. Hal tersebut membawa manfaat bagi pembentukan karakter anak. Anak dengan penguasaan life skill akan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di masa depan, bertanggung jawab terhadap hidupnya, dan menjadi pribadi yang tanggap dalam mencapai tujuan. Dengan demikian, ia akan menjadi pribadi yang lebih mandiri. Al-Twairqi dan Al-Salmi (2017) menjelaskan bahwa semua keahlian (skill) apapun yang berguna di rumah dan kehidupan pribadi manusia dapat dipertimbangkan sebagai life skill. Jenis-jenis life skill dapat dikategorikan menjadi: (1) keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, (2) keterampilan yang berhubungan dengan pekerjaan, (3) keterampilan pengembangan diri, dan (4) keterampilan sosial. 54 Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan Dalam hal ini, jenis life skill yang menjadi pembahasan adalah keterampilan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh keterampilan dalam kehidupan sehari-hari adalah praktik kebiasaan hidup sehat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Saravanakumar (2020) bahwa life skill dapat mendukung masalah kesehatan dengan merancang sebuah kegiatan yang memuat informasi kesehatan dan nilai-nilai sosial yang berpengaruh terhadap lingkungan sehingga dapat memberikan kontribusi kepada individu untuk mampu mempraktikkan hidup sehat dan bersih. Pendidikan life skill saat ini menjadi perhatian di Indonesia. Sehubungan dengan adanya wabah Covid19, kini sektor pendidikan sedang menerapkan pembelajaran jarak jauh. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya meminimalisir penyebaran virus Covid19. Guru tidak dapat bertatap muka dengan siswa secara langsung. Siswa belajar dari rumah, sehingga banyak aktivitas dapat mereka lakukan di rumah. Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 menjelaskan beberapa prinsip dalam pembelajaran jarak jauh (belajar dari rumah), seperti siswa tidak lagi dibebani dengan tuntutan pencapaian kurikulum. Selain itu, kegiatan belajar fokus kepada pendidikan kecakapan hidup (life skill), termasuk life skill yang berkaitan dengan pandemik Covid-19. Oleh karena itu, kegiatan life skill tentang pola hidup bersih dan sehat memiliki urgensi yang cukup besar untuk diterapkan di masa ini. Salah satu kegiatan life skill yang mendukung pola hidup bersih dan sehat adalah kegiatan menyapu. Menyapu merupakan aktivitas sederhana yang dapat diajarkan kepada siswa SD, mulai dari siswa kelas rendah hingga kelas tinggi. Dengan menyapu, siswa terlibat dalam upaya menjaga kebersihan dan kesehatan. Kegiatan menyapu dapat diintegrasikan dengan salah satu muatan pembelajaran, yakni Matematika. Dengan integrasi ini, siswa mendapatkan pengalaman belajar secara langsung melalui aktivitas nyata dan melihat objek-objek secara konkrit. Terdapat dua poin penting dalam integrasi antara pendidikan life skill (kegiatan menyapu) dengan pembelajaran Matematika. Pertama, dari segi konsep Matematika yang dapat dipelajari siswa. Kedua, dari segi pengembangan kemampuan spasial siswa. Konsep Matematika yang dapat dipelajari oleh siswa melalui aktivitas menyapu antara lain: (1) jenisjenis bangun datar sederhana, (2) konsep luas bangun datar, dan (3) pengukuran luas dengan satuan tidak baku. Pertama, jenis-jenis bangun datar sederhana. Pada materi ini, siswa dapat mengenal jenis-jenis bangun datar sederhana melalui kegiatan menyapu dengan cara mengamati bentuk ubin yang ada di rumah. Mereka dapat mengidentifikasi jenis bangun datar pada lantai ruangan-ruangan rumah secara langsung. Berikut adalah contoh bentuk ubin yang berbentuk segi empat, segi tiga, dan segi lima. Gambar 1. Jenis-jenis Bangun Datar Kedua, konsep luas bangun datar. Pada saat menyapu, siswa dapat diarahkan untuk mengamati besar area (wilayah) yang disapu. Seberapa besar keseluruhan area yang disapu menunjukkan luas area tersebut. Dengan demikian siswa dapat memahami konsep luas ruangan setelah siswa mengetahui besar areanya. Lebih jauh lagi, siswa dapat mengidentifikasi perbedaan luas sebuah ruangan dengan ruangan lain di rumahnya setelah memahami konsep luas dengan benar. Ketiga, konsep pengukuran dengan satuan tidak baku. Ketika menyapu, siswa mengamati lantai rumah yang tertutupi ubin. Pengamatan tersebut dapat mengarahkan kepada konsep pengukuran dengan satuan tidak baku. Dalam konteks tersebut, satuan tidak baku yang dapat digunakan untuk mengukur luas ruangan adalah ubin. Dengan menghitung banyaknya ubin yang menutupi lantai, akan dipahami bahwa melakukan pengukuran dengan satuan tidak baku dapat dilakukan dengan menghitung banyaknya satuan tidak baku yang digunakan untuk menutupi sebuah area atau permukaan. Sehingga siswa dapat mengukur luas lantai dengan menghitung banyaknya ubin yang ada (sebagai satuan tidak baku). Selain mempelajari konsep Matematika melalui aktivitas menyapu, siswa juga dapat mengembangkan kemampuan spasialnya. Putri (2017) menjelaskan bahwa salah satu kemampuan geometri yang berkaitan dengan bangun datar dan bangun ruang adalah kemampuan spasial. Di antara indikator kemampuan spasial adalah mengekplorasi arah, orientasi, dan perspektif objek dalam ruang. Pada saat menyapu, siswa melangkahkan kakinya dan bergerak dengan arah tertentu. Di situlah mereka berkesempatana mempelajari arah (kanan, kiri, atas, bawah) dan gerakan (maju, mundur, lurus, belok) secara nyata. Dengan demikian, pengalaman ini akan mendorong siswa mengembangkan kemampuan spasialnya. Lebih lanjut, Putri dkk, (2020) menjelasakan bahwa kemampuan spasial bermanfaat bagi siswa untuk 55 Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan membantu mereka memecahkan masalah yang ditemui, baik masalah matematika maupun permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Life Skill Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) membuat suatu program yakni Penguatan Pendidikan Karakter yang bertujuan untuk memperkuat karakter siswa sesuai dengan budaya dan Pancasila. Karakter menurut Rosidatun (2018) merupakan nilai dasar dalam diri seseorang yang tampak pada perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, yang dipengaruhi oleh faktor hereditas maupun lingkungan. Pendidikan karakter dilakukan sebagai upaya untuk membantu siswa menguatkan karakter mulia dalam dirinya. Karakter yang digaungkan oleh Kemdikbud antara lain karakter religius, nasionalis, integritas, gotong royong, dan mandiri. Hasan, dkk (2010) menjelaskan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter dapat diimplementasikan pada kurikulum sekolah melalui beberapa cara, di antaranya melalui program pengembangan diri, melalui pengintegrasian dengan mata pelajaran, dan melalui budaya sekolah. Pelaksanaan pendidikan karakter melalui pengembangan diri dapat dilakukan dengan menginternalisasikannya ke dalam kegiatan keseharian. Salah satu kegiatan keseharian yang dapat dilakukan oleh siswa SD adalah kegiatan life skill menyapu. Melalui aktivitas menyapu, terdapat nilainilai karakter yang dapat dikembangkan, antara lain tanggung jawab, peduli, dan mandiri. Nilai karakter yang pertama adalah tanggung jawab. Tanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu bentuk kesadaran terhadap kewajiban, maupun penerimaan konsekuensi terhadap pilihan. Nilai ini dapat dikembangkan manakala seorang individu merasa memiliki suatu objek. Seorang siswa yang berpikir bahwa kamar tidur atau ruangan di rumah yang dimilikinya terlihat kotor memiliki pilihan untuk membersihkannya atau membiarkannya. Kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi masing-masing. Ketika siswa merasakan bahwa ruangan tersebut miliknya dan mengingkan kenyamanan selama berada di dalamnya maka tentu ia memilih untuk membersihkannya. Kesadaran demikian yang dapat ditanamkan kepada siswa sehingga dapat menguatkan nilai tanggung jawab yang ada dalam dirinya. Nilai karakter yang kedua adalah peduli. Peduli merupakan suatu kemauan untuk terlibat dalam keadaan atau kondisi yang sedang terjadi di sekitar. Kegiatan menyapu merupakan salah satu wujud kepeduliaan terhadap lingkungan sekitar. Siswa yang peduli tidak akan membiarkan rumah atau lingkungannya kotor. Mereka memahami bahwa menyapu membuat rumah menjadi bersih dan terhindar dari kuman penyakit. Dengan demikian, mereka turut berpartisipasi terhadap kesehatan diri dan anggota keluarganya. Nilai karakter yang ketiga adalah mandiri. Mandiri merupakan sikap yang membawa seseorang untuk mampu melakukan sesuatu tanpa bergantung pada orang lain. Kemandirian anak yang masih usia dini masih terbatas sebagai akibat dari perkembangan motoriknya. Namun, ketika memasuki usia sekolah dasar, seorang anak perlu dilatih untuk mengembangkan karakter mandiri pada dirinya. Salah satu caranya adalah dengan mengajarkan kegiatan menyapu. Saat menyapu siswa berlatih mandiri karena ketika menginginkan sesuatu, sebagai contoh ruangan yang bersih dan nyaman, mereka menyadari bahwa dirinya mampu menghadirkan ruangan yang bersih secara mandiri dengan cara menyapu ruangan tersebut. PENUTUP Simpulan Pendidikan life skill dibutuhkan dalam masa pandemi ini. Agar Pendidikan life skill menjadi lebih bermakna, dapat diintegrasikan dengan pembelajaran. Salah satu mata pelajaran yang dapat diintegrasikan adalah Matematika. Sehingga secara tidak langsung, ketika siswa melakukan aktivitas untuk menguatkan life skill dirinya, mereka juga bisa mempelajari konsep-konsep dalam Matematika. Hal tersebut akan memudahkan siswa karena siswa mempelajari sesuatu hal yang baru melalui pengalaman dan pengamatan benda konkrit. Selain mempelajari konsep baru, aktivitas life skill juga dapat menguatkan karakter siswa. Saran Dalam pengembangan penelitian ini, diharapkan guru kreatif dalam mengeksplorasi dan mengintegrasikan aktivitas lain dalam pendidikan life skill dengan beragam mata pelajaran. Dengan demikian, siswa dapat melakukan aktivitas life skill dengan penuh makna karena siswa juga mendapatkan pengetahuan baru yang bermanfaat bagi dirinya. DAFTAR PUSTAKA Al-Twairqi, N.W., & Al-Salmi, N.M. (2017). Teaching Life Skills for Students. Amazon: E-Kutub Ltd. Anwar. (2006). Pendidikan Kecakapan Hidup Konsep dan Aplikasi. Alfabeta. Bandung. 56 Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan BBC News. (2020). Update virus corona: Kurva, data, peta pasien terinfeksi, meninggal, dan sembuh di Indonesia serta Dunia. (online) (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia518501 13 diakses pada 21 Agustus 2020). Bujuri, D. A. (2018). Analisis Perkembangan Kognitif Anak Usia Dasar dan Implikasinya dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Jurnal Literasi, 9 (1), 37-50. Depdiknas. (2007). Konsep Pengembangan Model Integrasi Kurikulum Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Dewi, W. A. F. (2020). Dampak COVID-19 Terhadap Implementasi Pembelajaran Daring di Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan 2 (1), 55-61. Hasan, S.H., dkk. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Karso, H. (2014). Pembelajaran Matematika di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud. Savaranakumar, A.R. (2020). Life Skill Education Through Lifelong Learning. Raleigh: Lulu Publication. World Health Organization. (2020). WHO DirectorGeneral’s Opening Remarks at The Media Briefing on COVID-1d9. (online). (https://www.who.int/dg/speeches/detail/whodirec tor-generals-opening-remarks-at-themediabriefing-on-covid-19---21-Agustus-2020) diakses pada 21 Agustus 2020. Yuhasriati. (2007). Relevansi Pembelajaran Marematika Realistik (PMR) dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matemátika Realistik (PMRI) Jurusan Pendidikan Matemática FKIP Unsyiah di Banda Aceh, diakses pada 20 Agustus 2020. Yuliwulandana, N. (2017). Pengembangan Muatan Kecakapan Hidup (Life Skill) Pada Pembelajaran Di Sekolah. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 12 (2), 191206. Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19). Nakayama, M., Yamamoto, H., & Santiago, R. (2007). The Impact of Learner Characteristics on Learning Performance in Hybrid Courses among Japanese Students. Electronic Journal e-Learning, 5 (3), 195-206. Nurhilmiyah. (2018). Kapita Selekta Pendidikan: Menelaah Fenomena Pendidikan Indonesia dari Pelbagai Disiplin Ilmu. Surabaya: Mitra Mandiri Persada. Olim, A. & Ali, M. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama. Purnomo, Sutrimo. (2019). Pendidikan Karakter Di Indonesia: Antara Asa Dan Realita. Jurnal Kependidikan, 2 (2), 66-84. Putri, H.E. (2017). Pendekatan Concrete-PictorialAbstract (PCA), Kemampuan-Kemampuan Matematis, dan Rancangan Pembelajarannya. Sumedang: UPI Sumedang Press. Putri, H.E. dkk. (2020). Kemampuan-Kemampuan Matematis dan Pengembangan Instrumennya. Sumedang: UPI Sumedang Press. Rosdiatun. (2018). Model Implementasi Pendidikan Karakter. Gresik: Caremedia Communication. 57 PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PROKRASTINASI AKADEMIK MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA ANGKATAN 2017 Bella Ayu Dianti Priastuty Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Bella.17010664053@mhs.unesa.ac.id Nur Hidayah Astriani Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Nur.17010664058@mhs.unesa.ac.id Abstrak Mahasiswa merupakan individu dengan kadar keingintahuan tinggi sehingga dituntut untuk mampu aktif dan kritis dalam mengatur diri dan waktunya serta mampu menyelesaikan berbagai jenis permasalahan yang ditemui dan tidak mudah menjadi mahasiswa. Maka tidak jarang ada beberapa orang yang tidak bisa memenuhi dengan baik dan keseluruhan tuntutan tersebut. Salah satu perilaku yang muncul yang diakibatkan hal tersebut adalah prokrastinasi akademik. Perilaku tersebut dapat muncul jika seorang individu tidak mampu melakukan kontrol dirinya dengan baik saat dihadapkan dengan standar dan tuntutan sebagai mahasiswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari kontrol diri dengan perilaku prokastinasi akademik mahasiswa yang berada pada Jurusan Psikologi angkatan 2017 Universitas Negeri Surabaya. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif dengan populasi sejumlah 200 mahasiswa dan sampel sejumlah 60 orang mahasiswa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai r-hitung sebesar 1.251 < r-tabel (1.84) dengan nilai Deviation from Linearity sebesar 0.270 > 0.05. Hasil analisis hipotesis dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 < 0.05. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel kontrol diri dan prokrastinasi akademik memiliki hubungan yang linear dan terdapat pengaruh antara kedua variabel tersebut. Kata Kunci: Kontrol diri (self-control), prokrastinasi akademik, mahasiswa PENDAHULUAN Akademik dalam konteks sekolah mempunyai pengertian yaitu segala hal yang mempunyai keterkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang perlu dikuasai oleh pelajar setelah mengikuti proses belajar-mengajar. Dalam proses belajarmengajar terdapat aktivitas akademik, ialah aktivitas proses pembelajaran dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pembelajaran (Fauzi, 2019). Pendidikan tinggi menurut Undang-undang Dasar Republik Indonesia No. 12 Tahun 2013, Pasal 1 Ayat 6 adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor. Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan tinggi, yaitu dua tingkat di atas jenjang pendidikan dasar dan satu tingkat di atas pendidikan menengah. Pada tingkat perguruan tinggi ini, adapun tenaga pengajarnya disebut dosen dan peserta didiknya disebut mahasiswa (Amin, 2014) Mahasiswa merupakan individu dengan kadar keingintahuan tinggi sehingga dituntut untuk mampu aktif dan kritis dalam mengatur diri dan waktunya serta mampu menyelesaikan berbagai jenis permasalahan yang ditemui. Menjadi mahasiswa juga diharapkan dapat belajar secara individu dan mandiri. Mahasiswa mandiri dapat diartikan yaitu mampu untuk membuat perencanaan selama kuliah yakni: menentukan tujuan, target nilai, strategi yang akan digunakan serta waktu yang tepat dalam belajar. Menentukan sumber belajar juga hal yang harus dikuasai mahasiswa dan mampu untuk menjalankan segala rencara secara teratur adalah pencapaian yang harus diraih. Sebab itulah, banyak sekali akibat-akibat yang terjadi yang dikarenakan masalah-masalah akibat tuntutan untuk seorang mahasiswa. Ada beberapa yang masih tidak mampu untuk menghadapi hal tersebut atau memenuhi standar yang ada sebagai mahasiswa. Sehingga hal yang dilakukan yaitu menghindari halhal yang membuat mahasiswa tertekan yaitu salah satunya dengan menghindari tugas dan menunda pengerjaan tugas tersebut atau biasa disebut dengan prokasitnasi dalam hal akademik. Menurut Ghufron and Risnawati (2010) prokrastinasi akademik ialah suatu perilaku yang ditunjukkan dari kecenderungan untuk menundanunda suatu pekerjaan atau tugas untuk diselesaikan secara langsung dengan berbagai alasan dengan mengabaikan kewajibannya dalam menyelesaikan tugas yang ada. Alasan penundaan tugas yang diberikan ini bisa bermacam-macam, entah lebih memilih untuk berjalan-jalan bersama teman atau hanya sekedar rebahan dan bersantai. Semuanya termasuk dalam prokastinasi akademik jika bentuk 58 Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017 Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani perilakunya yaitu menunda pekerjaan atau tugas demi suatu alasan yang tidak penting hanya untuk menghindari tugas tersebut. Dalam mengukur prokrastinasi akademik, Menurut Ferrari, dkk dalam (Kartadinata, 2008) terdapat beberapa aspek, yaitu: a. Preceived time Individu dengan kecenderungan prokrastinasi merupakan orang yang gagal dalam menempati batas waktu pengerjaan. Menunda mengerjakan dan menyelesaikan tugas membuat individu dengan kecenderungan prokrastinasi akan gagal dalam memperkirakan waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas. b. Intention-action (keinginan – tindakan) Seorang dengan kecenderungan prokrastinasi mempunyai kesulitan dalam melakukan pekerjaan sesuai batas waktu. Dalam hal ini, mahasiswa mungkin memiliki perencanaan untuk mulai mengerjakan tugasnya pada waktu yang ia tentukan, namun saat waktu tersebut datang ia tidak melakukan rencananya sehingga mengakibatkan keterlambatan dan hasil yang didapat tidak maksimal. c. Emotional distress (perasaan cemas) Seorang yang melakukan prokrastinasi akan merasakan perasaan tidak nyaman sehingga dapat memicu kecemasan. Saat ia sadar waktu untuk mengerjakan tugas tidak tersisa banyak, ia akan segera merasa cemas karena belum menyelesaikan tugas. d. Preceived ability (keyakinan pada kemampuan) Rasa keraguan dalam diri dapat memicu seseorang untuk melakukan prokrastinasi akademik. Perasaan ini akan menguat jika ditambah rasa ketakutan dengan kegagalan, hal ini membuat ia merasa tidak mampu dan menyalahkan dirinya. Pengalaman kegagalan akan membuat seseorang menghindari tugas-tugas sekolah karena takut merasa gagal dan tidak berguna. Beberapa aspek perilaku prokrastinasi akademik tersebut dapat terjadi karena ketidakmampuan individu dalam mengontrol perilaku dan dirinya sendiri saat mengalami tuntutan dan standar menjadi seorang mahasiswa. Ada beberapa area yang rawan terjadi prokrastinasi akademik, enam area yang rawan terjadi prokrastinasi akademik oleh siswa menurut (Solomon, 1984) adalah : a) Tugas menulis, b) Belajar menghadapi ujian, c) Tugas membaca per minggu, dan d) Tugas administratif. Menghindari area-area yang sering terjadi prokrastinasi dengan melakukan perencanaan serta pelaksaan yang tepat akan medapatkan pencapaian akademik. Mendapatkan pencapaian dalam dunia akademik sesuai dengan yang direncanakan pun tentunya bukan sesuatu hal yang mudah, diperlukan konsistensi dalam belajar serta kontrol diri yang baik dalam mengendalikan diri. Karena itulah kontrol diri ini sangat penting ada terutama sebagai mahasiswa untuk menghindari perilaki prokrastinasi dam mencapai suatu hal yang tinggi. Kontrol diri menurut Lazarus (dalam Bachri, 2010) merupakan keputusan yang dilakukan oleh individu dengan mempertimbangkan kognitif demi menyatukan perilaku yang telah direncanakan guna meningkatkan hasil dan mewujudkan tujuan tertentu seperti apa yang telah dirancang sebelumnya. Keputusan tepat yang diambil oleh individu tidak terlepas dengan pentingnya kognitif agar mengetahui cara yang tepat dalam menuntun perilaku apa yang dapat meningkatkan dan memaksimalkan hasil yang akan diperoleh. Gleitman 1999 (dalam Bachri, 2010) mendefinisikan kontrol diri yaitu kemampuan seorang individu dalam melakukan suatu hal yang diinginkan dengan melakukan tanpa mengalami halangan baik oleh rintangan maupun kekuatan yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Seseorang yang mempunyai kontrol diri baik dapat mengetahui hal apa saja yang ingin ia lakukan dengan melakukan perbuatan yang mendukung keinginanya tersebut. Kontrol diri memiliki keterkaitan erat dengan keterampilan emosional dalam diri individu. Menurut Goleman, 1997 (dalam Bachri, 2010) keterampilan emosional mencakup beberapa hal, yaitu: pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, dapat memberikan empati pada orang lain serta berdoa untuk kebaikannya, memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, dan kemampuan untuk mennyelesaikan konflik. Adapun aspek-aspek kontrol diri menurut (Adeonalia, 2002) yaitu: a. Kemampuan mengontrol perilaku Peran perilaku dalam kehidupan adalah sangat penting, oleh sebab itu jika perilaku individu tidak dapat terkontrol dengan baik, maka akan menimbulkan perilaku menyimpang. Namun kemampuan untuk mengontrol perilaku tiap individu berbeda dengan individu lain, b. Kemampuan mengontrol stimulus 59 Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017 Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani Dalam kehidupan seorang individu terdapat berbagai bentuk stimulus yang selalu diterima. Stimulus yang masuk harus dikontrol dengan baik yaitu dapat menyaring stimulus mana yang harus ditolak dan stimulus mana yang harus diterima. c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa Permasalahan akan selalu datang dalam kehidupan individu, oleh sebab itu kemampuan mengantisipasi peristiwa yang dapat menimbulkan masalah harus bisa diantisipasi dengan baik. d. Kemampuan menafsirkan peristiwa Kemampuan menafsirkan adalah skill yang harus dimiliki individu untuk dapat mengartikan dan memaknai apa yang terjadi dalam hidupnya. Hal ini agar individu mampu untuk menjalani peristiwa yang ada dihidupnya dan dapat mengetahui langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya. e. Kemampuan mengambil keputusan Setiap individu akans selalu dihadapkan dengan pilihan. Oleh karenanya setiap individu harus mempunyai kemampuan untuk memutuskan mana pilihan yang tepat dengan mempertimbangkan keputusan yang diambil akan mempunyai dampak baik bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Berdasarkan pemaparan aspek-aspek di atas, simpulan yang dapat diambil adalah jika setiap individu memiliki kemampuan-kemampuan yang telah disebutkan, maka individu tersebut mempunyai kontrol diri yang baik sehingga dapat terhindar dari masalah yang tidak dikehendaki. METODE Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan korelasi. Menurut Azwar (2015) Berdasarkan sifatnya penelitian ini adalah deskriptif. Metode tersebut digunakan dengan pertimbangan karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan keadaan subjek pada saat penelitian sedang berlangsung didasarkan pada fakta yang terdapat sebagaimana adanya di lapangan. Adapun bentuk penelitian dalam penelitian ini adalah “studi hubungan” yaitu menggunakan cara pengungkapan bentuk hubungan timbal balik antar variabel yang diteliti berupa mencari pengaruh antar variabel-variabel yang diteliti. Sumber data yang kami ambil pada penelitian ini adalah mahasiswa psikologi Unesa angkatan 2017. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang disebar pada subjek yang kami teliti, sehingga diperoleh data primer. Populasi dalam penelitian ini merupakan mahasiswa jurusan psikologi Unesa Angkatan 2017 dengan jumlah 200 orang mahasiswa. Berdasarkan jumlah populasi lebih dari 100, maka sampel diambil sebanyak 25% dari populasi yang ada. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah random sampling atau dengan setiap mahasiswa memiliki peluang untuk dijadikan sampel secara proporsional sebesar 25% untuk tiap kelas. Atas dasar itu maka jumlah sampel penelitian adalah sebanyak 60 mahasiswa. Aitem dalam penelitian ini menggunakan 14 aitem untuk setiap variabel dengan jumlah 28 aitem yang dibuat dengan menggunakan dasar aspek-aspek dari setiap variabel. Kemudian ditarik indikator dan dibuatlah aitem dari indikator tersebut yang nantinya akan dijadikan kuisioner. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai r hitung dan uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha. Sedangkan untuk uji normalitas menggunakan One-Sample KolmogorovSmirnov Test, uji linearitas menggunakan Anova Table untuk melihat Deviation from Linearity. Adapun uji hipotesis menggunakan teknik analisis regresi sederhana. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan apakah terdapat pengaruh kontrol diri pada prokrastinasi akademik mahasiswa jurusan psikologi Unesa angkatan 2017. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan alat pengumpulan data berupa kuisioner. Terdapat 60 sampel dari mahasiswa jurusan psikologi Unesa angkatan 2017. Penelitian ini menggunakan perhitungan statistik dengan aplikasi SPSS (Statistical Product and Service Solutions) 25.0 sebagai alat pendukung dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil uji SPSS mengenai r-hitung untuk mengetahui validitas dari semua aitem. Untuk perhitungan validitas, suatu aitem dikatakan valid jika suatu aitem memiliki r-hitung > r-tabel. Pada penelitian kami didapatkan data : Tabel 1 Variabel X R-HITUNG 0.376 0.553 0.809 0.417 0.688 0.506 0.655 0.466 0.320 0.714 0.725 0.607 0.618 R-TABEL 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 0.254 KETERANGAN Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid 60 Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017 Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani 0.131 0.254 Pada uji normalitas data, menggunakan OneSample Kolmogorov-Smirnov Test pada SPSS. Uji normalitas data digunakan untuk melihat apakah residual dari penelitian ini memiliki nilai yang berdistribusi normal atau tidak. Tidak Valid Tabel 2. Variabel Y R-HITUNG R-TABEL KETERANGAN 0.708 0.254 Valid 0.669 0.254 Valid 0.512 0.254 Valid 0.794 0.254 Valid 0.715 0.254 Valid 0.262 0.254 Valid 0.506 0.254 Valid 0.736 0.254 Valid 0.318 0.254 Valid 0.074 0.254 Tidak Valid 0.391 0.254 Valid 0.415 0.254 Valid 0.458 0.254 Valid 0.690 0.254 Valid Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Data Berdasarkan data yang terlihat pada tabel 1.1 dan tabel 2.1 dapat dilihat bahwa validitas untuk variabel x terdapat satu aitem tidak valid, begitupun dengan variabel y yang juga memiliki satu aitem yang tidak valid. Secara keseluruhan aitem. Terdapat dua aitem yang tidak valid. Reliabilitas data adalah selanjutnya untuk mengetahui kualitas aitem data dengan menggunakan perhitungan SPPS dengan Cronbach Alpha. Tabel 3. Variabel Kontrol Diri (X) Tabel 6. Hasil Uji Linearitas Data Reliability Statistics Cronbach's Alpha Dari hasil analisis data oleh SPSS dapat dilihat dari tabel. 3 bahwa nilai Asymp Sig. (2-tailed) mempunyai nilai signifikasi bernilai 0.200, yang mana nilai tersebut lebih besar dari 0.05 (0.200 > 0-05). Maka dapat disimpulkan bahwa nilai residual berdistribusi normal. Perhitungan lain yaitu hasil dari uji linearitas data untuk menentukan apakah ada linearitas antara kontrol diri (x) dengan prokrastinasi akademik (y) pada mahasiswa jurusan psikologi UNESA. N of Items .815 14 Tabel 4. Var. Prokrastinasi Akademik (Y) Reliability Statistics Cronbach's Alpha .777 N of Items 14 Berdasarkan hasil pehitungan pada tabel 2.1 dan 2.2 di atas dapat dilihat bahwa variabel x dan y pada penelitian ini dikatakan reliabel. Saat kuisioner dikatakan reliabel jika Cronvach’s Alpha > 0.6. Pada variabel kontrol diri (x) Cronbach’s Alpha 0.815 pada tabel 2.1, yang mana hasil tersebut merupakan jumlah dengan nilai > 0.6. Maka kuisioner dengan variabel x ini bisa dikatakan reliabel (Cronvach’s Alpha 0.815 > 0.6). Untuk variabel prokrastinasi akademik (y) Cronbach’s Alpha yaitu 0.777 pada tabel 2.2 yang mana hasil tersebut merupakan jumlah dengan nilai >0.6. Maka kuisioner dengan variabel y ini bisa dikatakan reliabel (Cronvach’s Alpha 0.777 > 0.6). Berdasarkan data yang telah diperoleh pada tabel 4 di atas, menunjukkan bahwa nilai Deviation from Linearity mempunyai nilai sebesar 0.270 > 0.05, yang mana nilai tersebut lebih besar dari 0.05. Hasil lainnya diperoleh nilai f-hitung sebesar 1.251 jika dibandingkan dengan f-tabel dengan nilai 1.84, maka didapatkan bahwa r-hitung < r-tabel. Dari kedua data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linear antara kontrol diri (self-control) dengan prokrastinasi akademik. Hasil uji analisis regresi sederhana untuk menunjukkan apakah terdapat pengaruh dari kedua variabel yang diteliti dilihat dari hasil signifikan dan koefisien korelasi dari kedua variabel tersebut. 61 Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017 Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani Tabel 7. Hasil Uji Hipotesis DAFTAR PUSTAKA Adeonalia, G. (2002). Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Kecanduan Internet. Jurnal Psikologi. Amin, A. (2014). Sistem pembelajaran pendidikan agama islam pada perguruan tinggi umum. Yogyakarta: Deepublish. Azwar, S. (2015). Metode penelitian. Yogyakarta: C.V. Pustaka Belajar. Berdasarkan hasil uji SPSS menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.748 dengan nilai signifikansi yaitu 0.000 < 0.05. Kedua hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara variabel kontrol diri (x) dengan prokrastinasi akademik (y). Pengaruh dari kedua variabel ini adalah searah atau positif. Data tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kontrol diri maka akan semakin rendah prokrastinasi akademik. Sebaliknya, jika semakin rendah kontrol diri maka akan semakin tinggi prokrastinasi akademik. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai r-hitung sebesar 1.251 < r-tabel (1.84) dengan nilai Deviation from Linearity sebesar 0.270 > 0.05. Hasil analisis hipotesis dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 < 0.05. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel kontrol diri dan prokrastinasi akademik memiliki hubungan yang linear dan terdapat pengaruh antara kedua variabel tersebut. Semakin besar kontrol diri maka akan semakin rendah prokrastinasi akademik yang dilakukan, begitu pula sebaliknya. Semakin rendah kontrol diri maka prokrastinasi akademik semakin besar. Bachri, S. (2010). Psikologi pendidikan berbasis analisis empiris aplikatif. Jakarta: Prenada Media Group. Fauzi. (2019). Model pengawas sekolah yang berkesan. Riau: PT. Indragiri Dot Com. Ghufron, & Risnawati. (2010). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group. Kartadinata, I., & Sia, T. (2008). Prokrastinasi Akademik dan Manajemen Waktu. Anima, Indonesian Psychological Journal, 23. Solomon, L. J., & Rothblum, E. D. . (1984). Academic procrastination: Frequency and cognitive-behavioral correlates. Journal of Counseling Psychology, 31(4), 503-509. Saran Saran yang diberikan untuk para peneliti selanjutnya untuk lebih memperluas jangkauan dari subjek, sehingga akan didapatkan nilai yang lebih spesifik dan lebih baik dengan jumlah subjek yang banyak pula dengan gambaran yang lebih baik mengenai kontrol diri dengan pokrastinasi akademik yang dialami oleh mahasiswa. Saran selanjutnya yaitu, untuk para peneliti selanjutnya untuk menambahkan jangka waktu dalam pengambilan data sehinggamenjadi lebih efektif dengan sumber data yang jelas. Bisa juga untuk menambahkan variabel dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh atau hubungan variabel yang lebih luas. 62 PEMBELAJARAN EMANSIPATORIS BAGI MAHASISWA DI PERGURUAN TINGGI BERBASIS LITERASI DIGITAL DI ERA MERDEKA BELAJAR Rr Nanik Setyowati Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya naniksetyowati@unesa.ac.id Abstrak Mendikbud pada tahun 2020 mempunyai ide dengan merdeka belajar kampus merdeka yang mempunyai tujuan mewujudkan tujuan dari UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Untuk itu diperlukan pembaharuan paradigma pembelajaran yang bersifat emasipatoris. Pembelajaran emansipatoris yaitu suatu model pendidikan yang memfokuskan diri pada aktivitas mahasiswa (student centered) sehingga mahasiswa diberi ruang yang luas untuk bereksplorasi, menemukan pengalaman baru dan berpikir kritis dalam menemukan dan memecahkan masalah yang ditemuinya dalam sebuah pembelajaran holistik dan bermakna. Pendidikan emansipatoris berbasis literasi digital adalah pendidikan yang merdeka, tidak mengekang dan tidak hanya sekedar belajar tentang membaca, menulis atau pun berhitung semata. Jika mahasiswa mempunyai kemampuan berliterasi digital maka akan akan mempunyai kemampuan berpikir kritis. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana proses literasi digital itu berlangsung. Ketika seseorang berliterasi digital, maka ia akan masuk ke dalam dunia global melalui penggunaan internet dan menemukan informasi serta pengetahuan baru. Secara tidak langsung, ia akan menggunakan proses berpikirnya dan mencari tahu peristiwa apa yang sedang terjadi, mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa dampak dari peristiwa yang sedang terjadi. Pada akhirnya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa akan mempunyai karakter yang mandiri, disiplin dan bertanggung jawab yang semakin menguat. Melalui pembelajaran emansipatoris berbabsis literasi digital diharapkan akan menguatkan pendidikan karakter pada diri mahasiswa. Yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Kata Kunci: Pembelajaran Emansipatoris, Mahasiswa, PT, Berbasis Literasi Digital, Era Merdeka Belajar, PENDAHULUAN Memasuki awal tahun 2020 telah terjadi pesgeseran paradigma pendidikan di era merdeka belajar. Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional pendidikan sebagai amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mewujudkan tujuan tersebut melalui kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka. Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, menjelaskan bahwa terdapat empat amanah kebijakan terkait Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, yang meliputi: kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, perubahan perguruan tinggi menjadi badan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi. Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka dilaksanakan dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan link and match dengan dunia usaha dan dunia industri, serta untuk mempersiapkan mahasiswa dalam dunia kerja sejak awal. Melalui kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, Perguruan Tinggi dituntut untuk merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran secara optimal. Mahasiswa diberikan kebebasan mengambil SKS pembelajaran di luar program studi selama tiga semester, yang dapat diambil dari luar program studi dalam satu Perguruan Tinggi (PT) dan/atau di luar PT. (Direktorat Dikti, 2020). Melalui kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, Perguruan Tinggi dituntut untuk merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran secara optimal. Untuk itulah diperlukan pergeseran paradigma pembelajaran khususnya di Perguruan Tinggi, khususnya di bidang pembelajaran. Menurut Setyowati, Rr Nanik (2020:3) pergeseran paradigma pembelajaran di perguruan tinggi seperti awalnya old industrial education bergeser ke new normal entrepreneurial education, dosen saat ini lebih sebagai fasilitator. Dulu mahasiswa pasif, saat ini tidak boleh lagi. dulu kelas terprogram sekarang harus lebih fleksibel, Dulu tekanan pada teori, sekarang lebih pada pekerjaan yang dilakukan mahasiswa. Dalam banyak kasus (lihat Lewis, 2000; Accilar, 2011; Miah dan 63 Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar Rr Nanik Setyowati Omar, 2012; Heeks dan Stanforth, 2015), mahasiswa dan pengajar di negara berkembang tampak seperti di bawah tekanan oleh sebagian besar sistem pendidikan untuk secara langsung menggunakan teknologi digitaldengan kesempatan yang sangat terbatas.Baik untuk mempertanyakan keunggulan teknologi digital tersebut, atau merefleksikan peran teknologi tertentu dalam mentransformasi pengajarandan proses pembelajaran (Kalolo, 2019:346). Berbicara pembelajaran yang inovatif, maka yang diharapkan adalah proses belajar mengajar yang terjadi di kampus yang pada akhirnya menghasilkan mahasiswa yang kelak menjadi bagian dari masyarakat. Masyarakat yang diinginkan adalah masyarakat madani yang pada hakikatnya merupakan bentuk masyarakat yang dialogis-emansipatoris dan mandiri. Dengan kata lain masyarakat yang demokratis. Menurut Rukiyati dan L. Andriyani (1000:143) untuk menuju masyarakat tersebut diperlukan penyiapan SDM agar terkondisikan untuk hidup mandiri di alam yang demokratis tersebut. Dunia pendidikan merupakan wahana utama untuk pembentukan insan-insan yang mandiri dan demokratis. Dengan demikian pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan yang bersifat emansipatoris (membebaskan, memerdekakan manusia). Melalui pembelajaran emansipatoris diharapkan penguatan pendidikan karakter akan dimiliki oleh mahasiswa. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini tergolong dalam penelitian kepustakaan. Data yang digunakan dalam kajian ini berupa data kepustakaan untuk membahas problematika yang telah dirumuskan. Selanjutnya akan dianalisis melalui pendekatan content analysis. PEMBAHASAN A. Pendidikan Emansipatoris Selama ini pembelajaran di sekolah dan kampus lebih menitikberatkan pada menghafal, tidak membuka peluang pada penalaran kritis. Kurikulum yang sentalistik membuat dunia pendidikan menjadi seragam dan menghasilkan lulusan yang yang apatis, tidak kritis dan inovatif serta tidak kreatif. Kondisi pendidikan yang tidak mendewasakan akan sulit dalam mencapai masyarakat madani. Untuk itu diperlukan pergeseran dalam dunia pendidikan yaitu dengan pendidikan mansipatoris yaitu pendidikan yang bersifat memberdayakan dan membebaskan (Rukiyati dan L. Andriyanti (1999:145). Menurut Suprijono (2016) pendidikan emansipatoris adalah suatu model pendidikan yang memfokuskan diri pada aktivitas peserta didik (student centered) sehingga siswa diberi ruang yang luas untuk bereksplorasi, menemukan pengalaman baru dan berpikir kritis dalam menemukan dan memecahkan masalah yang ditemuinya dalam sebuah pembelajaran holistik dan bermakna. Pendekatan ini melibatkan cara berpikir, negosiasi, dan transformasihubungan dalam pengajaran di kelas, sertamenghasilkan pengetahuan, hubungan sosial, dan material yang lebih luaspada komunitas, masyarakat, dan negara-bangsa (Keesing-Styles, 2003:3). Pendidikan emansipatoris di era digital adalah pendidikan yang merdeka, tidak mengekang dan tidak hanya sekedar belajar tentang membaca, menulis atau pun berhitung semata. Namun lebih dari itu, pendidikan di era ini menjadikan proses pembelajaran sebagai aktivitas untuk berpikir kritis, berpikir kreatif, kolaborasi dan berkomunikasi dengan individu lain sehingga didapatkan kebermaknaan mendalam dalam sebuah pembelajaran. Pendidikan di abad ke-21 merupakan pendidikan modern dengan pengetahuan dan kebutuhan keterampilan yang beragam. Hal tersebut ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seiring dengan adanya perkembangan zaman yang juga merupakan sebuah tantangan besar dalam dunia pendidikan. Kini, pendidikan tidak hanya dipandang seagai sebuah sistem pengajaran ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa melainkan sebuah kenyataan yang harus disadari bersama bahwa pendidikan adalah sebuah proses holistik yang hidup dan berkembang dalam diri peserta didik yang bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hidupnya di era saat ini dan masa depan. Paradigma pendidikan modern di era digital mengalami perubahan yang cukup signifikan. Metode pengajaran danproses pembelajaran di kelas berubah dari gaya otokratis menjadi demokratis ataugaya partisipatif dimana peserta didik berperan aktif (Sharma, 2017:11). Dari belajar untuk mendapat nilai menjadi belajar untuk memperbaiki norma agar menjadi insan yang bernilai; dari belajar di ruang kelas menjadi belajar dengan sumber dan lingkungan yang luas; dari belajar hanya sekedar untuk calistung (membaca, menulis dan berhitung) menjadi pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, pemecahan masalah, kolaborasi, dan komunikasi agar menjadi insan yang beruntung. Ketiga contoh perubahan paradigma pendidikan tersebut mutlak harus disadari dan dimiliki oleh setiap peserta didik agar bisa bertahan, 64 Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar Rr Nanik Setyowati berkembang dan memperbaiki kualitas hidupnya di masa sekarang dan mendatang. Pendidikan di era digital disebut juga sebagai pendidikan emansipatoris yang dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengarahkan siswa langsung pada objek sehingga siswa secara sadar memahami apa yang hendak ia pelajari. Pendidikan emasipatoris merupakan pendidikan aktif dan kritis yang tidak menghendaki transfer ilmu pengetahuan secara langsung oleh guru, melainkan di dalamnya terdapat sebuah proses konstruksi pengetahuan yang benar-benar dialami oleh sisiwa. Hal tersebut dikarenakan adanya fakta bahwa setiap peserta didik selalu mempunyai sikap need to know (ingin tahu) need to show (ingin ditunjukkan) dan need to be (ingin berperan secara langsung). Ketiga perilaku tersebut hanya bisa dilakukan jika peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan dan belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga pada akhirnya siswa terlibat pada pembelajaran mandiri (self-directed learning) serta mampu mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan yang mereka peroleh untuk menyelesaikan masalah atau isu yang ada serta responsif terhadap segala perubahan yang ada di sekitarnya. Suprijono (2016:27) menyatakan bahwa pendidikan emansipatoris merupakan pendidikan merdeka dimana siswa diberikan kebebasan yang luas untuk menyadari keterampilan yang dimilkinya agar selalu umbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan diri dan lingkungan sekitarnya. Pendidikan tipe ini memberikan ruang dan waktu yang ta terbatas untuk siswa agar mengenali dan mempelajari lingkungan yang lebih global. Salah satu bentuk penerapan pendidikan emansipatoris adalah pendidikan transfromatif yang mengarahkan peserta didik bahwa dirinya merupakan seseorang yang dinamis, berubah serta terus menerus belajar untuk menjadi insan yang bernilai, berkarakter, berketrampilan dan berguna di kehidupannya kelak. Pendidikan emansipatoris pada era digital seperti saat ini mempunyai urgensi yang sangat penting berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut. 1. Perubahan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang selalu dinamis dan berkembang yang aksesnya semakin mudah dengan adanya jaringan internet dan global. Akses internet akan memudahkan seseorang untuk terhubung dengan siapapun dan mengakses informasi apapun. 2. Arus globalisasi dan modernisasi yang telah memasuki budaya hidup masyarakat sehingga gaya hidup kini semakin dinamis dan fleksibel yang menyebabkan kehidupan individualistik sudah tidak bisa digunakan lagi. 3. Tuntutan standar kualitas hidup yang semakin tinggi membuat setiap individu harus mengembangkan keterampilan berpikir, kreatif dan mengoptimalkan kepribadian yang serba mumpuni (multitalented) dan kompleks untuk kualitas hidup yang lebih baik. Pendidikan emansipatoris selalu merujuk pada proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang menempatkan siswa subjek belajar serta mampu merefleksikan apa yang ia pelajari sehingga orientasi hasil proses pembelajaran tidak hanya sekedar angka namun sebuah kebermaknaan yang holistik dan internalisasi nilai dalam kehidupa nyata. Pembelajaran interaktif berpusat pada siswa dibuat utuk mengembangkan dan menggali potensi yang dimiliki oleh setiap siswa sehingga filosofi pengembangan pendidikan berkarakter yang terdiri atas olah hati atau etika, olah pikir atau berliterasi, olah karsa atau estetika, serta olah raga atau kinestetika dapat terlaksana dengan maksimal. B. Berbasis Literasi Digital Literasi digital merupakan kemampuan menemukan, menggali, dan memahami informasi serta pengetahuan yang didapatkan dari sumber internet atau piranti digital lainnya. Dikutip dari UNESO Institute of Information Technologies in Education menyatakan bahwa pertemuan para ahli pendidikan di Paris pada tahun 2003 menyepakati literasi digital saat ini telah memiliki definisi yang begitu luas dari definisi awal. Literasi digital merupakan sebuah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, mengkreasimengkomunikasi, dan menggunakan materi atau informasi secara tertulis yang diasosiakan dengan konteks yang bervariasi. Literasi melibatkan pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus yang memungkinkan individu untuk mengembangkan kompetensi, dan berpartipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. (dalam Teng, 2018). Literasi digital sebenarnya merupakan bagian dari literasi media yang muncul pada tahun 1980-an yang dikenl denngan istilah literasi komputer. Konsep literasi digital mempunyai keterbatasan hanya pada piranti komputer, hingga akhirnya muncullah sebuah konsep baru yang terkait dengan penggunaan media digital dan perangkat digital yang disebut dengan literasi digital (Buckingham, 2006:45-46). Definisi dari literasi digital memang sangat beragam dan tidak bisa dipandang dari satu paradigma saja. Beberapa orang memang memandang bahwa literasi digital merupakan 65 Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar Rr Nanik Setyowati kemampuan literasi baru yang mengandng beberapa keterampilan kompleks, multidimensi dan direpresentasikan dalam praktik sosial. Namun pada dasarnya secara garis besar dapat disimpulkan bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola, memahami, mengintegrasikan, berkomunikasi dan menggunakan teknologi digital dengan kompetensi yang beragam. Belshaw (2011) menyatakan bahwa ada delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital, yaitu sebagai berikut. 1) Pemahaman beragam konteks yang ada pada dunia digital. 2) Kognitif, yakni daya pikir atau pengetahuan seseorang 3) Strukturisasi ilmu pengetahuan 4) Komunikasi dalam dunia maya dan global 5) Kepercayaan diri dan bertanggung jawab 6) Penciptaan hal yang inovatif 7) Kritis dalam menyikapi konten yang ada di jejaring internet 8) Tanggung jawab secara sosial. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa literasi digital merupakan seperangkat keterampilan dan pengetahuan untuk menggunakan media digital, jaringan internet dan piranti komputer yang lainnya untuk menemukan informasi baru, menkonstruk pengetahuan, menganalisis isi berita atau konten untuk diambil kebermaknaan dan manfaatnya di kehidupan sehari-hari. Dewasa ini, literasi digital diartikan bukan hanya sebagai proses interaksi individu dengan media internet dan jejaringnya. Namun juga bagaimana kontribusi interaksi itu terhadap kebermanfaatan kehidupan individu selanjutnya. Manfaat Keterampilan Literasi Digital menurut Belshaw (2011) menyatakan bahwa beberapa manfaat keterampilan literasi digital sebagai berikut. a. Mendapatkan informasi yang lebih cepat dan mudah b. Mendapatkan informasi terbaru c. Mempermudah akses komunikasi d. Memberikan pemahaman mengenai segala jenis cybercrime e. Membantu untuk membuat keputusan yang lebih bijak Selain kelima hal tersebut, manfaat literasi digital juga sangat bermanfaat bagi kesuksesan sebuah proses pembelajaran di kelas terutama bagi guru dan siswa. Berikut ini adalah manfaat literasi digital bagi proses pembelajaran di kelas menurut menurut UNESCO (2011:7). a. Siswa mampu mengakses informasi dengan lebih mudah karena pekembangan data sudah tersedia melalui media digital dan internet sehingga penyebarannya lebih cepat dari pada media tradisional seperti dalam teks bacaan. b. Siswa dapat terhubung dengan komunitas yang lebih luas untuk berdiskusi dan berkolaborasi dalam membicarakan sebuah informasi yang baru. c. Guru mampu mempraktikan secara langsung kepada siswa untuk mengevaluasi dan memperlihatkan mana infomasi yang otentik dan valid langsung dari sumbernya. C. Pembelajaran Emansipatoris Berbasis Literasi Digital pada Era Merdeka Belajar dalam Menguatkan Pendidikan Karakter Mahasiswa Model pembelajaran emansipatoris diaksentuasikan pada pembelajaran berpusat pada peserta didik. Model pembelajaran emansipatoris dihadirkan oleh beberapa alasan (1) transformasi dunia karena revolusi teknologi telekomunikasi dan komputer menjadi agenda utama perubahan dunia saat ini (Koh, et. al, 2019:818). Dunia tidak lagi dapat dipandang sebagai benua-benua yang terpisah atau kumpulan negara-negara yang terpisah, melainkan dunia menjadi syaraf global telekomunikasi dan komputer (Oztemel dan Gursev, 2018:8). Kepesatan perkembangan teknologi telekomunikasi dan komputer telah mengantarkan masyarakat memasuki era global; (2) Globalisasi ditandai oleh kompleksitas keragaman kehidupan masyarakat. Model kehidupan seperti ini tak dapat lagi direduksi ke dalam model-model normatif yang standar dan tak banyak lagi pengaturan sentral. Aktivitas hidup lebih banyak bermula dan berlangsung pada interaksiinteraksi antar individu yang diprakarsai individu itu sendiri. Society is produced and reproduced by the interacting individuals; (3) Setiap individu di era global dituntut mengembangkan kapasitasnya secara optimal, kreatif dan mengadaptasikan diri ke dalam situasi global yang amat bervariasi dan cepat berubah. Setiap individu dituntut melakukan customization. Setiap individu dituntut memiliki daya nalar kreatif dan kepribadian yang tidak simpel, melainkan kompleks. Sekompleks situasi-situasi yang penuh varian yang dihadapi. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, 66 Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar Rr Nanik Setyowati cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Kemendikbud sendiri juga mengeluarkan 6 kebijakan dengan Penciptaan Karakter Unggul, Budaya Akademik Kolaboratif & Kompetitif di PerguruanTinggi yang meliputi General Education, Pengembangan Kepemimpinan, Pendampingan Dosen (Dosen Penggerak), Civic Intelligence, Responsibility and Participation, Entrepreneurial Mindset dan Pembelajar Sepanjang Hayat (Setyowati, Rr Nanik, 2020). Melalui pembelajaran emansipatoris maka dosen dapat menggunakan berbagai model pembelajaran yang sudah ada tetapi dalam prosesnya dapat menggunakan berbagai cara dalam penugasannya. Dosen melakukan penguasaan teknologi, pedagogik dan kemampuan mengasai materi. Bermacam model yang dipilih dapat dikembangtkan dengan berbagai metode. Adanya penugasan yang membuat mahasiswa menjadi subjek bukan sekedar objek. Misalnya dalam matakuliah Pendidikan Karakter ada satu proyek yang dikerjakan mahasiswa secara berkelompok. Ada penugasan dari dosen yaitu meminta mahasiswa melakukan studi lapangan terkait implementasi pendidikan karakter di sekolah, masyarakat atau keluarga. Maka secara berkelompok mahasiswa diminta membuat pedoman wawancara. Di lapangan mereka bisa berkreasi dengan melakukan bebagai pertanyaan untuk kedalaman analisis. Dan beberapa tugas lainnya diman mahasiswa bisa berkreasi dengan memanfaatkan literasi digital dalam pembelajarannya. PENUTUP Pembelajaran emansipatoris berbasis literasi digital merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mndorong mahasiswa berkarakter tanggudi era merdeka belajar. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mlalui kebijakannya bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna dalam memasuki dunia kerja. Kampus Merdeka memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menentukan mata kuliah yang akan mereka ambil. Kemudian dosen juga diminta melakukan inocasi pembelajaran. Untuk itu melalui pembelajaran emansipatoris berbasis litarsi digital pada era merdeka belajar akan dapat menguatkan mahasiswa sebagau subjek bukan hanya objek dalam pembelajaran. Perubahan paradigma pembelajaran yang inovatif sangat diperlukan dan perlu koordinasi yang baik antara dosen, mahasiswa dan kampus sehingga akan dapat berjalan dengan baik. Karakter mahsiswa sebagai generasi penerus bangsa akan dapat ditingktakan sejak mereka menjadi mahasiswa, disinilah peran dosen sangat diperlukan dan pembelajaran emansipatoris bagi mahasiswa di perguruan tinggi merupakan salah satu solusinya.merupakan salah satu solusinya.Mahasiswa akan berdaya mereka tidak hanya sekedar menjadi objek tetapi mahasiswa akan menjadi subjek dalam pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Accilar, A. (2011). Exploring the aspects of digital divide in a developing country. Issues in Informing Scienceand Information Technology, 8(1), 231244. Heeks, R.dan Stanforth, C. (2015) Technological change indeveloping countries: opening the black box of process using actor-network theory, DevelopmentStudies Research, 2(1), 3350,DOI:10.1080/21665095.2015.1026610 Junaidi, A. (2020). Kebijakan Kemendikbud.Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kalolo, J.F. (2019). Digital revolution and its impact on education systemsin developing countries, Education and Information Technologies, 24:345358. Keesing-Styles, L. (2003). The relationship between critical pedagogy and assessment in teacher education. Radical Pedagogy, 5(1), 1-20. Koh, L., Orzes, G. dan Jia, F. (2019).The fourth industrial revolution (Industry 4.0): technologies disruption on operations and supply chain management, International Journal of Operations & Production Management, Vol. 39 No. 6/7/8, pp. 817-828.https://doi.org/10.1108/IJOPM-08-2019788 Lewis, T.(2000).Technology Education and Developing Countries. International Journal of Technology and Design Education (10), 163-179. https://doi.org/10.1023/A:1008967718978 Miah, M., dan Omar, A. (2012). Technology advancement in developing countries during digital age.International Journal of Science and Applied Information Technology, 1(1), 30-38. Ngalimun. (2017). Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta: AswajaPressindo. Oztemel, E. dan Gursev, S. (2018), Literature review of Industry 4.0 and related technologies, Journalof Intelligent Manufacturing, pp. 1-56 Setyowati, Rr Nanik, Maya Mustika Kartikasari dan Siti Maizul Habibah. (2018). Improving Critical Thinking Skills of Students through the 67 Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar Rr Nanik Setyowati Development of Teaching Materials. Published by Atlantis Press. Advances in Social Science, Education and Humanities Research.Volume 226. 240-245 Setyowati, Rr Nanik. (2020). Pergeseran Paradigma Pembelajaran Menuju New Normal di Era Abad 21.Disampaikan pada Webinar Nasional Unram. Rabu, 8 Juli 2020. Setyowati, Rr Nanik. (2020). Keterampilan Berpikir Kritis melalui Pendidikan Karakter di Prodi PPKn FISH Unesa Menuju Era Merdeka Belajar. Disampaikan pada Webinar Nasional Unram. Selasa, 14 Juli 2020. Sharma, M. (2017). Teacher in a Digital Era. Global Journal of Computer Science and Technology,Version 1.0, 17(3), 11-14. Online ISSN: 0975-4172 Tim. (2020). Buku Saku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kemendikbud : Jakarta. Rukiyati dan L. Andriyani. Pendidikan Emansipatoris dan Masyarakat Madani. Cakrawala Pendidikan. November 1999.Tahun XVIII No 4.143-148 Syihabuddin, Muhammad Arif. Kiat-kiat Membangun Strategi Pembelajaran Emansipatoris pada Pendidikan Dasar Islam. Indonesian Journal of Islamic Education Studies (IJIES) Online: https://ejournal.iaitribakti.ac.id/index.php/ijies.29-39. 68 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS MASALAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Nur Wahyu Rochmadi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, nur.wahyu.fis@um.ac.id Abstrak Tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia di era pandemi global, tidak hanya sekedar cerdas, berpengetahuan. dan terampil, tetapi juga harus berkarakter baik. Oleh karena itu pembangunan, penguatan dan pengembangan karakter yang baik bagi warga negara Indonesia mutlak harus dilakukan secara sistematis. Dengan demikian, sistem pendidikan Indonesia harus mengedepankan aspek pengetahuan, keterampilan dan karakter secara integrated dan berkesinambungan sebagai ukuran keberhasilan. Permasalahannya bagaimana dengan pendidikan karakter, yang hingga kini masih menjadi “wacana dialog” terutama tentang model pembelajaran, bahan ajar serta sistem penilaiannya. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan bahan ajar dalam pendidikan karakter, yang dikembangkan berbasis masalah serta penggunaannya dalam pembelajaran beserta sintaksnya. Penelitian dilakukan dengan rancangan pengembangan, namun hanya sampai pada tahapan pengembangan produk dan sintaks penggunaannya dalam pembelajaran serta validasinya. Produknya berupa bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter dan penggunaannya dalam pembelajaran beserta sintaks. Produk pengembangan divalidasi kepraktisan penggunaanya oleh guru dalam kegiatan pendidikan karakter. Hasil pengembangan sebagai temuan penelitian: (1) wujud bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter berupa gambar dan cerita tentang perilaku manusia dalam memperoleh pendapatan di beberapa tempat di dunia; (2) bahan ajar berbasis masalah yang dikembangkan dapat dipergunakan pada saat apersepsi (pendahuluan) maupun pada kegiatan inti dalam pembelajaran, dengan sintaks yang berbeda sesuai dengan tujuan pembelajaran; dan (3) guru memiliki peran aktif dalam pengembangan maupun penggunaan bahan ajar berbasis masalah. Berdasarkan hasil pengembangan tersebut disampaikan saran sebagai rekomendasi, perlu dilakukan upaya peningkatan kompetensi guru dalam mengembangkan bahan ajar berbasis masalah dan mempraktekkannya dalam pembelajaran. Kata-kata Kunci: bahan ajar, karakter, berbasis, masalah PENDAHULUAN Pendidikan adalah kerja membangun manusia agar menjadi manusia yang bisa survive dalam melindungi diri terhadap alam dan makluk hidup, serta mengatur hubungan antar-manusia (Freud, 2007: 55-56 dalam BSNP, 2010). Tujuan pendidikan tidak hanya agar manusia bisa survive melindungi diri terhadap alam, tetapi juga juga menjadikan manusia mampu melindungi diri terhadap makluk hidup lainnya, termasuk dari manusia yang lain. Bahkan diharapkan pendidikan menjadikan manusia mampu memperdayakan alam dan makluk hidup yang ada di sekitarnya untuk peningkatan kesejahteraan hidupnya, mengatasi berbagai permasalahan hidupnya, meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya serta mampu mengembangkan diri dan peradabannya. Melalui proses pendidikan terjadi proses di mana suatu kompleks pengetahuan, kecakapan (capacities), sikap, serta nilai diteruskan kepada generasi selanjutnya. Demikian disampaikan BSNP (2010) bahwa paradigma pendidikan nasional abad XXI haruslah memberi garis besar terhadap hal-hal berikut yaitu: (1) pendidikan sebagai upaya dalam mengembangkan keterampilan dan ilmu pengetahuan baik dengan bantuan guru maupun secara mandiri; (2) pendidikan sebagai penyalur dan pengembang karakter luhur bangsa; dan (3) pendidikan sebagai pembangun tumbuhnya rasa kebangsaan. Pentingnya pembangunan, penguatan dan pengembangan karakter luhur bagi bangsa Indonesia di era pandemi global seperti sekarang ini dilatar belakangi oleh realita munculnya pernik-pernik permasalahan kehidupan dalam beragam aspek yang sifatnya kompleks, sebagai akibat dari berbagai kelangkaan sumberdaya yang dialami bangsa Indonesia. Pandemi global menjadikan terganggunya berbagai aktifitas produksi dan distribusi, kondisi ini menjadikan terjadinya ketidakseimbangan aliran barang, uang dan jasa, sehingga pada akhirnya mempengaruhi upaya pemenuhan kebutuhan hidup secara cukup dan memadahi. Pandemi global menjadikan terjadinya “disrupsi” pada pola kehidupan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, yang pada akhirnya terjadi juga disrupsi pada kapabilitas manusia. Kompetensikompetensi di bidang digital, jaringan dan berbasis online menjadi pengganti kompetnsi yang selama ini dimiliki manusia. 69 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi Pada masa pandemi global seperti sekarang ini, sistem pendidikan juga mengalami disrupsi, tujuan pendidikan tak bisa lagi hanya mengedepankan aspek kemampuan keilmuan, pengetahuan dan keterampilan sebagai ukuran keberhasilan. Sistem pendidikan harus mulai melakukan pembangunan, penguatan dan pengembangan karakter secara integratif dengan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan pada peserta didik. Pandemi global seperti sekarang ini membutuhkan sumberdaya manusia yang memiliki kapabilitas karakter yang didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang unggul. Karena hanya dengan karakter yang baik dan unggul, eksistensi manusia dalam kehidupan di dunia ini dapat dipertahankan keberadaannya. Perhatian pada pengembangan tiga ranah di atas diyakini mampu membangun sistem pendidikan di Indonesia yang mampu melahirkan sumber daya manusia dengan memiliki kompetensi: ”(1) crticalthinking and problem-solving skills; (2) communication and collaboration skills; (3) creativity and innovation skills; (4) information and communications technology literacy; (5) contextual learning skills; and (6) information and media literacy skills”. Selain itu juga mampu mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki karakter dan perilaku: ”leadership, personal responsibility, ethics, people skills, adaptability, self-direction, accountability, social responsibility, and personal productivity” (BSNP, 2010: 44-45). Pembangunan, penguatan dan pengembangan karakter luhur bagi bangsa Indonesia dalam kegiatan pendidikan secara formal merupakan sesuatu yang baru, Dengan demikian, wajar bila masih ditemukan berbagai permasalahan dalam implementasinya, mulai dari model dan strategi pembelajaran, materi, hingga sistem evaluasinya. Pengalaman saat berinteraksi dengan guru-guru tingkat pendidikan dasar dan menengah, ditemukan adanya praktek pendidikan karakter selama ini masih dalam proses untuk berlangsung, hanya sekedar program sebagaimana tuntutan diknas, kadang dipinggirkan dalam proses pendidikan di sekolah, pendidikan karakter juga tidak mempunyai bahan ajar yang jelas, demikian halnya dengan tujuan, strategi pembelajaran serta sistem penilaiannya, padahal di beberapa kesempatan pasca lulus studi dan ketika peserta didik berada di dalam masyarakat aspek karakter dan kepribadian menjadi syarat mutlak untuk pengembangan diri yang bersangkutan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting dalam kesempatan ini untuk melakukan kegiatan pengembangan bahan ajar dalam pendidikan karakter berbasis masalah sebagai suatu pengayaan bahan ajar dalam pendidikan karakter, serta meningkatkan efektifitasnya. Melakukan pengembangan bahan ajar, secara tidak langsung juga harus melakukan pengembangan tujuan, mengembangkan sintaks pembelajaran serta sistem penilaian dalam pendidikan karakter. Pengembangan bahan ajar dalam pendidikan karakter berbasis masalah dilakukan dengan rasional, bahwa munculnya kehendak manusia untuk belajar sering dikarenakan adanya masalah. Artinya ketika, manusia menghadapi masalah dalam hidupnya, disitulah awal munculnya kemauan untuk belajar, dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Torren (2011;1) bahwa the motivation to learn begins with a problem. Demikian juga yang dikemukakan oleh Moore (2005; 294) “…John Dewey advocated a curriculum that was based on problems”. Sedangkan Reigeluth, (2009;147) menyampaikan bahwa “problem-based approaches to instruction are rooted inexperience-based education”. Berkaitan dengan tuntutan karakteristik kualitas sumber daya manusia di era pandemi global seperti sekarang ini, maka tujuan dan model atau strategi pembelajaran yang diterapkan guru harus diarahkan pada pembentukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan dalam kondisi normal. Artinya strategi pembelajaran dan bahan ajar yang dipergunakan guru harus mampu menggairahkan, meningkatkan kehendak subyek didik untuk belajar dan memperoleh pengalaman belajar yang lebih, sehingga dapat menjadikannya memiliki kompetensi unggul, salah satunya adalah menggunakan bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter. Model pembelajaran yang selaras dengan bahan ajar berbasis masalah yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran pemecahan masalah (Moore, 2005: 294., Reigeluth, 1999: 527., Amador, 2006: xiii., BSNP, 2010: 47). Model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving), adalah suatu model pembelajaran yang memfokuskan pada pemecahan masalah sebagai fokus kajian dalam kegiatan pembelajarannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Jonassen (2004: xxi) yang menegaskan bahwa “learning to solve problem is the most important skill that student can learn in any setting. In professional 70 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi context, people are paid to solve problem, not to complete exams”. Sedangkan Reigeluth (2009: 147) menyatakan bahwa “problem-based approaches to instruction are rooted inexperience-based education, research and theory on learning suggest that by having student learn through the experience of solving problems, they can learn both content and thingking strategies”. Kemudian Barrett (2005) menegaskan bahwa “problem based learning is that the problem is presented to the students first at the start of the learning process”. Model pembelajaran berbasis masalah mempunyai keunggulan dalam mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, keterampilan intelektual, dan belajar dengan terlibat dalam pengalaman nyata/simulasi (Ibrahim, 2002: 12). Sebagai suatu model pembelajaran, pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem solving) memiliki karakteristik berawal dengan masalah, berpusat pada siswa, otonom, berkaitan dengan masalah nyata kehidupan sehari-hari, konstruktif dan kooperatif. Model pembelajaran berbasis pemecahan masalah dapat membiasakan siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan motivasi belajar, serta merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak melakukan proses mental dengan menyoroti permasalahan kontekstual dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya. Pembelajaran berbasis masalah memungkinkan terjadinya suatu kondisi hasil belajar yang seimbang antara aspek intelektual dan moralitas pada anak didik. Sehingga tercipta kondisi keseimbangan antara teaching mind dengan touching heart melalui ethics & esthetics. Bertolak dari hal tersebut dilakukan penelitan dengan fokusnya pada pengembangan bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter, dengan tujuan untuk memperkaya ragam bahan ajar dalam pendidikan karakter, sekaligus sebagai rujukan dalam praktek pengembangan karakter di sekolah. Tujuan utama dilakukannya pengembangan bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter adalah sebagai upaya dalam penyelesaian permasalahan sulitnya menemukan bahan ajar dalam pendidikan karekter. Sekaligus juga sebagai sarana dalam mengembangkan karakter baik peserta didik, secara lebih efektif. METODE Penelitian dilaksanakan dengan rancangan pengembangan, namun hanya sampai pada tahapan pengembangan produk dan validasinya. Produknya berupa bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter dan penggunaannya dalam pembelajaran beserta sintaks. Produk pengembangan divalidasi kepraktisan penggunaanya oleh guru dalam kegiatan pendidikan karakter. Penelitian diawali dengan mengembangkan prototipe model bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter. Selanjutnya dilakukan uji validasi kepraktisan penggunaanya oleh guru dalam kegiatan pendidikan karakter. HASIL DAN PEMBAHASAN Wujud Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Proses pengembangan bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: (1) penentuan nilai karakter yang dikembangkan; (2) pengembangan bahan ajar berdasarkan nilai yang dipilih serta berbasis pada masalah; (3) menentukan sintaks penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran. Pada kesempatan ini, nilai yang dikembangkan bahan ajarnya adalah syukur, iman dan berprestasi. Wujud bahan ajar yang dikembangkan berupa gambardan cerita tentang manusia yang sedang bekerja serta melakukan sesuatu untuk memperoleh pendapatan atau bahan makanan dan minuman. 71 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi Keadaan Buruh Kasar di Haiti. sumber foto: Brightside Pekerja di Ladang Minyak Sumber foto: Brightside Pekerja yang sedang menggali tanah di tepi tebing Pekerja yang Sedang Melewati Jembatan Tepi Tebing. Cerita tentang Kerja Keras untuk Mendapatkan Air CHHATTISGARH – Masyarakat desa Saja Pahad, Chhattisgarh, India, sudah sangat lama menghadapi krisis air. Desa tersebut memiliki dua sumur yang menjadi tumpuan bagi penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, debet air di kedua sumur tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air ternak dan sawah mereka, sehingga hasil panennya rendah . Penduduk desa tidak tahu harus berbuat apa dan pemerintah tak acuh dengan keadaan mereka. Namun seorang remaja "gila" yang bernama Shyam Lal (15 tahun) berhasil mengatasi masalah tersebut. Shyam Lal mencari sebuah tempat di hutan terdekat dan memutuskan menggali tanah tersebut untuk dibuat sebuah kolam penampungan air hujan, yang bisa dipergunakan oleh semua penduduk desa Saja Pahad. Usahanya tidak mendapat dukungan dari penduduk setempat, bahkan mereka menertawakan rencananya dan memanggilnya orang gila. Tapi pemuda itu tidak menyerah, dia meraih sekop dan mulai menggali kolam itu seorang diri. Dia terus menggali selama 27 tahun. Kini Shyam Lal berusia 42 tahun, dan dianggap sebagai pahlawan dan penyelamat penduduk desanya. Lubang kecil yang mulai digali hampir tiga dekade yang lalu, sekarang berupa kolam sedalam 15 meter yang dipenuhi air untuk seluruh penduduk desa. "Tidak ada yang membantu saya dalam membuat kolam, baik pemerintah maupun penduduk desa," ungkap Lal, seperti yang dilansir Oddity Central, Kamis (31/8/2017). Kisah Shyam Lal ini menjadi viral di seluruh India dan mendorong pihak berwenang di distrik Mahendragarh mengakui prestasinya. Seorang anggota dewan legislatif daerah mengunjungi Desa Saja Pahad dan menawarkan hadiah Nobel sebesar 10.000 rupee India kepada Shyam Lal atas kontribusinya kepada desa tersebut. Pemerintah daerah setempat menyatakan kekagumannya terhadap Shyam Lal dan berjanji untuk membantunya. "Saya baru tahu tentang Shyam. Usahanya untuk desanya sangat terpuji dan saya akan datang untuk memberikan bantuan, " kata Narendra Duggal. Kini kolam air tersebut mampu menghidupi warga desa Saja Pahad dan sekitarnya. Chhattisgarh memang mengalami kekeringan terparah akibat curah hujan yang hanya sebesar 10%, lebih sedikit selama 10 tahun terakhir. Sumber: http://id.ucnews.ucweb.com/story/3057389039727059?channel_id =103&host=http:%2F%2Fid.ucnews.ucweb.com&list_article_fro m=Okezone&item_type=0&content_type=0&app=browser_iflow &uc_param_str=dnvebichfrmintcpwidsudsvpfmt&ver=11.4.2.995 &sver=inapppatch2&demote_type=normal&adapter=&grab_time =2017-09-1_20.30.56& lang=indonesian&comment_stat=1&reco_id=c653dbd0-f61043f5-8f3d-e9ae75cfd572&ucnews_rt=kRealtimeContent&entry =browser&entry1=shareback&entry2=widget 72 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi Paparan diatas adalah contoh bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter yang berwujud gambar dan cerita tentang perilaku manusia yang mencoba mengelola alam dengan kerja keras bertahuntahun dalam upaya untuk mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhannya. Beratnya pekerjaan, kesulitan yang dihadapi, ketidakpedulian dari pemerintah dan masyarakat setempat, resiko yang harus ditanggung serta perilaku yang ditampilkan menjadi fokus dalam pemanfaatan bahan ajar ini dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Bahan ajar berbasis masalah yang dikembangkan dapat dipergunakan pada saat apersepsi (pendahuluan) maupun pada kegiatan inti dalam pembelajaran, dengan sintaks yang berbeda sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penggunaan bahan ajar berbasis masalah pada saat apersepsi atau pendahuluan, bisa dilakukan dalam semua mata pelajaran dan berbagai tingkatan, tentu saja harus disesuaikan dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan. Penggunaan bahan ajar pada saat apersepsi dilakukan dengan menayangkan gambar atau cerita tersebut oleh, menjelaskan itu gambar apa, mengapa dan bagaimana hingga seperti itu. Penjelasan ini diskenario sedemikian rupa sehingga terjadi keterlibatan psikologis dan emosional peserta didik terhadap gambar, dan selanjutnya dibandingkan dengan pola-pola kerja yang dialami oleh masyarakat yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian, suasana keterlibatan secara psikologis dan emosional peserta didik tersebut diarahkan untuk meningkatkan nilai syukur dan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mengajak untuk lebih bersemangat untuk prestasi agar tidak kelak mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik. Penjelasan guru dalam penggunaan bahan ajar berbasis masalah, dan pengalihan suasana hati peserta didik secara emosional dan psikologi tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru menciptakan dan mengembangkan suasana kelas. Guru mempunyai peran yang sangat menentukan terhadap efektifitas bahan ajar berbasis masalah ini ketika dipergunakan pada tahapan apersepsi. Penggunaan bahan ajar berbasis masalah dalam kegiatan pembeljaran dan dilaksanakan pada saat kegiatan bisa dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut. Langkah 1 Klarifikasi Permasalahan • Guru menyajikan gambar atau cerita tentang fenomena tentang perilaku manusia dalam upaya memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. • Guru menyajikan fenomena dengan menayangkan gambar tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, serta berbagai mata pencaharian yang ekstrem. • Guru menjelaskan secara detail dengan penuh perasaan atas gambar atau cerita yang ditayangkan, apa, mengapa dan bagaimana gambar tersebut; • Guru menyajikan fenomena dengan menayangkan gambar tentang tanah air Indonesia, dan perilaku bangsa Indonesia dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. • Guru memfasilitasi peserta didik untuk menemukan masalah-masalah nyata tentang tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, serta berbagai mata pencaharian, interaksi antara manusia dengan sumber daya alam sebagai salah satu bentuk tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. • Guru memfasilitasi peserta didik mengklarifikasi permasalahan nyata yang ditemukan dengan menggunakan lembar kegiatan siswa yang telah disiapkan guru. Langkah 2 Brainstorming ➢ Peserta didik mengidentifikasi apa yang diketahui, apa yang perlu diketahui, dan apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan, dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan seperti; o Mengapa manusia mendapatkan pekerjaan seperti itu? o Bagaimana bila yang melaksanakan pekerjaan tersebut Saudara? o Bagaimana bila yang melaksanakan pekerjaan tersebut adalah ayah Saudara? o Apakah Saudara mau bekerja seperti itu? Mengapa? Bagaimana caranya? o Bagaimana dengan kondisi di Indonesia yang menjadi tanah air kita? ➢ Peserta didik secara berkelompok mengembangkan alternative penyelesaian masalah berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Langkah 3 Pengumpulan Informasi dan Data ➢ Peserta didik secara mandiri maupun kelompok mengumpulkan data dan informasi (pengetahuan, konsep, teori) dari berbagai sumber untuk 73 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi menemukan solusi atas permasalahan yang ditemukan. ➢ Peserta didik mengolah hasil pengumpulan informasi untuk dipergunakan sebagai solusi pemecahan masalah. Langkah 4 Berbagi Informasi dan Berdiskusi untuk Menemukan Solusi Penyelesaian Masalah ➢ Peserta didik berbagi informasi dan berdiskusi untuk menemukan dan menentukan solusi yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan masalah. ➢ Peserta didik menetapkan solusi untuk penyelesaian masalah. ➢ Peserta didik menyusun laporan hasil kerja, dapat berupa paparan/bahan tayang, display, atau dalam bentuk lembaran. Langkah 5 Presentasi Hasil Penyelesaian Masalah ➢ Peserta didik mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. ➢ Peserta didik melakukan review dan memberikan tanggapan terhadap hasil kerja. ➢ Peserta didik secara berkelompok memperbaiki/ menyempurnakan hasil kerjanya berdasarkan tanggapan dan masukan kelompok lain. ➢ Peserta didik menindaklanjuti hasil kerjanya dalam bentuk poster atau slogan tentang ajakan/kampanye untuk berperilaku sesuai dengan nilai iman, syukur dan berprestasi. ➢ Peserta didik mengampanyekan perilaku sesuai dengan nilai iman, syukur dan berprestasi dengan cara memajang poster/slogan di lingkungan sekolah, guru dapat melakukan penilaian. Langkah 6 Refleksi ➢ Bersama guru peserta didik melakukan review dan refleksi atas proses pembelajaran yang telah dilakukan. ➢ Pemberian apresiasi atas partisipasi semua pihak oleh guru dan peserta didik. ➢ Guru dan peserta didik bersama-sama merayakan keberhasilan kegiatan pembelajaran dengan yelyel, atau foto bersama hasil karyanya. Bahan ajar berbasis masalah beserta prosedur dan langkah-langkah penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran seperti tersebut di atas, ketika disampaikan kepada guru sebagai salah satu wujud validasi produk pengembangan, secara umum menyampaikan sangat menarik dan bisa dipergunakan dalam praktek pendidikan karakter di sekolah. Pernyataan ini, diddasarkan pada pendapat beberapa orang guru sebagai berikut. Pernyataan Bu Alf, salah seorang guru di SMAN kota Malang tentang bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter tersebut dan penggunaannya dalam pembelajaran: “ini adalah sebuah bahan ajar yang menarik dan sangat berbeda dengan bahan ajar yang selama ini kita pergunakan, kalau bahan ajar seperti ini bisa kita kembangkan dan mudah kita dapat di internet. Penggunaannya sepertinya hanya untuk matapelajaran PPKn, tetapi dalam kegiatan pendahuluan bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran. Kalau seperti ini sepertinya keaktifan siswa bisa semakin meningkat”. Bahan ajar berbasis masalah dan langkah-langkah penggunaannya juga disampaikan kepada Bapak Arief, guru PPKn di SMK Kota Malang, yang menyampaikan bahwa:” bahan ajar yang sangat menarik, bisa kita pergunakan dalam kegiatan pendidikan karakter di sekolah. Sepertinya mudah dikembangkan dan diperoleh. Kalau seperti ini sepertinya keaktifan siswa bisa semakin meningkat, selain lebih banyak yang berpartisipasi dalam kegiatan belajar, sepertinya bisa menjadikan peserta didik lebih antusias dalam belajar”. Validasi juga dilakukan oleh guru setingkat SMP di kota Malang, Bapak Tanto, tentang bahan ajar berbasis masalah serta langkah-langkah penggunaannya dalam pendidikan karakter, sebagai berikut “ada suasana baru dan berbeda bilamana pembelajaran menggunakan bahan ajar seperti ini, nuansa pengembangan karakternya begitu terasa, sangat menarik dan mudah untuk dikembangkan, demikian halnya dengan penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran”. Berdasarkan beberapa pendapat guru tentang bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter beserta angkah-langkah penggunaannya tersebut di atas, disimpulkan bahwa bahan ajar tersebut sangat menarik, mudah dikembangkan, mudah untuk mendapatkannya, bisa dipraktekkan dalam kegiatan pendidikan karakter, terutama pada saat pelaksanaan pembelajaran baik pada kegiatan apersepsi maupun pada saat kegiatan inti, serta diduga dapat meningkatkan partisipasi belajar peserta didik. Berdasarkan proses pengembangan produk berupa bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter beserta langkah-langkah penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran, harus diawali dengan penentuan jenis-jenis jenis-jenis watak dan nilai-nilai yang akan dikembangkan sehingga menjadi perilaku peserta didik dan seluruh warga sekolah. 74 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi Demikian halnya ketika guru melaksanakan pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajaran yang diselenggarakannya. Guru harus menentukan nilai apa yangakan dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Pemilihan dan penentuan nilai yang menjadi acuan untuk dikembangkan oleh guru dilakukan dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang ada dalam kompetensi dasar dan kompetensi inti, selain itu juga bisa melihat dari visi dan misi sekolah, nilai-nilai Pancasila serta nilai-nilai yang dikembangkan dalam kegiatan penguatan pendidikan karakter, serta nilainilai pendidikan karakter yang berjumlah 18 nilai, yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain nilai-nilai yang bersumber pada hal-hal seperti tersebut di atas, praktek pendidikan karakter juga dapat berfokus pada beberapa pendapat para ahli, seperti yang disampaikan oleh BSNP (2010), bahwa fokus perhatian pengembangan karakter bangsa Indonesia terletak pada enam nilai, yakni tiga berdimensi personal (jujur, akal sehat, dan pemberani), dan tiga lainnya berdimensi sosial (adil, tanggungjawab, dan toleran). Bila pengembangan keenam nilai ini benar-benar dikembangkan secara profesional dan dalam lingkup nasional, tak mustahil peningkatan kualitas manusia Indonesia dalam kurun waktu satu generasi saja akan terjadi. Selain itu, juga perlu dikembangkan sembilan sikap luhur yang ditanamkan sejak dini pada anakanak Indonesia di sekolah. Sikap itu adalah: (1) cinta Tuhan dan kebenaran, (2) tanggung-jawab, kedisiplinan dan kemandirian, (3) amanah, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, (6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi dan cinta damai. Kemudian, watak atau karakter lain yang perlu dikembangkan adalah karakter “produktif” dan “kreatif/inovatif”’ dalam berfikir dan berkarya (Megawangi, 2004). Apapun pilihan nilai yang ditentukan dan menjadi acuan dalam pengembangan karakter peserta didik, yang paling penting dilakukan adalah mencanangkan bahan ajar serta pelaksanaan strategi yang tepat agar karakter luhur itu dapat berkembang dan terinternalisasi secara efektif dalam diri setiap peserta didik melalui praktek pendidikan karakter di sekolah. Sekolah dan guru mempunyai peran yang sangat menentukan keberhasilan dari praktek pendidikan karakter, demikian halnya dalam penggunaan bahan ajar berbasis masalah yang dikembangkan. Penting dan sangat menentukannya peran guru dan sekolah dalam membangun watak dan karakter peserta didik, sebagaimana dikatakan Lickona (1993): "School must help children understand core values, adopt or commit to them, and then act upon them in their own lives". “The belief that character education implementation in schools is related to academic achievement of studen ts in those schools has great intrinsic appeal (Benninga, 1991). Termed character education in today’s world has been called many things throughout the history of education in this country. Character education has been both a formal and informal part of schools. At times it has been integrated in small ways into many other pieces of the curriculum (Watz, 2011). Selain mewariskan, sekolah melalui kegiatan pendidikan yang diselenggarakan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum serta melalui berbagai kegiatan yang dilaksanakan sekolah, baik yang sifatnya non=korikuler maupun berupa kegiatan rutin dan insidental. Pengembangan kegiatan pendidikan karakter, hendaknya diawali dengan munculnya kesadaran akan siapa dirinya dan lingkungannya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri dan masyarakatnya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan masyarakatnya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan dalam pengembangan nilainilai yang menjadi dasar bagi pendidikan karakter yang berwujud penataan tujuan pembelajaran, bahan 75 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi ajar, strategi pembelajaran serta sistem penilaian dalam praktek pendidikan di sekolah. Harapannya, berbagai pola baru tersebut, menjadikan nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia. Salah satu terobosan dalam praktek pendidikan karakter dan juga merupakan pola baru serta kreatif adalah penggunaan bahan ajar berbasis masalah sebagaimana yang telah dikembangkan sebelumnya. Beragam cara kreatif dapat dicoba dilakukan dalam pendidikan karakter di sekolah. Namun perlu diperhatikan bahwa pengembangan karakter luhur hanya akan tumbuh sehat, bila ada dukungan kuat dari komunitas tempat seseorang hidup sehari-hari, dan sekolah adalah salah satu komunitas. Komunitas yang sehat adalah komunitas yang di dalamnya terjadi interaksi yang sejajar, yakni masing-masing anggota memiliki kesamaan derajat, ada kesamaan tingkat keterlibatan, dan ada sikap keterbukaan. Langkah membangun interaksi sehat ini memerlukan pemahaman dan latihan terus-menerus. Manakala komunitas semacam ini terbangun, maka setiap anggota di dalamnya memiliki jalinan hubungan erat yang diikat oleh nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam proses pendidikan yang holistik menggunakan metode “knowing the good, feeling knowing the good, and acting the good. Setelah siswa memiliki pengetahuan baru ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan, sehingga senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan (acting the good), yang pada akhirnya tumbuh kesadaran dan kebiasaan untuk selalu berbuat baik sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi panutan. Salah satu strategi atau cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan memasukkan pendidikan karakter dalam semua mata pelajaran di sekolah (Suyanto, 2009). Pendidikan karakter atau proses pengembangan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving and action”. Pembentukan karakter dapat dibaratkan seperti proses “body builder” yang memerlukan latihan dan pembiasaan secara terus menerus agar bisa menjadi kokoh dan kuat (Lickona, 1991). Good character is not formed automatically, it is developed over time through a sustained process of teaching, example, learning and practice. It is developed through character education. Quality of character education helps schools create a safe, caring and inclusive learning environment for every student and supports academic development. It fosters qualities that will help students be successful as citizens, in the workplace, and with the academic curriculum (Lickona, 2002). Centre for Character & Value University of Birmingham (2012) mengemukakan bahwa; “the development of character is a process that requires the efforts of both the developing individual and the society and its schools. A society determined to enable its members to live well will treat character education as something to which every child has a right. Questions about the kinds of persons children will become, the contributions of good character to a flourishing life, and how to balance various virtues and values in this process are therefore salient concerns for all schools. Lickona (2002) menegaskan bahwa “character education as a program that strives to encompass the following: the cognitive, affective, and behavioral aspect of morality. Good character consist of knowing the good, desiring the good, and doing the good. Schools must help children understand the core values, adapt or commit to them and then act upon them in their own lives. Beberapa prinsip yang perlu menjadi perhatian dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah sebagaimana disampaikan oleh Centre for Character & Value University of Birmingham (2012) adalah: (1) character is important: it contributes to human and societal flourishing) character is educable and its progress can be measured holistically, not only through self-reports but also more objective research methods; (2) character is largely caught through rolemodelling and emotional contagion: school culture and ethos are therefore essential; (3) character should also be taught: direct teaching of character provides the rationale, language and tools to use in developing character elsewhere in and out of school; (4) character is the foundation for improved attainment, better behaviour and increased employability; (5) character should be developed in partnership with parents, employers and other community organizations; (6) character results in academic gains for students, such as higher grades; (7) character education is about fairness and each child has a right to character development; (8) character empowers students and is liberating; (9) character demonstrates a readiness to learn from others; and (10) character promotes democratic citizenship. 76 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapatlah disampaikan bahwa pendidikan karakter perlu diupayakan dan diimplementasikan pada jalur pendidikan formal, informal dan non formal secara terpadu dan berkesinambungan. Integrasi dan kesinambungan dari ketiga ranah ini mutlak harus dilakukan agar terjadi kebersamaan tujuan dan langkah dalam pengembangan karakter luhur bangsa Indonesia. Bilamana dilakukan kajian berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2017), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual and emotional development), (2) olah pikir (intelectual development), (3) olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development), (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development), keempat hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain bahkan saling melengkapi dan saling berkaitan. Bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter, beserta langkah-langkah dalam penggunaanya yang telah dikembangkan di atas merupakan salah upaya kreatif dalam pengembangan praktek pendidikan karakter di sekolah. Produk dari pengembangan tersebut menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan dalam praktek pendidikan karakter adalah keberadaan bahan ajar serta strategi pembelajarannya. Fenomena yang diangkat sebagai bahan ajar dalam pendidikan karakter berisikan tentang bagaimana berat/kesulitan manusia yang tinggal di negara lain untuk memperoleh pendapatan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bilamana dibandingkan dengan kehidupan manusia Indonesia, yang tinggal di wilayah Indonesia, yang memiliki banyak kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Membandingkan kondisi dan perilaku manusia dalam bekerja, memperoleh pendapatan, untuk memenuhi kebutuhan, yang dapat diperolehnya dari lingkungan sekitarnya menjadikan peserta didik menyadari tentang kondisi tanah air Indonesia, apalagi bila dibandingkan dengan kondisi wilayah tanah air di negara lain. Dengan demikian, secara tidak langsung munculnya karakter bersyukur, beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa karena bertempat tinggal di Indonesia, munculah rasa cinta tanah air Indonesia berkembang, dan tumbuh serta berkembangnya kehendak untuk berprestasi agar kelak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Penggunaan bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter, dan proses pembelajarannya dilaksanakan melalui pemecahan masalah dapat membiasakan siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil apabila menghadapi permasalahan dalam kehidupan, serta merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak melakukan proses mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya. PENUTUP Simpulan Hasil pengembangan bahan ajar di atas menegaskan bahwa dalam praktek pendidikan karakter, bahan ajarnya bisa dikembangkan dengan mengidentifikasi berbagai fenomena tentang perilaku manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena yang dipilih dikategorikan ekstrem, sehingga dapat dikategorikan berbasis masalah. Bilamana pelaksanaan pendidikan karakter dilaksanakan dengan menggunakan bahan ajar berbasis masalah, maka efektifitas pendidikan karakter menjadi meningkat, partisipasi belajar peserta didik meningkat, sekaligus dapat mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis (penalaran), keterampilan intelektual, kolaborasi, belajar mandiri, komunikasi, meningkatkan motivasi dan aktivitas belajar peserta didik, serta menjadikan kegiatan belajar berlangsung secara aktif dan menyenangkan. Saran Berdasarkan hasil pengembangan bahan ajar berbasis masalah beserta langkah-langkah penggunaannya dalam pendidikan karakter di atas disarankan (1) pelaksanaan pendidikan karakter harus didasarkan pada nilai, demikian halnya ketika dilakukan pengembangan bahan ajar beserta model penyampaiannya; (2) kiranya selalu dilakukan pengembangan bahan ajar dalam praktek pendidikan karakter di sekolah yang sifatnya kontekstual; (3) adanya fasilitasi dari sekolah untuk guru dalam mengembangkan nbahan ajar serta strategi dalam praktek pendidikan karakter di sekolah; dan (4) perlu adanya tindaklanjut untuk melakukan pelatihan bagi guru dalam mengembangkan bahan ajar dalam pendidikan karakter. 77 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter Nur Wahyu Rochmadi DAFTAR PUSTAKA Amador, J.A., Miles, L. & Peters, C.B. 2006. The Practice of Problem-Base Learning, A Guide to Implementing PBL in the College Classroom. Bolton: Anker Publishing Company, Inc. pirateproxy.net/torrent/7327827/Ultimate_Guide_t o_Become_an.. diakses 22 Mei 2012. Watz, Michael. 2011. An Historical Analysis of Character Education. Journal of Inquiry & Action in Education, 4(2), 2011. Centre for Character Vakue University of Birmingham Barrett, T., Mac Labhrainn, I. & Fallon, H. (Eds). 2005. Handbook of Enquiry & Problem-based Learning. Galway: CELT, Released under Creative Commons Licence. Attribution Non-Commercial 2.0. Some rights reserved. (online). http://www.nuigalway.ie/celt/pblbook/ diakses 19 Agustus 2011. Benninga, J.S., ed. (1991). Moral, Character, and Civic Education in the Elementary School. New York: Teachers College Press. BSNP. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Depdiknas. Ibrahim, M. 2002. Pembelajaran Kontekstual. Tayangan Power Point PPS UNESA Surabaya. Jonassen, D.H. 2004. Learning to Solve Problems: an Instructional Design Guide. San Fransisco: Pfeiffer, John Wiley & Sons, Inc. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Konsep dan Pedoman PPK. Tim PPK Kemendikbud. Lickona, T. 1993. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York. Bantam Books. Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. 2002. Eleven Principles of Effective Character Education. Washington DC: Character Education Partnership. Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.Tanpa Tempat: Indonesia Heritage Foundation. Moore, K.D. 2005. Effective Instructional Strategies: From Theory to Practice. London: Sage Publications Inc. Reigeluth C.M. & Chellman, C.A. (Eds). 2009. Instructional Design Theories and Models Volume III. New York and London: Routledge, Taylor and Francis Publishers. Peraturan Presiden No. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan karakter. Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id /web/pages/urgensi.html. Torren, R.R. 2011. The Motivation to Learn Begins with a Problem. Journal International Review of Economics Education. 10 (1): 14-28. (online). 78 PENINGKATAN PADA PERILAKU KERJA INOVATIF MELALUI GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL (SEBUAH STUDI LITERATUR) Nadhira Hafiza Virgianty Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, nadhira.17010664056@mhs.unesa.ac.id Lilik Iswatun Khasanah Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, lilik.17010664066@mhs.unesa.ac.id Abstrak Berkembangnya terknologi memimbulkan dampak negatif bagi perusahaan atau organisasi. Salah satu dampaknya yaitu semakin ketatnya daya saing antar perusahaan. Sehingga perusahaan dituntut untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan. Melalui perilaku kerja inovatif perusahaan mampu memunculkan ide-ide baru dan mampu bersaing dengan perusahaan lain. Akan tetapi, dalam meningkatkan perilaku kerja inovatif berkaitan dengan gaya kepemimpinan transformatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan perilaku kerja inovatif melalui gaya kepemimpinan transformasional. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah studi literatur. Berdasarkan studi literatur, penelitian yang dilakukan memperoleh hasil bahwa kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan perilaku inovatif. Penelitian yang dilakukan Jung, dkk (2003) mendapatkan hasil bahwa pemimpin transformasional mampu meningkatkan kecenderungan umum pada perusahaan atau organisasi untuk melakukan inovasi. Penelitian yang dilakukan Ayu Octavias dan Ika Zenita Ratnaningsih (2017) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang meningkatkan perilaku inovatif. Hal tersebut sama dengan hasil dari penelitian yang dilakukan Iffah Fitri Nur Khasanah dan Fathul Himam (2018) terbukti bahwa kepemimpinan transformasional yang tinggi menyebabkan peningkatan perilaku kerja inovatif karyawan. Hasil yang sama mengenai kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap perilaku inovatif ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan Dewa Nyoman Reza Aditya dan Komang Ardana pada tahun 2016 dan Ryani Dhyan Parashakti, Mochammad Rizki, dan Lisnatiawati Saragih pada tahun yang sama. Kata Kunci: perilaku kerja inovatif, kepemimpinan transformasional, hasil penelitian. PENDAHULUAN Era kemajuan teknologi yang terjadi seperti sekarang tentunya membawa dampak bagi semua sektor, mulai dari sektor pendidikan hingga sektor sosial. Tak terkecuali juga bagi perusahaan atau organisasi. Tentunya hal tersebut memimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif bagi perusahaan atau organisasi dari adanya kemajuan teknologi meliputi efisiensi dan efektifitas dalam melakukan proses produksi, kemudahan dalam mengakses informasi, dan lain sebagainya. Sedangkan salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya kemajuan teknoogi bagi perusahaan atau organisasi yaitu semakin ketatnya daya saing antar perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk terus mengembangkan diri secara berkelanjutan (continue) agar mampu bertahan dalam jangka panjang. Perusahaan dapat mengembangkan diri dengan cara mencari dan mengembangkan ide-ide baru. Sehingga dengan ide tersebut, perusahaan mampu memenuhi kebutuhan pasar dan mampu bersaing dengan perusahaan lain. Menurut Cefis dan Marsili (2006) perusahaan yang mampu berinovasi memiliki kesempatan yang lebih besar untuk tetap bertahan dan bersaing daripada yang tidak melakukan inovasi. Perusahaan yang mampu berinovasi tergantung dengan perilaku kerja inovatif pada karyawan (Scott & Bruce, 1994). Karyawan yang memiliki perilaku kerja inovatif mampu menciptakan id- ide yang beda dari yang lain, sehingga menjadikan perusahaan mencapai target atau bahkan melebihi target yang ditentukan dan menjadikan perusahaan mampu bersaing. Istilah inovatif sering dikaitan dengan kreativitas, keduanya memang saling berkaitan, akan tetapi memiliki makna yang berbeda. Terjadinya proses inovasi dapat dikatakan dimulai dari kreativitas (de Jong, 2007; Nardo, Evanita, & Syahrizal, 2018). Menurut Van den Ven (dalam Scott & Bruce, 1994) istilah kreativitas berkaitan dengan mengeksplorasi dan menghasilkan gagasan atau ide tertentu, sedangkan inovasi berkaitan dengan penetapan dan penerapan ide atau gagasan. De Jong dan Hertog (2010) mendefinisikan perilaku kerja inovatif sebagai serangkaian perilaku karyawan yang berkaitan dengan generalisasi ide, mengimplementasikan ide, dan dukungan yang diberikan dalam pengimplementasian ide tersebut. Generalisasi ide dalam perilaku kerja inovatif dapat 79 Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur) Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah berkaitan dengan produk, layanan atau proses baru, masuk ke pasar baru, peningkatan dalam proses kerja saat ini, atau secara umum, solusi untuk masalah yang diidentifikasi. Menurut Carmeli, dkk (dalam Nardo, Evanita, & Syahrizal, 2018) perilaku inovatif merupakan proses yang lebih kompleks karena berkaitan dengan melakukan penerapan terhadap ideide yang dihasilkan. Scott dan Bruce (1994) mengatakan bahwa organisasi yang inovatif dicirikan dengan orientasi tujuan yang menuju kearah kreativitas dan perubahan yang inovatif – mampu berfungsi secara mandiri dalam mendapatkan ide-ide baru. Menurut Farr dan Ford (De Jong dan Hertog, 2010) tujuan perilaku kerja inovatif untuk mencapai inisiatif dan pengenalan yang disengaja (dalam peran kerja, kelompok atau organisasi) dari ide, proses, produk, atau prosedur yang baru dan bermanfaat. Perilaku kerja inovatif berkaitan dengan tingkat jaringan dan individu, kelompok kerja, dan organisasi atau perusahaan (King dan Anderson, dalam De Jong & Hertog, 2010). Dalam penerapannya, perilaku kerja inovatif memerlukan peranan dan interaksi mulai dari individu, pemimpin, kelompok kerja, dan iklim organisasi (Scott & Bruce, 1994). Kaitannya dengan iklim organisasi dalam menciptakan perilaku kerja inovatif, perusahaan perlu menyediakan fasilitas, peralatan, dan waktu yang sangat penting serta memadahai dalam terciptanya inovasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kerja inovatif meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kerja inovatif meliputi hubungan antara karyawan dengan pemimpin dan hubungan dengan kelompok kerja. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku kerja inovatif yaitu competitive pressures dan social-political pressures (Nijenhuis, dalam Kania, Senen, & Masharyono, 2018). Kaitannya dengan hubungan antara pemimpin dan karyawan dalam terciptanya perilaku kerja inovatif muncul dikarenakan hubungan positif atau kedekatan antara pemimpin dengan karyawan (dalam Scott & Bruce, 1994). Hubungan positif antara pemimpin dan karyawan memberikan gambaran bahwa hubungan tersebut juga berkualitas. Menurut Kroes (dalam Kania, Senen, & Masharyono, 2018) adanya hubungan yang berkualitas antara pemimpin dan karyawan ditandai dengan saling menghormati dan saling percaya merupakan ciri kepemimpinan transformasional. Sedangkan hubungan kelompok kerja dengan karyawan yang serasi atau cocok menurut Rogers (dalam Scott & Bruce, 1994) mampu menentukan sejauh mana individu percaya untuk mengungkapkan idenya. Individu yang berada dalam kelompok kerja yang memiliki kualitas hubungan kerja yang baik mempengaruhi iklim organisasi. Apabila iklim organisasi yang tercipta baik, maka individu mampu memunculkan ide yang baru, berbagi ide dan mrmbrtikan umpan balik, sehingga muncullah perilaku kerja inovatif. Faktor hubungan dengan pemimpin perlu dipertimbangkan dalam tercapainya perilaku kerja inovatif. Hal tersebut dikarenakan pemimpin dapat secara efektif mempengaruhi perilaku karyawan. Oleh karena itu, tentunya diperlukan pemimpin yang mampu memberi motivasi pada karyawan untuk melakukan dan mengidentifikasi tujuan serta minat organisasi melalui tingkat kinerja yang diharapkan disebut pemimpin transformasional (Sarros dkk, dalam Slåtten & Mehmetoglu, 2014). Menurut Bass kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang memiliki dimensi sebagai berikut intellectual simulation, karisma atau pengaruh yang diideal, pemimpin sebagai inspirational motivation, dan memiliki pertimbangan secara individual (dalam Slåtten & Mehmetoglu, 2014). Pertama, kaitannya dengan intellectual simulation, pemimpin mengetahui tentang bagaimana pemimpin memperkenalkan perilaku kerja inovatif dan kreatif pada karyawan melalui perilakunya. Kedua, pemimpin yang berkarisma atau pengaruh yang ideal, yang mana pemimpin perlu menjadikan dirinya sebagai contoh atau model yang dapat diidentifikasi dan ditiru oleh karyawan. Menurut S`aenz (dalam Slåtten & Mehmetoglu, 2014) pemimpin yang berkarisma akan dihormati, dipercaya, dikagumi, dianggap memiliki kemampuan, kegigihan, dan tekat yang luar biasa. Ketiga, pemimpin yang inspirational motivation berkaitan dengan bagaimana pemimpin dapat mengispirasi atau memberi energi pada karyawan untuk menerima dan melakukan segala upaya untuk mencapai visi dan tujuan kedepan perusahaan. Keempat, memiliki pertimbangan secara individual yakni pemimpin mampu membangun dan mengembangkan hubungan antar karyawan perusahaan. Dalam hal ini menurut Shin dan Zhou tentang bagaimana cara pemimpin menunjukkan pemahaman, empati, dukungan, dan penghargaan atas inisiatif, aspirasi, dan sudut pandang karywan (dalam Slåtten & Mehmetoglu, 2014). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemimpin dalam industri ataupun organisasi bukan hanya berperan sebagai pemegang pimpinan tertinggi, melainkan juga harus dapat memberikan teladan perilaku yang baik dan inspirasi bagi karyawannya. 80 Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur) Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah Dess dan Picken (dalam Slåtten & Mehmetoglu, 2014) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan faktor penting yang terkait dengan inovasi. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Jung, dkk , 2003; Gumuslouoglu & Ilsev, 2009; Slåtten & Mehmetoglu, 2014) mendapatkan hasil bahwa pemimpin transformasional mampu meningkatkan kecenderungan umum pada perusahaan atau organisasi untuk melakukan inovasi. Bass mengemukakan bahwa empat dimensi kepemimpinan transformasional yang paling panting dalam terciptanya inovasi adalah intellectual simulation dan pemimpin sebagai inspirational motivation. Penelitian tersebut juga menungkapkan bahwa melalui kepemimpinan transformasional dapat memberi motivasi pada karyawan untuk melakukan sesuatu yang dluar harapannya, seperti berinovasi. Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan Slåtten & Mehmetoglu (2014) menunjukkan bahwa perilaku kerja inovatif dengan gaya kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh positif, yang mana perilaku kerja inovatif akan meningkat jika gaya kepemimpinan transformasional juga meningkat. Hal tersebut didukung dengan pernyataan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan cara yang efektif untuk mendorong kecenderungan perusahaan untuk berinovasi secara umum (gardner & Avollo, 1998; Jung, dkk, 2008; Sarros, dkk, 2008; Slåtten & Mehmetoglu, 2014). Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan perilaku kerja inovatif melalui kepemimpinan transformasional. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Studi literatur merupakan metode yang digunakan dalam penelitian dengan mengumpulkan informasi dan data dengan melalui buku, jurnal, catatan, dan berbagai sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang ingin diselesaikan. Pada penelitian ini, peneliti mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan perilaku kerja inovatif dan gaya kepemimpinan transformasional yang bersumber dari jurnal penelitian. PEMBAHASAN Perilaku Inovatif Inovasi merupakan bagian dari kontribusi individu dalam mengembangkan kinerja dari pekerjaannya. Inovasi juga merupakan implikasi dari proses kreativitas individu. Menurut Robbins (2006) inovasi ialah suatu pencapaian serta penemuan baru, dapat berupa ide, aturan, sistem atau hal lainnya (Sujarwono & Wahjono, 2017) . Sujarwo dan Wahjono (2017) mengatakan bahwa inovasi merupakan suatu hal yang baru, tapi tidak selalu baru, dimana bentuknya tidak sama dengan yang sudah ada terlebih dahulu. Inovasi dapat berupa pembaharuan ide maupun sistem. Inovasi merupakan dasar dari perilaku inovatif terbentuk. Perilaku inovatif timbul dikarenakan adanya perubahan sosial yang terjadi karena individu sendiri maupun masyarakat (Sujarwono & Wahjono, 2017). Perilaku inovatif menekankan ciri perubahan yang berupa sikap bersifat tradisional menjadi modern, hal ini akan memperlihatkan perbedaan pada individu berupa adanya upaya kritis mengenai bagaimana perubahan yang terjadi menjadi beguna dan bernilai tambah (Sujarwono & Wahjono, 2017). Kleysen dan Street (2001) mendefinisikan perilaku inovatif ialah segala tindakan individu yang mewujudkan pengenalan dan keuntungan kepada organisasi atau perusahaan. Dengan adanya perilaku inovatif seseorang mempunyai solusi dari pemecahan masalah yang berbeda dari orang lain serta lebih efektif dan efisien. Menurut De Jong dan Hartog (2007) perilaku inovatif dapat berupa eksplorasi peluang serta ide-ide baru yang mencakup perilaku aplikatif ide baru dari diri individu, penerapan pengetahuan dan pencapaian peningkatan kinerja individu dan kinerja kerja (Maulana, 2019). Individu yang memiliki perilaku inovatif mempunyai karakteristik serta tahapan-tahapan yang ia lalui. Karakteristik perilaku inovatif menurut Gorge dan Zhou (2001) ialah: 1) individu memahami perkembangan teknonologi, proses serta gagasan baru; 2) individu berupaya dalam menghasilkan ide serta gagasan baru; 3) individu berupaya untuk memperjuangkan dan menyebar luaskan ide-ide kepada orang lain; 4) indivdu menyediakan kebutuhan yang diperlukan dalam mewujudkan ide-ide baru; 5) individu mengembangkan strategi perencanaan untuk mewujudkan ide baru (Sujarwono & Wahjono, 2017). Dalam melakukan perilaku inovatif di lingkungan pekerjaan, individu akan melewati proses tahapan yang terdiri dari tiga tahapan (Prayudhayanti, 2014) yaitu: 1) Generating ideas, merupakan tahapan yang melibatkan individu bekerja sama dengan tim dalam menghasilkan suatu ide dalam mengembangkan, memperbaiki, atau menciptakan; 2) Harvesting ideas, merupakan tahapan dimana sekelompok orang mengumpulkan ide-ide sebelumnya dan mengevaluasi ide tersebut; 3) Developing and implementing, merupakan tahapan mengembangkan ide dan mengaplikasikan ide tersebut secara nyata. Menurur Sanders, dkk (2010) perilaku 81 Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur) Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah inovatif pada karyawan akan mensukseskan organisasi atau perusahaan serta bermanfaat bagi kinerja. Selain karakteristik perilaku inovatif dan fase dalam proses perilaku inovatif, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku inovatif yang terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut Etikariena dan Muluk (2014) ialah jenis kepribadian dan gaya individu dalam problem solving (Faizaty & Rivanda, 2019). Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut Etikariena dan Muluk (2014) ialah kepemimpinan, dukungan, tuntutan dalam pekerjaan dan kondisi psikologis (Faizaty & Rivanda, 2019). Menurut Prayudhayanti (2014) perilaku inovatif tidak hanya dipengaruhi oleh dalam diri individu, akan tetapi perilaku inovatif dapat muncul karena individu menghadapi suatu tantangan dalam pekerjaan yang menyebabkan ia bertanggung jawab dan diberikan kewenangan dalam penyelesaian. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif adalah kepemimpinan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Yoon bahwa kreativitas karyawan, perubahan pada karyawan, dan sumberdaya untuk inovasi berhubungan dengan lingkungan budaya inovasi yang berada disekitarnya (Khasanah & Himam, 2018). Budaya inovasi dapat diwujudkan melalui kepemimpinan yang dapat membangkitkan semangat serta menghadapi perubahan situasi yang dialami karyawan, pemimpin memberi inspirasi kepada karyawan untuk dapat mencapai tujuan dari organisasi atau perusahaan (Robiah, Yunus, Ashry, & Tarigan, 2013; Sulistiyani & Azizah, 2017). Kepemimpinan yang sesuai dengan pengembangan budaya inovasi dalm mewujudkan perilaku inovatif ialah kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan Transformasional Menurut Kim dan Yoon (2015) kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap inovasi karyawan dalam lingkungan pekerjaan (Khasanah & Himam, 2018). Kepemimpinan transformasional menurut Fischer (2016) ialah gaya kepemimpinan yang mempunyai nilai serta kompetensi dilihat dari kinerja, kematangan emosional, menginspirasi, dan cara dalam memotivasi karyawan atau rekan kerja. Fisher (2016) juga mendefinisikan kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang mampu mewujudkan perubahan inovasi. Antonakis, Avolio dan Sivasubramaniam (2003) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan perilaku yang bersifat proaktif, pemimpin yang meningkatkan perhatian untuk mewujudkan tujuan bersama sampai pada tingkatan tertinggi dengan membantu rekan kerja bersama. Dari definisi yang disbeutkan dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan suatu gaya kepemimpinan yang dapat dilihat dari kompetensi, kematangan emosional, dapat menginspirasi rekan kerjanya agar dapat mewujudkan tujuan organisasi atau perusahaan secara bersamasama. Kepemimpinan transformasional memiliki empat aspek yang dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1994) yaitu: 1) Pengaruh ideal (Idealized influence) ialah aspek pemimpin berupa perilaku seperti pemberian visi dan misi, mempunyai rasa bangga dan kepercayaan dari rekan kerjanya. Aspek ini menjadikan pemimpin dapat mewujudkan visi dengan jelas, memotivasi rekan kerja, kinerja kerja yang naik, dan menunjukkan etika yang tinggi. Pemimpin transformasional yang mempunyai aspek ini mampu meyakinkan rekan kerja melalui visi dan etikanya sehingga rekan kerja percaya pada pemimpin; 2) Motivasi inspirasional (Inspirational motivation) ialah aspek pemimpin berupa tindakan dalam menginspirasi rekan kerjanya dengan cara menunjukkan komitmen, optimisme, antusiasme mencapai tujuan bersama. Pemimpin mencontohkan dengan meningkatkan standarisasi tinggi; 3) Stimulasi intelektual (Intellectual stimulation) ialah aspek pemimpin berupa perilaku yang meningkatkan kesadaran mengenai suatu masalah dan mempengaruhi rekan kerja melihat masalah tersebut dari sudut pandang baru yang mengarah pada problem solving. Pemimpin mampu mempengaruhi rekan kerja menjadi lebih kreatif dan inovatif dan berani mengambil resiko. Stimulasi intelektual ini menjadikan individu mempunyai kemampuan untuk berfikir dengan caracara baru dalam bekerja sehingga menghasilkan pemecahan masalah melalui ide-ide baru dan mendorong untuk mencobanya tanpa kekhawatiran akan kritik publik; 4) Pertimbangan individual (Individual Consideration) ialah aspek pemimpin berupa kemampuan dalam memahami rekan kerja dan berbagi masalah serta kebutuhan. Pemimpin juga memperlakukan rekan kerja dengan memahami berbagai kepribadian dengan menggunakan pemberdayaan, pendampingan, menjadi pendengar, dan melihat individu secara unik yaitu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Peningkatan Perilaku Inovatif Melalui Kepemimpinan Transformasional Dalam suatu organisasi maupun perusahaan akan ada suatu tuntutan untuk selalu berinovasi. Hal tersebut dikarenakan perubahan zaman dan daya tarik minat 82 Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur) Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah masyarakat berubah menjadi arah kreativitas yang mengharuskan suatu organisasi maupun perusahaan mempunyai inovasi baru untuk mencapai tujuan yang membuat keuntungan bagi organisasi maupun perusahaan. Perilaku inovatif akan berdampak pada produktivitas suatu organisasi atau perusahaan. Penelitian ini membahas mengenai peningkatan perilaku inovatif melalui kepemimpinan transformasional ditinjau dari studi terdahulu. Apakah perilaku inovatif dapat ditingkatkan melalui kepemimpinan transformasional dapat dilihat sebagai berikut: Dalam jurnal penelitian berjudul “Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Transformasional dengan Perilaku Inovatif Karyawan Non Proses (Supporting) PT Indocement Tunggal Prakarsa TBK Plant Paliaman” ditulis oleh Ayu Octavias dan Ika Zenita Ratnaningsih (2017) bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan transformasional dengan perilaku inovatif karyawan. Penelitian ini menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang meningkatkan perilaku inovatif. Pemimpin dalam perusahaan merupakan role model bagi karyawan lainnya. Melalui aspekaspek perilaku inovatif, gaya kepemimpina transformasional akan membuat keefektifan dan membuat perusahaan mencapai tujuan. Dari penelitian ini menghasilkan bahwa gaya kepemimpinan memberika keefektifan yang tinggi terhadap perilaku inovatif. Penelitian ini mendukung pernyataan dari May (2007) yang mengatakan bahwa inovasi yang dilakukan oleh karyawan berhubungan dengan kepemimpinan yang efektif. Dalam jurnal penelitian berjudul “Kepemimpinan Transformasional, Kepribadian Proaktif, dan Desain Kerja sebagai Prediktor Perilaku Kerja Inovatif” ditulis oleh Iffah Fitri Nur Khasanah dan Fathul Himam (2018) bertujuan untuk menguji secara empirik apakah kepemimpinan transformasional, kepribadian proaktif, dan desain kerja mendorong perilaku inovatif pada karyawan. Hasil dari penelitian ini adalah terbuktinya kepemimpinan transformasional yang tinggi menyebabkan peningkatan perilaku kerja inovatif karyawan. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin karyawan merasakan peran dari pemeimpin transformasional maka perilaku inovatif karyawan menjadi semakin tinggi. Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Pengaruh Iklim Organisasi, Kepemimpinan Transformasional, Self Efficay terhadap Perilaku Kerja Inovatif” ditulis oleh Dewa Nyoman Reza Aditya dan Komang Ardana (2016) bertujuan untuk menguji pengaruh iklim organisasi, kepemimpinan transformasional, dan self efficay terhadap perilaku kerja novatif karyawan. Penelitian ini menjelaskan bahwa dari hasil analisis weakness dan threat perusahaan mengalami permasalahan pada perilaku inovatif karyawan. Sehingga peneliti melakukan uji salah satunya adalah apakah terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap perilaku kerja inovatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap perilaku kerja inovatif. Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap Perilaku Inovatif Karyawan (Studi Kasus di PT. Bank Danamon Indonesia)” ditulis oleh Ryani Dhyan Parashakti, Mochammad Rizki, dan Lisnatiawati Saragih (2016). Penelitian ini menjelaskan perilaku inovatif perusahaan terlihat dari sedikitnya prosedur, kebijakan dan peraturan perusahaan yang dihasilkan yang seharusnya menjadi tolak ukur dari perusahaan tersebut. Inovasi di dalam organisasi atau perusahaan tidak dapat dilepaskan dari peran pemimpin dari organisasi atau perusahaan tersebut. Peneliti melakukan uji untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi terhadap perilaku inovatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap perilaku inovatif di perusahaan. PENUTUP Simpulan Inovasi merupakan bagian dari kontribusi individu dalam mengembangkan kinerja dari pekerjaannya. Inovasi juga merupakan implikasi dari proses kreativitas individu. Karakteristik perilaku inovatif menurut Gorge dan Zhou (2001) ialah: 1) individu memahami perkembangan teknonologi, proses serta gagasan baru; 2) individu berupaya dalam menghasilkan ide serta gagasan baru; 3) individu berupaya untuk memperjuangkan dan menyebar luaskan ide-ide kepada orang lain; 4) indivdu menyediakan kebutuhan yang diperlukan dalam mewujudkan ide-ide baru; 5) individu mengembangkan strategi perencanaan untuk mewujudkan ide baru (Sujarwono & Wahjono, 2017). Dalam melakukan perilaku inovatif di lingkungan pekerjaan, individu akan melewati proses tahapan yang terdiri dari tiga tahapan (Prayudhayanti, 2014) yaitu: Generating ideas, Harvesting ideas, Developing and implementing. faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku inovatif yang terbagi menjadi faktor internal dan faktor 83 Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur) Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut Etikariena dan Muluk (2014) ialah jenis kepribadian dan gaya individu dalam problem solving (Faizaty & Rivanda, 2019). Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut Etikariena dan Muluk (2014) ialah kepemimpinan, dukungan, tuntutan dalam pekerjaan dan kondisi psikologis (Faizaty & Rivanda, 2019). Kepemimpinan transformasional menurut Fischer (2016) ialah gaya kepemimpinan yang mempunyai nilai serta kompetensi dilihat dari kinerja, kematangan emosional, menginspirasi, dan cara dalam memotivasi karyawan atau rekan kerja. Kepemimpinan transformasional memiliki empat aspek yang dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1994) yaitu: Pengaruh ideal (Idealized influence), Motivasi inspirasional (Inspirational motivation), Stimulasi intelektual (Intellectual stimulation), Pertimbangan individual (Individual Consideration). Dari hasil studi literatur dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan perilaku inovatif. Hal ini dikarenakan pemimpin menjadi role model dalam bekerja. Pemimpin menginspirasi karyawan dalam bertindak dan memotivasi untuk mempunyai inovasi dalam problem solving yang dihadapi. Didukung penelitian yang dilakukan oleh Khasanah dan Himam (2018), semakin karyawan merasakan peran pemimpin transformasional maka perilaku inovatif semakin tinggi. Saran Berdasarkan temuan yang sudah dibahas, saran yang dapat peneliti berikan bagi peneliti selanjutnya yaitu diharapkan dapat melakukan penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi perilaku kerja inovatif, seperti hubungan dengan kelompok kerja pada faktor internal. Dan juga faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku kerja inovatif yaitu competitive pressures dan socialpolitical pressures. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui bahwa tidak hanya pemimpin transformasional saja yang dapat meningkatkan perilaku kerja inovatif pada karyawan. Berdasarkan temuan penelitian yang dibahas, saran dapat mengacu pada penelitian lanjutan, pengembagan teori yang ada atau teori baru, dan melakukan tindakan praktis. DAFTAR PUSTAKA Aditya, D. N. R., & Ardana, K. (2016). Pengaruh iklim organisasi, kepemimpinan transformasional, self efficacy terhadap perilaku kerja inovatif. E-Jurnal Manajemen, 5(3). Antonakis J., Avolio B.J., & Sivasubramaniam, N. 2003. Context and Leadership: An Examination of the Nine Factor Full-Range Leadership Theory Using the Multifactor Leadership Questionnaire, The Leadership Quarterly, Vol 14, No 2, hal 261295. Bass, B.M. & Avolio, B.J., (1994), Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks. Cefis, E., & Marsili, O. (2006). Survivor: The role of innovation in firms’ survival. Research Policy, 35(5), 626–641. https://doi.org/10.1016/j.respol.2006.02.006 de Jong, J., & den Hartog, D. (2010). Measuring Innovative Work Behaviour. Creativity and Innovation Management, 19(1), 23–36. Faizaty, N. E., & Rivanda, N. O. (2019). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Otokratis terhadap Perilaku Inovatif Karyawan UMKM Batik Ghatot Tuban. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, 20(2), 09-17. Fischer, S. A., (2016). Transformational leadership in nursing: A concept analysis. Journal of Advanced Nursing, 72 (11), 2644–2653. Kania, D., Senen, S. H., & Masharyono, M. (2018). Analisis gambaran kepemimpinan, work engagement dan perilaku kerja inovatif karyawan. Journal of Business Management Education, 3(3), 79-88. Khasanah, I. F. N., & Himam, F. (2018). Kepemimpinan Transformasional Kepribadian Proaktif dan Desain Kerja sebagai Prediktor Perilaku Kerja Inovatif. Gadjah Mada Journal of Psychology (Gamajop), 4(2), 143-157. Kleysen, R.F., & Street, C.T. (2001). Toward a multidimensional measure of individual innovative behavior. Journal of Intellectual Capital. 2(3), 1469-1930. Maulana, Abdussamad (2019). Efektivitas Pelatihan Team Building Untuk Meningkatkan Perilaku Inovatif Perawat IGD RSUD Kabupaten Sumbawa (Nusa Tenggara Barat). Tesis thesis, Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Nardo, R., Evanita, S., & Syahrizal. (2018). Pengaruh kepemimpinan transformasional, dan lingkungan kerja non fisik terhadap perilaku inovatif. Jurnal ekonomi dan bisnis islam, 3(2), 209-215. Octavia, A., & Ratnaningsih, I. Z. (2017). Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Transformasional Dengan Perilaku Inovatif Karyawan Non Proses (Supporting) PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Plant Palimanan. Empati, 6(1), 40-44. 84 Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur) Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah Parashakti, R. D., Rizki, M., & Saragih, L. (2016). Pengaruh kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi terhadap perilaku inovatif karyawan (studi kasus di pt. Bank danamon indonesia). Jurnal Manajemen Teori dan Terapan| Journal of Theory and Applied Management, 9(2). Prayudhayanti, B. N. (2014). Peningkatan perilaku inovatif melalui budaya organisasi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 15(2), 19-32. Scott, S. G., & Bruce, R. A. (1994). Determinants of Innovative Behavior: a Path Model of Individual Innovation in the Workplace. Academy of Management Journal, 37(3), 580–607. https://doi.org/10.2307/256701 Slåtten, T., & Mehmetoglu, M. (2014). The Effects of Transformational Leadership and Perceived Creativity on Innovation Behavior in the Hospitality Industry. Journal of Human Resources in Hospitality & Tourism, 14(2), 195–219. Sujarwo, A., & Wahjono, W. (2017). Pengaruh Motivasi Kerja Dan Perilaku Inovatif Terhahap Kinerja Karyawan Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Mediasi (Studi Kasus Pada LKP Alfabank Semarang). INFOKAM, 13(1). Sulistiyani, E. (2017, November). Beberapa Determinan Perilaku Kerja Inovatif pada Karyawan Industri Batik Skala Ekspor Surakarta. In Prosiding Sentrinov (Seminar Nasional Terapan Riset Inovatif), 3(1), EB308-EB319. 85 PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN PERUSAHAAN: SEBUAH STUDI LITERATUR Akbar Habibie Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Akbar.17010664174@mhs.unesa.ac.id Zulia Tasnim Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Zulia.17010664184@mhs.unesa.ac.id Abstrak Perusahaan di Indonesia sangat banyak dengan macam-macam jenis perusahaan dan tujuan yang berbeda. Tujuan perusahaan dapat dicapai dengan melakukan pengoptimalan pada beberapa aspek. Salah satu aspek yang harus dioptimalkan yaitu pada bagian sumber daya manusia (SDM) dimana merupakan aset terpenting bagi perusahaan. Pengoptimalan SDM dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya yaitu dengan memenuhi kebutuhan karyawan yang akan menimbulkan kepuasan kerja bagi karyawan yang juga akan berdampak pada aspek lian seperti komitmen organisasi yang dimiliki karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dengan mengumpulkan berbagai sumber yang mencakup permasalahan yang diangkat peneliti yang berjumlah 14 sumber yang terdiri dari 4 buku dan 10 jurnal penelitian. Penggalian data yang dilakukan peneliti yaitu dengan menggunakan bantuan teknik matrik sintesis. Teknik matrik sintesis merupakan teknik yang digunakan untuk mempermudah menemukan inti permasalahan dari berbagai sumber yang dikhususkan untuk penelitian yang menggunakan metode studi literatur. Hasil penelitian ini yaitu terdapat pengaruh positif dan signifikan kepuasan kerja karyawan terhadap komitmen organisasi yang dimiliki karyawan perusahaan. Kata Kunci: komitmen organisasi, kepuasan kerja, studi literatur. PENDAHULUAN Perusahaan merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari kelompok orang yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditentukan (Robert, 2019). Setiap perusahaan memiliki karyawan sebagai sumber daya manusia yang dapat membantu perusahaan dalam berproses untuk memajukan serta mengembangkan perusahaan. Karyawan merupakan seseorang yang di pekerjakan dan diberi tugas oleh perusahaan. Kemampuan perusaahan dalam bersaing sesama perusahaan juga didasari oleh karyawan yang ada pada suatu perusahaan. Maka dengan demikian banyak perusahaan meningkatkan kualitas sumber daya manusia perusahaannya. Perusahaan besar terwujud karena memiliki karyawan yang berprestasi dan juga memiliki produktivitas yang tinggi. Aspek karyawan yang terpenuhi juga sangat berpengaruh pada kinerja yang baik yang menguntungkan baik bagi karyawan sendiri maupun perusahaan. Aspek karyawan terdiri dari banyak aspek yang menjadi tugas bagi perusahaan untuk memenuhi aspek-aspek tersebut. Beberapa aspek karyawan yang sering dilihat atau didengar yaitu komitmen organisasi, hubungan organisasi, kepuasan kerja, dan lain sebagainya. Setiap aspek karyawan berkemungkinan memiliki dampak atau berhubungan dengan aspek yang lain. Salah satu aspek yang sangat besar kemungkinannya berpengaruh terhadap aspek lain yaitu kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja merupakan perasaan senang yang muncul dari karyawan tentang pekerjaan yang dilakukannya (As’ad dalam Kurniawan). Kepuasan kerja karyawan akan berdampak pada produktivitas dan juga prestasi dari karyawan. Kepuasan kerja yang di kemukakan oleh Kunartinah (dalam Nurcahyani, 2016) diaman dia mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah hal yang penting dan seharusnya di miliki oleh karyawan. Hal ini bertujuan untuk karyawan dapat merasa nyaman dalam bekerja baik mulai dari berinteraksi dengan lingkungan kerjanya, melaksanakan pekerjaan dengan baik dan dapat memicu karyawan bersungguh sungguh terhadap pekerjaannya serta mengerjakannya dengan penuh gairah. Hal ini membuat karyawan menjadi ikut berkontribusi dalam meningkatkan sebuah pencapain perusahaan. Kepuasan kerja dapat dibentuk oleh perusahaan dengan berbagai macam cara. Setiap cara yang dilakukan perusahaan untuk memunculkan kepuasan kerja terhadap karyawan digunakan untuk mencapai tujuan bersama yaitu tujuan perusahaan. Kepuasan kerja karyawan sangat penting bagi perusahaan karena puasnya karyawan akan berdampak pada aspek karyawan yang lain serta aspek perusahaan. Salah satu aspek yang sangat berkemungkinan 86 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur Akbar Habibie, Zulia Tasnim dipengaruhi kepuasan kerja yaitu komitmen organisasi karyawan. Komitmen pada sebuah organisasi adalah sebuah aspek penting bagi sebuah organisasi. Northcraft dan Neale (Susiawan & Muhid, 2015) mengemukakan pada dasarnya jika seorang karyawan ketika mempunyai sebuah komitmen yang tinggi terhadap organisasi dimana tempat dia bernaung, maka karyawan tersebut akan memberikan hasil kerja semaksimal mungkin dalam melakukan pekerjaannya. Komitmen organisasi merupakan keadaan dimana seseorang sebagai karyawan memiliki pihak atas perusahaan secara penuh, baik pada tugas-tugasnya, tujuan-tujuannya, hingga kesetiaan dengan mempertahankan dirinya sebagai anggota karyawa dari organisasi atau perusahaan tersebut (Robbins & Judge, dalam Yulianti, 2017). Bagi sebuah perusahaan memiliki keryawan yeng mempunyai komitmen yang tinggi dan juga kualitas yang bagus merupakan modal yang baik untuk melakukan persaingan bisnis dengan perusahaan yang lainnya, karena dalam sebuah perusahaan yang paling diandalkan yaitu sumber daya manusianya. Jika sebuah perusahaan memiliki sumber daya manusia yang tidak memiliki komitmen pada organisasinya dan juga memiliki kualitas yang rendah maka akan sulit bagi perusahaan tersebut untuk bersaingan dalam dunia bisnis dengan perusahaan yang lainnya. Suseno dan Sugianto (dalam Susiawan & Muhid, 2015) memaparkan bahwa komitmen organisasi yang rendah dari karyawan akan membawa kerugian yang besar bagi pihak perusahaan, terlebih lagi hal tersebut terjadi dengan karyawan yang mana perusahaan telah memberikan banyak pelatihan kepadanya. Ketika perusahaan menunjuk karyawan untuk mengikuti pelatihan dengan tujuan meningkatkan soft skill dari karyawan tersebut, pada saat itu perusahaan juga mengeluarkan dana yang besar untuk mengadakan pelatihan. Dana yang besar diinvestasikan dengan harapan ketika karyawan telah selesai mengikuti pelatihan maka akan kembali ke perusahaan dengan soft skill yang baru, fresh¸dan inovatif. Setelah itu karyawan diharapkan menjadi lebih produktif dan lebih berprestasi sehingga menguntungkan perusahaan. Namun ketika komitmennya terhadap perusahaan semakin menurut, maka pelatihan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan tersebut menjadi sia sia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susilo Susiawan dan Abdul Muhid yang berjudul “Kepemimpinan Transformation, Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi” dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat kesimpulan bahwa kepuasan kerja mempengaruhi komitmen organisasi pada karyawan Produksi PT. BI di Gresik. Ketika kepuasaan kerja dari karyawan tinggi maka hal tersebut akan berbanding lurus dengan komitmen terhadap organisasi. Begitu juga demikian, jika kepuasan kerja yang ada pada karyawan rendah maka komitmen kariawan terhadap oraganisasi juga akan menjadi rendah. Parawita juga mengungkapkan (dalam, Susiawan & Muhid, 2015) jika karywan telah di penuhi kebutuhan intrinsiknya oleh perusahaan maka karyawan tersebut akan memperlihatkan loyalitas dan juga keperduliannya terhadap perusahaan tempat dia bekerja. Kepuasan kerja sendiri merupakan kondisi emosional yang dimiliki individu sebagai karyawan berupa perasaan menyenangkan pada pekerjaannya (Locke dalam Tama dan Hardiningtyas, 2017). Perasaan menyenangkan karyawan atas pekerjaannya dapat disebut sebagai kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang dimiliki karyawan menjadi kepuasan tersendiri pula bagi perusahaan. Sedangkan menurut Jewell dan Siegel (dalam Tama & Hardiningtyas, 2017) kepuasan kerja merupakan sebuah sikap karyawan yang didasarkan pada penilaian situasi kerja. Sikap yang ditampilkan karyawan tergantung pada apa yang dirasakannya, begitu pula sikap karyawan terhadap situasi kerja yang diciptakan lingkungan perusahaan. Apabila perusahaan memberikan situasi yang menyenangkan maka akan menjadi kepuasan bagi karyawan perusahaan. Berbeda dengan Berry (dalam Tama dan Hardiningtyas, 2017) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan bentuk reaksi individu terhadap pengalaman kerjanya, sehingga pengalaan kerja di suatu perusahaan menjadi faktor yang membuat karyawan merasa puas atau tidak. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja merupakan kondisi emosional individu sebagai karyawan baik berupa sikap maupun rekasi yang menyenangkan atas pekerjaan yang dilakukan di suatu perusahaan. Terdapat beberapa aspek kepuasan kerja menurut As’ad (dalam Kurniawan, 2016) yang diantaranya adalah: (a) psikolgik, yang berorientasi pada hubungan antara kejiwaan karyawan yang mana didalamnya terdiri dari ketentraman dalam bekerja, minat, sikap kerja, bakat dan juga keterampilan; (b) social, merupakaan hubungan sosial seperti berinteraksi dengan karyawan lain, atasan bahkan karyawan yang beda departemen; (c) fisik, yang berhubungan dengan kesehatan kerja, kondisi fisik lingkungan tempat kerja, perlengkapan keselamatan kerja dan juga waktu kerja yang diterapkan; (d) finansial, mencakup kesejahteraan 87 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur Akbar Habibie, Zulia Tasnim karyawan yang diantaranya yaitu jumlah gaji yang diterima, jaminan yang diberikan perusahaan seperti kesehatan, sosial, fasilitas yang di berikan, promosi jabatan dan tunjangan yang diberikan oleh perusahaan. Salah satu aspek kepuasan kerja menurut As’ad (dalam Kurniawan, 2016) yaitu aspek psikologik dimana aspek ini merupakan aspek yang sangat penting bagi kepuasan kerja seseorang. Selain aspek psikologik, aspek lain juga sangat berpengaruh pada kepuasan kerja seseorang. Aspek-aspek tersebut, teruama pada aspek psikologik, sosial, dan fisik yang memiliki definisi bagaimana keadaan lingkungan sangat berpengaruh dalam pemenuhan aspek-aspek tersebut. ketentraman jiwa, hubungan yang baik, dam kesehatan lingkungan kerja yang membuat kesehatan fisik terjaga dapat membangun aspek lain dalam karyawan selain kepuasan kerja. Kreitner dan Kinicki (dalam Muhridin, Ansir, & Sinarwaty, 2019) menyebutkan terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya yiatu: pemenuhan kebutuhan, perbedaan, pencapaian nilai, keadilan, dan komponen genetik atau hubungan kepuasan kerja dengan variabel lain yang bersifat positif maupun negatif. Ketika seorang karyawan memiliki kepuasan kerja yang berarti bahwa faktor yang mempengauhi kepuasan kerja sudah terpenuhi baik hanya satu faktor maupun lebih, maka akan timbul aspek lain yang lebih menguntungkan, salah satu aspek tersebut yatitu komitmen organisasi. Luthans (dalam Fauzi, 2016) yang mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan sebuah sikap kesetiaan seorang karyawan yang ditunjukan kepada peruasahaan yang berlangsung secara terus menerus. Ketika sebuah perusahaan memiliki karyawan yang mempunya komitmen kerja yang tinggi makan perusahaan dapat meminta potensi sumber daya manusia yang ada pada karyawannya. Sedangkan menurut Fahri, Mariatin, dan Zahreni (2017) yang menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan sebuah hubungan antara individu sebagai karyawan dengan perusahaan yang meliputi keinginan untuk setia dan tidak meninggalkan perusahaan sesuai dengan komitmen karyawan yang diantaranya yaitu affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Berbeda dengan Mowday, et all (dalam Fahri, Mariatin, dan Zahreni, 2017), komitmen organisasi merupakan bentuk kekuatan yang relatif dimiliki karyawan untuk melibatkan dirinya dengan oganisasi atau perusahaan. Berdasarkan pada beberapa definisi tersebut maka komitmen organisasi merupakan sikap yang juga bentuk kekuatan individu sebagai karyawan yang ditunjukkan pada perusahaan sebagai bentuk kesetiaan sesuai dengan komitmen karyawan. Mowday, et all (dalam Ingarianti, 2017) mengemukakan bahwa dimensi atau aspek dari organisasi yaitu terdapat tiga, diantaanya yaitu: 1) peneriman terhadap nilai serta tujuan perusahaan, dimana karyawan dapat menerima segala tujuan perusahaan tanpa ada perasaan jengkel maupun tidak terima atas tujuan dan nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan; 2) Kesukarelaan untuk berusaha melakukan yang terbaik untuk organisasi atau perusahaan, merupakan sebuah ketersediaan karyawan disamping gaji yang diberikan maka karyawan melakukan yang terbaik semampunya semata-mata karena memiliki komitmen terhadap perusahaan; 3) keinginan menjaga loyalitas keanggotaan organisasi atau karyawan untuk tetap berada pada perusahaan dimana tempat da bekerja, dimana karyawan berusaha tetap berada di perusahaan dan ingin terus berada di perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Berdasarkan penjabaran di atas, maka peneliti melakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi pada karyawan. METODE Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu studi literatur. Studi literatur merupakan metode yang digunakan peneliti dengan mengumpulkan referensi yang relevan dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti (Baharuddin & Bumbungan, 2018). Sumber referensi yang digunakan peneliti yaitu 14 sumber referensi berupa buku dan jurnal penelitian yang didapat dari sumber yang akurat yaitu dari website resmi penerbit dan google scholar. Prosedur penelitian menggunakan metode studi literatur yaitu pengumpulan data, analisis data, kemudian kesimpulan. Penelitian dengan studi literatur ini peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan data sekunder dari bahan informasi dan referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang harus dipecahkan. Penggalian data yang dilakukan peneliti yaitu menggunakan bantuan teknik matrik sintesis. Teknik matrik sintesis merupakan teknik yang digunakan untuk mempermudah peneliti melakukan analisis sumber data yang didapatkan dengan cara menemukan setiap ide pokok yang terdapat dalam setiap sumber data yang didapatkan. Peneliti melakukan penelitian ini dari rumah mengingat keadaan yang mengharuskan di rumah karena terdapat pandemi covid19. Penelitian ini dilakukan selama sekitar dua bulan. 88 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur Akbar Habibie, Zulia Tasnim PEMBAHASAN Kepuasan Kerja Terdapat beberapa penyataan dari para peneliti tentang kepuasan kerja. Noermijati (2013) mengungkapkan bahwa dalam ruang lingkup kerja, perusahaan harus memperhatikan kepuasan kerja karyawannya. Hal ini dimaksudkan agar karyawan yang terlibat dalam operasional perusahaan dapat berkerja dengan sungguh sungguh dan penuh tanggungjawab. Hal ini bisa tercapai jika kepuasan kerja dari karyawan terpenuhi. Kepuasan kerja dari setiap karyawan berbeda beda antara karywan satu dengan karyawan lainnya. Hal ini didukung oleh Bahri (2018) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual dan tidak bisa disamakan antara kepuasan kerja karyawan satu dengan yang lainnya. Jadi kepuasan kerja merupakan apa yang diharapkan oleh individu bukan apa yang di tentukan dari perusahaan, seperti halnya ada karyawan yang merasa kepuasan kerjanya tinggi jika dia diberikan gaji yang besar dan ada juga karyawan yang kepuasan kerjanya naik ketika perusahaan memberikannya sebuah promosi yang tentunya di inginkan oleh orang tersebut. Kepuasan kerja juga bisa dipengaruhi oleh motivasi seperti promosi dan kenaikan gaji yang diberikan oleh perusahaan. Pada perusahaan yang memiliki organisasi yang kurang baik misalnya kepemimpinan yang buruk, lingkungan kerja yang tidak nyaman, budaya organisasi dan juga motifasi yang buruk akan mempengaruhi kepuasan kerja dari karyawan yang bekerja disana (Bahri, 2018). Pada dasarnya ketika individu memiliki kepuasan kerja yang tinggi maka dia akan melalukan kerja dengan baik. Bahri (2018) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan juga dipelajari. Ketika seorang karyawan memiliki kepuasan kerja yang tinggi maka akan menunjukan sikap kerja yang positif dan melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang biasa di perhatikan dan di pelajari oleh sebuah perusahaan. Jika mereka ingin mencapai target yang telah ditetukan maka hal yang perlu mereka lakukan adalah memenuhi kepuasan kerja karyawannya. Ketika kepuasan kerja karyawan terpenuhi maka karyawan tersebut akan merasa senang melakukan pekerjaannya, pekerjaan yang dilakukannya tidak lagi dianggap sebagai beban yang harus dipikul. Hal ini juga akan mempengaruhi hasil pekerjaan karyawan tersebut. Ketika tingkat kepuasaan kerja karyawan tinggi maka mereka akan memiliki emosional yang positif dan akan memberikan loyalitasnya terhadap perusahaan tempat dia bekerja (Hasbie, Faslah, dan Swaramarinda, 2016). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan menurut Herzberg (dalam Noermijati, 2013) yaitu pertama, prestasi, jika karyawan memiliki prestasi kerja yang baik dan diakui oleh perusahaan,hal tersebut akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi karyawan dan tentunya akan merasa puas akan hasil kerjanya. Kedua, penghargaan, ketika seorang karyawan memiliki prestasi maka sepatutnya perusahaan memberika penghargaan kepadanya, hal ini dilakukan agar karyawan merasa dihargai hasil kerjanya dan juga bisa meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Ketiga, promosi, kenaikan pangkat ini juga bisa membuat karyawan termotivasisehingga akan berdampak pada kinerjanya. Kempat, pekerjaan, pekerjaan yang menjadi salah satu keahliannya akan memudahkan karyawan menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kelima pertumbuhan pribadi, semakin lama dia bekerja maka akan ada pertumbuhan sosial dan sikap kerja pada lingkungan tempat kerja, jika tempat kerjanya dianggap nyaman maka hal tersebut akan berdampak pada kinerjanya. Keenam, tanggung jawab, ketika tanggung jawab yang di pegang oleh seseorang bertambah maka karyawan tersebut akan merasa bahwa dia telah dipercayai oleh perusahaan dan pastinya akan berdampak pada kepuasan kerja karyawan tersebut. Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang meneliti mengenai kepuasan kerja. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rosita dan Yuniati (2016) yang menunjukan hasil bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja seseorang tinggi maka akan berdampak pada kinerja karyawan. Selain itu juga terdapat penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ningrum, Halim, dan Syamsuri (2020) dimana penelitian ini menunjukan hasi bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan dari kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan. Hal ini ditemukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda yang menunjukan hasil bahwa kepuasan kerja sangat mempengaruhi kinerja dari karyawan. Tidak hanya kepuasan kerja saja yang mempengaruhi kinerja kerja namun komitmen organisasi juga memiliki pengaruh positif terhadap komitmen kerja. Komitmen Organisasi Komitmen organisasi merupakan ketertarikan yang karyawan terhadap perusahaan tempat dia bekerja melalui keinginan kuat untuk terus bertahan dan bersedia untuk selalu melayani perusahaan dengan hal yang lebih dari keinginan organisasi atau perusahaan 89 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur Akbar Habibie, Zulia Tasnim (Porter dalam Kusumaputeri, 2018). Setiap organisasi atau perusahaan memiliki tujuan masing-masing, untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan usaha yang harus dilakukan. Karyawan yang yang memiliki komitmen organisasi tinggi akan melakukan sesuatu yang lebih untuk mencapai tujuan perusahaan. Menurut Kusumaputeri (2018) menganggap bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi tinggi bukan hanya menerima tujuan serta nilai yang dimiliki organisasi atau perusahaan, melainkan lebih dari itu. karyawan yang memiliki komitmen organisasi tinggi akan memiliki sikap yang dapat diketahui oleh perusahaan tempat dia bekerja karena karyawan tersebut memberikan dirinya baik berupa tenaga maupun sikap yang lebih baik dari karyawan pada umumnya yang memiliki komitmen organisasi rendah. Sikap-sikap yang ditunjukkan karyawan merujuk pada sikap loyalitas terhadap perusahaan yang dapat terlihat melalui kontribusi yang lebih untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Banyaknya karyawan yang memiliki komitmen organisasi tinggi tergantung bagaimana perusahaan. Secara umum komitmen organisasi memang secara individual yang setiap karyawan pasti memiliki tingkatan yang berbeda dan pastinya hal itu dikarenakan karyawan itu sendiri, namun komitmen organisasi juga dipengaruhi oleh perusahaan. Menurut Kusumaputeri (2018) beberapa cara yang dapat menambah dan mempertahankan komitmen organisasi karyawannya yaitu dengan memberikan perhatian lebih terhadap karyawan, selain itu juga perusahaan perlu melakukan usaha-usaha yang dapat menguntungkan karyawan yang pasti juga dapat berdampak pada keuntungan perusahaan. Keuntungan yang diterima oleh karyawan memberikan kesenangan bagi karyawan dan akan berdampak pada kinerja karyawan sehingga perusahaan akan menerima dampak positif dari kinerja karyawan yang meningkat. Mukhtar, Ali, dan Mardalena (2016) menyatakan bahwa terdapat empat hal yang memiliki keterkaitan dengan komitmen kerja, yang pertama yaitu sikap dan performa kerja, hal ini merujuk pada sikap karyawan yang muncul serta performa atau kinerja yang dimiliki karyawan. Kedua yaitu perilaku, sifat, dan kognisi, hal ini merujuk pada keterkaitan antara pikiran yang dimiliki karyawan akan memunculkan perilaku yang menjadi sifat dan pastinya akan berkaitan dengan komitmen organisasi. Ketiga yaitu tanggung jawab, yang merujuk pada tanggung saat bekerja dan mengemban amanah. Kemudian keempat atau terakhir yaitu lama bekerja. Keempat hal tersebut sangat berkaitan dengan komitmen organisasi, sehingga semakin banyak hal tersebut yang dimiliki karyawan akan menunjukkan bahwa karyawan memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Membahas mengenai komitmen organisasi yang memiliki banyak keterkaitan dan pengaruh dari berbagai aspek. Banyak hal yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi salah satunya yaitu kepuasan kerja. Sesuai dengan pernyataan Bahri (2018) yang menyatakan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi,salah satu dari faktor tersebut yaitu kepuasan kerja yang dimiliki karyawan. Kepuasan kerja dihasilkan oleh pertukaran kontribusi karyawan dengan bonus, promosi karyawan untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi maupun yang diinginkan, serta kenikmatan dari pekerjaan itu sendiri yang dapat meningkatkan minat dan kinerja karyawan yang ketiga hal tersebut sangat menentukan komitmen organisasi yang dimiliki karyawan (Ilahi, Mukzam, & Prasetya, 2017). Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi Berdasarkan pada buku yang ditulis oleh Mukhtar, Ali, dan Mardelina (2016) yang menyatakan bahwa komitmen organisasi sangat berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilahi, Mukzam, dan Prasetya (2017) yang meneliti mengenai hubungan kepuasan kerja, disiplin kerja, dan komitmen organisasi pada sampel yang berjumlah 70 orang yang merupakan karyawan tetap di PT. PLN menemukan hasil yang menunjukkan bahwa terdapat positif dari perhitungan hasil yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang dimiliki karyawan maka semakin tinggi pula komitmen organisasi yang dimilikinya. Selain itu juga terdapat penelitian yang serupa yang dilakukan pada sampel yang berjumlah 40 orang yang merupakan karyawan bidang medical representative PT. Gracia Pharmindo Pharmaceutical cabang Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan oleh Nasution (2017) yang menemukan pernyataan bahwa semakin tinggi kepuasan yang dimiliki seseorang atau karyawan, maka semakin berpengaruf positif terhadap komitmen organisasinya. Penelitisn yang dilakukan oleh Antari (2019) yang melakukan pada karyawan di Losari Hotel Sunset Bali yang berjumlah 50 orang menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja yang dimiliki karyawan dengan komitmen organisasi yang dimiliki, pernyataan tersebut ditemukan dengan melakukan uji hipotesis pada penelitiannya. Hasil penelitian serupa juga ditemukan oleh Latief, Syardiansah, dan Safwan 90 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur Akbar Habibie, Zulia Tasnim (2019) yang melakukan juga melakukan penelitian mengenai kepuasan kerja dengan komitmen organisasi yang diduga memiliki pengaruh signifikan yang dilakukan pada sampel yang berjumlah 31 orang yang merupakan karyawan tetap dari BPJS Kesehatan Kota Langsa. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut yaitu kepuasan kerja yang dimiliki karyawan berdampak pada kinerja yang positif dan aktif selama di perusahaan, hal tersebut membuat karyawan berkomitmen terhadap perusahaan atau dengan istilah lain perusahaan memiliki komitmen organisasi yang tinggi karena memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Hasil penelitian tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Rosita dan Yuniati (2016) yang diperoleh juga dari penelitian yang dilakukannya bahwa apabila kepuasan kerja memiliki pengaruh yang sangat tinggi atau signifikan maka akan menciptakan komitmen yang semakin tinggi terhadap organisasi atau perusahaannya. Kepuasan kerja sangat berpengaruh posiitif terhadap komitmen organisasi. Dampak dari hal tersebut yaitu komitmen organisasi dianggap sebagai outcome yang dihasilkan dari kepuasan kerja karyawan. Hal tersebut berarti bahwa tingginya kepuasan kerja yang dimiliki karyawan sangat berdampak pada komitmen organisasi yang dimiliki. Kepuasan kerja yang dimiliki karyawan sangat mempengaruhi loyalitas dan pasti berpengaruh juga pada keterlibatan karyawan terhadap organisasi atau perusahaan baik berupa pekerjaan rutinan maupun tugas tambahan. Loyalitas yang dimiliki karyawan ini merupakan sifat yang dimiliki karyawan yang berarti bahwa karyawan tersebut memiliki komitmen organisasi yang tinggi (Basna, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Naution (2017) menemukan sebuah hasil yaitu setiap karyawan yang memiliki kepuasan kerja yang baik dan komitmen organisasi yang tinggi cenderung tidak ingin pergi dari perusahaan tempat dia bekerja. Dari pernyataan tersebut menunjukkan sebuah petunjuk bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi sangat berpengaruh. Selain itu kepuasan kerja dan komitmen organisasi juga angat berpengaruh terhadap aspek lain di luar kepuasan kerja dan komitmen organisasi, namun aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, Halim, dan Syamsuri (2020) yang menyatakan bahwa kinerja karyawan yang baik dan semakin meningkat tidak hanya disebabkan oleh kepuasan kerja dan komitmen organisasi, melainkan dengan hal lain. Pada penelitian ini menemukan bahwa kecerdasan emosional juga sangat berpengaruh pada kinerja karyawan yang baik dan terus berkembang. Penelitian ini telah dilakukan pada karyawan PT. Supra Matra Abadi Aek Naraba Kabupaten Labuhanbatu. Berbeda lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Saeka dan Suana (2016) yang meneliti mengenai pengaruh kepuasan kerja dengan turnover atention pada karyawan yang menunjukkan hasil bahwa kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang negatif terhadap keinginan karyawan pindah dari perusahaan tempatnya bekerja. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2018) yang meneliti mengenai pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap turnover karyawan. Penelitian ini dilakukan terhadap 50 orang karyawan di PT. Toyamilindo yang menunjukkan hasil uji hipotesis bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki pengaruh satu sama lain, dan diantara kedua aspek tersebut sangat mempengaruhi pengaruh negatif terhadap turnover karyawan. Sehingga kepuasan kerja dan komitmen organisasi tidak menyebabkan karyawan ingin berpindah dari perusahaan tempat dia bekeja. Oleh sebab itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi komitmen organisasi yang dimiliki karyawan. PENUTUP Simpulan Berdasarkan dari hasil hasil yang didapat dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan ditemukan bahwa adanya pengaruh dari kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan. Karyawan yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi maka akan berbanding lurus dengan tingginya komitmen organisasi dari karyawan tersebut. Faktor seperti bonus dan promosi juga bisa meningkatkan kepuasan kerja dari karyawan karena karyawan merasa usaha dan kerja kerasnya dihargai oleh perusahaan, hal ini tentunya juga akan berdampak pada komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan. Saran Untuk peneliti selanjutnya, jika ingin meneliti yang ingin meneliti penelitian sejenis, disarankan untuk mencari sember yang lebih banyak lagi dan juga lebih variatif lagi. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk menggunakan sumber sumber yang terbaru agar hasil dari penelitian yang dilakukan bisa menggambarkan fenomena yang relevan dan terjadi pada saat ini. DAFTAR PUSTAKA Antari, N. L. S. (2019). Pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi dan turnover 91 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur Akbar Habibie, Zulia Tasnim intention (Studi pada Losari Hotel Sunset Bali). Jurnal manajemen dan bisnis. 1(1), 31-37. http://103.216.87.80/index.php/psikologi/article/vi ew/6652 Baharuddin, B., & Bumbungan, B. (2018). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar (sebuah studi komparatif indonesia dan jepang). Prosiding. 4(1), 37-47. Diunduh dari https://journal.uncp.ac.id/index.php/proceding/artic le/view/1457 Kurniawan, D. (2016). Pengaruh kompensasi dan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terhadap kepuasan kerja pada karyawan PT. Cahaya Samtraco Utama Samarinda. Ejournal psikologi, 4(4), 722-738. Diunduh dari http://ejournal.psikologi.fisipunmul.ac.id/site/wpc ontent/uploads/2017/01/JURNAL%20DWI%20K URNIAWAN%20(01-03-17-11-00-24).pdf Bahri, M. S. (2018). Pengaruh kepemimpinan, lingkungan kerja, budaya organisasi dan motivasi terhadap kinerja dosen. Surabaya: CV. Jakad Publishing Basna, F. (2016). Analisis gaya kepemimpinan, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kompetensi terhadap kinerja pegawai. Jurnal riset bisnis dan manajemen. 4(3), 319-334. https://media.neliti.com/media/publications/12890 1-ID-analisis-gaya-kepemimpinan-kepuasankerj.pdf Kusumaputeri, E. S. (2018). Komitmen pada perubahan organisasi (Perubahan organisasi dalam perspektif islam dan psikologi). Yogyakarta: Penerbit Deepublish Latief, A., Syardiansah., & Safwan, M. (2019). Pengaruh komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan BPJS Kesehatan Cabang Langsa. J-EBIS. 4(1), 52-65. Doi: http://dx.doi.org/10.25105/jmpj.v10i1.2516 Fahri, S., Mariatin, E., Zahreni, S. (2017). Pengaruh dukungan organisasi dan work value terhadap komitmen organisasi karyawan generasi y. Psikoislamika: Jurnal psikologi islam (JPI). 14(1), 22-30. Diunduh dari http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/psiko/article/view/6499 Muhridin, M., Ansir, A., & Sinarwaty, S. (2019). Pengaruh kemampuan kerja, komitmen kerja dan kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai. Jurnal manajemen, bisnis dan organisasi (JUMBO), 3(1), 221-234. Diunduh dari http://ojs.uho.ac.id/index.php/JUMBO Fauzi, M., Warso, M., M., & Haryono, A., T (2016). Pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen organisasi sebagai variabel intervening. Journal of management. 2(2). 1-15. Diunduh dari http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/MS/article/vi ew/426/413 Mukhtar., Ali, H., & Mardelina. (2016). Efektivitas pimpinan: Kepemimpinan transformatif dan komitmen organisasi. Yogyakarta: Penerbit Deepublish Hasbie, S. P., Faslah, R., & Swaramarinda, D. R. (2016). Kepuasan kerja, komitmen organisasi dan keinginan berpindah: Studi pada karyawan pahala express Jatiasih Bekasi. Jurnal pendidikan ekonomi dan bisnis. 4(1), 79-86. Doi: https://doi.org/10.21009/JPEB.004.1.6 Hidayat, A. S. (2018). Pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi dan turnover intention. Jurnal manajemen dan pemasaran jasa. 11(1), 51-66. Doi: http://dx.doi.org/10.25105/jmpj.v10i1.2516 Ilahi, D. K., Mukzam, M. D., & Prasetyo, A. (2017). Pengaruh kepuasan kerja terhadap disiplin kerja dan komitmen organisasional (Srudi pada karyawan PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur Area Malang). Jurnal administrasi bisnin (JAB). 44(1), 31-39. Diunduh dari administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id Ingarianti, T. M. (2017). Pengembangan alat ukur komitmen organisasi. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri Padang), 6(1), 80-91. Diunduh dari Nasution, M. I. (2017). Pengaruh stres kerja, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi terhadap turnoverintention medical reprecentative. Jurnal ilmiah manajemen. 7(3), 407-428. Ningrum, D. K., Halim, A., & Syamsuri, A. R. (2020). Pengaruh kecerdasan emosional, kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan pada PT. Supra Matra Abadi Aek Nabara Kabupaten Labuhanbatu. Jural ecobisma. 7(1), 7688. Noermijati. (2013). Kajian tentang aktualisasi teori Herzberg, kepuasan kerja, dan kinerja spiritual manajer operasional. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press) Nurcahyani, N. M., & Adnyani, I. G. A. D. (2016). Pengaruh kompensasi dan motivasi terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening. E-jurnal manajemen unud. 5(1). 500-523. Diunduh dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/Manajemen/articl e/view/16159/11543 Robert. (2019). Efek profitabilitas dan ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan dengan pengungkapan coporate social responsibility sebagai variabel mediasi pada perusahaan konstruksi yang terdaftar di bursa efek Indonesia 92 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur Akbar Habibie, Zulia Tasnim tahun 2014-2016. Jurnal manajemen bisnis dan kewirausahaan. 3(5), 67-72. Diunduh dari https://journal.untar.ac.id/index.php/jmbk/article/v iewFile/6084/4090 Rosita, T., & Yuniati, T. (2016). Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen organisasional sebagai variabel intervening. Jurnal ilmiah dan riset manajemen. 5(1), 1-20. Saeka, I. P. A. P., & Suana, I. W. (2016). Pengaruh kepuasan kerja, komitmen organisasional dan stres kerja terhadap turnover intention karyawan PT. Indonusa Algaemas Prima Bali. E-jurnal manajemen unud. 5(6), 3736-3760. Susiawan, S., & Muhid, A., (2015). Kepemimpinan transformation, kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Jurnal psikologi Indonesia. 4(3) 304313. Diunduh dari https://jurnal.untagsby.ac.id/index.php/persona/issue/view/94 Tama & Hardiningtyas. (2017). Psikologi Industri dalam Perspektif Sistem Industri. Malang: UB Press Yulianti, E. (2017). Komunikasi dna konflik terhadap kinerja karyawan melalui komitmen organisasisebagai variabel intervening. Journal of business studies. 2(2), 51-65. Diunduh dari http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/jbsuta/a rticle/view/957/665 93 PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN (DARING) BAGI PESERTA DIDIK DI ERA MERDEKA BELAJAR Listyaningsih Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya, listyaningsih@unesa.ac.id Abstrak Pendidikan karakter sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan tujuan Negara Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan Negara ini diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya dalam kemampuan intelektual tetapi sumber daya manusia yang memiliki karakter yang luhur. Pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya sekolah sebagai lembaga formal, namun keluarga dan masyarakat juga memiliki andil. Di era 4.0 saat ini pembelajaran banyak memanfaatkan teknologi dan pembelajaran bisa dilaksanakan secara online (daring). Pembelajaran daring ini bisa berlangsung dimana saja, kapan saja. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan karakter pada pembelajaran daring bagi peserta didik di era merdeka belajar diperlukan inovasi dan kreatifitas guru agar pembelajaran menarik dan menyenangkan. Pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan mengembangkan potensi pada peserta didik agar pandai dalam berpikir, bijak dalam bertindak dan berkembang ke arah yang positif. Oleh karena itu, keteladanan dan pembiasaan sebagai prinsip dalam pendidikan karakter harus bisa dilaksanakan kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun Kata Kunci: karakter, pembelajaran daring, merdeka belajar PENDAHULUAN Masyarakat yang berkarakter yang baik sangat diperlukan bagi bangsa agar menjadi bangsa yang maju. Karakter yang baik yang dimiliki oleh individu pada sebuah bangsa merupakan hasil dari pendidikan karakter yang telah diberikan. Pendidikan karakter sebagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang diwujudkan dalam suatu tindakan yang ditujukan untuk generasi berikutnya. (Maharani dan Hasan). Karakter yang positif perlu dibangun, karena hal ini adalah sebagai modal dalam membangun sebuah peradaban. Apabila masyarakat memiliki sikap disiplin, jujur, mandiri, tangguh memiliki etos kerja yang baik maka akan menghasilkan kehidupan yang teratur dan baik di masyarakat. Namun jika yang terjadi sebaliknya, masyarkat yang tidak disiplin, tidak jujur dan lain-lain maka akan menimbulkan keresahan dan ketidakteraturan di masyarakat. Hal ini mengakibatkan peradaban di masyarakat menjadi lemah. Karakter bangsa yang luhur adalah sebagai modal dasar dalam membangun peradaban yang tinggi bagi sebuah bangsa. Karakter yang baik pasti diperlukan disemua lingkungan kehidupan, seperti lingkungan pekerjaan, sekolah, masyarakat dan lain-lain. Namun tidak semua individu memiliki karakter yang baik, ada individu-individu yang ada di sekitar kita memiliki karakter yang tidak baik. Setiap hari di media massa baik cetak maupun elektronik selalu ada berita tentang kejahatan, pencurian, pelanggaran lalu lintas, korupsi dan lain- lain. Hal ini menunjukkan masih ada karakter yang tidak baik yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, bagaimana upaya untuk meminimalisir karakter yang buruk tersebut, pendidikan karakter sangat diperlukan demi majunya sebuah bangsa. Berkaitan dengan karakter, Acetylena (2018: 3) mengatakan bahwa (1) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karakter merupakan hal yang sangat penting, karena apabila karakter itu hilang akan berdampak pada hilangnya generasi penerus bangsa; (2) Karakter memiliki peran sebagai “kemudi” agar sebuah bangsa tidak mudah terombang-ambing dan harus memiliki kekuatan; (3) Untuk menjadi bangsa yang bermartabat, karakter yang baik harus dibangun, karena tidak akan datang dengan sendirinya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter ini penting dan perlu dibangun agar bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki martabat. Di samping itu, pendidikan karakter sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan tujuan Negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social. Dalam rangka mencapai tujuan negara tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, diantaranya melalui pendidikan. Salah satu program Menteri Pendidikan 94 Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar Listyaningsih dan Kebudayaan (Nadiem Makarim) adalah tentang merdeka belajar. Menurut mas Nadiem "Esensi Merdeka Belajar adalah menggali potensi terbesar para guru-guru sekolah dan peserta didik kita untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Mandiri bukan hanya mengikuti proses birokrasi pendidikan, tetapi benar-benar inovasi pendidikan,” (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/05/ref ormasi-pendidikan-nasional-melalui-merdeka-belajar). Merdeka belajar yang menjadi salah satu program dari mendikbud Mas Nadiem Makarim ini adalah ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia. Suasana bahagia yang dirasakan oleh para guru, peserta didik, dan orang tua merupakan tujuan dari merdeka belajar. Lebih lanjut mendikbud menegaskan bahwa merdeka belajar tidak mungkin berhasil tanpa adanya teknologi. Teknologi ini tidak semuanya online tapi bisa bermacam-macam dan bisa menggunakan TVRI sebagai salah satu media pembelajaran. Bangsa Indonesia sejak Maret 2020 tengah menghadapi pandemic Covid 19. Tidak hanya Negara Indonesia tapi hampir seluruh negara-negara di dunia juga tengah menghadapi covid 19. Adanya pandemi covid ini membawa dampak yang luar biasa dalam segala aspek kehidupan. Dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan adanya social distancing dan physical distancing. Di dunia pendidikan juga berdampak. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim memutuskan untuk memindahkan proses pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran secara daring diiumumkan melalui Surat Edaran Nomor 36962/MPK.A/HK/2020. Berdasarkan surat edaran ini, maka anak-anak sekolah melaksanakan pembelajaran secara daring (dalam jaringan)/ online. Pembelajaran secara daring untuk anak-anak sekolah ini sudah dilaksanakan sejak Maret 2020. Dengan keluarnya surat edaran kemendikbud ini, maka anakanak sekolah melaksanakan pembelajaran di rumah masing-masing secara daring. Hal ini tentunya bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan, tetapi karena kondisi maka mau tidak mau, suka tidak suka, siap dan tidak siap harus melaksanakan pembelajaran secara daring. Pembelajaran secara daring menuntut tenaga pendidik untuk mampu berinovasi dalam melaksanakan pembelajaran. Dalam merancang pembelajaran harus dirancang agar membawa peserta didik pada pengenalan nilai pada aspek pengetahuan (kognitif), penghayatan nilai secra afektif, dan pada akhirnya diwujudkan melalui pengamalan nilai secara nyata (Pertiwi, 2020). Hal ini tentu tidak mudah untuk dilaksanakan, pembelajaran yang dilaksanakan selama ini melalui tatap muka, sehingga guru dapat berinteraksi secara langsung kemudian karena kondisi adanya covid 19 memaksa guru untuk melek teknologi. Guru harus melakukan inovasi dan kreatif dalam merancang pembelajaran yang akan dilakukan. Adanya covid 19 ini justru memberikan potensi dalam percepatan kebijakan Merdeka Belajar. Ketika pembelajaran dilaksanakan secara daring timbul permasalahan bagaimana membentuk karakter peserta didik? Apakah bisa dilakukan secara daring? Inilah yang menjadi permasalahan “Bagaimana pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (daring) di Era Merdeka Belajar pada Peserta didik?” METODE Dalam menjawab permasalahan di makalah ini menggunkan metode studi kepustakaan. Permasalahan dibahas dengan memanfaatkan referensi dari berbagai sumber, seperti internet, buku-buku, artikel ilmiah, dan berbagai macam jurnal selanjutnya disusun secara sistematis untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan. PEMBAHASAN Pendidikan Karakter Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan. Dalam pengaplikasisn nilai kebaikan yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku atau tindakan, ini bukanlah hal yang mudah. Orang dikatakan memiliki karakter jelek, apabila orang tersebut melakukan suatu tindakan yang jahat, tidak jujur, kejam, bengis dan lain-lain, tetapi orang dikatakan berkarakter yang baik apabila orang yang tersebut memiliki sikap peduli, jujur, suka menolong dan perbuatan baik lainnya. Istilah karakter ini erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang disebut orang berakarakter apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral. (Zubaedi,2011: 12). Karakter yang ada pada diri seseorang pada dasarnya bersifat biologi, artinya bahwa karakter itu ada sejak manusia dilahirkan. Sebagaimana disampaikan oleh Bapak Ki Hajar Dewantara bahwa perwujudan karakter yang ditunjukkan pada perilaku seseorang merupakan hasil keterpaduan antara karakter biologis dengan karakter yang merupakan hasil dari interaksi antar individu dengan lingkungannya. Sarana yang paling efektif untuk menyadarkan individu dalam 95 Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar Listyaningsih menumbuhkan jatidiri kemanusiaan adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan akan dihasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, yang memilki kelembutan jiwa, berpikir cemerlang, sigap dalam melakukan tindakan dan memiliki kesadaran dalam penciptaan dirinya. (Wahid Munawar dalam Zubaedi,2011: 12). Oleh karena itu, melalui pendidikan karakter diharapkan akan lahir sumber daya manusia yang berkualitas yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor. Dalam rangka pendidikan karakter ini maka pemerintah mengeluarkan perpres No 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Berdasarkan ketentuan pada pasal 3 Perpres ini menyebutkan bahwa “PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter, terutama meliputi: Nilai-nilai Religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, Kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat Kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggungjawab. Lebih lanjut pada pasal 4 disebutkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan PPK meliputi satuan pendidikan jalur formal, nonformal dan informal. Hal ini berarti bahwa penguatan pendidikan karakter ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah semata sebagai satuan pendidikan jalur formal, tetapi keluarga dan masyarakat juga memiliki andil dalam upaya penguatan pendidikan karakter ini. Dalam pasal 5 Peraturan Presiden No 87 Tahun 2017 tetang prinsip pengembangan pendidikn karakter meliputi (1) berorientasi pada perkembangan peserta didik; (2) keteladanan dalam menerapkan pendidikan karakter di lingkungan pendidikan masing-masing; (3) melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prinsip ini, maka penguatan pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab bersama dan berpusat pada berkembangnya peotensi yang dimiliki peserta didik. Dalam penerapan pendidikan karakter diperlukan keteladanan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran Daring Pembelajaran daring artinya adalah pembelajaran yang dilakukan secara online, menggunakan aplikasi pembelajaran maupun jejaring sosial. (https://www.amongguru.com/pembelajaran-daringdan-luring-pengertian-ciri-ciri-serta-perbedaannya). Pembelajaran dalam jaringan (daring) dan biasa disebut sebagai pembelajaran online merupakan pembelajaran yang dilaksanakan secara jarak jauh dengan menggunakan teknologi (jaringan internet). Pembelajaran daring ini pembelajaran yang dilaksanakan melalui dunia maya, tidak ada kontak secara langsung antar individu. Interaksi antar guru dengan peserta didik dilakukan secara jarak jauh. Pembelajaran daring di tengah pandemic yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menjadi suatu kebutuhan. Dengan adanya kebijakan social distancing maka sekolah-sekolah sementara ini melaksankan secara jarak jauh. Mau tidak mau siap dan tidak siap pembelajaran ini harus dilakukan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid 19. Dalam rangka melaksanakan pembelajaran daring ini agar maksimal maka ada 4 kunci untuk melaksanakan pembelajaran daring, seperti dikemukakan oleh Bapak Sandra Salman (dalam Harususilo, 2020), antara lain meliputi: (1) Kemampuan Guru Memanfaatkan Teknologi. Penguasaan teknologi merupakan kunci pertama yang harus dimiliki guru. Hal ini penting dalam rangka untuk mentransfer pengetahuan pada peserta didik secara menarik dan efektif; (2) Pembelajaran terencana dan efektif. Pembelajaran yang dilaksanakan secara daring tidak bisa dilaksanakan secara tiba-tiba, dibutuhkan perencanaan untuk mempersiapkan materi yang akan diberikan pada peserta didik, guru juga perlu mengatur tahap-tahapan yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran; (3) Menyatukan persepsi dan konsentrasi peserta didik. Dalam hal ini guru harus bisa menjalankan perannya sebagai motivator, fasilitator, mediator dan komunikator agar guru mampu menjalin ikatan batin dengan peserta didiknya; (4) Penguatan Karakter peserta didik. Dalam hal ini guru bisa memotivasi peserta didik dalm menghadapi situasi yang baru, tetap memiliki jiwa yang tangguh, disiplin, tanggungjawab, dan lain-lain. Ini merupakan hal penting. Dengan demikian pembelajaran secara daring ini tidak hanya berorientasi pada pengetahuan semata tapi juga sikap dan keterampilan. Merdeka Belajar Pada dunia pendidikan, merdeka belajar mencakup kondisi merdeka dalam hal mencapai tujuan, metode, materi dan evaluasi pembelajaran baik pada guru maupun peserta didik (Lubis, dalam Izza dkk; 2020). Era merdeka belajar dapat diartikan sebagai masa dimana guru dan peserta didik memiliki kebebasan atau kemerdekaan dalam berfikir, bebas dari pendidikan yang membelenggu agar mempu mengembangkan potensi diri untuk mencapai tujuan pendidikan (Izza dkk, 2020). Setiap individu memiliki potensi sendiri- 96 Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar Listyaningsih sendiri, potensi ini perlu digali dan diarahkan sehingga tujuan peidikan yang diharapkan bisa diwujudkan. Dalam konsep merdeka belajar, antara guru dan peserta didik merupakan subjek di dalam sistem pembelajaran. Artinya guru bukan dijadikan sumber kebenaran oleh peserta didik, namun guru dan peserta didik berkolaborasi penggerak dan mencari kebenaran. Artinya posisi guru di ruang kelas bukan untuk menanam atau menyeragamkan kebenaran menurut guru, namun menggali kebenaran, daya nalar dan kritisnya peserta didik melihat dunia dan fenomena. (Yamin dan Syahrir). Dalam proses pembelajaran peserta didik tidak sebagai objek dalam pembelajaran, peserta didik adalah sebagai subjek dalam pembelajaran. Peserta didik memiliki hak dalam menyampaikan gagasan atau ide-idenya dan guru memberi kesempatan dalam penyampaian gagasan tersebut. Pada era seperti sekarang ini, segala macam informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat dan tidak menutup kemungkinan peserta didik dengan kemampuan yang dimiliki menggali informasi dari berbagai macam sumber tanpa ada komando dari guru. Oleh karena itulah, kolaborasi antara guru dan peserta didik dalam pembelajaran ini penting untuk dilakukan. Pembelajaran yang bertujuan untuk memerdekakan peserta didik, diperlukan suatu strategi agar dalam pembelajaran menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna. Artinya bahwa peserta didik tidak hanya menghafal tentang konsep-konsep akan tetapi menghubungkan konsep-konsep sehingga menghasilkan konsep-konsep yang utuh dan sulit untuk dilupakan. Proses pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk menanggapi berbagai pertanyaan atau pandangan dari peserta didik. Ketrampilan berfikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan menyusun hipotesis ini merupakan aktivitas belajar yang perlu ditekankan dalam proses pembelajaran. Demikian pula dalam hal evaluasi, proses pembelajaran yang memerdekakan lebih mengutamakan pada bagaimana proses menyusun makna secara aktif dengan keterampilan terintegrasi dengan cara memanfaatkan permasalahan dalam kontekas realitas melalui ketrampilan terintegrasi (Syukri, 2020). Dalam proses pembelajaran guru memberi kebebasan pada peserta didik untuk mengungkapkan gagasannya dan memberi kesempatan untuk lebih banyak bertanya untuk melatih keterampilan berpikir peserta didik. Diskusi yang interaktif antara guru dan peserta didik harus lebih banyak dilakukan agar semakin terasah kemampuan yang dimiliki. Kemerdekaan sebagai salah satu kunci dalam pengembangan guru, memiliki dimensi komitmen pada tujuan, memiliki kemandirian dalam proses belajar dan reflektif selama proses pengembangan (Syukri, 2020). Guru yang merdeka memiliki komitmen dalam mencapai tujuan belajar, dalam hal ini guru harus memiliki target yang ditetapkan sendiri tentang materi apa yang akan dibelajarkan dan menentukan tujuannya. Guru yang merdeka adalah guru yang mandiri, karena itu strategi yang efektif diperlukan agar bisa mengembangkan kompetensi, mengembangkan karirnya dan berkolaborasi. Guru yang merdeka adalah guru yang reflektif, ini berarti bahwa guru perlu memahami apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan agar bisa berkembang. Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Daring di Era Merdeka Belajar Dalam pendidikan perlu diketahui apa yang menjadi misi utamanya. Pendidikan tidak hanya membentuk peserta didik memiliki kemampuan intelektual secara baik namun karakter yang baik ini tidak boleh diabaikan. Dalam rangka melaksanakan misi ini penerapan metode pembelajaran harus tetap diwujudkan baik pembelajaran melalui tatap muka langsung maupun pembelajaran secara jarak jauh atau pembelajaran daring. Penanaman nilai-nilai kebaikan, membentuk manusia seutuhnya, dan mengembangkan potensi yang dimiliki individu sehingga individu memiliki kecakapan dalam berpikir, saling menghormati dalam setiap tindakan dan melatih potensi individu agar berkembang kearah yang positif merupakan tujuan dari pendidikan karakter (Pertiwi 2020). Dalam rangka mencapai misi itu, pendidik/ guru harus merencanakan pembelajaran yang akan dilakukan yang tidak hanya menyampaikan materi untuk meningkatkan pengetahuan pada peserta didik akan tetapi juga perlu membentuk karakter pada peserta didiknya. Menurut Pertiwi (2020) dalam pembelajaran secara daring ada beberapa metode pembelajaran bermuatan karakter yang dapat diterapkan antara lain: Contekstual Teaching Learning (CTL) yang bermuatan karakter, pembelajaran aktif yang bermuatan karakter, pembelajaran berbasis masalah yang bermuatan karakter, pembelajaran inquiri bermuatan karakter; dan lain-lain. Berbagai macam metode tersebut bisa menjadi alternatif guru dalam menerapkan pembelajaran yang dilakukan secara daring. Oleh karena itu, guru perlu melakukan inovasi dalam melaksanakan pembelajaran. 97 Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar Listyaningsih Dalam upaya mengimplementasikan pendidikan karakter melalui pembelajaran secara daring ini diperlukan inovasi guru dalam pembelajaran agar menarik dan menyenangkan. Pembelajaran yang dikemas secara menarik dan menyenangkan ini akan membuat peserta didik bahagia dan inilah yang menjadi harapan di era merdeka belajar yang dicanangkan oleh Mas Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat ini. Beliau menegaskan bahwa ”esensi Merdeka Belajar adalah menggali potensi terbesar para guru-guru sekolah dan peserta didik kita untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri”. Inovasi yang dapat dilakukan guru dalam mengimplementasikan pendidikan karakter dengan pembelajaran daring dimulai dengan merencanakan pembelajaran dan melaksankannya dengan menarik. Bagaimana pembelajaran yang dilakukan mendorong rasa ingin tahu peserta didik, menumbuhkan sikap disiplin dan tanggung jawab pada peserta didik, misalnya mengumpulkan tugas yang diberikan guru sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Kreatifitas, kemandirian, kejujuran, gemar membaca juga bisa ditumbuhkan dalam pembelajaran secara daring. Orang tua juga memiliki andil dalam rangka mewujudkan ini, karena pembelajaran dilaksanakan di rumah, bagaimana orang tua/ keluarga memberi dukungan pada anak agar pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru secara daring ini berhasil. PENUTUP Simpulan Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran daring bagi peserta didik di era merdeka belajar diperlukan inovasi dan kreatifitas guru. Pendidikan karakter yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan mengembangkan potensi pada peserta didik agar pandai dalam berpikir, bijak dalam bertindak dan berkembang ke arah yang positif. Keteladanan dan pembiasaan sebagai prinsip dalam pendidikan karakter harus bisa dilaksanakan kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun. Saran Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama, oleh karena itu, pada orang tua, guru, dan masyarakat pada umumnya harus ikut andil dalam membentuk karakter anak bangsa agar bangsa kita menjadi bangsa yang maju. Karena karakter yang luhur sangat diperlukan dalam pembangunan sebuah bangsa dan Negara. DAFTAR PUSTAKA Acetylena, Sita. 2018. Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara. Malang: Madani. Harususilo, Yohanes Enggar. 2020. 4 Kunci Pembelajaran di Rumah Bermakna dan Menyenangkan dari Sekolah Kharisma Bangsa https://edukasi.kompas.com/read/2020/04/14/1826 38771/4-kunci-pembelajaran-di-rumah-bermaknadan-menyenangkan-dari-sekolah?page=all. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2020. https://www.amongguru.com/pembelajaran-daringdan-luring-pengertian-ciri-ciri-sertaperbedaannya/. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2020. Izza, Zulfa, Aini; Falah, Mufti; Susilawati Siska. 2020. Studi Literarur: Problematika Evaluasi Pebelajaran dalam Mencapai Tujuan Pendidikan di Era Merdeka Belajar. https://proceeding.unikal.ac.id/index.php/kip. 1015 Maharani, Wahyu, Riris dan Hasan, Safari. Membangun Karakter Bangsa. https://www.academia.edu/38142151/MEMBAN GUN_KARAKTER_BANGSA_pdf. Diakses pada 2 Agustus 2020. Peraturan Presiden No 87 tahun 2017. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/73167/p erpres-no-87-tahun-2017. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2020. Pertiwi, Indah. 2020. Implementasi Pendidikan Karakter Saat Wabah Covid 19. http://lppm.unpam.ac.id/2020/05/28/implementasi -pendidikan-karakter-saat-wabah-covid-19/ Diakses pada tanggal 1 Agustus 2020. Syukri, Bayumie. 2020. Menakar Konsep “Merdeka Belajar”. https://intens.news/menakar-konsepmerdeka-belajar/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2020. Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Konsepsi dan Aplikasinya dalam Pendidikan. Jakarta: Kencana. Karakter, Lembaga Yamin, Muhammad dan Syahrir. 2020. Pembangunan Pendidikan Merdeka Belajar (Telaah Metode Pembelajaran). Jurnal Ilmiah Mandala Education http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIME/i ndex. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2020. 98 STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM DUNIA KERJA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN Nurul Indah Mustiyah Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Nurul.17010664155@mhs.unesa.ac.id Vika Maurissa Husnianita Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Vika.17010664160@mhs.unesa.ac.id Abstrak Untuk meningkatkan kinerja karyawan di dalam dunia kerja diperlukan sebuat strategi. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melalui sumber daya manusai. Sumber daya manusia memiliki peran penting selain meningkatkan kinerja juga sebagai perencanaan strategi dan pengembangan untuk keberhasilan suatu perusahaan. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian literatur, dimana data yang digunakan untuk menganalisis strategi yang tepat untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam dunia kerja terhadap kinerja karyawan pada perusahaan yang dianalisis secara kualitatif dengan mengkaji beberapa sumber bacaan. Dalam penelitian ini menggunakan 4 penelitian yang menggambarkan strategi dalam meningkatkan kinerja. Penelitian yang telah dikaji menggunakan penelitian dari yang paling lama yaitu pada tahun 2014 hingga yang terbaru yaitu 2020. Hasil yang diperolah rata-rata menunjukkan strategi yang digunakan pada perusahaan dapat melalui pendidikan dan pelatihan, pemberian kompensasi termasuk tunjangan kesehatan, anak, dan jaminan masa tua, serta dukungan perusahaan dengan merancang dan mengembangkan karir yang ingin dicapai agar produktivitas kinerja dapat meningkat dan membuahkan hasil yang diinginkan oleh perusahaan. Kata Kunci: Strategi, Sumber Daya Manusia, Kinerja PENDAHULUAN Setiap Lembaga, Instansi maupun Perusahaan memiliki target agar dapat mencapai tujuan, tujuan tersebut akan menuntut sebuah usaha dan kompetensi untuk mencapai tujuan secara efektif. Hal ini berkaitan dengan perkembangan di sektor bisnis, ekonomi bahkan teknologi yang begitu cepat, mengakibatkan persaingan untuk dapat bertahan atau mengembangkan sumber daya yang dimiliki. Tanpa adanya ketahanan, ketangguhan dalam menghadapi persaingan tersebut maka akan terjadi penurunan, kerugian pada perusahaan Adanya kompetensi yang dimiliki dibentuk oleh pengalaman, dan proses pembelajaran atau pelatihan dalam rangka mengembangkan potensi serta kompetensi yang dimiliki oleh individu atau sumber daya alam terhadap perusahaan. Agus Gumiwang Kartasasmita, Mentri Perindustrian menyatakan bahwa pentingnya pengembangan sumber daya manusia terhadap perusahaan menjadi prioritas (Santia, 2020) dalam membangun daya saing diberbagai level sumber daya manusia dapat membantu membangun sektor atau divisi dalam perusahaan. Menurut Suwanto dalam (Yusran, 2018) adanya peran sumber daya manusia merupakan pelaku yang bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatan atau program didalam perusahaan secara langsung, serta berperan aktif terhadap perubahan, perkembangan dan kemajuan perusahaan lewat kinerja yang diberikan. Pengembangan sumber daya manusia merupakan program yang ditujukan kepada karyawan agar dapat meningkatkan kualitas kinerja diperusahaan. Umumnya didalam perusahaan terdiri atas beberapa bidang atau divisi yang memiliki tugas dan peran yang berbeda, peran tersebut memiliki tujuan dan dampak langsung terhadap perkembangan perusahaan perusahaan. Agar sumber daya alam di setiap divisi maksimal, maka adanya kebutuhan untuk mengembangkan sumber daya alam dengan berbagai program atau pelatihan yang menunjang dengan menyesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan karyawan. Pentingnya pengembangan ini akan berdampak tidak hanya pada sumber daya manusia, namun mempengaruhi usaha kontribusi yang dihasilkan untuk mencapai target dan tujuan perusahaan. Mengembangkan sumber daya alam dibutuhkan managemen pada aspek perencanaan, pengaturan, pengarahan, dsb. Bertujuan tidak hanya mengelola agar mengembangkan karyawan, namun mampu mensejahterahkan para karyawan di perusahaan (Bukit, Malusa, & Rahmat, 2017). Untuk meminimalisir terjadinya kesalahan serta hambatan lapangan, maka dibutuhkan strategi pengembangan agar lebih efektif. Sumber Daya Manusia 99 Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa Menurut Richard Swanson, pengembangan sumber daya alam merupakan suatu proses atau kegiatan dalam mengembangakan kemampuan dan keahlian karyawan agar meningkatan kualitas kinerja karyawan diperusahaan (Werner & DeSimone, 2012). Dijelaskan lebih lanjut oleh Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, and Shane R. Premeaux dalam (Bukit, Malusa, & Rahmat, 2017) bahwa pengembagan sumber daya manusia merupakan proses yang didasarkan sebuah perencanaan oleh perusahaan bertujuan meningkatkan kemampuan karyawan lewat serangkaian program yang diberikan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan pengembangan sumber daya manusia merupakan sebuah upaya perusahaan dalam mencapai tujuan. Pengembangan sumber daya manusia dapat menggunakan serangkaian program, pendidikan, ataupun pelatihan untuk pengembangan pengetahuan dan kemampuan kinerja karyawan di perusahaan dengan menyesuaikan kebutuhan karyawan dan perusahaan tersebut. program pengembangan diberikan kepada karyawan sejak masuk dan bekerja diperusahaan, agar dapat memenuhi tuntutan dan tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diberikan. Upaya pengembangan sumber daya alam tidak hanya bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, dan pengembangan karir karyawan, namun juga berdampak terhadap kemajuan, keuntungan serta tujuan bagi perusahaan secara efektif (Werner & DeSimone, 2012). Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia Strategi pengembangan sumber daya manusia merupakan serangkaian rencana serta keputusan yang bertujuan untuk melihat atau menganalisa peluang, hambatan, kecocokan antara faktor eksternal dan sumber daya terhadap tujuan perusahaan (Werner & DeSimone, 2012). Dengan adanya starategi mampu mengurangi hambatan yang terjadi, sehingga lebih mempermudah pencapaian. Dibutuhkan strategi pengembangan yaitu: 1. Bagian administrasi adalah Administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catatmencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. 2. Bagian pemberi masukan adalah berperan sebagai pemberian masukan jika mengalami kesalahan dan hambatan 3. Bagian lapangan sumber daya manusia adalah bagian yang mampu memberikan fasilitas program yang dibutuhkan 4. Bagian stategis adalah bagian penyokong bisnis dalam perusahaan Kinerja Stoner mendefinisikan kinerja sebagai kontribusi hasil kerja karyawan terhadap kemampuan yang diberikan kepada perusahaan. Selain itu menurut Seymour dalam Swasto dalam (Priyono, 2010) menyatakan bahwa kinerja adalah sebuah usaha atau upaya karyawan dalam menghasilkan sesuatu. Kinerja yang dilakukan oleh karyawan sangat dibutuhkan oleh perusahaan agar dapat mencapai tujuan. Menurut Drucker dalam (Bukit, Malusa, & Rahmat, 2017) Kinerja memiliki 5 elemen yaitu: 1. Elemen fisiologis berhubungan dengan kemampuan menyelesaikan tugas yang diimbangi oleh kondisi fisik. 2. Elemen psikologis berhubungan kondisi psikologis yang sehat juga akan mempengaruhi penyelesaian tugas dengan baik. 3. Elemen sosial berhubungan dengan kemampuan bersosialisasi juga berhubungan dengan kualitas pekerjaan. 4. Elemen ekonomi berhubungan dengan kecukupan kebutuhan hidup tanpa kekurangan akan mempermudah pengerjaan tugas pada karyawan. 5. Elemen keseimbangan berhubungan dengan kesesuaian atau kelayakan karyawan terhadap apa yang diberikan dan apa yang didapatkan oleh perusahaan. Dari paparan penjelasan diatas dapat dipahami pentingnya pengembangan sumber daya manusia pada karyawan untuk meningkatkan kinerja terhadap kontribusi terhadap perusahaan, namun dalam meningkatkan kualitas tersebut dibutuhkan upaya berupa strategi dalam mengembangkan sumber daya manusia agar proses menjadi lebih mudah dan efektif. Penelitian ini memunculkan rumusan masalah yang hendak peneliti kaji terkait strategi dalam mengembangkan sumber daya manusia terhadap kinerja karyawan dalam perusahaan, dan tujuan penelitian ini adalah menemukan strategi pengembangan sumber daya manusia. METODE Metode penelitian menggunakan systematic literature review. Data penelitian diperoleh melalui penelusuran internet mengenai jurnal Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan yang dipublikasikan 2014-2020. Jumlah jurnal yang dianalisis sebanyak 4 jurnal. Data digunakan untuk menganalisis Strategi yang tepat untuk Pengembangan 100 Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan pada perusahaan dianalisis secara kualitatif. Data yang digunakan adalah pengumpulan data dengan teknik studi literatur, dimana data bersumber dari artikel, jurnal, berita, penelitian terdahulu, maupun buku literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang sebelumnya telah dikaji. PEMBAHASAN Strategi pengembangan sumber daya manusia sejatinya merupakan suatu langkah yang difokuskan sebagai upaya dalam menyempurnakan serta memperbaiki aspek-aspek yang ada dalam sumber daya manusia agar lebih berkualitas dalam membangun kinerja para karyawan di suatu perusahaan. Sangat penting bagi organisasi dalam perusahaan untuk mengetahui sumber daya yang ada, karena sumber daya manusia berperan penting dalam menunjuang adanya tingkat produktivitas kinerja para karyawan di suatu organisasi perusahaan. Apabila suatu HRD perusahaan tidak dapat memahami bagaimana suatu strategi yang tepat dalam membangun dan mengembangkan SDM maka dapat dipastikan bahwa tujuan-tujuan yang diharapkan dalam suatu organisasi tersebut akan mengalami penurunan produktivitas kerja karyawan dan perusahaan tersebut tidak dapat beroperasi secara maksimal bahkan dapat mengalami penurunan dan kerugian yang diakibatkan kurangnya penanganan yang berkaitan dengan sumberdaya manusia terutama menurunkan kinerja pegawainya. Oleh sebab itu dibutuhkan strategi untuk meningkatkan kinerja melalui pengembangan sumber daya manusia. Terdapat beberapa temuan yang telah di kaji dari peneliti-peneliti yang relevan diantaranya: 1. Penelitian “Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT.PLN Cabang Binjai” menunjukkan terdapat hubungan antara pengembangan SDM terhadap kinerja. Strategi yang digunakan dalam meningkatkan produktivitas kinerja deilakukan dengan pendidikan dan pelatihan. Namun tidak hanya itu, peningkatakn lainnya dapat dilakukan dengan faktor lain seperti keselamatan kerja, promosi, kompensasi seperti upah, dan tunjangan lainnya (Tarigan & Nasution, 2014) 2. Penelitian yang berjudul “Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Batusangkar” strategi yang dilakukan guna meningkatkan kinerja pegawai yaitu dilakukan dengan dua cara. Cara pertama yaitu melalui orientasi, proses ini dilakukan terhadap karyawan baru untuk memahami dan memperkenalkan seluk beluk dalam perusahaan. Kemudian cara kedua yaitu dengan pelatihan dan pengembangan karyawan, proses pelatihan ini dimaksudkan untuk membantu karyawan dalam meningkatkan kinerjanya (Mirsal, 2017). 3. Penelitian dengan judul “Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan” melalui pelatihan, pendidikan serta pengembangan karir dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan karyawan serta memperluas pengetahuan karyawan. dari penelitian ini, hasil evaluasi dijadikan sebagai program dalam melakukan pelatihan yang dapat dilakukan dengn teknik on the job training atau pun off the job training. Kemudian adanya pendidikan yang mana karyawan mendapat kesempatan untuk mendapatkan wawasan pendidikan diluar perusahaan serta sanggup untuk menyekolahkan atau merekomendasikan pendidikan lanjut. Selanjutnya pengembangan karir yang dilakukan perusahaan dalam penelitian ini dengan melihat prestasi yang diukur dari hasil kerja dan lamanya karyawan berada pada perusahaan tersebut (Miftahuddin, Rahman, & Setiawan, 2018). 4. Penelitian dengan judul “Analisis Kebutuhan Pengembangan Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kinerja Pegawai Di Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram” mendapatkan hasil habwa kinerja pegawai dipengaruhi dari pengembangan SDM yang termasuk didalamnya adalah perekrutan, pengembangan karir, pelatihan dan promosi. Namun dari penelitian itu terdapat hambatan keterbatasan anggran, kurangnya jumlah pegawai dan peserta dalam melakukan suatu pelatihan (Agussaleh, Agusdin, & Hermanto, 2020). Dari berbagai penelitian tersebut maka strategi dalam meningkatkan kinerja melalui sumber daya manusia dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan: Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan dan pelatihan merupakan cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan dan mengembangkan pngetahuan baik intelektual maupun soft skill. Tujuan diadakannya pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia bagi perusahaan maupun bagi individu itu sendiri dalam menjalankan tugas yang diberikan 101 Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa adalah untuk meningkatkan, memperbaiki, dan membantu memecahkan permasalahan dalam organisasi maupun individu yang berdampak pada peningkatan kinerja. Pendidikan atau education dimaksudkan untuk memperbaiki pemahaman dengan memberikan pengetahuan bagi karyawan agar dapat lebih meningkatkan kualitas pekerjaa dibidang yang dikerjakan. Pendidikan juga termasuk didalamnya mencakup pengajaran dan praktek pengaplikasiannya terhadap aspek-aspek teoritis. Pendidikan dapat dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan biaya sekolah kepada karyawan dalam artian menyekolahkan karyawan atau merekomendasikan lembaga yang tepat guna menunjang karyawan meningkatkan kinerjanya. Namun disamping itu tidak sembarang perusahaan mau menyekolahkan karyawannya, hanya karyawan-karyawan yang berkompeten lah yang dapat diberikan karyawan serta karyawan yang berdedikasi tinggi untuk perusahaan. Sedangkan pelatihan atau training sendiri dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan karyawan dalam menjalankan suatu pekerjaan yang diberikan. Pelatihan pada dasarnya lebih mengutamakan praktek daripada teori. Tujuan diadakanya pelatihan sendiri selain untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan keterampilan juga sebagai pengalaman bagi para karyawan. Dari penelitian relevan yang dilakukan Agussaleh, Agusdin dan Hermanto (2020) dan penelitian dari Miftahuddin, Rahman dan Setiawan (2018) disebutkan bahwa pelatihan yang dilakukan di suatu perusahaan dapat dilakukan dengan on the jon training maupun off the job training. Hal ini sama hal nya dengan yang dijelasakan Samual (2017) pelatihan dalam upaya mengembangkan SDM untuk meningkatkan kinerja dapat di klasifikasikan kedalam 4 kegiatan yaitu: 1. On The Job Training Pelatihan ini dilakukan secara langsung ditempat kerja, dimana dalam pelatihan ini seseorang diminta untuk mempelajari pekerjaan itu dengan langsung mengerjakannya. Metode ini banyak dilakukan oleh banyak perusahaan, umumnya dilakukan oleh manajer atau karyawan lainnya. Adapun bentuk on the job training yaitu (1) Metode coaching (membimbing), dimana dalam metode ini seorang yang sudah berpengalaman dan sudah mendapatkan latihan yang selanjutnya ditugaskan untuk melatih karyawan. (2) Rotasi pekerjaan, dalam bentuk ini seorang calon karyawan pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya..(3) Tugas khusus, yang mana diberikan khusus pada karyawan yang berpengalaman langsung dengan pekerjaan tersebut. 2. Magang (Apprenticehsip) Apprenticehsip (magang), program ini biasanya mengkombinasikan on the job training dengan pengalaman sistem magang. Dalam jenis ini terdapat kegiatan-kegiatan didalamnya yaitu : (1) seorang karyawan dapat belajar dari karyawan yang lainnya yang jauh lebih berpengalaman dari dirinya, (2) coaching dalam hal ini adalah seorang pemimpin mengajarkan cara-cara kerja yang benar kepada bawahannya di tempat pekerjaan dan caracara yang diajarkan atasan, (3) karyawan yang telah dilatih dapat menjadi seorang ”asisten”, (4) menugaskan karyawan tertentu dapat dijadikan dalam berbagai panitia, sehingga mendapat pengalaman lebih banyak. 3. Classroom Method Model ini berbentuk pembelajaran di dalam kelas dengan menggunakan metode ceramah diskusi. Aktivitas pembelajaran pada umumnya berjalan sepihak yang instruktur aktif memberikan informasi atau pengetahuan kepada peserta. 4. Vestibule Model ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan terutama teknik. Artinya, harus menyediakan lokasi dan fasilitas khusus untuk berlatih, sehingga tidak mengganggu pekerjaan yang sebenarnya. Kompensasi Kompensasi merupakan sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai bentuk apresiasi dari usaha-usaha mereka dalam menjalankan suatu tugas dari pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan. Kompensasi beragam bentuknya. Kenaikan tunjangan atau upah yang diterima pegawai juga dapat diberikan oleh perusahaan dari lamanya seseorang bekerja di suatu perusahaan. Seperti yang di jelaskan dalam penelitian Tarigan dan Nasution (2014) kompensasi yang diberikan berupa upah atau gaji pokok, intensif, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya termasuk tunjangan anak dan istri, tunjangan hari raya serta jaminan masa tua yang dapat diberikan kepada karyawan. Telah banyak penelitian yang menganggap adanya kompensasi mempengaruhi hasil produktivitas kinerja. Kompensasi dapat meningkatnya kinerja, sebab dengan adanya kompensasi pegawai merasa puas dan usaha yang mereka lakukan dihargai perusahaan, dan mendapatkan keadilan akan hak mereka. Tidak hanya meningkatkan produktivitas kerja, kompensasi juga 102 Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa mempengaruhi dalam mempertahankan dan memperbaiki SDM dalam suatu perusahaan. Namun, kompensasi tidak serta merta diberikan, terdapat beberapa sistem kompensasi yang dapat menentukan seseorang layak mendapatkan kompensai yang diterima. Sistem itu diantaranya adalah Sistem prestasi dan sistem waktu. Banyak atau sedikitnya upah yang diperolah bergantung pada hasil yang dicapai dari waktu tugas yang dibebankan (Masram & Mu'ah, 2015). Misalkan, seseorang melakukan sesuatu pekerjaan dalam per-potong atau per-lembar nya dalam waktu sehari mereka mendapatkan hasil sebanyak 20 lembar, maka kompensasi dari prestasi ini lah dapat dihargai dengan memberikan bonus atas prestasi yang dilakukan. Perencanaan dan Pengembangan Karir Perencanaan merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelasakn suatu rencana dimasa mendatang. Perencanaan karir akan berhasil apabila seseorang memiliki tanggung jawab, serta memiliki keahlian dalam bidang tertentu. Tujuan adanya perencaan karir ini salah satunya adalah untuk membangun dan menggali potensi yang dimiliki karyawan. Menurut Masram dan Mu’ah (2017) suatu karir dapat mencapai keberhasilan apabila memiliki dua aspek, yang pertama yaitu kemampuan dan kemauan dan yang kedua yaitu keuletan yang bersumber dari suatu individu itu sendiri. maka suatu perencanaan juga membutuhkan pengembangan karir untuk meningkatkan produktivitas suatu kinerja. Pengembangan karir merupakan upaya dalam meningkatkan kemampuan seseorang dalam mewujudkan suatu keinginan yang diharapkan. Program pengembangan karir ini dapat menjadikan karyawan dalam memahami kebutuhan-kebutuhan internal dalam individu itu sendiri. Seperti dalam penelitian yang dilakukan Agussaleh, Agusdin dan Hermanto (2020) dan penelitian dari Miftahuddin, Rahman dan Setiawan (2018) perencannan dan pengembangan karir akan dapat terwujud apabila perusahaan juga mendukungnya. Masram dan Mu’ah (2017). Perusahaan dapat mendukung hal tersebut guna meningkatkan kinerja karyawannya dengan beberapa cara. Diantaranya adalah (1) melalui pendidikan karir, dalam hal ini perusahaan dapat memberikan lokakarya workshop atau seminar dalam hal pendidikan terhadap karyawannya. (2) informasi karir, dalam perusahaan pada bagian SDM adakalanya informasi karir ini diperlukan untuk membuat suatu prencanaan karir yang mana berkaitan dengan uraian dan spesifikasi kerjanya. (3) konseling dan bimbingan karir, adanya masalah yang dapat timbul baik dari dalam individu maupun dalam organisasi yang dapat menghambat jalannya karir tersebut. Maka, adanya konseling karir ini membantu karyawan dalam memecahkan suatu persoalan sehingga tidak menghambat karirnya. PENUTUP Simpulan Membangun sumber daya manusia penting dilakukan bagi setiap perusahaan. dengan adanya SDM perusahaan dapat meningkatkan kinerja para pegawai, memberbaiki SDM yang kurang tepat dan merancang strategi yang tepat untuk menciptakan sebuah organisasi dan mensejahterahkan civitas yang ada dalam perusahaan. Kinerja dapat ditingkatkan dengan beberapa cara dengan pengembangan sumber daya, diantaranya adalah melalui pendidikan dan pelatihan, pemberian kompensasi termasuk tunjangan kesehatan, anak, dan jaminan masa tua, serta dukungan perusahaan dengan merancang dan mengembangkan karir yang ingin dicapai agar produktivitas kinerja dapat membuahkan hasil yang diinginkan. Saran Untuk dapat mengembangkan sumber daya manusia setiap perusahaan sebaiknya wajib untuk menerapkan strategi dalam meningkatkan kinerja. Masih banyak ditemui bahwa perencanaan karir masih minim diterapkan dalam suatu perusahaan. Perusahaanperusahaan lebih mengedepankan adanya pelatihan atau training bagi setiap atasan dan bawahan dalam berbagai tujuan namun minim dengan adanya perencanaan dan pengembangan karir. Maka, sebaiknya setiap perusahaan melakukan perencanaan dan pengembangan karir. DAFTAR PUSTAKA Agussaleh, Agusdin, & Hermanto. (2020). Analisis Kebutuhan Pengembangan Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kinerja Pegawai Di Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram . Distribusi, 8(1), 53-66. Bukit, B., Malusa, T., & Rahmat, A. (2017). Pengembangan Sumber Daya Manusia (Teori, Dimensi Pengukuran, dan Implementasi dalam Organisasi). Yogyakarta: Zahir Publising. Masram, & Mu'ah. (2015). Manajemen Sumbr Daya Manusia . Sidoarjo: Zifatama Publisher. Masram, & Mu'ah. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia Profesional. Sidoarjo: Zifatama Publisher. 103 Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa Miftahuddin, Rahman, A., & Setiawan, A. I. (2018). Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan. Tadbir: Jurnal Manajemen Dakwah, 3(2), 01-16. DOI: 10.15575/tadbir. Mirsal. (2017). Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Batusangkar. Jurnal EKOBISTEK Fakultas Ekonomi, 6(2), 208-217. Priyono. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia. Sidoarjo: Zifatama Publisher. Samual, T. E. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Revisi. Surabaya: CV. R.A. De. Rozarie. Santia, T. (2020, Februari 5). Kemenperin: Pengembangan SDM adalah Prioritas Utama. Dipetik Mei 6, 2020, dari Liputan 6: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4171909/ke menperin-pengembangan-sdm-adalah-prioritasutama Tarigan, C. G., & Nasution, M. A. (2014). Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. PLN Cabang Binjai . Jurnal Administrasi Publik , 2(2), 146-153. Werner, J. M., & DeSimone, R. L. (2012). Human Resource Development 6e. Canada: Nelson Education, Ltd. Yusran, A. (2018). Analisis Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Bank BNI Cabang Utama Kendari. Jurnal Ilmu Managemen, 4(3), 1-11. 104 PERBEDAAN KETERLIBATAN KERJA DITINJAU DARI UNIT KERJA PADA KARYAWAN Phonny Aditiawan Mulyana Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surabaya, phonny.aditiyawan@fe.um-surabaya.ac.id Olievia Prabandini Mulyana Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, olieviaprabandini@unesa.ac.id Novia Anggraini Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya Abstrak Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan keterlibatan kerja ditinjau dari unit kerja pada karyawan. Metode yang digunakan berupa metode penelitian kuantitatif komparatif. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dengan subjek penelitian sejumlah 114 karyawan tetap dengan masa kerja minimal 1 tahun pada tiga unit kerja divisi produksi yakni PM 1, PM 2, dan PM 3. Instrumen dalam penelitian ini dikembangkan atas konsep keterlibatan kerja yang disusun menjadi skala keterlibatan kerja. Alat pengumpulan data pada unit kerja diperoleh melalui studi dokumen dari data karyawan perusahaan, sedangkan pada variabel keterlibatan kerja, alat pengumpulan datanya menggunakan teknik kuesioner. Teknik analisis data pada penelitian ini diolah dengan menggunakan pengujian one way anova. Berdasarkan hasil dari analisis data, bisa ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan keterlibatan kerja jika ditinjau dari unit kerja pada karyawan dengan signifikansi sebesar 0,041 (Sig. < 0,05). Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan keterlibatan kerja ditinjau dari unit kerja pada karyawan, diterima. Perbedaan keterlibatan kerja tersebut terjadi karena bentuk mesin, cara pengoperasian mesin, dan target hasil produksi. Kata Kunci: keterlibatan kerja, unit kerja, karyawan. PENDAHULUAN Era industri saat ini sedang berada pada penghujung masa 4.0 dan tengah bersiap untuk memasuki masa industri 5.0. Demi kemajuan perusahaan, menerapkan sikap kompetitif adalah cara yang efektif dalam bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang serupa. Adanya pergeseran masa dari industri 4.0 menjadi 5.0 disebabkan menurunnya tingkat kinerja karyawan saat menyelesaikan tugas. Hal ini karena penggunaan teknologi seperti komputer dalam mengendalikan pekerjaan, sehingga peran manusia semakin berkurang (Skobelev & Borovik, 2017). Meskipun demikian, perusahaan tetap harus memperhatikan kondisi karyawan ketika menyelesaikan pekerjaannya, dengan meningkatkan efisiensi dan kreativitas selama proses kerja (Istifadah & Tjaraka, 2017). Karyawan yang memiliki efisiensi dan kreativitas saat bekerja akan memudahkan perusahaan untuk menghadapi masa industri 5.0, karena akan menciptakan alur kerja dengan sistem cerdas pada penggabungan teknologi dan manusia (Navandi, 2019). Karyawan yang berkeinginan besar untuk meningkatkan diri dan betanggung jawab terhadap pekerjaannya adalah yang memiliki tingkat peran serta atau keterlibatan kerja tinggi (Abdallah et al., 2017). Kanungo, 1982; Lambert et al., 2018 menyatakan keterlibatan kerja adalah sikap saat bekerja yang timbul melalui kemampuan kognitif serta keyakinan individu ketika mengidentifikasi pekerjaannya secara psikologis, didorong dengan persepsi bahwa pekerjaannya tersebut memiliki potensi yang dapat memenuhi kebetuhan hidupnya. Ketika karyawan telah menganggap bahwa pekerjaannya menjadi sentral utama guna memenuhi setiap kebutuhannya, maka dapat menimbulkan keterikatan secara emosional terhadap pekerjaannya serta akan berpartisipasi secara aktif saat bekerja (Kanungo, 1982; Lambert et al., 2018). Beberapa karakteristik karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi telah dijelaskan oleh Cohen (2003). Karakteristik tersebut seperti peduli terhadap kondisi pekerjaan ataupun perusahaan, optimal dalam bekerja, berusaha untuk meminimalisir tingkat absensi, memiliki komitmen, serta memaksimalkan waktu saat bekerja. Adanya tingkat keterlibatan kerja yang tinggi pada karyawan, akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Fathurrohnman (2018) mengatakan bahwa ketika karyawan memiliki keterlibatan kerja yang tinggi maka perusahaan akan mengalami peningkatan terhadap kuantitas serta kualitas hasil produksi, selain itu meningkatnya efisiensi kerja karyawan. 105 Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini Namun ketika karyawan memiliki tingkat keterlibatan kerja yang rendah, maka perusahaan akan mengalami berbagai hambatan dalam mencapai hasil yang optimal karena menurunnya konsentrasi karyawan saat bekerja (Abdallah et al., 2017). Cohen (2003) menjabarkan beberapa karakteristik lain karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja rendah, yaitu tidak berkeinginan untuk bekerja keras serta kurangnya kepedulian terhadap pekerjaan. Penyebab terjadinya keterlibatan kerja yang rendah telah dikemukakan oleh Bolelli dan Durmus, 2017; Kanungo, 1982. Terdapat dua faktor pada keterlibatan kerja yakni faktor personal dengan atribut demografis dan psikologis, serta faktor situasional dengan atribut pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Atribut demografis pada faktor personal memiliki pengaruh yang besar terhadap keterlibatan kerja namun masih jarang diperhatikan (Bolelli & Durmus, 2017). Kanungo (1982) menjabarkan atribut demografis tersebut yakni mencakup perbedaan pada jenjang pendidikan terakhir, status pernikahan, jenis kelamin, umur, tingkat jabatan, bagian kerja, dan lama kerja. Pada bagian produksi di suatu perusahaan memiliki tiga bagian/unit kerja yaitu PM (Paper Machine) 1, PM (Paper Machine) 2, dan PM (Paper Machine) 3 dengan jenis pekerjaan yang masing-masing berbeda. Proses kerja pada ketiga unit sepenuhnya menggunakan alat yang berupa mesin namun bentuk dan cara mengoperasikan mesin tersebut berbeda-beda. Produk yang dihasilkan pada setiap unit juga berbeda, seperti kertas coklat, printing paper, newsprint paper, packaging paper, serta kertas daur ulang, yang terbagi ke dalam tiga unit tersebut. Hasil wawancara yang telah dilakukan pada studi pendahuluan dengan Human Resources Development di perusahaan tersebut, ditemukan bahwa dilihat secara grafik tingkat keterlibatan kerja pada setiap unit kerja memiliki perbedaan. Anggota dari PM 1 cenderung lebih antusias saat bekerja dan mengoptimalkan waktu yang dimilikinya untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal ini terjadi karena pada PM 1 memiliki jenis pekerjaan yang menuntut setiap anggotanya untuk selalu sigap dalam mengoperasikan mesin guna mencapai hasil yang optimal. Berdasarkan dari paparan latar belakang maka ditemukan tujuan penelitian ialah untuk mengetahui lebih dalam mengenai tingkat keterlibatan kerja jika ditinjau dari unit kerja pada karyawan. Apakah keterlibatan kerja pada PM 1 memang tergolong ke dalam kategori lebih tinggi dibandingkan unit yang lain dan sesuai dengan studi pendahuluan, atau nantinya justru kategori keterlibatan kerja pada setiap unit akan berbeda. Dengan demikian, peneliti mengangkat penelitian dengan judul “Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan”. METODE Jenis penelitian Penelitian ini berjenis penelitian kuantitatif, dengan data berupa angka-angka dan kemudian dilakukan analisis sesuai dengan prosedur statistik (Noor, 2015). Adapun jika dilihat dari analisis data yang digunakan, penelitian ini tergolong ke dalam penelitian komparatif dengan memiliki fokus utama ialah membandingkan antara dua atau lebih kondisi yang tengah diteliti, dan demikian akan diketahui apakah terdapat perbedaan atau tidak pada berbagai kondisi tersebut (Mundir, 2013). Subjek Penelitian Pada penelitian ini menggunakan penelitian populasi dengan subjek penelitian sebanyak 114 karyawan pada bagian produksi yang terdiri dari tiga bagian/unit kerja yaitu PM (Paper Machine) 1, PM (Paper Machine) 2, dan PM (Paper Machine) 3. Kriteria lain yang diberikan adalah masa kerja minimal 1 tahun dan merupakan karyawan tetap. Variabel penelitian Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel bebas yang merupakan unit kerja dan variabel terikat yang merupakan keterlibatan kerja. Definisi operasional dari unit kerja adalah bagian-bagian yang terbentuk sesuai dengan bentuk tugas. Unit kerja berisikan sekumpulan individu yang menjadi suatu kelompok, tim, ataupun regu dan saling melakukan kerjasama dalam menyelesaikan tugas tertentu. Sedangkan definisi operasional dari keterlibatan kerja adalah sikap terhadap pekerjaan melalui adanya kemampuan kognitif dan keyakinan individu dalam mengidentifikasi secara psikologis terhadap pekerjaan dan mempersepsikan pekerjaannya memiliki potensi dalam memenuhi setiap kebutuhan. Aspek keterlibatan kerja terdiri dari kemampuan identifikasi, keterikatan emosional, dan partisipasi pada pekerjaan. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data pada unit kerja di peroleh dari studi dokumen dari data karyawan perusahaan. Sedangkan pada variabel keterlibatan kerja, alat pengumpulan datanya menggunakan teknik kuesioner. Peneliti melakukan penyebaran angket yang berisi kumpulan pernyataan-pernyataan tertulis kepada subjek (Sugiyono, 2012). Instrumen yang berupa skala 106 Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini dikembangkan dari konsep keterlibatan kerja menurut Kanungo, 1982; Lambert et al., 2018, dengan tiga aspek utama yaitu identifikasi, keterikatan emosional, dan berpartisipasi secara aktif. Hasil uji coba yang dilakukan pada skala keterlibatan kerja di peroleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,912 yang tergolong ke dalam kategori sangat reliabel, sedangkan daya beda aitem memiliki nilai 0,303 sampai dengan 0,817 dan mmenghasilkan jumlah aitem yang valid sebanyak 28 dari total 36 aitem. Analisis Data Setelah memperoleh data dari hasil penyebaran angket, selanjutnya peneliti melakukan analisis data menggunakan uji komparasi atau uji beda. Teknik analisis yang dipilih untuk digunakan pada penelitian ini adalah one way anova dengan dibantu oleh program JASP (Jefferys’s Amazing Statistics Program) versi 0.13.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian homogenitas dengan menggunakan test for equality of variance ditemukan nilai signifikansi sebesar 0,060, oleh karena nilai signifikansi besar dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data telah memiliki sifat yang homogen. Ketika data telah memenuhi syarat homogenitas, dengan demikian dapat melanjutkan pengujian anova. Tabel 1. Anova Keterlibatan Kerja Cases unit kerja Residuals Sum of Squares df Mean Square 1154.796 2 19451.669 111 F p η² 577.398 3.295 0.041 0.056 175.240 Note. Type III Sum of Squares Tabel anova dari variabel keterlibatan kerja ditemukan nilai signifikansi sebesar 0,041 yang menunjukkan nilai tersebut kurang dari 0,05 dengan nilai F sebesar 3,295. Dari hasil tersebut bisa dikatakan bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan keterlibatan kerja pada karyawan di masing-masing unit kerja, yaitu PM 1, PM 2, dan PM 3. Selain itu ditemukan nilai eta squared (η²) sebesar 0,056, yang bermakna bahwa sebesar 5,6% pengaruh yang diberikan unit kerja terhadap keterlibatan kerja. Dalam mengetahui bagaimana keterlibatan kerja pada tiap unit kerja, maka dilakukan pengujian deskriptif terhadap variabel keterlibatan kerja sebagai berikut: Tabel 2. Statistik Deskriptif Unit Kerja Mean SD N PM 1 102.000 11.981 37 PM 2 107.281 15.796 32 PM 3 99.467 12.200 45 Tabel statistik deskriptif di atas menunjukkan bahwa karyawan pada PM 2 memiliki keterlibatan kerja yang lebih tinggi daripada unit yang lain, kemudian PM 1 dengan keterlibatan kerja karyawan cukup, dan PM 3 yang menampilkan keterlibatan kerja karyawan lebih rendah dibandingkan yang lainnya. Setelah mengetahui bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan keterlibatan kerja karyawan pada tiap unit kerja, maka selanjutnya melakukan analisis untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pada tiaptiap unit yang dilakukan dengan menggunakan pengujian post hoc comparisons sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Post Hoc Comparisons 95% CI for Mean Difference Mean Lowe Uppe SE t p tukey Difference r r PM PM, ,1 2 PM, 3 PM PM, ,2 3 3.19 0.22 1.65 -5.281 12.87 2.310 6 8 3 3 2.93 0.86 0.66 2.533 -4.446 9.512 8 2 5 15.08 3.06 2.55 0.03 7.815 0.543 * 6 1 3 2 * p < .05 Note. P-value and confidence intervals adjusted for comparing a family of 3 estimates (confidence intervals corrected using the tukey method). Hasil yang ditemukan pada pengujian post hoc comparisons, yaitu pada PM 1 dan PM 2 tidak ditemukan adanya perbedaan karena nilai signifikansi sebesar 0,228 yang berarti lebih besar dari 0,05. Selanjutnya, pada PM 1 dan PM 3 juga tidak terdapat perbedaan karena nilai signifikansi sebesar 0,665 dan lebih besar dari 0,05. Namun, pada PM 2 dan PM 3 terdapat perbedaan yang signifikan sebesar 0,032, dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05. Pembahasan Berlandaskan analisis terhadap data yang dimiliki, maka hipotesis yang berbunyi “terdapat perbedaan keterlibatan kerja ditinjau dari unit kerja pada karyawan” dapat diterima. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan keterlibatan kerja jika ditinjau dari unit kerja yaitu PM 1, PM 2, PM 3. Dilakukan kepada 114 karyawan produksi dan dianalisis menggunakan uji one way 107 Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini anova, yang menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,041 (Sig. < 0,05). Unit kerja ini dibedakan berdasarkan bentuk mesin, cara pengoperasian mesin tersebut, serta hasil produksi. Dengan demikian jenis pekerjaan pada masing-masing unit memiliki perbedaan. Masing-masing unit kerja memiliki jenis pekerjaan yang berbeda-beda, Arini dan Dwiyani (2015) mengatakan bahwa jenis pekerjaan terbagi menjadi dua, yakni monoton dan tidak monoton. Pekerjaan monoton adalah pekerjaan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya pembaruan, sedangkan pekerjaan tidak monoton adalah pekerjaan yang berbeda dan membutuhkan kreativitas lebih. Pengujian statistik deskriptif yang telah dilakukan, ditemukan kategori keterlibatan kerja karyawan pada setiap unit, yang mana karyawan dengan keterlibatan kerja tinggi berada pada PM 2, cukup berada pada PM 1, sedangkan rendah berada pada PM 3. Hal tersebut disebabkan karena pada PM 2 karyawan dituntut untuk bisa lebih kreatif dalam melakukan pemilihan warna ataupun ketebalan kertas sesuai yang dibutuhkan, sehingga setiap harinya karyawan tidak mudah merasa jenuh saat bekerja. Kemudian pada PM 1, bentuk mesin yang digunakan masih bersifat manual, sehingga karyawan harus lebih proaktif dan tanggap dalam menyelesaikan tuntutan pekerjaan dengan mengoperasikan mesin dengan optimal. Sedangkan pada PM 3, telah menggunakan mesin yang secara keseluruhan dioperasikan oleh komputer dan karyawan hanya bertugas dalam memantau bagaimana mesin yang sedang berproses melalui komputer, sehingga peluang karyawan merasa mudah jenuh saat bekerja cenderung lebih besar. Berkesinambungan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sethi (2016), yang mengatakan bahwa ketika individu tidak terlibat dan berpartisipasi secara aktif di dalam organisasi dan pekerjaannya, maka individu tersebut akan menganggap pekerjaannya adalah hal yang tidak penting bagi kelangsungan hidup dan harga dirinya. Hal tersebut akan berdampak negatif terhadap perusahaan, karena kinerja yang diberikan karyawan saat bekerja mengalami penurunan. Berpartisipasi aktif sendiri merupakan salah satu aspek dari keterlibatan kerja menurut Kanungo, 1982; Lambert et al., 2018. Aspek termasuk sebagai cerminan dari variabel, dengan demikian berpartisipasi aktif juga menjadi cerminan dari variabel keterlibatan kerja. Nilai dari variabel akan mengalami penurunan jika salah satu dari aspek diketahui mengalami penurunan. Penelitian yang dilakukan ini memiliki suatu batasan, dimana pengukuran hanya dilakukan pada apakah terdapat perbedaan keterlibatan kerja yang ditinjau dari unit kerja pada karyawan. Hasil penelitian yang diperoleh, belum dapat dipastikan mampu menggeneralisir setiap unit kerja dibagian produksi pada setiap perusahaan. Selain itu, terdapat faktorfaktor lainnya dalam mempengaruhi tingkat keterlibatan kerja pada karyawan seperti faktor yang telah dikemukakan oleh Bolelli dan Durmus, 2017; Kanungo, 1982. PENUTUP Simpulan Sesuai dengan hasil analisis terhadap data yang telah diperoleh, diketahui terdapat perbedaan keterlibatan kerja ditinjau dari unit kerja pada karyawan, dengan besarnya signifikansi yakni 0,041 dimana kecil dari 0,05. Jika dicari perbedaan berdasarkan setiap unit kerja yang ada, ditemukan bahwa pada PM 1 dan PM 2 tidak terdapat perbedaan, begitupun PM 1 dan PM 3 yang tidak terdapat perbedaan, namun pada PM 2 dan PM 3 terdapat perbedaan yang signifikan sebesar 0,032 (p < 0,05). Perbedaan keterlibatan kerja yang terjadi pada setiap unit, didasarkan atas perbedaan bentuk mesin, cara dalam mengoperasikan mesin, serta hasil produksi. Saran Terdapat saran yang bisa diberikan kepada pihak-pihak terkait berdasarkan hasil dari analisis terhadap data yang diperoleh, yakni: 1. Bagi perusahaan Perusahaan diharapkan dapat melakukan evaluasi secara berkala terkait keterlibatan kerja pada karyawan bagian produksi, dengan memberikan kegiatan ataupun tugas yang melibatkan karyawan secara langsung saat bekerja sehingga keterlibatan kerja yang dimiliki karyawan pun akan semakin meningkat. 2. Bagi peneliti lanjutan Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan pengembangan terhadap penelitian ini, dengan menjadikan faktor keterlibatan kerja yang lain sebagai variabel peninjau ataupun memberikan variabel tambahan serta mengubah jenis penelitian agar menjadi lebih bermanfaat dan menarik. Selain itu, diharapkan dapat mencakup populasi dengan lebih luas, sehingga informasi yang akan diperoleh menjadi lebih autentik. DAFTAR PUSTAKA Abdallah, A. B., Obeidat, B., Aqqad, N. O., Janini, M. N. K., & Dahiyat, S. E. (2017). An Integrated 108 Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini model of job involvement, job satisfaction and organizational commitment: A structural analysis in Jordan’s banking sector. Communication and Network, 9(1), 28–53. Arini, S. Y., & Dwiyani, E. (2015). Analisis faktor yang berhubungan dengan terjadinya kelelahan kerja pada pengepul tol di perusahaan pengembangan jalan tol Surabaya. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 4, 113–122. Bolelli, M., & Durmus, B. (2017). Work attitude influencing job involvement among “Y” generation. International Journal of Commerce and Finance, 3(1), 1–11. Cohen, A. (2003). Multiple commitments in the workplace: An integrative approach (1st ed.). Lawrence Erlbaum Associates. Fathurrohnman, A. (2018). Pengaruh keterlibatan kerja dan stres terhadap kinerja guru SMK swasta Kecamatan Matraman Jakarta Timur. Jurnal Susunan Artikel Pendidikan, 3(1), 10–17. Istifadah, N., & Tjaraka, H. (2017). Kreativitas dan inovasi pada industri kreatif untuk meningkatkan daya saing dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Conference on Management and Behavioral Studies, 89–99. Kanungo, R. N. (1982). Work alienation: An integrative approach. Praeger Publishers. Lambert, E. G., Qureshi, H., Frank, J., Klahm, C., & Smith, B. (2018). Job stress, job involvement, job satisfaction, and organizational commitment and their associations with job burnout among Indian police officers: A research note. Journal of Police and Criminal Psychology, 33(85), 1–15. Mundir. (2013). Statistik pendidikan: Pengantar analisis data untuk penulisan skripsi dan tesis. Pustaka Pelajar. Navandi, S. (2019). Industry 5.0 – A human-centric solution. Sustainability, 11(16), 1–13. Noor, J. (2015). Metodologi penelitian: Skripsi, tesis, disertasi, dan karya ilmiah. Prenadamedia. Sethi, A. (2016). A study of job involvement among senior secondary school teachers. International Journal of Applied Research, 2(2), 205–209. Skobelev, P. O., & Borovik, S. Y. (2017). On the way from industry 4.0 to industry 5.0: From digital manufacturing to digital society. International Scientific Journal “Industry 4.0,” 2(6), 307–311. Sugiyono. (2012). Metode penelitian kombinasi. Alfabeta. 109 HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DENGAN INNOVATIVE WORK BEHAVIOR PADA RELAWAN STREET CHILDREN FOUNDATION SIDOARJO Vivin Faizatul Marita Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, vivin.17010664012@mhs.unesa.ac.id Dinarayu Aldililla Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, dinarayu.17010664022@mhs.unesa.ac.id Abstrak Komitmen organisasi merupakan suatu kondisi psikologis yang mengikat individu pada organisasi yang diikuti. Dengan memiliki komitmen pada organisasi, seseorang dapat melakukan kreativitas atau inovasi untuk mengembangkan organisasi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasi dengan innovative work behavior pada relawan komunitas non-proft berbasis sosial-pendidikan, Street Children Foundation, di Sidoarjo. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Penelitian ini melibatkan 54 orang sebagai responden yang terdiri dari pengurus inti dan anggota yang tergabung dalam komunitas Street Children Foundation. Hasil dari penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara kedua variabel dengan nilai signifikansi 0,034 < 0,05 (p < 0,05). Nilai korelasi r = 0,288 yang lebih besar dari r tabel pada ukuran sampel 54 dan taraf signifikansi 0,05 yaitu r = 0,268 (0,288 > 0,268) juga menunjukan adanya hubungan dengan kekuatan rendah antara komitmen organisasi dengan innovative work behavior pada sampel yang diuji. Hubungan ini dapat dikarenakan oleh identifikasi relawan dengan budaya serta tujuan organisasi untuk memberikan pendidikan yang menarik dan mendukung berkembangnya innovative work behavior. Kata Kunci: Komitmen organisasi, Innovative work behavior PENDAHULUAN Bekerja secara kreatif dan inovatif merupakan sikap yang dibutuhkan oleh seorang tenaga pendidik, baik yang bekerja di institusi pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran dalam pendidikan bersifat menantang, menyempurnakan dan meningkatkan pemahaman peserta didik mengenai konsep-konsep yang luas dan terus berkembang. Menurut Must, Jacques, Dallal, Bajema, dan Dietz (dalam Naz & Murad, 2017) format tradisional dalam pembelajaran hanya membuat siswa berkonsentrasi pada indikator-indikator yang dangkal, namun mengabaikan pembelajaran aktif yang mendalam. Hal tersebut dapat mengurangi keterlibatan aktif peserta didik dalam proses pembelajaran. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, desain pembelajaran di era sekarang menerapkan desain yang berpusat pada peserta didik agar dapat lebih mengembangkan potensi mereka. Pembelajaran aktif ini melibatkan peserta didik yang memperoleh pengetahuan melalui interaksi dengan pendidik maupun dengan sesama peseerta didik (Naz & Murad, 2017). Sehingga, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang beragam untuk mengembangkan kemampuan kognitif maupun sosialnya dalam ruang belajar, seorang pendidik perlu melakukan rekonstruksi metode pengajaran yang akan membuat ruang belajar menjadi lebih menarik dan meningkatkan keterlibatan peserta didik. Hal tersebut dapat dicapai dengan menerapkan pengajaran inovatif yang berbeda dan strategi serta metode mengajar yang berbeda pula. Penerapan cara mengajar yang inovatif berarti menggunakan praktik pengajaran untuk mendorong kreativitas dan penerapan inovasi selama pengajaran yang penting diterapkan agar peserta didik dapat mencapai potensi yang dimiliki (Kalyani & Rajasekaran, 2018). Pendidik yang mampu menerapkan bekerja secara kreatif, menyumbangkan ide dan mampu memberikan hasil positif bagi organisasi tempat mereka bekerja seperti menerapkan cara mengajar yang inovatif menunjukkan adanya penerapan innovative work behavior dalam melakukan pekerjaan dan tugasnya (Baharuddin, Masrek, & Shuhidan, 2019). Innovative work behavior merujuk pada penciptaan ide-ide baru yang disengaja, hingga pegenalan ddan penerapannya dalam organisasi maupun pekerjaan yang dilakukan sehingga terdapat peningkatan dalam performa individual dalam bekerja maupun performa kelompok atau organisasi (Janssen, 2000). Innovative work behavior melibatkan kreativitas dalam prosesnya dan bagiamana ide kreatif tersebut diimplementasikan untuk mencapai suatu keuntungan dalam pekerjaan yang dilakukan (de Jong & den Hartog, 2010). 110 Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla Mendorong terwujudnya inovasi dalam lingkungan organisasi ini penting untuk memastikan efektivitas, pertumbuhan, dan pengembangan berkelanjutan dalam organisasi, baik organisasi profit maupun non-profit atu organisasi berukuran besar maupun kecil (Battistelli, Odoardi, Vandenberghe, Di Napoli, & Piccone, 2019). Proses innovative work behavior yang dilakukan oleh seorang individu dalam tugas yang dilakukannya meliputi pembuatan ide (pembuatan ide yang baru dan bermanfaat), promosi ide (membangun koalisi pendukung yang mampu memberikan kekuatan yang diperlukan untuk implementasi ide), dan realisasi ide atau menghasilkan model dari ide inovatif yang dirumuskan agar dapat diterapkan dalam proses kerja individu dalam organisasi atau organisasi itu sendiri (Janssen, 2000). Terdapat beberapa faktor yang dapat mepengaruhi innovative work behavior individu dalam melakukan pekerjaannya. Dalam perspektif individual, faktorfaktor dalam diri individu yang dapat memengaruhi innovative work behavior meliputi kompetensi yang dimiliki oleh individu (kapabilitas kognitif dan keterampilan interpersonal, keterampilan kolaborasi, keterampilan komunikasi, dan lain sebagainya), efikasi diri, motivasi, komitmen (Siregar, Suryana, Ahman, & Senen, 2019). Dalam kerangka yang disusun oleh Siregar, Suryana, Ahman, dan Senen (2019), kompetensi individu, efikasi diri, dan motivasi memiliki pengaruh pada komitmen individu terhadap organisasi dan komitmen organisasi ini dapat memengaruhi innovative work behavior. Menurut Allen dan Meyer (dalam Battistelli, Odoardi, Vandenberghe, Di Napoli, & Piccone, 2019), komitmen organisasi sendiri adalah suatu kondisi atau keadaan psikologis yang mengikat individu pada organisasinya. Individu dengan komitmen organisaisi yang tinggi akan melihat dirinya sebagai bagian dari organisasinya sehingga mampu mengesampingkan hal-hal yang buruk dalam organisasi dan tetap bertahan dalam organisasi tersebut (Griffin, Phillips, & Gully, 2017). Three-Component Model dari komitmen organisasi yang dirumuskan oleh Allen dan Meyer (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002) menyebutkan bahwa terdapat tiga komponen yang menyusun komitmen organisasi. Komponen pertama yaitu komitmen afektif atau affective commitment membahas mengenai keterikatan emosional terhadap organisasi, keterlibatan dalam organisasi, dan identifikasi terhadap organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Komponen komitmen selanjutnya adalah komitmen kelanjutan atau continuance commitment yaitu “harga” yang harus dibayarkan, baik secara finansial maupun emosional, apabila individu memilih meninggalkan organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Komponen yang terakhir adalah komitmen normatif atau normative commitment yang mencerminkan persepsi tentang kewajiban untuk tetap bertahan dalam organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Menurut Allen dan Meyer, setiap komponen tersebut dapat dibedakan dan dapat memberikan hasil korelasi yang berbeda ketika dikaitkan dengan variabel lain, dengan komitmen afektif yang paling banyak berkorelasi positif dengan performa individu maupun organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yesil, Sözbilir, dan Akben (2012), dimana diketahui bahwa bahwa komitmen afektif memiliki hubungan yang positif dengan perilaku inovatif infividual maupun perilaku inovatif dalam organisasi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bawuro, Danjuma, dan Wajiga (2018) juga menemukan bahwa komitmen afektif dalam organisasi memiliki pengaruh terhadap innovative work behavior pada guru sekolah menengah pertama. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Allen dan Meyer (1990) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara komitmen organisasi dan orientasi peran pada anggota organisasi yang baru bergabung selama enam bulan. Hasil tersebut mendukung penelitian lain yang dilakukan oleh Jones yang menyimpulkan bahwa anggota baru yang mengembangkan komitmen kuat untuk organisasi mungkin tidak cukup inovatif dalam melakukan perannya dan mereka yang inovatif mungkin tidak cukup berkomitmen (Allen & Meyer, 1990). Faktor lain yang berhubungan dan berpengaruh dengan komitmen organisasi secara keseluruhan juga beragam. Kajian yang dilakukan oleh Joiner dan Bakalis (2006) menemukan bahwa perceived organizational support berupa dukungan dari atasan dan rekan kerja, akses terhadap sumber daya untuk melakukan tugasnya, dan kejelasan peran dalam organisasi dapat memengaruhi secara positif terhadap komitmen organisasi individu. Selain itu, penelitian oleh Bahrami, Barati, Ghoroghchian, Montazeralfaraj, Ezzatabadi (2016) menemukan bahwa variabel yang berhubungan dengan komitmen organisasi adalah iklim organisasi atau bagaimana individu menilai lingkungan organisasi tempatnya bekerja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dwivedi, Kaushik, dan 111 Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla Luxmi (2014) menunjukkan hasil bahwa budaya dalam organisasi memiliki pengaruh yang positif terhadap komitmen organisasi, pengaruh ini berkaitan dengan identifikasi anggota terhadap organisasi yang merupakan hasil dari serangkaian kebijakan yang dirancang dengan cermat dalam pola budaya organisasi. Berdasarkan kajian literasi yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa komitmen anggota terhadap organisasi dapat menjadi faktor dari dilakukannya innovative work behavior oleh anggota tersebut apabila terdapat syarat yang dipenuhi, seperti telah cukup lama berada dalam organisasi. Di sisi lain, terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan munculnya komitmen organisasi, seperti budaya dalam organisasi. Hal tersebut memunculkan pertanyaan apakah hasil yang sama akan muncul pada organisasi dimana peraturan dan sosialisasi di dalamnya membentuk pola budaya yang tidak mengikat anggota untuk tetap berada dalam organisasi. Salah satunya adalah Street Children Foundation di Sidoarjo. Komunitas ini adalah suatu komunitas sosial yang begerak di bidang pendidikan informal untuk anak jalanan di Sidoarjo. Komunitas ini mengumpulkan anggotanya yang secara sukarela menjadi relawan sebagai pendidik dalam kegiatan organisasi, tanpa ada peraturan yang mengikat para relawan untuk secara terus-menerus menjadi anggota. Peraturan tersebut menimbulkan budaya yang lebih fleksibel terkait permasalahan keanggotaan dalam komunitas yang berpotensi memiliki peran pada pembentukan komitmen relawan terhadap organisasi. Di sisi lain, meskipun tidak ada peraturan khusus yang mengikat keanggotaan para relawan, komunitas ini tetap menuntut adanya inovasi para relawan untuk diimplementasikan selama memberikan pembelajaran, baik materi akademik maupun non-akademik, kepada anak jalanan yang tergabung sebagai peserta didik dalam suatu kelas nonformal. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasi dengan innovative work behavior pada relawan komunitas Street Children Foundation Sidoarjo. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi. Penelitian kuantitatif sendiri merupakan penelitian yang dilakukan menggunakan instrumen yang valid maupun terstandarisasi dimana data numerik yang dikumpulkan akan dianalisis menggunakan teknik statistik untuk menjawab hipotesis penelitian (Jannah, 2018). Lebih lanjut, penelitian korelasi adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antar variabel yang diuji (Jannah, 2018). Variabel dalam penelitian merupakan konstruk yang memiliki sifat bervariasi dan variasi tersebut memiliki nilai yang akan diteliti (Jannah, 2018). Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu komitmen organisasi dan innovative work behavior. Dalam penelitian ini, variabel komitmen organisasi adalah variabel terikat dan innovative work behavior adalah variabel bebas. Berdasarkan uraian tersebut, maka ditentukan bahwa hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan antara komitmen organisasi dengan innovative work behavior pada relawan komunitas Street Children Foundation Sidoarjo. Komitmen organisasi adalah tingkat keterlibatan dan identifikasi individu terhadap komunitas yang akan diukur menggunakan versi terjemahan bahasa Indonesia dari Organizational Commitment Scale yang dikembangkan oleh Allen dan Meyer (1990) dan terdiri atas 18 aitem. Berdasarkan uji coba skala, diketahui bahwa satu aitem dinyatakan gugur karena memiliki koefisien validitas di bawah 0,300 (aitem tersebut memiliki koefisien α = 0.107). Hal tersebut membuat skala yang digunakan terdiri atas 17 aitem dengan rentang skor 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju), dimana semakin tinggi skor maka semakin tinggi pula tingkat komitmen individu pada komunitas. Innovative work behavior adalah frekuensi perilaku individu dalam proses pembuatan, penerapan, dan peninjauan kembali dari ide-ide inovatif selama bertugas dalam organisasi yang akan diukur menggunakan versi terjemahan bahasa Indonesia dari Innovative Work Behavior Scale yang dikembangkan oleh Janssen (2000) dan terdiri atas 9 aitem dengan tipe skala likert dari skor 1 (tidak pernah) hingga 7 (selalu), dimana semakin tinggi skor maka semakin tinggi pula frekuensi penerapan perilaku inovatif selama di lingkungan kerja komunitas. Seluruh aitem menunjukkan nilai validitas dan reliabilitas yang baik. Kedua skala tersebut berbentuk self-report. Metode self-report digunakan untuk mendapatkan data mengenai komitmen organisasi karena variabel ini merupakan salah satu bentuk dari variabel yang mengukur penilaian subjektif masing-masing individu, atau disebut pula subjective attitudinal variable (Jex, 2002). Di sisi lain, metode self-report juga dipilih untuk mengetahui innovative work behavior karena 112 Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla pekerja itu sendiri yang mengetahui perilaku inovatif yang telah dilakukan, baik yang terlihat oleh atasan maupun tidak terlihat oleh atasan, sehingga mampu merekam lebih banyak perilaku inovatif yang telah dilakukan dan menghindari bias yang mungkin terjadi apabila skala diisi oleh atasan atau observer (Jenssen, 2000; Mumford & Todd, 2020). Sumber data didapatkan dari kedua skala yang dibagikan menggunakan pembagian angket elektornik. Angket elektronik dibagikan melalui grup media sosial komunitas Street Children Foundation (SCF) agar dapat diakses oleh subjek. Subjek penelitian ini adalah relawan yang tergabung dalam komunitas Street Children Foundation (SCF) Sidoarjo, yang terdiri dari pengurus inti dan anggota. Seluruh relawan berjumlah 54 orang dengan sejumlah 17 orang termasuk ke dalam pengurus inti yang terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, koordinator divisi pendidikan dan empata anggota utama, koordinator divisi hubungan masyarakat dan dua anggota utama, koordinator divisi dana usaha dan tiga anggota utama, dan koordinator divisi sumber daya manusia dengan satu anggota utama. Penelitian ini menerapkan teknik sampling jenuh untuk menetapkan subjek penelitian. Teknik sampling jenuh sendiri merujuk pada teknik penentuan sample dimana populasi relatif berukuran kecil sehingga seluruh anggota populasi digunakan untuk menjadi sample penelitian (Wagiran, 2019). Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data statistik. Dalam melakukan uji hipotesis secara statistik, data kuantitatif yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik uji statistik korelasi. Uji statistik tersebut akan dilakukan untuk menentukan apakah hipotesis dari penelitian ini akan diterima atau ditolak. Setelah menentukan hal tersebut berdasarkan hasil uji statistik, hasil yang didapatkan akan dibahasa menggunakan literatur tentang innovative work behavior dan komitmen organisasi yang telah dikumpulkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan sampling jenuh dimana seluruh anggota dalam populasi yang berukuran kecil akan digunakan untuk menjadi subjek penelitian. Berdasarkan dasar tersebut, maka kedua skala yang digunakan dibagikan kepada seluruh relawan Street Children Foundation Sidoarjo berjumlah 54 relawan yang bersedia untuk menjadi responden dan menjawab kuesioner yang dibagikan. Hal tersebut membuat jumlah subjek penelitian ini adalah sejumlah 54 orang (N = 54). Rata-rata usia relawan berkisar pada rentang 19 tahun hingga 26 tahun, sejumlah 3 relawan berusia di bawah 19 tahun dan sejumlah 14 relawan memiliki usia di atas 26 tahun. Sejumlah 17 orang pengurus inti telah mengisi kuesioner yang dibagikan dan sejumlah 37 orang anggota juga bersedia untuk mengisi kuesioner yang dibagikan. Berdasarkan hasil skala innovative work behavior yang dibagikan, diketahui bahwa rata-rata skor perilaku inovatif seleama bertugas dari relawan Street Children Foundation Sidoarjo adalah sebesar 41,5 dari skor maksimal 63. Sedangkan, rata-rata skor yang diperoleh dari skala komitmen organisasi adalah sebesar 56,9 dari skor maksimal 85. Rata-rata skor untuk komitmen afektif adalah sebesar 22,9 dari skor maksimal 30, rata-rata skor untuk komitmen berkelanjutan adalah sebesar 16,01 dari skor maksimal 30, dan rata-rata skor untuk komitmen normatif adalah sebesar 20,3 dari skor maksimal 30. Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov menggunakan program IBM SPSS Statistics 24, diketahui bahwa data dari variabel innovative work behavior memiliki taraf signikansi sebesar p = 0,175 (p ≥ 0,05) dan nilai variabel komitmen organisasi memiliki taraf signifikansi sebesar p = 0,200 (p ≥ 0,05). Berdasarkan asumsi bahwa data akan akan dinyatakan berdistribusi normal apabila nilai probabilitas ≥ 0,05 (Gunawan, 2016), maka dapat disimpulkan bahwa data dari kedua variabel yang diperoleh merupakan data dengan distribusi normal. Dikarenakan kedua data yang digunakan memiliki distibusi yang normal, maka uji statistik untuk pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan uji korelasi parametrik yaitu uji korelasi Pearson product moment. Pengambilan keputusan menggunakan uji korelasi Pearson berdasarkan pada kekuatan korelasi dan jumlah sampel (Baarda, Martijn, & van Dijkum, 2004). Apabila nilai r semakin mendekati angka +1 akan menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan (Baarda, Martijn, & van Dijkum, 2004). Korelasi yang positif menunjukkan apabila salah satu variabel meningkat maka variabel lainnya juga akan meningkat, sedangkan korelasi yang negatif menunjukkan bahwa apabila salah satu variabel meningkat maka skor variabel lainnya akan turun (Norris, Qureshi, Howitt, & Cramer, 2013). Berikut adalah hasil penghitungan uji korelasi Pearson untuk variabel komitmen organisasi dan innovative work behavior dalam penelitian ini: 113 Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla Tabel 1. Hasil Uji Korelasi Pearson Keterangan Komitmen IWB - Hasil Uji Korelasi Koefisien Nilai Korelasi Pearson Signifikansi (r) 0,288* 0,034 *korelasi signifikan pada level signifikansi 0,05 (2-tailed) Berdasarkan hasil dan pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel dengan nilai signifikansi 0,034 < 0,05 (p < 0,05). Nilai korelasi r = 0,288 yang lebih besar dari r tabel pada ukuran sampel 54 dan taraf signifikansi 0,05 yaitu r = 0,268 (0,288 > 0,268) juga menunjukan adanya hubungan antara dua variabel yang diuji. Nilai r = 0,288 berada pada rentang nilai 0,25 dan 0,34, menurut Spickard (2017) nilai ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi antara komitmen organisasi dan innovative work behavior merupakan korelasi yang lemah (weak correlation). Korelasi yang rendah menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel tetap penting meskipun tidak terlalu signifikan (Spickard, 2017). Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk memprediksi peningkatan pada satu variabel apabila variabel yang lain juga meningkat akan cenderung rendah. Berdasarkan uraian di atas, uji korelasi ini mendukung hipotesis penelitian ini. Dengan demikian, diketahui bahwa hipotesis mengenai terdapat hubungan antara komitmen organisasi dengan innovative work behavior pada relawan Street Children Foundation Sidoarjo dapat diterima. Hubungan antara kedua variabel adalah 2-tailed atau dua sisi yang menunjukkan hubungan tidak berarah. Angka koefisien korelasi Pearson yang merupakan angka positif menunjukkan bahwa hubungan yang muncul antara komitmen organisasi dan innovative work behavior adalah hubungan positif, dimana apabila nilai komitmnen organisasi meningkat maka nilai innovative work behavior yang ditunjukkan juga akan meningkat dan begitu pula sebaliknya. Apabila hasil nilai komitmen organisasi meningkat, maka nilai innovative work behavior juga akan meningkat ini mendukung kerangka konseptual yang disusun oleh Siregar, Suryana, Ahman, dan Senen (2019), bahwa komitmen individu terhadap organisasi dan komitmen organisasi ini dapat memengaruhi innovative work behavior. Dalam hal ini, anggota organisasi yang memiliki komitmen akan merasa menjadi bagian dari organisasi dan berusaha untuk mencapai tujuan organisasi tersebut (Siregar, Suryana, Ahman, & Senen, 2019). Upaya dalam mencapai tujuan organisasi ini yang memungkinkan anggota untuk menerapkan inovasi dalam melakukan pekerjaan atau tugasnya. Dalam bidang pendidikan, komitmen yang dapat mendorong kesediaan untuk melakukan perilaku inovatif tersebut adalah pemahaman pendidik sebagai seorang professional yang peduli dan berdedikasi dalam melakukan tugasnya. Komitmen tersebut dapat dibentuk melalui peraturan dan kebijakan dalam organisasi yang mendukung dan memberikan kesempatan bagi partisipasi pendidik untuk menerapkan perilaku inovatif selama bertugas (Henkin & Holliman, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun komunitas memberikan fleksibilitas keanggotaan pada para relawan, komitmen tetap dapat terbentuk melalui identifikasi relawan terhadap tujuan organisasi untuk memberikan pembelajaran yang menarik pada anak jalanan yang merupakan peserta didik dalam komunitas ini. Kondisi tersebut dapat memfasilitasi relawan dalam Street Children Foundation untuk menerapkan perilaku kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik untuk anak jalanan. Ditinjau dari sisi komponen komitmen organisasi, komponen komitmen afektif memiliki hubungan yang paling signifikan dengan innovative work behavior dibandingkan komponen lain dengan nilai r = 0,395. Hal tersebut mendukung hasil penelitian lain seperti penelitian Yesil, Sözbilir, dan Akben (2012) yang menemukan bahwa komitmen afektif memiliki hubungan yang positif dengan perilaku inovatif individual maupun perilaku inovatif dalam organisasi serta penelitian oleh Bawuro, Danjuma, dan Wajiga (2018) juga menemukan bahwa komitmen afektif dalam organisasi memiliki pengaruh terhadap innovative work behavior pada guru sekolah menengah pertama. Komponenn komitmen afektif ini menunjukkan adanya keterikatan emosional terhadap organisasi, keterlibatan dalam organisasi, dan identifikasi terhadap organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Meskipun sistem keanggotaan dalam organisasi yang fleksibel, hasil tersebut menunjukkan bahwa lingkungan dalam organisasi telah dirancang secara efektif untuk mengembangkan identifikasi dan keterikaatan anggota terhadap tujuan organisasi dan mampu menjadi wadah bagi anggota untuk mengembangkan perilaku inovatif (Yeşil, Sözbilir, & Akben, 2012). Oleh karena adanya identifikasi ini, apabila komitmen terhadap organisasi ini meningkat, maka kemungkinan relawan untuk 114 Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla melakukan inovasi dalam melaksanakan tugasnya juga dapat ditunjukkan mengalami peningkatan. Sebagaimana diungkapkan oleh Allen dan Meyer (1990) bahwa anggota yang baru yang bergabung kurang dari enam bulan tidak memiliki cukup waktu untuk menginternalisasi tujuan organisasi sehingga tidak memiliki komitmen yang cukup baik. Hal tersebut terlihat pada hasil penelitian ini dimana anggota organisasi yang baru bergabung antara 2 hingga 5 bulan tidak menunjukkan rata-rata skor yang cukup tinggi. Di sisi lain, anggota baru yang mengembangkan komitmen kuat untuk organisasi mungkin tidak cukup inovatif dalam melakukan perannya dan mereka yang inovatif mungkin tidak cukup berkomitmen (Allen & Meyer, 1990). Penelitian ini menemukan bahwa apabila relawan yang baru bergabung di bawah enam bulan tidak memiliki skor komitmen yang cukup tinggi, maka skor innovative work behavior yang muncul juga tidak cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa anggota baru dengan komitmen organisasi yang rendah, bukan berarti lebih inovatif. Hubungan positif dalam penelitian ini justru menggambarkan bahwa apabila komitmen organisasi tidak terbentuk pada relawan baru, maka perilaku inovatif dalam bekerja juga cenderung tidak terlalu menonjol. Hal ini dapat dikarenakan karena relawan Street Children Foundation Sidoarjo yang baru bergabung masih belum memiliki waktu yang cukup lama untuk mengembangkan identifikasi yang mendalam terhadap tujuan organisasi dan tidak memiliki keterlibatan yang cukup untuk menerapkan perilaku inovatif dalam melakukan tugasnya. dapat dikarenakan adanya budaya dalam organisasi yang menimbulkan peningkatan komitmen relawan terhadap tujuan organisasi sehingga juga memfasilitasi kemungkinan relawan menerapkan inovasi dalam melakukan tugasnya. Penelitian ini memiliki keterbatasan baik dari sisi variabel yang dipilih, alat ukur, dan sampel penelitian. Saran Melalui penelitian ini, peneliti memiliki saran untuk peneliti lain yang akan mengkaji topik serupa agar dapat menambahkan variabel lain yang berkaitan dengan hubungan antara komitmen organisasi dan innovative work behavior sehingga gambaran hubungan yang muncul diharapkan dapat lebih lengkap. Salah satu variabel yang disarankan untuk diteliti lebih lanjut bersama dengan komitmen organisasi dan innovative work behavior berdasarkan hasil penelitian ini adalah budaya organisasi. Selain itu, peneliti lain juga dapat menggunakan pendekatan penelitian yang berbeda, seperti meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh antara komitmen organisasi dan innovative work behavior pada komunitas non-profit berbasis sosial dan pendidikan lainnya. Saran yang diberikan kepada komunitas Street Children Foundation Sidoarjo, diharapkan terus mengembangkan budaya dan iklim komunitas berdasarkan tujuan sebagai pendidik untuk anak jalanan serta dapat memberikan program pelatihan dalam komunitas untuk meningkatkan komitmen organisasi pada relawan agar innovative work behavior yang muncul juga dapat meningkat. DAFTAR PUSTAKA PENUTUP Simpulan Street Children Foundation merupakan komunitas sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan informal untuk anak jalanan di Sidoarjo. Penelitian ini menguji hubungan antara komitmen organisasi dan innovative work behavior pada relawan Street Children Foundation. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson product moment antara variabel komitmen organisasi dan innovative work behavior menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut pada komunitas Street Children Foundation karena memiliki nilai signifikansi 0,034 < 0,05 (p < 0,05) dan nilai korelasi r = 0,288 yang lebih besar dari r tabel (r = 0,288 > 0,268). Hubungan antar variabel dalam penelitian ini memiliki kekuatan rendah. Melalui hasil penelitian tersebut, maka hipotesis dari kedua variabel dapat diterima. Hubungan tersebut Allen, N. J., & Meyer, J. (1990). Organizational Socialization Tactics: A Longitudinal Analysis of Links to Newcomers' Commitment and Role Orientation. The Academy of Management Journal, 33(4), 847-858. doi: https://doi.org/10.5465/256294 Baarda, B., Martijn, D., & van Dijkum, C. (2004). Introduction to Statistics with SPSS. Routledge: London. Baharuddin, M. F., Masrek, M., & Shuhidan, S. (2019). Innovative work behavior of school teachers: A conceptual framework. International E-Journal of Advances in Education, 5(14), 213221. doi: 10.18768/ijaedu.593851 Battistelli, A., Odoardi, C., Vandenberghe, C., Di Napoli, G., & Piccone, L. (2019). Information sharing and innovative work behavior: The role of work-based learning, challenging tasks,and organizational commitment. Human Resource 115 Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla Development Quarterly, 1-21. https://doi.org/10.1002/hrdq.21344 doi: de Jong, J., & den Hartog, D. (2010). Measuring Innovative Work Behaviour. Creativity and Innocation Management, 19(1), 23-36. doi: https://doi.org/10.1111/j.1467-8691.2010.00547.x Griffin, R. W., Phillips, J., & Gully, S. (2017). Organizational Behavior: Managing People and Organizations. Boston: Cengange Learning. Gunawan, I. (2016). Pengantar Statistika Inferensial. Depok: Rajawali Press. Henkin, A. B., & Holliman, S. (2009). Urban Teacher Commitment: Exploring Associations With Organizational Conflict, Support for Innovation, and Participation. Urban Education, 44(2), 160180. doi: 10.1177/0042085907312548 Jannah, M. (2018). Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi. Surabaya: Unesa University Press. Janssen, O. (2000). Job demands, perceptions of effort–reward fairness and innovative work behaviour. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 73, 287-302. doi: https://doi.org/10.1348/096317900167038 Siregar, Z. M., Suryana, Ahman, E., & Senen, S. (2019). Factors Influencing Innovative Work Behavior: An Individual Factors Perspective. International Journal of Scientific & Technology Research, 8(9), 324-327. doi: 10.3126/ijssm.v4i3.17755 Spickard, J. V. (2017). Research Basics: Design to Data Analysis in Six Steps. Los Angeles: SAGE Publications. Wagiran. (2019). Metodologi Penelitian Pendidikan: Teori Dan Implementasi. Yogyakarta: Penerbit Deepublish. Yeşil, S., Sözbilir, F., & Akben, İ. (2012). Affective Organisational Commitment, Individual Innovation Behavior and Organisational Innovative Performance. 10th International Conference on Knowledge, Economy and Management; 11th International Conference of the ASIA Chapter of the AHRD & 2nd International Conference of the MENA Chapter of the AHRD, (pp. 274-285). Jex, S. M. (2002). Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner Approach. New York: John Wiley & Sons. Joiner, T., & Bakalis, S. (2006). The antecedents of organizational commitment: The case of Australian casual academics. International Journal of Educational Management, 20(6), 439-452. doi: 10.1108/09513540610683694 Kalyani, D., & Rajasekaran, K. (2018). Innovative teaching and learning. Journal of Applied and Advanced Research, 3(1), 23-25. doi: http://dx.doi.org/10.21839/jaar.2018.v3iS1.162 Meyer, J. P., Stanley, D., Herscovitch, L., & Topolnytsky, L. (2002). Affective, Continuance, and Normative Commitment to the Organization: A Meta-analysis of Antecedents, Correlates, and Consequences. Journal of Vocational Behavior, 62, 20-52. doi: 10.1006/jvbe.2001.1842 Mumford, M. D., & Todd, E. (2020). Creativity and Innovation in Organizations. New York: Taylor & Francis. Naz, F., & Murad, H. (2017). Innovative Teaching Has a Positive Impact on the Performance of Diverse Students. Special Collection - Student Diversity, 118. doi: https://doi.org/10.1177/2158244017734022 Norris, G., Qureshi, F., Howitt, D., & Cramer, D. (2013). Introduction to Statistics with SPSS for Social Science. Abington: Routledge. 116 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI MELALUI PRAKTIK PENGAJARAN YANG BERWAWASAN DEMOKRATIS Maya Mustika Kartika Sari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial Hukum, Universitas Negeri Surabaya, mayamustika@unesa.ac.id Abstrak Artikel ini mengkaji pandangan filosofis dan teoritis dalam mengejawantahkan konsep merdeka belajar yang menjadi isu utama dalam perubahan kurikulum di perguruan tinggi. Kebijakan merdeka belajar menuai berbagai respon dari masyarakat, baik ditinjau secara terminologi, intepretasi, maupaun implementasi. Konsep merdeka belajar akan dikaji dalam terminologi filsafat demokrasi, yang menekankan pada kesetaraan dalam pendidikan. Merupakan fakta yang diakui bahwa ada hubungan yang erat antara demokrasi dan pendidikan. Dalam demokrasi, pendidikan diberikan keutamaan, karena itu merupakan prasyarat untuk kelangsungan hidup dan kesuksesan yang pertama. Demikian pula, pendidikan memupuk temperamen demokratis di benak setiap insan warga negara. Nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan persaudaraan, martabat individu, kerjasama, berbagi tanggung jawab dll diterapkan pada pendidikan agar lebih efektif, bermakna, relevan dan berguna. Ada hubungan yang tidak terpisahkan antara demokrasi dan pendidikan. Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari spektrum pendidikan. Diakui di semua sisi bahwa otot demokrasi bergantung pada karakter dan kecerdasan semua warganya. Oleh karenanya praktik pengajaran yang demokratis selayaknya menjadi titik tekan dalam kurikulum merdeka belajar. Karena demokrasi dapat berfungsi dengan baik hanya jika semua warganya dididik dengan baik. Demokrasi harus memberikan tujuan untuk pendidikan dan dengan demikian, prinsip-prinsip demokrasi harus tercermin dalam tujuan, kurikulum, metode pengajaran, administrasi dan organisasi, disiplin, sekolah, guru, dll. Kata Kunci: Pendidikan, Demokrasi, Partisipatif, Musyawarah PENDAHULUAN Fungsi pendidikan dalam tujuan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut terefleksi dalam tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Untuk jenjang Pendidikan Tinggi, ditetapkan dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Selanjutnya diatur melalui Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, dan diimplementasi secara teknis dalam Buku Panduan tentang Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) tahun 2020. Merujuk dari uraian tersebut di atas, maka MBKM merupakan refleksi dalam mengembangkan pendidikan yang demokratis. Tujuan pendidikan demokratis adalah untuk menghasilkan warga negara demokratis yang tidak hanya dapat memahami secara objektif berbagai masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, tetapi juga membentuk penilaian independen mereka sendiri atas masalah-masalah rumit tersebut. Proses pendidikan harus menanamkan dalam diri warga negara semangat toleransi dan menyalakan keberanian keyakinan. Itu harus bertujuan untuk menciptakan dalam diri mereka semangat untuk keadilan sosial dan pelayanan sosial. Ia harus melengkapi mereka dengan kekuatan penilaian, pemikiran ilmiah dan menimbang yang benar dan yang salah. Pendidikan bertujuan untuk memungkinkan siswa menjadi manusia yang berwawasan sosial yang mampu mengatur urusan mereka sendiri dan hidup dengan orang lain secara memadai. Konsep pendidikan demokratis, dikemukakan oleh Dewey (1916), dalam Democracy and Education tentang pendidikan demokrasi dalam teori dan beasiswa pendidikan. Sebuah karya yang awalnya berjudul An Introduction to Philosophy of Education yang menginspirasi teori dan penelitian tidak hanya dalam filsafat pendidikan tetapi juga dalam beasiswa pendidikan secara lebih umum (Doddington, 2018). Untuk waktu yang lama, "pendidikan demokratis" telah berfungsi sebagai titik simpul (Laclau, 2007; Mannion, Biesta, Priestley, & Ross, 2011) dalam teori dan penelitian pendidikan, berfungsi sebagai tempat 117 Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis Maya Mustika Kartika Sari pertemuan untuk berbagai disiplin ilmu pendidikan, wacana demokrasi dan pendidikan. Demokrasi dimaknai sebagai kenyataan dan cara hidup yang harus dikenalkan sejak awal pendidikan dan nilai-nilainya perlu dipraktekkan di lembaga pendidikan.. Pendidikan harus berorientasi pada pengembangan kualitas-kualitas dasar karakter yang esensial bagi keberlangsungan kehidupan demokrasi (Barber, 1994). Pendidikan demokrasi benar-benar mendukung perkembangan individu yang maksimal, kurikulum dalam demokrasi harus fleksibel sehingga dapat memenuhi selera dan temperamen yang beragam, bakat dan kemampuan, kebutuhan dan minat mahasiswa. Ini berusaha untuk merangsang pemikiran dan kemampuan kreatifnya. Lebih lanjut, penting bahwa kurikulum demokrasi harus mempertimbangkan kondisi lokal dan tuntutan lingkungan (Duarte, 2016). Unsur sosial sangat ditekankan di dalamnya. Dengan kata lain, kurikulum harus disesuaikan dengan pandangan dan temperamen sosial. Harus ada ketentuan untuk memasukkan keterampilan dalam kurikulum demokratis. Di atas segalanya, kurikulum harus dibangun atas dasar prinsip integrasi. Itu tidak boleh dipisahkan menjadi bagianbagian yang terfragmentasi. Ini harus dibedakan pada tahap selanjutnya agar sesuai dengan beragam minat, sikap, bakat dan kemampuan mahasiswa. Selain itu, harus fleksibel dan dinamis agar sesuai dengan waktu yang berubah. Masalah utama dalam kehidupan kompleks dari kebanyakan ruang perkuliahan adalah praktik pengajaran. Pendekatan paling populer yang paling sering digunakan adalah behaviorisme sederhana — hukuman dan penghargaan. Pendekatan ini tidak pernah mempertanyakan klaim pengetahuan, elitisme budaya, dari materi yang diajarkan. Pengajaran yang demokratis memfokuskan praktik pengajaran berdasarkan pembangunan komunitas, bukan hanya pada cara namun mengubah arah, dan tujuan, pendidikan. Melakukan tindakan eksplorasi untuk menerapkan apa yang disebut pendidikan demokratis melalui enam tema: membina hubungan, memberdayakan siswa, mengajar dan menggunakan keterampilan demokratis, struktur pendidikan yang demokratis, praksis guru yang demokratis, dan mengelola hambatan. Artikel ini berusaha mengkaji implementasi kebijakan merdeka belajar dalam kerangka pendidikan demokratis ditinjau secara filosofis dan praksis praktik pengajaran. METODE Studi ini mengambil titik awal pemahaman interpretif bahwa realitas Merdeka-Belajar dibangun melalui wacana (discourses), dipahami dalam istilah teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (Jorgensen & Phillips, 2002). Wacana adalah sistem makna dan nilai termasuk pertukaran linguistik dan tindakan di mana pertukaran tersebut tertanam. Definisi ini pengakuan bahwa keberadaan realitas material secara secara independen dari sistem hubungan sosial apa pun dan manusia memberi makna pada ini melalui "konfigurasi diskursif tertentu" (Laclau, 1990:101). Dengan demikian, diasumsikan bahwa pendidikan demokrasi dapat dibangun di atas data politik dan / atau pendidikan. Untuk itu makna data terkait merdelka belajar idikonstruksi dalam kaitannya dengan asumsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis pendidikan demokratis. PEMBAHASAN Inovasi dan reformasi pendidikan adalah proses yang berkelanjutan yang tidak akan pernah benar-benar selesai. Hal tersebut mendorong pada diskusi yang intensif, tidak hanya tentang efektivitas sistem Perguruan tinggi saat ini tetapi juga tentang reformasi hampir semua elemen pendidikan. Keberhasilan pendidikan tinggi bergantung pada "literasi" mahasiswa. Secara khusus, metode pengajaran dan pembelajaran telah - dan masih - dipertanyakan, dan tuntutan diartikulasikan untuk menciptakan iklim pendidikan tinggi dan lingkungan belajar yang berbeda masih kurang terefleksi. Oleh sebab itu istilah literasi perlu diperluas untuk mencakup aspek-aspek seperti "literasi politik" atau "literasi demokratis", yang berarti kualifikasi mahasiswa untuk peran masa depan mereka sebagai warga negara. Dalam konteks ini, peran perguruan tinggi dalam kualifikasi calon warganegara masa depan yang bertanggung jawab dan partisipatif dalam masyarakat yang demokratis semakin terasa. Secara umum pemikiran kritis dan mandiri adalah prasyarat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi dan lembaga pendidikan. Demikian pula, kemungkinan untuk melihat pengakuan yang tumbuh, di bagian dari kekuatan politik dan sosial, dan opini publik secara umum, tentang pentingnya sistem sekolah dalam menciptakan warga negara yang bertanggung jawab dan sadar, dan dalam membangun masyarakat demokratis yang terbuka untuk berubah. Mendidik generasi muda dalam semangat demokrasi dan mempersiapkan mereka untuk peran masa depan mereka sebagai warga negara yang aktif telah menjadi amanat sistem pendidikan yang demokratis. 118 Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis Maya Mustika Kartika Sari Kebijakan merdeka belajar dapat dimaknai sebagai refleksi dari upaya mengembangkan pembelajaran yang demokratis. Bahkan hal tersebut merupakan amanat Undang-Undang Sisdiknas yang belum terefleksi secara aktual dalam praktik pengajaran, sehingga semangat warga negara yang bertanggung jawab dan memiliki kesadaran belum terwujud secara otentik. Oleh sebab itu, diskursus terkait merdeka belajar, merupakan arena dalam mengaktualisasi praktik demokrasi. Memahami Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Demokratis Pendekatan dalam pendidikan demokratis dapat ditinjau menjadi tiga kelompok berbeda dengan konsepsi yang berbeda tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Pendekatan pertama adalah pendidikan untuk demokrasi (Biesta & Lawy, 2006; M. Levinson, 2011). Perspektif ini menafsirkan demokrasi sebagai keharusan normatif universal dan pendidikan sebagai “instrumen” untuk mencapai tujuan ini. Logikanya adalah bahwa pendidikan dapat berkontribusi pada perbaikan masyarakat masa depan. Pendidikan warga negara adalah tujuan kurikuler (dan terkadang subjek kurikuler) yang tertanam dalam sistem pendidikan. Kebijakan pendidikan diarahkan untuk kondisi dan persyaratan bagi siswa untuk menguasai elemen karakter demokratis (yaitu, warga negara yang berpengetahuan dan rasional). Kebijakan kurikulum berorientasi pada musyawarah dan / atau partisipatif yang menekankan perlunya kewarganegaraan yang lebih musyawarah dan aktif. Contoh dari konvergensi ini adalah kurikulum untuk studi kewarganegaraan di British Columbia di mana siswa "secara individu dan dengan orang lain membahas masalah kewarganegaraan — lokal hingga global — untuk tujuan menjadi pembuat keputusan yang diberdayakan dalam tindakan sipil" (Ruitenberg, 2015: 6). Pendidikan juga diharapkan menjadi “alat” esensial untuk mobilitas sosial. Pendekatan kedua adalah pendidikan dalam demokrasi (Bradshaw, 2014). Pendekatan ini, didefinisikan oleh Levinson sebagai situasi di mana "orang dewasa" secara demokratis melegitimasi kontrol atas pendidikan dalam demokrasi (M. Levinson, 2011:125). Baik demokrasi dan pendidikan bersifat instrumental daripada normatif. Logika yang dibangun bahwa demokrasi bukanlah keharusan normatif melainkan sistem politik yang secara efektif mengamankan aturan elit (elitisme) atau kebebasan individ. Pendidikan harus bebas dari aspirasi moral dan kebutuhan untuk menanggapi tuntutan individu warga (Ichilov, 2012). Kebijakan pilihan, standardisasi, dan akuntabilitas, seperti "Pilihan di Sekolah" Swedia, "Standar Negara Bagian Inti Umum" AS, atau Program Internasional Penilaian Pelajar Internasional, dapat ditemukan di banyak negara dan tingkat pendidikan. Namun, pendidik demokratis sangat kritis terhadap pendekatan ini. Epistemologi individualis dan rasionalis yang mendasari kebijakan ini ditantang oleh konstruksi pengetahuan intersubjektif seperti yang ditemui dalam pemikiran Dewey (Biesta, 2011; Meens & Howe, 2016). Dikatakan juga bahwa, di bawah penampilan netralitas normatif, memang menciptakan kerangka normatif alternatif berdasarkan individualisme dan persaingan. Lebih lanjut, meskipun kebijakan ini dapat berfungsi dalam sistem demokrasi agregat atau elitis, terdapat konsensus akademis yang jelas bahwa, secara keseluruhan tidak mencoba untuk menanggapi prinsip atau tujuan demokrasi. Pendekatan ketiga adalah apa yang Biesta dan Lawy (2006) definisikan sebagai pendidikan melalui demokrasi. Pendekatan ini tampaknya menjadi kerangka kerja yang disukai bagi sebagian besar pendidik demokratis. Para intelektual terlibat dalam aktivitas partisipatif, musyawarah, multikultural, agonistik kritis dan memiliki pandangan yang sama tentang manfaat demokrasi. Pendekatan ini berbeda dalam konseptualisasi hubungan antara pendidikan dan demokrasi. Sebagaimana telah disebutkan, pendekatan pendidikan untuk demokrasi mengkonseptualisasikan pendidikan sebagai alat demokrasi masa depan, dan pendidikan dalam pendekatan demokrasi memahami pendidikan dan demokrasi untuk saling mandiri. Sebaliknya, dalam pendidikan melalui pendekatan demokrasi, pendidikan dan demokrasi dibayangkan dibayangkan mengakomodasi keduanya secara bersama (Stevenson, 2015). Di sini pembuatan kebijakan pendidikan dikonseptualisasikan melalui etos demokrasi yang melibatkan anggota masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Secara filosofis, Kebijakan Merdeka Belajar dapat diejawantahkan melalui ketiga pendekatan tersebut. Namun, sebagai konsepsi politik dan pendidikan, perlu adanya kesepahaman yang dirumuskan dalam ruang kebebasan dengan berpegang pada tanggung jawab sosial. Pendekatan komprehensif memungkinkan inovasi dan eksperimen dalam kebijakan pendidikan. Hal tersebut yang dapat dimaknai dalam kebijakan Merdeka Belajar. 119 Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis Maya Mustika Kartika Sari Praktik Pengajaran Merdeka Belajar Melalui Pendidikan Demokratis Rekomendasi untuk praktik pendidikan demokrasi juga termasuk dalam dua pendekatan yang disebutkan di atas. Perlu dicatat di sini bahwa, karena pendidikan dalam pendekatan demokrasi, memahami pendidikan dan demokrasi secara mandiri, hanya ada sedikit atau tidak ada rekomendasi untuk praktik yang terkait dengan pendekatan ini. Sebaliknya, pendekatan pendidikan untuk demokrasi dapat ditemukan di enam wacana pendidikan pro demokrasi dan telah sangat berhasil mempengaruhi praktik pendidikan di seluruh dunia. Dari perspektif ini, proposal praktis menentukan kualitas warga negara demokratis dan memeriksa pedagogi yang mungkin lebih baik berkontribusi pada pembelajaran kualitas ini. Mahasiswa di sini adalah warga negara dalam proses, mendapatkan persiapan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk tampil sebagai warga negara yang demokratis. Pedagogi dan bidang kurikulum tertentu di sini direkomendasikan selama dianggap efektif dalam mendorong pembelajaran demokratis ini. Dalam hal ini, hasil dari penelitian empiris sering digunakan untuk mengidentifikasi pedagogi yang relevan. Kurikulum disusun dengan bertujuan untuk mempromosikan pengetahuan politik dan pemikiran kritis (Gibson & Grant, 2012). Pendidik demokratis musyawarah merekomendasikan pengajaran dan pembelajaran musyawarah, pemecahan masalah, dan keterampilan komunikasi melalui masalah kontroversial Demokrasi partisipatif merekomendasikan bahwa mahasiswa perlu mempelajari keterampilan partisipatif (Parker, 2010). Peluang untuk berpartisipasi dalam struktur tata kelola kelas dan sekolah, dalam kegiatan KKN, serta simulasi dan permainan terbukti berkontribusi terhadap tujuan ini. Pendidik demokratis multikultural berpendapat bahwa siswa memiliki kesempatan untuk terlibat dengan budaya sendiri dan budaya lain (Alexander, 2007). Pendidik demokratis kritis bertujuan untuk mengkaji masalah sosial sehingga mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan untuk mengungkap struktur dominasi dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mengurangi ketimpangan. Pendidik demokratis agonistik merekomendasikan untuk mendidik emosi politik, dan untuk membantu mahasiswa memahami perbedaan antara klaim politik dan moral (Backer, 2017). Dalam pendekatan pendidikan melalui demokrasi, Mahassiswa memiliki kesempatan untuk belajar sebagai bagian dari komunitas di mana mereka memiliki suara dan dapat berpartisipasi dalam mengambil keputusan dengan satu sama lain. Mahasiswa secara de facto bertindak sebagai warga negara, dan pembelajaran demokratis dilaksanakan melalui partisipasi demokratis dengan pendidikan dan politik dipahami sebagai saling terkait. Dalam perspektif ini, partisipasi demokrasi bersifat edukatif dan pendidikan diharapkan dapat melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi demokrasi. Yang penting bukanlah tujuan kurikuler yang dibiarkan terbuka, tetapi pengalaman pedagogis yang juga dianggap politis. Hanya tiga dari wacana yang diidentifikasi membuat proposal eksplisit untuk pendidikan melalui demokrasi. Proses pendidikan berpusat pada mahasiswa, sementara pernah diakui secara konsensus sebagai contoh jelas dari pendidikan demokratis, saat ini mengambil peran yang diperebutkan dalam mendefinisikan arti pendidikan demokratis. Selain itu, usulan lain untuk pendidikan melalui demokrasi telah diajukan. Multikulturalis pascakolonial mempertahankan kebutuhan untuk menciptakan peluang sehingga mahasiswa dapat terlibat dengan epistemologi dalam proses merekonstruksi hubungan antara mengetahui dan menjadi. Pendidik demokratis partisipatif mendukung pedagogi berpusat pada tindakan yang menawarkan peluang nyata untuk berpartisipasi secara demokratis. Contohnya dapat berupa pengembangan kode kurikulum dan pembelajaran komunitas (Helfenbein & Shudak, 2009). Pendidik demokrasi agonistik merekomendasikan pembuatan saluran untuk ekspresi perbedaan pendapat politik untuk singularisasi subjektivitas, dan untuk artikulasi politik mahasiswa dan dosen (Snir, 2017). Logikanya di sini adalah bahwa lembaga pendidikan juga merupakan ruang politik dan oleh karena itu tempat di mana wacana dan aliansi politik dapat muncul. PENUTUP Simpulan Hasil tinjauan ini menunjukkan peluang untuk diskusi akademis lebih lanjut tentang kebijakan pendidikan. Dengan sedikit pengecualian, terdapat konsensus yang jelas tentang defisit demokrasi dalam pendidikan dalam kebijakan Merdeka Belajar dan tentang nilai demokrasi dari pendidikan melalui proses demokrasi. Kebijakan pendidikan dapat bertujuan untuk menghasilkan peluang untuk proses pengambilan keputusan partisipatif dan mengeksplorasi potensi dampaknya terhadap kebijakan pendidikan yang ada. Minimnya pembahasan kebijakan di bidang ini mungkin disebabkan oleh komitmen para pendidik demokrasi 120 Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis Maya Mustika Kartika Sari agonistik untuk berbeda pendapat, dan memandang demokrasi sebagai jalan keluar dari institusionalisasi. Peta teoritis berguna bagi studi pedagogi dan kurikulum. Tinjauan ini menunjukkan bahwa ada sejumlah pedagogi yang didasarkan pada wacana multikultural transfiguratif dan antagonis yang belum diselidiki secara empiris. Diskusi tentang kontroversi, konflik, atau masalah, partisipasi mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan, dan penguatan hubungan antara lembaga pendidikan dan masyarakat, tampaknya menjadi fitur utama untuk praktik pendidikan demokratis. Namun, tinjauan ini juga menunjukkan bagaimana berbagai pedagogi yang secara dominan diakui sebagai pendidikan demokratis (misalnya, kegiatan yang mendorong pemikiran kritis, pedagogi musyawarah, simulasi partisipatif) didasarkan pada klaim ontologis, epistemologis, dan etis yang kontroversial dan, oleh karena itu, rentan terhadap kritik. Saran Untuk itu pengkajian secara komprehensif dalam implementasi kurikulum merdeka belajar, hendaknya menerapkan preinsip pendidikan demokratis. Diskusi dan penelaahan secara terbuka dapat menghasilkan berbagai inovasi dan penyelesaian yang mengakomodasi berbagai perdebatan terkait kebijakan merdeka belajar. DAFTAR PUSTAKA Dewey, J. (1916/1985). Democracy and education. Carbondale: Southern Illinois University Press. Doddington, C. (2018). “Democracy and Education: Is it relevant now? “, Education 3–13, 46, 381–384. Laclau, E. (2007). On populist reason. London, England: Verso. Mannion, G., Biesta, G., Priestley, M., Ross, H. (2011). “The global dimension in education and education for global citizenship: Genealogy and critique.” Globalisation, Societies and Education, 9, 443–456. Barber, B. R. (1994). An aristocracy of everyone. Oxford, England: Oxford University Press. Duarte, M. (2016). “Educating citizens for humanism: Nussbaum and the education crisis.” Studies in Philosophy and Education, 35, 463–476. Wisler, A. K. (2009). “Of, by, and for are not merely prepositions”: Teaching and learning conflict resolution for a democratic, global citizenry. Intercultural Education, 20, 127–133. Jorgensen, M., Phillips, L. J. (2002). Discourse analysis as theory and method. London. England: Sage Biesta, G., Lawy, R. (2006). “From teaching citizenship to learning democracy: Overcoming individualism in research, policy and practice.” Cambridge Journal of Education, 36, 63–79 Ruitenberg, C. W. (2015). “The practice of equality: A critical understanding of democratic citizenship education”. Democracy & Education, 23(1), 2. Bradshaw, R. (2014). “Democratic teaching: An incomplete job description.” Democracy & Education, 22(2), 3. Levinson, M. (2011). “Democracy, accountability, and education”. Theory and Research in Education, 9, 125–144. Ichilov, O. (2012). “Privatization and commercialization of public education: Consequences for citizenship and citizenship education” Urban Review: Issues and Ideas in Public Education, 44, 281–301. Stevenson, N. (2015). “Revolution from above in English schools: Neoliberalism, the democratic commons and education”. Cultural Sociology, 9, 534–549. Gibson, M. L., Grant, C. A. (2012). Toward a paideia “of the soul”: Education to enrich America’s multicultural democracy. Intercultural Education, 23, 313–324. Parker, W. (2010). Listening to strangers: Classroom discussion in democratic education. Teachers College Record, 112, 2815–2832. Alexander, H. (2007). What is common about common schooling? Rational autonomy and moral agency in liberal democratic education. Journal of Philosophy of Education, 41, 609–624. Backer, D. I. (2017). The critique of deliberative discussion. A response to “Education for Deliberative Democracy: A Typology of Classroom Discussions.” Democracy & Education, 25(1), 9. Helfenbein, R. J., & Shudak, N. J. (2009). Reconstructing/ reimagining democratic education: From context to theory to practice. Educational Studies, 45(1), 5–23 Snir, I. (2017). Education and articulation: Laclau and Mouffe’s radical democracy in school. Ethics and Education, 12, 351–363 121 KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN PANDEMI COVID19 DI INDONESIA: SEBUAH STUDI LITERATUR Ryan Alviandi Akbar Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, ryan.17010664070@mhs.unesa.ac.id Barron Atalarik Sihab Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, barron.17010664085@mhs.unesa.ac.id Abstrak Pandemi COVID-19 memang memberikan dampak yang buruk ke segala sektor, tidak terkecuali sektor bidang usaha. Kerugian yang didapat semakin hari semakin memburuk dikarenakan tidak diketahuinya kapan pandemi ini berakhir. Hal tersebut membuat daya beli konsumen dan daya guna jasa konsumen menurun, diperburuk lagi dengan system PSBB (Pembatasan Sosial Besar Berskala) ataupun lockdown yang mau tidak mau membuat pelaku usaha menutup bidang usahanya. Akan tetapi, beberapa sektor bidang usaha ada yang diuntungkan dengan pandemi ini. Hal itu dikarenakan mereka-mereka yang mampu menyadari dan menggunakan peluang dengan sebaik mungkin dan mampu mengeksploitasi kewirausahaan. Kedua hal tersebut ada pada orang yang memiliki gaya kepemimpinan kewirausahaan, yang mana mereka mampu menjadi responsif pada kondisi lingkungan dan langsung membuat gebrakan inovasi disaat masa-masa sulit dan disaat harapan memudar, mereka mampu mengubahnya menjadi keuntungan. Individu yang memiliki gaya pemimpin seperti ini sangat dibutuhkan, mengingat kejadian seperti ataupun kejadian yang berkaitan dengan perubahan dapat terjadi lagi di masa depan. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari, mengidentifikasi, dan menganalisis kepemimpinan kewirausahaan dalam kondisi pandemi COVID-19. Selain itu untuk menjawab pertanyaan mengenai karakteristik kepemimpinan kewirausahaan seperti apa dalam menjawab tantangan pada kondisi pandemi COVID-19. Metode pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan atau studi literatur. Kata Kunci: entrepreneurial leadership, kepemimpinan, kewirausahaan, COVID-19. PENDAHULUAN Tahun 2020 merupakan tahun yang sulit dan merupakan salah satu tahun yang berat yang sedang dihadapi oleh tiap lapisan masyarakat di dunia tidak terkecuali pemilik usaha dikarenakan dampak dari pandemi COVID-19 (Corona Virus Desease). Pandemi ini menyebabkan peubahan yang cukup signifikan pada segala sektor, termasuk sektor wirausaha. Hal itu dikarenakan tidak lain karena menurunnya omzet akibat dari merebaknya wabah yang terjadi dan menurunnya daya beli konsumen pada produk. Selain daya beli konsumen terhadap produk, daya guna terhadap suatu jasa yang menurun juga menjadi tantangan bagi pemimpin usaha start-up. Pada pandemi ini, secara tidak langsung mengarahkan kita pada situasi Volatility (pergolakan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan) yang disingkat dengan istilah VUCA. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh kemiliteran Angkatan darat Indonesia untuk dijadikan sarana dalam pengajaran di medan perang tentang teknik kepemimpinan (Aribowo & Wirapraja, 2018). Situasi ini menggambarkan situasi yang tidak jelas, tidak stabil dan tidak diketahui masa berakhirnya. Pada situasi yang terjadi tersebut demi menjaga kestabilan wirausaha, terdapat kunci, yang mana terdapat pada peran pemimpinnya. Pemimpin yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pemimpin yang memiliki visi dan memahaminya dengan baik, selain itu kepekaan akan keadaan sekitar juga menjadi suatu hal yang penting. Seorang pemimpin juga harus mampu dalam mengendalikan diri serta organisasinya, hal tersebut dilakukan agar organisasi yang dipimpinnya tetap dapat berjalan disaat yang lain harapannya mulai hilang. Kemampuan yang jelas dan tegas mengenai suatu hal yang akan dilakukan ataupun yang sedang dilakukan demi terwujudnya visi, akan tetapi sangat pantas serta flexible dalam penerapannya juga harus dimilikinya. Seorang pemimpin harus memiliki kelincahan dalam menghadapi perubahan yang ada, hal tersebut bertujuan agar ia dapat cepat beradaptasi dalam hal intelektual agar selalu memiliki gagasan baru (Arifin, Zuhri, Khan, & Yunus, 2019). Tantangan selain persaingan yang terjadi diperburuk dengan munculnya permasalahan global dalam kasus ini adalah pandemi COVID-19. Selain menurunnya daya beli dan daya guna konsumen selama pandemi ini, mengutip dari cnn indonesia 122 Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab melalui pernyataan Menteri Keuangan Indonesia yang menyebutkan dampak dari pandemi ini akan menjadi lebih kompleks karena tidak diketahui kapan waktu berakhirnya. Belum lagi apabila diberlakukannya system lockdown yang membuat pemimpin usaha dalam menutup usahanya dalam kurun waktu tertentu yang mana kondisi tersebut tentunya memberikan kerugian bagi para pemimpin usaha itu sendiri sebagai contohnya. Kepemimpinan Menurut Soliha dan Hersugondo (2008), kepemimpinan diartikan sebagai proses yang membawa dampak pada orang lain untuk melakukan tindakaan dalam menggapai tujuan bersama.. Dalam artian bahwa, kepemimpinan merupakan kegiatan yang dapat mempengaruhi orang-orang untuk bekerja sama atau melakukan tindakan sesuai dengan perintah yang berkaitan dengan tujuan bersama. Hal ini perlu dalam konsep kepemimpinan, dimana saat orang ingin mencapai tujuan dengan kerja sama, maka perlu sesosok figur pemimpin yang dapat bertanggung jawab penuh. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Subarino, Ali, dan Ngang (2011), dimana kepemimpinan adalah proses yang mana mengaitkan pengaruh, dapat terjadi dalam lingkungan kelompok maupun individu, dan mengaitkan pencapaian tujuan. Kewirausahaan Menurut Saragih (2017), kewirausahaan adalah proses aktif guna mewujudkan nilai tambah terkait jasa maupun barang dan kemakmuran. Keterampilan untuk mewujudkan suatu hal baru dan berbeda yang didapatkan dari pemikiran kreatif serta tindakan yang inovatif agar terwujudnya oportunitas. Kewirausahaan tidak hanya berfokus pada pengusaha, melainkan juga memilih dari pilihan yang ada di depannya dan pemanfaatan kesempatan itu sendiri (Renko, Tarabishy, Carsrud, & Brännback, 2015). M. Scarborough dan Thomas W. Zimmerer dalam (Suharyono, 2018). Menuliskan bahwa terdapat delapan karakteristik terkait dengan kewirausahaan yang meliputi: 1. Mempunyai rasa tanggung jawab dari tindakan yang telah dilakukannya. 2. Risiko yang rasional lebih dipilih. 3. Keyakinan yang tinggi pada kemampuan diri untuk berhasil. 4. Selalu menginginkan feedback yang cepat. 5. Futuristik, perspektif, dan juga berpengetahuan jauh ke depan 6. Semangat kerja dan kerja keras yang dimiliki tinggi dalam mencapai keinginannya untuk masa depan yang lebih baik. 7. Memiliki sifat terampil dalam memobilisasi sumber daya untuk mewujudkan nilai tambah 8. Menilai prestasi selalu dengan uang. Kepemimpinan Kewirausahaan Lipit mengatakan pemimpin kewirausahaan didefinisikan sebagai figur yang dapat berinovasi, berani dalam mengambil risiko yang ada, berorientasi pada tugas, menanggung beban tanggung jawab dan memelopori orientasi ekonomi (Yu, 2014). Kepemimpinan kewirausahaan, juga didefinisikan sebagai suatu prosedur dalam mewujudkan visi kewirausahaan dan menjadi inspirasi kelompok untuk memberlakukan visi tersebut dengan cepat di lingkungan yang tidak menentu (Churchill, Agbodohu, & Arhenful, 2013). Tidak hanya itu, kepemimpinan kewirausahaan juga didefinisikan oleh Renko, Tarabishy, Carsrud, dan Brännback (2015) sebagai keterlibatan kegiatan mempengaruhi dan mengarahkan kinerja dari anggotanya terhadap pencapaian dari tujuan bersama yang melibatkan proses mengenali dan juga mengeksploitasi kewirausahaan. Selain itu menurut mereka, yang membedakan kepemimpinan ini dengan gaya kepemimpinan lainnya adalah fokus pada peluang yang ada dan juga eksploitasi kewirausahaan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi pada saat ini, mengingat peluang sekecil apapun dapat menjadi keuntungan bagi individu yang mampu memanfaatkannya dengan baik. Kepemimpinan kewirausahaan, diidentifikasikan dengan beberapa komponen, yaitu: innovativeness, proactiveness, risk-taking, organizing dan conducting (Yu, 2014; Bagheri & Pihie, 2009). Keempat komponen tersebut menjadi kunci pemahaman mengenai kepemimpinan kewirausahaan pada penelitiannya. Ada delapan karakteristik dari entrepreneurial leadership, menurut Tjandra dan Ardianti (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisa entrepreneurial leadership dan hambatan pertumbuhan usaha mikro dan kecil di Jawa Timur”. Ia menyebutkan karkateristik-karakteristiknya sebagai berikut. a. Able to motivate Entrepreneurial Leader tidak hanya menuntut untuk mengarahkan orang lain untuk bekerja dengan benar. Para pekerja memerlukan motivasi yang dapat digunakan sebagai dorongan untuk melaksanakan pekerjaannya. Motivasi merupakan 123 Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab b. c. d. e. f. g. hal yang penting untuk para pekerja, motivasi dapat berguna untuk meningkatkan produktivitasnya dalam bekerja. Oleh karena itu seorang pemimpin tersebut juga harus bisa memotivasi para bawahannya. Achievement orientated Dalam melaksanakan tugasnya, proses dalam bekerja merupakan hal yang penting. Proses kerja dilakukan untuk mengevaluasi kinerja yang tidak terpacu pada hasil saja. Entrepreneurial Leader berfokus menciptakan proses kinerja efektif dan efisien, namun melihat proses kinerja untuk mengevaluasi pencapaian hasil yang diperoleh. Creative Kemampuan entrepreneurial leader dalam menciptakan ide yang tidak hanya baru, namun menarik untuk digunakan dalam kegiatan entrepreneurial. Kemampuan kreativitas harus dimiliki seorang entrepreneurial leader. kreativitas dapat mengasah kemampuan untuk menciptakan ide yang menarik dan memanfaatkan peluang dari kondisi lingkungan maupun trend yang sedang terjadi dengan mengubahnya menjadi sebuah bentuk hasil kinerja yang nyata untuk kesejahteraan bersama. Flexible Kepekaan entrepreneurial leader menuntut untuk menjadi seorang yang dapat beradaptasi terhadap perubahan, serta kemampuan untuk memanfaatkan perubahan dengan cepat dalam menghasilkan kinerja yang adaptif. Patient Perubahan kondisi maupun trend yang sedang beredar menyebabkan seseorang memerlukan kesabaran untuk menunggu peluang atau melakukan eksekusi yang tepat sasaran. Entrepreneurial leader perlu mempunyai karakter sabar dalam menjalani entrepreneurial . Entrepreneurial leader tidak akan gegabah dalam mengambil dan menentukan tindakan dalam menghadapi kondisi yang tidak dapat diprediksi. Persistent Entrepreneurial leader adalah seorang yang mempunyai karakter gigih untuk memperjuangkan tujuan dan impiannya. Dalam menghadapi resiko yang dialami, Entrepreneurial leader perlu memiliki keteguhan dalam menjalani tantangan yang dihadapi dengan tidak mudah menyerah, saat mengalami kegagalan. Hal tersebut dapat menjaga konsistensi dalam menjalani usaha yang telah dijalani. Risk Taker Entrepreneurial leader tidak hanya memiliki insting atau naluri dalam mengambil resiko, namun resiko yang dihadapi telah diperhitungkan sebelum mengambil keputusan . keputusan untuk berani menerima resiko dan tidak takut untuk mencoba sesuatu yang masih belum pasti merupakan karakter Entrepreneurial leader. h. Visionary Entrepreneurial leader memiliki kemampuan menggambarkan tentang masa depan usaha yang dijalani, hal ini perlu dilakukan untuk menentukan tujuan dari usaha yang sesuai dengan visi misi. Dengan demikian ia dapat memiliki keyakinan bersama orang-orang terdekat yang ikut serta berusaha untuk mencapai tujuan bersama. Dalam menghadapi kenyataan yang terjadi pada saat ini, seorang pemimpin yang mampu menjawab tantangan dan juga kesempatan yang ada sangatlah dibutuhkan. Crackers sebutan bagi pemimpin yang menemukan dan memanfaatkan peluang yang ada dan mengadaptasi transformasi serta mampu keluar dari zona nyaman (Suyatno, 2014 dalam Safuan, 2018). Pemimpin dengan karakteristik tersebut sangat benarbenar dibutuhkan. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari, mengidentifikasi, dan menganalisis kepemimpinan kewirausahaan dalam kondisi pandemi COVID-19. Selain itu untuk menjawab pertanyaan mengenai karakteristik kepemimpinan kewirausahaan seperti apa dalam menjawab tantangan pada kondisi pandemi COVID -19. METODE Pada penelititian ini, metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan atau studi literatur review terhadap jurnal skala nasional, skala internasional pada penelitian terdahulu, buku dan situs dari internet yang memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan wirausaha (entrepreneurial leadership). Kemudian jurnal dianalisis agar mendapatkan data, yang kemudian penyajian data dilakukan dalam bentuk naratif atau uraian singkat. PEMBAHASAN Para peneliti baik dari praktisi ataupun akademisi telah melakukan penelitian terkait dengan Entrepreneurial Leadership. Berikut uraian singkat beberapa penelitian mengenai hal tersebut. 1. Dalam penelitian yang berjudul Model Hubungan Entrepreneurial Leadership, Entrepreneurial Culture dan Entrepreneurial Mind-Set terhadap 124 Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab 2. 3. 4. 5. Organizational Performance Melalui Innovation Sebagai Variabel Mediasi (Perkasa & Abadi, 2020). Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa kepemimpinan kewirausahaan memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi, tetapi tidak untuk budaya kewirausahaan. Sulistyowati (2018) dalam penelitian yang dilakukann dengan judul Pengaruh Entrepreneurial Leadership dan Innovation Capacity terhadap Competitive Advantage Pada Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) Binaan Dinas Perdagangan Kota Surabaya. Hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan adanya pengaruh signifikan dan juga positif antara Entrepreneurial Leadership terhadap Competitivem Advantage. Bagheri (2017) dalam penelitiannya dengan judul The impact of entrepreneurial leadership on innovation work behavior and opportunity recognition in high-technology SMEs. Ia menemukan dampak yang cukup signifikan dari variable entrepreneurial leadership pada perilaku kerja inovasi dan pengakuan kesempatan karyawan di UKM berteknologi tinggi dengan jumlah responden sebanyak 319 orang. Kusmintarwanto (2014) melakukan penelitian yang berjudul Analisa Pengaruh antara Entrepreneurial Leadership dan Product Innovation Pada Industri Makanan dan Minuman di Jawa Timur. Dari hasil penelitiannya, didapatkan terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Entrepreneurial Leadership dengan variabel Product Innovation. Pada penelitian yang dilakukan oleh Churchill, Agbodohu, dan Arhenful (2013) dengan judul An Exploratory Study of Entrepreneurial Leadership Development of Polytechnic Students. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan kewirausahaan memberikan dampak positif salah satunya adalah siswa menjadi lebih responsif terhadap kesempatan yang ada dan mampu menggunakannya baik dari segi pembangan diri dan penciptaann bisnis. PENUTUP Simpulan Bidang usaha dengan situasi dan kondisi seperti ini (COVID-19) yang disamakan dalam penelitian dengan kondisi VUCA; Volatility (pergolakan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan). Dibutuhkan individu dengan kepemimpinan kewirausahaan yang mana dapat memanfaatkan peluang di kondisi seperti ini dan mampu mengeksploitasi kewirausahaan, agar bidang usahanya tetap dapat berjalan dan bertahan ditengah hilangnya harapan. Hal tersebut berlaku baik di bidang usaha makro maupun mikro. Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah dengan menggunakan data atau sumber dari buku atau penelitian lain yang memiliki kaitan atau kemiripan dengan kondisi VUCA; Volatility (pergolakan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan). Hal itu dilakukan untuk menjaga kekonsistenan tema penelitian. DAFTAR PUSTAKA Aribowo, H., & Wirapraja, A. (2018). Strategi inovasi dalam rangka menjaga keberlanjutan bisnis dalam menghadapi era Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity (VUCA). Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT), 9(1), 51-58. Arifin, A., Zuhri, A., Khan, H. A., & Yunus, M. (2019). Bunga rampai gubahan akademisi manajemen 2019. Sumenep: STIEBA Madura Press. Bagheri, A. (2017). The impact of entrepreneurial leadership on innovation work behavior and opportunity recognition in high-technology SMEs. Journal of High Technology Management Research, 28(2), 159-166. Bagheri, A., & Pihie, Z. A. (2009). An exploratory study of entrepreneurial leadership development of university students. European Journal of Social Sciences, 11(1), 177-190. Churchill, R. Q., Agbodohu, W., & Arhenful, P. (2013). An exploratory study of entrepreneurial leadership development of polytechnic students. Journal of Education and Practice, 4(24), 9-18. Kusmintarwanto, F. (2014). Analisa pengaruh antara entrepreneurial leadership dan product innovation pada industri makanan dan minuman di Jawa Timur. AGORA, 2(2). Perkasa, D. H., & Abadi, F. (2020). Model hubungan entrepreneurial leadership, entrepreneurial culture dan entrepreneurial mind-set terhadap organizational performance melalui innovation sebagai variabel mediasi. Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis (JRMB) Fakultas Ekonomi UNIAT, 5(2), 15-28. Renko, M., Tarabishy, A. E., Carsrud, A. L., & Brännback, M. (2015). Understanding and measuring entrepreneurial leadership style. 125 Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab Journal of Small Business Management, 53(1), 5474. Safuan. (2018). Studi literatur kepemimpinan wirausaha dalam menghadapi tantangan global. Jurnal Manajemen Industri dan Logistik, 1(2), 171-181. Saragih, R. (2017). Membangun usaha kreatif, inovatif dan bermanfaat melalui penerapan kewirausahaan sosial. Jurnal Kewirausahaan, 3(2), 26-34. Septalisma, B. (2020, April 6). Sri Mulyani sebut dampak virus corona melebihi krisis 1998. Retrieved Mei 5, 2020, from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/2020040 6193647-532-490944/sri-mulyani-sebut-dampakvirus-corona-melebihi-krisis-1998 Soliha, E., & Hersugondo, H. (2008). Kepemimpinan yang efektif dan perubahan organisasi. Fokus Ekonomi, 7(2), 83-93. Subarino, S., Ali, A. J., & Ngang, T. K. (2011). Kepemimpinan integratif: Sebuah Kajian teori. Jurnal Manajemen Pendidikan UNY, 7(1), 17-50. Suharyono. (2018). sikap dan perilaku wirausahawan. Jurnal lmu dan Budaya, 40(56)., 40(56), 65516586. Sulistyowati, A. (2018). Pengaruh entrepreneurial leadership dan innovation capacity terhadap competitive advantage pada usaha kecil, dan menengah (UKM) binaan Dinas Perdagangan Kota Surabaya. Jurnal Aplikasi Administrasi, 21(1), 3141. Tjandra, R. R., & Ardianti, R. R. (2013). Analisa entrepreneurial leadership dan hambatan pertumbuhan usaha mikro dan kecil di Jawa Timur . Agora, 1684-1694. Yu, F.-L. T. (2014). Entrepreneurial leadership, capital structure and capabilities development of the firm: the case of the Haier Group. International Journal Economics and Business Research, 7(2), 241-255. 126 STRUKTUR DALAM MENULIS OPINI: MERDEKA BEROPINI DALAM MENDESKRIPSIKAN SESEORANG Norita Prasetya Wardhani Institute Teknologi Adhi Tama Surabaya, noritanonoy@itats.ac.id Hardono STIBA Satya Widya Surabaya, hardonod52@gmail.com Abstrak Menulis sesuatu yang mudah adalah awal yang baik bagi mahasiswa yang mempunyai motivasi yang kurang dalam menulis. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripskan kemampuan mahasiswa dalam menulis opini tentang sesuatu yang mereka lihat dan rasakan, yaitu menuliskan opini tentang dosen pengajar Bahasa Inggris mereka. Analisi tulisan mahasiswa adalah desain yang di gunakan dalam penulisan ini. Peneliti menggunakan tata bahasa mahasiswa Teknik Sipil dalam menuliskan opini tentang dosen Bahasa Inggris mereka sebagai data penelitian. Penelitian ini diadakan pada semester ganjil pada tahun ajaran 2019-2020. Subject penelitian ini adalah mahasiswa Teknik Sipil angkatan 2018 sedang melakukan proses belajar mengajar Bahasa Ingris. Tulisan mahasiswa Teknik Sipil menujukkan bahwa mahasiswa mampu mengumukakan opininya tentang dosen Bahasa Inggris mereka dengan baik dan jujur meskipun masih ada beberapa mahasiswa yang membuat kesalahan dalam struktur penulisan dan ada yang memanfaatkan platform transleter. Kata Kunci: Menulis, Opini, Struktur Kalimat. PENDAHULUAN Di jenjang perguruan tinggi, para mahasiswa harus mampu untuk menulis atau mengexplorasi sesuatu dalam bentuk tulisan dalam bentul laporan, jurnal atau artikel. Sedangkan, menulis dalam Bahasa Inggris adalah salah satu kesulitan yang dialami oleh mahasiswa teknik, salah satunya adalah mahasiswa Teknik Sipil di salah satu kampus swasta di Surabaya. Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa Teknik Sipil dalam menulis menggunakan Bahasa Inggris adalah menyusun kata perkata menjadi suatu kalimat yang benar dan mudah dipahami Selain itu, mereka juga sering mengalami kesulitan untuk mengeksplore tema yang akan mereka tulis. Tidak jarang, mahasiswa sering melakukan copy paste dalam menuliskan sesuatu, seperti laporan ataupun karya tulis. Tribe (1996) di dalam thesis Marlina (2019) mengatakan jika banyak orang yang menguasai suatu bahasa dengan baik dan benar, setidaknya satu bahasa, tetapi banyak yang tidak mampu menulis dengan percaya diri. Hal inilah yang terjadi pada sebagian besar mahasiswa. Salah satu cara untuk meemotivasi mahasiswa untuk menulis dalam Bahasa Inggris adalah yang dekat dengan kehidupan mereka, adalah menulis opini atau mendeskripsikan tentang seseorang. Santana (2007) mengatakan jika opini merukapan perasaan dan pemikiran seseorang terhadap suatu subject. Dengan menuliskan sebuah opini, seirang dapat menuangkan dan mengungkapkan gagasannya atau pemikirannya dalam sebuah tulisan. Tetapi banyak orang yang takut untuk mengungkapkan gagasan meraka karena mereka takut akan dapat negative nya, misalnya Ketika dosen meminta mahasiswanya untuk menuliskan opini tentang dosen tersebut, mahasiswa terkesan tidak jujur atau tidak mau mengungkapkan sesuatu yang negative karena mereka takut jika dosen akan mengurangi nilai mereka. Disini dosen harus menanamkan kepercayaan diri kepada mahasiswa jika mereka bisa menulis apapun tanpa takut dosen akan mengurangi nilai mereka. Disini, dosen juga mengajarkan mahasiswa Teknik Sipil untuk bebas beropini dan memerdekan mahasiswa yang masih takut akan kosenkuensi yang sebenarnya belum tentu mereka dapatkan. Penelitian ini meminta mahasiswa untuk menuliskan opini tentang dosen pengajar Bahasa Inggris mereka. Mahasiswa diijinkan menulis apapun tentang dosen tersebut baik dalam segi postif dan negatifnya. Didalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana mahasiswa dapat memberikan opini mereka dan bagaimana strukture tulisan mahasiswa menggunakan Bahasa Inggris. METODE Deskripsi kualitatif adalah metode yang di gunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana mahasiswa bisa menuliskan opini mereka tentang dosen Bahasa Inggris meskipun belajar mengajarnya menggunakan sistem daring. Peneliti akan menganalisa strukture penulisan mahasiswa, apakah sudah sesuai dengan susunan 127 Struktur dalam Menulis Opini: Merdeka Beropini dalam Mendeskripsikan Seseorang Norita Prasetya Wardhani, Hardono kalimat dalam Bahasa Inggris yang baik dan benar atau tidak. Ada 50 mahasiswa yang mengumpulkan tugas opini ini. Dosen hanya meminta mahasiswa untuk menulis 200 kata. Penelitian ini diadakan pada semester ganjil pada tahun ajaran 2019-2020, Ketika mahasiswa teknik sipil menempuh mata Kuliah English 2 di semester 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Mahasiswa teknik sipil dalam penelitian ini sedang menempuh semester 3. Mata kuliah yang mereka tempuh adalah mata kuliah Bahasa Inggris 2. Sebelum menempuh mata kuliah Bahasa Inggris 2, mahasiswa harus menempuh mata kuliah Bahasa Inggris 1. Dalam mata kuliah Bahasa Inggris 2, mahasiswa mempelajari tentang strukture lebih dalam dan mengarah ke pembelajaran TOEFL. Tapi sayangnya, masih banyak mahasiswa yang belum memahami dasar materi Bahasa Inggris, terutama strukture. Oleh sebab itu, dosen pengampu mata kuliah Bahasa Inggris 2, menerangkan kembali beberapa strukture yang umum di gunakan, contohnya simple present tense, simple past tense, simple continuous tense, dan lain sebagainya. Didalam mata kuliah Bahasa Inggris 2, seharusnya mahasiswa sudah memahami beberapa strukture yang digunakan didalam Bahasa Inggris. Karen mereka sudah mempelajarinya di mata kuliah Bahasa Inggris 1 dan mereka sudah di wajibkan mengikuti kursus yang diadakan oleh kampus sebanyak 16 kali pertemuan. Tapi pada kenyataannya masih banyak mahasiswa yang belum memahami strukture kalimat dalam Bahasa Inggris terutama jika mereka di minta untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan. Sebelum dosen meminta mahasiswa untuk menulis, dosen memberikan game untuk meningkatkan semangat mahasiswa dalam mmenulis. Game yang diberikan adalah menuliskan kalimat yang telah diberikan oleh dosen melalui 1 perwakilan kelompok, dan kemudian perwakilan tersebut membisikkan kesatu anggota kelompak apa yang kalimat yang telah di berikan. Dan itu lakukan secara mengular. Dengan begitu mahasiswa mencoba untuk mendengar dan menulis menggunakan Bahasa Inggris. Ketika atmosfer kelas sudah hidup, dosen menerangkan tentang strukture kalimat kepada mahasiswa. Tetapi, dosen menerangkannya tidak dalam 1 arah, maksudnya dosen menerangkan dan mahasiswa hanya menyimak. Dosen mengajak mahasiswa berinteraksi ketika menerangkan. Contohnya, dosen meminta salah satu mahasiswa untuk maju ke depan untuk menuliskan sebuah contoh. Dan dengan iming-iming reward penilaian bagi mahasiswa yang mau maju kedepan. Dengan begini, antusias mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah akan lebih besar. Setelah mahasiswa sudah mulai memahami apa yang dijelaskan oleh dosen, mahasiswa diminta untuk menulis beberapa kalimat dengan jelas dan benar. Dosen memberi beberapa kata ketrja dan mahasiswa harus membuatnya dalam kalimat. Selain itu, untuk melihat pemahaman mahasiswa dalam menulis, dosen meminta memberikan keterangan di bawah penulisan, dosen meminta mahasiswa untuk meberikan penjelasan, seperti contoh di Gambar 1. Gambar 1. Contoh keterangan agar mahasiswa memahami penulisan dengan baik dan benar Dengan diberikannya keterangan seperti contoh diatas, dosen dapat lebih memahami apakah mahasiswa sudah memahami strukture penulisan dalam Bahasa Inggris dengan baik atau tidak. Dosen selalu meminta mahasiswa untuk berusaha membuat tulisan sendiri tanpa mencontek dan tanpa takut ketika membuat kesalahan. Dosen memberikan feedback kepada kalimat singkat yang dibuat oleh mahasiswa, harapannya mahasiswa tidak membuat kesalahan yang cukup banyak ketika dosen meminta mereka untuk membuat tulisan. Setelah dosen menerangkan struktur penulisan dalam Bahasa Inggris dan meminmta mahasiswa untuk menulis kalimat sederhana, dosen meminta mahasiswa untuk menulis opini tentang dosen pengampu mata Kuliah English. Disini mahasiswa bebas menuliskan opini mereka dalam menilai cara mengajar, berkomunikasi, berpakaian, karakteristik, dan apapun itu yang mahasiswa ingin sampaikan. Sebelum mahasiswa menuliskan opininya, dosen berpesan untuk menulis yang jujur dan tidak usah di tutup-tutupi. Silahkan menulis positif dan negatifnya, serta memberikan saran ataupun kritik terhadap dosen tersebut. Hal tersebut tidak akan mengurangi nilai mahasisiwa. Karena dosen hanya melihat tata cara penulisan mahasiswa teknik sipil menggunakan Bahasa Inggris. Jadi ini memotivasi mahasiswa untu selalu berani dalam mengutarakan pendapat atau opininya. Dari 50 mahasiswa yang mengirimkan opini mereka dalam bentuk tulisan, masih ada 8 mahasiswa yang menulisannya tidak sesuai dengan struktur dalam Bahasa Inggris. Mahasiswa tersebut menterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Berikut adalah salah satu contohnya di gambar 2. 128 Struktur dalam Menulis Opini: Merdeka Beropini dalam Mendeskripsikan Seseorang Norita Prasetya Wardhani, Hardono Gambar 2. Tulisan mahasiswa dengan terjemahan Bahasa Indonesia Pada gambar 2, sudah terlihat sangat jelas jika mahasiswa tersebut hanya Menyusun kata-kata dalam Bahasa Inggris sesuai penyusunan SPOK dalam Bahasa Indonesia. Mahasiswa tersebut tidak menggunakan auxiliary dalam penulisan kalimatnya. Selain itu, tanda baca dan huruf besar-kecil juga tidak diperhatikan. Inilah kesalahan yang sering terjadi pada mahasiswa jika diminta untuk menulis menggunakan Bahasa Inggris karena Bahasa Inggris merupakan bahasi asing untuk kebanyakan orang di Indonesia. Sedangkan Bahasa Indonesia yang di gunakan oleh mahasiswa bukan Bahasa Indonesia baku, sehingga itu sangat berpengaruh pada cara menulis mahasiswa ketika menulis mengguakan Bahasa Inggris. Jika mahasiswa menggunakan Bahasa Indonesia yang baku, mahasiswa tidak akan kesulitan untuk menerjemahkannya kedalam Bahasa Inggris. Karena susunan kalimat Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia hampir sama. Yang membedakan adalah pada penggunaan auxiliary setelah Subject di Bahasa Inggris. Ada juga mahasiswa yang menggunakan platform google translate untuk menterjemahkan maksud mereka dalam Bahasa Inggris. Ketika mereka menulis dengan bantuan google translet, terlihat sekali kesalahan-kesalahan dalam tenses dan pronoun. Mahasiswa yang menerjemahkan menggunakan google translet bisa dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Tulisan Mahasiswa dengan menggunakan google translate Seharusnya diawal kalimat, kata know harus menggunakan past tense karena itu adalah kejadian yang sudah lewat. Begitu juga dengan phrasa college at the ITATS Campus mahasiswa bisa membuatnya lebih singkat agar tidak terlalu panjang. Tapi mahasiswa beralasan, dengan begitu jumlah kata yang dia tulis akan lebih cepat menjadi 200 kata. Jadi mereka sering menggunakan kata yang sebenarnya bisa di minimalisir atau menggilangkan flowering words. Alasan mahasiswa menggunakan google translet adalah mahasiswa merasa kesulitan dalam menerjemahkan danmalas mencari arti kata dalam Bahasa Inggrisnya. Selain itu, mahasiswa mengerjakannya secara mendadak. Padahal dosen memberi waktu 1 minggu untuk mengerjakan tugas ini. Selain 2 contoh tulisan di atas, tidak sedikit mahasiswa yang menulis menggunakan kalimat pendek tapi tetap mematuhi struktur kalimat dalam Bahasa Inggris sesuai dengan yang pernah di tugaskan oleh dosen. Jadi itu sangat memudahkan mahasiswa dalam penulisan opini. Contoh penulisan yang sesuai struktur ada dalam gamabar 4. Gambar 4. Penulisan kalimat yang benar Dilihat dari contoh diatas, hanya beberapa bagian sj yang salah, seperti I am not believing karena ini menceritakan masa lampau, seharunya tidak memakai am tetapi seharunya memakai was. Tapi susunanan strukture di kalimat ini sudah tepat. Penulisan kalimat yang informal, menandakan bahwa mahasiswa dekat dan nyaman dengan dosen mereka. Bisa kita lihat dari candaan mereka di kata hahahahah. Selain itu, mahasiswa juga sangat terbuka memberikan komen negative kepada dosen mereka. Mahasiswa tidak sungkan untuk bilang you have fierce face and your voice is too loud. Dalam setiap contoh yang diberikan, mahasiswa tidak hanya memberikan komen positif, tetapi juga komen negative. Mahasiswa sudah tidak malu ataupun merasa takut nilainya di kurangi. Karena mahasiswa sudah percaya dengan dosen mereka jika dosen tidak akan memberikan nilai buruk jika mahasiswa memberikan opini negative. Ini akan membuat tingkat kreatifitas mahasiswa terpancing dalam menyampaikan opini. Dosen wajib menghibau kepada mahasiswa jika mahasiswa berhak menyampaikan opini tetapi harus dalam batas-batas yang wajar, memperhatikan etika, dan kesopanan karena dosen berperah sebagai teladan bagi mahasiswanya. Ini adalah salah satu cara untuk memerdekakan mahasiswa dalam beropini dan menghilangkan stikma jika dosen selalu benar. Di lain sisi, dengan memberikan opini pada dosen pengajar, secara tidak langsung dosen juga bisa tau bagaimana cara mengajarnya, apakah mahasiswa bisa memahami atau tidak. Opini mahaiswa juga bisa digunakan sebagai bahan evaluasi oleh dosen yang bersangkutan. Dosen bisa membenahi sistem dan cara belajar mengajar agar mahasiswa lebih nyaman dan mudah dalam menerima pembelajaran. 129 Struktur dalam Menulis Opini: Merdeka Beropini dalam Mendeskripsikan Seseorang Norita Prasetya Wardhani, Hardono PENUTUP Simpulan Memerdekan mahasiswa dalam berkarya sangan membuka peluang bagi mereka untuk mengeksplore kreativitas mahasiswa meskipun itu di mulai dari hal kecil. Bimbingan dan dukungan mahasiswa dalam berkaya juga sangat di butuhkan agar mahasiswa tetap berjalan di jalurnya. Jika mahasiswa diberi kebebasan dalam berkreativitas atau menulis, mahasiswa akan lebih berani, walaupun tetap ada mahasiswa yang mencari jalan pintasnya, salah satunya dengan menggunakan google translet. Masih ada mahasiswa yang melakukan kesalahan dalam menulis, sehingga dosen harus lebih telaten dalam membimbing. Contohnya dengan memberi mereka tugas menulis tapi yang menyenangkan dan melibatkan dunia mereka atau hobi mereka. Salah satunya bisa menulis caption di media social. Saran Mahasiswa perlu diberikan stimulus agar berani mengungkapkan sesuatu melalui tulisan. Tulisan mahasiswa adalah suatu ekspresi mahasiswa dalam menyampaikan isi hati. Memberi tema pada mahasiswa sangat penting agar mahasiswa tidak kebingungan dalam menentukan alur tulisan. Lebih baik lagi, jika dosen mengikuti sesuatu yang sedang booming pada saat ini. Sehingga dosen dapat bersinergi dengan mahasiswa. Contohnya membuat tulisan menggunakan tik tok atau meminta mahasiswa mengunggah foto ketika praktek lapangan ke Instagram, lalu meminta mereka untuk memberikan caption untuk foto tersebut. Rahayu, Dwijayanti, et. al. 2015. Pembelajaran Menulis Opini Berbasis Media Video Berita di Televisi Pada Siswa Kelas X.2 SMA Negeri 1 Sawan. Undiksha Volume: Vol: 3 No: 1 Tahun: 2015 Reina L & Sarah K. 2019. Teaching Students to Write Opinion Pieces Using a Dialogic Approach. The Reading Teacher. https://ila.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.100 2/trtr.1848 Sakaria dan Nojeng, A, 2018. Bahan Ajar Menulis Opini dan Esai Dengan Pembelajaran Berbasis Proyek. http://ojs.unm.ac.id/retorika ISSN:16-142716 (cetak), ISSN: 2301-4768 (daring) Santana, S. 2007. Menulis Ilmiah: Metode Penulisan Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Setyowati, L. 2016. Analyzing the Students' Ability in Writting Opinion Essay Using Flash Card Fiction. Journal of English Language and Linguistics (JELTL). e-ISSN: 2502-6062,p-ISSN: 2503-1848 Tribble, C. 1996. Writting. Oxford: OUP. Per Linguam : A Journal of Language Learning. https://doaj.org/article/1f76d342abc6416580e3841 611409660 DAFTAR PUSTAKA Alfian. 2019. Analisa Kebutuhan Pembelajaran Mata Kuliah Bahasa Inggris untuk Mahasiswa NonJurusan Bahasa Inggris di Universitas Islam", INNOVATIO: Journal for Religious Innovation Studies. Karma, M. 2019 Analisa Pengelolaan Produksi dan Biaya Investigasi Fasilitas Bandar Udara untuk Memprediksi Peningkatan Revenue (Studi Kasus di Bandara Depati Amir–Pangkal Pinang) https://www.neliti.com/id/publications/273043/an alisa-pengelolaan-produksi-dan-biaya-investigasifasilitas-bandar-udara-untuk Marlian, V. 2019. Pengaruh Model Core (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) Dengan Latar Belakang Kemahiran Berbahasa Dalam Pembelajaran Menulis Opini.S2 Thesis. Universitas Pendidikan Indonesia. http://repository.upi.edu/id/eprint/40453 130 PENGARUH ANALISIS JABATAN UNTUK MENENTUKAN SPESIFIKASI JABATAN DALAM SUATU ORGANISASI : SEBUAH STUDI LITERATUR Muhammad Vandif Abdurahman Syah Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, muhammad.17010664057@mhs.unesa.ac.id Raditya Seta Sukma Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, raditya.17010664087@mhs.unesa.ac.id Abstrak Organisasi atau perusahaan adalah sebuah tempat dimana dua orang atau lebih melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan keingian dan tujuan atau visi dan misi yang sama sebagai suatu pencapaian dari organisasi atau perusahaan tersebut. Didalam organisasi atau perusahaan, dibutuhkan suatu analisis jabatan agar organisasi atau perusahaan dapat berjalan dengan baik dan dapat berkembang lebih besar dari sebelumnya. Studi ini merupakan sebuah studi literatur dengan mengkomparasikan beberapa penelitian yang tujuannya adalah ingin mengetahui bagaimana analisis jabatan menimbulkan efek baik positif maupun negatif terhadap organisasi atau perusahaan. Pencarian data untuk artikel ini menggunakan mesin pencari (search engine) yang ada di internet. Penelitian yang didapatkan tersebut memberikan sebuah hasil bahwa analisis jabatan memiliki peranan yang sangat penting terhadap organisasi atau perusahaan sehingga organisasi atau perusahaan dapat berjalan dengan baik dan dapat berkembang lebih besar lagi. Diharapkan dari hasil studi ini dapat memberikan manfaat yang baik terhadap organisasi atau perusahaan yang ingin mengembangkan atau baru berdiri dengan menggunakan analisis jabatan sebagai komponen yang harus diperhatikan untuk organisasi atau perusahaan. Kata Kunci: analisis jabatan, studi literatur. PENDAHULUAN Sumber daya manusia merupakan unsur utama dalam menjalankan suatu organisasi. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia merupakan salah satu unsur terbentuknya suatu organisasi. Organisasi menurut Bayle, et al. (dalam Rifa’i, 2013) adalah kumpulan orang yang bekerja bersama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup keluasan ragam bentuk perkumpulan orang. Seperti kelompok persaudaraan, kelompok dalam klub suatu bidang olahraga, organisasi sukarela, organisasi masyarakat, organisasi dalam suatu perusahaan, organisasi sekolah, lembaga pemerintahan dan organisasi lainnya yang nyata atau ada dalam suatu lingkup masyarakat. Langkah awal pembagian kerja dalam suatu organisasi dapat dilakukan dengan cara memanajemen sumber daya manusia. Manajemen sumber daya manusia dapat kita temui dalam suatu perusahaan atau suatu organisasi umum. Manajemen sumber daya manusia dalam Dessler (2015) menjelaskan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis adalah menghubungkan Manajemen Sumber Daya Manusia dengan peran dan tujuan strategis dalam rangka meningkatkan kinerja bisnis dan mengembangkan budaya organisasi dan mendorong inovasi dan fleksibilitas. Manajemen sumber daya manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu langkah dalam memanajemen sumber daya manusia adalah dengan menganalisis jabatan dalam setiap struktural suatu organisasi atau perusahaan. Analisis jabatan adalah suatu hal yang penting dalam suatu organisasi, baik dalam organisasi kerja maupun organisasi umum. Analisis jabatan digunakan dalam suatu organisasi guna untuk mengidentifikasi deskripsi kerja atau tugas dalam suatu organisasi. Analisis jabatan juga bertujuan untuk meletakkan individu kedalam suatu bagian dalam organisasi sesuai dengan kapabilitas atau kemampuan individu. Peletakan individu yang tepat dalam suatu organisasi dapat memberikan dampak positif untuk organisasi itu sendiri. Maka dari itu peran analisis jabatan dinilai sangat krusial dan penting dalam suatu organisasi. Analisis jabatan dalam dunia kerja dapat menjadi suatu dasar untuk menilai kinerja dari pegawai. Penilaian kinerja karyawan umumnya dilakukan setiap setahun sekali. Namun kebijakan tersebut tegantung dari kebijakan dari tiap-tiap perusahaannya. Hasil dari penilaian kinerja karyawan dapat digunakan sebagai dasar penentuan jenjang karir individu dan penentuan kompensasi individu tersebut. Analisis jabatan juga berfungsi sebagai faktor untuk menunjang profesionalisme karyawan dalam suatu organisasi. Dengan memberikan batasan wewenang yang jelas atau deskripsi kerja pada suatu struktural organisasi, akan memberi pengaruh terhadap 131 Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma profesionalisme kinerja pada individu dalam organisasi. Hal ini dikarenakan individu mengerti tugas yang dikerjakan dalam bidangnya dan membantu individu untuk mencapai target dalam kinerjanya, sehingga individu dapat memberikan kinerja yang baik dalam melakukan bagian atau tugas dalam bagiannya. Selain itu analisis jabatan juga diperlukan untuk memberikan persyaratan pada pelamar kerja atau klasifikasi yang diperlukan dalam rekrutmen suatu perusahaan. Penjelasan tentang pentingnya analisis jabatan dikemukakan oleh Schuler & Jackson, Sharman et al., & Dessler et al. (dalam Tanumiharjo et al., 2013) yang intinya analisis jabatan memberikan informasi terkait pekerjaan karyawan yang digunakan oleh sumber daya manusia profesional untuk menjelaskan deskripsi pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, dan penilaian kerja. Tinjauan Pustaka Analisis Jabatan Pengertian analisis jabatan menurut Edwin Flippo dalam Elbadiansyah (2019) adalah suatu proses mempelajari dan mengkoleksi informasi yang berhubungan dengan tanggung jawab dan deskripsi tugas tentang suatu pekerjaan tertentu dalam suatu organisasi. Menurut Dessler (2015), Analisis jabatan adalah suatu prosedur penilaian, pengumpulan dan penyusunan informasi secara sistematis terkait dengan suatu jabatan. Menurut Mathis dan Jackson (2011) dalam karyanya berjudul Human Resource Management 13th Edition analisis jabatan adalah cara sistematis mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang produk, konteks, dan persyaratan pekerjaan suatu individu. Kesimpulan dari beberapa pendapat diatas adalah analisis jabatan merupakan suatu kegiatan untuk membantu mengidentifikasi suatu jabatan, mulai dari bagaimana jabatan tersebut harusnya dilakukan, tugas-tugas pada jabatan tersebut, atau lebih ringkasnya adalah untuk mengetahui isi dari jabatan tersebut. Analisis jabatan dapat menjadi tolak ukur spesifikasi calon karyawan yang dibutuhkan dalam suatu organisasi. Tujuan dari analisis jabatan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 35 tahun 2012 adalah untuk penyusunan kebijakan program : 1. Pembinaan dan penataan kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan 2. Perencanaan kebutuhan pendidikan dan pelatihan 3. Evaluasi kebijakan program pembinaan dan penataan kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan perencanaan kebutuhan pendidikan dan pelatihan Tujuan analisis jabatan menurut Mathis dan Jackson dalam Human Resource Management 13th Edition (2012) bahwa analisis jabatan juga berguna untuk mengidentifikasi faktor dan kewajiban dalam suatu pekerjaan yang dapat berkontribusi pada kesehatan tempat kerja, keamanan dan keselamatan karyawan, dan masalah hubungan kerja. Informasi analisis jabatan dapat membantu membuat perbedaan antar pekerjaan meliputi : 1. Kegiatan dan perilaku kerja 2. Interaksi dengan orang lain 3. Standar kinerja 4. Dampak keuangan dan penganggaran 5. Mesin dan peralatan yang digunakan 6. Kondisi kerja 7. Pengawasan diberikan dan diterima 8. Pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dibutuhkan Terdapat 2 elemen output dalam analisis jabatan. 2 elemen output analisis jabatan tersebut meliputi: 1. Deskripsi Jabatan (Job Description) Deskripsi jabatan atau Job Description adalah informasi tertulis secara sistematis menguraikan tugas dan tanggung jawab dari suatu jabatan tertentu. Deskripsi jabatan memuat ringkasan tentang apa yang harus dilakukan oleh karyawan dalam melakukan tugasnya. Di bawah ini komponen yang terdapat pada deskripsi jabatan menurut Mustadin Tagala (2018, h.132): a. Job Title Berupa nama jabatan, yang berfungsi sebagai data dalam perusahaan dan guna memudahkan proses penyusunan laporan. b. Job procedure Berisi mengenai aktivitas-aktivitas atau kewajiban yang harus dijalankan sebagai karyawan, tools atau alat yang dipakai, interaksi formal dengan pekerjaan lain dan seberapa level supervisi yang diberikan. c. Work Conditions dan Physical Environment Mencakup suhu, panas, penerangan, suara/kebisingan, lokasi di dalam/di luar gedung, lokasi fisik, kondisi yang membahayakan. d. Social Environment Mencakup berapa kuantitas anggota dalam suatu kelompok kerja, dan seberapa jauh interaksi interpersonal yang perlu dijalin dalam menjalankan suatu pekerjaan tersebut. 132 Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma e. Job Conditions Berisi mengenai durasi jam kerja, struktur gaji, metode pembayaran, bonus, kedudukan dalam pekerjaan, kesempatan promosi dan transfer. 2. Spesifikasi Jabatan (Job Specification) Mathis dan Jackson (2012) mengungkapkan bahwa Spesifikasi jabatan merupakan beberapa hal yang dibutuhkan pegawai dalam menunjukkan kinerja serta kepuasan kerjanya, dimana hal tersebut terdiri dari pengetahuan, ketrampilan dan kebutuhan pegawai. Spesifikasi jabatan adalah kualifikasi minimum yang terdiri dari pendidikan, ketrampilan serta kebutuhan pegawai yang harus dipenuhi pada saat menjalani suatu jabatan tertentu agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Spesifikasi jabatan banyak memberikan manfaat pada organisasi, diantaranya: a. Sebagai dasar untuk organisasi melakukan evaluasi jabatan. b. Sebagai dasar untuk organisasi menentukkan standar kinerja pegawai. c. Sebagai dasar untuk organisasi pada saat melakukan rekrutmen, seleksi maupun penempatan pegawai baru. d. Sebagai dasar untuk organisasi merancang pendidikan dan pelatihan bagi pegawai. e. Sebagai dasar untuk organisasi menyusun jalur promosi bagi pegawai. f. Sebagai dasar untuk organisasi merencanakan perubahan dan menyederhanaan kerja yang ada dalam organisasi. g. Sebagai dasar untuk organisasi mengembangkan program kesehatan dan keselamatan kerja bagi pegawai. METODE Tulisan ini merupakan studi literatur. Peneliti mengumpulkan data berdasarkan jurnal penelitian melalui pencari data (search engine) dalam internet. Peneliti mencari jurnal penelitian 10 tahun terakhir yang memiliki kaitan dengan pengaruh analisis kerja terhadap organisasi, baik organisasi kerja maupun organisasi umum. Dari beberapa jurnal penelitian, terdapat 10 jurnal penelitan yang relevan dan memiliki informasi yang spesifik tentang pengaruh analisis jabatan terhadap organisasi. 10 jurnal penelitian tersebut akan digunakan sebagai data dalam studi literatur ini. 10 jurnal penelitian tersebut antara lain : 1. Studi Penataan Kelembagaan Berdasarkan Analisi s Jabatan Pada SATKER Pelaksana Jalan Nasional Provinsi Bengkulu karya Erry Christianty dan Willy Abdillah, Nasution tahun 2013 dalam The Manager Review : Jurnal Ilmiah Manajemen Vol. 15, No. 2. ISSN : 1979-2239. 2. Pengaruh Job Description dan Job Specification Terhadap Kinerja Proses karya Salmah Pattisahusiwa tahun 2013 dalam Jurnal Akuntabel : Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 10, No. 1. ISSN : 0216-7743. 3. Pemanfaatan Analisis Jabatan Dalam Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia Di Kantor Perpustakaan Kota Malang karya Lestari Eko Wahyudi tahun 2015 dalam Reformasi : Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No. 1. ISSN : 2088-7469 (Paper), ISSN : 2407-6864 (Online). 4. Pengaruh Analisis Jabatan dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Pegawai Pada kantor Camat Rantau Selatan karya Sarnama L. Tambunan dan Desmawaty Hasibuan tahun 2016 dalam jurnal ECOBISMA, Vol. 3, No. 1. ISSN : 2477-6092. 5. Evaluasi Analisa Jabatan dan Identifikasi Kebutuhan Pelatihan Untuk Peningkatan Kompetensi Pegawai Di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi karya Dwi Kurniawan dan Sumarni tahun 2017 dalam Jurnal Sains Sosio Humaniora, Vol. 1, No. 1. eISSN : 2580-2305 / pISSN : 2580-1244. 6. Pengaruh Analisis Jabatan dan Desain Pekerjaan Terhadap Perencanaan SDM Pada PT. Ultra Jaya And Trading Company, Tbk. Karya Esa Yulyanti dan Enang Narlan S.A.P. tahun 2018 dalam Jurnal Manajemen dan Bisnis (ALMANA) Vol. 2, No. 1. ISSN : 2579-4892. 7. Analisis Jabatan Penjaga Sekolah Dasar Negeri Kayukebek karya Sagita Manggala Dewi tahun 2018 dalam JMSP: Jurnal Manajemen dan Supervisi Pendidikan Vol. 2, No. 2. ISSN : 25414429. 8. Pelaksanaan Analisa Jabatan Pada Universitas Islam Kadiri karya Endah Kurniawati tahun 2018 dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol. 3, No. 3. ISSN : 2477-3166. 9. Analisis Jabatan, Beban Kerja dan Perhitungan Kebutuhan Pegawai di Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan karya Tri Istiwahyuningsih tahun 2019 dalam Jurnal Administrasi Pendidikan Vol. 26, No. 2. ISSN : p.1412-8152 e.2580-1007. 10. Pengaruh Analisis Jabatan dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Pegawai Pada Sekretariat Daerah Kota Pangkalpinang karya Meryance, Yudi 133 Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma Rafani, dan Dini Pratiwi tahun 2014 dalam Jurnal Ilmiah Progresif Manajemen Bisnis (JIPMB) Vol. 1, No. 1. ISSN : 2354-5682. PEMBAHASAN Menurut kajian dari jurnal, diperoleh beberapa poin penting dalam analisis jabatan pada suatu organisasi. Dalam pelaksanaan analisis jabatan yang dilakukan pada organisasi yang terdapat dua hal penting yang bisa didapatkan. Pentingnya analisis jabatan pada perusahaan. Analasis jabatan sendiri memiki beberapa pengertian, salah satunya adalah suatu prosedur penilaian, pengumpulan dan penyusunan informasi secara sistematis terkait dengan suatu jabatan (Dessler, 2015). Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa analisis jabatan memiliki peranan dalam mengatur kinerja dari karyawan dalam sebuah perusahaan atau organisasi agar tetap bisa terorganisir dengan baik. Selain itu, menurut Mathis dan Jackson (2011), analisis jabatan adalah cara sistematis mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang produk, konteks, dan persyaratan pekerjaan suatu individu. Sehingga analisis jabatan memiliki peranan penting dalam kepengurusan pada perusahaan atau organisasi. Selanjutnya analisis jabatan memiliki peranan penting pada pengembangan perusahaan. Selain penting dalam mengatur dan menempatkan karyawan, analisis jabatan juga memiliki peranan penting dalam mengembangkan perusahaan agar semakin maju, hal ini dapat dilihat dari aspek tujuan analisis jabatan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 35 tahun 2012 yang dimana bila disimpulkan, tujuannya adalah untuk mengembangkan perusahaan gas bisa lebih maju lagi. Selain itu hal ini dijelaskan lebih rinci didalam dua output analisis jabatan yaitu Job Description dan Job Specification. Komponen-komponen yang terdapat dalam dua output, memberikan penjelasan bahwa analisis jabatan memiliki banyak faktor yang menguntungkan dan dapat mengembangkan perusahaan bila diterapkan secara baik di perusahaan atau organisasi. Pada penelitian milik Meryance, dkk (2014), diketahui pentingnya analisis jabatan untuk diterapkan dalam penempatan apartur negara yang dimana persyaratan jabatan dan uraian pekerjaan akan mendasari pembagian pekerjaan untuk meningkatkan kinerja dari para apartur negara ini. selain itu pada penelitian Lestari pada tahun 2015 juga menyampaikan bahwa aktivitas-aktivitas yang dilakukan di perpustakaan ini berpacu pada hasil dari analisis jabatan. Lalu pada penelitian milik Esa, dkk (2018), peneliti disini mengatakan bahwa analisis jabatan berpengaruh terhadap perencanaan sumber daya manusia (SDM) sehingga dapat dikatakan penelitian ini juga melihat analisis jabatan merupakan suatu hal yang penting yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan. Hal ini juga dikatakan oleh Sarnama, dkk pada tahun 2016 yang dimana peneliti mengatakan bahwa analisis jabatan memiliki pengaruh yang positif terhadap pegaiwai sehingga kinerja dari pegawai memiliki peningkatan setelah dilakukannya analisis jabatan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Tri (2019) ini bahwa peneliti ingin menyampaikan bila ingin melakukan suatu penataan apartur atau kayawan, harusnya didasari oleh studi kerja melalui analisis jabatan. Peneliti-peneliti ini memberitahukan bahwa disetiap penelitiannya menjelasakan tentang pentingnya analisis jabatan dalam suatu perusahaan atau organisasi agar organisasi bisa berjalan dengan baik. Pentingnya analisis jabatan untuk mengembangkan perusahaan, dijabarkan dalam beberapa bukti yang telah ada dari beberapa penelitian. Penelitian milik Salmah pada tahun 2013, menjelaskan bahwa job description memiliki pengaruh yang baik kepada karyawan sehingga kinerja yang dimiliki oleh para karyawan tersebut meningkat. Pada tahun yang sama dengan penelitian milik Salmah (2013), penelitian milik Erry, dkk yang juga pada tahun 2013 ini menyampaikan hal yang sama, yaitu meningkatnya kinerja organisasi baik dari segi produktivitas, pelayanan, maupun kualitas, sehingga dari hal ini dapat dilihat bahwa penelitian ini memiliki pengembanga perusahaan yang baik. Beberapa tahun kedepan, penelitian milik Dwi dan Sumarni (2017) mengatakan bahwa analisis jabatan diperlukan untuk mengembangkan karyawannya melalui pelatihan, sehingga bila analisis jabatan tidak dilakukan, pelatihan pun tidak akan berhasil dengan baik. Pada tahun selanjutnya, penelitian milik Sagita (2018) mengatakan bahwa spesifikasi jabatan yang ada dalam analisis jabatan memiliki peranan penting dalam mengatur pembagian karyawan beserta tugas-tugasnya sehingga organisasi dapat berjalan lebih baik dan lebih efisien. Pada tahun yang sama Endah (2018) dengan penelitiannya yang mengatakan bahwa perencanaan analisis jabatan itu diperlukan agar analisis jabatan dapat menghasilkan hasil yang sesuai dengan perencanaan, bila hasil yang dihasilkan dari analasis jabatan ini sesuai, maka analisis jabatan akan berpengaruh dengan baik saat diterapkan. Pemaparan diatas telah memaparkan bagaimana pentingnya analisis jabatan pada suatu organsasi atau 134 Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma perusahaan, serta dampak-dampak positif yang dihasilkan dari analisis jabatan bila diterapkan dengan baik di suatu organisasi atau perusahaan. Sehingga pentingnya analisis jabatan dapat diterima oleh oraganisasi ataupun perusahaan. PENUTUP Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas, yaitu 1. Analisis jabatan merupakan suatu komponen yang penting dan diperlukan bagi suatu perusahaan atau organisasi untuk menata dan memberikan pengarahan kepada karyawan. 2. Analisis jabatan merupakan suatu komponen yang penting dan diperlukan bagi suatu perusahaan atau organisasi untuk dapat lebih berkembang dari sebelumnya. Meryance, Rafani, Y., & Pratiwi, D. (2014). Pengaruh Analisis Jabatan dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Pegawai Pada Sekretariat Daerah Kota Pangkalpinang. Jurnal Ilmiah Progresif Manajemen Bisnis, Vol. 1(1). Pattisahusiwa, S. (2013). Pengaruh Job Description dan Job Specification Terhadap Kinerja Proses. Jurnal Akuntanbel, Vol. 10(1). Tambunan, S. L., & Hasibuan, D. (2016). Pengaruh Analisis Jabatan dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Pegawai Pada kantor Camat Rantau Selatan. Jurnal Ecobisma, Vol. 3(1). Yulyanti, E., & Narlan, E. S. A. P. (2018). Pengaruh Analisis Jabatan dan Desain Pekerjaan Terhadap Perencanaan SDM Pada PT. Ultra Jaya And Trading Company, Tbk. . Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 2(1). Saran Peneliti menyarankan agar pihak yang ingin meneliti tentang judul atau tema yang sama dimasa mendatang agar menggunakan referensi yang lebih kaya dengan setidaknya ada satu referensi di setiap tahun untuk mengetahui perkembangan analisis jabatan ini. DAFTAR PUSTAKA Christianty, E., & Abdillah, W. N. (2013). Studi Penataan Kelembagaan Berdasarkan Analisis Jabatan Pada SATKER Pelaksana Jalan Nasional Provinsi Bengkulu. Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol. 15(No. 2). Dessler, Gary. (2015). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat Eko, L. W. (2015). Pemanfaatan Analisis Jabatan Dalam Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia Di Kantor Perpustakaan Kota Malang Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5(1). Istiwahyuningsih, T. (2019). Analisis Jabatan, Beban Kerja dan Perhitungan Kebutuhan Pegawai di Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. Jurnal Administrasi Pendidikan, Vol. 26(2). Kurniawan, D., & Sumarni. (2017). Evaluasi Analisa Jabatan dan Identifikasi Kebutuhan Pelatihan Untuk Peningkatan Kompetensi Pegawai Di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi. Jurnal Sains sosio Humaniora, Vol. 1(1). Kurniawati, E. (2018). Pelaksanaan Analisa Jabatan Pada Universitas Islam Kadiri. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 3(3). Manggala, S. D. (2018). Analisis Jabatan Penjaga Sekolah Dasar Negeri Kayukebek. Jurnal Manajemen dan Supervisi Pendidikan, Vol. 2(2). 135 STUDI LITERATUR MENGENAI PENILAIAN KEBUTUHAN PELATIHAN (TNA) TERHADAP PRODUKTIVITAS KINERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI Alma Abidah Sakaluri Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, alma.17010664176@mhs.unesa.ac.id Dwi Hestya Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, dwi.17010664186@mhs.unesa.ac.id Abstrak Pelatihan mempunyai pengaruh dalam pengembangan kinerja karyawan terutama produktivitas kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan tinjauan literature tentang penilaian kebutuhan pelatihan (Trainning Needs Analysis) pada progam pelatihan untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literature dengan melakukan telaah pada buku dan jurnal terkait penilaian kebutuhan pelatihan pada produktivitas kinerja. Data dalam penelitian ini dari 6 jurnal dan 1 buku yang diperoleh dari pencarian di internet. Data pada jurnal ini dianalisis secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah penilaian kebutuhan pelatihan (Trainning Needs Analysis) pada progam pelatihan dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Penilaian kebutuhan pelatihan merupakan tahap awal dalam merancang pelatihan, apabila proses ini tidak dilakukan dengan baik oleh organisasi maka program pelatihan tidak memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan organisasi dan tidak akan memberikan keuntungan bagi organisasi. Penilaian kebutuhan pelatihan merupakan komponen inti dari suatu progam pelatihan. Dengan melakukan penilaian kebutuhan pelatihan maka pelatihan akan berjalan dengan efektif dan efisien sehingga hal tersebut mampu meningkatkan produktivitas kinerja. Dengan meningkatnya produktivitas maka karyawan juga dapat mengembangkan karir serta kemampuan karyawan. Kata Kunci: Penilaian kebutuhan pelatihan, TNA, Pelatihan, Produktivitas kinerja. PENDAHULUAN Pada era saat ini kemajuan teknologi membawa dampak bagi suatu organisasi. Salah satunya yaitu adanya persaingan antara organisasi satu dengan yang lainnya, di mana persaingan tersebut dapat memotivasi organisasi untuk meningkatkan dan memajukan kinerja karyawan pada organisasi tersebut. Untuk mecapai hal tersebut, organisasi mengoptimalkan kemampuan kinerja karyawan dalam bidangnya masing-masing dengan mengadakan suatu pelatihan. Hal ini yang membuat manajer menyadari bahwa pelatihan merupakan suatu kebutuhan penting yang harus dilakukan sesegera mungkin. Manajer mengakui bahwa pelatihan dapat mengembangkan sumber daya manusia dan kinerja, sehingga dapat memajukan organisasi. Oleh karena itu, menjadi suatu tantangan tersendiri bagi manajer, HRD (Human Resource Development), dan trainer dalam menyelenggarakan suatu pelatihan yang bertujuan untuk memajukan organisasi supaya memiliki daya saing dan mampu beradaptasi dengan teknologi. Manajer seringkali melupakan langkah utama dalam menentukan pelatihan yang akan diberikan. Salah satunya, yaitu penilaian kebutuhan pelatihan yang merupakan komponen inti dari suatu progam pelatihan. Dalam menyelenggarakan pelatihan, organisasi berperan dalam penentuan kebutuhan pelatihan secara tepat dan sesuai, supaya penggunaan anggaran pelatihan dan sumber yang lain dapat berjalan efektif. Untuk dapat mencapai hal tersebut, maka langkah pertama yang perlu dilakukan, yaitu menentukan lokasi, cakupan, dan tinngkat kebutuhannya. Menurut Mangkunegara (dalam Hutajulu & Supriyanto, 2013) pelatihan atau training merupakan proses pendidikan yang ditempuh dalam waktu singkat yang menggunakan prosedur terstruktur, di mana traine mempelajari keterampilan dan pengetahuan. Pelatihan juga merupakan suatu prosedur yang dilakukan secara berkesinambungan dan tidak dilakukan sekali saja dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana pelatihan berperan sangat penting dalam membentuk kreativitas yang digunakan dalam pencapaian tujuan organisasi agar dapat berjalan lebih efisien dan efektif (Fatihin, 2014). Sedangkan menurut Simamora (dalam Sefriady & Iskandar, 2018) pelatihan merupakan suatu proses bimbingan dengan menyertakan konsep, keahlian, sikap, dan peraturan yang bertujuan sebagai metode dalam pengembangan kinerja pada karyawan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan suatu prosedur dalam proses pendidikan yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang 136 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya menyertakan konsep, keahlian, sikap, dan peraturan sebagai bekal dalam membentuk kreativitas untuk pengembangan kinerja karyawan. Pelatihan yang ditujukan bagi pengembangan kinerja karyawan dapat berupa keahlian, pengetahuan maupun sikap kerja yang diinginkan oleh suatu organisasi. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sahanggamu (2014), yaitu pelatihan yang ditujukan untuk karyawan merupakan suatu prosedur yang memberikan tiga aspek, yaitu keahlian, pengetahuan, dan sikap tertentu supaya karyawan mempunyai keterampilan dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan pekerjaannya masingmasing dalam suatu organisasi. Ketiga aspek ini merupakan poin-poin yang harus dikembangkan dalam diri karyawan, supaya mereka sadar jika mereka merupakan karyawan yang terampil untuk memajukan organisasinya. Selain itu, efisiensi dan efektivitas program pelatihan dapat mendorong berkembanganya keterampilan dan pengetahuan pada karaywan. Menurut Pojoh (2014) terselenggaranya pelatihan dengan baik, maka akan mempengaruhi pada kinerja dari karyawan dalam suatu organisasi. Suatu program pelatihan dapat dilakukan dengan melalui beberapa tahapan. Menurut Dessler (dalam Arda, 2019) tahapan program pelatihan dapat dilakukan melalui lima tahap, yaitu: a) tahap pertama, yaitu melakukan penilaian kebutuhan pelatihan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan keterampilan dari traine; b) menyusun instruksi, berupa kegiatan pelatihan, modul pelatiha, dan lembar kerja; c) melakukan uji coba terhadap pelatihan yang akan dilakukan; d) melakukan pelatihan pada traine; e) melakukan evaluasi untuk meninjau keberhasilan maupun kegagalan program pelatihan. Sedangkan menurut Gomes (dalam Arda, 2019) terdapat tiga tahapan dalam merancang program pelatihan, yaitu: a) menentukan penilaian kebutuhan pelatihan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu penilaian kebutuhan pelatihan berdasarkan pada hasil observasi, tanpa menghiraukan data tentang kinerja karyawan, dan berhubungan dengan sumber daya manusia di masa depan; b) merancang program pelatihan yang disesuaikan dengan kurikulum dan kebutuhan; c) evaluasi terhadap pelatihan yang bertujuan untuk menilai keefektifan dari pelatihan yang telah dilakukan. Setelah pelatihan selesai dilakukan, maka untuk mengetahui keberhasilan dari pelatihan tersbeut dibutuhkan adanya suatu evaluasi yang didasarkan pada berbagai informasi yang telah diperoleh ketika melakukan proses penilaian kebutuhan pelatihan sampai pelatihan selesai dilakukan. Menurut Arda (2019) evaluasi program pelatihan dapat mengacu pada informasi-informasi berikut: a) reactions (informasi yang didapat dari traine mengenai kepuasan mereka dalam mengikuti pelatihan); b) learning (informasi yang didapat dari traine mengenai sejauh mana mereka memahami konsep-konsep yang diberikan dalam materi pelatihan); c) behaviors (informasi yang didapat dari tingkah laku traine sebelum dan sesudah melakukan pelatihan guna mengetahui seberapa efektif pelatihan tersebut); d) organizational result (informasi yang didapat dari efek yang dihasilkan terhadap organisasi); dan e) cost effectivity (informasi yang didapat dari anggaran biaya yang dikeluarkan dalam melakukan pelatihan. Hal pertama dan terpenting sebelum melakukan pelatihan diperlukan adanya rancangan penilaian kebutuhan pelatihan atau yang sering disebut dengan TNA (Training Needs Analysis). Menurut Kaufman (dalam Chaerudin, 2019) penilaian kebutuhan pelatihan merupakan suatu proses yang digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan yang disebabkan oleh munculnya ketidakseimbangan (gap) antara sesuatu yang diperoleh sekarang dengan sesuatu yang diharapkan. Penilaian kebutuhan pelatihan merupakan tahap awal dalam merancang pelatihan, apabila proses ini tidak dilakukan dengan baik oleh organisasi maka program pelatihan tidak memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan organisasi dan tidak akan memberikan keuntungan bagi organisasi (Chaerudin, 2019). Program pelatihan yang diberikan akan membawa manfaat bagi masing masing karyawan yang dapat membantu dalam pelaksanaan kinerjanya dan jika dilakukan dengan baik akan mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan (Pojohet al.2014). Menurut Rifai (dalam Budiyanti & Damayanti, 2015) kebutuhan pelatihan merupakan cara yang digunakan dalam peningkatan sikap dan keterampilan serta pemenuhan pengetahuan yang kurang. Dalam melakukan pelatihan ada beberapa tahap dalam penilaian kebutuhan pelatihan yaitu meliputi analisis organisasi, analisis pekerjaan dan analisis individu (Budiyanti & Damayanti, 2015). (1) Analisis organisasi merupakan strategi bagi organisasi atau manajemen HRD untuk mendiagnosa kebutuhan pelatihan yang akan dilakukan. Menurut Irwin Goldstien (dalam Chaerudin,2019) dalam strategi organisasi ini mengidentifikasi atau menentukanpelatihan yang akan dilakukan dengan melakukan beberapa hal seperti tujuan organisasi, kendala lingkungan, iklim organisasi, dan sumber 137 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya daya. (2) Analisis pekerjaan merupakan strategi dalam menentukan hal hal yang harus diberikan kepada karyawan, hal tersebut guna untuk karyawan dapat melakukan tugas pekerjaanya dengan baik dan sesuai serta dapat membantu organisasi dalam penerapan kemampuan kinerja yang lebih berkompetensi (Chaerudin, 2019). (3) analisis individu merupakan strategi yang dilakukan untuk mengetahui kinerja karyawan dalam melakukan pekerjaannya (Chaerudin, 2019). Dalam ketiga analisis tersebut analisis organisasilah yang menjadi dasar dalam sebuah pelatihan serta dalam pelatihan ketiga analisis tersebut harus terlaksana secara baik dan terintegrasi agar dapat memberikan hasil yang sesuai. Menurut Chaerudin (2019), dalam penilaian kebutuhan pelatihan terdapat tahapan tahapan agar dapat menghasilkan progam pelatihan yang sesuai nantinya yang akan membawa dampak yang lebih baik dari sebelumnya. Organisasi akan melakukan tahapan tahapan sebagai berikut : (1) penilaian kebutuhan pelatihan, hal tersebut dilakukan dengan melakukan analisis organisasi, analisis karyawan dan analisis individu; (2) kepastiankaryawan dalam mengikuti suatu progam pelatihan dengan menganalisis sikap, keterampilan dan motivasi; (3) penciptaan di lingkungan belajar dengan melakukan identifikasi tujuan pelatihan, materi yang akan dibutuhkan, umpan balik hasil dari pelatihan; (4) kepastian alih pelatihan dengan melakukan rencana rencana strategi dalam manajemen agar menciptakan hubungan yang baik antara karyawan dan atasan (5) metode dalam pelatihan dengan melakukan analisis metode apa yang akan digunakan; dan (6) evaluasi progam pelatihan dengan melakukan identifikasi hasil, evaluasi serta anggaran progan dari pelatihan. McClelland (dalam Chaerudin,2019) mengemukakan bahwa metode penilaian kebutuhan pelatihan adalah cara yang konsisten dalam SDM di sebuah organisasi. Dengan melakukan hal tersebut organisasi dapat memperoleh keuntungan salah satunya yaitu mengatsai masalah yang ada di sebuah organisasinya. Dalam penilaian kebutuhan pelatihan yang berhak melakukannya adalah staf yang berpengalaman dalam penilaian kebutuhan pelatihan. Menurut Schuler (dalam Budiyanti & Damayanti, 2015) penilaian kebutuhan pelatihan ini digunakan dalam tahap awal proses pengadaan pelatihan. Dalam melakukan pelatihan yang dapat menghasilkan sebuah pelatihan yang sesuai dan tepat maka harus dilakukan langkah yang tepat dengan melakukan penilaian kebutuhan pelatihan. Penilaian kebutuhan pelatihan juga dapat mengantisipasi terjadinya masalah masalah yang akan datang pada nantinya. Penilaian kebutuhan pelatihan dapat diartikan sebagai pengevaluasian kinerja karyawan yang kedepannya akan membawa kompetensi yang sesuai oleh karyawan dan organisasi serta dapat mengembangkan produktivitas kinerja karyawan (Chaerudin, 2019). Peningkatan produktivitas kinerja karyawan dapat diwujudkan dengan melakukan salah satunya yaitu progam pelatihan. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Mile, dkk (2014) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara pelatihan dengan peningkatan kinerja karyawan. Pelatihan membawa pengaruh yang positif bagi karyawan dan dapat mengembangkan karir, produktivitas kinerja serta kemampuan karyawan. Menurut Hasibuan (2014), dilakukannya pelatihan dan pengembangan karyawan guna untuk meningkatkan kemampuan karyawan seperti teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan. Hal itu sejalan dengan prestasi dan produktivitas karyawan menjadi lebih baik serta dapat optimal dalam melakukan kinerjanya. Menurut Sutrisno (2012), sasaran pelatihan yang dilakukan organisasi pastinya memiliki sasaran. Salah satu sasaran tersebut adalah untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan yang ada di dalam organisasi agar dapat mencapai tujuan organisasi. Sebuah organisasi tentunya melakukan hal hal yang akan mencapai target dan tujuan sebuah organisasi. Tercapainya sebuah organisasi pada tujuannya yaitu dengan memiliki sumber daya manusia yang baik. sebuah organisasi pastinya juga melakukan hal hal agar meningkatkan produktivitasnya seperti melakukan hubungan baik antara karyawan dengan atasan serta melakukan penilaian kebutuhan pelatihan agar mampu meningkatkan produktivitas kinerja (Mile; Mekel & Karuntu, 2014). Menurut Elbadiansyah (2019) produktivitas kerja merupakan suatu hal yang dapat menyatakan ukuran keberhasilan sumber daya manusia dalam mencapai kinerjanya. Menurut Fahmi (dalam Fibriany, 2017) produktivitas kerja karyawan sangat berhubungan dengan kinerja karyawan karena hal tersebut sama sama mengahasilkan suatu hasil saat bekerja yang telah diperoleh oleh suatu organisasi. Menurut Sutrisno (2012) terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas karyawan seperti sarana produksi, lingkungan kerja dan kesehatan. Sedangkan menurut Polyzos (dalam Prabawa & Supartha, 2018) menyebutkan faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas yaitu terletak pada keefektifan yang diberikan organisasi yaitu berupa kerjasama antar karyawan dan atasan, misalnya 138 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya dengan melakukan penilaian kebutuhan pelatihan sehingga membuat karyawan dapat meningkatkan produktivitasnya serta dapat mengembangkannya menjadi lebih optimal. Sehingga hal tersebut akan membawa pengaruh yang baik bagi organisasi itu sendiri dalam peningkatan produktivitas karyawan dari segi aspek aspek tertentu yang mendukung. Dari latar belakang diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang penilaian kebutuhan pelatihan (Trainning Needs Analysis) pada progam pelatihan untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi guna untuk mengembangkan produktivitas di sebuah organisasi. METODE Pada penelitian ini menggunakan studi literature dengan melakukan telaah pada buku dan jurnal terkait penilaian kebutuhan pelatihan pada produktivitas kinerja. Studi literature ini digunakan dalam mengidentifikasi hasil dari penelitian yang terdahulu serta untuk mengetahui suatu gambaran dari suatu fenomena yang telah diketahui maupun belum diketahui peneliti. Menurut Cooper (dalam Creswell, 2010) studi literature memiliki tujuan, ayitu untuk memberikan informasi mengenai hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan pada saat ini, mengaitkan penelitian yang dilakukan saat ini dengan penelitian terdahulu, studi literature berisikan suatu telaah dan rangkuman, serta gagasan peneliti mengenai kajian pustaka yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini. Jenis data pada peneletian ini berupa data sekunder. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi pustaka. Hasil dari studi literatur ini akan digunakan dalam mengidentifikasi tujuan dari penelitian. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini, yaitu buku dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian. Sumber data tersebut terdiri dari satu buku dan enam jurnal mengenai penilaian kebutuhan pelatihan terhadap produktivitas kinerja karyawan. Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu melakukan pencarian terhadap datadata yang berupa buku, catatan, jurnal atau artikel, dan lain-lain (Arikunto, 2010). Sedangkan teknik analisa data pada penelitian ini, yaitu dengan menggunakan metode analisis isi yang dapat digunakan dalam proses pencarian suatu kesimpulan yang akurat, di mana hal tersebut dapat diteliti kembali menurut konteksnya (Kripendoff dalam Mirzaqon dan Purwoko, 2018). Proses dalam analisis ini, yaitu dengan cara memilih literature yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, membandingkannya, melakukan penggabungan terhadap keduanya, dan memilah definisi yang relevan dan sesuai dengan topik pada penelitian yang akan dilakukan (Sebaguna dalam Mirzaqon dan Purwoko, 2018). PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang topik penilaian kebutuhan pelatihan terhadap produktivitas kerja menurut beberapa literature, seperti buku dan jurnal yang relevan dengan topik tersebut diperoleh berbagai data yang menunjukkan bahwa penilaian kebutuhan pelatihan dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam pengembangan produktivitas kinerja karyawan. Proses penyusunan penilaian kebutuhan pelatihan telah dibahas dalam bagian pendahuluan. Dalam melakukan kajian pustaka mengenai topik ini, peneliti mengalami suatu kendala, yaitu kesulitan dalam mencari literature yang relevan dengan topik penelitian. Studi literature pertama yang relevan dengan topik penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Putri dan Karjono (2017) mengenai kebutuhan pelatihan di RSUD dr. R Sodarsono Pasuruan yang didasarkan pada training needs analysis (penilaian kebutuhan pelatihan) bagi pejabat structural di rumah sakit tersebut. Kesenjangan yang terjadi pada fenomena tersebut, yaitu adanya para pejabat di rumah sakit tersebut tidak melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan yang disebabkan karena rendahnya kompetensi yang dimiliki. Oleh sebab itu, peneliti melakukan langkah awal dalam melakukan penelitiannya, yaitu dengan membuat dokumen TNA (Training Needs Analysis) yang digunakan dalam proses identifikasi kebutuhan pelatihan di bagian kepemimpinan dan manajemen di rumah sakit tersebut. Hasil dari penelitian tersebut, menunjukkan bahwa langkah awal dalam menyusun TNA dapat menjadikan kompetensi dari para pejabat di rumah sakit tersebur semakin meningkat yang disertai dengan dilakukannya pelatihan pengembangan karir. Studi literature kedua yang relevan dengan topik penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Wijayanti, Purba, dan Wahyudi (2017) mengenai rancangan TNA dalam menyusun pelatihan terhadap sumber daya manusia di Rumah Sakit Bhayangkara Brimob bagi karyawan bagian pengelolaan pembelakan farmasi. Kesenjangan yang terjadi pada fenomena tersebut, yaitu adanya perbedaan yang terjadi antara keahlian atau keterampilan bidang 139 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya Sumber Daya Manusia (SDM) bagian pengelolaan pembekalan farmasi saat ini dengan yang diinginkan di rumah sakit tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan adanya TNA Sumber Daya Manusia bagian pengelolaan pembekalan farmasi yang digunakan dalam menyusun program pelatihan dengan beberapa tujuan. Tujuan tersebut, yaitu untuk meningkatkan kompetensi SDM; supaya karayawan bidang tersebut dapat melaksanakan tugas, pokok, fungsinya dengan benar; membekali pengetahuan yang dibutuhkan; dan diharapkan TNA ini dapat menjadi awal bagi pengembangan SDM pada karyawan tersebut supaya dapat memaksimalkan produktivitasnya. Hasil dari penelitian tersebut, menunjukkan bahwa TNA bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi dan layanan karyawan bagian pengelolaan pembekalan farmasi. Karena TNA dijadikan sebagai langkah awal dalam proses pelatihan yang diberikan kepada karyawan tersebut. Sehingga TNA direkomendasikan pada bagian manajemen untutk diterapkan di Rumah Sakit Bhayangkara Brimob. Studi literature ketiga yang relevan dengan topik penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Febriani dan Yusuarsono (2018) mengenai jenis TNA yang digunakan dalam meningkatkan kompetensi pada PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) BKKBN yang terletak di Provinsi Bengkulu. Kesenjangan yang terjadi pada fenomena tersebut, yaitu perbedaan antara kompetensi standar dengan kompetensi actual pada PLKB BKKBN Provinsi Bengkulu. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu rancangan TNA yang sesuai, yaitu jenis TNA reaktif. TNA tersebut merupakan suatu langkah sederhana dalam menganalisis, melakukan identifikasi terhadap kebutuhan pelatihan dengan menerapkan langkahlagkah, seperti menemukan fenomena (kesenjangan), setelah itu dijabarkan untuk mendapatkan informasi, prosesTNA, dan hasil TNA. Hasil dari penelitian tersebut, menujukkan bahwa TNA dapat menyelesaikan dan memberi solusi terhadap kesenjangan yang terjadi, serta dapat meningkatkan kompetensi pada PLKB BKKBN di Provinsi Bengkulu karena TNA menjadi langkah awal dalam pelaksanaan pelatihan yang mereka jalani. Studi literature keempat yang relevan dengan topic penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Rahma Mulyaningsari, Siti Juhairah dan Arif Surjadi (2016) mengenai kebutuhan pelatihan di Rumah Sakit Wava Husada yang didasarkan pada penerapan Training Needs Analysis bagi perawat. Kesenjangan yang terjadi fenomena tersebut adalah kurangnya kompetensi pada perawat di Rumah Sakit Wava Husada. Oleh sebab itu diadakan pelatihan yang berbasis training needs analysis untuk meningkatkan kompetensi perawat di rumah sakit Wave Husada. Hasil dari penelitian ini adalah dari tersusunnya progam pelatihan yang akan diberikan kepada perawat rumah sakit wave husada baik dari segi kompetensi teknis dan kompetensi manajrial bedasarkan training need analysis mampu meningkatkan kompetensi perawat. Dengan berjalannya pelatihan berdasarkan training needs analysis dengan baik maka akan menghasilkan kompetensi yang baik bagi perawat di rumah sakit wave husada serta dengan melakukan berdasarkan training need analysis maka pelatihan berjalan dengan efektif dan efisien. Studi literature kelima yang relevan dengan topic penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Abdul Qodir, Pudji Muldjono dam M Joko (2018) mengenai jenis penilaian kebutuhan pelatihan yang dilakukan untuk meningkatkan kompetensi professional pustakawan. Kesenjangan yang terjadi pada fenomena tersebut adalah adanya kurangnya keterampilan dan kompetensi yang dimiliki pustakawan. Kesenjangan keterampilan tersebut yaitu seperti kompetensi jaringan internet untuk layanan perpustakaan dan perawatanuntuk bahan pustaka. Sedangkan kesenjangan kompetensi yaitu kurangnya literasi, pengadaan bahan perpustakaan, pengadaan, pengatalokan subjek dan haringan internet. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu rancangan pelatihan yang susuai dan yang berdasarkan training needs analysis seperti menetapkan kebutuhan pelatihan dan prioritas pelatihan agar mampu meningkatkan keterampilan dan kompetensi pustakawan. Dalam melakukan penilaian kebutuhan pelatihan terdapat rekomendasi agar dapat meningkatkan keterampilan dan kompetensi pustakawan seperti mengikuti progam pelatihan on the job training dan off the training. Hasil dari penelitian tersebut, menujukkan bahwa TNA dapat menyelesaikan dan memberi solusi terhadap kesenjangan yang terjadi, serta dapat meningkatkan kompetensi dan keterampilan pustakawan. Studi literature keenam yang relevan dengan topic penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Netty Lisdiantini, Eva Mirza dan Yosi Afandi (2018) mengenai rancangan training needs analysis bagi tenaga sekretaris direksi PT industry kereta api (persero) Madiun dalam menyusun pelatihan yang akan diberikan. Hal ini dilakukan agar kemampuan dan kompetensi bagi tenaga sekretaris direksi PT industry kereta api (persero) Madiun meningkat dan mampu membantu pekerjaan pimpinan. training needs analysis adalah salah satu metode yang dilakukan 140 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya peneliti dalam menganalisis kesenjangan kemampuan kerja yang dimiliki oleh bagi tenaga sekretaris direksi PT industry kereta api (persero) Madiun. Kesenjangan yang dimiliki bagi tenaga sekretaris direksi PT industry kereta api (persero) Madiun adalah rata rata sedang dan kemampuan serta keterampilan yang dimiliki belum sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi. Hal ini dirasa organisasi melakukan pelatihan agar mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan dengan menggunakan training needs analysis. Studi literature ketujuh relevan dengan topik penelitian, yaitu buku yang ditulis oleh Ginting (2011) mengenai manajemen yang digunakan ketika melakukan pelatihan. Salah satu materi dalam bukunya, yaitu membahas mengenai pentingnya penilaian kebutuhan pelatihan dalam mengembangkan produktivitas karyawan. Menurut Ginting (2011) terdapat enam cakupan kebutuhan yang harus direalisasikan ketika menyelenggarkan penilaian kebutuhan pelatihan, yaitu: a) kebutuhan dari organisasi sebagai usaha dalam pengembangan organisasi secara efisien dan efektif; b) kebutuhan akan tuntutan pekerjaan, seperti produktivitas, kompetensi, keterampilan, dan pengetahuan; c) kebutuhan dari individu sendiri yang berkaitan dengan kinerja, motivasi, dan promosi; d) kebutuhan yang sudah ada pada saat ini namun belum juga terpenuhi; e) kebutuhan akan inovasi dan pembaharuan; f) kebutuhan yang digunakan untuk mengantisipasi suatu kejadian yang tidak terduga. Oleh karena itu, dari pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penilaian kebutuhan pelatihan dapat berdampak dalam pengembangan produktivitas pada karyawan. sehingga diperlukan suatu rancangan penilaian kebutuhan pelatihan yang baik dan sesuai untuk meujudkan hal tersebut. Berdasarkan beberapa studi literature yang telah dipaparkan, penilaian kebutuhan pelatihan (TNA) dapat mengembangkan kompetensi dan keterampilan karyawan di mana kedua aspek tersebut dapat digunakan dalam mengembangkan sumber daya manusia, seperti produktivitas kinerja pada karaywan. Menurut Benny (dalam Abubakar 2018) sumber daya manusia merupakan unsur terpenting dalam suatu organisasi karena akan menjadi penentu keberhasilan tujuan dari organisasi. Apabila sumber daya manusia dalam suatu organisasi tidak dapat bekerja dengan baik serta tidak didasari oleh suatu kompetensi, maka tujuan dari organisasi tidak dapat tercapai dengan optimal. Sumber daya manusia yang didasari adanya suatu kompetensi yang mumpuni, maka dapat menciptakan karakter sumber daya manusia yang baik dan mampu meningkatkan keterampilan karayawan. Hal ini dikarenakan jika karyawan yang bekerja di suatu organisasi mempunyai kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya, maka karyawan tersebut akan mempunyai kemampuan kinerja yang optimal dari segi kemampuan, sikap, dan pengetahuan mengidentifikasi adanya suatu produktivitas kinerja yang baik. Menurut Marwansyah (2012) kompetensi karyawan merupakan gabungan dari sikap, karakteristik, pengetahuan, dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pencapaian suatu keberhasilan pada pekerjaannya di mana hal tersebut dapat dikembangkan melalui rancangan penilaian kebutuhan yang diterapkan dalam pelatihan. Kompetensi karyawan yang terdiri dari gabungan beberapa sikap tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat pada produktivitas kinerja karyawan (Abubakar, 2018). Hal tersebut bermakna bahwa secara tidak langsung produktivitas kinerja karyawan memerlukan adanya kompetensi dan keterampilan yang mumpuni, sehingga karyawan dapat menjalankan tupoksi (tugas, pokok, dan fungsinya) dengan baik dan sesuai prosedur dari organisasinya. Menurut teori Mc.Clelland (dalam Sedarmayanti, 2011) mengungkapkan bahwa kompetensi merupakan ciri khas umum yang dapat mempengaruhi produktivitas kinerja yang baik pada individu. Teori tersebut selaras dengan teori yang diungkapkan oleh Becher, Huslid & Ulrich (dalam Abubakar, 2018) yang mengungkapkan bahwa kompetensi merupakan suatu ciri khas, kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki oleh individu yang dapat berpengaruh secara langsung terhadap produktivitas kinerja. Sehingga, pengetahuan dan keterampilan menjadi dua hal yang penting dalam mencapai produktivitas yang optimal. Oleh karena itu, penting bagi suatu organisasi adanya produktivitas yang optimal yang berkaitan dengan sumber daya manusia. Menurut Handoko (dalam Nuryanto, Enggok dan Abdurrahman 2017) faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas kinerja karyawan, yaitu keterampilan, kompetensi, motivasi, gaji, jenis pekerjaan, dan kondisi dari organisasi. Tingkatan produktivitas kinerja karyawan dapat ditentukan berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Sehingga hal tersebut sangatlah berpengaruh pada organisasi. Oleh karena itu, kompetensi yang dimiliki oleh karyawan harus segera diketahui supaya karyawan mampu bekerja dengan produktiv untuk mencapai tujuan dari organisasi. Dengan demikian, maka diperlukan suatu 141 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya penilaian kebutuhan dalam mengetahui kesenjangan yang terjadi dalam suatu organisasi demi terciptanya kompetensi yang mumpuni dalam meningkatkan dan mengembangkan produktivitas pada karyawan. Menurut Mulyaningsari R., Juhariah, S. & Surjadi, A. (2016), Training Needs Analysis merupakan hal penting agar tercapainya suatu pelatihan yang baik dan sesuai. Training Needs Analysis digunakan untuk menentukan kebutuhan pelatihan yang akan dilakukan dengan tujuan yang sesuai. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan keefektifan dan menghindari hal hal yang tidak diperlukan dalam sebuah progam pelatihan. Jika tanpa dilakukan Training Needs Analysis maka bisa membuat tujuan tidak terfokus pada prioritas dalam pengembangan atau peningkatan kemampuan karyawan serta timbul kesenjangan pada kinerja karyawan. Menurut Rothwell (dalam Chaerudin, 2019) terdapat beberapa kesenjangan pada karyawan yang mungkin timbul dalam sebuah organisasi, yaitu (1) kesenjangan kinerja pada karyawan pada saat ini yang berarah ke negatif , (2) kesenjangan kinerja pada karyawan pada saat ini yang berarah positif, (3) kesenjangan kinerja pada karyawan yang berarah netral, (4) kesenjangan kinerja pada karyawan pada saat masa depan yang negatif, (5) kesenjangan kinerja pada karyawan saat masa depan yang netral, dan (6) kesenjangan kinerja pada karyawan pada masa depan yang positif. Kesenjangan pada kinerja karyawan tidak selalu kea rah negatif. Kesenjangan kesenjangan yang terjadi pada karyawan baik buruknya akan berpengaruh pada suatu organisasi. Namun sebuah organisasi akan tetap menuntut agar karyawan mampu memiliki kompetensi yang baik agar dapat bekerja dengan baik dan sesuai. Maka dari itu penilai kebutuhan pelatihan sangat diperlukan agar dapat mampu mengidentifikasi kebutuhan prioritas karyawan. Menurut Chaerudin (2019) progam pelatihan yang efektif akan membawa keuntungan baik seperti meningkatkan produktivitas kinerja, menaikkan potensi sebuah organisasi dan memperbaiki etos kerja karyawan. Dalam mendapatkan keefektifan dalam suatu progam pelatihan, sebuah organisasi harus dapat memantau karyawan dalam pelaksanaan pelatihan. Sebelum pelatihan dan pengembangan pada karyawan dilakukan maka sebuah organisasi melakukan penilaian atau analisis kebutuhan. Menurut Mulyaningsari R., Juhariah, S. & Surjadi, A. (2016), pelatihan merupakan salah satu sarana agar karyawan mampu meningkatkan produktivitasnya. Dalam meningkatnya produktivitas kinerja, hal tersebut akan mendukung pelaksanaan kerja yang baik secara efisien dan efektif serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi. Menurut Ginting (2011), dalam melakukan penilaian kebutuhan pelatihan terdapat hasil yang diharapkan , yaitu (1) Tingkat suatu kebutuhan karyawan terhadap materi yang akan disampaikan pada pelatihan, (2) alokasi waktu yang tepat yang akan diberikan kepada karyawan yang mengikuti pleatihan dan (3) strategi dalam menyajikan materi pelatihan, materi yang disajikan disarankan sesuai dengan kesenjangan kemampuan pada karyawan yang mengikuti progam pelatihan. Hasil yang diharapkan dari peniilaian kebutuhan pelatihan tersebut bila dilakukan dengan baik, maka akan terwujud suatu pelaksanaan pelatihan yang efektif dan mampu memberikan ilmu yang bermanfaat bagi karyawan yang mengikuti. Hal tersebut akan dapat mengembangkan peningkatan kemampuan kinerja karyawan serta produktivitas yang akan dihasilkan dalam melakukan kinerjanya. Menurut Fuanida (dalam Budiartha., Bagia & Suwendra, 2015) suatu progam pelatihan secara simultan maupun parsial akan membawa pengaruh terhadap kinerja karyawan. Pengaruh tersebut akan meningkatkan produktivitas kinerja karyawan, karena dengan mengikuti suatu progam pelatihan maka karyawan akan termotivasi dan dapat meningkatkan produktivitas untuk mencapai sasaran / target pekerjaan. Wibowo (dalam Budiartha., Bagia & Suwendra, 2015) menyebutkan bahwa seseorang yang mengikuti pelatihan mampu meningkatkan produktivitas. Semakin sering seseorang mengikuti suatu progam pelatihan, maka semakin termotivasi untuk bekerja lebih giat lagi. Hal tersebut dapat disiratkan bahwa jika sering mengikuti suatu progam pelatihan maka karyawan akan dapat meningkatkan produktivitasnya karena karyawan tersebut mendapatkan motivasi dalam pelaksanaan suatu progam pelatihan. Hal ini juga sejalan dengan teori Hasibuan (2014) yang mengatakan bahwa pelatihan dapat membentuk serta meningkatkan kemampuan karyawan. Dengan meningkatkan kemampuan karyawan maka karyawan dapat pula meningkatkan produktivitas kinerjanya disebuah organisasi. PENUTUP Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kebutuhan pelatihan (Trainning Needs Analysis) pada progam pelatihan dapat meningkatkan dan mengembangkan produktivitas kinerja pada 142 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya karyawan. Produktivitas pada karyawan dapat meningkat dan berkembang dengan diadakannya suatu progam pelatihan. Selain itu pelatihan juga digunakan dalam mengurangi kesenjangan kemampuan karyawan dalam bekerja. Sebuah progam pelatihan yang menunjukkan keefesienan dan keefektifan adalah pelatihan yang berdasarkan pada penilaian kebutuhan karyawan (training needs analysis). Dengan meningkatkan dan mengembangkan produktivitas kinerja karyawan maka membawa pengaruh yang positif bagi individu maupun organisasi. Penilaian kebutuhan pelatihan merupakan komponen inti dari suatu progam pelatihan. Dalam menyelenggarakan pelatihan, organisasi berperan dalam penentuan kebutuhan pelatihan secara tepat dan sesuai, supaya penggunaan anggaran pelatihan dan sumber yang lain dapat berjalan efektif. Saran Bagi organisasi Untuk meningkatkan dan mengembangkan produktivitas kinerja pada karyawan, yaitu dapat dilaksanakan dengan merencanakan dan menyusun penilaian kebutuhan pelatihan bagi karyawan melalui informasi yang diperoleh dari kesenjangan yang ada dalam organisasi tersebut. Sehingga organisasi dapat melaksanakan pelatihan untuk mengatasinya. Bagi studi literature selanjutnya a. Supaya lebih disiapkan tentang ketersediaan sumber atau literature , seperti jurnal, artikel, buku, dan lain sebagainya. Sehingga ketika proses mengerjakan artikel jurnal dapat mengkaji teori secara lebih mandalam. b. Supaya lebih disiapkan kondisi mental dan fisik, karena dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode studi literature dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk duduk, membaca buku atau referensi dan menghadap laptop atau computer, di mana hal tersebut dapat membuat mata menjadi lelah. Sehingga harus dijaga dan dipersiapkan. Bagi peneliti selanjutnya a. Hasil penelitian ini hanya berbentuk literature awal mengenai manfaat penilaian kebutuhan pelatihan dalam meningkatkan dan mengembangkan produktivitas kinerja pada karyawan. Sehingga dibutuhkan tindak lanjut lebih dalam untuk membahas hal tersebut. b. Pada penelitian selanjutnya, bisa memanfaatkan penelitian studi literature ini dengan mengadakan penelitian lanjutan. DAFTAR PUSTAKA Abubakar, R.R.T. (2018). Pengaruh kompetensi pegawai terhadap produktivitas kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bandung. Jurnal Administrasi Negara, 24(1), 17-32. Arda, I.B.N., (2019). Mencetak SDM Unggul di UPTD BLKIP Disnakersdm Provinsi Bali. Jurnal Bali Membangun Bali, 2(3), 119-136 Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Budiartha, I.G.N., Bagia, I.W., & Suwendra, I.W. (2015). Pengaruh pelatihan dan motivasi kerja terhadap produktivitas kerja karyawan. Jurnal Bisma Universitas Pendidikan Ganesh, 3 (1). Budiyanti,H., & Damayanti, N.A. (2015). Penilaian kebutuhan pelatihan pada tingkat individu petugas rekam medis. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 3 (1), 70- 79. Chaerudin, A. (2019). Manajemen pendidikan dan pelatihan SDM. Sukabumi: CV. Jejak. Creswell John W., 2010, Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 3th, terjemahan Achmad Fawaid, Yogyakarta. Elbadiansyah. (2019). Manajemen sumber daya manusia. Malang:CV. IRDH. Fatihin, A. (2014). Pengaruh pelatihan dan budaya organisasi terhadap efektivitas kinerja karyawan. Jurnal STAIN Kudus, 2(1), 140-154. Febriani & Yusuarsono. (2018). Model training needs analysis (TNA) Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) di BKKBN Provinsi Bengkulu dalam meningkatkan kompetensi. Jurnal SNISTEK, 1(1), 61-66. Fibriany, F.W. (2017). Peningkatan produktivitas melalui pelatihan karyawan pada PT. Giordano Indonesia. Jurnal Cakrawala, 17 (2), 165-170. Ginting, A. (2011). Manajemen pendidikan dan pelatihan:esensi praktis. Bandung: Humaniora. Hasibuan, M., S., P. (2014). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hutajulu, S.M. & Supriyanto. (2013). Tinjauan pelaksanaan pelatihan dan pengembangan karyawan pada PT. Inalum Kabupaten Batubara. Jurnal Bisnis Administrasi, 2(2), 30-39. Lisdiantini, N., Syafitri, E. M., & Afandi, Y. (2018). Analisis kebutuhan pelatihan bagi tenaga sekretaris direksi PT Industri Kereta Api (Persero) Madiun 143 Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya (training need analysis for secretary). Jurnal Epicheirisi, 2(1), 22-25. Marwansyah. 2012. Manajemen Manusia. Bandung : Alfabeta. Sumber Daya Mile,R., Mekel, P.A., & Karuntu, M. (2014). Analisis terhadap pelatihan dan pengembangan karyawan bagi peningkatan kinerja di PT. Pegadaian Gorontalo Utara. Jurnal EMBA, 2(4), 167- 174). Wijayanti, R., Purba A.V. & Wahyudi. (2017). Training needs analysis dan perencanaan program pelatihan sumber daya manusia bidang pengelolaan perbekalan faramasi Rumah Sakit Bhayangkara Brimob. Social Clinical Pharmacy Indonesian Journal, 2(1), 17-28. Mirzaqon, A. & Purwoko, B. (2018). Studi kepustakaan mengenai landasan teori dan praktik konseling expressing writing. Jurnal BK Unesa, 8(1), 1-8. Mulyaningsari, R., Juhariah, S., & Surjadi, A. (2016). Penerapan training needs analysis dalam upaya peningkatan kompetensi perawat di rumah sakit wava husada. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29(3), 291-299. Nuryanto, Enggok, M.S. & Abdurahman, A. (2017). Pengaruh kompetensi terhadap produktivitas kerja pegawai kantor unit penyelenggaran pelabuhan kelas iii Satui. Jurnal Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1(1), 83-96. Prabawa, I.M.A., & Supartha, I.W.G. (2018). Meningkatkan produktivitas karyawan melalui pemberdayaan, kerja sama tim dan pelatihan di perusahaan jasa. Jurnal manajemen Unud, 7(1), 497-524. Putri, E.N.R. & Karjono. (2017). Analisis kebutuhan pelatihan pejabat structural berdasarkan training needs assessment di RSUD dr. Soedarsono Kota Pasuruan. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS dr. Soetomo, 3(1), 47-57. Qodir, A., Muljono, P., & Affandi, M.J. (2017). Analisis kebutuhan pelatihan pustakawan berbasis kompetensi inti di Institute Pertanian Bogor. Jurnal Pustakawan Indonesia, 16(1), 28-35. Sahanggamu, P.M. & Mandey, S.L. (2014). Pengaruh pelatihan kerja, motivasi dan disipilin kerja terhadap kinerja karyawan pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Dana Raya. Jurnal EMBA, 2(4), 514-523. Sedarmayanti. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi dan. Manajemen Pegawai Negeri Sipil (cetakan kelima). Bandung: PT Refika. Sefriady, D.F. & Iskandar, D.A. (2018). Pengaruh pelatihan dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai di Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan. Jurnal Elektronik REKAMAN, 2(1), 57-68. Sutrisno, E. (2012). Menejemen sumber daya manusia: edisi pertama. Jakarta: Prenadamedia Group. 144 FAKTOR-FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG DAPAT MEMPENGARUHI DISIPLIN KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN Siti Nur Aini Hidayati Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, siti.17010664145@mhs.unesa.ac.id Kintan Cahya Oktaviani Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, kintan.17010664163@mhs.unesa.ac.id Abstrak Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memiliki sumber daya manusia dan kinerja yang bagus. Disiplin kerja merupakan salah satu aspek kinerja yang sangat penting dan harus dimiliki karyawan sebuah perusahaan. Disiplin kerja adalah sikap menghormati, menghargai, mentaati dan patuh terhadap peraturan yang ada baik yang tersirat maupun yang tersurat serta sanggup menjalankan tugas dengan tepat dan bertanggung jawab. Dalam penerapannya, masih ada saja organisasi atau perusahaan yang memiliki disiplin kerja yang rendah. Karyawan yang memiliki kedisiplinan tinggi bisa mengemban dan melakukan pekerjaan dengan baik dan semaksimal mungkin, sehingga tujuan perusahaan akan tercapai dengan optimal. Peneliti melakukan studi tentang faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan perusahaan dengan tujuan untuk mengetahui hal-hal yang dapat meningkatkan disiplin kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan dengan memanfaatkan bahanbahan pustaka seperti buku, jurnal, dan karya tulis ilmiah lainnya. Hasil penelitian yang didapatkan adalah ada tujuh faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan antara lain: kepemimpinan, pengawasan, penerapan absensi online, budaya organisasi, konsep diri dan efikasi diri, motivasi kerja, dan kepuasan kerja. Kata Kunci: disiplin kerja, faktor yang mempengaruhi PENDAHULUAN Seiring perkembangan jaman, lingkungan organisasipun turut berkembang terutama perusahaanperusahaan yang telah ataupun yang baru dibangun. Tentunya perusahaan yang dinamis akan berusaha mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan tersebut agar dapat tetap bersaing untuk mencapai tujuan masing-masing. Perusahaan tentunya harus memiliki sistem internal yang bagus terkait pengoordinasian dan perencanaan strategi pemasaran produk atau jasa. Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang ada. Perusahaan yang baik dapat dilihat dari SDM yang dimilikinya karena SDM tersebutlah yang mencerminkan citra dari perusahaan. SDM sebuah perusahaan merupakan faktor penting atau faktor sentral. Bagaimanapun bentuk, tujuan dan visi sebuah perusahan dibuat untuk kepentingan manusia. Menurut (Susiawan & Muhid, 2015), SDM merupakan aset paling penting sebuah organisasi baik itu organisasi skala kecil atau besar karena SDM merupakan sumber penggerak dan yang mengarahkan organisasi tersebut serta mempertahankan dan mengembangkan organiasai dalam berbagai tuntutan masyarakat. Pentingnya SDM ini menuntut perusahaan harus memiliki SDM yang berkualitas. Memiliki SDM yang berkualitas merupakan investasi jangka panjang yang menjamin bagi sebuah perusahaan dilihat dari peran SDM itu sendiri yang menjaga keberlanjutan organisasi atau perusahaan, kredibilitas dan kepercayaan khalayak umum (Kalangi, 2015) . Oleh sebab itu, tidak sembarangan dalam memilih atau merekrut SDM atau karyawan pada sebuah perusahaan. Perlu spesifikasi khusus mengenai kompetensi, keterampilan, sikap, dan profesionalitas tergantung dengan kebutuhan perusahaan itu sendiri yang nantinya akan direncanakan dan dilaksanakan oleh bagian manajemen sumber daya manusia (MSDM). Dengan memiliki spesifikasi yang sesuai dengan perusahaan, maka SDM atau karyawan dapat melaksanakan kinerjanya dengan baik. Kualitas SDM dapat dilihat dari bagaiman kinerja yang dilakukan oleh SDM dan produktivitasnya. Kinerja karyawan sendiri merupakan hasil kerja karyawan baik itu secara kualitas maupun kuantitas yang telah dicapai dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan (Tampi, 2014). Penjelasan lainnya adalah kinerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh sesorang atau kelompok dan memiliki hubungan erat dengan kinerja perusahaan. Dengan kata lain, jika kinerja karyawan baik maka berdampak baik pula pada kinerja perusahaan (Setyawan, 2018). Aspek-aspek dalam kinerja karyawan menurut Hasibuan (Mangkunegara, 2006) adalah kesetiaan, hasil kerja, 145 Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani kejujuran, kreativitas, kerja sama, kepemimpinan, kepribadian, prakarsa, kecakapan dan tanggung jawab. Aspek lain yang sangat penting adalah disiplin kerja. Disiplin kerja adalah sikap menghormati, menghargai, mentaati dan patuh terhadap peraturan yang ada baik yang tersirat maupun yang tersurat serta sanggup menjalankan tugas dengan tepat dan bertanggung jawab (Simamora, 2011). Sedangkan menurut Rivai (2011) disiplin kerja merupakan alat para manajer untuk berkomuniasi dengan karyawan agar bersedia dan mampu mengubah perilaku sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan dalam memenuhi semua peraturan perusahaan yang berlaku. Jadi dapat dikatakan bahwa disiplin kerja merupakan sikap kerja yang berupa kemauan atau kesadara untuk mentaati, menghormati dan melaksanakan semua peraturan yang berlaku di suatu organisasi baik itu peraturan yang tertilis maupun tidak tertulis. Disiplin kerja merupakan salah satu prinsip profesionalitas yang berpengaruh dalam peningkatan kinerja. Dari disiplin kerja, rasa tanggung jawab akan melekat saat pelaksanaan suatu tugas atau pekerjaan. Seorang karyawan yang memiliki profesionalitas dalam pekerjaan dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjanya dan akan melaksanakan sebaik mungkin untuk mendapatkan kinerja yang maksimal. Jika disiplin kerja tidak diberlakukan, maka karyawan merasa tidak memiliki tanggung jawab atas hasil dan akibat yang akan timbul sehingga kinerja akan rendah. Dengan adanya disiplin kerja ini, karyawan akan semakin termotivasi dan terdorong untuk mengerahkan semua kemampuan dan keterampilannya dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan serta meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat umum. Semakin tinggi tingkat disiplin kerja seorang karyawan, maka semakin tinggi pula kinerjanya bagi karyawan tersebut dan perusahaan. Pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan sangat penting sehingga sudah wajib seorang karyawan memiliki kedisiplinan kerja yang tinggi agar semua tugas-tugas yang diberikan dapat berjalan dengan lancar dan tidak menghambat pekerjaan rekan kerja yang lain. Jika disiplin kerja karyawan tidak optimal atau rendah dapat berdampak negatif bagi perusahaan. Misalnya saja karyawan A terlambat kerja, sehingga dalam penyelesaian tugasnya akan terburu-buru dan pekerjaannya tidak maksimal. Contoh lainnya jika karyawan B tidak masuk tanpa alasan, maka tugas yang seharusnya dikerjakan menjadi tertunda atau bahkan dialihkan kepada koleganya di divisi yang sama. Untuk kelancaran produktivitas perusahaan perlu disiplin kerja baik yang harus dimiliki tiap karyawan untuk kemajuan perusahaan di era globalisasi dimana semakin meningkatnya permintaan pasar. Ada beberapa kondisi dimana dapat menyebabkan ketidakdisiplinan karyawan. Menurut (Khanka, 2013) kondisi terdapat pada aktivitas manajemen yang berupa Kepemimpinan yang lemah, fleksibel dan tidak kompeten; Pengawasan yang tidak baik dan tidak berpengetahuan; kebijakan pembagian kekuasaan yang merusak semangat tim atau tidak ada keadilan dalam pembagian kekuasaan dalam tim; kondisi lingkungan kerja yang buruk; diskriminasi berdasarkan status sosial, jenis kelamin, ras, budaya, agama dan kasta; koordinasi dan penetapan tanggung jawab yang salah; komunikasi yang tidak efektif; dan terlambatnya pemberian gaji serta menanganan keluhan karyawan. Sehingga baiknya kondisi-kondisi tersebut dapat dihindari agar karyawan dapat mempertahankan dan meningkatkan disiplin kerjanya. Keberhasilan penerapan disiplin kerja tidak sama tiap perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang dilakukan. Penelitian yang dilkukan oleh (Lestari & Setiawan, 2015) yang menganalisis penerapan disiplin kerja dan pengelolaan lingkungan kerja guna meningkatkan kinerja guru di SMP Terpadu Darur Roja’ Srengat ini mengungkapkan bahwa penerapan disiplin kerja masih kurang. Banyak guru yang tidak hadir dengan keterangan maupun tidak dengan berbagai alasan seperti malas datang tepat waktu, kendaraan mogok atau ban bocor. Ketidakhadiran karena sakit yang seharusnya dengan surat dari dokterpun tidak dilampirkan tetapi hanya menghubungi pihak sekolah dengan pesan singkat atau telepon saja. Penelitian yang lain dilakukan oleh Sarwanto (2007) mengenai pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan di kantor Departemen Agama kabupaten Karanganyar. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa disiplin kerja karyawan masih terbilang sedang atau cukup sehingga perlu ditingkatkan lagi. Penelitian yang dilakukan oleh Satriawan (2015) mengenai penerapan disiplin kerja di bagian organisasi Sekretariat Daerah (SEKDA) Kota Semarang. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa disiplin kerja pada bagian organisasi SEKDA dalam hal absensi sudah baik dengan metode absensi manuak saat masuk kantor dan keluar kantor diwaktu pulang. Namun masih ada kendala dalam pelaksanaan disiplin kerja seperti budaya ewuh perkewuh tinggi dan pengetahuan cara memeriksa kegiatan kerja. Dari beberapa penelitian masih ada organisasi yang 146 Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani memiliki disiplin kerja yang rendah pada karyawannya atau masih ada kendala terkait disiplin kerja. Dari uraian yang telah dipaparkan, sangat penting adanya disiplin kerja yang dimiliki oleh karyawan dalam sebuah perusahaan. Untung meningkatkan disiplin kerja tersebut, perlu untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan yang menjadi aspek penting kinerja karyawan dan dapat berdampak pada kinerja perusahaan. Manfaat lainnya jika mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja adalah menghindari halhal yang dapat menurunkan disiplin kerja karyawan. Oleh karena itu, peneliti melakukan studi mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan. METODE Penelitian ini merupakan penelitian studi literatur dengan metode penelitian yaitu studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pemanfaatan bahan pustaka dengan mengkaji dari berbagi sumber buku, jurnal dan karya tulis lainnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan. Metode penelitian kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang bekenaan dengan pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat bahan penelitian (Zed, 2008). PEMBAHASAN Disiplin kerja merupakan sikap patuh dan hormat yang ada dalam diri karyawan terhadap ketetapan dan peraturan perusahaan atau organisasi, sehingga karyawan dapat menyesuaikan diri terhadap peraturan perusahaan secara suka rela (Sutrisno, 2009). Sedangkan menurut Mohtar (2019), disiplin kerja merupakan suatu sikap taat pada diri karyawan terhadap segala kententuan yang belaku dalam perusahaan atau organisasi atas dasar kesadaran dan bukan suatu paksaan. Peraturan perusahaan dalam ini bukan hanya yang tertulis, tetapi juga peraturan yang tidak tertulis seperi budaya atau kebiasaan yang dianut dalam suatu perusahaan. Dimana pelanggaran atau ketidaktaatan karyawan terhadap peraturan ini akan ada sanksi yang berlaku. Disiplin kerja mempunyai manfaat besar bagi karyawan maupun kepentingan organisasi. Bagi perusahaan, dengan adanya disiplin kerja, tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas akan terpelihara dengan baik sehingga bisa mencapi hasil yang optimal. Bagi karyawan, disiplin kerja menciptakan suasana kerja yang menyenangkan sehingga akan menambah semangat dalam mengerjakan pekerjaannya. Dengan adanya disiplin, karyawan dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin serta dengan penuh kesadaran demi terwujudnya tujuan perusahaan (Sutrisno, 2009). Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan, antara lain sebagai berikut: 1. Kepemimpinan. Penelitian Liyas (2017), menyatakan kepemimpinan memberikan pengaruh positif terhadap disiplin kerja karyawan, dimana kepemimpinan dapat mempengaruhi individu dibawahnya untuk bekerja sesuai tujuan yang ingin dicapai perusahaan. 2. Pengawasan. Berdasarkan penelitian Sigar, Sambul, and Asaloei (2018), pengawasan merupakan salah satu faktor penting terhadap disiplin kerja karyawan. Pengawasan yang dilakukan meliputi menentukan ukuran kerja (target dan waktu), penilaian, dan korektif. 3. Penerapan absensi online. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Safudin (2018), absensi online berpengaruh pada peningkatan disiplin kerja karyawan. Sistem aplikasi absensi online memudahkan pimpinan untuk memantau kedisiplinan karyawan, karena sistem ini mengahasilkan data yang akurat dan realtime. 4. Budaya organisasi. Penelitian Pribadi and Herlena (2016) menunjukkan nilai-nilai budaya organisasi berperan terhadap terbentuknya disiplin kerja karyawan. Sikap disiplin kerja merupakan bentuk kebiasaan dari nilai-nilai budaya dalam organisasi, dimana nilai-nilai budaya organisasi akan mengarahkan karyawan pada perilaku dan sikap disiplin. 5. Konsep diri dan efikasi diri. Konsep diri dan efikasi diri yang tinggi dapat berpengaruh pada peningkatan disiplin kerja yang tinggi pada karyawan. Konsep diri berperan sebagai pandangan individu mengenai dirinya sendiri dan didukung oleh efikasi diri yang membuat individu menjadi lebih gigih ketika menghadapi tantangan dan berguna untuk mengurangi perilaku terlambat serta untuk meningkatkan perilaku disiplin kerja (Siregar, 2016). 6. Motivasi kerja. Menurut Fauzan (2017), motivasi kerja merupakan sebuah aktualisasi seorang karyawan untuk meningkatkan kinerjanya. Motivasi menjadi pendorong karyawan untuk melakukan tindakan uang menguntungkan bagi perusahaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi kerja mempunyai pengaruh positif terhadap disiplin kerja. 147 Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani 7. Kepuasan Kerja. Penelitian Manik (2017) menujukkan adanya pengaruh positif kepuasan kerja terhadap disiplin kerja. Manik (2017) mengatakan peningkatan disiplin kerja karyawan bisa dilakukan dengan cara meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja bisa dilakukan dengan pemberian tunjangan kepada karyawan. PENUTUP Simpulan Disiplin kerja merupakan sikap hormat dan patuh yang ada dalam diri karyawan terhadap aturan atau standar yang ditetapkan perusahaan, baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Disiplin kerja merupakan salah satu prinsip yang sangat berpengaruh pada kinerja karyawan. Karyawan yang memiliki kedisiplinan tinggi bisa mengemban dan melakukan pekerjaan dengan baik dan semaksimal mungkin, sehingga tujuan perusahaan akan tercapai dengan optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan adalah kepemimpinan, pengawasan, penerapan absensi online, budaya organisasi, konsep diri dan efikasi diri, motivasi kerja, dan kepuasan kerja. Saran Sari penelitian ini telah diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi didiplin kerja karyawan. Pada penelitian selanjutnya, dapat diteliti mengenai variabelvariabel yang menarik untuk dikaitkan dengan disiplin karya karyawan untuk perkembangan ilmu kedepannya. DAFTAR PUSTAKA Fauzan, M. (2017). Pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap disiplin kerja pegawai (sebuah kajian ekonomi sumber daya manusia studi kasus pada PT. Bank Muamalat Indonesia cabang Pematangsiantar). Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 18(1), 34-40. doi:10.18196/jesp.18.1.3781 Kalangi, R. (2015). Pengembangan sumber saya manusia dan kinerja aparat sipil negara di kabupaten kepulauan sangihe provinsi sulawesi utara. Jurnal LPPM bidang ekososbudkum, 2(1), 118. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/10852 2-ID-pengembangan-sumber-daya-manusia-dankin.pdf. Khanka, S. S. (2013). Human resource management (text and cases). New Delhi: S. Chand & Company Ltd. Lestari, T. P., & Setiawan, R. I. (2015). Analisa penerapan disiplin kerja dan pengelolaan lingkungan kerja guna meningkatkan kinerja guru di SMP Terpadu Darur Roja’ Srengat Riset mahasiswa ekonimi (RITMIK), 2(3). Retrieved from http://journal.stieken.ac.id/index.php/ritmik/article /view/249. Liyas, J. N. (2017). Pengaruh kepemimpinan terhadap disiplin kerja karyawan pada PT. Bank Syariah Mandiri Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 2(2), 121-129. doi:http://dx.doi.org/10.15548/jebi.v2i2.98 Mangkunegara, P. (2006). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Manik, S. (2017). Pengaruh kepuasan kerja terhadap disiplin kerja pegawai kantor camat Pendalian IV Koto kabupaten Rokan Hulu. International Journal of Social Science & Business, 1(4), 257-264. doi:http://dx.doi.org/10.23887/ijssb.v1i4.12526 Mohtar, I. (2019). Hubungan Antara Motivasi Kerja Dan Pengalaman Kerja Dengan Kinerja Guru Madrasah. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. Pribadi, M. L., & Herlena, B. (2016). Peran budaya organisasi terhadap disiplin kerja karyawan direktorat produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Cilegon. Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(2), 225234. doi:10.15575/psy.v3i2.1112 Rivai, V. (2011). Manajemen sumber daya manusia untuk perusahaan : dari teori ke praktik. Jakarta: Raja Garfindo Persada. Safudin, M. (2018). Pengaruh penerapan absensi online terhadap disiplin karyawan pada purple express laundry Jakarta. Jurnal Kajian Ilmiah, 18(2), 104-109. doi:10.31599/jki.v18i2.189 Sarwanto, J. (2007). Pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan di kantor departemen agama kabupaten karanganyar. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Satriawan, A. (2015). Penerapan disiplin kerja di bagian organisasi sekretariat daerah (SEKDA) kota semarang. Universitas Negeri Semarang, Semarang. Setyawan, A. (2018). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan (studi kasus pada tiga perusahaan fabrikasi lepas pantai di Batan dan Karimun). Journal of accounting dan management innovation, 2(1), 67-89. Retrieved from https://ejournal.medan.uph.edu/index.php/jam/arti cle/view/175. Sigar, J. A. B., Sambul, S. A. P., & Asaloei, S. (2018). Pengaruh pengawasan terhadap disiplin kerja karyawan pada Hotel Sintesa Peninsula Manado. 148 Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani Jurnal Administrasi Bisnis, 6(3), 52-60. doi:https://doi.org/10.35797/jab.6.003.2018.20286 .%25p Simamora, H. (2011). Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: STIE YKPN. Siregar, R. J. E. (2016). Pengaruh konsep-diri dan efikasi-diri terhadap disiplin kerja karyawan bagian pemasaran PT. Pertamina (Persero) UPMS V Surabaya. sosio e-kons, 8(3), 234-250. doi:http://dx.doi.org/10.30998/sosioekons.v8i3.11 69 Susiawan, S., & Muhid, A. (2015). Kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Persona, jurnal psikologi indonesia, 4(3), 304-313. doi:https://doi.org/10.30996/persona.v4i03.725 Sutrisno, E. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia (1 ed.). Jakarta: Kencana. Tampi, B. J. (2014). Pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi terhadap kinerja karyawan pada PT Bangk Negara Indonesa, tbk (regional sales Manado). Journal acta diurna, 3(4), 1-20. Retrieved from https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurnak omunikasi/article/view/6228. Zed, M. (2008). Metode penelitian kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 149 PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI MAHASISWA ILMU HUKUM PADA ERA MERDEKA BELAJAR Muh Ali Masnun Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya, alimasnun@unesa.ac.id Abstrak Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan pengembangan kompetensi mahasiswa hukum pada era merdeka belajar. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan (studi literatur). Berdasarkan pembahasan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan tidak terkecuali perubahan dalam bidang pendidikan tinggi hukum sebagai bentuk tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan pengguna. Kebijakan merdeka belajar kampus merdeka pada perguruan tinggi hukum sebagai hal yang baru memiliki peluang sekaligus tantangan yang perlu dipersiapkan. Peluang tersebut antara lain dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa, khususnya pada aspek keterampilan dan kemahiran hukum. Magang sebagai bentuk pengejawantahan model triple helix maka peluang kolaborasi, sinergi, sekaligus kerjasama. Adapun tantangan kebijakan penerapan merdeka belajar dan kampus merdeka berupa penyiapan kurikulum yang sesuai dengan merdeka belajar serta kesiapan sumber daya manusia. Kebijakan penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka perlu disikapi dengan positif. Atas peluang dan tantangan kampus merdeka merdeka belajar, maka Perguruan tinggi hukum perlu menyiapkan beberapa hal: pertama perlu menyiapkan pedoman teknis kurikulum merdeka belajar berikut dengan sumber daya manusia secara optimal yang akhirnya kompetensi mahasiswa ilmu hukum dan berkembang. Kata Kunci: Peluang dan Tantangan, Pendidikan Hukum, Merdeka Belajar PENDAHULUAN Pendidikan tinggi hukum yang notabene lazim dikenal dengan fakultas hukum memiliki jumlah yang relatif banyak, yang mana hingga tahun 2015 telah memiliki jumlah 330 yang terdiri dari 306 fakultas dan 24 sekolah tinggi (Chandranegara, 2019:150). Jumlah yang relatif banyak tersebut salah satunya dilatar belakangi karena perguruan tinggi hukum merupakan salah satu program studi yang cukup banyak diminati oleh calon mahasiswa di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas karena lulusan dari perguruan tinggi hukum memiliki peluang kerja yang relatif cukup luas, dan terbuka baik di kantor pemerintahan (pusat maupun daerah), perusahaan (swasta maupun BUMN), maupun bekerja mandiri secara profesional. Secara umum, bahwa profil lulusan mahasiswa fakultas hukum dapat menjadi praktisi di bidang hukum antara lain hakim, jaksa, advokat, panitera, mediator, legal drafter, legal officer maupun bagian personalia di perusahaan, akademisi, peneliti, serta tidak menutup kemungkinan profesi lain. Terbukanya peluang bagi lulusan perguruan tinggi hukum tersebut masih memiliki memiliki beberapa catatan dari para pemerhati hukum. Antara lain bahwa lulusan perguruan tinggi hukum dianggap masih belum memiliki daya saing dengan para lulusan perguruan tinggi hukum dari negara lain, paling tidak ditingkat regional (Juwana, 2005:8). Hal tersebut menurut Hikmahanto disebabkan oleh lima hal, yaitu belum adanya pembedaan yang tegas antara pendidikan hukum akademis dan profesi, kurang diperhatikannya infrastruktur pendukung, kelemahan pada sistem kredit semester, dan kuatnya intervensi pembuat kurikulum. Tidak hanya sampai disitu, Dekan Fakultas Hukum UGM Paripurna P. Sugarda menambahkan bahwa “Keprihatinan kita selama ini, produk lulusan dari pendidikan Fakultas Hukum di Indonesia lebih kuat dalam hal teori. Keterampilan teknis di bidang hukum masih jauh dari yang diharapkan” (Gusti, 2013). Hal lain juga diungkapkan pula Rizky Yudha bahwa lulusan fakultas hukum masih belum dapat dikatakan siap di dunia kerja, hal ini disebabkan mata kuliah hanya mempelajari materi secara umum “kulitnya” saja oleh karena itu lulusan fakultas hukum yang ingin bekerja langsung setelah lulus studinya perlu belajar kembali (Bramantyo, 2018:140). Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut, kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Merdeka Belajar Kampus Merdeka menurut pandangan penulis sangat relevan untuk mengurai permasalahan pendidikan hukum di Indonesia. Merdeka belajar pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan pemahaman pada segenap pengambil dan pelaksana kebijakan pendidikan bahwa nilai atau hasil belajar tidak menjadi penentu kompetensi seseorang, peringkat akreditasi tidak menjadi tolok ukur kemampuan sebuah lembaga pendidikan dalam mencetak luaran yang berkualitas (Houtman, 2020). 150 Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar Muh Ali Masnun Paket kebijakan merdeka belajar kampus merdeka salah satunya program studi wajib memberikan kesempatan (hak) belajar mahasiswa di luar program studi selama 3 semester. Skema tersebut berupa 1 semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi. Kesempatan mahasiswa untuk melakukan aktivitas kegiatan pembelajaran di luar perguruan tinggi sangat terbuka, antara lain mahasiswa dapat melakukan magang/ praktik kerja di Industri atau tempat kerja lainnya, melaksanakan proyek pengabdian kepada masyarakat di desa, mengajar di satuan pendidikan, mengikuti pertukaran mahasiswa, melakukan penelitian, melakukan kegiatan kewirausahaan, membuat studi/proyek independen, dan mengikuti program kemanusisaan. Kesempatan yang diberikan tersebut agar supaya mahasiswa dapat meningkatkan kompetensinya secara holistik, siap dengan dunia kerja, atau bahkan dapat menciptakan lapangan kerja baru. Relevansi antara permasalahan pendidikan hukum dengan kebijakan merdeka belajar kampus merdeka tersebut adalah dengan kesempatan (hak) mahasiswa untuk dapat magang ke kantor firma hukum, kejaksaan, pengadilan, kantor pemerintahan (pusat maupun daerah), perusahaan (swasta maupun BUMN), yang akhirnya memiliki kompetensi lulusan yang lengkap (soft skills maupun hard skills), lebih siap dan relevan dengan kebutuhan para pengguna. Magang sebagai bentuk perimbangan antara teori dan praktek, karena sepengetahuan penulis bahwa kurikulum perguruan tinggi hukum yang apabila dipersentase maka hampir 95% (sembilan puluh lima) masih sebatas materi, teori, konsep, dalam perkuliahan. Magang belum diberikan hak secara tegas sebagaimana kebijakan merdeka belajar kampus merdeka, sehingga bagi mahasiswa yang memiliki kesadaran diri untuk meningkatkan kompetensinya akan magang secara sukarela meski belum ada mekanisme, standar, monitoring atas pelaksanaan tersebut, sehingga belum dapat disetarakan dengan bobot sks sebagaimana pada merdeka belajar. Kebijakan penerapan merdeka belajar kampus merdeka pada perguruan tinggi khususnya pada perguruan tinggi merupakan sebuah peluang sekaligus tantangan bagi pengelola untuk dapat mengoptimalkan atas penerapan kebijakan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mengelaborasi peluang sekaligus tantangan untuk pengembangan kompetensi mahasiswa ilmu hukum sehingga dapat mengetahui, memahami, menguasai dan menganalisis isu-isu hukum yang terus-menerus berkembang seiring dinamika manusia. METODE Artikel ini merupakan penelitian dengan menggunakan penelitian deskriptif kualitatif yang disusun berdasarkan pengalaman selama menempuh studi dan pengalaman empiris penulis menjadi bagian tim penyusun kurikulum program studi ilmu hukum. Studi ini menggunakan data sekunder dengan menggunakan studi literatur (kepustakaan) berupa buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, maupun hasil penelitian. PEMBAHASAN Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Satu kalimat yang tampaknya memang sangat relevan dalam kehidupan manusia yang terus dinamis berubah. Perubahan tersebut menuntut manusia untuk dapat selalu beradaptasi menyesuaikan agar terus dapat bertahan. Tidak terkecuali dengan perubahan dalam dunia pendidikan tinggi, yang pada awal tahun 2020 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan kebijakan baru berupa merdeka belajar kampus merdeka yang hingga saat ini terus menjadi topik bahan diskusi baik di kalangan akademisi maupun pemerhati pendidikan. Penerapan kebijakan tersebut di latar belakangi oleh berbagai perubahan, baik sosial, budaya, dunia kerja (pengguna) dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat relevan bila perguruan tinggi menerapkan merdeka belajar kampus merdeka agar kompetensi mahasiswa selaras dengan kebutuhan zaman sehingga tercipta kultur belajar yang partisipatif, inovatif, emansipatoris, tidak mengekang, serta sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Paket kebijakan merdeka belajar kampus merdeka terdiri dari kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, kemudahan perguruan tinggi negeri menjadi PTN berbadan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020). Artikel dalam tulisan ini mengkhususkan terkait hak belajar mahasiswa tiga semester, mengacu Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi wajib memfasilitasi hak bagi mahasiswa (bersifat opsional yang artinya mahasiswa dapat mengambil ataupun tidak) untuk melaksanakan pembelajaran di luar perguruan tinggi paling lama 2 semester (setara dengan 40 SKS) atau untuk melaksanakan pembelajaran program studi yang berbeda di perguruan tinggi yang sama sebanyak 1 semester (setara dengan 20 SKS). Bahwa hak 151 Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar Muh Ali Masnun mahasiswa untuk dapat belajar selama 2 semester dapat dilakukan dengan beberapa pihak terkait sebagaimana ilustrasi dalam gambar 1 Gambar 1 Kegiatan Pembelajaran di Luar Perguruan Tinggi (Sumber: Buku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka 2020) Hak untuk melaksanakan pembelajaran di luar perguruan tinggi menjadi hal yang sangat potensial untuk dikembangkan untuk meningkatkan kompentensi dan pengalaman mahasiswa dengan dunia kerja langsung. Terlebih dengan perguruan tinggi hukum yang pada dasarnya mahasiswa tidak hanya dibekali dengan doktrin, teori-teori, konsep, asas-asas saja melainkan juga perlu dibekali dengan kemampuan keterampilan dan kemahiran hukum yang saat ini masih sangat minim mereka dapatkan dalam bangku kuliah. Hal tersebut sangat beralasan karena sampai saat ini kurikulum di perguruan tinggi hukum didominasi dengan mata kuliah yang sifatnya lebih teoritis. Bahwa penyusunan kurikulum tidak terlepas dari arah tujuan pendidikan hukum yang belum menentukan apakah pendidikan hukum akademis atau pendidikan profesi (layaknya S-1 Kedokteran, untuk dapat menjadi dokter dan praktek harus menempuh profesi terlebih dahulu). Menurut Hikmahanto bahwa sejak awal diperkenalkannya pendidikan hukum di Indonesia dua jenis pendidikan hukum yang berbeda ini disatukan (Juwana, 2003). Konsekuensi atas hal tersebut kurikulum disusun bagaimana mahasiswa mampu menguasai baik dari sisi akademis maupun profesi. Akademis artinya lulusan fakultas hukum mampu menguasai berbagai doktrin, teori, konsep, asas-asas dalam ilmu hukum, sementara profesi lebih diarahkan lulusan hukum dapat menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna yang mana mahasiswa dituntut untuk memiliki keterampilan hukum misalnya menyusun surat kuasa, legal opinion, kontrak, analisis kasus, legal drafter dan keterampilan hukum lain yang dituntut oleh dunia profesi. Pada dasarnya penyatuan kedua hal tersebut relatif cukup sulit untuk dapat dijalankan secara optimal, utamanya terkait dengan masalah masa studi yang dibatasi. Sulit bukan berarti tidak bisa, karena penyatuan tujuan pendidikan tinggi hukum telah menjadi semacam konsensus (meski ada beberapa ahli hukum yang kurang setuju) perlu disikapi dengan bijak. Kebijakan merdeka belajar kampus merdeka menurut pandangan penulis sudah cukup tepat untuk menyikapi penyatuan tujuan akademis dan profesi tersebut. Merdeka belajar yang memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar perguruan tinggi maksimal dua semester menjadi peluang sekaligus tantangan untuk dapat mewujudkan tujuan profesi. Sebagai kebijakan yang baru, maka perguruan tinggi hukum perlu benar-benar menyiapkan secara matang terkait hal tersebut. Sebagaimana diungkapkan bahwa tujuan pendidikan hukum tidak dapat dilepaskan dari keinginan pemerintah dan situasi kondisi negara (Anwar, 2011). Peluang tersebut tiada lain dan tiada bukan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa, khususnya pada aspek keterampilan dan kemahiran hukum. Mahasiswa yang diberikan hak secara penuh, sejak awal sudah dapat merencanakan sekaligus menentukan bidang yang mereka minati, berdasarkan peminatan tersebut mereka dapat memilih untuk belajar di luar perguran tinggi dalam hal ini magang (praktek kerja). Hal tersebut sangat relevan dengan pepatah terkenal “practice makes perfect” dan “experience is the best teacher”. Mahasiswa yang memilih untuk mengambil magang akan praktek langsung, berdasarkan teori-teori yang mereka dapatkan di kelas, dengan demikian teoriteori yang mereka dapatkan benar-benar dapat dipraktekkan. Berdasarkan dari pengalaman tersebutlah mahasiswa ilmu hukum dapat menjadi bekal bila mereka telah menyelesaikan studinya. Secara tidak langsung, perguruan tinggi hukum sebagai produsen sarjana hukum dapat menghasilkan lulusan sebagaimana diinginkan oleh pengguna. Penerapan magang bagi mahasiswa hukum menurut pandangan penulis sebagai bentuk pengejawantahan dari konsep triple helix, yang mana konsep tersebut menggambarkan adanya kolaborasi dan sinergi antara Academia, Business, Government. Academia merupakan sivitas akademika yang terdiri dari dosen dan mahasiswa yang merupakan “pemain inti” dari konsep triple helix ini. Bahwa perguruan tinggi hukum dengan tri dharma perguruan tingginya dapat 152 Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar Muh Ali Masnun berkolaborasi salah satunya melalui magang yang dilakukan oleh mahasiswa dengan bimbingan dari dosen. Business dalam konteks hukum dapat dimaknai firma hukum, advokat, konsultan di bidang hukum yang akan menjadi mitra tempat magang mahasiswa yang mana mereka akan menjadi supervisor untuk menyempurnakan kompetensi yang mereka miliki dengan praktek langsung. Government dalam hal ini adalah pemerintah yang memiliki peran ganda. Pertama pemerintah sebagai regulator yang telah menerapkan kebijakan merdeka belajar kampus merdeka dengan segala peraturan pelaksananya. Kedua pemerintah juga dapat berperan sebagai mitra tempat magang mahasiswa, dalam hal ini mahasiswa hukum dapat magang atau praktek kerja di lembaga negara, kejaksaan, pengadilan, ataupun kantor pemerintahan (pusat maupun daerah). Kolaborasi dan sinergi juga sangat terbuka peluang juga di bidang riset dan publikasi secara kontinyu. Isu alih teknologi yang sejak lama diwacanakan sangat terbuka untuk dapat terealisasi. Magang sebagai salah satu bentuk kolaborasi dan sinergi satu dengan yang lainnya sehingga misi dari masing-masing dapat berjalan beriringan, saling memenuhi, saling melengkapi dan saling kerjasama. Konsekuensi atas hal tersebut, maka perguruan tinggi hukum sangat terbuka untuk memperluas jejaring kerjasama (tridharma perguruan tinggi). Jejaring kerja sama ini juga berpeluang dapat meningkatkan penilaian pada proses akreditaasi baik di tingkat program studi atau pun perguruan tinggi. Kebijakan Penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka tidak hanya memiliki peluang baik yang bisa dioptimalkan oleh sivitas akademika, melainkan tantangan bagi yang patut untuk disikapi. Salah satu tantangan tersebut bahwa perguruan tinggi hukum perlu menyiapkan kurikulum untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Harmonisasi kurikulum eksisting dengan merdeka belajar merupakan sebuah keniscayaan. Selama ini perguruan tinggi hukum yang hanya menyiapkan satu kurikulum, maka untuk selanjutnya perlu menyiapkan dua model kurikulum. Pertama adalah kurikulum murni hukum, yang mana kurikulum tersebut dirancang untuk mahasiswa yang tidak mengambil merdeka belajar (hanya mengambil proses perkuliahan/pembelajaran dalam program studi saja). Kedua, adalah model kurikulum sebagai mengakomodir merdeka belajar dengan penambahan komposisi hak mahasiswa untuk dapat belajar di luar program studi. Hal yang patut diperhatikan adalah pelaksanaan magang disetarakan dengan bobot 40 SKS, maka konsekuensinya akan ada pengurangan beberapa mata kuliah. Teknis dalam hal pelaksanaan magang maka perguruan tinggi hukum perlu menyiapkan sumber daya manusia sivitas akademika secara baik khususnya dosen. Hal ini sangat beralasan, dengan rekam jejak dosen di bidang tridharma yang linier dan kontinyu menjadi salah satu pertimbangan mitra magang. Mitra tempat magang mahasiswa akan semakin tertarik apabila sumber daya manusia yang dimiliki perguruan tinggi memiliki kompetensi yang baik, apalagi dosen akan dijadikan sebagai pembimbing pelaksanaan magang dengan supervisor langsung dari tempat magang yang masing-masing akan melakukan asesmen/penilaian (meskipun sampai sejauh ini juga masih menjadi perdebatan terkait tolok ukur penilaian dan keberhasilan magang). Tantangan lain yang perlu menjadi perhatian adalah merubah pola pikir (mindset) sivitas akademika yang selama ini sudah “nyaman” dengan model pembelajaran yang selama ini dilakukan. Terkadang relatif masih banyak muncul resistensi karena sebuah hal yang baru, oleh karenanya sivitas akademika perlu memandang merdeka belajar sebagai kesempatan emas untuk melakukan berbagai akselerasi, terobosan, inovasi di bidang tridharma perguruan tinggi. Secara umum, bahwa merdeka belajar kampus merdeka dalam bentuk hak mahasiswa untuk dapat belajar di luar program studi melalui program magang bagi mahasiswa hukum perlu disambut dengan tangan terbuka. Peluang tersebut antara lain dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa, khususnya pada aspek keterampilan dan kemahiran hukum. Magang sebagai bentuk pengejawantahan model triple helix maka peluang kolaborasi, sinergi, sekaligus kerjasama. Adapun tantangan kebijakan penerapan merdeka belajar dan kampus merdeka berupa penyiapan kurikulum yang sesuai dengan merdeka belajar serta kesiapan sumber daya manusia. PENUTUP Simpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan tidak terkecuali perubahan dalam bidang pendidikan tinggi sebagai bentuk tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan pengguna. Kebijakan merdeka belajar kampus merdeka pada perguruan tinggi hukum sebagai hal yang baru memiliki peluang sekaligus tantangan yang perlu dipersiapkan. Peluang tersebut antara lain dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa, khususnya pada aspek keterampilan dan 153 Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar Muh Ali Masnun kemahiran hukum. Magang sebagai bentuk pengejawantahan model triple helix maka peluang kolaborasi, sinergi, sekaligus kerjasama. Adapun tantangan kebijakan penerapan merdeka belajar dan kampus merdeka berupa penyiapan kurikulum yang sesuai dengan merdeka belajar serta kesiapan sumber daya manusia. Saran Kebijakan penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka perlu disikapi dengan positif. Atas peluang dan tantangan kampus merdeka merdeka belajar, maka Perguruan tinggi hukum perlu menyiapkan beberapa hal: pertama perlu menyiapkan pedoman teknis kurikulum merdeka belajar berikut dengan sumber daya manusia secara optimal yang akhirnya kompetensi mahasiswa ilmu hukum dan berkembang. DAFTAR PUSTAKA Anwar, K. (2011). Pendidikan Hukum Di Era Transisi Dalam Negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 40(2), 236–243. Bramantyo, R. Y. (2018). Strategi Mewujudkan Lulusan Fakultas Hukum Berkompetensi Spesifik (Pendidikan Hukum Indonesia Dalam Tantangan Era Revolusi Industri 4.0). Jurnal Transparansi Hukum, 1(2), 140–151. Chandranegara, I. S. (2019). Reorientasi Pendidikan Hukum Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0. 150–182. Gusti. (2013). Pendidikan Hukum di Indonesia Minim Praktik Keterampilan Hukum. Retrieved from Universitas Gadjah Mada website: https://ugm.ac.id/id/berita/8514-pendidikanhukum-di-indonesia-minim-praktik-keterampilanhukum Houtman. (2020). Merdeka Belajar Dalam Masyarakat 5.0. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, (10 Januari), 39–46. Juwana, H. (2003). Memikirkan Kembali Sislem Pendidikan Hukum di Indonesia, Edisi Khusus. Jentera. Juwana, H. (2005). Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Tahun Ke-3(1), 1–26. Retrieved from http://www.jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/vie wFile/1458/1373 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka 2020. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 154 STUDI LITERATUR: ANALISIS PERAN KEPEMIMPINAN DALAM MENINGKATKAN KINERJA PEGAWAI SEBAGAI BENTUK KESUKSESAN BAGI PERUSAHAAN Firsta Hernie Kartika Prameswari Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, firsta.17010664055@mhs.unesa.ac.id Nurul Savira Fauziah Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, nurul.17010664060@mhs.unesa.ac.id Abstrak Dalam mencapai tujuan organisasi diperlukan pemimpin yang memiliki sikap dan perilaku yang bertanggung jawab serta memiliki kemampuan yang baik. Menjadi seorang pemimpin tentu saja memiliki peran dan tanggung jawab untuk memandu dan meyakinkan bawahannya untuk mancapai sebuah kesuksesan dari tujuan sebuah organisasi. Jika tujuan organisasi tersebut dapat dicapai, maka hal tersebut mampu meningkatkan kinerja karyawan. Pola tingkah laku dari seorang pemimpin yang mempengaruhi bawahannya disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan sendiri antara lain: gaya kepemimpinan otokratis, militeristis, paternalistis, kharismatis, dan demokratis. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui peran kepemimpinan yang diterapkan sehingga mampu meningkatkan kinerja pegawai. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi literatur. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, menunjukkan hasil bahwa tipe gaya kepemimpinan demokratis sering digunakan pada beberapa perusahaan atau organisasi karena tipe gaya kepmimpinan demokratis dinilai menjadi tipe yang efektif dalam meningkatkan kinerja karyawan. Kata Kunci: peran kepemimpinan, kinerja pegawai, gaya kepemimpinan. PENDAHULUAN Sebagai makhluk sosial manusia akan selalu berhubungan dan membutuhkan bantuan dari orang lain untuk memeuhi hubungan sosialnya. Setiap inidvidu memiliki karakter dalam dirinya yang mana karakter ini menunjukkan bagaimana kepribadian dan watak dari individu tersebut. Karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial dan akan selalu membutuhkan bantuan dari orang lain, maka mereka akan membuat suatu kelompok. Dari kelompok inilah, nantinya mereka akan mengembangkan kelompok tersebut menjadi suatu organisasi. Dalam organisasi, manusia menjadi elemenn yang sangat penting untuk membantu mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Seperti yang telah disebutkan, bahwa keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi tidak terlepas dari peran sumber daya manusia yang ada. Jika suatu perusahaan beroperasi tanpa didukung dengan peran sumber daya manusia yang memadai, tentu bisa saja mengurangi kualitas dari perusahaan tersebut meskipun sumber daya lainnya telah terpenuhi. Maka dari itu, sangat penting bagi perusahaan dalam menjalankan perusahaannya untuk memiliki sumber daya manusia yang bermutu yang dapat saling bekerjasama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses mencapai tujuan tersebut, organisasi atau perusahaan membutuhkan individu-individu yang memiliki sikap dan perilaku bertanggung jawab dan memiliki kemampuan yang baik. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil kinerja karyawan, salah satunya yaitu kemampuan seorang pemimpin (Inaray, Nelwan, & Lengkong, 2016:460). Dalam struktur organisasi yang ada di perusahaan terdapat sebuah jenjang atau tingkatan hierarki organisasi dimana yang dimaksud ini adalah adanya atasan dan bawahan. Sebagai seorang atasan, memiliki peran yang lebih dari seorang pemimpin bagi bawahannya. Atasan memiliki peran untuk memandu dan meyakinkan bawahannya untuk mancapai kesuksesan (Mustapa & Maryadi, 2018:11). Dalam dunia organisasi, setiap pemimpin memiliki cara tersendiri dalam menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagai pemimpin, dan biasanya terlihat dari perilakunya. Pola tingkah laku pemimpin yang mempengaruhi bawahannya inilah yang disebut dengan gaya kepemimpinan. Seorang pemimpin bisa memilih gaya kepemimpinnanya yang sesuai selama itu bisa diterapkan untuk bawahannya. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa gaya kepemimpinan dari setiap divisi berbeda-beda. Maka dari itu, penting adanya memiliki pemimpin yang bijak dalam membaca situasi ketika menerapkan gaya kepemimpinannya (Zulkarnain & Sumarsono, 2015:61). Kepemimpinan 155 Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi Perusahaan Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah Menurut Sanusi (dalam Mustapa & Maryadi, 2018:40) kepemimpinan adalah gabungan dari kemampuan, citacita dan semangat untuk mengatur dan mengelola organisasi. Sedangkan menurut Yaverbaum & Sherman (dalam Mustapa & Maryadi, 2018:41) yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu kegiatan dalam mendapatkan kerjasama dari orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Lebih lanjut, menurut Ruch dan Behling (dalam Sagala, 2018:55) kepemimpinan adalah metode mempengaruhi orang lain atau kelompok yang terstruktur guna mencapai tujuan atau sasaran. Pandangan lainnya mengenai definisi kepemimpinan adalah pendapat dari Hemphill & Coons yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu perilaku pemimpin untuk memimpin kegiatan kelompok guna mencapai tujuan yang akan diraih bersama (Hemphill & Coons, 1957:7). Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah kaidah atau tata cara dari perilaku individu yang digunakan individu pada saat ia mencoba mempengaruhi tingkah laku orang lain berdasarkan apa yang ia lihat (Thoha, 2012). Lebih lanjut menurut Hasibuan, gaya kepemimpinan adalah bentuk perilaku dari atasan yang memberikan pengaruh pada bawahannya guna mendorong semangat kerja, kepuasan kerja, dan keproduktifan pegawai yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan (Hasibuan, 2016). Tipe-tipe Gaya Kepemimpinan Setiap gaya kepemimpinan didasari oleh dua unsur utama, yaitu bantuan (supporting behavior) dan pengarahan (directive behavior) (Paramita, 2011). Eugene Emerson Jennings dan Robert T. Golembiewski membagi gaya kepemimpinan menjadi lima tipe (dalam Hidayat, Alam, & Syamsu, 2018), yaitu : 1. Tipe Pemimpin Otokratis Individu dengan tipe kepemimpinan otokratis cenderung menjadikan dirinya sebagai pusat pengendali (sentralistik). Anggota atau karyawan tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses penetapan keputusan. 2. Tipe Pemimpin Militeristis Individu dengan tipe kepemimpinan militeristis memiliki beberapa sifat, seperti (1) Pencapaian tujuan digunakan sebagai dasar instruksi dalam memberikan perintah pada anggota atau karyawan, (2) Sangat bergantung pada jabatan yang dimiliki, (3) Formalitas secara berlebihan, (4) Anggota atau karyawan harus secara mutlak disiplin dan patuh selama berada dalam masa kepemimpinannya, (5) Tidak menerima kritikan, dan (6) Selalu mengadakan perayaan untuk berbagai pencapaian. 3. Tipe Pemimpin Paternalistis Individu dengan tipe kepemimpinan paternalistis memegang prinsip bahwa pemimpin merupakan seseorang yang haru bertanggung jawab dan menjadi tumpuan bagi anggota dan karyawannya. Beberapa sifat individu dengan tipe kepemimpinan paternalistis, yaitu memberikan bantuan, melindungi, dan mengayomi anggota dan karyawan yang berada dalam masa kepemimpinannya. 4. Tipe pemimpin kharismatis Individu dengan kepemimpinan kharismatis mampu membuat anggota atau karyawan tertarik dengan karakteristik dan kepribadian yang dimilikinya. Kepemimpinan kharismatik sangat membutuhkan kepercayaan diri yang tinggi (highself confidence), kekuasaan (strong need for power), prinsip, dan idealitas yang kuat. 5. Tipe pemimpin demokratis Individu dengan kepemimpinan demokratis dianggap sebagai pimpinan yang ideal. Tipe kepemimpinan demokratis selalu memprioritaskan kepentingan kelompok, dibandingkan kepentingan individu. Terdapat beberapa sifat yang dimiliki oleh individu dengan tipe kepemimpinan demokratis, yaitu: (1) Selalu melakukan diskusi saat akan mengambil keputusan, (2) Memberikan kesempatan pada anggota atau karyawan untuk memberikan gagasan atau saran, (3) Terbuka akan kritikan, dan (4) Mampu menyeimbangkan tujuan organisasi dan keinginan pribadi. Kinerja Karyawan Kinerja karyawan merupakan sebuah hasil pencapaian karyawan secara individu atau berkelompok dengan berbentuk output kualitatif atau kuantitatif. Kinerja karyawan dapat dikatakan baik, jika menghasilkan kinerja yang dapat membantu organisasi atau perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Masram dan Mu’ah, 2015). Sedangkan, menurut Simora (dalam Sulaksono, 2015:103) kinerja karyawan adalah hasil kerja karyawan dalam mencapai standart perusahaan atau target yang diberikan perusahaan pada pegawai. Faktor-Faktor Karyawan yang Mempengaruhi Kinerja 156 Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi Perusahaan Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah Menurut Simora (dalam Sulaksono, 2015:103) secara umum, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan, antara lain: 1. Faktor Individual, diantaranya adalah kemampuan dan keahlian latar belakang dan demografis karyawan; usia, gender, dan pendidikan. 2. Faktor Psikologis, diantaranya adalah persepsi, attitude personality, serta pembelajaran. 3. Faktor Organisasi, diantaranya adalah sumber daya yang memadai, kompensasi, penghargaan, struktur jabatan maupun struktur organisasi, serta job design. Pengaruh Gaya Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai Individu yang menerapkan tipe kepemimpinan yang tepat dapat mempengaruhi persepsi dan kepuasan anggota atau karyawan, sehingga berdampak pada kinerja karyawan secara maksimal. Pemimpin yang memiliki tujuan yang jelas dapat membimbing anggota atau karyawannya untuk melakukan kinerja dengan baik, sehingga tujuan lebih mudah tercapai (Khairizah, Noor, & Suprapto, 2015). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil sebuah simpulan bahwa faktor kepemimpinan memiliki peran besar dalam mempengaruhi kinerja karyawan. Dengan hasil yang diperoleh dari studi pendahuluan yang telah dipaparkan, terdapat rumusan masalah dalam penelitian ini yakni “Bagaimana peran kepemimpinan yang diberlakukan sehingga mampu meningkatkan kinerja pegawai?”. Adapaun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, yakni untuk mengetahui peran kepemimpinan yang diterapkan sehingga mampu meningkatkan kinerja pegawai. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Jenis serta sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian berdasarkan data sekunder yakni yang berasal dari artikel, jurnal ilmiah, penelitian terdahulu maupun dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi literatur atau yang sering disebut dengan studi pustaka. Sedangkan, untuk metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang kemudian akan dianalisis secara induktif. PEMBAHASAN Dalam penelitian dengan judul “Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan (studi pada karyawan di Perpustakaan Universitas Brawijaya Malang)” (Khairizah et al., 2015) menemukan tiga hasil penelitian, yaitu: 1. Tipe gaya kepemimpinan direktif, suportif, dan partisipatif saling memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan 2. Tipe gaya kepemimpinan direktif memiliki pengaruh yang signifikan pada kinerja karyawan. Pemimpin berperan sebagai mentor dan juga pembimbing bagi karyawan, sehingga karyawan mendapatkan pandangan yang jelas mengenai tugas atau jobdesk yang harus dilakukan. Dengan adanya bimbingan yang sesuai, maka dapat memperbaiki kinerja karyawan secara maksimal. 3. Tipe gaya kepemimpinan suportif dan partisipatif tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada kinerja karyawan. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan adanya perbedaan faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pada setiap karyawan, seperti faktor keberhasilan yang berasal dari diri sendiri, atau lingkungan sekitar, serta kemampuan motivasi, dan mental dalam meningkatkan kinerja. Dalam penelitian dengan judul “Gaya kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil” (Ilmi, 2016) memiliki hasil yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh dalam meningkatkan kinerja karyawan. Kinerja yang dimiliki oleh karyawan Biro Administrasi Kemasyarakatan Prvovinsi Jawa Timur tergolong sebagai kinerja yang sangat baik. Hal tersebut disebabkan karena adanya peran kepala biro yang menerapkan gaya kepemimpinan demokratis/partisipatif, seperti memberikan kesempatan pada karyawan dalam pengambilan keputusan, menyampaikan pendapat, serta menerima kritik dan juga saran. Dengan menerapkan gaya kepemimpinan tersebut, kepala biro berhasil menetapkan standar kinerja yang didasarkan pada mutu kerja daripada volume kerja, sehingga kinerja karyawan dapat meningkat. Tetapi, terdapat beberapa ciri-ciri yang tidak sesuai dengan indikator gaya kepemimpinan demokratis/partisipatif, seperti tidak memperhatikan perasaan karyawan, dan menuntut kesetiaan yang tidak wajar. Dalam penelitian dengan judul “Gaya kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja karyawan 157 Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi Perusahaan Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah pada PT. BPR Ambulu Dhanaartha cabang RambipujiJember” (Hariyanto, Sutrisno, & Supriyanto, 2013) menjelaskan bahwa pada PT. BPR Ambulu Dhanaartha cabang Rambipuji-Jember, pemimpin menerapkan tipe gaya kepemimpinan demokratis. Hal tersebut dapat disimpulkan dari hasil penelitian yang dicantumkan, yaitu pengambilan keputusan melibatkan unit atau bidang yang berkaitan, pimpinan cabang memberikan wewenang kepada kepala unit untuk melakukan pengawasan kinerja, komunikasi terjalin dengan baik antara pimpinan dan karyawan, dan pimpinan memberikan kesempatan pada karyawan untuk menyatakan pendapat, saran, maupun kritik. Meskipun, gaya kepemimpinan yang diterapkan terlihat telah sesuai terdapat kuantitas hasil kinerja yang tidak mencapai apa yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi karena faktor internal yang dimiliki oleh setiap karyawan, seperti memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi kompeten dalam melakukan tugas yang diberikan. Dalam penelitian dengan judul “Gaya kepemimpinan kepala dinas dalam meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil (studi pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Minahasa Selatan) (Tumbelaka, 2013) menyatakan bahwa pemimpin Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga menerapkan tipe gaya kepemimpinan demokratis, yang terdiri dari coaching, directing, supporting, dan delegating. Berdasarkan hal itu, kinerja yang dimiliki karyan termasuk berada dalam kategori yang tinggi. Dalam penelitian dengan judul “Gaya kepemimpinan dalam upaya meningkatkan kinerja karyawan pada PT. Sumber Mas Indah Plywood” (Ambarwati, 2015) menjelaskan bahwa PT. Sumber Mas Indah Plywood menerapkan tipe gaya kepemimpinan otokratis, seperti tidak memberikan karyawan kepercayaan, tidak memberikan kesempatan pada karyawan untuk menyatakan pendapat, melakukan pengambilan keputusan secara sepihak, tidak menerima saran dan kritik, kurang menghargai kinerja karyawan, dan tidak terdapat komunikasi yang baik diantara pimpinan dan karyawan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan kinerja pada karyawan, seperti melaksanakan tugas secara terpaksa, tidak memiliki semangat dalam menjalankan tugas yang diberikan, dan terdapatnya karyawan yang absen dari pekerjaannya. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan di atas, tipe gaya kepemimpinan demokratis dinilai menjadi tipe yang efektif dalam meningkatkan kinerja karyawan. Individu yang menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi atau perusahaan membutuhkan beberapa kompetensi yang harus dimiliki untuk mencapai tujuan atau keberhasilan yang telah ditetapkan bersama, seperti memiliki informasi dan keterampilan dalam proses pengambilan keputusan yang tepat. Selain itu, pemimpin harus dapat memberikan pengaruh dan bimbingan pada karyawannya agar tingkah laku sesuai dengan nilainilai organisasi atau perusahaan yang telah ditetapkan (Paramita, 2011). PENUTUP Simpulan Peran dari seorang pemimpinan sangat menentukan arah dan tujuan dari sebuah organisasi. Menjadi seorang pemimpin hendaknya memiliki rasa bertanggung jawab yang tinggi dan bertingkah laku yang baik. Pola tingkah laku dari seorang pemimpin yang mempengaruhi bawahannya disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan sendiri antara lain: gaya kepemimpinan otokratis, militeristis, paternalistis, kharismatis, dan demokratis. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, menunjukkan hasil bahwa tipe gaya kepemimpinan demokratis sering digunakan pada beberapa perusahaan atau organisasi karena tipe gaya kepmimpinan demokratis dirasa adalah tipe yang paling efektif dalam meningkatkan kinerja karyawan.penelitian. Saran Gaya kepemimpinan yang diterapkan pada beberapa organisasi yang telah dibahas dinilai sudah cukup baik. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil peran kepemimpinan yang digunakan dalam meningkatkan kinerja pegawai menunjukkan hasil yang baik. Terdapat beberapa saran yang bisa digunakan dari peneliti untuk organisasi yakni: 1. Tetap menjaga komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan, dengan pimpinan yang lain maupun karyawan yang lainnya. 2. Meningkatkan rasa tanggung jawab karyawan dalam menjalankan tugas-tugasnya DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, N. (2015). Gaya kepemimpinan yang efektif dalam upaya meningkatkan kinerja pada karyawan pada PT. Sumber Mas Indah Plywood. Jurnal Akuntansi, 3(3), 1–22. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Hariyanto, T., Sutrisno, & Supriyanto, T. (2013). Gaya kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja karyawan pada PT. BPR Ambulu Dhanaartha Cabang Rambipuji-Jember. Artikel Ilmiah Hasil 158 Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi Perusahaan Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah Penelitian Mahasiswa, 1–6. Hasibuan, M. S. P. (2016). Manajemen sumber daya manusia (Ed. Revisi). Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hemphill, J. K., & Coons, A. E. (1957). Development of the leader behavior description questionare. Colombusn: Bereau of Bussiness Research, Ohio State University. Hidayat, R., Alam, A. S., & Syamsu, S. (2018). Analisis tipe kepemimpinan Aras Tammauni di Kabupaten Mamuju Tengah. JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik), 4(1), 46–59. Ilmi, M. U. (2016). Gaya kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil ( studi deskriptif di Biro Administrasi Kemasyarakatan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur ). Kebijakan Dan Manajemen Publik, 4(3), 6–12. Inaray, J. C., Nelwan, O. S., & Lengkong, V. P. . (2016). Pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan pada PT. Amanah Finance di Manado. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 16(2), 459–470. Khairizah, A., Noor, I., & Suprapto, A. (2015). Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan (studi pada karyawan di Perpustakaan Universitas Brawijaya Malang). Jurnal Administrasi Publik (JAP), 3(7), 1268–1272. Masram dan Mu’ah. (2015). Manajemen sumber daya manusia. Sidoarjo: Zifatama Publisher. Mustapa, Z., & Maryadi, M. (2018). Kepemimpinan pelayan: Dimensi baru dalam kepemimpinan. Makassar: Celebes Media Perkasa. Paramita, P. D. (2011). Gaya kepemimpinan (style of leadership) yang efektif dalam suatu organisasi. Dinamika Sains, 9(21), 1–7. Sagala, S. (2018). Pendekatan dan model kepemimpinan. Jakarta: Prenada Media Group. Sulaksono, H. (2015). Budaya organisasi dan kinerja. Yogyakarta: Deepublish. Thoha, M. (2012). Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo. Tumbelaka, C. O. (2013). Gaya kepemimpinan kepala dinas dalam meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil (Suatu studi pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Minahasa Selatan). Governance, 5(1), 1–13. Zulkarnain, W., & Sumarsono, R. B. (2015). Manajemen perkantoran profesional. Malang: Gunung Samudera 159 PENGEMBANGAN LITERASI MORAL PESERTA DIDIK DENGAN BIMBINGAN KONSELING PERKEMBANGAN Swiejti Maghfira Regita Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan Swiejti1600001074@webmail.uad.ac.id Caraka Putra Bhakti Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan Caraka@webmail.uad.ac.id Abstrak Penulisan karya tulis ini dilatar belakangi karena kurangnya kepedulian, empati, dan rasa hormat peserta didik terhadap guru disekolahnya yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal individu. Literasi adalah kemampuan individu dalam ,menulis, berbicara,membaca dan menghitung, serta memecahkan masalah dalam tingkat keahlian yang diperlukan pada pekerjaan masyarakat dan keluarga (National Institute For Literasi). Sedangkan moral merupakan seperangkat aturan yang berkaitan pantas atau tidak pantas, baik atau buruk, benar atau salah yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sosial (santrock dan yusan : 1997). Indikator literasi moral individu sebagai berikut: (1) dapat mengenali diri sendiri, (2) mempunyai hati nurani dan keyakinan (hati emas), (3) menunjukkan karakter dengan perilaku tidak hanya dengan kata-kata. Asumsi dasar dalam pendekatan bimbingan konseling perkembangan merupakan pemikiran bahwa perkembangan individu yang sehat akan terjadi dalam interaksi yang sehat antar individu dan lingkungannya. Dengan kata lain, lingkungan tersebut bagi individu menjadi lingkungan belajar. Peranan guru bimbingan konseling dalam litersai moral adalah sebagai berikut: (1) layanan dasar: dengan memberikan kegiatan persiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok dengan materi tentang butir-butir karakter cerdas, (2) layanan responsif: konseling individu mengenai evaluasi diri berdasarkan moral value, (3) layanan perencanaan dan peminatan individual: mengakomodasikan kemampuan peserta didik dengan orientasi pemusatan sosial skill, (4) dukungan sistem: kolaborasi guru BK dengan kepala sekolah melalui program 5S, kolaborasi oleh guru BK dengan guru agama melalui pembelajaran berbasis tarbiyah project, kolaborasi guru BK dengan guru seni budaya melalui pembelajaran tentang pendidikan multi budaya. Kata Kunci: literasi, moral, bimbingan konseling, perkembangan PENDAHULUAN Dalam Undang-undang Nomor20 tahun2003 tentang sistem pendidikan pasal 3, mengatakan bahwa Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi peserta didik tersebut menjadi manusia Berakhlaq mulia, yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, cakap, kreatif,mandiri, berilmu dan dapat menjadi warga negara indonesia yang bertanggung jawab dan demokratis. Namun dunia pendidikan yang telah membuat program pendidikan berkarakter ini, yang merupakan suatu sistem dalam pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada mayarakarat, khusunya warga sekolah. Komponen tersebut meliputi komponen pengetahuan,kesadaran,kemauan,dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, orang lain, diri sendiri, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Tetapi program dengan maksud dapat mengembangkan kognisi yang dimiliki peserta didik tersebut. Dinilai kurang berhasil, pasalnya dunia pendidikan akhir-akhir ini digoncangkan oleh berbagai kasus pengaduan kekerasan yang dilakukan oleh guru yang mencubit kepada seorang peserta didiknya yang bermaksud untuk mengajarkan hal-hal yang baik kepada peserta didiknya tersebut.kemudian karena tidak terima peserta didik mengadukan hal itu kepada ayahnya, sehingga wali peserta didik dan peserta didik bersama-sama memukuli guru nya. (Kompas harian 12 September 2016) Rasa kepedulian, empati dan saling menhormati oleh peserta didik terhadap terhadap guru disekolahnya. Demikian hal nya, masyarakat indonesia merasa tertantang meningkatkan penguatan nilai-nilai budi luhur sejak kecil/dini. penurunan moral tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor.seperti yang kita ketahui bahwa setiap individu lahir dengan ekspresi pribadi dan mempunyai keunikan tersendiri. Itu semua dikarenakan mereka lahir dari gen yang berbeda dan berasal dari berbagai lingkungan masyarakat yang mempresentasikan suatu kumpulan sikap, nilai, dan norma yang berbeda-beda. Oleh karena itu, faktor internal dan eksternal individu sangat mempengaruhi perubahan psikologi,fisiologi,dan proses sosial 160 Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti individu. Menurut sudut pandang erikson, perkembangan awal seseorang sangatlah penting dimaksimalkan, karena apabila perkembangan awal terhambat maka akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Keluarga merupakan lingkungan yang paling pertama dapat membentuk karakter seorang individu. Namun selain keluarga, lingkungan sekolah juga tidak kalah berpengaruh dalam mengembangkan karakter individu khusunya peserta didik. Sekolah mempunyai peran dalam mengembangkan kepribadian individu hurlock dalam buku jurnal konseling komprehensif mengemukakan bahwa pendidikan sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak(siswa) baik dalam berfikir, bersikap maupun berperilaku. Menurut Havighurst dalam jurnal konseling komprehensif, sekolah mempunyai tanggung jawab membantu para peserta didik agar dapat mencapai tugas perkembangannya. Abad ke-21 ini, keterampilan membaca atau kemampuan memahami informasi secara kritis, reflektif dan analitis. berkaitan dengan kemampuan literasi pada peserta didik. Berdasarkan hasil Temuan UNESCO pada tahun 2012, tercatat bahwa perbandingan kebiasaan membaca maasyarakat indonesia seperti satu dari 1.000 orang masyarakat,. Hal tersebut, sangat memkhawatirkan karena keterampilan dan kemampuan membaca adalah dasar pemerolehan pengetahuan, keterampilan, serta pembentukan sikap peserta didik menurut Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, tentang kebijakan perlunya sekolah memberikan waktu secara berkala untuk pembiasaan membaca sebagai bagian dari penumbuhan budi pekerti. Menurut Suherman (2008:49) Peran guru bimbingan dan konseling sebagai fasilitator bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan sangat lah penting. Dalam jurnal bimbingan dan konseling komprehensif , bimbingan dan konseling perkembangan atau komprehensif adalah model yang memiliki prinsip perkembangan (Supriatna :2011). Bimbingan dan konseling perkembangan berasumsi bahwa perkembangan yang sehat terjadi melalui interaksi yang sehat antara lingkungan dan individu itu sendiri. Hal ini dapat diartikan bahwa pengembangan lingkungan perkembangan merupakan wahana strategis perkembangan peserta didik yang harus dikembangkan. Lingkungan perkembangan merupakan lingkungan belajar yang terstruktur dan secara sengaja dirancang untuk memberi peluang kepada siswa untuk mempelajari perilaku baru, membentuk ekspektasi dan persepsi, memperbaiki dan bahkan mengganti perilaku yang tidak sesuai, memperhalus dan menginternalisasi perilaku. Menurut Suherman (2008:49) peran yang dimiliki Guru bimbingan dan konseling sangat penting, hal yang utama yaitu sebagai fasilitator bagi perkembangan dan pertumbuhan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Adapun implementasi gerakan literasi nasional sebagai peran guru bimbingan dan konseling dalam sebagi berikut : Guru Bimbingan dan konseling berperan menyediakan layanan yaitu :a. Layanan dasar b. layanan responsi c. layanan perencanaan individual d. dukungan sistem. METODE Mixed Method Design merupakan kombinasi atau gabungan penelitian pendekatan kuntitatif dan pendekatan kualitatif dalam satu kajian tunggal (Gay, Mills & Airasian, 2009). Metode kuantitatif digunakan untuk menghasilkan gambaran yang literasi moral peserta didik. Sedangkan metode kualitatif digunakan untuk mendalami sesuatu dibalik perubahan karakter dengan bimbingan konseling perkembangan yang diperoleh dengan instrumen wawancara serta pemaknaan data. PEMBAHASAN Literasi moral berfokus pada perkembangan anak. Menurut Tauhidi (2003), literasi moral meliputi 3 aspek: Values & Identity (Knowing Yourself) Nilainilai dan identitas (mengenali diri sendiri), Conscience & Conviction (A Heart of Gold) Hati nurani dan keyakinan (hati emas). Dan Character & Conduct (Actions Speak Louder) Menunjukkan karakter dengan perilaku tidak hanya kata-kata. Tujuan dari komponen literasi moral adalah membentuk karakter manusia yang mulia. Komponenkomponen tersebut merujuk pada nilai-nilai atau konsep-konsep seperti tradisi moral, etika, nurani, kontrol diri, empati, kehendak bebas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hati (Tauhidi,2003). Individu sebagai peserta didikk, saat ini berada dalam proses berkembang (becoming);berkembang ke arah kemandirian atau kematangan. Agar dapat mencapai kemandirian atau kematangan tersebut, siswa memerlukan bimbingan yang sesuai dengan data assesment yang didata, agar pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya meningkat. Moral bisa dikembangkan dengan melaksanakan bimbingan konseling perkembangan yang merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada peserta didik 161 Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti dengan memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan, minat, dan isu-isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan peserta didik yang merupakan bagian terpenting dan integral dari keseluruhan program pendidikan. Bimbingan dan konseling komprehensif merupakan pemberian bantuan dalam bentuk layanan BK kepada siswa yang dirancang dengan memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan ,minat, dan isu-isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan peserta dan merupakan bagian penting integral dari keseluruhan program pendidikan (Supriyatna, 2013:30). Keutamaan bimbingan komprehensif adalah pertumbuhan positif individu, daripada menekankan orientasi kritis sehingga memungkinkan guru BK untuk memfokuskan pada gangguan emosional peserta didik, dan lebih mengutamakan pencapaian tujuan dalam kaitan penugasan tugas-tugas perkembangan, menjembatani tugas-tugas yang muncul pada saat tertentu, peserta meningkatkan sumber daya dan kompetensi dalam memberikan bantuan terhadap perkembangan peserta didik secara optimal. Isi program bimbingan dan konseling perkembangan dilaksanakan melalui komponen layanan dasar, layanan responsif, layanan perencanaan individual, dan dukungan sistem. Layanan dasar bimbingan adalah layanan bantuan bagi seluruh peserta didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau diluar kelas yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Pada kegiatan program layanan dasar dapat diberikan kegiatan persiapan pengalaman tersruktur secara klasikal atau kelompok dengan materi tentang butirbutir karakter cerdas. 1. Bimbingan klasikal dalam layanan dasar, dilakukan guru BK dengan cara kontak langsung dengan peserta didik di kelas. Pemebrian layanan dilakukan secara terjadwal, guru BK memberikan materi butir-butir karakter cerdas yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik sesuai dalam landasan yuridis,filosofis,dan empiris tentang pendidikan karakter cerdas. Berkarakter berarti sesuatu yang melekat pada individu yang bersifat unik atau khas yang dinilai baik sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Cerdas adalah daya kemampuan yang dimiliki seorang individu baik yang sudah ada sejak lahir maupun yang dilatih saat telah tumbuh dewasa. Butir-butir karakter cerdas antara lain olah hati(jujur),olah pikir(cerdas), olahraga(tangguh),dan olah rasa(peduli) dan karsa. 2. Bimbingan Kelompok dalam layanan dasar melalui kelompok-kelompok kecil yang ditujukan untuk merespon kegiatan layanan sehingga dapat menumbuhkan karakteristik yang bermoral. Untuk membangun karakter bermoral dalam peserta didik tersebut dapat dilakukan kegiatan : 1) koherensi yaitu kegiatan yang membangun rasa percaya diri dan keberanian peserta didik, 2) otonomi yaitu kegiatan peserta didik dalam menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai dalam pribadinya sendiri, 3) keteguhan yaitu kegiatan mengembangkan daya tahan peserta didik dalam mengwujudkan apa yang dipandang baik, 4) kesetiaan yaitu kegiatan untuk mengembangkan rasa hormat atas komitmen yang dipilih. 3. Media dapat membantu meningkatkan keefektifan program layanan, guru BK dapat menyampaikan materi menggunakan media yang menurut belawati ( 2003 :12 ) dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu : media cetak, media non cetak, dan media display. 4. Asessment dapat dilakukan guru BK dalam mengidentifikasi dan merumuskan tingkat perkembangan moral untuk pesrta didik. Ada dua hal yang perlu diperhatikan: (1) mengkaji materi moral sesuai dengan kebutuhan siswa yang nyata dilapangan (2) membaca harapan-harapan moral bagi sekolahh dan masyarakat untuk menciptakan peserta didik yang berkarakter. Layanan responsif adalah pemberian bantuan untuk siswa yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera (immediate needs and concerns) salah satu caranya dengan melakukan konseling individu mengenai evaluasi diri berdasarkan moral value yang bertujuan membantu peserta didik yang mengalami kesulitan atau hambatan moralitas yang ada dalam dirinya. Dalam layanan responsif ini, guru BK dapat melakukan layanan responsif seperti layanan konsultasi. 1. Guru BK memberikan layanan konsultasi kepada peserta didik dalam rangka mengevaluasi diri berdasarkan moral value secara perseorangan atau hubungan tatap muka (face to face relationship) dan secara langsung tanpa perantara media atau alat bantu apapun.tahap pertama dalam layanan konseling individu mengenai evaluasi diri berdasarkan moral value adalah : 1) tahap pengantaran (introduction) yaitu tahap yang berisikan segenap pengertian, tujuan dan prinsip dasar melalui proses kegiatan penerimaan yang 162 Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti hangat, permisif, tidak menyalahkan,penstrukturan yang jelas dan penuh pemahaman sehingga peserta didik termotivasi untuk menjalani tahap konseling selanjutnya. 2) tahap penjajagan yaitu kegiatan yang membahas tentang permasalahan dan perkembangan peserta didik. 3) tahap penafsiran yaitu kegiatan evaluasi perilaku Layanan perencanan individual adalah layanan untuk semua peserta didik dengan tujuan mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, dari hasil pemahaman akan kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri. mengakomodasikan kemampuan peserta didik dengan orientasi pemusatan sosial skill. Dukungan sistem merupakan komponen program yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada peserta didik, atau memfasilitasi kelancaran perkembangan peserta didik. 1. Pengembangan pengetahuan dan skill Guru BK secara konsisten berusaha untuk “mengupdate”atau meningkatkan pengetahuan tentang moralitas dan kemampuannya melalui in-service training. 2. Berkolaborasi dan pemberian konsultasi Guru BK perlu melakukan berkolaborasi dan konsultasi dengan pihak-pihak lainnya agar mendapatkan umpan balik dan informasi tentang layanan pemberian kepada siswa, menciptakan suasana kondusif bagi lingkungan sekolah, layanan referal, dan meningkatkan kualitas program bimbingan konseling perkembangan. Contoh kolaborasi yang dapat meningkatkan moral peserta didik antara lain: Kolaborasi guru BK dengan kepala sekolah melalui program 5S, Kolaborasi guru BK dengan guru agama melalui tarbiyah project, Kolaborasi guru BK dengan guru seni budaya melalui pendidikan multibudaya, Bimbingan konseling adalah bagian integral dari pendidikan yang memiliki fungsi dan peranan yang strategis. Bimbingan dan konseling mengutamakan kekmpuan siswa mengenal, lingkungannya, dirinya, dan mampu merencanakan masa depannya. Implementasi bimbingan konseling juga sangat diperlukan untuk mendukung pembentukan karakter siswa,melalui kerja sama seluruh personil sekolah sehingga mampu berkontribusi terhadap terwujudnya daya manusia yang berkualitas. PENUTUP Simpulan Moral dapat dikembangkan melalui bimbingan konseling perkembangan yang merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada peserta didik dengan memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan, minat, dan isu-isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan peserta didik yang merupakan bagian terpenting dan integral dari keseluruhan program pendidikan. Fokus utama dari literasi moral yaitu mengembangkan pemahaman yang kuat tentang karakter manusia yang baik dan membantu siswa mencapai hal tersebut dalam kehidupannya sendiri melaui gaya hidup yang bermoral. Komponen-komponen tersebut merujuk pada nilai-nilai atau konsep-konsep seperti tradisi moral, etika, nurani, kontrol diri, empati, kehendak bebas. Bimbingan konseling perkembangan merupakan model bimbingan dan konseling yang berpegang pada prinsip untuk meningkatkan moral peserta didik melalui 4 program layanan; dukungan sistem, layanan responsif, layanan dasar, layanan perencanaan dan peminatan individual. Peran guru bimbingan dan konseling antara lain : (1) layanan dasar: dengan memberikan kegiatan persiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok dengan materi tentang butir-butir karakter cerdas, (2) layanan responsif: konseling individu mengenai evaluasi diri berdasarkan moral value, (3) layanan perencanaan dan peminatan individual: mengakomodasikan kemampuan peserta didik dengan orientasi pemusatan sosial skill, (4) dukungan sistem: kepala sekolah dengan guru BK melalui program 5S, kolaborasi guru BK dengan guru agama melalui pembelajaran berbasis tarbiyah project, kolaborasi guru BK dengan guru seni budaya melalui pembelajaran tentang pendidikan multi budaya. Saran Dalam mengembangakn literasi moral peserta didik, Guru BK dapat melakukan hal sebagai berikut ; mengambil langkah yang konkrit dengan memantau sikap peserta didik dalam melaksanakan program layanannya, menjalin kerjasama dengan pihak lain seperti kepala sekolah, orang tua, serta guru mata pelajaran yang bersangkutan; dan melaksanakan program layanan sampai peserta didik mampu meningkatkan moralitasnya dan mengembangkan keterampilan sosialnya secara efektif. DAFTAR PUSTAKA Anggraini, P. A. (2014). A Studi Deskriptif Mengenai Tahapan Penalaran Moral Pada Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Dalam Pengisian Daftar Hadir (Doctoral Dissertation, Universitas Padjadjaran). 163 Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti Astuti, B. 2012. The Model Of Developmental Guidance And Counseling To Improve The Adolescent’s Emotion Controls. Sunaryo Kartadinata.2011. Menguak Bimbingan Dan Konseling Sebagai Pedagogis .Bandung : Upi Press. Bhakti, C. P., & Rahman, F. A. 2017. Implementasi Tarbiyah Project Berbasis Peer Counseling: Alternatif Solusi Perilaku Candu Pornografi. In Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Konseling (Vol. 1, No. 1,Pp. 104-114). Sutoyo, Anwar., D.Y.P, Sugiiharto., & Edy Purwanto. 2015. Bimbingan Dan Konseling Perkembangan.Universitas Negeri Semarang. Caraka, P.B., Hasan, S.U.N.,& Hasan, U.N. 2015. Peran Layanan Bimbingan Dan Konseling Komprehensif Dalam Pengembangan Karakter Cerdas Anak Sekolah Dasar. Jurnal Konseling Komprehensif,2(2), 204-212. Cooper,D. Dan Chapman, C.1993. Risk Analysiss For Large Project. First Edition. John Willey & Sons Ltd.,Norwich. Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Guru Bk Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta :Depdiknas. Tabiir Upaya Uman, Suhermann. 2011. Pembangun Karakter Dan Budaya Bangsa Melalui Bimbingan Komprehensif Berbasis Nilai Alquran (Tinjauan Filosofis Tentang Hakikat Dan Peran Manusia). Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Bandung : Upi. Undang-Undang No.20/2003 Pendidikan Nasional. Tentanng Sistem Urbayatun, Siti., Dkk. 2017. Modul Pelatihan Komunikasi Pedagogis Untuk Mewujudkan Literasi Smic. Ristekdikti: Universitas Ahmad Dahlan. Handaka, I. B., & Maulana, C. 2017. Peran Guruu Bimbingan Dan Konseling Dalamm Implementasi Gerakan Literasi Nasional. In Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Konseling (Vol. 1, No. 1, Pp. 227-237). Havighurst, R.J. 1953. Developmental Tasks And Education. New York: David Mckay. Makmun, Abin Syamsudin. 1997. Psikologi Kependidikan. Bandung:Rosdaa Karya. Mamat Supriatna.2011. Bimbingan Dan Konseling Berbasis Kompetensi. Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada. Muro Annd Kottman. 1995. Guidance And Counseling In The Elementary And Middle Schools. Iowa: Brown & Benchark Publisher. Myrick, Robert D. 2011. Developmental Guidance And Counseling : A Practical Approach Fifth Edition. Minneapolis : Educational Media Corporation. Natawidjaja, Rochman. 1998. Peranan Guru Dalam Bimbingan Di Sekolah. Bandung: Abardin. Permendikbud Tahun 2014 No.111 Tentang Bimbingan Dan Konseling Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah. Pristanti, Nindya A. 2016. Penguatan Orientasi Nilai Dalam Bimbingan Dan Konseling Sebagai Upaya Pengembangan Karakter Generasi Muda Indonesia. Proceeding Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling. Universitas Negeri Yogyakarta. Suherman. 2008. Konsep Dan Aplikasi Bimbingaan Dan Konseling. Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan Dan Bimbingan Fip-Upi. 164 HUBUNGAN SELF COMPASSION UNTUK MENINGKATKAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA MAHASISWA ORGANISASI UNESA I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, i.17010664158@mhs.unesa.ac.id Yoga Seto Asmoro Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, yoga.17010664153@mhs.unesa.ac.id Abstrak Organisasi kemahasiswaan merupakan perkumpulan mahasiswa yang dibentuk sesuai dengan prinsip oleh dan untuk mahasiswa (Sudarman, 2004). Memutuskan untuk terlibat dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan bukanlah suatu hal yang mudah, selain harus membagi waktu antara perkuliahan dengan kegiatan organisasi, mengikuti banyak kegiatan sekaligus dapat membuat individu merasa kurang di salah relasi dengan individu lainnya (Nayana, 2013). Sedangkan penilaian afektif ialah berkaitan dengan emosi, mood (suasana hati), serta feelings (perasaan) yang dialami individu tersebut (Damayanti, Benu, & Pello, 2018). Tentu saja harapannya adalah setiap mahasiswa yang menjalankan beberapa peran sekaligus dapat mengelola agar nilai subjective well-beingnya tinggi. Subjective well-being mahasiswa dapat dikategorikan tinggi jika sebagian besar emosi yang dirasakan bersifat positif layaknya antusias dan merasa puas dengan kehidupan akademik perkuliahan yang dijalani, aktif melakukan banyak kegiatan positif baik dalam bidang akademik maupun non-akademik, serta memiliki relasi positif dengan lingkungan dan teman sebaya (Diener & Lucas, 2009). Self-compassion dapat menjadi suatu wadah yang memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan individu (Neff & McGehee, 2010). Metode dalam penelitian ini kami metode kuantitatif yaitu penyebaran kuisioner dan perhitungan data melalui uji korelasi dengan SPSS 22.0 for windows. Jumlah sampel adalah 79 orang. Subjective Well Being berkorelasi positif secara signifikan dengan Self-Compassion, pada nilai p 0.033 < 0,01 dengan nilai r = 2.52. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya ada hubungan antara Subjective Well Being dengan SelfCompassion. Kata Kunci: subjective well being, self compassion, mahasiswa. PENDAHULUAN “Love, connection, and acceptance are your birthright. To claim them you need only look within yourself” – Kristin Neff. Perguruan tinggi tidak hanya sebuah jenjang pendidikan yang memfasilitasi kegiatan akademik saja, namun juga kegiatan-kegiatan non-akademik. Hal tersebut sebagai wujud dari keseriusan perguruan tinggi untuk mengembangkan bakat, minat, potensi, dan kecerdasan mahasiswanya. Salah satu bidang kegiatan non-akademik ialah organisasi mahasiswa internal kampus seperti Himpunan Mahasiswa (HIMA), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Hal ini tidak jauh berbeda dengan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Unesa adalah salah satu perguruan tinggi negeri yang terletak di kota Surabaya. Unesa juga memiliki organisasi mahasiswa intra kampus sesuai dengan jenjangnya masing-masing, dari tingkat jurusan hingga tingkat universitas. Pada tingkat jurusan terdapat Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), lalu di tingkat fakultas terdapat BEM-Fakultas dan DPM, serta di tingkat universitas terdapat BEM-Universitas dan MPM. Untuk memudahkan maka akan penulis rinci dalam bagan berikut ini. BEM-U MPM BEM-F DPM HMJ Bagan 1. Struktur organisasi mahasiswa internal Unesa Organisasi adalah sebuah perkumpulan orang yang sepakat untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama (Anwar, 2003). Organisasi kemahasiswaan merupakan perkumpulan mahasiswa yang dibentuk sesuai dengan prinsip oleh dan untuk mahasiswa (Sudarman, 2004). Memutuskan untuk terlibat dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan bukanlah suatu hal yang mudah, selain harus membagi waktu antara perkuliahan dengan kegiatan organisasi, mengikuti banyak kegiatan sekaligus dapat membuat individu merasa kurang di salah satu bidang sehingga dapat 165 Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro mengganggu kesejahteraan psikologis individu tersebut. Subjective well-being merupakan sebuah penilaian terhadap diri sendiri mengenai perasaannya yang dikaitkan berdasarkan kebahagiaan, kesejahteraan, serta kepuasan hidup (Arianti, 2010). Seseorang dengan nilai subjective well being yang tinggi maka individu tersebut akan mencapai kepuasan dan kegembiraan hidup (Nurussalam & Izzati, 2018). Penilaian subjective well-being adalah melalui dua unsur yaitu afektif dan kognitif. Unsur kognitif dinilai melalui pikiran individu terhadap kepuasan kehidupan yang dijalani secara menyeluruh maupun spesifik, seperti kehidupan organisasi maupun relasi dengan individu lainnya (Nayana, 2013). Sedangkan penilaian afektif ialah berkaitan dengan emosi, mood (suasana hati), serta feelings (perasaan) yang dialami individu tersebut (Damayanti, Benu, & Pello, 2018). Beberapa penelitian telah dilakukan yang menghasilkan; (1) subjective well-being individu usia 20-30 tahun relatif tinggi (Ulloa, Moller, & Poza, 2013); (2) subjective well-being mahasiswa lebih rendah dibanding orang dewasa (Vaez, Kristenson, & Laflamme, 2004); (3) Ehrlich dan Isaacowitz (2002) menyimpulkan bahwa subjective well-being pada mahasiswa adalah rendah serta mahasiswa cenderung mengalami emosi negatif secara signifikan; (4) mahasiswa dapat memiliki subjective well-being yang tinggi bila mahasiswa tersebut merasa mendapat pengalaman berharga dalam perkuliahan, mengembangkan keterampilan sosial, serta mengasah pola pikir (Putri, Agustina, & Ranimpi, 2019). Berbagi peran antara menjadi seorang anak, mahasiswa, serta pengurus organisasi tentulah memiliki dinamika bagi seorang individu. Membagi waktu, menyusun kegiatan, bertanggung jawab, memiliki tujuan di bidang yang berbeda, memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi dapat membuat seorang mahasiswa memiliki penilaian yang berbedabeda terhadap kesejahteraan, kebahagiaan, dan kepuasan hidupnya. Adanya perbedaan peran diikuti dengan adanya kecenderungan salah satu peran tidak berjalan secara maksimal sehingg dapat menimbulkan kecenderungan mahasiswa untuk menyalahkan dirinya sendiri jika apa yang dijalani jauh dari apa yang diekspektasikan. Tentu saja harapannya adalah setiap mahasiswa yang menjalankan beberapa peran sekaligus dapat mengelola agar nilai subjective well-beingnya tinggi. Subjective well-being mahasiswa dapat dikategorikan tinggi jika sebagian besar emosi yang dirasakan bersifat positif layaknya antusias dan merasa puas dengan kehidupan akademik perkuliahan yang dijalani, aktif melakukan banyak kegiatan positif baik dalam bidang akademik maupun non-akademik, serta memiliki relasi positif dengan lingkungan dan teman sebaya (Diener & Lucas, 2009). Untuk mengurangi kecenderungan pikiran dan emosi negatif serta untuk meningkatkatkan rasa positif pada individu dapat dilakukan dengan sikap belas kasih atau self-compassion. Self-compassion dapat menjadi suatu wadah yang memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan individu (Neff & McGehee, 2010). Self-compassion adalah suatu bentuk perhatian serta kebaikan dari dan untuk diri sendiri ketika dihadapkan pada kesulitan ataupun kekurangan dalam dirinya (Neff, 2010). Telah banyak dilakuakan penelitian mengenai selfcompassion yang berkorelasi positif dengan subjective well-being seseorang. Self-compassion menjadi unik karena merupakan konsep yang masih segar dimana individu akan diarahkan untuk menilai dirinya sendiri secara sehat tanpa harus melakukan perbandingan sosial. Self-compassion akan mengacu kepada empat aspek, sebagai berikut. 1) Self-kindness : aspek ini mengukur tingkat responden dapat mengasihi dirinya serta tidak menyalahkan diri sendiri atas kegagalan yang terjadi di dalam hidupnya 2) Kemanusiaan : aspek ini mengukur tingkat responden menyadari bahwa masih terdapat banyak orang yang lebih kurang beruntung dibanding dirinya 3) Mindfulness : aspek ini mengukur tingkat responden akan memahami dengan jelas kejadian yang dialami 4) Self-compassion : aspek ini mengukur tingkat responden dapat mempraktikkan keterampilan dari 3 tahap sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari (Akmala, 2019). Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self-compassion dalam meningkatkan subjective well-being mahasiswa organisasi di Unesa. METODE Metode dalam penelitian ini kami metode kuantitatif yaitu penyebaran kuisioner. Kuisioner terdiri dari beberapa pertanyaan favorable dan unfavorable yang terdapat 4 pilihan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Setuju, Sangat Setuju. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Unesa yang ikut serta dalam kepengurusan 166 Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro organisasi internal kampus. Sedangkan untuk sampelnya sendiri berjumlah 79 subjek yang diambil dengan teknik simple random sampling.Adapun kriteria yang dapat mengisi kuisioner adalah : 1. Mahasiswa yang pernah mengikuti organisasi kampus (HMJ, BEM, DPM, MPM) di Unesa minimal 1 periode kepengurusan 2. Angkatan 2017-2018 3. Bersedia mengisi kuisioner Instrumen yang digunakan untuk mengukur subjective well-being adalah kuisioner The College Students Subjective Well-Being Questionnaire (CSSWQ) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Sampel akan diminta mengisi kuisioner pada link google form yang telah diberikan dengan memilih angka 1-4 berdasarkan skala likert sesuai dengan pernyataan yang ada dan keadaan subjek. Sedangkan untuk mengukur self-compassion sampel menggunakan instrumen Self-Compassion Scale modifikasi dari Dr. Kristin Neff. Sampel akan diminta mengisi kuisioner pada link google form yang telah diberikan dengan memilih angka 1-4 berdasarkan skala likert sesuai dengan pernyataan yang ada dan keadaan subjek. Analisis data akan menggunakan Product Moment yang dihitung melalui SPSS IBM 22.0 for windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 3. Jumlah Responden ditinjau dari Organisasi yang Pernah diikuti Hasil pada bahasan kali ini dapat di analisa dengan menggunakan perhitungan statistik pada SPSS. Berdasarkan perhitungan tersebut terdapat hubungan yang signifikan antara Subjective Well Being dengan Self-Compassion pada mahasiswa organisasi unesa. Tabel 1. Model Summary R² F Linier 0.018 1.441 Quadratik 0.125 5.503 S 0.027 2.155 Sig 2.234 0.006 0.146 Uji asumsi menggunakan Model Summary and Parameter Estimates diatas menunjukkan model yang tepat untuk menganalisis data pada penelitian kali ini. Ketiga model ini adalah yang paling umum, meskipun masih ada kemungkinan model yang lain. Dari nilai R² pada tabel terlihat bahwa model yang paling tepat adalah model Quadratic karena memiliki R² paling tinggi diantara semua pola. Jika menggunakan model kudratik kita akan mendapatkan sumbangan efektif sebesar 12.5% sedangkan kalau menggunakan model linear hanya menghasilkan 1.8%. Gambar 1. Jumlah Responden ditinjau dari Fakultas di Unesa Gambar 2. Jumlah Responden ditinjau dari Angkatan Gambar 4. Grafik Quadratic Berdasarkan gambar grafik diatas menunjukkan bahwa model Quadratic hampir menyamai pola hubungan antara Subjective Well Being dengan Self- 167 Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro Compassion. Pada Subjective Well Being tingkat kelompok rendah, semakin rendah Subjective Well Beingnya maka semakin tinggi juga SelfCompassionnya. Sedangkan Subjective Well Being kelompok tinggi, semakin rendah Subjective Well Beingnya maka semakin rendah juga SelfCompassionnya. Kesimpulannya adalah terdapat 2 hasil bahwa tidak menutup kemungkinan seseorang yang memiliki Subjective Well Being yang tinggi maka Self-Compassionnya juga ikut semakin tinggi. Meskipun demikian pola hubungan yang terjadi tidak linear, namun justru membentuk pola Quadratic seperti pada grafik diatas. Tabel 2. Uji Korelasi Pearson Variabel Correlatio n (r) SWB -3.79 Compassio Kelompo k SWB 1 n 2 SWB Compassion 0.252 Sig (p) 0.01 2 0.03 3 Output di atas dibedakan berdasarkan kelompok Subjective Well Being. Pada Kelompok 1 (kelompok rendah), Subjective Well Being berkorelasi negatif secara signifikan dengan Self-Compassion, dimana pada nilai p 0.012 < 0,01 dengan r = -3.79. Sedangkan pada kelompok 2 (kelompok tinggi), Subjective Well Being berkorelasi positif secara signifikan dengan SelfCompassion, pada nilai p 0.033 < 0,01 dengan nilai r = 2.52. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya ada hubungan antara Subjective Well Being dengan Self-Compassion. Pada Subjective Well Being tingkat kelompok rendah, dapat diketahui bahwa semakin rendah Subjective Well Beingnya maka semakin tinggi juga Self-Compassionnya. Sedangkan pada Subjective Well Being kelompok tinggi, dapat diketahui bahwa semakin rendah Subjective Well Beingnya semakin rendah juga Compassionnya. Berdasarkan hasil analisis penelitian maka terdapat kecenderungan hubungan antara aspek-aspek Subjective Well Being dengan aspek-aspek pada SelfCompassion. Seseorang dengan nilai subjective well being yang tinggi maka individu tersebut akan mencapai kepuasan dan kegembiraan hidup (Nurussalam & Izzati, 2018). Penilaian subjective wellbeing adalah melalui dua unsur yaitu afektif dan kognitif. Unsur kognitif dinilai melalui pikiran individu terhadap kepuasan kehidupan yang dijalani secara menyeluruh maupun spesifik, seperti kehidupan organisasi maupun relasi dengan individu lainnya (Nayana, 2013). Sedangkan penilaian afektif ialah berkaitan dengan emosi, mood (suasana hati), serta feelings (perasaan) yang dialami individu tersebut (Damayanti, Benu, & Pello, 2018). Self-compassion akan mengacu kepada empat aspek, sebagai berikut; (1) self-kindness : aspek ini mengukur tingkat responden dapat mengasihi dirinya serta tidak menyalahkan diri sendiri atas kegagalan yang terjadi di dalam hidupnya; (2) kemanusiaan : aspek ini mengukur tingkat responden menyadari bahwa masih terdapat banyak orang yang lebih kurang beruntung dibanding dirinya; (3) mindfulness : aspek ini mengukur tingkat responden akan memahami dengan jelas kejadian yang dialami; (4) selfcompassion : aspek ini mengukur tingkat responden dapat mempraktikkan keterampilan dari 3 tahap sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari (Akmala, 2019). Secara aspek kognitif dalam subjective well being berkaitan erat dengan aspek mindfullness dan keterampilan self-compassion pada aspek selfcompassion. Sedangkan untuk aspek afektif dalam subjective well-being berkaitan dengan aspek selfkindness dan kemanusiaan pada self-compassion. PENUTUP Simpulan Pada Kelompok 1 (kelompok rendah), Subjective Well Being berkorelasi negatif secara signifikan dengan SelfCompassion, dimana pada nilai p 0.012 < 0,01 dengan r = -3.79. Sedangkan pada kelompok 2 (kelompok tinggi), Subjective Well Being berkorelasi positif secara signifikan dengan Self-Compassion, pada nilai p 0.033 < 0,01 dengan nilai r = 2.52. Kesimpulannya adalah terdapat 2 hasil bahwa tidak menutup kemungkinan seseorang yang memiliki Subjective Well Being yang tinggi maka Self-Compassionnya juga ikut semakin tinggi. Secara aspek kognitif dalam subjective well being berkaitan erat dengan aspek mindfullness dan keterampilan self-compassion pada aspek selfcompassion. Sedangkan untuk aspek afektif dalam subjective well-being berkaitan dengan aspek selfkindness dan kemanusiaan pada self-compassion. Saran Saran penulis akan penulis tujukan kepada seluruh mahasiswa organisasi agar senantiasa melatih, membentuk, dan membangun self compassion sehingga subjective well-being juga dapat meningkat. Hal tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap 168 Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro jalannya organisasi kemahasiswaan yang sedang diikuti. Vaez, M., Kristenson, M., & Laflamme. (2004). Perceived quality of life and self-rated health among first-year university students. Social Indicators Research, 68(2), 221-234 DAFTAR PUSTAKA Akmala, L.A. (2019). Efektivitas pelatihan selfcompassion untuk meningkatkan resiliensi pada anak keluarga tidak harmonis. Jurnal Psikologi Islam, 6(1), 13-24 Anwar, P.M. (2003). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung : Remaja Rosdakarya Arianti, J. (2010). Subjective well-being (kesejahteraan subjektif) dan kepuasan kerja pada staf pengajar (dosen) di lingkungan fakultas psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Undip, 8(2) Creswell, J.W. (2010). Research design : qualitative, quantitative, and mixed methods approaches 3th. (Achmad Fawaid, penerjemah). Yogyakarta Damayanti, Y., Benu, J.M.Y., & Pello, S.C. (2018). Hubungan subjective well-being dan psychological well-being mahasiswa prodi psikologi Universitas Nusa Cendana. Seminar Nasional Psikologi Diener, E. Lucas. (2009). The science of well-being the collected works of Ed Diener. USA : Springer Ehrlich, B., & Isaacowitz. (2002). Does subjective well-being increase with age? Perspective in Psychology. Journal Spring, 5 Nayana, N.F. (2013). Kefungsian keluarga dan subjective well-being pada remaja. Jurnal Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang Neff, K.D. (2010). Self-compassion, self-esteem, and well-being. Journal of Social and Personality Psychology Compass, 1-12 Neff, K.D., & McGehee, P. (2010). Self-compassion and psychological resillience among adolescents and young adults. Journal of Self and Identity, 9, 225-240 Nurussalam, A.R., & Izzati, U.A. (2018). Hubungan antara komitmen organisasi dengan subjective well-being pada guru. Jurnal Penelitian Psikologi Character, 5(2), 1-5 Putri, S., Agustina, V., & Ranimpi, Y.Y. (2019). Subjective well-being berhubungan dengan prestasi akademik mahasiswa program studi ilmu keperawatan. Jurnal keperawatan, 11(4), 243-250 Sudarman. (2004). Motivasi kepemimpinan dan efektivitas kelompok. Jakarta : Rineka Cipta Ulloa., moller, V., & Poza,A. (2013). How does subjective well-being envolve with age? A literatur review. German : Discussion paper, 7328 169 HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASI DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER MAHASISWA Lika Purnama Ning Wulan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, lika.17010664002@mhs.unesa.ac.id Chabibatul ‘Alimah Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, chabibatul.17010664017@mhs.unesa.ac.id Abstrak Mahasiswa memerlukan fondasi karakter yang kuat untuk dapat menjadi social control, agent of change, dan iron stock. Dalam lingkungan kampus, terdapat berbagai organisasi yang memiliki tujuan untuk membantu mahasiswa mengembangkan minat, bakat, kepemimpinan, cara berpikir kritis, kebangsaan, hingga menumbuhkembangkan nilai moral dan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasi dan budaya organisasi dalam upaya pembentukan karakter. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan jumlah sampel sebanyak 106 mahasiswa yang ikut dalam organisasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam uji hipotesis adalah teknik correlation product moment pearson. Hasil analisis data menunjukkan hasil r = 0.819, dan Sig. 0.000 (p<0.05), yang berarti hasil penelitian signifikan dan korelasi positif (berbanding lurus) pada kedua variabel. Sehingga semakin tinggi komitmen organisasi yang dimiliki anggota, maka semakin tinggi budaya organisasi anggota organisasi. Kata Kunci: Komitmen organisasi, Hubungan Organisasi, Pembentukan Karakter. PENDAHULUAN Berdasarkan pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa merupakan seseorang yang sedang belajar di perguruan tinggi (Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa, 2020). Selain belajar, mahasiswa juga diberi 3 tugas khusus yaitu sebagai social control, agent of change, dan iron stock. Sebagai pengendali sosial, mahasiswa bertugas untuk mengambil posisi sebagai penengah antara rakyat dan pemerintah sekaligus menjadi pengamat, dan memberikan kritik membangun atas peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebagai agen perubahan, mahasiswa diharapkan dapat menjadi sumber perubahan yang dapat menghasilkan sesuatu yang positif bagi sosial kemasyarakatan. Kemudian yang terakhir, sebagai iron stock mahasiswa diharapkan menjadi manusia yang kuat, kokoh, tangguh dan berakhlak mulia sebagai sosok yang akan meneruskan bangsa (Istichomaharani & Habibah, 2016). Namun, dalam pelaksanaan nya, mahasiswa memiliki tantangan yang besar. Di zaman yang serba maju dengan begitu banyak kemudahan yang ditawarkan membuat mahasiswa terancam lupa akan tujuan awalnya. Maka dari itu untuk menuntaskan tugasnya, diperlukan fondasi karakter yang kokoh. Karakter sendiri adalah identitas yang ada dalam diri seseorang sekaligus merepresentasikan bagaimana sesungguhnya diri orang tersebut (Rabbani, 2019). Dalam definisinya, karakter memiliki konotasi positif, dan memiliki moral yang kuat. Karakter tidak dapat tercipta hanya dengan waktu singkat. Proses ini memerlukan waktu yang lama dan kompleks seiring dengan seseorang tumbuh dewasa (Anistyasari & Muslim, 2020). Ada beberapa hal yang memengaruhi bagaimana karakter seseorang terbentuk yaitu dari keluarga, lingkungan, hingga lembaga pendidikan tempat seseorang menimba ilmu (Rabbani, 2019). Di lingkungan universitas terdapat lembaga organisasi kemahasiswaan atau lembaga kemahasiswaan yang terbagi menjadi dua jenis yaitu organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi yang artinya diselenggarakan oleh satu perguruan tinggi dan disetujui oleh pimpinan tertinggi. Kemudian ada organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi yang merupakan penyatuaan atau gabungan dari beberapa himpunan dan organisasi kemahasiswaan yang bertempat di salah satu perguruan tinggi yang menjadi anggota (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, 2019). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, fungsi dari organisasi kemahasiswaan adalah sedikitnya untuk 1) memberikan wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan kelebihan, bakat dan minat yang dimiliki mahasiswa. 2) organisasi kemahasiswaan berfungsi membantu mahasiswa mengembangkan rasa berani, kemampuan berpikir kritis, kreatifitas, kepemimpinan, kepekaan, hingga rasa kebangsaan. 3) organisasi kemahasiswaan juga bermaksud memenuhi kesejahteraan dan kepentingan mahasiswa. 4) membantu mahasiswa menumbuh 170 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah kembangkan tanggung jawab dengan cara mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat. Untuk membuat sebuah organisasi menjadi berhasil dibutuhkan partisipasi penuh dari anggota nya. Menurut Yulianto (dalam Adnan & Prihatsanti, 2017) seseorang yang terlibat aktif dalam organisasi akan dapat meningkatkan softskill nya dengan baik. Kerelaan untuk berusaha yang terbaik serta kepercayaan yang tinggi terhadap nilai yang dimiliki organisasi disebut dengan komitmen organisasi (Hanggardewa, 2018). Definisi lain menyebutkan bahwa Komitmen organisasi merupakan keinginan yang kuat seseorang supaya tetap menjadi anggota suatu organisasi. Individu yang memiliki komitmen terhadap organisasi akan mencerminkan loyalias mereka, dimana individu tersebut akan mengekspresikan rasa peduli pada organisasi, keberhasilan dan kesejahteraan yang berkelanjutan (Luthans, 2011). Selain itu, komitmen organisasi juga berulangkali diakui sebagai faktor signifikan yang menentukan cara kerja anggota dalam organisasi. Komitmen juga merupakan faktor yang membuat anggota terhubung dengan organisasi (Yahaya & Ebrahim, 2016). Meyer dan Allen dalam Luthans menyebutkan tiga dimensi komitmen organisasi, yaitu: 1) Affective commitment Dimensi ini terkait dengan anggota yang merasa memiliki hubungan emosional dengan organisasinya. Hal ini membuat anggota tersebut kemungkinan akan terus bertahan karena keinginan nya sendiri. 2) Normative commitment Dimensi ini terkait perasaan terikat dalam tanggung jawab dan kewajiban sehingga ia memutuskan terlibat aktif dalam organisasi. Komitmen ini bisa terbentuk setelah anggota merasa mendapatkan sesuatu yang istimewa atau sangat berharga dari organisasi. 3) Continuance commitment. Dimensi ini terkait pertimbangan seseorang bertahan dalam organisasi karena memikirkan resiko serta kerugian yang akan ditanggung apabila ia memilih meninggalkan. Selain itu, setiap organisasi pada umumnya memiliki tata cara, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan keunikannya masing-masing. Secara tidak sadar anggota-anggota yang tergabung dalam organisasi belajar tentang budaya yang dimiliki organisasinya (Sutrisno, 2010). Secara lebih dalam, anggota organisasi terdoktrinasi ke dalam sebuah keyakinan dan asumsi yang unik yang pada akhirnya membentuk sebuah dasar untuk berperilaku yang sama (Driskill, 2019). Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2018) menyebutkan bahwa budaya yang ada dalam sebuah organisasi akan menentukan perilaku seluruh anggota dalam organisasi tersebut. Selain itu, budaya organisasi terbukti berpengaruh positif terhadap pembentukan karakter mahasiswa (Muslianti, 2019). Sehingga dapat diartikan bahwa, jika sebuah organisasi memiliki budaya yang baik maka akan dapat membawa anggota di dalamnya berperilaku baik pula. Sutrisno (2010) membahas lebih dalam mengenai budaya organisasi. Tokoh ini mendefinisikan budaya organisasi sebagai sebuah kesatuan nilai (beliefs), pandangan, keyakinan, norma yang telah lama digunakan, dan secara sepakat dilakukan oleh anggota sebagai suatu tuntunan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh organisasi. Masih menurut Sutrisno, budaya organisasi adalah sebuah kekuatan sosial yang tidak dapat dilihat namun mampu membuat anggotanya melakukan berbagai hal. Menurut Denison & Mishra (1995) terdapat empat dimensi dari budaya organisasi, yaitu: 1) Adaptability Dimensi ini menggambarkan organisasi yang mampu beradaptasi, berani mengambil resiko untuk menciptakan perubahan, serta organisasi yang sanggup belajar dan memahami lingungan sekitar. 2) Mission Adalah arah dan tujuan kemana organisasi ini akan dibawa. Dimensi ini mencakup visi, misi, sasaran, dan arahan strategi. 3) Involvement Dimensi ini terkait dengan keterlibatan anggota dalam organisasi. Segala aktifitas yang dilakukan oleh anggota organisasi adalah berdasarkan tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya. Dimensi ini terkait memprioritaskan upaya pengembangan kemampuan anggota, dan bekerja sama dalam tim. 4) Consistency Dimensi ini terkait tingkat integrasi dan koordinasi yang tinggi. Konsisten berjalan pada nilai-nilai inti, kesepakatan, koordinasi, dan integrasi. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif. Sampel penelitian ini berjumlah 106 mahasiswa yang mengikuti organisasi universitas, baik HMJ, BEM F, BEM U, dll. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket dengan modifikasi skala yang sudah ada sebelumnya. Skala komitmen organisasi yang digunakan adalah skala komitmen organisasi yang dikembangkan oleh Hidayat (2018) dengan 171 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah berdasarkan definisi komitmen organisasi Luthans. Sedangkan skala budaya organisasi yang digunakan merupakan skala yang telah diadaptasi oleh Baroroh (2016) dengan aspek-aspek budaya organisasi Denison. Analisis data penelitian menggunakan teknik product moment Pearson dengan menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS 24.0 for windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan adalah mahasiswa yang aktif mengikuti kegiatan organisasi di lingkungan Universitas Negeri Surabaya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasi terhadap budaya organisasi dalam upaya pembentukan karakter mahasiswa. Hasil penelitian dilaporkan dengan menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Hasil perhitungan deskriptif kuantitatif disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Statistik Deskriptif Skor Komitmen Organisasi dan Budaya Organisasi Skor Skor Variab Me n SD Minim Maksim el an um um Komit men 10 68.0 9.16 21 84 Organis 6 5 2 asi Budaya 10 66.3 11.6 Organis 21 84 6 8 45 asi Berdasarkan Tabel 1 tersebut, diketahui bahwa skor hipotetik pada kedua variabel (komitmen organisasi dan budaya organisasi) terdiri atas 21 aitem valid. Mean hipotetik variabel komitmen organisasi adalah 68.05 dan mean hipotetik variabel budaya organisasi adalah 66.38. Untuk uji hipotesis dilakukan menggunakan statistik inferensial uji korelasional product moment pearson. Hasil analisis tersebut disajikan dalam pada tabel 2. Tabel 2. Tabel Uji Korelasi Komitmen Organisasi terhadap Budaya Organisasi Komitmen Organisasi Budaya Organisasi Pearson Correlation Sig. (2-tailed) n 0.819 0.000 106 Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan dengan menggunakan product moment correlation didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel. Hasil tersebut ditunjukkan oleh tabel yang menunjukkan hasil Sig. 0.000 yang berarti lebih kecil dari 0.05. Hasil tersebut dapat diartikan bahwa hasil penelitian signifikan. Kemudian pada tabel tersebut juga didapatkan hasil pearson correlation sebesar 0.819, yang berarti hasil korelasi pada hasil analisis data memiliki arti korelasi positif (berbanding lurus) pada kedua variabel. Pembahasan Bedasarkan uraian hasil penelitian, diketahui jika hasil korelasi yang positif dan signifikan menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki peran penting pada budaya organisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian lain. Penelitian lain dilakukan oleh Dewi & Farida (2015) pada karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero),Tbk dengan hasil penelitian thitung 4,665 > ttabel 1,997. dengan arah hubungan positif yang berarti semakin baik budaya organisasi, semakin tinggi komitmen organisasi karyawan. Penelitian serupa juga dilakukan Nurrahma dan Widawati (2019) pada Tim Mataharikecil Bandung dengan hasil penelitian terdapat hubungan signifikan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi yang berarti semakin kuat budaya organisasi, maka akan semakin tinggi komitmen organisasinya. Budaya organisasi adalah sebuah kekuatan sosial yang tak benar-benar dilihat tetapi bisa menggerakkan orang dalam organisasi agar melakukan suatu aktivitas kerja (Sutrisno, 2010). Dalam budaya organisasi ini juga terdapat beberapa dimensi. Denison dan Mishra (1995) menyebutkan empat dimensi budaya organisasi terdiri atas adaptability, mission, involvement, dan consistency. Keempat dimensi tersebut secara keseluruhan akan menggambarkan kemampuan untuk merespon perubahan lingkungan eksternal, tujuan inti organisasi, tingkat partisipasi anggota, dan kesepakatan anggota pada nilai serta asumsi dasar organisasi. Dalam suatu lingkungan kampus, terdapat bermacam-macam organisasi. Dalam organisasi tersebut terdiri atas banyak individu dengan latar belakang buadaya yang berbeda-beda. Sedangkan dalam setiap organisasi itu sendiri pasti memiliki budaya yang unik dan khas yang hanya ada ada organisasi tersebut. oleh karenanya agar bisa berbaur dan beradaptasi dengan organisasi tersebut, anggotanya juga harus mampu untuk beradaptasi dengan budaya organisasi itu. 172 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah Selain berbeda latar belakang budaya, setiap anggota organisasi tersebut juga memiliki tingkat komitmen organisasi yang berbeda-beda pula. Luthans (2011) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai keinginan yang kuat seseorang supaya tetap menjadi anggota suatu organisasi. Individu yang memiliki komitmen terhadap organisasi akan mencerminkan loyalias mereka, dimana individu tersebut akan mengekspresikan rasa peduli pada organisasi, keberhasilan dan kesejahteraan yang berkelanjutan (Luthans, 2011). Seperti halnya budaya organisasi, komitmen organisasi ini juga terdiri atas beberapa dimensi. Meyer dan Allen dalam Luthans menyebutkan tiga dimensi komitmen organisasi yaitu affective commitment, normative commitment, dan continuance commitment. Karakter dalam KBBI berarti “(n) sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak” (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Samrin (2016) mengatakan bahwa karakter identik terhadap akhlak atau kepribadian. Sehingga karakter adalah identitas yang ada dalam diri seseorang dan merepresentasikan kepribadian. Oleh karenanya karakter ini dianggap sebagai suatu yang positif dan memiliki nilai moral yang kuat. Karakter akan terbentuk apabila budaya organisasinya kuat atau baik dan komitmen organisasinya tinggi. seperti penelitian yang dilakukan oleh Messner dalam Jabri dan Ghazzawi (2019) menyebutkan bahwa saat budaya etis sebuah organisasi meningkat, maka loyalitas, perasaan bangga, dan dukungan anggota yang mengarah kepada komitmen organisasi yang lebih besar. Selain itu, Yoon dan Park dalam Jabri dan Ghazzawi (2019) juga menyatakan bahwa pelaksanaan ethical corporate menjadi sangat penting untuk membentuk komitmen tertinggi dan budaya yang saling menghormati. Oleh karena itu, jika dalam sebuah organisasi nilai budaya dan juga komitmennya tinggi, akan menjadikan salah satu bentuk upaya pengembangan karakter yang cukup efektif. Hal itu pun sesuai dengan tujuan mahasiswa sebagai agent of change, social control dan iron stock. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil serta pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat hubungan signifikan positif antara komitmen organisasi dengan budaya organisasi pada mahasiswa yang mengikuti organisasi di lingkungan Universitas Negeri Surabaya. Hasil korelasi positif ini menunjukkan jika komitmen organisasi seseorang tinggi, maka budaya organisasi mereka juga akan tinggi. 2. Hubungan komitmen organisasi dan budaya organisasi yang kuat akan mampu menjadi salah satu upaya pengembangan karakter mahasiswa. Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti ingin memberikan saran kepada 1) pihak organisasi untuk terus meningkatkan komitmen organisasi, seperti secara berkala mengadakan kegiatan outbond, atau upgrading yang mengedepankan kegiatan bersama anggota lain dalam organisasi serta menguatkan budaya organisasi yang baik agar pembentukan karakter pada anggota dapat semakin baik pula. 2) kepada peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti topik yang sama agar dapat memperluas jangkauan subyek penelitian agar didapatkan pandangan baru serta hasil yang lebih kompleks. DAFTAR PUSTAKA Adnan, B. R., & Prihatsanti, U. (2017). Hubungan antara psychological capital dengan komitmen organisasi pada mahasiswa UNDIP. Jurnal Empati, 6(4), 185-194. Anistyasari, Y., & Muslim, S. (2020). Pengaruh praktik kerja industri terhadap pembentukan karakter mahasiswa teknik informatika Universitas Negeri Surabaya. Journal of Vocational and Technical Education, 2(1), 30-36. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dipetik April 25, 2020, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gaji Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa. (2020). Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Daring. Diambil kembali dari kbbi.web.id: kbbi.web.id/mahasiswa.html Baroroh, N. A. (2016). Peran budaya organisasi terhadap efektivitas organisasi di HMI cabang kota Malang. Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim. Denison, D. R., & Mishra, A. K. (1995). Toward a theory of organizational culture and effectiveness. Organization Science, 6(2), 204-223. Dewi, S., & Farida, L. (2015). Hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk kantor cabang Pekanbaru. JOM FISIP, 2(2), 1-12. 173 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah Driskill, G. W. (2019). Organizational Culture in Action: A Cultural Analysis Workbook (3rd ed.). New York: Routledge. Hanggardewa, A. A. (2018). Hubungan kohesivitas kelompok dengan komitmen organisasi pada anggota organisasi mahasiswa Universitas Negeri Surabaya Periode 2017. Jurnal Penelitian Psikologi, 5(3), 1-5. Sutrisno, E. (2010). Budaya Organisasi. Jakarta: Prenadamedia Group. Yahaya, R., & Ebrahim, F. (2016). Leadership styles and organizational commitment: Literature review. Journal of Management Development, 35(2), 190216. Hidayat, O. (2018). Pengaruh kecerdasan adversitas terhadap komitmen dalam berorganisasi pengurus organisasi kemahasiswaan FIP UNY. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Istichomaharani, I. S., & Habibah, S. S. (2016). Mewujudkan peran mahasiswa sebagai "Agent of Change, Social Control, dan Iron Stock". Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 "Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN". Jabri, B. A., & Ghazzawi, I. (2019). Organizational commitment: A review of the conceptual and empirical literature and a research agenda. International Leadership Journal “ILJ”, 11(1), 78119. Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi. (2019). Panduan bantuan dana kegiatan organisasi kemahasiswaan. RISTEKDIKTI. Luthans, F. (2011). Organizational behavior (12th ed.). New York: The McGraw-Hill Co., Inc. Muslianti. (2019). Pengaruh budaya organisasi himpunan mahasiswa program studi pendidikan IPS terhadap pembentukan karakter mahasiswa program studi pendidikan IPS FIS UNM. Naskah Publikasi , 1-15. Nurrahma, R. F., & Widawati, L. (2019). Hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi pada tim Mataharikecil Bandung. Prosiding Psikologi, 5(1), 37-44. Presiden Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi. Jakarta: Sekretariat Negara. Rabbani, M. F. (2019). Peran organisasi mahasiswa MENWA UMS terhadap pengembangan karakter tanggung jawab bagi anggota tahun angkatan 2018/2019. Samrin. (2016). Pendidikan karakter (Sebuah pendekatan nilai). Jurnal Al-Ta'dib, 9(1), 120-143. Setiawan, A. A. (2018). Pengaruh kerjasama tim dan budaya organisasi terhadap loyalitas organisasi pada organisasi Pusat Studi Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman. Psikoborneo, 6(3), 535546. 174 TRADISI GAWI ADAT DAN IMPLIKASINYA DALAM MKU PENDIDIKAN ETIKA DAN KEARIFAN LOKAL Farida Ariyani Magister Pendidikan Bahasa dan Kebudayaan Lampung, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung, farida.ariyani@fkip.unila.ac.id Edi Siswanto Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung, edi.siswanto@fkip.unila.ac.id Siska Mega Diana Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung, siskamega.diana@fkip.unila.ac.id Abstrak Tradisi upacara adat merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dari kehidupan suatu kelompok masyarakat yang masih dianggap memiliki nilai-nilai budaya luhur. Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan sampai saat ini meski di tengah Pandemi Covid-19 masih mempertahankan keaslian potensi kearifan lokal, salah satunya adalah upacara tradisi Gawi Adat. Fokus kajian penelitian ini adalah tradisi Gawi Adat dengan tujuan penelitian mendeskripsikan tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan dan implikasinya dalam Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bentuk pendokumentasian kajian interaksi simbolik tradisi Gawi Adat sebagai penambah referensi materi perkuliahan. Penelitian kualitatif digunakan sebagai desain dari proses pengambilan data sampai analisis data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi Gawi Adat diawali dengan bentuk upacara tradisi Gawi Adat, fungsi upacara Gawi Adat, dan makna tradisi Gawi Adat. Implementasi tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan sebagai refernsi/materi pembelajaran tambahan pada CPMK3 (Budaya Lampung dan Sejarah Perkembangannya) dengan salah satu indikator mahasiswa mampu memamhami tentang sistem perkawinan adat Lampung dan merupakan inovasi baru dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal, khususnya di Kampus Hijau Universitas Lampung. Sebagai produk inovasi pembelajaran, pada tahap implementasi dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk dosen dan mahasiswa dalam pembentukan karakter serta mendongkrak keberadaan tradisi lokal Lampung untuk lebih membumi dan membantu mahasiswa untuk dapat mengerti sekaligus menerapkan dalam kehidupan mendatang sebagai pewaris kebudayaan Lampung. Kata Kunci: tradisi gawi adat, implikasi, pendidikan etika dan kearifan lokal. PENDAHULUAN Setiap kelompok masyarakat di suatu wilayah pasti memiliki kehidupan berbudaya. Dalam masyarakat yang berbudaya tersebut memuat sebuah tradisi yang memiliki ciri khas berbeda-beda di setiap kelompoknya. Tradisi atau kebiasaan itu merupakan sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan kelompok masyarakat lokal tertentu di suatu wilayah. Di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan sampai saat ini meski di tengah Pandemi Covid-19 masih mempertahankan keaslian potensi kearifan lokal, salah satunya adalah upacara tradisi Gawi Adat. Kampung Tua Negara Batin merupakan salah satu kecamatan yang ada dan terletak di sebelah utara Kabupaten Way Kanan. Kampung Tua Negara Batin ini dihuni oleh orang Lampung yang berasal dari keturunan Lampung sehingga tradisi- tradisi adat masih hidup, berkembang, dan terjaga. Salah satu tradisi adat yang ada adalah tradisi Gawi Adat. Gawi Adat adalah proses penyelesaian pengakuan seseorang oleh para punyimbang (tokoh adat di komunitas keadatan tertentu). Potensi kearifan lokal seperti inilah yang dapat dijadikan salah satu bahan kajian dalam perkuliahan (Ariyani, 2018: 1). Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal merupakan salah satu mata kuliah penciri Universitas Lampung yang memangku amanah untuk merepresentasikan nilai-nilai kelokalan Provinsi Lampung itu sendiri. Di dalam Rancangan Pembelajaran Semester (RPS) Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal terdapat capaian pembelajaran mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa dapat memahami budaya Lampung dan perkembangannya, salah satu submateri yang 175 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah disuguhkan adalah upacara perkawinan masyarakat adat Lampung. Maka, tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Way Kanan diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi dosen pengajar dan mahasiswa dalam mengimplementasikan kearifan lokal Lampung. Hal ini tentunya akan menambah wawasan khasanah budaya bagi mahasiswa asli Suku Lampung maupun mahasiswa di luar Suku Lampung. Dari uraian latar belakang tersebut, maka peneliti merasa perlu dan penting untuk melakukan penelitian dengan judul “Tradisi Gawi Adat dan Implikasinya dalam Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal”. Penelitian ini akan dianalisis menggunakan kajian interaksi simbolik sehingga mahasiswa benar-benar dapat memahami suatu tradisi yang baik yang dimiliki masyarakat adat Lampung. Budaya berasal dari kata Sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal” (Koentjaraningrat, 2009: 146). Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Selanjutnya Soemanrjan dan Soemardi dalam (Soekanto, 1990: 173) merumuskan kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudaayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyaarakat. Kebudayaan juga mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya seseorang bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika mereka berhubungan dengan orang lain. Kebudayaan merupakan suatu garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang dan lain sebagainya (Robin M. Williamms dalam Soekanto, 1990: 173). Upacara adat merupakan salah satu tradisi masyarakat tradisional. Upacara adat terdiri dari dua kata, upacara dan adat. Upacara adat juga merupakan tingkah laku resmi yang dilakukan untuk peristiwaperistiwa yang dapat ditunjukkan pada kegiatan teknis sehari-hari, tetapi mempunyai kaitan dengan kekuatan diluar kemampuan manusia atau gaib (Adrianto, 2010: 794). Upacara adat ini dilakukan oleh masyarakat yang menjadi pencerminan semua perencanaan dan tindakan yang diatur dalam tata nilai luhur dan diwariskan secara turun temurun kemudian mengalami perubahan menuju kebaikan sesuai dengan tuntutan zaman. Eksisnya sebuah tradisi tentu tidak lepas dari peran masyarakaat pendukungnya untuk menegaskan bahwa masyarakat memiliki sistem nilai yang mengatur tata kehidupan dalam masyarakat. Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian konsep-konsep abstrak yang hidup di dalam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat. Sistem nilai budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman sekaligus pendorong sikap dan perilaku manusia dalam hidupnya, sehingga berfungsi sebagai suatu sistem kelakuan yang paling tinggi tingkatannya (Muhannis, 2004: 4). Pendidikan merupakan salah satu proses belajar kebudayaan yang didapat manusia di lingkungan formal. Pendidikan secara praktis tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Keduanya sangat erat hubungannya karena saling melengkapi dan mendukung antara satu sama lainnya. Menurut UU No. 23 Tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, untuk meneruskan tradisi budaya yang ada maka diperlukan suatu proses pendidikan sebagai media untuk mentransfer nilai-nilai budaya. Saat ini kreativitas dan inovasi menjadi kata kunci penting untuk memastikan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Di dunia pendidikan khususnya pendidikan tinggi, para mahasiswa harus disiapkan menjadi pembelajar sejati yang terampil, lentur dan ulet. Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan kerangka untuk menyiapkan mahasiswa menjadi sarjana yang tangguh, relevan dengan kebutuhan zaman, dan siap menjadi pemimpin dengan semangat kebangsaan yang tinggi. Kebijakan Merdeka Belajar - Kampus Merdeka ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pada Pasal 18 disebutkan bahwa pemenuhan masa dan beban belajar bagi mahasiswa program sarjana atau sarjana terapan dapat dilaksanakan: 1) mengikuti seluruh proses pembelajaran dalam program studi pada perguruan 176 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah tinggi sesuai masa dan beban belajar; dan 2) mengikuti proses pembelajaran di dalam program studi untuk memenuhi sebagian masa dan beban belajar dan sisanya mengikuti proses pembelajaran di luar program studi (Kemdikbud: 2020: 2). Kearifan lokal merupakan pengetahuan masyarakat yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian bagi masyarakat dalam suatu komunitas. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berasal dari nilai budaya yang luhur dan dapat digunakan untuk menata kehidupan bermasyarakat (Sibarani, 2012: 111-113). Salah satu pembelajaran yang dapat dikembangkan di Universitas Lampung di masa Merdeka Belajar adalah Mata Kuliah Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Mata kuliah ini sangat penting untuk diterapkan seorang pendidik dalam proses belajar mengajar untuk mengembangkan karakter peserta didik. Pendidikan etika dan kearifan lokal adalah sebuah pendidikan yang mengutamakan karakter dan etika seorang peserta didik untuk menghadapi tantangan globalisasi tanpa meninggalkan kearifan lokal budayanya. Oleh karenanya, hal yang ingin dicapai dalam penelitian tradisi Gawi Adat ini dapat diimplikasikan dalam mata kuliah pendidikan etika dan kearifan lokal sebagai proses belajar yang dibangun oleh dosen untuk mengembangkan kreatifitas berpikir mandiri di masa Merdeka Belajar sehingga dapat membentuk etika yang baik dalam memahami kearifan lokal yang merupakan warisan budaya Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data upacara tradisi adat yang masih dilaksanakan dan terus diwarisi pada generasi penerusnya di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan melalui pendeskripsian: 1. bentuk, fungsi, dan makna tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Way Kanan; 2. implementasi tradisi Gawi Adat dalam Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. METODE Berkaitan dengan model yang digunakan dalam penelitian budaya ini, jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif adalah pendekatan yang digunakan untukmeneliti pada kondisi objek alamiah, peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisi bersifat induktif kualitatif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2015: 16). Penahapan penelitian ini merujuk pada pendapat Endraswara (2012: 2014) bahwa pada prinsipnya metode penelitian budaya meliputi wilayah (setting), cara memperoleh data, teknik yang digunakan dalam analisi, validitas dan reabilitas data yang digunakan. Penelitian ini memfokuskan pada tradisi Gawi Adat yang ada di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan. Penentuan lokasi tersebut adalah dengan pertimbangan bahwa Kampung Tua Negara Batin Way Kanan adalah kampung yang pertama kali ada dalam sejarah terbentuknya kecamatan Negara Batin, yang telah berusia ratusan tahun. Selain itu, Kampung Tua Negara Batin ini dihuni oleh orang Lampung asli yang berasal dari keturunan Lampung yang masih mempertahankan keaslian potensi kearifan lokal. Aktivitas budaya di Kampung Tua Negara Batin masih sangat terasa. Hal itu bisa langsung kita dapatkan saat memasuki wilayah Kampung Tua dengan disambut symbol-simbol bangunan adat yangmasih terhitung banyak, seperti bangunan rumah juga balai-balai tempat pertemuan masyarakat. Dalam menentukan informan penelitian, menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya sampai mendapatkan ‘data jenuh” tidak terdapat informasi lagi (Endraswara, 2012: 239). Informan kunci dalam penelitian ini adalah dua sosok yang merupakan bagian dari tokoh adat juga panitia inti pelaksana upacara tradisi adat di Kampung Tua Negara Batin Way Kanan. Informan kunci adalah (1) Hi. Pahman Jamal R,S.E. dengan Adok Sutan Paku Alam, usia 61 tahun. Dalam masyarakat berkedudukan sebagai Punyimbang dalam Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir, Negara Batin; dan (2) Lukman dengan Adok Tuan Kemala Sakti, usia 58 tahun. Kedudukan dalam masyarakat adat Lampung sebagai Ketua Panitia Adat dalam upacara tradisi di Kampung Tua Negara Batin Way Kanan. Teknik participant onservation dan indepth interview yang dijelaskan dalam Endraswara (2012: 240) dipilih sebagai teknik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini dalam melakukan participant observation merujuk pada pendapat Spradley bahwa peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat penjelasan berulang, menegasakan pembicaraan informan, dan tidak menanyakan makna tetapi gunanya. Untuk memaksimalkan perolehan data, wawancara mendalam dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan penelitian. Dalam rangka mencapai keabsahan data, dilakukan dengan cara pengamatan secara terus-menerus dan triangulasi. Pengamatan terus-menerus dipilih dengan cara sedikitnya dua atau tiga kali melalui video yang diputar. Triangulasi 177 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah dilakukan dengan cara pengecekan ulang oleh informan setelah wawancara ditranskrip. Data penelitian adalah upacara tradisi Gawi Adat yang dilaksanakan di Kampung Tua Negara Batin. Dalam penelitian ini menggunakan model of yakni mengadakan pengamatan terlibat, kemudian secara emik (merujuk pada pendapat Kaplan dan Manners dalam Endraswara, 2012: 242) yaitu menanyakan kepada pelaku upacara tradisi Gawi Adat tersebut untuk mengungkapkan makna dan fungsi sesuai dengan “kategori kemasyarakatan setempat”. Peneliti melakukan refleksi dengan informan terhadap sikap, ucapan, dan tindakan ritual, serta simbol kebendaan yang dilakukan dalam upacara tradisi Gawi Adat tersebut sehingga terjadi penafsiran intersubjektif. Hasil penafsiran ini kemudian direalisasikan dengan kerangka teori yang telah dibangun untuk menemukan pemahaman makna dan fungsi dari upacara tradisi Gawi Adat secara menyeluruh HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat adat Lampung Kampung Tua Negara Batin mengenal istilah Gawi Adat. Gawi Adat adalah proses penyelesaian pengakuan seseorang oleh para penyimbang (tokoh adat di komunitas keadatan tertentu). Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin adalah pengakuan oleh Buay Pemuka Pengiran Ilir (BPPI) yang terdiri atas marga dalom, marga gedung, mala pura, dan bangsa raja. Bentuk Tradisi Upacara Gawi Adat Gawi Adat dalam tradisi masyarakat adat Lampung Kampung Tua Negara Batin meliputi: (1) Begawi Balak yang terbagi menjadi dua gawi adat yaitu cakak pepaddun dan mancor jaman. (2) Begawi Biasa yang di dalamnya gawi adat balin adok Pada begawi balak, peristiwa adat yang diekspresikan meliputi cakak pepaddun dan mancor jaman. Cakak pepaddun merupakan upacara gawi adat yang mengakui seseorang laki-laki karena hak dan kewajibannya, ia menjadi punyimbang marga. Hal tersebut ditandai dengan proses menaiki pepaddun (singgahsana kursi yang diduduki). Dalam upacara cakak pepaddun terdapat acara serak sepih, pesuwa, tari tigol, panca haji, penjarau (panjat pinang), dan melaksanakan canggot. Untuk prosesi gawi adat mancor jaman adalah sebuah gawi adat yang merekonstruksi atau menggambarkan kembali kedudukan yang pernah melekat pada seorang kakek yang akan diulang oleh cucunya sebagai pewaris adat milik kakeknya. Pada peristiwa itu dimaknai sebagai upaya memperbaharui atau membersihkan lagi karena pernah begawi. Selanjutnya, balin adok adalah menerangkan adok yang dimiliki sebelum menikah dan pemberian setelah menikah baik oleh keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Fungsi Tradisi Upacara Gawi Adat Untuk masyarkat adat Lampung di Kampung Tua Negara Batin melaksanakan gawi adat memiliki fungsi untuk melaksanakan representasi Piil Pesenggiri yang terdiri atas 4 pilar, yaitu bejuluk-beadek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sambayan. Selain itu gawi adat dalam masyarakat Lampung di Kampung Tua Negara Batin bisa menjadi indikator penentu atau penunjuk status sosial dalam adat berada pada tingkatan 24, 18, 16, 12. Sisi lain hal tadi, secara konvensi ulun lappung kebanggaan hidupnya ulun lappung itu ditandai dengan tiga hal, yaitu (1) begawi, (2) nganak ragha (punya anak laki-laki), dan (3) cakak aji atau naik haji (informasi diperoleh dari Alm. OmTanto Marga) Makna Tradisi Upacara Gawi Adat Selanjutnya, makna tradisi upacara Gawi Adat dalam masyarakat Lampung di Kampung Tua Negara Batin adalah pewarisan nilai-nilai hidup yang diturunkan pada anak keturunannya dengan tujuan untuk terus dapat dilestarikan dan dikembangkan sebagai potensi hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan agama. Untuk keturunan masyarakat adat lampung di Kampung Tua Negara Batin baru akan diakui keabsahan Gawi Adat jika pelaksanaanya di lakukan di Sesat Puranti Gawi di Negara Batin. Hal itu sesungguhnya secara implisit bagi siapapun keturunan keluarga adat Negara Batin harus kembali pulang untuk mengunjungi tanah leluhur untuk menunjukkan asal muasal leluhurnya. Implementasi Tradisi Gawi Adat dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal Pada dasarnya kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi, selain menjadikan mahasiswa menguasai capaian mata kuliah yang ditargertkan, juga merancang mahasiswa untuk menjadi manusia yang baik, peka, peduli dan juga mampu menginternalisasi nilai-nilai luhur yang bersumber dari kearifan lokal setempat. Hal tersebut dapat menjadikan mahasiswa berperilaku lebih baik dari fase sebelumnya di kehidupan seharihari. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa tradisi Gawi Adat dapat diimplementasikan ke dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Pengimplementasian ini dapat 178 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah dilihat dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS) yang dapat dijadikan modal dasar oleh dosen dan mahasiswa sebagai pembentukan karakter dan sebagai alat bantu untuk melestarikan potensi kearifan lokal Lampung. Melalui pengimplementasian ini mahasiswa dapat dengan mudah memahami dan menjalankan Merdeka Belajar karena materi telah terintegrasikan secara baik. Adapun cuplikan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Mata Kuliah Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal adalah sebagai berikut. UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) 179 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah Dari hasil dan pembahasan disebutkan bahwa tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan merupakan kajian interaksi simbolik: bentuk, fungsi, dan makna) dan telah diuraikan di atas. Berdasarkan tabel cuplikan RPS, tradisi Gawi Adat dapat dijadikan referensi pada CPMK3 yaitu Budaya Lampung dan Perkembangannya. Setelah dilakukan pengecekan di bahan kajian/materi pembelajaran maka ditemukan salah satu indikator yang membahas tentang sistem perkawinan adat Lampung. Penelitian ini jelas terintegrasi ke dalam 9 CPMK3. Implementasi tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan sebagai refernsi/materi pembelajaran merupakan hal baru dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal, khususnya di Kampus Hijau Universitas Lampung. Sebagai produk inovasi pembelajaran, pada tahap implementasi tentu diharapkan mampu mendongkrak keberadaan tradisi lokal Lampung untuk lebih dikenal dan membumi dan membantu mahasiswa untuk dapat mengerti sekaligus menerapkan dalam kehidupan mendatang sebagai pewaris kebudayaan Lampung. hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan agama Pengimplementasiannya dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal di Universitas Lampung yaitu pada CPMK3 (Budaya Lampung dan Sejarah Perkembangannya) dengan salah satu indikator mahasiswa mampu memamhami tentang sistem perkawinan adat Lampung. Hal ini dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk dosen dan mahasiswa dalam pembentukan karakter dan sebagai alat bantu untuk melestarikan potensi kearifan lokal Lampung. Saran Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan merupakan upaya peneliti untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi budaya adat sekaligus memberi informasi budaya untuk pewarisan budaya dan dapat diimplementasikan dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Berdasar data yang telah dipaparkan maka dapat menjadi ruang untuk peneliti atau penelitian lain agar dapat memunculkan tematema baru untuk menindaklanjuti data terkait tradisi Gawi Adat selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA PENUTUP Simpulan Penelitian tentang Tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan memiliki interaksi simbolik: bentuk, fungsi, dan makna sehingga dapat diimplikasinya dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Adapun kajian interaksi simbolik adalah sebagai berikut. 1. Bentuk Tradisi Gawi Adat: (a) Begawi Balak yang terbagi menjadi dua gawi adat yaitu cakak pepaddun dan mancor jaman, (b) Begawi Biasa yang di dalamnya gawi adat balin adok. 2. Fungsi Tradisi Gawi Adat: untuk masyarkat adat Lampung di Kampung Tua Negara Batin melaksanakan gawi adat memiliki fungsi untuk melaksanakan representasi Piil Pesenggiri yang terdiri atas 4 pilar, yaitu bejuluk-beadek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sambayan. Selain itu gawi adat dalam masyarakat Lampung di Kampung Tua Negara Batin bisa menjadi indikator penentu atau penunjuk status sosial. 3. Makna Tradisi Gawi Adat: dalam masyarakat Lampung di Kampung Tua Negara Batin adalah pewarisan nilai-nilai hidup yang diturunkan pada anak keturunannya dengan tujuan untuk terus dapat dilestarikan dan dikembangkan sebagai potensi Adrianto, A. (2010). “Makna Simbolik Ritual Adat Tengger”. Jurnal Patrawidya 11(3):794. Ariyani, Farida dkk. (2018). Pemetaan Tradisi Upacara Adat Lampung sebagai Strategi Pelestarian Nilai Hidup Di Kampung Tua Tiyuh Negara Batin, Kabupaten Way Kanan (Kajian Interaksi Simbolik: Bentuk, Fungsi, dan Makna). Prosiding Seminar Nasional Bahasa, Sastra Daerah, dan Pembelajarannya. Semarang. Universitas PGRI Semarang. Endraswara, Suwardi. (2012). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kemdikbud. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Muhannis. (2004). Upacara Mappogau Hanua: Tradisi Mangalitik dan Kawasan Adat Karampuang Kabupaten Sinjai. Makasaar: Balai Sejarah dan Nilai Tradisional Bekerjasama dengan UNHAS. Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat,Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. 180 Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2015. Metode Penelitian dan Pengembangan Research and Development. Bandung: Alfabeta. 181 PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA ANGGOTA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN (HMJ) PSIKOLOGI UNESA Hanifa Rahma Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, hanifa.17010664049@mhs.unesa.ac.id Sindy Elbahani Syahputri Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, sindy.17010664054@mhs.unesa.ac.id Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Psikologi Unesa. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan di HMJ Psikologi Universitas Negeri Surabaya dengan jumlah responden sebanyak 48 mahasiswa dari Psikologi angkatan 2017 dan 2018 yang pernah atau sedang mengikuti organisasi HMJ. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah dua macam alat ukur yang terdiri atas skala kepuasan kerja dan skala komitmen organisasi disusun menggunakan skala Likert. Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan teknik statistik uji regresi sederhana dengan bantuan SPSS versi 24.0. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan linier antara kepuasan kerja pada komitmen organisasi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan Psikologi Unesa. Kepuasan kerja memberikan pengaruh sebesar 68,8 persen pada komitmen organisasi sedangkan 31,2 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Kata Kunci: Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi, Mahasiswa. PENDAHULUAN Perguruan tinggi merupakan salah satu pendidikan formal yang ditempuh setelah lulus dari jenjang sekolah menengah atas. Salah satu figur penting dalam perguruan tinggi adalah mahasiswa yang merupakan subjek dari pelaksanaan kegiatan pembelajaran oleh tenaga pengajar atau dosen. Berbeda dengan tingkat sekolah, di perguruan tinggi mahasiswa dituntut untuk memiliki pemikiran yang lebih logis, inovatif, serta mampu menghasilkan suatu kreativitas tertentu. Selain itu, mahasiswa juga berperan sebagai agen perubahan yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam menuangkan ide serta gagasannya sehingga dapat berpengaruh dan berguna bagi lingkungan masyarakat di masa yang akan datang. Peran yang telah dilabelkan tersebut pada akhirnya tidak hanya menuntut mahasiswa untuk mendalami ilmu yang dimilikinya saja melainkan juga mengharuskan mahasiswa untuk ikut mengembangkan hard skill serta soft skillnya. Hal ini sesuai dengan peran lembaga perguruan tinggi sebagai wadah untuk mengembangkan kreativitas serta menampung ide dan solusi mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan (ormawa) sehingga dapat membantu menghadapi permasalahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini sesuai dengan gagasan Yulianto (dalam Adnan & Prihatsanti, 2017) yang menyatakan bahwa keikutsertaan individu secara aktif dalam organisasi tertentu memiliki hubungan yang positif dalam mengembangkan soft skill individu. Sebagai salah satu perguruan tinggi, Universitas Negeri Surabaya memiliki berbagai macam organisasi mahasiswa dari yang tertinggi setingkat Universitas seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM U), lalu dibawahnya ada setingkat fakultas seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM F), hingga yang terendah setingkat jurusan seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), serta berbagai organisasi mahasiswa lainnya. Pada masing-masing jurusan terdapat HMJ beserta peraturannya sendiri yang berada dibawah tanggungjawab dan bimbingan dosen kemahasiswaan setiap jurusan. Selain itu, mahasiswa sebagai anggota organisasi HMJ juga memiliki peran penting tersendiri untuk menjalankan organisasi dengan baik agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tercapainya tujuan organisasi perlu dilakukan melalui beberapa upaya salah satunya dengan menyediakan aspek kepuasan kerja kepada setiap anggota organisasi. Pada dasarnya, kepuasan kerja berkaitan dengan sikap yang menandakan adanya suatu emosi negatif maupun positif yang dirasakan oleh individu pada obyek tertentu, misalkan benda, tempat, ataupun orang lain. Hal ini dikarenakan ketika individu merasa puas dengan berbagai peraturan, kondisi, maupun perlakuan yang diterima dalam organisasi tersebut maka individu akan berusaha melakukan yang terbaik untuk organisasi yang diikutinya. Kepuasan kerja yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi 182 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (Hmj) Psikologi Unesa Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri berbeda-beda dan bersifat individual bergantung pada apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari organisasi yang diikutinya tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Widyastuti dan Palupiningdyah (2015) bahwa tingkat kepuasan kerja yang dirasakan oleh masing-masing individu berbeda menurut sistem nilai yang dianut. Pada beberapa mahasiswa yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan berusaha untuk mengikuti kembali organisasi yang sama dalam periode kepemimpinan yang berbeda untuk terus memberikan usaha terbaiknya dalam memajukan organisasi berdasarkan asas-asasnya hingga membentuk sebuah komitmen yang berkelanjutan. Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi terhadap organisasinya cenderung akan memiliki performa kerja yang lebih baik serta motivasi yang mendorong mahasiswa tersebut untuk menjalankan setiap kegiatan yang disusun oleh organisasi dan menjadi bagian penting dalam organisasi. Komitmen organisasi yang dimiliki setiap individu merupakan salah satu bentuk perwujudan dari kepuasan yang dirasakan oleh individu dalam keikutsertaannya menjalankan organisasi. Komitmen organisasi merupakan suatu kesediaan individu untuk menyesuaikan perilakunya dengan tujuan organisasi dan menjadikan organisasi yang diikutinya sebagai salah satu prioritas penting. Namun, komitmen yang dimaksud bukan hanya sekedar kesediaan individu untuk memprioritaskan organisasi melainkan juga suatu dorongan untuk individu agar berusaha secara maksimal dalam menjalankan tugas-tugas yang berkaitan dengan kemajuan dan tujuan organisasi. Tercapainya tujuan dari organisasi tidak pernah terlepas dari peran penting yang diberikan oleh para anggotanya karena dengan adanya anggota yang memiliki motivasi beserta komitmen yang baik maka akan menghasilkan produktivitas dan kinerja yang baik pula sehingga pada akhirnya tujuan organisasi pun dapat tercapai. Pada masing-masing individu memiliki komitmen organisasi yang berbeda-beda berdasarkan karakter individualnya, meliputi jenis kelamin, usia, dan pengalaman yang dimiliki. Komitmen yang dimiliki oleh anggota organisasi dapat dikatakan sebagai bentuk kesetiaan terhadap organisasinya. Hal ini dikarenakan ketika anggota organisasi memiliki komitmen terhadap organisasinya, maka akan muncul kesadaran untuk menjunjung nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi, mempertahankan keanggotaannya demi kemajuan organisasinya, serta mau melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga dengan adanya komitmen organisasi dapat mencegah munculnya kelalaian atau penghindaran tanggung jawab maupun pengunduran diri dari anggota oganisasi tersebut. Berdasarkan pernyataan Sutrino (2018), komitmen organisasi merupakan sikap loyalitas anggota organisasi terhadap organisasi dan menjadi proses untuk mengekspresikan perhatian dan partisipasinya terhadap organisasi. Mowday dkk (1982 dalam Utaminingsih, 2014) menyebutkan bahwa komitmen organisasi merupakan “…kekuatan relatif dari identifikasi individu terkait dengan keterlibatannya sebagai anggota organisasi”. Sementara Odoch dan Nangoli (2014, dalam Hafid & Fajariani, 2019) mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan kekuatan dari identifikasi dan keikutsertaan seseorang pada kegiatan dalam organisasi. Allen dan Meyer (1990, dalam Spanuth & Wald, 2017) mengatakan jika komitmen organisasi dapat dijelaskan sebagai keadaan emosional dan psikologis yang menunjukkan identitas karyawan pada organisasi. Komitmen organisasi merupakan sebuah keinginan pada individu untuk tetap menjadi anggota organisasi (Alvani, Hartini, & Putra, 2019). Komitmen organisasi memiliki beberapa aspek yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1991, dalam Shaleh, 2018), antara lain komitmen afektif, kontinyu, dan normatif. Komitmen afektif ditunjukkan dengan adanya ikatan emosional anggota terhadap organisasi, komitmen kontinyu ditunjukkan dengan adanya keinginan bertahan di organisasi, serta komitmen normatif ditunjukkan dengan adanya usaha untuk melakukan yang terbaik bagi organisasi. Komitmen organisasi dapat terbentuk jika anggota memiliki kepuasan kerja. Menurut Amah & Oyetunde (2019) kepuasan kerja didefinisikan sebagai perasaan seseorang mengenai beberapa aspek yang berbeda pada pekerjaannya. Kepuasan kerja juga memiliki pengertian sebagai “suatu tingkat kesenangan atau sikap dan emosional yang positif yang direspons sebagai hasil penilaian terhadap pekerjaan yang telah dilakukan” (Fattah, 2017). Fattah (2017) juga menyebutkan bahwa kepuasan kerja memiliki beberapa dimensi yang terdiri atas pekerjaan yang dilakukan, kompensasi, kesempatan promosi, pengawasan, serta rekan kerja yang baik. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk menguji adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada anggota HMJ Psikologi Unesa. METODE Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan analisis regresi sederhana. Metode pengumpulan data untuk 183 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (Hmj) Psikologi Unesa Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri penelitian ini menggunakan kuisioner yang mengukur dua skala. Intrument yang digunakan terdiri atas skala komitmen organisasi oleh Allen dan Meyer (1991, dalam Shaleh, 2018) dan skala kepuasan kerja oleh Fattah (2017). Variabel dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja (X) dan komitmen organisasi (Y). Peneliti mengajukan hipotesis nol (Ho) adalah “tidak ada pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada anggota HMJ Psikologi Unesa” dan hipotesis alternatif (Ha) “terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada anggota himpunan mahasiswa jurusan Psikologi Unesa”. Populasi dalam penelitian ini adalah 382 mahasiswa Universitas Negeri Surabaya Psikologi angkatan 2017 dan 2018. Cara pengambilan sampel yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Sampel yang dapatkan sejumlah 48 mahasiswa. Data dianalisis menggunakan SPSS 24.0. Analisis deskriptif diterapkan pada data subjek. Uji validitas dilakukan menggunakan Pearson’s product moment. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji asumsi terlebih dahulu, yakni uji normalitas, uji linearitas, kemudian dilakukan uji korelasi dengan menggunakan analisis regresi sederhana. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji normalitas sebaran data penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah variabel penelitian telah terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas data menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov. Sebaran data dikatakan normal apabila P > 0,05 serta jika P < 0,05 maka sebaran data tidak normal. Kedua variabel memiliki hasil persebaran sebesar 0,200. Sesuai dengan norma P > 0,05 adalah sebaran data berdistribusi normal, maka kedua variabel memiliki sebaran data normal karena 0,200 > 0,05. Uji linearitas yang menggunakan Test of Linearity ini bermaksud untuk mengetahui hubungan linier antara variabel bebas dengan variabel terikatnya, yaitu kepuasan kerja dan komitmen organisasi, sebelum melakukan uji analisis regresi. Norma pengujian linearitas adalah 0,05. Jika hasil signifikansi P > 0,05 maka dapat dikatakan variabel bersifat linier dan jika P < 0,05 maka variabel bersifat non-linier. Hasil uji linearitas antara variabel kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi menunjukkan nilai sebesar 0,221 atau P > 0,05. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel kepuasan kerja dan komitmen organisasi bersifat linier. Hipotesis diuji untuk menemukan penyelesaian dari rumusan masalah dan mendapatkan jawaban yang benar dari hipotesa penelitian. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana (simple regression). Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi. Tabel 1. Uji Hipotesis Sum of Mean Model Squares df Square F 1 Regression 18005.587 1 18005.587 101.239 Residual 8181.225 46 177.853 Total 26186.812 47 a. Dependent Variable: KomitmenOrganisasi b. Predictors: (Constant), KepuasanKerja Berdasarkan tabel 1, dijelaskan bahwa uji hipotesis memiliki nilai pengujian analisis regresi sederhana sebesar 0,000. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi (0,000) lebih kecil dari standar signifikansi (0,05) atau dapat ditulis P < 0,05, sehingga menunjukkan bahwa hipotesis yang terbukti adalah Ha, yaitu terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada anggota HMJ Psikologi Unesa”. Tabel 2. Sumbangan Efektif Std. Error R Adjusted of the Model R Square R Square Estimate 1 .829a .688 .681 13.336 a. Predictors: (Constant), KepuasanKerja b. Dependent Variable: KomitmenOrganisasi Berdasarkan tabel 2, dijelaskan bahwa penelitian ini memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0,688. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh sebesar 68,8% pada komitmen organisasi dan memiliki 31,2% faktor lain yang memengaruhi namun tidak diteliti pada penelitian ini. Penelitian yang dilakukan pada 48 anggota HMJ Psikologi Unesa ini memperoleh hasil berupa hubungan yang linier dan positif yang signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang dirasakan oleh anggota himpunan, maka semakin tinggi pula komitmen organisasi. Hubungan yang linier tersebut dikarenakan kepuasan kerja memiliki pengaruh sebesar 68,8% pada komitmen organisasi individu. PENUTUP Simpulan Penjelasan-penjelasan pada bab “Hasil dan Pembahasan” memiliki kesimpulan jika terdapat 184 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (Hmj) Psikologi Unesa Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri hubungan yang linier dan signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi pada anggota HMJ Psikologi Unesa. Variabel kepuasan kerja memprediksi komitmen organisasi sebesar 68,8% dan 31,2% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Saran Kepada para peneliti selanjutnya yang memiliki tema sama dengan penelitian kami, diharapkan untuk dapat meneliti variabel lain yang juga memengaruhi komitmen organisasi atau menemukan variabel lain yang dapat menjadi penghubung antara variabel kepuasan kerja dan komitmen organisasi serta dapat melakukannya kepada organisasi yang lain. Sutrisno, E. (2018). Budaya organisasi. Diunduh dari https://books.google.co.id/books?id=pd6VDwAA QBAJ&printsec=frontcover&authuser=0#v=onepa ge&q&f=false Utaminingsih, A. (2014). Perilaku organisasi: Kajian teoritik & empirik terhadap budaya organisasi. Diunduh dari https://books.google.co.id/books?id=wVRDwAAQBAJ&printsec=frontcover&authuser =0#v=onepage&q&f=false Widyastuti, N., & Palupiningdyah, P. (2015). Pengaruh kepuasan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan dengan organizational citizenship behavior (OCB) sebagai variabel intervening. Management Analysis Journal. 4(1), 76-86. https://doi.org/10.15294/maj.v4i1.7221 DAFTAR PUSTAKA Adnan, B. R., & Prihatsanti, U. (2017). Hubungan antara psychological capital dengan komitmen organisasi pada mahasiswa UNDIP. Jurnal Empati, 6(4), 185-194. Diunduh dari https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/artic le/view/20030/18907 Alvani, S., Hartini, S., & Putra, A. I. D. (2019). Kaitankaitan keadilan organisasional terhadap komitmen organisasional pada karyawan. Psycho Idea, 17(2), 130-138. http://dx.doi.org/10.30595/psychoidea.v17i2.4199 Amah, O. E., & Oyetunde, K. (2019). Human resources management practice, job satisfaction and affective organisational commitment relationships: The effects of ethnic similarity and difference. SA Journal of Industrial Psychology, 45(0), 1-11. http://dx.doi.org/10.4102/sajip.v45i0.1701 Fattah, A. H. (2017). Kepuasan kerja & kinerja pegawai (R. Wardarita, ed.). Diunduh dari https://books.google.co.id/books?id=w3pCDwAA QBAJ&source=gbs_navlinks_s Hafid, H., & Fajariani, N. (2019). Hubungan profesionalisme, komitmen organisasi dan kinerja dosen pada STIE Muhammadiyah Mamuju. Kinerja, 16(1), 58-68. http://dx.doi.org/10.29264/jkin.v16i1.5189 Shaleh, M. (2018). Komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai (Firman, ed.). Diunduh dari https://books.google.co.id/books?id=LWR9DwAA QBAJ&printsec=frontcover&authuser=0#v=onepa ge&q&f=false Spanuth, T., & Wald, A. (2017). Understanding the antecedents of organizational commitment in the context of temporary organizations: An empirical study. Scandinavian Journal of Management, 33(3), 129-138. https://doi.org/10.1016/j.scaman.2017.06.002 185 GAMBARAN RESILIENSI PADA BURUH PABRIK YANG MENGALAMI DAMPAK PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Ahmad Aldy Hisbullah Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA, Ahmad.17010664200@mhs.unesa.ac.id Akhmad Mitakhul Hudin Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA, Akhmad.17010664180@mhs.unesa.ac.id Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk resiliensi dan dampak seseorang karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), serta faktor yang mempengaruhi proses pembentukan resiliensi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Metode pengambilan data menggunakan teknik wawancara semi terstruktur dan observasi dengan sampel partisipan 2 orang yang memenuhi kriteria tujuan peneliti. Uji keabsahan data menggunakan teknik triangulasi data yaitu triangulasi sumber. Hasil dari penelitian ini adalah menemukan bahwa setiap subjek mempunyai cara tersendiri dalam proses pembentukan resiliensi. Tahap proses yang dialami subjek JK adalah succumbing, survival, recovery, dan thriving, sedangkan yang dialami oleh subjek AP adalah succumbing dan survival saja. Dari hal tersebut didapatkan perbedaan oleh kedua subjek dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor dukungan sosial eksternal dan lingkungan, usia, locus of control, dan strategi coping ability. Dimana faktor dukungan sosial keluarga maupun lingkungan sangat mempengaruhi konsep diri seseorang untuk membentuk keyakinan akan keberhasilan dan kehidupan yang lebih baik. Dampak akibat PHK sendiri sangat mempengaruhi kondisi seseorang, terutama dampak psikologis dan ekonomi yang sesuai dialami kedua subjek. Kata Kunci: Resiliensi, Buruh, Pemutusan Hubungan Kerja PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara terbesar didunia baik secara dimensi luasan batas negara maupun volume jumlah penduduk. Dengan berkembang pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk maka semakin tinggi pula kemungkinan angka pengangguran di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sempitnya peluang kesempatan bekerja, sedangkan laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi. Data badan pusat statistik (BPS), menyatakan bahwa pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia mencapai 238,5 juta jiwa, dan laju pertumbuhan di indonesia pada tahun 2010 sampai 2015 sebesar 1,38%, sehingga dapat kita ketahui angka pertumbuhan di Indonesia tergolong tinggi. Dari fenomena tersebut diharapkan adanya solusi terbaik dengan usaha maksimal baik peran pemerintah dalam mengatasi peluang kesempatan lapangan kerja di Indonesia maupun dari individu masing-masing melalui usaha mandiri. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di wilayah Asia Tenggara, tentunya memiliki beberapa sektor usaha yang turut berperan dalam proses pengembangan negara ini. Salah satunya adalah sektor industri. Perkembangan industri di Indonesia saat ini mengalami kemajuan yang cukup baik, didapatkan data kementrian perindustrian, yaitu pada tahun 2018 pertumbuhan perekonomian di Indonesia tumbuh sebesar 5,17%, angka tersebut lebih tinggi daripada tahun sebelumnya sebesar 5,07 %. Faktor eksternal menjadi salah satu dorongan utama pertumbuhan saat ini terutama melalui kenaikan harga komoditas ekspor bahan. Namun dari data laju kenaikan pertumbuhan industri di indonesia tersebut tidak memungkinkan terdapat juga permasalahan yang dialami pekerja, terutama buruh pabrik yaitu mengalami PHK besarbesaran setiap tahunnya. PHK sendiri merupakan suatu hal yang ditakuti bagi pekerja, namun hal tersebut tidak serta merta dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya. PHK sendiri sudah diatur dalam undang-undang No. 13 tahun 2003 yang isinya mengatur tentang pemutusan hubungan kerja atas dasar pemberhentian pekerja melihat dari pertimbangan perusahaan dan karyawan akibat dari hal tertentu, sehingga berakhirnya kewajiaban pemenuhan antara pekerja dan pengusaha. Terdapat proses perbandingan antara kedua belah pihak dalam menimbang antara kerugian yang akan dialami baik bagi perusahaan maupun karyawan yang di PHK. Ketua umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal (dalam Fajriyah, 2018), menyatakan bahwa terdapat empat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di indonesia dimulai pada tahun 2015 sampai 2019 secara besar, hal tersebut dikarenakan banyaknya sektor industri yang melakukan efisiensi maupun 186 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin penutupan perusahaan karena faktor eksternal. Sudah sekitar 50 ribu pekerja pada tahun 2015 yang terkena PHK. Jumlah tersebut bisa saja tercapai karena berbagai perusahaan besar pun turut melakukan PHK terhadap karyawan-karyawannya. Banyak berbagai alasan kendala yang dialami perusahaan dalam melakukan PHK karyawan, terutama karyawan tidak tetap. Dalam hal ini, manajeman sumber daya manusia sendiri seharusnya mampu dalam mengantisipasi adanya perubahan dan perkembangan sektor industri yang sedang dan akan terjadi, kemudian diharapkan dalam diri individu melakukan berbagai tindakan untuk menjawab tantangan atas laju perkembangan tersebut, yang pada akhirnya individu dapat menciptakan inovasi terbaru yang mana tidak ada sebelumnya dimiliki oleh orang lain, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi berbagai tekanan persoalan baik dari dalam maupun luar organisasi (Dessler, 2003). Perlu adanya kontribusi terbaik bagi pemerintah untuk menangani permasalahan peluang inovasi yang ada dalam konteks budaya masyarakat yang selaras dengan daerah masing-masing. Seperti halnya jika seseorang yang tinggal di perkotaan maka pemasukan atau dalam rangka pemenuhan hidup adalah menjadi karyawan atau melakukan usaha mandiri, berbeda jika seseorang yang tinggal di pedesaan maka ia lebih memilik untuk memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada, misalnya pertanian. Untuk mengatasi permasalahan ketenagakerjaan yang menjadi masalah utama terutama bagi karyawan perusahaan yang sesuai dari permasalahan diatas dapat diketahui salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melakukan efisiensi untuk mengatasi laju perkembangan industri, selain itu beberapa faktor lain yang menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah karyawannya mulai dari krisis ekonomi sampai penutupan perusahaan. Namun yang alasan perusahaan yang sering terjadi adalah adanya ketidakseimbangan permasalahan keuangan perusahaan, sehingga terjadilah PHK yang mengakibatkan hilangnya penghasilan karyawan dari perusahaan tersebut. Hasibuan (2000), menambahkan bahwa efisiensi diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan perbandingan terbaik antara pemasukan dan pengeluaran perusahaan, atau dengan kata lain merupakan suatu ukuran dalam membandingkan antara penggunaan masukan dengan penggunaan yang sebenarnya. Seperti yang telah kita ketahui PHK sendiri merupakan suatu hal yang ditakuti oleh para pekerja. Hal ini dikarenakan dengan di-PHKnya seorang buruh maka secara otomatis dia akan kehilangan satu-satunya lapangan pekerjaan yang dimiliinya, dan tentu saja ini dapat mempengaruhi kelangsungan hidup individu yang bersangkutan. Banyak hal yang dapat merubah tatanan kehidupan akibat di-PHKnya seorang karyawan, antara lain status sosial yang ia terimanya akibat tidak adanya pekerjaan atau kata lain pengangguran, perubahan aktivitas keseharian, sehingga seseorang diharuskan untuk beradaptasi dengan aktivitas hal baru yang sedang dialami setiap hari, dari hal tersebut titik yang paling utama adalah bagaimana sesesorang harus mengolah manajemen keuangan yang dihadapinya. Dalam beberapa kasus dan penelitian seseorang setelah mengalami PHK biasanya dengan mencari pekerjaan yang lain tetapi dengan konsekuensi upah yang diterima tidak lebih tinggi, dan pada umumnya seseorang dapat diterima untuk bekerja oleh perusahaan adalah usia 19-45 tahun karena itu merupakan usia produktif seseorang untuk bekerja, sehingga seringkali mereka yang terkena PHK mengalami masalah psikis yang tinggi disebabkan oleh beban ekonomi yang ditanggung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan terdapat kasus seseorang melakukan bunuh diri akibat korban PHK. Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Looker & Gregson (2005), individu sebagian besar akan mengalami stress akibat dampak dari korban PHK. Hal itu karena individu merasakan keresahan akibat tidak adanya pemasukan ekonomi atau gaji yang ia dapatkan, seringkali individu mengalami perasaan kosong dalam melakukan kegiatan keseharian, serta adanya perubahan dinamika kehidupan dalam aktivitas bekerja yang telah ia alami. Hal ini menuntut adanya perubahan dalam diri individu dalam menjalani aktivitas kehidupannya, sehingga diperlukan adaptasi baru bagi individu untuk bisa kembali menetapkan kenyamanan pada dirinya. Dalam hal ini, kemampuan individu untuk melanjutkan hidup setelah mengalami berbagai tekanan dan situasi sulit biasa disebut dengan resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004). Reivich & Shatte (2002) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan suatu bentuk respon terhadap berbagai kegagalan atau hambatan dalam hidup dengan bentuk yang sehat dan produktif. Sehingga resiliensi merupakan hal penting dalam upaya mengurangi tekanan hidup seseorang dengan hal yang positif guna melanjutkan kelangsungan hidupnya. 187 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin Maka dari itu ketika seorang buruh mampu melakukan resiliensi dari keadaan yang dialaminya hal ini mungkin dapat berpengaruh pada hidupnya. Dengan adanya relisiansi yang terjadi pada buruh diharapkan mampu merubah mindset untuk bisa merubah keadaan dimana harus berusaha mencari pengalaman dan hal baru sebagai pandangan dari proses peningkatan hidup. Selanjutnya relisiansi juga memberikan dampak sikap yang positif bagi seseorang untuk mau mengekplorasi hal baru dengan kepercayaan diri yang tinggi, serta berani dalam menanggung resiko atas kemauan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Penelitian ini didasari pada banyaknya fenomena seseorang jika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) mereka lebih banyak mengalami permasalahan dalam menjalani kehidupannya, terutama ketidakpercayaan diri yang tinggi, karena adanya perubahan status dan hilangnya pemasukan gaji yang harus dipenuhi sebagai kepala rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namum sebelumnya peneliti kurang tertarik karena hal tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk bisa menjelaskan bahwa seseorang jika di PHK selalu diasumsikan mengalami stress bahkan depresi, karena setiap individu mempunyai pengertian untuk bisa mendefisikan atau mengartikan sebuah PHK bersifat negatif atau positif. Tetapi setelah melakukan penelitian dilapangan secara mendalam secara langsung kepada beberapa subjek yang berbeda permasalahan mengapa ia harus di PHK tetapi mempunyai kesamaan yaitu adanya kesenjangan pekerjaan yang dirasa lebih baik bekerja di pabrik karena gaji terjamin, berbeda dengan yang sekarang mereka masih ambang dalam mendapatkan pemasukan. Dari latar belakang diatas maka hal itulah yang menjadi perhatian peneliti. Peneliti merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana bentuk resiliensi yang terjadi pada buruh pabrik yang mengalami PHK serta berbagai dampak yang muncul akibat di PHKnya seseorang. Banyak beberapa faktor yang menyebabkan pemutusan kerja, termasuk masalah pekerja yang melanggar aturan bahkan sampai ke permasalahan perusahaan sendiri karena beberapa masalah internal maupun ekternal perusahaan. Banyak beberapa alasan mengapa seseorang berhenti ataupun pemutusan hubungan kerja, antara lain peraturan undang-undang yang sudah diatur Negara, pensiun, adanya kontrak kerja, meninggal dunia, dan masih banyak lagi. Sehingga terdapat beberapa pemaknaan oleh pekerja atau buruh dalam hal positif maupun negatif. Dalam pengertian negatif, buruh seringkali memunculkan stress akibat dari tidak ada kesiapan atau terpaksa mengalami PHK yang menyebabkan tidakadanya aktivitas pekerja yang menyebabkan pengangguran, dan permasalahan pengangguran mempunyai dampak buruk secara psikis. Seringkali kita mendengar istilah PHK banyak yang salah mengartikan bahwa PHK adalah pemutusan hubungan kerja akibat dari kesalahan pekerja atau buruh, padahal PHK sendiri mempunyai banyak definisi sebagai akibat suatu pemutusan kewajiban pekerja dengan pengusaha. Menurut undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa pemberhentian buruh atau pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan adalah pengakhiran atas kewajiaban yang ditimpa pekerja terhadap tanggung jawabnya kepada perusahaan atau instansi tertentu yang disebabkan oleh hal-hal tertentu. Terdapat beberapa pengertian atau istilah dari PHK sesuai dengan yang dikemukakan oleh Manulang (1988), yaitu: 3. Termination, yaitu PHK yang terjadi karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja yang telah disepakati. 4. Dismissal, yaitu PHK yang terjadi karena terdapat suatu pelanggaran pekerja yang menyebabkan permalasahan, namun sudah terjadi kesepakatan peraturan sebelum pekerja melakukan kesalahan. 5. Redundancy, yaitu PHK diakibatkan karena ada pergantian buruh dengan mesin-mesin canggih yang berperan menggantikan jasa buruh, sehingga terjadi kesenjangan antara buruh dengan mesih canggih yang dikembangankan untuk mempercepat pekerjaan dan efisien. 6. Retrenchment, yaitu PHK yang diakibatkan karena berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi yang sedang terjadi, seperti masalah krisis ekonomi, pemasaran perusahaan, atau bahkan tutupnya perusahaan, sehingga perusahan tidak bisa memberi gaji terhadap pekerjanya. Selanjutnya dalam berbicara permasalahan yang terjadi pada persoalan PHK, Flippo (1981), menambahkan bahwa terdapat perbedaan pengertian pemutusan hubungan kerja yang terjadi diluar konteks akibat pensiun, yaitu: a. Layoff, yaitu keputusan perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja terhadap karyawan yang benar-benar mumpuni dalam bidangnya untuk ditugaskan, namun karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya sehingga harus terjadi pengurangan karyawan. 188 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin b. Out placement, yaitu PHK yang dikarenakan oleh perusahaan yang benar-benar ingin mengurangi jumlah tenaga kerja secara menyeluruh. Tetapi pada dasarnya perusahaan juga mempertimbangkan kinerja karyawan yang tidak memuaskan, sehingga perusahaan lebih memilih karyawan tertentu yang dianggapnya kurang dalam berkontribusi dalam perusahaan. c. Discharge, yaitu PHK yang terjadi karena kurang mumpuninya seorang karyawan dalam bidang yang dilakukannya. Hal ini membuat perusahaan terpaksa mengambil kebijakan untuk melakukan PHK terhadap karyawan tersebut. Sehingga dalam hal ini murni terjadi atas kesalahan kinerja karyawan yang tidak mampu bekerja secara penuh. Sehingga dapat kita ketahui bahwa pemutusan hubungan kerja bukanlah hal yang sederhana untuk diartikan bahwa semata-mata karyawab dikeluarkan atau diberhentikan dari pekerjaannya karena kesalahan pekerja, banyak hal yang dapat memengaruhi hal tersebut, salah satunya adanya faktor internal dan eksternal perusahaan itu sendiri, yang termasik menyangkut permasalahan ekonomi Negara. Suatu kemampuan individu untuk bangkit melanjutkan hidupnya setelah ditimpa permasalahan atau setelah mengalami tekanan yang berat dan situasisituasi yang semakin sulit bukanlah hal yang tidak bisa terduga sebelumnya, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya suatu kemampuan tertentu yang terdapat pada individu untuk bisa mengendalikan diri menuju yang lebih baik yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004). Reivich & Shatte (2002), menambahkan bahwa resiliensi merupakan suatu bentuk respon terhadap berbagai kegagalan atau hambatan dalam hidup dengan bentuk yang sehat dan produktif ketika mengalami kegagalan atau kesengsaraan, terutama pada saat mengendalikan berbagai tekanan kehidupan sehari-hari, Reivich & Shatte (2002), memandang bahwa individu pada dasarnya mempunyai bentuk relisiansi positif tersendiri dalam mengatasi berbagai trauma tekanan eksternal yang mengakibatkan adanya ketidakpercayaan diri individu. Resiliansi tidak hanya bagaimana individu bisa keluar dari konflik tekanan traumatik, namun juga memberikan arah bagaimana individu harus meneruskan perjuangan dalam meningkatkan aspek kualitas hidup. Sehingga dapat disimpulkan relisiansi merupakan hal penting dalam memutuskan bagaimana individu mampu mengatasi hal terberat termasuk terdapat tekanan didalamnya disaat kondisi-kondisi tersulit sekaligus. Relisiansi adalah bentuk mindset yang dimiliki oleh seseorang sebagai penguat kemampuan untuk meningkatkan tarap pengalaman hidup serta mencari hal-hal baru sebagai bentuk motivasi positif terhadap kemampuan yang dimilikinya. Menurut London & Mone (1987), individu yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru yang terus berubah, bahkan pada saat lingkungannya sangat kacau atau terganggu, disebut sebagai individu yang memiliki resiliensi dalam berkarir setelah mengalami kegagalan. Rickwood (2002), selanjutnya mengemukakan bahwa resiliensi dalam berkarir secara mendasar merupakan sistem keyakinan yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga dalam meningkatkan resiliensi berkarir individu dapat melakukan dengan mengubah sistem keyakinannya sendiri. Sistem keyakinan baru yang perlu ditanamkan adalah melakukan perubahan pola pikir diri sendiri yang bersifat konstan, mengikuti kemana arah kata hati dengan mempertimbangkan konsekuensi secara matang, memfokuskan diri pada perjalanan atau pandangan hidup dengan tujuan merubah kegagalan menjadi suatu keberhasilan, serta harus selalu ingin untuk belajar, dan membangun relasi dengan orang lain. Menurut Connor & Davidson (2003), mengatakan bahwa ada beberapa hal yang berkaitan dengan resiliensi, antara lain: 1. kompetensi personal, yaitu dimana setiap individu mempunyai standar tertinggi kesiapan dalam kegagalan. Individu akan merasa mampu mencapai tujuan jika terjadi kemunduran dari perusahaan. 2. Percaya diri, dalam artian seseorang jika dihadapkan dengan suatu permasalahan yang rumit sekaligus, ketenangan dan fokus akan tetap dilakukannya. Tetap kuat dalam menghadapi stress. 3. Adaptasi yang baik, artinya individu lebih siap jika dihadapkan dengan lingkungan yang baru dan dapat membuat relasi hubungan yang baik dengan orang lain. 4. Kontrol diri, pengendalian diri yang baik akan menciptakan hubungan yang baik ketika membangun dan meminta bantuan kepada orang lain. 5. Spiritual yang tinggi terhadap tuhan. Resiliensi merupakan usaha bangkit seseorang ketika dihadapkan suatu permasalahan bahkan tekanan ketika mengalami kegagalan dalam hidupnya. Coulson (2006), mengemukakan terdapat empat psoses resiliensi ketika seseorang dihadapkan dengan keadaan tertekan, yaitu: 189 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin 1. Succumbing (Mengalah), yaitu istilah yang menggambarkan kondisi dimana individu mengalah dan pasrah terhadap ancaman tekanan yang dialaminya. Sehingga pada hal ini individu berdampak mengalami depresi yang tinggi karena pada umumnya beban tekanan yang diterimanya sangat berat. 2. Survival (Bertahan), pada hal ini individu mampu mengendalikan seluruh fungsi emosi untuk bisa menerima tekanan, dan menanggapi berbagai hal dengan positif, sehingga individu pada umunya bersikap baik-baik saja, tetapi masih terdapat keganjalan perasaan. 3. Recovery (Pemulihan), individu setelah mengalami berbagai tekanan situasi pada level ini, individu lebih dapat mengontrol diri, sehingga mampus beradaptasi dengan permasalahan kondisi yang menekan. Tetapi efek negatif pesaraan masih sedikit ada. 4. Thriving (Berkembang secara pesat), dalam level ini individu lebih siap dalam menghadapi hal baru yang sedang dialami, dengan kata lain individu sudah mencapai level baik seperti awal. Menurut Reivich & Shatte (2002), mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi pada individu, yaitu: 1. Regulasi emosi, 2. Pengendalian dorongan atau impuls, 3. Kepercayaan diri atau optimisme, 4. Kemampuan analisis masalah, 5. Empati, 6. Efikasi diri, dan 7. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan. Holaday & McPhearson (1997), juga menambahkan terdapat tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi individu, yaitu: a. Psychological Resources, yang termasuk di dalamnya locus of control internal, empati, rasa ingin tahu, memahamis setiap pelajarang yang didapatkan dari pengalaman, dan selalu fleksibel dan kondisional dalam menghadapi berbagai situasi. b. Social Support, termasuk di dalamnya pengaruh budaya masyarakat, dukungan keluarga dan individu, serta dukungan komunitas. c. Cognitive Skills, termasuk di dalamnya intelegensi kepribadian seseorang, gaya coping permasalahan, kemampuan untuk menghindarkan dari menyalahkan diri sendiri, kontrol terhadap diri sendiri, dan spritualitas. Dari hasil fenomena yang ada, dalam penelitian kami menggunakan 2 partisipan yang bersedia dan mau untuk dijadikan subjek penelitian dengan kriteria sebagai berikut: subjek pertama berinisial AP berusia 35 tahun yang sudak di PHK setahun yang lalu tepatnya bulan januari 2019 di salah satu perusahaan pengemasan minyak goreng di gresik dikarenakan adanya pelanggaran. AP mempunyai 2 anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sampai sekarang AP masih bergantung pada kondisi ekonomi orang tua karena hidup dalam satu rumah dengan orang tua, sehingga dalam memenuhi kewajiban kebutuhan keluarga ia hanya bekerja ketika sedang membutuhkan saja, dan perkerjaan tersebut tidak tetap atau buruh kasar. Subjek yang kedua berinisial JK dengan usia 50 tahun status sekarang berumahtangga mandiri dan mempunyai anak 3, yang mana anak pertama sudah bekerja di salah satu sekolahan swasta, dan yang anak kedua dan terakhir masih sekolah. Dalam hal ini satu keluarga JK menetap dalam satu rumah yang berjumlah 5 orang termasuk JK. Ia di PHK lantaran usianya sudah dianggap tidak produktif lagi di perusahaan pengolahan dan produksi kayu PT di gresik. Hal itu disadari karena memang perjanjian kontrak kerja di perusahaan itu yang dialami JK harus diganti dengan karyawan baru yang masih dianggap produktif. Ia di PHK di akhir 2019 yang lalu. Sekarang menyandang pekerjaan menjadi petani dan buruh tani di desa. METODE Berdasarkan permasalahan topik yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang dimulai dengan berpikir deduktif untuk menurunkan hipotesis, kemudian melakukan pengujian di lapangan. Azwar (2004), menambahkan penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan pada analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Pendekatan dan strategi penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif karena membutuhkan suatu pemaham yang detail dan lengkap tentang suatu permasalahan yang diungkap (Creswell, 2014). Pendekatan ini tidak diarahkan pada latar dan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keseluruhan. Dalam penelitian ini, strategi penelitian yang digunakan adalah fenomenologi, Fenomenologi bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana partisipan memahami dunia pribadi dan sosial menurut sudut pandang mereka sendiri (Smith, 2015). Menurut Herdiyansyah (2015), fenomenologi lebih memfokuskan diri pada konsep supaya fenomena tertentu dan bentuk dari studinya itu untuk melihat dan 190 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin memahami arti dari suatu pengalaman individual yang berkaitan dengan fenomena tersebut. Karena pendekatan fenomenologi membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus yang diteliti khususnya pada pemahaman tentang diri subjek. Teknik pengambilan sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan penentuan sampel berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu dengan Sampel Kriteria Tertentu dan diambil secara convenience yaitu sampling yang diambil secara mudah, yaitu orang yang sudah dikenal oleh peneliti (poerwandri, 2007). Metode pengambilan data menggunakan teknik wawancara semi terstruktur dan observasi secara mendalam (depth interview) guna mengetahui lebih lengkap informasi dari subjek. Dan penelitian ini diambil dari lokasi dimana peneliti tinggal, yaitu daerah Gresik dengan tujuan mempermudah membangun rapport untuk menggali informasi lebih mendalam. Penelitian ini dilaksanakan dan sudah berjalan sebulan yang lalu hingga berlanjut sampai menjadi sebuah penelitian yang diinginkan oleh peneliti. PEMBAHASAN Penelitian ini menghasilkan 3 sumber utama yang sesuai dengan tujuan awal peneliti, yaitu yang pertama dampak dan permasalahan yang muncul akibat PHK oleh perusahaan, kedua bentuk-bentuk dan faktor pembentukan resiliensi yang didapatkan dari subjek, sehingga dari hal tersebut kami mengelompokkan dalam 2 pembahasan: Dampak dan permasalahan korban PHK Dari segi ekonomi sudah jelas akan sangat mempengaruhi kebutuhan hidup sehari-hari, hal ini diungkapkan oleh Subjek JK, ia mengungkapakan ketika baru sadar ia akan di PHk dalam waktu dekat, ia belum memikirkan pekerjaan baru yang harus ia jalani untuk memenuhi kebutuhan, dalam kurun waktu sebulan ia mengatakan bahwa keadaan ekonomi sangat turun drastis, ditambah ia harus memberikan biaya 2 anaknya yang masih bersekolah, namun ada anak pertama yang sudah bekerja sehingga turut membantu sedikit perekonomian keluarga. Dampak tersebut juga diungkapkan oleh subjek AP ketika tidak lagi bekerja sebagai karyawan yang mempunyai gaji tetap, ia merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri, sehingga satu-satunya adalah ia masih bergantung pada perekonomian orang tuanya, semasa hidupnya ia memang terbiasa tinggal bersama istrinya di rumah orangtuanya bersama satu anak, sehingga ketika ada permasalahan ekonomi ia menjadi tidak terlalu terbebani, namun tetap saja ia harus menghidupi anak dan istrinya. Dari dua kasus subjek tersebut didapatkan bahwa keadaan ekonomi sangatlah penting untuk menunjang kehidupan, dengan adanya ketergantungan kepada orang lain menyebabkan adanya ketenangan dan sedikit bantuan dalam memenuhi kewajiban. Dampak selanjutnya yaitu dari sisi psikologis subjek, AP mengatakan ia harus menerima beban psikologis yang cukup berat dari lingkungan, terutama tetangga rumahnya, sehingga seringkali AP mengalami depresi ringan bahkan sampai berat. AP sering mendapat perkataan yang tidak enak didengar karena telah tidak bekerja untuk istri dan anaknya karena PHK tersebut, banyak yang mengatakan bahwa ia juga tidak bertanghung jawab atas keluarganya. Dari ungkapan AP tersebut didapatkan gejala-gejala depresi yang membuatnya semakin tertekan dan membuatnya putus aja ketika mau melamar pekerjaan, karena menganggap bahwa dirinya sudah tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga AP hanya mengandalakan pekerjaan panggilan sebagai buruh kasar yang mana pekerjaan tersebut tidak menentu dan dirasa masih kurang dalam memenuhi kebutuhan keluarganya tetapi ia harus menjalaninya. Dari hal tersebut sejalan dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Siregar (2019), bahwa gejala-gejala yang timbul akibat depresi buruh yang di PHK mengalami 10 gejala yang dapat menimbulkan tidak bersemangatnya dalam melakukan aktivitas dalam kesehariannya. Ditambah jika seseorang merupakan kepala keluarga yang sudah mempunyai keluarga besar tentunya banyak sekali tekanan yang harus ia terimanya, mulai harus memenuhi kebutuhan finansial dan menanggung malu atas statusnya yang tidak lagi bekerja dan menjadi pengangguran yang menjadikan seseorang akan kurang percaya diri dalam mengahadapi tuntutan keluarga. Terdapat hubungan yang tidak harmonis yang seringkali terjadi antara suami dan istri setelah kepala keluarga mengalami PHK, karena pada dasarnya seorang istri juga mempunyai kebutuhan yang besar dalam memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga ia harus mengandalkan kepala keluarga untuk menerima pemasukan. Itulah salah satu penyebab mengapa seseorang yang sedang maupun sudah mengalami PHK akan mengalami depresi. Sedangakan subjek JK adalah sebelumnya menjadi karyawan perusahaan yang mendapatkan PHK akibat dari faktor usia dan kontrak kerja yang sudah selesai secara psikologis ia mengungkapkan hanya 191 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin berdampak sangat kecil, hanya awalnya saja ia harus menahan emosi untuk bersabar karena memang sudah waktunya untuk di PHK, sehingga dalam menerima itu JK tidak terlalu memikirkan akibat ia di PHK dan lingkungan masyarakat pun dapat menyadari akan hal itu karena batas usia. Ditambah JK mendapat dukungan penuh dari istrinya yang senantiasa mendukung pekerjaannya sekarang sebagai buruh tadi, sedangkan pemasukan perekonomian untuk membantu sedikit kebutuhan keluarganya dibantu anak pertamanya yang sudah bekerja, itulah yang membuat dampak psikologis yang diterima JK menjadi berkurang. Hal ini sejalan dengan kasus penelitian yang ditulis oleh Sari, N. A. (2015), menyebutkan penelitian tentang psychological well being pada kepala keluarga yang mengalami PHK terdapat subjek yang mendapatkan dukung penuh oleh istri dan keluarganya, sehingga subjek mampu produktif lagi dalam mencari pengahsilan, karena pada dasarnya keberhasilan relisiensi seseorang yang mengalami PHK adalah bagaimana keluarga bisa menerima dan mampu mendukung untuk percaya diri dalam mencari penghasilan dari cara lain. Faktor dan bentuk resiliensi Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi proses resiliensi menurut Grotberg (2005), yaitu usia seseorang, dukungan sosial, locus of control, kompetensi, penghargaan terhadap diri (self esteem), watak (temperament), kedewasaan sosial (social maturity), kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), dan kemampuan untuk mengatasi peristiwa masa lalu (past coping ability). Dari subjek JK menghasilkan data bahwa dengan usianya yang sudah berumur dan tidak mampu produktif lagi di ranah pekerjaan sebagai karyawan maka timbul kesadaran diri yang matang dan mampu mengendalikan minded atau locus of control dalam kehidupan, semakin dewasa maka faktor cenderung proses resiliensi akan berhasil. JK juga mendapatkan dukungan penuh dari istri dan keluarganya, ditambah ia mendapatkan bantuan perekonomian dari anak pertama untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan untuk mengatasi permasalahan aktivitas akibat PHK, JK mempunyai solusi untuk menjadi petani dan buruh tani di desanya karena faktor lingkungan tempat tinggal juga mendukung. Namun didalam interview yang telah dilakukan tidak terdapat keinginan ataupun harapan JK dalam mendapatkan penghargaan ataupun prestasi atas dirinya, ia menganggap bahwa diusianya memang harus sudah berhenti dari aktivitas yang melelahkan atau bekerja penuh. Sesuai dengan teori Coulson (2006) mengemukakan empat level yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi cukup menekan (significant adversity), yaitu succumbing (mengalah), survival (bertahan), recovery (pemulihan), dan thriving (Berkembang dengan Pesat) dan hasil data yang didapatkan JK mampu melakukan 4 hal tersebut dengan mudah, dimulai dari proses perasaan megalah akibat PHK, lalu bertahan untuk memenuhi kehidupan dengan bekerja sebagai buruh tani, pemulihan, dan akhirnya dapat berkembang untuk menjadi individu yang lebih baik. Sedangkan pada subjek AP dalam membantu proses resiliensi, ia hanya mampu succumbing (mengalah) dan survival (bertahan) di usianya yang seharusnya masih produktif tetapi tidak adanya keinginan untuk bangkit dan mau berusaha lebih keras lagi dalam bekerja, didapatkan data bahwa locus of control subjek AP sangat rendah, ditambah faktor keluarga yang tidak mendukung kemampuan AP untuk mau bekerja, keluarga lebih mementingkan tuntutan ke AP sehingga tekanan yang didapatkan lebih berat. Selain itu lingkungan masyarakat juga banyak yang tidak mendukung bahkan mengejek dan membicarakan keburukan AP. Sehingga tidak adanya lagi keinginan AP untuk terus berkembang dan berprestasi di usianya yang masih produktif, namun sebenarnya masih tetap ada rasa tanggung jawab dalam membantu memenuhi kebutuhan istrinya karena tuntutan dan kebutuhan anaknya dengan mau bekerja sebagai buruh kasar. Untuk itu didapatkan kesimpulan bahwa AP sangat sulit untuk mendapatkan bentuk resiliensi yang harus ia lakukan akibat faktor lingkungan. Dan dapat disimpulkan dari 2 subjek tersebut yang mampu dalam proses resiliensi adalah mereka yang mampu mengendalikan kontrol diri dan keinginan yang kuat dari dalam individu, serta faktor lingkungan sangat berpengaruh. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah suatu hal yang tidak diinginkan oleh seseorang karena selain kehilangan pekerjaan, seseorang juga kehilangan aktivitas, status, dinamika sosial, dan dampak akibat PHK. Dari hasil interview didapatkan dua subjek yang mempunyai bentuk resiliensi tersendiri. Subjek JK dengan faktor usianya yang sudah tidak produktif mampu menjalankan bentuk resiliensi dengan baik, JK mampu menerapkan succumbing, survival, recovery, dan thriving, sedangkan subjek AP didapatkan bentuk resiliensi hanya succumbing dan survival. Dari penelitian ini juga 192 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin didapatkan dampak permasalahan yang timbul akibat PHK, sehingga subjek mendapat tuntutan dan tekanan untuk menerapkan bentuk resiliensi yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan subjek. Grotberg, E. (2005). A guide to promoting resilience in children : Strengthening the human spirit. Benard :Van Leer Foundation Saran 1. Bagi subjek Diharapkan dengan kondisi seseorang yang mengalami PHK diharapkan adanya kesadaran diri untuk tetap melanjutkan kehidupan yang baik tanpa melihat kekurangan diri sebagai suatu hambatan, dan diharapkan dengan adanya tuntutan dan tekanan, subjek tetap bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai kepala rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup. 2. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan subjek yang mengalami PHK dengan tuntutan dan tekanan yang lebih berat, dengan gejala depresi yang lebih serius, sehingga didapatkan penelitian yang kompleks tentang fenomena subjek PHK. Herdiyansyah, H. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika. Hasibuan, S.P.M. (2000). Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Gunung Agung. Holaday & McPhearson. (1997). Resilience and Severe Burns. Journal of Counseling and Development. Vol. 75 (5): hal. 346-356. Kementrian Perindustrian. (2019). Analisis Perkembangan Industri, edisi I-2019. PUSDATIN KEMENPERIN. Jakatra. Online: http://kemenperin.go.id. Diakses pada Senin,14 Oktober 2019. DAFTAR PUSTAKA London, M., & Mone, E. M (1987). The Jossey-Bass Social Management Series and the Jossey-Bass Social and Behavioral Science Series. Career Management and Survival in the Workplace: Helping Employees Make Tough Career Decisions, Stay Motivated, and Reduce Career Stress. San Francisco, CA, US: Jossey-Bass. Online: http://psycnet.apa.org/record/1987-97737-000. Diakses pada: Selasa, 15 Oktober 2019. Azwar, S. (2004). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Looker & Gregson. (2005). Mengelola stress. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Badan Pusat Statistik. (2012). Estimasi Parameter Demografi: Tren Fertilitas, Moralitas, dan Migrasi. Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Online: www.bps.go.id. Diakses pada Senin,14 Oktober 2019. Manulang, S. H. (1988). Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Connor & Davidson. (2003). Psychomatric Analysis and Refinement of the Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC): Validation of a 10Item Measure of Resilience. Journal of Traumatic Stress. Vol. 3 (6): hal. 1019-1028. Coulson, R. (2006). Resilience and self-talk in. Thesis. University Students: University of Calgary. Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dessler, G. (2003). Human resources management, 9th edition. California: Prentice Hall. Fajriyah, L. R. (2018). KSPI Sebut Ada 4 Gelombang PHK Besar-besaran Sejak 2015. Jakarta. Online:https://ekbis.sindonews.com/read/1365790 /34/kspi-sebut-ada-4-gelombang-phk-besarbesaran-sejak-2015-1545803881. Diakses pada Senin, 14 Oktober 2019. Flippo, E. B. (1984). Personel Management, 5th Edition. Sydney: McGraw-Hill International Book Company. Reivich, K & Shatte, A. (2002). The resilince factor; 7 Essential skill for overcoming lifes inevitable obstacle. New York: Random House Inc. Rickwood, R. R. (2002). Enabling high-risk clients: exploring a career resiliency model. Online: www.contactpoint.ca/natconconat/2002/pdf/pdf02-10.pdf. Diakses pada: Minggu, 13 Oktober 2019. Sari, N. A. (2015). Psychological Well-Being Pada Kepala Keluarga Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan Batu Bara Di Desa Bukit Pariaman. eJournal Psikologi. Vol. 4 (1): hal. 1-12. Siregar, A. G. (2019). Sistem Pakar Menentukan Tingkat Depresi Pekerja yang di PHK Menggunakan Metode Certainly Factor. Jurnal Riset Komputer (JURIKOM). Vol. 6 (1): hal. 6169. Smith, J .A & Osborn, M. (2015). Interpretative phenomenological analysis. SAGE. Vol. 9 (1): hal. 41-42. Tugade, M., M. & Fredrickson, B.L. (2004). Resilient Individual Use Positive Emotions To Bounce Back 193 Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 24 (2): hal. 320-333. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 194 PENGARUH SELF LEARNING TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR PESERTA PELATIHAN DASAR CPNS ONLINE BMKG Juniarto Widodo Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG, juniarto2013@gmail.com Abstrak Peningkatan hasil belajar peserta dalam pelatihan adalah merupakan salah satu bentuk keberhasilan dalam sebuah pelatihan. Penelitian ini dilakukan Pelatihan Latsar CPNS BMKG yang dilakukan secara pelatihan online Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana peningkatan hasil belajar setelah dilakukan self learning. Peningkatan belajar tersebut diukur melalui penerapan perlakuan self learning sebelum kelas pelatihan diberikan. Berdasarkan hasil belajar peserta, diperoleh perbedaan hasil belajar sebelum dan setelah pembelajaran dikelas. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode statistik sederhana menggunakan Microsoft Excel dengan pendekatan kuantitatif, dengan obyek penelitian adalah peserta pelatihan Latsar BMKG angkkatan XI dan Angkatan XV, adapun pada objek penelitian kelas Angkatan XV tidak diterapkan self learning. Penugasan self learning dirancang dalam bentuk pemberian tugas mandiri melalui modul atau buku, kemudian diberikan penugasan untuk membuat refleksi pembelajaran dari video pembelajaran studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan kuisioner melalui google form melalui pengujian secara kognitif melalui pre-test dan post-test. Hasil penelitian diperoleh dari data hasil pengolahan data berupa peningkatan nilai yang diperoleh berdasarkan nilai pre-test dan post-test. Secara signifikan diperoleh hasil penelitian bahwa perlakuan self learning sebelum pembelajaran mampu meningkatkan hasil belajar peserta, dengan rata-rata peningkatan sebanyak 20 poin lebih tinggi. Dengan penerapan self learning sebelum pembelajaran akan mendorong peserta untuk mampu memahami isi modul pelatihan sehingga dengan sendirinya peserta akan membaca isi modul. Hal ini telah berpengaruh langsung terhadap hasil belajar peserta pelatihan. Kata Kunci: self learning, pelatihan online. refleksi pembelajaran. PENDAHULUAN Generasi milenial adalah tantangan baru bagi para pendidik dalam tugas profesionalnya mengajar generasi yang lahir dengan internet menjadi kebutuhan utama terhadap beragam akses informasi dan kemudahan untuk membagikan beragam informasi tersebut secara cepat hampir dimanapun, kemanapun dan kapanpun. Sehingga pejuang pembelajar mulai berpikir mencari pendekatan proses belajar mengakomodasi pendekatan pedagogi dan andragogi yang telah biasa digunakan dalam pendidikan maupun pelatihan di sekolah maupun di lembaga pendidikan. Secara kebahasaan, self learning berarti pembelajaran secara mandiri oleh siswa yang bertujuan untuk memberikan penugasan kepada siswa untuk secara mandiri melakukan aktivitas berkaitan dengan pembelajaran. Penugasan secara mandiri tersebut bisa berupa memberikan tugas antara lain membaca buku atau modul, menonton video pembelajaran, meminta siswa mengerjakan tugas individu maupun berkelompok, meminta peserta mencari bahan atau materi di internet dan lain-lain. Karena penugasan ini berlangsung secara online, maka self learning dapat dimanfaatkan sebagai aktivitas pendukung pelatihan agar peserta senantiasa aktif dan tidak pasif selama pelatihan. Dengan aktivitas online dengan pengajar dan peserta lain akan menjadi penyemangat tersendiri oleh peserta untuk mampu menuntaskan pembelajaran sampai dengan akhir pelatihan. Menurut Roy Kellen (1998) (dalam Riza dkk, 2017) bahwa dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Dalam hal ini perlakuan penerapan sebelum pembelajaran menggunakan pendekatan student center approach. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan penyerapan materi pelatihan, dalam hal ini adalah mata pelatihan Komitmen Mutu dalam Pelatihan Latsar CPNS. Peningkatan hasil belajar peserta dihitung berdasarkan perbedaan nilai pre-test dan posttest. Proses pengujian pre-test dan post-test dilakukan secara online menggunakan google form pada saat awal mulai pembelajaran dan saat akhir pembelajaran. Penulis menggunakan perlakuan pembelajaran self learning sehari sebelum pembelajaran di kelas secara online melalui grup whatsapp (WAG). Perlakuan self learning, peserta disediakan bahan pembelajaran berupa modul dan penugasan studi kasus membahas video pembelajaran. Setelah menyimak video peserta kemudian diminta untuk membentuk kelompok membahas refleksi studi kasus yang ada di dalam video 195 Pengaruh Self Learning Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Dasar Cpns Online Bmkg Juniarto Widodo pembelajaran dengan menggunakan bahan modul belajar yang sudah diberikan. Hasil pembahasan secara berkelompok kemudian diupload dalam Learning Management System (LMS) Pusdiklat pada keesokan hari sebelum pembelajaran kelas dimulai. Penulis belum menemukan penelitian sejenis sebelumnya, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini sebagai bagian yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil belajar peserta pelatihan. METODE Penelitian ini menggunakan sampel Pelatihan Latsar CPNS di BMKG tahun 2020 yang berlangsung secara daring. Sampel peserta menggunakan dua kelas pelatihan Latsar CPNS dengan sampel kelas Angkatan XI dan Angkatan XV dengan masing-masing kelas berjumlah 41 orang peserta. Pada kedua kelas sampel dilakukan perlakuan yang berbeda yaitu menggunakan perlakuan sesi self learning sebelum memasuki kelas pembelajaran dan satu kelas tidak menggunakan perlakuan self learning sebelum memasuki kelas. Pada perlakuan sesi self learning sebelum pelatihan peserta diberikan pembelajaran mandiri membahas studi kasus sebuah film secara berkelompok dan membuat refleksi dari film tersebut dengan bantuan modul mata pelatihan. Penelitian ini menggunakan sampel pembelajaran mata pelatihan Komitmen Mutu yang merupakan bagian dari materi ANEKA dan agenda utama dalam Pelatihan Dasar CPNS. Peningkatan hasil belajar peserta diukur dengan membandingkan hasil belajar melalui pengujian pre-test dan post-test. Dengan melihat hasil belajar dari dua sampel kelas yang diuji maka dapat diketahui sejauh apa efektifitas hasil belajar peserta. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan sampel pembelajaran mata pelatihan Komitmen Mutu yang merupakan bagian dari materi ANEKA dan agenda utama dalam Pelatihan Dasar CPNS. Peningkatan hasil belajar peserta diukur dengan membandingkan hasil belajar melalui pengujian pre-test dan post-test. Dengan melihat hasil belajar dari dua sampel kelas yang diuji maka dapat diketahui sejauh apa efektifitas hasil belajar peserta. Dalam penerapan metode self learning, pengajar bertindak sebagai fasilitator. Pengajar hanya menstimulasi dan mengarahkan tujuan pembelajaran melalui aktivitas belajar peserta secara mandiri dan berkelompok. Pengajar menstimulasi pengetahuan sebelum memasuki kelas melalui penugasan kepada peserta. Peserta secara berkelompok diberikan stimulasi pengetahuan tentang mata pelatihan Komitmen Mutu melalui penugasan pemutaran video “LEBARAN” dan pemberian modul pelatihan. Selanjutnya secara berkelompok, peserta membahas isi video dan membuat refleksi pembelajaran tentang penerapan nilai dasar Komitmen Mutu melalui tokoh yang ada dalam video studi kasus tersebut. Dewi, O, R (2010) menjelaskan model self directed learning memungkinkan siswa dapat mengatur proses belajar dalam bentuk inisiatif sendiri, pengaturan diri, eksplorasi diri, dan kebebasan belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal dan meningkatkan kemandirian belajar. Penugasan selanjutnya adalah meminta peserta membuat refleksi pembelajaran menggunakan bahan modul yang telah disampaikan. Melalui penugasan membuat refleksi dari video pembelajaran studi kasus diatas, akan mendorong peserta untuk membaca dan akan berusaha untuk memahami apa isi modul secara lengkap untuk disampaikan dalam pembahasan refleksi yang dibahas dalam kelompok masing-masing. Tabel 1 diatas adalah gambaran skema pembelajaran mata pelatihan Komitmen Mutu secara keseluruhan. Tabel 1. Kegiatan Belajar Peserta Melalui Self Learning Aktifitas Proses Output Media Belajar Belajar Belajar Self Learning - Modal Knowledg Async Membaca e Menyima - Film Async Insight k - Diskusi Berdiskus Analisis Async Kelompok i Refleksi Pembelajaran Inti Menyima Knowledg - Sinkronous Sync k e PPT Hasil - Ungroup Async Diskusi Diskusi Resume Presentasi diskusi Sync/As - Regroup Tanya knowledg ync Jawab e Resume, - Refleksi Sync/As Penutupan Kesimpul Belajar ync Kelas an Resume Hasil - Tugas Async Pembelaja Tugas di Mandiri ran LMS Nilai Pre - Pre Test / Sync Ujian Test / Post Post Test Test 196 Pengaruh Self Learning Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Dasar Cpns Online Bmkg Juniarto Widodo Aktivitas pembelajaran self learning diberikan diawal pembelajaran, dengan demikian melalui proses penugasan tersebut peserta terbuka kesadarannya untuk menggali nilai-nilai pembelajaran Komitmen Mutu dengan mengambil referensi melalui modul yang telah dibaca. Karidha dkk (2009), menjelaskan bahwa self directed learning adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengungkapkan idenya untuk memecahkan masalah; membimbing kelompok dalam mengumpulkan data. Selanjutnya menurut Eni Susilowati (2018), dalam diklat online, peserta dapat belajar secara tidak langsung (Asynchronous) dimana saja, kapan saja, atau dengan cara apa saja sesuai dengan kebutuhan. Dalam belajar secara tidak langsung, bahan belajar yang digunakan adalah modul, program video dan media lain yang memungkinkan. Pada pengujian pre-test dan post-test, dapat dijelaskan bahwa dari dua kelas Latsar Angkatan XI dan Angkatan XV menunjukkan bahwa pada kelas Latsar angkatan XI diperoleh peningkatan hasil yang signifikan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelas Latsar Angkatan XV. Untuk menghasilkan pengukuran hasil yang murni, pada kedua angkatan tidakmdiinformasikan akan diadakan pre-test dan posttest. Dengan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dengan demikian peserta tidak ada persiapan membaca materi, atau boleh dikatakan tanpa persiapan sama sekali. Hal ini untuk menunjukkan pengaruh murni dari self learning dalam peningkatan hasil belajar peserta di awal dan dan akhir pembelajaran di dalam kelas. Berdasarkan presentase pengukuran setelah mengikuti rangkaian pre-test dan post-tes, maka dapat diketahui bahwa adanya peningkatan hasil belajar yang terjadi pada peserta pelatihan. Tabel 2. berikut adalah hasil penerapan pembelajaran self learning yang terdiri dari nilaia rata-rata peningkatan hasil belajar, nilai maksimum peningkatan belajar dan nilai minimum peningkatan belajar : Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Belajar Peserta Kelas Agk11 Agk15 RataRata Pre-Test RataRata Post Test PreTest – Post Test Maks PreTest/Po st-Test Min PreTest/P ostTest 64.88 95.95 31.07 90/100 35/60 54.88 65.73 10.85 80/100 15/40 Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang cukup mencolok dari nilai rata-rata dari kedua angkatan dengan perbedaan berkisar 20 poin. Pada Kelas Angkatan XI yang dilakukan self learning peningkatan secara rata-rata adalah 31.07 sedangkan kelas Angkatan XV yang tidak dilakukan self learning peningkatan hasil belajar secara rata-rata hanya sebesar 10.85. Demikian juga bila melihat nilai maksimum dan minimum juga terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan self learning memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan hasil belajar peserta pelatihan. prestasi belajar yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya metode pembelajaran yang berkualitas, pengajar yang mampu dalam menerapkan metode pembelajaran dengan benar dan tepat sesuai dengan kebutuhan didalam kelas, dapat memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan prestasi belajar. Pada Grafik 1. menggambarkan perbedaan hasil peningkatan belajar peserta diklat Latsar Angkatan XI dan Angkatan XV. Peningkatan hasil belajar pada angkatan XI disebabkan oleh pengaruh perlakuan self learning sebelum pembelajarn yang berupa penugasan membuat refleksi video pembelajaran dengan menggunakan modul sebagai sumber belajar. Susilowati, dkk (2015) mengatakan melalui belajar, siswa harus dihadapkan dengan permasalahan dan langkah-langkah mencari solusinya dan melalui proses interaksi memungkinkan kemampuan siswa akan berkembang. Tabel 3. Grafik Perbandingan Peningkatan Hasil Belajar Grafik Perbandingan Peningkatan Hasil Belajar 100 0 -100 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 delta11 delta15 Sedangkan Mardiah Kalsum Nasution (2017) menjelaskan bahwa prestasi belajar yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya metode pembelajaran yang berkualitas, dan pengajar mampu dalam menerapkan metode pembelajaran dengan benar dan tepat sesuai dengan kebutuhan didalam kelas, akan dapat memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan prestasi belajar. Bila memperhatikan Grafik 1 diatas, peningkatan hasil belajar tidak sepenuhnya terjadi karena pada beberapa siswa tidak terjadi peningkatan, bahwa terjadi penurunan sehingga selisih nilai pre-test dan post-test menghasilkan nilai negatif. Pada hasil belajar juga menunjukkan bahwa peningkatan hasil belajar terbesar adalah pada kelas Angkatan XI dengan diterapkannya 197 Pengaruh Self Learning Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Dasar Cpns Online Bmkg Juniarto Widodo self learning. Hasil belajar pada dasarnya adalah perubahan perilaku peserta didik sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukannya. Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson, dan Harrow (dalam Riza dkk, 2017) mencakup aspek kognitif. afektif dan psikomotor. Sesuai dengan hasil Grafik1. diatas, dalam penelitian ini hanya mengukur aspek kognitif peserta sejauh mana mampu memahami materi pelatihan kemudian mampu mengaplikasikan dalam pembahasan permasalahan melalui studi kasus. Hal-hal yang dituangkan oleh peserta ke dalam refleksi studi kasus memberi bekal pengetahuan peserta sehingga siap dalam menghadapi ujian pre-test maupun pos-test. Aspek kognitif yang diukur antara lain kemampuan peserta dalam mengingat, menghapal dan menganalisis permasalahan menggunakan sumber belajar berupa modul pelatihan Komitmen Mutu yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan Peraturan Nomor 12 Tahun 2018. Belajar kolaboratif dalam mengerjakan proyek dalam satu kelompok, memberi peluang siswa saling belajar yang akan meningkatkan pemahaman konseptual maupun kecakapan technical. Berorientasi pada belajar aktif memecahkan masalah riil yang memberi kontribusi pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan (Wibowo, F.C dan Suhandi, 2013). PENUTUP Simpulan Penerapan self learning sebelum pembelajaran berpengaruh positif terhadap peningkatan hasil belajar peserta pada pelatihan Latsar CPNS di BMKG yang berlangsung secara online. Peningkatan hasil belajar menunjukkan hasil yang signifikan meningkat dengan dilakukannya self learning pada kelas latsar Angkatan XI dibandingkan dengan Angkatan XV yang tidak menerapkan self learning. Peningkatan hasil belajar secara rata-rata naik berkisar 20 poin pada kelas yang menerapkan self learning sebelum pembelajaran apabila dibandingkan dengan yang tidak diterapkan self learning. DAFTAR PUSTAKA Eni Susilowati. (2018). Dampak Program Diklat Online TIK Guru Pustekkom Terhadap Aksesibilitas Konten Pembelajaran Pada Fitur Rumah Belajar, Jurnal Pendidikan Vol. !9 No. 2 Tahun 2018. Kharida, L, A dkk (2009), Penerapan Model Pembelaaran Berbasis Masalah Untuk Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan Elastisitas Bahan,Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. Mardiah, K. N (2017), Penggunaan Metode Pembelajaran Dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa. Jurnal Ilmiah Bidang Pendidikan, Vol. 11. No. 1, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN “SMH” SerangUniversity of California Press. Dewi Oktofa Rachmawati (2010), Penerapan Model Self-Directed Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Dan Kemandirian Belajar Mahasiswa, Jurnal Pendidikan dan pengajaran, Universitas Pendidikan Ganesha, Volume 43. Susilawati, dkk (2015). Pembelajaran Real Laboratory Dan Tugas Mandiri Fisika Pada Siswa Smk Sesuai Dengan Keterampilan Abad 21. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. Riza dkk (2017). Penerapan Metode Pembelajaran Mandiri Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik, Jurnal pendidikan Luar Sekalah Volume I. Wibowo, F. C dan Suhandi A, (2013), Penerapan Model Science Creative Learning (Scl) Fisika Berbasis Proyek Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif Dan Keterampilan Berpikir Kreatif, Jurnal PendidikaN IPA Indonesia. Peraturan LAN Nomor 12 Tahun 2018 Tentang Pelatihan Dasar CPNS, Lembaga Administrasi Negara Saran Perlu penelitian lebih lanjut terhadap penerapan self learning pada mata pelatihan yang lain dalam Pelatihan Latsar BMKG, hal ini untuk membuktikan apakah terjadi peningkatan hasil belajar yang sama terhadap peserta. 198 BURNOUT DAN KOMITMEN TERHADAP TUGAS: TANTANGAN TENAGA MEDIS DALAM MENGHADAPI PANDEMI COVID-19 Rizky Ananda Artiningsih Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, rizky.17010664090@mhs.unesa.ac.id Fazaiz Khoirotun Chisan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, fazaiz.17010664080@mhs.unesa.ac.id Abstrak Salah satu karakter yang menjadi nilai tambah bagi seorang SDM yaitu komitmen terhadap tugas. Hal tersebut berlaku tak terkecuali pada tenaga medis. Saat ini tenaga medis sedang dihadapkan pada tantangan menghadapi pandemi COVID-19. Tuntutan yang tinggi dan penanganan yang segera dapat memberikan tekanan bagi para tenaga medis di tengah terbatasnya sumber daya yang ada. Hal tersebut dapat menyebabkan tenaga medis mengalami burnout. Burnout merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kelelahan hingga ia tidak dapat melakukan fungsinya sebagai mana mestinya akibat terlalu keras dalam bekerja. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengeksplorasi faktor penyebab burnout pada tenaga medis dalam menghadapi pandemi COVID-19 serta menganalisa keterkaitan dengan komitmen dalam bekerja. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu literature review dengan mengumpulkan data dari artikel di internet hingga artikel jurnal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya beban kerja dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan berkontribusi terhadap pada tenaga medis dalam menghadapi pandemi COVID-19. Seseorang dengan komitmen yang tinggi terhadap tugas akan lebih adaptif dalam menyikapi yang mereka alami. Kata Kunci: komitmen terhadap tugas, burnout, tenaga medis, COVID-19. PENDAHULUAN Setiap organisasi tentu memiliki target ideal masingmasing sebagaimana tujuan dibentuknya organisasi tersebut. Terlepas dari berbagai tujuan tersebut, sumber daya manusia yang berkualitas merupakan sebuah aset penting dalam suatu organisasi. Apabila suatu organisasi memiliki SDM yang berkualitas, maka tujuan dari suatu organisasi tentu akan lebih mudah untuk tercapai. Sebaliknya, apabila SDM yang dimiliki tidak memadahi maka kemajuan dan perkembangan suatu organisasi juga akan berjalan lambat. Selain kompetensi yang baik, kualitas seseorang juga dapat dilihat dari karakter yang baik. Seseorang yang berkarakter pasti memiliki komitmen yang tinggi dalam melakukan segala hal, akan memberikan yang terbaik, dan melakukannya sesuai dengan tujuan awalnya ia mengerjakan hal tersebut (Dhiu & Bete, 2017). Individu yang memiliki karakter baik dan tangguh dalam dirinya akan berusaha untuk memberikan yang terbaik terhadap segala hal yang dilakukannya. Ia akan melakukannya dengan berkomitmen memberikan yang terbaik, melakukannya secara tuntas, dan mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya agar tujuannya tercapai secara optimal. Hal tersebut berlaku tak terkecuali pada tenaga medis. Mereka telah melakukan sumpah profesi sehingga dalam melaksanakan tugasnya, mereka wajib mengacu pada kode etik dan undang-undang terkait yang mengatur. Namun, tanggungjawab yang dimiliki oleh tenaga medis yang berkaitan dengan nyawa orang lain, rutinitas yang padat, banyaknya pasien, serta tuntutan kecepatan dalam penanganan seringkali tidak dapat dihindari dan menyebabkan mereka mengalami stres (Andarini, 2018). Saat ini, tenaga medis di seluruh dunia sedang mendapatkan tantangan lebih dibandingkan dengan biasanya karena sedang dihadapkan pada pandemi COVID-19. Dilansir dari Tirto.id, data Worldometers yang diperbarui pada 6 Mei 2020 pukul 15.23 WIB menunjukkan bahwa total kasus positif COVID-19 di dunia mencapai 3.741.276 orang dengan 258.511 diantaranya telah meninggal dan pasien sembuh mencapai 1.247.414 orang (Tirto.id, 2020). Di Indonesia sendiri, terhitung hingga 6 Mei 2020, jumlah kasus positif mencapai 12.438 dengan total pasien positif meninggal sebanyak 895, pasien sembuh 2.317 orang, pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 26.932 orang, dan orang dalam pengawasan (ODP) sebanyak 240.726 orang (Tirto.id, 2020). Jumlah kasus tersebut semakin mengalami peningkatan dari hari ke hari. Sayangnya, peningkatan tersebut tidak diiringi dengan kesiapan fasilitas dan tenaga medis di Indonesia. Dalam jurnal yang berjudul “Critical care bed capacity in Asian countries and regions”, Phua dkk. (2020) menyebutkan bahwa rasio 199 Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan tempat tidur ICU di Indonesia per 100.000 yaitu sebesar 2,7. Sedangkan perbandingan antara dokter di Indonesia per 1000 penduduk menurut data World Bank yang dilansir Jayani (2020) dalam katadata.co.id yaitu sebesar 0,4 yang berarti bahwa dalam menangani 10.000 penduduk hanya ditangani oleh 4 dokter. Tidak jauh berbeda dengan para dokter, rasio perawat yaitu sebesar 2,1 per 1000 penduduk, dimana hanya ada dua perawat untuk menangani 1000 penduduk. Kesenjangan yang tinggi tersebut tentu akan berpengaruh pada meningkatnya beban pada tenaga medis. Tidak sedikit tenaga medis yang bekerja melebihi shift yang seharusnya. Dalam mengatasi hal tersebut, banyak tenaga medis yang dipekerjakan serta ditempatkan dalam spesialiasi baru bahkan dengan kesulitan yang lebih tinggi daripada sebelumnya (Maben & Bridges, 2020).. Hal tersebut tentu memberikan beban tersendiri bagi tenaga medis tersebut. Belum lagi terkait keterbatasan APD. Selain perbandingan ICU dan jumlah dokter yang rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk, minimnya alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis khususnya yang menangani pasien covid juga menambah beban bagi tenaga medis terkait. Padahal APD merupakan salah satu protokol yang dapat melindungi mereka agar tidak tertular virus dari pasien yang mereka tangani. Dilansir dari Medistiara (2020), IDI melaporkan bahwa jumlah dokter yang tewas dalam menangani COVID-19 yaitu mencapai 23 orang. Kondisi tersebut sempat membuat lima asosiasi tenaga medis yang ada di Indonesia yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sempat membuat pernyataan sikap yang menyebutkan bahwa mereka terpaksa tidak berpartisipasi menangani pasien virus corona apabila kebutuhan APD belum dipenuhi oleh pemerintah (Jatmiko, 2020). Sekalipun mereka mendapatkan APD, mereka harus memakai APD tersebut yang terdiri dari masker, sarung tangan, kacamata pelindung, dan baju hazmat selama setidaknya sepuluh jam (BBC Indonesia detikNews, 2020). Setelah lelah seharian berjuang di rumah sakit, tidak sedikit dari mereka yang juga tidak bisa pulang dan harus rela jauh dari keluarga akibat tuntutan pekerjaan di rumah sakit (BBC Indonesia detikNews, 2020). Kelelahan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh para tenaga medis tersebut menggambarkan fenomena burnout (Maharja, 2015; Sari, 2016). Burnout merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kelelahan hingga ia tidak dapat melakukan fungsinya sebagai mana mestinya akibat terlalu keras dalam bekerja (Freudenberger, 1974). Bahkan, apabila apabila kebutuhan tenaga medis baik secara fisik maupun mental tidak terpenuhi, maka ada potensi ia akan keluar dari pekerjaannya (Mitchel, 2020). Apabila hal tersebut benar terjadi, maka akan menimbulkan beban baru bagi selainnya mengingat adanya tuntutan penanganan terhadap COVID-19 secara cepat dikarenakan peningkatan kasus dari hari ke hari. Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, peneliti tertarik lebih lanjut mengulas hubungan komitmen terhadap tugas dan kecenderungan burnout yang dialami oleh tenaga medis dalam menangani pandemi COVID-19. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan pihak rumah sakit serta pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan fasilitas kepada tenaga medis sehingga mereka tetap dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Sekalipun mengalami burnout, diharapkan dengan kebijakan yang tepat maka komitmen tenaga medis dalam menjalankan perannya tetap terjaga. METODE Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan studi pustaka atau literatur review. Data diperoleh dari artikel berita di internet hingga artikel jurnal yang dipublikasi. Pencarian artikel ini dilakukan dengan menggunakan kata kunci “SDM yang berkarakter”, “karakter menentukan komitmen bekerja”, “work task commitment”, “burnout pada tenaga medis”, dan beberapa kata kunci lainnya. PEMBAHASAN Burnout merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kelelahan hingga ia tidak dapat melakukan fungsinya sebagai mana mestinya akibat terlalu keras dalam bekerja (Freudenberger, 1974). Salah satu penyebab seseorang mengalami burnout yaitu tingginya beban kerja (Maharja, 2015; Sari, 2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maharja (2015) terhadap perawat di Instalasi inap RSU Haji Surabaya, tuntutan beban kerja yang tinggi dapat menyebabkan para perawat mengalami kelelahan baik secara fisik maupun emosional. Dengan tuntutan bekerja selama 24 jam dalam seminggu membuat waktu istirahat mereka berkurang. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 20 orang (74,1%) dari 200 Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan perawat tersebut memiliki beban kerja fisik kategori sedang. Sedangkan sisanya mengalami beban kerja fisik ringan. Ditinjau dari tingkat burnout, lebih dari 50% perawat tersebut mengalami burnout kategori sedang. Hasil dari penelitian tersebut membuktikan terdapat hubungan positif antara beban kerja dengan tingkat burnout yang dialami oleh perawat. Selain kelelahan (exhaustion) akibat beban kerja berlebih, terdapat dua dimensi lainnya pada burnout yaitu melakukan penghindaran terhadap tugas (cynicism) serta penurunan terhadap kepercayaan diri akan kemampuannya dalam mengerjakan tugas (Ineffectiveness/Low Personal Accomplishment) (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001). Pada penelitian yang dilakukan Sari (2016) pada perawat pelaksana di ruang rawat inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat, beban kerja berlebih dapat terlihat dari jumlah perawat pada shift sore dan malam yang harus menangani 60-70 pasien per ruangan dengan gangguan jiwa hanya dengan satu hingga dua perawat. Selain itu, mereka mengaku sering mendapatkan kekerasan dari pasien gangguan jiwa yang mereka rawat. Hal tersebut menyebabkan mereka mengalami kelelahan (exhaustion) baik secara fisik maupun mental. Setelah itu penghindaran terhadap tugas (cynicism) dapat terlihat dari mengabaikan kebutuhan pasien serta perilaku perawat yang datang terlambat namun pulang lebih awal. Kemudian munculnya pandangan negatif terhadap diri (Ineffectiveness/Low Personal Accomplishment) merupakan akibat dari rasa bersalah terhadap pasien karena tidak mampu memberikan pelayanan secara maksimal. Jika dikontekskan pada tenaga medis yang sedang bekerja dalam pandemi COVID-19, indikasi kelebihan beban kerja dapat terlihat dari tuntutan yang tidak sesuai dengan realita yang ada. Berdasarkan data World Bank yang dilansir Jayani (2020) dalam katadata.co.id yaitu sebesar 0,4 yang berarti bahwa dalam menangani 10.000 penduduk hanya ditangani oleh 4 dokter. Tidak jauh berbeda dengan para dokter, rasio perawat yaitu sebesar 2,1 per 1000 penduduk, dimana hanya ada dua perawat untuk menangani 1000 penduduk. Tingginya beban kerja tersebut menyebabkan kelelahan fisik pada perawat dimana mereka tidak jarang harus melakukan shift lebih dari biasanya. Mereka juga harus senantiasa waspada dan mengenakan APD hingga selama 10 jam (BBC Indonesia - detikNews, 2020). Selain itu kelelahan emosional juga dapat muncul akibat terpisahnya dari anggota keluarga karena masih harus bekerja di rumah sakit menangani pasien covid yang dari hari ke hari jumlahnya semakin meningkat (BBC Indonesia detikNews, 2020). Adanya tuntutan yang tidak realistis dimana mereka harus menangani pasien covid sedangkan APD yang ada di rumah sakit terbatas, sempat membuat kelima asosiasi tenaga kesehatan yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) membuat pernyataan sikap bahwa mereka terpaksa tidak berpartisipasi untuk sementara dalam menangani pasien virus corona apabila kebutuhan APD belum dipenuhi oleh pemerintah (Jatmiko, 2020). Hal tersebut merupakan salah satu bentuk cynicism, yaitu penghindaran akibat ketidakrealistisan tuntutan yang diberikan. Walaupun beberapa hari kemudian hal tersebut telah dikonfirmasi bahwa mereka tetap akan menjalankan pekerjaan mereka, Mitchel (2020) menyebutkan bahwa apabila kebutuhan tenaga medis baik secara fisik maupun mental tidak terpenuhi secara terus menerus, maka kondisi tersebut memungkinkan tenaga medis untuk keluar dari pekerjaannya (Mitchel, 2020). Bektas dan Peresadko (2013) menyebutkan bahwa salah satu yang dapat menurunkan burnout yaitu organizational effort factor. Yang termasuk dalam organizational effort factor yaitu dukungan dari rekan kerja (support of workmate), dukungan dari atasan (managerial support), serta motivasi yang dihasilkan dari perilaku organisasi (organizational atmosphere). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Andarini (2018) yang menghasilkan semakin tinggi organizational effort factor dapat menyebabkan turunnya burnout dan meningkatnya kepuasan kerja pada perawat di Rumah Sakit Petrokimia Gresik. Jika dikontekskan dalam kondisi tenaga medis yang sedang mengalami burnout akibat tuntutan tinggi menghadapi pandemi, organizational effort factor yang meliputi managerial support dalam hal ini pemerintah masih belum memadai. Selain itu, lambannya pemerintah dalam menyediakan APD untuk para tenaga medis menjadi salah satu ketidakpuasan tenaga medis. Sikap ketidakpuasan tenaga medis yang menangani COVID-19 sempat ditunjukkan dengan pernyataan sikap dari lima asosiasi tenaga kesehatan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, hal tersebut menyebabkan kecenderungan burnout pada tenaga medis mengingat kebutuhan mereka secara fisik dan emosional tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan tenaga medis dalam mengatasi 201 Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan burnout tidak segera diatasi, mereka akan berpotensi keluar dari pekerjaan (turnover) (Mitchel, 2020). Dalam Sutanto dan Gunawan (2013), selain kepuasan kerja, komitmen terhadap organisasi juga berpengaruh kepada kecenderungan turnover. Individu yang mengatakan dirinya berkomitmen dalam sebuah organisasi merupakan individu yang mampu mengidentifikasi hubungan atau ikatan dirinya dengan sebuah organisasi (Haryanto dkk., 2018). Tidak hanya itu, ia juga akan memiliki ketertarikan secara fisik dengan pekerjaannya, hal ini dikarenakan ia harus berada didalam organisasi tersebut sepanjang jam kerjanya, menyelesaikan segala kebutuhan dan target pekerjaan mereka (Haryanto dkk., 2018). Hal ini sering dikenal juga dengan komitmen terhadap tugas. Sebagaimana yang disebutkan oleh Dhiu dan Bete (2017), seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi dalam melakukan segala hal, akan memberikan yang terbaik, dan melakukannya sesuai dengan tujuan awalnya ia mengerjakan hal tersebut. Selain itu, apabila komitmen terhadap tugas yang dimiliki tinggi, individu tersebut akan dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri, mampu mengidentifikasi masalah, serta senantiasa berusaha mencari solusi untuk masalah tersebut (Utami dkk., 2016). Dengan demikian respon yang ditimbulkan lebih adaptif. PENUTUP Simpulan Tingginya beban kerja dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan berkontribusi terhadap burnout pada tenaga medis dalam menghadapi pandemi COVID-19. Seseorang dengan komitmen yang tinggi terhadap tugas akan lebih adaptif dalam menyikapi burnout yang mereka alami. Mereka memiliki kecenderungan turnover rendah dikarenakan senantiasa mengidentifikasi masalah serta berusaha mencari solusi atas permasalahan tersebut. Saran Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, ditemukan bahwa tingginya beban kerja dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan oleh tenaga medis berkontribusi pada burnout yang mereka alami. Salah satu yang dapat menurunkan burnout yaitu dengan meningkatkan organizational effort factor. Bagi pemerintah Bagi pemerintah, sebaiknya lebih memperhatikan kondisi dan kebutuhan para tenaga medis khususnya apabila terkait dengan kesejahteraan pasien maupun tenaga medis itu sendiri, baik tenaga medis yang sudah lama maupun relawan yang baru membantu. Bagi pihak rumah sakit Bagi pihak rumah sakit, hendaknya mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi kesejahteraan bersama. Bagi sesama rekan tenaga medis bisa saling membantu dan menguatkan satu sama lain. Bagi masyarakat Bagi masyarakat hendaknya menaati aturan yang telah diterapkan pemerintah agar pandemi bisa segera berakhir (melakukan physical distancing, senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan, tidak keluar rumah apabila tidak mendesak, dan sebagainya). Hal tersebut guna mencegah meningkatnya penyebaran COVID-19 yang dapat meningkatkan burnout pada tenaga medis. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang berminat dalam penelitian sejenis, hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut: a. Mengkaji lebih dalam lagi terkait topik atau tema yang akan digunakan. b. Mempertimbangkan faktor internal dan sosial budaya individu dalam menganalisa faktor penyebab burnout. DAFTAR PUSTAKA Andarini, E. (2018). Analisis faktor penyebab syndrome dan job satisfaction perawat di Rumah Sakit Petrokimia Gresik. Thesis, Universitas Airlangga. BBC Indonesia - detikNews. (2020, April 1). Cerita tenaga medis yang jauh dari keluarga dan harus gunakan APD 10 Jam. Retrieved Mei 6, 2020, from BBC Indonesia detikNews: https://news.detik.com/bbc-world/d4960635/cerita-tenaga-medis-yang-jauh-darikeluarga-dan-harus-gunakan-apd-10-jam Bektas, C., & Peresadko, G. (2013). Frame of workplace guidance how to overcome burnout syndrome: A model suggestion. Social and behavioral science , 879-884. Dhiu, K. D., & Bete, N. (2017). Pentingnya pendidikan karakter di perguruan tinggi: kajian teoritis dan praktis. Annual Proceeding (pp. 172-176). Bajawa, NTT: STKIP Citra Bakti. Freudenberger, H. (1974). Staff burnout. Journal of social issues , 30 (1), 159-165. Haryanto, R., Fathoni, A., & Minarsih, M. M. (2018). Pengaruh karakteristik pekerjaan, employee engagement, dan motivasi terhadap komitmen 202 Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan organisasi dengan kepuasan kerja sebagai intervening pada pt. eka farma di semarang. Journal of Management , 4 (4), 1-18. Jatmiko, A. (2020, Maret 27). Tenaga medis ancam tidak tangani pasien corona bila APD tak memadai. Retrieved Mei 6, 2020, from KataData.co.id: https://katadata.co.id/berita/2020/03/27/tenagamedis-ancam-tidak-tangani-pasien-corona-bilaapd-tak-memadai https://tirto.id/update-corona-6-mei-2020indonesia-dunia-data-COVID-19-hari-ini-flwx Utami, S., Nursalam, Rachmat, H., & Susilaningrum, R. (2016). Midwives performance in early detection of growth and development irregularities of children based on task commitment. International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE) , 5 (4), 300-305. Jayani, D. H. (2020, April 2). Rasio dokter Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara. Retrieved Mei 6, 2020, from KataData: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/0 4/02/rasio-dokter-indonesia-terendah-kedua-diasia-tenggara Maben, J., & Bridges, J. (2020). Covid‐19: Supporting nurses’ psychological and mental health. Journal of Clinical Nursing . Maharja, R. (2015). Analisis tingkat kelelahan kerja berdasarkan beban kerja fisik perawat di instalasi rawat inap RSU Haji Surabaya. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health , 4 (1), 93-102. Maslach, C., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2001). Job burnout. Annual review of psychology , 52 (1), 397-442. Medistiara, Y. (2020, April 15). Total 23 dokter meninggal dunia selama pandemi corona, ini daftarnya. Retrieved Mei 6, 2020, from DetikNews: https://news.detik.com/berita/d4977804/total-23-dokter-meninggal-duniaselama-pandemi-corona-ini-daftarnya Mitchel, G. (2020, April 24). Danger of nurses quitting after COVID-19’ if mental health overlooked. Retrieved Mei 6, 2020, from NusingTimes: https://www.nursingtimes.net/news/mentalhealth/danger-of-nurses-quitting-after-COVID-19if-mental-health-overlooked-24-04-2020/ Phua, J., Faruq, M., Kulkarni, A., Redjeki, I., Detleuxay, K., ..., N. M., et al. (2020). Critical care bed capacity in Asian countries and regions. Society of Critical Care Medicine , 48 (5), 654-662. Sari, N. L. (2016). Hubungan beban kerja terhadap burnout syndrome pada perawat pelaksana ruang intermediet RSUP Sanglah. Jurnal Dunia Kesehatan , 5 (2), 87-92. Sutanto, E. M., & Gunawan, C. (2013). Kepuasan kerja, komitmen organisasional dan turnover intentions. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis , 4 (1), 76-88. Tirto.id. (2020, Mei 6). Update corona 6 Mei 2020 Indonesia & dunia: Data COVID-19 hari ini. Retrieved Mei 6, 2020, from Tirto.id: 203 PERAN PENTING KEPEMIMPINAN TERHADAP BUDAYA ORGANISASI GUNA MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DI TENGAH PESATNYA GLOBALISASI Miftahul Fitri Ramadhani Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, miftahul.17010664037@mhs.unesa.ac.id Wiwik Wijayanti Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, wiwik.17010664044@mhs.unesa.ac.id Abstrak Pesatnya globalisasi yang terjadi menjadi salah satu faktor terhadap cepatnya perubahan dalam persaingan antar organisasi. Salah satu peran penting yang mampu menstabilkan dan mempertahankan sebuah organisasi agar tetap mampu bersaing dengan organisasi lain ialah dengan adanya seorang pemimpin yang tepat. Kepemimpinan yang berdedikasi tinggi akan mempengaruhi budaya organisasi yang akan dianut karena pemimpin yang baik akan mampu mengarahkan anggotanya untuk menerapkan budaya organisasi yang baik pula demi mencapai sebuah tujuan bersama yang telah ditentukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya kepemimpinan dalam budaya organisasi. Penelitian ini menggunakan metode study literature yang bersumber dari berbagai jurnal yang relevan dengan judul. Hasil dari penelitian ini yaitu kepemimpinan memiliki peranan yang sangat penting dan berpengaruh besar terhadap sebuah organisasi. Dalam menjalankan tugasnya, seorang pimpinan harus mampu mengarahkan anggotanya demi tercapainya sebuah tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan pemimpin untuk memahami anggotanya juga merupakan hal yang sangat penting karena hubungan dan interaksi yang terbentuk antara pemimpin dan anggota akan membentuk sebuah budaya organisasi. Kata Kunci: Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Sumber Daya Manusia. PENDAHULUAN Perubahan dalam dunia organisasi saat ini begitu pesat. Banyak faktor penyebab yang membuat perubahan begitu cepat terjadi. Perubahan tersebut ditandai dengan tingginya tingkat persaingan antar organisasi. Globalisasi juga memengaruhi cepatnya perubahan dalam organisasi (Pramudyo, 2013). Organisasi dituntut untuk bisa bertahan dalam segala bentuk persaingan yang ada. Suatu organisasi harus terus berkembang dan berinovasi agar tetap bertahan ditengah persaingan ketat dunia saat ini. Bertahan dalam menjalankan sebuah organisasi bukanlah hal yang mudah, tentu harus ada sistem yang kuat agar organisasi bisa terus bertahan. Organisasi juga harus mampu beradaptasi dengan kondisi dan situasi yang ada. Disini kepemimpinan memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu organisasi. Suatu organisasi bisa dikatakan berhasil atau tidak salah satunya ditentukan dengan adanya sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut (Soliha & Hersugondo, 2008). Sumber daya manusia menjadi pusat perhatian dan tumpuan di dalam organisasi (Faturahman, 2018). Tuntutan dan persaingan yang semakin ketat membuat organisasi harus mampu bertahan di era globalisasi saat ini, untuk itu sumber daya dalam organisasi harus mampu dikelola sebaik mungkin agar tujuan dan segala kebutuhan organisasi bisa terpenuhi dengan baik (Faturahman, 2018). Peran kepemimpian disini sangat penting dalam tercapainya tujuan dari organisasi sesuai dengan visi dan misi organisasi. Kepemimpinan diyakini menjadi kunci utama organisasi dalam membentuk dan mengarahkan organisasi menjadi lebih baik lagi. Peran kepemimpinan yaitu memengaruhi anggota organisasi lainnya untuk melaksanakan tugasnya demi tercapainya tujuan organisasi tersebut. Organisasi terdiri dari sekumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan memenuhi kebutuhan masing-masing dari anggota (Pramudyo, 2013). Kepemimpinan merupakan suatu tindakan dimana pemimpin membuat orang lain melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan tujuan organisasi. Adapun sifat-sifat yang dimiliki seorang pemimpin meliputi integritas atau kejujuran, berkarisma atau bijaksana, memiliki kreatifitas, mampu beradaptasi, serta memiliki kepercayaan diri (Soliha & Hersugondo, 2008). Seorang pemimpin yang sejati ialah ia yang mampu memberi semangat (encourager), mampu menjadi inspirator, motivator, serta mampu memaksimalkan sesuatu yang dilakukan (Marliani, 2015). Seorang pemimpin tentu sangat dibutuhkan untuk menghandle setiap kelompok, suatu organisasi, ataupun sebuah perusahaan. Dalam hal ini pemimpin tentu akan memiliki tanggung jawab yang besar karena 204 Peran Penting Kepemimpinan Terhadap Budaya Organisasi Guna Mempertahankan Eksistensi di Tengah Pesatnya Globalisasi Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti seorang pemimpin memiliki tugas yang sangat penting yaitu membantu menyukseskan dan memperoleh target atau tujuan yang telah ditentukan. Robert (Marliani, 2015) mendefinisikan seorang pemimpin ialah individu yang memiliki kemampuan untuk memberi petunjuk, memiliki kekuatan untuk mempengaruhi, serta mampu menentukan individu lain untuk mencapai sebuah tujuan dalam organisasi. Sedangkan Spillane menyebutkan bahwa pemimpin ialah agen perubahan yang memiliki tugas untuk dapat mempengaruhi orang-orang daripada pengaruh orangorang terhadapnya (Marliani, 2015). METODE Penelitian ini menggunakan study literature dimana sesuai dengan hasil data yang didapat penulis yakni dari berbagai sumber literatur, maka penelitian ini menggunakan pendekatan content analysis karena karya tulis ini menggunakan sumber data yang merupakan hasil dari penggabungan beberapa hasil penelitian yang telah ada sebelumnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data diambil dari berbagai sumber berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh pihak-pihak terpercaya yang relevan dengan judul penelitian ini. Selain itu, data juga dikumpulkan dari sumber literatur berupa jurnaljurnal dan buku yang ada. Untuk mengolah dan menganalisis data dalam karya tulis ini, data yang dipilih penulis dikaji dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori mengenai kepemimpinan, budaya organisasi, serta hubungan antara keduanya sehingga dapat menghasilkan suatu gagasan konseptual berupa kepemimpinan dalam budaya organisasi. PEMBAHASAN Kepemimpinan dalam suatu organisasi juga menuntut adanya pengetahuan tentang buadaya organisasi yang ada di organisasi tersebut. Sebuah organisasi tentunya tidak akan pernah luput dari budaya yang menjadi dasar dalam melakukan kegiatan kerjanya mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Budaya dalam organisasi dapat muncul karena adanya gabungan dari beberapa anggota yang beragam baik dari segi sikap, tingkah laku, cara berpikir, dan lain sebagainya yang pada akhirnya menjadi satu dan membentuk sebuah kebiasaan dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam organisasi tersebut untuk mencapai tujuan bersama. Budaya organisasi seringkali didefinisikan sebagai sebuah nilai-nilai atau simbol-simbol yang dimengerti serta dipatuhi bersama dan dimiliki oleh sebuah organisasi sehingga para anggotanya merasa saling memiliki dan mampu menimbulkan sebuah kondisi dimana para anggota tersebut memiliki keunikan dari organisasi yang lainnya (Hakim & Hadipapo, 2015). Terdapat beberapa fungsi dari budaya organisasi, yaitu memberikan identitas pada sesuatu yang lebih besar daripada hanya dari minat anggota atau secara perorangan, memberi batasan terkait peran sehingga dapat terlihat perbedaan antar organisasi, serta budaya organisasi mampu membentuk perilaku anggota dan pola pikirnya (Amanda, Budiwibowo, & Amah, 2017). Wood dan Menezes mendefinisikan budaya organisasi sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh suatu organisasi serta nilai yang dikembangkan di dalamnya mampu menuntun perilaku anggotanya (Marliani, 2015). Sedangkan Tosi, Rizzo, Caroll menyebutkan bahwa budaya organisasi ialah cara berperasaan, berpikir, serta bereaksi terhadap pola tertentu di dalam sebuah organisasi (Marliani, 2015). Budaya organisasi menurut Robbins ialah satu persepsi yang sama yang dianut oleh anggota-anggota asebuah organisasi (Marliani, 2015). Cushway dan Lodge mengatakan bahwa budaya organisasi ialah nilai-nilai organisasi yang dapat mempengaruhi cara karyawan berperilaku serta melakukan pekerjaan (Marliani, 2015). Selain itu Amanda, Budiwibowo, & Amah (2017) juga menyebutkan beberapa indikator dari budaya organisai yang meliputi banyak hal diantaranya kepribadian yang baik, kesadaran diri dari para anggota organisasi, orientasi tim yaitu ketika anggota mampu bekerjasama dengan baik dan mampu melakukan komunikasi serta koordinasi yang efektif, keagresifan dalam menentukan tujuan. Budaya organisasi menurut Mc Gregor memiliki sebuah sisi yang menampilkan sifat dan perilaku manusia yang bisa dijadikan sebagai pedoman untuk membentuk gaya kepemimpinan dalam menjalankan organisasi (Faturahman, 2018). Menurut Mc Gregor sisi dari manusia yang memuat sifat dan perilaku dikenal dengan teori X (berdasarkan asumsi petunjuk dan kontrol) dan Teori Y (berdasakan asumsi integrasi dan dukungan). Berikut gambaran singkat mengenai kepemimpinan dalam budaya organisasi. 205 Peran Penting Kepemimpinan Terhadap Budaya Organisasi Guna Mempertahankan Eksistensi di Tengah Pesatnya Globalisasi Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti Feedback Anggota/bawah an Pemimpin Patoka Gambar 1. Contoh Gambaran Berdasarkan gambaran teori tersebut maka seorang pemimpin tidak hanya berfokus pada diri sendiri namun juga harus melihat sisi manusia yang membentuk budaya di dalam organisasi tersebut. Seorang pemimpin harus berpatokan pada sifat dan perilaku dari anggota atau bawahannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin dalam organisasi (Faturahman, 2018). Cara kerja kepemimpinan sendiri lebih fleksibel dengan memberikan dorongan yang lebih efektif kepada orang lain dari sekedar rutinitas. Hubungan antara berbagai pihak yang ada di organisasi seperti hubungan antara pemimpin dan anggota organisasi yang terjalin secara rutin akan menjadi sebuah budaya baru di organisasi. interaksi yang terus terjadi inilah yang menjadikan terbentuknya sebuah budaya organisasi. Adanya budaya organisasi ini sendiri akan memunculkan rasa saling memiliki di dalam organisasi, meningkatkan kekompakan antar anggota, menjaga stabilitas organisasi, serta mempermudah dalam pengambilan suatu keputusan (Faturahman, 2018). Mc Gregor menjelaskan dalam teori X bahwa ratarata manusia tidak menyukai tentang pekerjaan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sistem kerja yang menerapkan reward dalam pelaksanaan pekerjaan, dengan sistem reward mengharuskan manusia untuk melaksanakan pekerjaan tersebut agar mendapatkan reward, jika tidak melaksanakan pekerjaan tersebut maka reward tidak akan didapatkan. Jika dianalisis maka manusia cenderung akan melaksanakan pekerjaan jika mendapatkan sesuatu dan cenderung tidak akan melaksanakan pekerjaan jika tidak mendapatkan sesuatu. Penerapan reward secara sadar merupakan bentuk pemaksaan agar manusia mau bekerja dengan baik dan sebagai hadiahnya maka diberikannya reward tersebut (Faturahman, 2018). Manusia harus dipaksa agar mau melaksanakan pekerjaannya meskipun sebenarnya tidak menyukai pekerjaan tersebut. Setelah manusia mendapatkan apa yang yang diinginkan maka akan muncul keinginankeinginan lainnya. Sesuai dengan teori hierarki kebutuhan Maslow dimana menurut Maslow saat satu kebutuhan terpenuhi maka akan memunculkan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk diterima, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan aktualisasi diri (Iskandar, 2016). Gambaran diatas dapat dianalisis bagaimana upayaupaya manusia dalam memenuhi kebutuhannya dengan melakukan pekerjaannya dalam berorganisasi. Kemudian munculnya teori Y teori ini sebagai bentuk kritikan terhadap teori X. Teori Y memiliki pandangan bahwa manusia tidak menolak pekerjaan namun manusia akan menganggap pekerjaan tersebut sebagai sebuah kepuasan atau sebuah hukuman tergantung dari mana manusia tersebut melihat konteksnya (Faturahman, 2018). Berdasarkan dua perbedaan antara teori X dan Y tentang pandangan manusia terhadap pekerjaan maka jika dikaitkan dengan kepemimpinan maka tugas dari kepemimpinan di dalam organisasi yaitu harus bisa mengelola atau menerapkan sistem yang tepat untuk mengatasi situasi yang bisa membuat organisasi menjadi memburuk dan tidak bisa maju. Kepemimpinan yang baik harus bisa mengatur bagaimana bawahan atau anggota organisasinya agar mampu mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan job desk yang diberikan. Mampu untuk mengarahkan bawahan atau anggota organisasi untuk mengingat tujuan utama dari organsasi sendiri seperti apa agar bawahan mampu bekerja sama untuk memajukan organisasi tersebut di tengah kemajuan pesat era globalisasi. Kepemimpinan yang baik akan dijadikan kunci dalam organisasi agar organisasi tetap bertahan dan mampu berkembang. Penerapan kepemimpinan yang baik dan sesuai dengan sifat dan perilaku dari bawahan akan menjadi sebuah budaya dalam organisasi yang akan terus dilaksanakan selama organisasi terus bergerak. Kutipan dan Acuan Penelitian ini didasarkan pada Teori Kepemimpinan (Group and Exchange Theories of Leadership) dimana dalam teori ini pendapat C. Barnard dikemukakan oleh Fred Luthan (1998 dalam (Suherman, 2019). “Exchange theoris propose that group member make contribution at cost to themselves and receive benefit at a cost to the group or other member. Interaction continues because member find the social exchange mutually rewarding.” 206 Peran Penting Kepemimpinan Terhadap Budaya Organisasi Guna Mempertahankan Eksistensi di Tengah Pesatnya Globalisasi Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti Dalam kalimat tersebut dijelaskan bahwa pertukaran terjadi antara pemimpin dan anggota atau pengikutnya, sehingga teori ini berkaitan dengan penelitian ini tentang pentingnya kepemimpinan dalam organisasi untuk turut membentuk budaya organisasi. Pramudyo, A. (2013). Implementasi manajemen kepemimpinan dalam pencapaian tujuan organisasi. JBMA, 49-61. PENUTUP Simpulan Kepemimpinan memiliki peranan penting terhadap sebuah organisasi karena kepemimpinan memiliki andil dalam menjalankan sebuah organisasi. Kepemimpinan bertugas untuk mengarahkan bawahan atau anggota untuk menjalankan kewajiban atau tugasnya sesuai dengan tujuan organisasi. Kepemimpinan dijalankan oleh seorang pemimpin, dimana pemimpin yang baik tidak hanya mampu mengatur diri sendiri namun juga mampu mengatur orang lain yaitu bawahan atau anggotanya sehingga seorang pemimpin juga harus mampu memahami sisi manusia dari anggotanya dalam bentuk sifat dan perilaku. Apabila seorang pemimpin telah mampu memahami anggotanya dengan baik, maka hubungan yang terbentuk atau interaksi yang terjadi secara teratur antara pimpinan dan anggota akan membentuk sebuah budaya organisasi. Soliha, E., & Hersugondo. (2008). Kepemimpinan yang efektif dan perubahan organisasi. Fokus ekonomi, 83-93. Suherman, U. D. (2019). Pentingnya Kepemimpinan dalam Organisasi. Jurnal Ilmu Akutansi dan Bisnis Syariah , Vol 1 (2). hal: 260-274. Saran Saran yang diberikan untuk peneliti yang ingin mengkaji topik ini dalam penelitian di masa yang akan datang yaitu agar lebih memperdalam lagi pembahasan teori serta memperluas sumber literatur yang akan dijadikan acuan. DAFTAR PUSTAKA Amanda, E. A., Budiwibowo, S., & Amah, N. (2017). Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan di PDAM Tirta Taman Sari Kota Madiun. Jurnal Akutansi dan Pendidikan, Vol 6 (1). hal: 85-92. Faturahman, B. M. (2018). Kepemimpinan dalam budaya organisasi. Madani jurnal politik dan sosial kemasyarakatan, 1-11. Hakim, A., & Hadipapo, A. (2015). Peran Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Sumber Daya Manusia di Wawotobi. EKOBIS, Vol 16 (1). hal: 1-11. Iskandar. (2016). Implementasi teori hirarki kebutuhan abraham maslow terhadap peningkatan kinerja pustakawan. Khizanah al-hikmah, 24-32. Marliani, R. (2015). Psikologi Industri Organisasi. Bandung: CV. Pustaka Setia. dan 207 MENGIMPLEMENTASIKAN ENAM LANGKAH STRATEGIS DALAM PEMBELAJARAN SEBAGAI UPAYA UNTUK MENDIDIK ANAK BERKARAKTER Muhammad Akbar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Al-Mawaddah Warrahmah Kolaka, akbar@iaialmawar.ac.id Hasmiati Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Kolaka Abstrak Pendidikan tidak hanya proses mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru kepada peserta didiknya namun juga membentuk kepribadian yang baik kepada peserta didiknya. Pada umumnya masyarakat mulai sadar akan kebutuhan kita terhadap manusia yang bukan hanya cerdas secara intlektual namun baik secara emosional, punya kepribadian dan karakter yang baik. Para guru sebagai ujung tombak pendidikan diharapkan bisa memberikan solusi untuk mengatasi hal itu. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan enam langkah strategis. (1) Guru harus menjadi teladan bagi para siswa, dengan cara menampilkan contoh dan sikap yang baik baik ucapan maupun perbuatan; (2) Guru sedapat mungkin selalu memberikan penghargaan kepada apa yang dilakukan oleh siswa. Dalam aktivitas pembelajaran guru selalu memberikan apresiasi terhadap setiap prestasi siswa, bukan hanya aspek kognitif namun juga aspek yang lain; (3) Menghubungkan setiap peristiwa dalam aktivitas pembelajaran dengan nilai-nilai moral; (4) Guru harus selalu jujur dalam berbuat dan berucap (5) Membiasakan siswa melakukan adab dengan baik; (6) Berbagi kisah inspiratif tentang pengalaman ataupun kisah nyata yang dapat memberikan hikmah untuk berbuat lebih baik. Kata Kunci: strategi pembelajaran, anak berkarakter PENDAHULUAN Pendidikan sangatlah penting dan mutlak bagi setiap manusia untuk menyempurnakan diri manusia secara terus menerus. Pendidikan tidak hanya proses mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru kepada peserta didiknya namun juga membentuk kepribadian yang baik kepada peserta didiknya. Pendidikan berupaya untuk membentuk peserta didik yang unggul dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) maupun ketrampilan (skill). Pendidikan di Indonesia yang ada sekarang dalam keadaan belum berhasil sepenuhnya terutama dalam hal penanaman karakter pada peserta didik. Beberapa tahun belekang ini, diskursus kajian mengenai pendidikan karakter atau pendidikan yang berbasis pada pembangunan karakter menjadi pembahasan yang ramai dibicarakan, baik di dunia pendidikan ataupun di kalangan masyarakat pada umumnya. Pada umumnya masyarakat kita mulai sadar akan kebutuhan kita terhadap manusia yang bukan hanya cerdas secara intlektual namun baik secara emosional, punya kepribadian dan karakter yang baik. Menurut (Hamid & Saebani, 2013) karakter dimaknai sebagai memfokuskan tata cara mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan dan tingkah laku Untuk itulah berbagai riset coba dilakukan, dalam rangka menemukan solusi alternative menyelesaikan persoalan karakter siswa. Ratnawati (2018) menawarkan solusi dengan cara menjadikan guru sebagai role model pendidikan karakter. Begitupun dengan (Sauqi & Prasandha, 2018) menawarkan solusi pemberian materi cerita inspiratif. Dan adapula yang menggunakan model pembelajaran search, solve, create, and share (Assidiqi, 2015) Pada dasarnya semua penelitian tersebut diatas bermuara pada satu hal, yakni peran sentral seorang guru. Pendidikan hakikatnya tidak lepas dari peran sentra seorang guru. Guru berperen penting sebagai ujung tombak proses belajar mengajar serta proses penyelenggaraan pendidikan. Guru adalah aktor utama dalam kegiatan pendidikan sekaligus orang yang menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Maka kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas pembelajaran, dan kualitas pembelajaran ditentukan oleh kualitas guru, dengan kata lain guru kualitas menentukan kualitas pendidikan. Sebagai guru harus mampu menggunakan strategi pembelajaran yang digunakan dalam mengajar, guru harus mengelola kelas dengan berbagai strategi pembelajaran sesuai dengan materi yang diajarkan.Dalam menggunakan strategi pembelajaran, guru hendaknya mampu mengelola semua komponen yang ada dalam kegiatan proses 208 Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter Muhammad Akbar, Hasmiati pembelajaran hendaknya disusun secara sistematis untuk membantu memudahkan murid belajar. Komponen-komponen dalam kegiatan proses pembelajaran antara lain guru, murid, materi, strategi, metode, alat atau media, dan waktu. Tugas untuk menyusun rencana dan melaksanakan strategi pembelajaran memerlukan suatu kemampuan dari guru. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran akan memberikan landasan ilmiah tentang bagaimana menyusun dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dapat memudahkan siswa belajar sehingga tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan nasional. Guru dituntut untuk menguasai pengetahuan yang luas mengenai pendidikan dan sejumlah besar keterampilan professional dalam pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa mengajar di sekolah dasar khususnya dalam pendekatan pembelajaran hendaknya mengutamakan prinsip murid agar ia senang belajar. (Masitoh & Laksmi, 2009:7) Guru memiliki peranan penting dalam membentuk karakter peserta didik. Untuk itu guru harus berusaha menjadi guru yang ideal dalam pandangan siswa, selain menjadi contoh moralitas yang baik, guru juga diharapkan memiliki wawasan pengetahuan yang luas sehingga materi yang disampaikan dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang lain. Guru juga harus mampu memahami kondisi psikologi setiap murid. Sehingga dengan demikian, maka guru dalam melakukan aktivitas transfer nilai tidak hanya diberikan dalam bentuk yang monoton, tetapi Guru dapat berkreasi dalam memberikan strategi. Untuk itulah kami merumuskan enam langkah strategis untuk menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih menekankan pada makna dan proses daripada hasil suatu aktivitas. Menurut Sugiyono, (2007) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang didasarkan pada filsafat postpositivisme. Metode ini digunakan untuk meneliti suatu obyek yang kondisinya bersifat alamiah dan pada penelitian ini posisi peneliti bertindak sebagai instrument kunci. Adapun penelitian ini didasarkan pada pengalaman penulis sebagai seorang tenaga pendidik dalam menerapkan enam langkah strategis ini dalam pembelajaran untuk memberikan makna pendidikan karakter kepada para siswa. PEMBAHASAN Guru adalah pendidik professional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik atau siswa. Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan karakter, Guru menjadi ujung tombak keberhasilan tersebut. Guru, sebagai sosok yang dijadikan contoh memiliki peran penting dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai seorang pendidik, guru menjadi model terbaik dalam kacamata anak, guru akan menjadi patokan bagi sikap dan ucapan peserta didik. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa setiap guru harus memiliki tiga kompetensi utama, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi professional. kompetensi kepribadian yang baik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru yang berkaitan erat dengan tugas dan fungsinya sebagai seorang guru dalam proses pembelajaran. Kemampuan pedagogik adalah ilmu yang berkaitan dengan desain dan strategi pembelajaran pada saat guru mengajar.(Rusman, 2014) Inilah salah satu kemampuan yang mesti terus diasah dan di-upgrade sebab ilmu pendidikan senantiasa berkembang setiap waktu. Peranan Strategi Pembelajaran Menjadi seorang guru tidaklah semudah yang dibayangkan. Itulah sebabnya guru adalah jabatan profesi. Artinya seorang guru adalah orang yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan sebagai seorang guru. Dengan demikian, guru idealnya memiliki strategi yang terencana dan sistematis berdasarkan pengalaman pembelajaran di setiap kelas dalam sebuah sekolah. Suparman (1997:157) mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran adalah keseluruhan proses dari urutan kegiatan, mengorganisasikan materi pelajaran, alat dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran. Dalam upaya membentuk kemampuan siswa guru perlu untuk mendesain sebuah cara yanag efektif. Cara efektif itulah yang dimaksud dengan strategi. Strategi adalah salah satu komponen yang sangat penting dalam pembelajaran. Strategi diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu keberadaannya harus ada dalam setiap proses pembelajaran. Penggunaan strategi sedapat mungkin harus menciptakan terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru sehingga proses pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal. 209 Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter Muhammad Akbar, Hasmiati Berbagai kegiatan yang ada dalam strategi merupakan proses pengorganisasian materi pelajaran secara teratur melalui peralatan, bahan dan waktu untuk sebuah tujuan pembelajaran.Sehingga ketercapaian proses pembelajaran selaras dengan strategi yang telah ditentukan sebelumnya. Walaupun seperti itu, seorang guru juga harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi waktu penerapan strategi dalam proses pembelajaran. Strategi merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan. Sebuah tujuan tidak akan tercapai jika strategi yang direncanakan tanpa konsep dan analisa di lapangan secara nyata. Pentingnya strategi bisa dijadikan sebagai landasan penerapan, makanya penerapan strategi perlu dikaji terlebih dahulu agar tujuan tercapai sesuai harapan. Strategi yang tepat adalah mengkombinasikan antara teori dan pengelaman. Apabila strategi belum mencapai hasil yang maksimal maka kita perlu untuk menganalisis sebab sehingga strategi itu tidak berjalan sesuai harapan. Setiap hasil yang tidak sesuai harapan maka perlu ada perbaikan ditahapan strategi selanjutnya. Jangan berhenti pada satu level untuk mengenal strategi, butuh ketelitian, kejelian, kesabaran demi sebuah tujuan sesua harapan. Mengingat arti penting strategi dalam aktivitas pembelajaran maka sudah sepantasnya setiap guru memiliki strategi pembelajaran yang kreatif dalam mendidik siswa. Enam Langkah Strategis Membentuk Anak Berkarakter a. Menjadi Teladan bagi Siswa Guru dalam lingkup persekolahan adalah orang dipandang sebagai orang tua oleh para siswanya. Ini berarti siswa melihat dan menjadikan guru sebagai contoh dalam bertutur dan berperilaku. Kondisi ini menjadikan guru harus pandai dalam menjaga ucapan, sikap dan perilakunya agar mampu memberikan contoh yang terbaik. (Akbar, 2019) mengungkapkan bahwa sikap seorang guru yang layak diteladani merupakan salah satu metode yang ampuh dan efektif dalam membentuk anak yang berkarakter. Sebab, seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru, disadari atau tidak, bahkan semua keteladanaan itu akan melekat dalam diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan. Bahkan tidak jarang kita dapati anak yang lebih mempercayai apa yang dikatakan gurunya dibanding ucapan orang tuanya. Sejalan dengan itu Ratnawati (2018) mengungkapkan bahwa keteladanan guru di sekolah adalah cara yang paling efektif untuk menumbuhkan kembangkan sikap perilaku yang baik pada peserta didik. Guru dapat menjadi model dalam pembelajaran pendidikan karakter, pendidikan karakter kebangsaan (nasionalisme) atau pendidikan karakter keagamaan (akhlak). Secara psikologi manusia butuh sesuatu untuk diteladani. Yang dimaksud teladan disini adalah motivasi yang mendorong anak atau seseorang untuk mencontoh perilaku orang dewasa, atau orang yang dinilai mempunyai pengaruh. Keteladanan memiliki peranan penting dalam mendidik anak. Implementasi dari keteladanan ini adalah orangtua dan guru menjadi figur yang akan ditiru oleh anak di mana setiap perbuatan dari orang tua dan guru tersebut harus diperhatikan. Mulai dari cara dia berpakaian, cara bertingkah laku dan attitude yang baik, cara bicara yang sopan dan penuh kasih saying. Semua ini, jika terlaksana dengan baik, secara langsung anak akan menirunya. Keteladanan adalah pembiasaan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu. Dengan mengingat peran penting guru sebagai model keteladanan siswa, maka guru akan lebih berhati-hati dalam berucap dan bersikap. b. Memberi Apresisasi Seorang guru dalam proses pembelajaran seyogyanya tidak hanya mengejar nilai akademis siswa, tetapi sedapat mungkin juga mengapresiasi usaha siswanya. Sebagai seorang guru, menilai siswa dari sisi akademis memang penting, namun perlu diingat bahwa menghargai setiap proses yang dilakukan siswa juga tidak kalah pentingnya. Dalam proses pembelajaran, memberikan apresiasi kepada siswa sangat penting. Apresiasi merupakan pujian atau penghargaan yang diberikan kepada orang lain atas keunggulannya. Walau demikian, kadangkala kita mendapati sebahagian guru yang masih menganggap remeh, tidak penting, atau bahkan sepele. Padahal efek apresiasi sangatlah luar biasa, terlebih untuk siswa dalam proses pembelajaran. Saat guru mengajar, pasti akan ada yang namanya kesulitan, baik dalam cara menyampaikan atau penerimaan materi oleh siswa. Untuk mengatasinya, salah satunya adalah dengan cara memberikan apresiasi kepada siswa. Pemberian apresiasi terbukti memberikan motivasi kepada siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat (Uzer Usman, 2006) penguatan bermanfaat untuk meningkatkan perhatian siswa 210 Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter Muhammad Akbar, Hasmiati terhadap pelajaran; merangsang dan meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kegiatan belajar serta membina tingkah laku siswa yang produktif Cara sederhana dalam proses belajar mengajar adalah guru harus bisa mengapresiasi usaha siswa tanpa selalu membandingkan dengan nilai yang didapatkan dengan temannya apalagi memvonisnya. Guru juga bisa memberikan pujian bagi siswa datang lebih awal, rajin mengerjakan tugas, atau bersikap baik selama di sekolah. Dengan membiasakan hal kecil seperti itu, siswapun akan dapat mengapresiasi diri atas usaha yang telah dilakukannya. Sehingga, akan terbangun karakter yang terus mau belajar dan memperbaiki diri untuk lebih baik. c. Mengajarkan Nilai Moral di setiap Pembelajaran Guru mengajarkan mata pelajaran adalah hal yang lumrah karena memang hal itu termaktub dibuku-buku acuan guru dalam memberikan pelajaran. Namun berbeda dengan moral, guru harus cerdas menanamkan hal ini kepada para siswa. Untuk itu, ada baiknya dalam setiap pelajaran, guru juga menanamkan nilai moral yang bisa dijadikan bahan pelajaran hidup. Misalnya, saat mengajarkan Matematika guru tidak hanya sekadar memberikan rumus dan cara pengerjaan kepada siswa. Tetapi juga bisa mengajarkan nilai kehidupan seperti dengan mengerjakan soal Matematika kita bisa belajar untuk bersabar dan berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan mengasah logika berpikir. Pada saat memberikan tugas guru menanamkan pentingnya memiliki sikap kejujuran. Guru harus sedapat mungkin menhubungkan antara materi pelajaran yang diberikan dengan nilai-nilai moral yang relevan dengan kehidupannya. d. Jujur dalam berkata dan berbuat Guru adalah seorang manusia biasa, ia tidak luput dari suatu kesalahan meski tidak pernah berniat melakukan hal itu atau tanpa sengaja. Misalnya, suatu ketika guru datang terlambat, salah dalam mengoreksi jawaban siswa. Ketika guru mendapati hal demikian, guru sebaiknya mau mengakui kesalahan yang dibuat sekecil apapun itu untuk memberikan contoh yang baik kepada para siswa. Sehingga hal itu akan teringat dalam diri siswa untuk bersikap yang sama ketika melakukan kesalahan meski tidak disengaja. Mungkin terkadang ada rasa gengsi, tetapi tetap harus dilakukan, karena itu bisa menjadi pelajaran yang baik pada siswa. Bahwa sebagai manusia kita harus berani jujur sama diri sendiri dan mau mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Guru tidak boleh mencari-cari alasan pembenaran atas sikapnya yang salah. Dengan demikian, maka para siswa akan belajar untuk memperbaiki kesalahannya dan berani bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya. e. Membiasakan Siswa Menunjukan Adab yang Baik Hal yang sering luput diajarkan di sekolah adalah bagaimana cara bersikap sopan santun. Mungkin terdengar sederhana, tetapi ini merupakan hal penting yang layak diajarkan kepada siswa untuk menjaga sikap dan mengetahui mana yang benar dan salah. Tidak jarang guru menemui siswa yang bersikap tidak sopan hanya karena mereka tidak tahu bagaimana cara bersikap yang baik dan benar. Atau malah selama ini mereka mencontoh sikap negatif orang di sekitarnya. Sehingga mereka menganggap itu sebagai hal yang lumrah. Ada baiknya, ketika ada siswa bersikap kurang baik atau kurang sopan, guru berperan untuk mengoreksi sikap tersebut. Jangan memarahi, tetapi cukup mengingatkan saja bahwa sikapnya itu kurang baik dan berikan alternatif tindakan lain yang lebih positif. Gunakan pendekatan yang halus namun mengena. f. Berbagi Kisah Inspiratif Kisah adalah metode pendidikan karakter yang paling praktis. Dengan kisah kita mampu belajar bagaimana bersikap dan melakukan sesuatu. Alquran sebagai pedoman hidup seorang muslim mengajarkan kita tentang hal itu. oleh (Hanafi, 1984:22) menjelaskan bahwa dari 6666 ayat dalam Alquran. 1600 diantaranya adalah kisah. Ini menandakan bahwa kisah mendapat tempat tersendiri dalam pembelajaran Alquran. Al-Jamaly dalam (Rahmawati & As’ ad, 2018) mengatakan bahwa dalam cerita terdapat pendidikan dan sasaran moral yang bisa menyentuh hati seseorang sehingga dapat menggugah, merangsang serta mendorong anak untuk dapat mengerjakan berbagai macam sikap yang baik dan meninggalkan bisikan-bisikan syetan. Cerita bisa juga membuat pembaca atau pendengarnya cenderung untuk melakukan perbuatan yang baik. Untuk itu dalam upaya mengajarkan moral kepada siswa, sedapat mungkin guru selalu memberikan kisah teladan yang bersumber dari kisah orang lain atau true story yang pernah didengarkan atau dialami. Tidak harus cerita yang hebat untuk menginspirasi, sekecil apapun pengalaman yang diceritakan tetap bisa menjadi pembelajaran yang berguna untuk para siswa 211 Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter Muhammad Akbar, Hasmiati PENUTUP Simpulan Untuk menjadi guru yang hebat, guru dituntut untuk memiliki banyak cara kreatif untuk mengajarkan siswa. Salah satu diantaranya adalah mendesain aktivitas pembelajaran yang didasarkan pada karakteristik siswa yang dihadapinya. Salah satu formula strategi yang bisa diupayakan dalam pendidikan karakter dalam aktivitas pembelajaran adalah (1) Guru harus menjadi teladan bagi para siswa; (2) Guru sedapat mungkin selalu memberikan penghargaan kepada apa yang dilakukan oleh siswa walaupun belum sesuai apa yang diharapkan; (3) Menghubungkan setiap peristiwa dalam aktivitas pembelajaran dengan nilai-nilai moral; (4) Guru harus selalu jujur dalam berbuat; (5) Membiasakan siswa beradab dengan baik; (6) Berbagi kisah inspiratif Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sauqi, A & Diyamond Prasandha. Penggunaan Materi Cerita Inspiratif Untuk Menumbuhkan Nilai Konservasi Moral Pada Siswa SMP. Prosiding Seminar Nasional II Pascasarjana UNS 2018. Sugiyono, (2007). Pendekatan Kuantitatif. Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta. Uzer Usman, M. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Saran Penelitian ini bisa menjadi rekomendasi oleh para guru untuk dilakukan dalam aktivitas pembelajaran. Dengan strategi ini diharapkan bisa menjadi cara untuk memberikan pendidikan karakter kepada para siswa. DAFTAR PUSTAKA Akbar, M. (2019). Mendidik Siswa dengan Prinsip Keteladanan. Jurnal Teknologi Pendidikan Madrasah, 2(1), 89–96. DOI: 10.5281/zenodo.2575867 Assidiqi, H. (2015). Membentuk Karakter Peserta Didik Melalui Model Pembelajaran Search, Solve, Create, And Share. Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1), 45–55. DOI : https://doi.org/10.33654/math.v1i1.94 Hamid, H., & Saebani, B. A. (2013). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hanafi, A. (1984). Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al Qur’an. Jakarta : Pustaka Alhusna. Masitoh & Laksmi, D. (2009). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Depag RI. Rahmawati, A., & As’ ad, A. (2018). Penguatan Pendidikan Karakter Dengan Qashash Al-Qur’an. Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, 15(1). DOI : 10.34001/tarbawi.v15i1.722 Ratnawati. (2018). Peranan Guru Sebagai Model Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan . STKIP Andi Matappa Pangkep, 05 Mei 2018. ISSN : 2620-9136 212 PENERAPAN KEPEMIMPINAN UNTUK MENCAPAI KEMAJUAN ORGANISASI (SEBUAH STUDI LITERATUR TENTANG KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI) Safira Salsabila Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, safira.17010664175@mhs.unesa.ac.id Jimmy Nugroho Mukti Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, jimmy.17010664185@mhs.unesa.ac.id Abstrak Artikel ini bertujuan untuk membahas dan mengkaji mengenai penerapan kepemimpinan yang dilakukan untuk mencapai kemajuan suatu organisasi. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini yaitu studi literatur, yang mana data diperoleh dengan cara mengkaji berbagai sumber literatur. Studi literatur yang dilakukan mencakup tentang kepemimpinan yang ada dalam organisasi. Hasil dari studi literatur menunjukan bahwa kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah organisasi. Pemimpin dalam organisasi memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan mengarahkan anggotanya untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusi yang lebih banyak untuk organisasi. Pemimpin dengan kemampuan kepemimpinan yang baik akan mampu mencapai tujuan bersama serta menjadi penentu keberhasilan suatu organisasi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepemimpinan yaitu keyakinan, harapan, rasa optimis, keuletan, interpretasi moral, dan pengalaman yang ada pada diri pemimpin tersebut. Dalam penerapan kepemimpinan di sebuah organisasi, terdapat tantangan yang akan dihadapi. Tantangan tersebut yaitu ketika adanya perubahan dalam organisasi tersebut. Perubahan yang muncul dalam organisasi tersebut akan memicu seorang pemimpin untuk menentukan gaya kepemimpinan yang terpat untuk diterapkan. Kata Kunci: Kepemimpinan, Pemimpin, Organisasi PENDAHULUAN Organisasi merupakan suatu wadah bagi siapa saja untuk bersosialisasi dan mempelajari sesuatu yang baru. Organisasi tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang sudah bekerja saja, tetapi juga untuk para pelajar dan siapapun itu yang ingin memperoleh pengetahuan dan pengalaman lebih banyak. Organisasi berisikan sekumpulan orang yang memiliki visi dan misi yang sama demi tercapainya tujuan bersama. Untuk mencapai tujuan tersebut, para anggota akan saling melakukan kerjasama untuk mewujudkannya (Sulaksono, 2019). Kementerian dalam negeri Republik Indonesia (2019) menyatakan bahwa terdapat sebanyak 420.381 organisasi kemasyarakatan yang terdaftar di negara ini. Jumlah tersebut tentunya merupakan jumlah yang cukup besar. Jenis organisasi yang ada pun beranekaragam seperti organisasi berbadan hukum, perkumpulan, hingga yayasan. Dalam beberapa penelitian atau literatur menunjukan bahwa salah satu faktor keberhasilan suatu organisasi adalah berdasarkan kepemimpinan yang ada di dalamnya. Pramudyo (2013) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah penentu berhasil atau tidaknya suatu organisasi. Kepemimpinan akan mengarahkan anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan organisasi. Selain itu, kepemimpinan juga dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam sebuah organisasi. Faturahman (2018) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan penentu utama bagi suatu organisasi dalam hal pencapaian tujuannya. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai “kepemimpinan dalam organisasi”. METODE Penelitian ini menggunakan metode studi literatur terhadap buku, artikel ilmiah, dan sumber literatur lainnya. Studi literatur merupakan metode pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber kepustakaan tanpa perlu terjun ke lapangan (studi lapangan) (Zed, 2008). Metode studi literatur ini memiliki beberapa ciri, yaitu: (a) peneliti yang menggunakan metode ini hanya akan menemui data berupa naskah dan angka, tidak termasuk kejadian maupun saksi mata; (b) data yang digunakan dalam metode ini merupakan data yang bersifat siap pakai; (c) data yang diperoleh dari metode ini berupa data sekunder; dan (d) data yang diperoleh dari metode ini tidak dibatasi oleh ruang maupun waktu (Hermawan, 2019). Oleh karena atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, peneliti lebih memilih menggunakan metode studi literatur. 213 Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam Organisasi) Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti PEMBAHASAN Kepemimpinan Pemimpin memegang peranan penting dalam rangka menggerakkan orang yang berada dibawahnya, keterampilan kepemimpinan yang dimiliki harus baik dan efektif sehingga dapat membangun, mendorong, dan meningkatkan kualitas kinerja bawahannya yang berdampak pada mencapainya keberhasilan tujuan organisasi (Badu & Djafri, 2017). Menurut Griffin dan Ebert (Khamdani, 2014) kepemimpinan (leadership) merupakan suatu proses memotivasi karyawan atau anggota yang bertujuan agar dapat mencapai tujuan tertentu sesuai dengan yang ditetapkan. Sedangkan menurut Cisma (2017) gaya kepemimpinan adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang dan strategi yang dibentuk sebagai hasil kombinasi dari keterampilan sifat sikap yang bertujuan mempengaruhi kinerja karyawannya atau anak buahnya. Menurut Robert gaya kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin melaksanakan fungsi kepemimpinannya dan bagaimana ia dilihat oleh mereka yang berusaha dipimpinnya atau mereka yang mungkin sedang mengamati dari luar (Indriyati, 2017). Kepemimpinan ini biasanya digunakan untuk mengelola suatu organisasi dengan dihubungkan bagaimana upaya atau usaha dari seseorang tersebut dalam organisasi kesusasteraan yang memiliki pengaruh untuk golongan masyarakat dilingkungannya (Din & Abdul, 2016). Gaya kepemimpinan merupakan sebuah perilaku yang dijadikan suatu strategi yang dilakukan oleh seorang pemimpin dimana didalamnya perilaku yang mencangkup sikap, sifat, dan keterampilan yang digunakan untuk berkomunikasi dan mempengaruhi karyawan atau kinerja bawahannya (Salahudin, Lengkong, & Tulung, 2018). Teori Kepemimpinan Kepemimpinan memiliki beberapa teori yang masingmasing dapat dikaji dan dipelajari. Nur (2017) menyatakan jika ditinjau dari sejarah perkembangannya, terdapat tiga teori yang dapat dikaji. Teori yang pertama yaitu teori genetis atau keturunan. Teori ini menyatakan bahwa setiap individu dapat menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh tiap individu sejak lahir. Teori yang kedua yaitu teori sosial. Teori ini berkebalikan dengan teori genetis atau keturunan. Teori ini menyatakan bahwa setiap individu dapat menjadi pemimpin apabila dididik dan memiliki pengalaman yang cukup luas. Selain itu teori ini juga menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya seorang pemimpin tidak hanya berdasarkan sifat yang dimiliki, tapi juga mengacu pada kelompok yang ia pimpin. Teori yang ketiga yaitu teori ekologis. Teori ini menyatakan bahwa setiap individu dapat dikatakan berhasil menjadi pemimpin apabila memiliki bakat dalam kepemimpinan. Bakat kepemimpinan yang dimaksud diperoleh dari pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh individu tersebut. Mataputun (2018) menyatakan terdapat enam teori mengenai kepemimpinan yang secara umum dapat dikaji. Teori yang pertama yaitu teori kepemimpinan orang besar atau a great man theory. Hampir sama seperti teori genetis yang telah dipaparkan sebelumnya, teori ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin sejak ia lahir. Namun dalam teori ini juga dijelaskan bahwa hanya individu yang memiliki kemampuan saja yang dapat menjadi seorang pemimpin, dalam artian tidak semua individu dapat menjadi seorang pemimpin atau terlahir dengan kemampuan untuk menjadi pemimpin. Teori yang kedua yaitu teori kepemimpinan perilaku atau behavioral theory. Teori ini menyatakan bahwa kepemimpinan setiap individu diamati berdasarkan aspek perilaku. Teori yang ketiga yaitu teori kepemimpinan situasional atau kontigensi. Teori ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan situasi yang ada. Situasi yang dimaksud dapat mengacu pada anggota yang dipimpin, serta sifat dan perilaku yang dimiliki oleh pemimpin. Teori yang keempat yaitu teori kepemimpinan transaksional. Teori ini menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah bentuk kontrak sosial antara pemimpin dengan anggotanya. Teori ini menjelaskan bahwa kepemimpinan transaksional merupakan cara yang dilakukan oleh seorang pemimpin untuk menggerakkan anggotanya supaya memberikan kontribusi yang lebih kepada kelompok atau organisasi. Teori yang kelima yaitu teori kepemimpinan transformasional. Teori ini menyatakan bahwa yang dimaksud dari kepemimpinan transformasional yaitu kemampuan yang dimiliki oleh individu mengenai cara penyampaian harapan, memberikan perhatian, melakukan interaksi, dan upaya pengembangan sumber daya manusia demi tercapainya tujuan bersama. Untuk itu, pemimpin perlu menyampaikan visi dan misi organisasi kepada anggotanya untuk tercapainya tujuan yang diharapkan. Dan teori yang terakhir yaitu teori kepemimpinan pancasila. Teori ini menyatakan bahwa kepemimpinan harus didasarkan 214 Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam Organisasi) Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti pada pancasila yang mana merupakan ideologi negara Indonesia. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepemimpinan Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sebuah kepemimpinan dalam suatu organisasi. Beberapa tokoh memiliki pendapat tersendiri mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepemimpinan dalam organisasi. Timotious (2016) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kepemimpinan yaitu keyakinan, harapan, rasa optimis, keuletan, interpretasi moral, dan pengalaman. Hidayatullah dan Dahlan (2019) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kepemimpinan yaitu terdiri dari: (a) kepribadian, pengalaman, dan harapan yang dimiliki; (b) harapan dan perilaku atasan; (c) karakteristik, harapan, dan perilaku bawahan; (d) kebutuhan tugas; (e) aturan dalam organisasi; serta (f) harapan dan perilaku rekan kerja. Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt (dalam Suparman, 2019) menyatakan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan gaya kepemimpian yang sekiranya cocok untuk diterapkan dalam suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut yaitu: (a) kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri individu yang terdiri dari sistem nilai, rasa percaya terhadap anggota organisasi, kecenderungan kepemimpinan yang ada pada dirinya, dan rasa aman ataupun tidak aman; (b) kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri anggota organisasi yang terdiri dari kebutuhan mengenai kebebasan, kebutuhan mengenai peningkatan tanggung jawab, ketertarikan dan keahlian dalam pemecahan masalah, serta harapan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan; (c) kekuatan-kekuatan yang muncul dari sebuah situasi yang terdiri dari tipe organisasi, efektifitas kelompok, tuntutan waktu, dan sifat dari masalah yang ada. Soekarso dan Putong (2015) juga menyatakan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepemimpinan. Faktor-faktor tersebut yaitu: (a) seorang pemimpin itu sendiri; (b) anggota yang dipimpin; (c) kekuasaan yang dimiliki; (d) pengaruh; (e) nilai; dan (f) tujuan. Kepemimpinan dalam Organisasi Menurut Crow, Matthews, dan McCleary kepemimpinan dalam organisasi ialah kepemimpinan yang bersifat kualiti personal atau pribadi, dimana kepemimpinan merupakan sebuah tingkah laku yang berhubungan dengan situasi, dan moral yang mempengaruhi cara berfikir sistematik pemimpin (Din & Abdul, 2016). Biasanya pemimpin didalam organisasi sering dikenal sebagai manajer, akan tetapi pemimpin dan manajer ialah hal yang beda dimana manajer lebih kedalam konsep perancanaan, pengendalian, dan pengorganisasian. Di dalam organisasi terdapat sumber daya manusia yang dapat dioptimalkan dan dikelola, sumber daya pengelolaan harus dilakukan dengan baik dan efektif. Hal tersebut menjadi tanggung jawab seorang pemimpin atau manajerial yang terdapat didalam perusahaan tersebut. Selain itu pemimpin juga harus dapat menyusun strategi dan mampu untuk mengkoordinasi semua lingkup yang ada didalam organisasi tersebut terumasuk sumber daya. Kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin dapat mampu membedakan karakteristik organisasinya dengan organisasi yang lain, potensi yang paling utama ialah kepemimpinan yang bersifat dinamis dan harus efektif (Tiogas & Walukow, 2014). Kepemimpinan ialah salah satu kunci bergeraknya organisasi yang dapat membangun suatu perubahan yang baik, kemudian kepemimpinan dipercayai sebagai keberhasilan suatu organisasi dimana seorang pemimpin memiliki posisi yang sangat dominan dalam membuat suksesnya organisasi tersebut (Pramudyo, 2013). Soliha dan Hersugondo (2008) menyatakan bahwa kepemimpinan yang bersifat efektif dipengaruhi oleh pemimpin yang mampu memberikan pengaruh dan arahan kepada para anggotanya. Tantangan terbesar dalam kepemimpinan yaitu ketika terjadi perubahan dalam suatu organisasi. Hal tersebut dikarenakan pemimpin akan dihadapkan pada pilihan mengenai gaya kepemimpinan yang tepat dan sekiranya dapat diterapkan pada organisasi tersebut. Kepemimpinan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu organisasi. Hal tersebut dikarenakan kepemimpinan menjadi titik pusat dari sebuah perubahan yang signifikan dalam suatu organisasi, menjadi kepribadian yang dapat memberikan pengaruh, serta termasuk dalam seni yang membuat keselarasan serta kestabilan organisasi. Pemimpin memiliki peran yang sangat penting dalam suatu organisasi. Pemimpin memiliki tugas untuk mengatasi konflik atau permasalahan yang terjadi dalam organisasi dan sebagai koordinator dalam aktivitas organisasi yang mengarah pada pencapaian tujuan organisasi tersebut (Suherman, 2019). Chairil, Darwis, dan Jamaluddin (2016) menyatakan bahwa kepemimpinan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi kerja. Hal tersebut menandakan 215 Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam Organisasi) Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti semakin baik kepemimpinannya, maka semakin baik pula motivasi kerja yang muncul. Gaya kepemimpinan berkaitan dengan komunikasi organisasi dan budaya organisasi. Jika gaya kepemimpinan dan komunikasi organisasi dikembangkan dengan baik, maka dapat membentuk budaya organisasi menjadi lebih baik dan terkendali pada suatu organisasi. Gaya kepemimpinan dan komunikasi organisasi merupakan faktor utama dalam pembentukan budaya organisasi. Budaya organisasi yang baik dapat menambah pengetahuan serta optimisme dalam menjalankan pekerjaan (Harsono, Supratomo, & Faria, 2015). Gaya kepemimpinan dan komunikasi organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan budaya organisasi. Semakin baik gaya kepemimpinan dan komunikasi organisasi, maka semakin baik pula budaya organisasi yang terbentuk, begitu juga sebaliknya (Harsono, Supratomo, & Faria, 2015). PENUTUP Simpulan Pemimpin mempunyai peran yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan suatu organisasi. Sehingga kepemimpinan dalam organisasi sangatlah penting. Seorang pemimpin dapat menggerakkan serta mengarahkan anggotanya untuk berpartisipasi atau memberikan kontribusi yang lebih banyak untuk mencapai tujuan bersama dalam organisasi. Setiap organisasi memiliki karakteristik dan budaya organisasi yang berbeda-beda, maka pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinan seperti apa yang akan diterapkan. Saran Untuk penelitian berikutnya, diharapkan untuk menambah lebih banyak referensi supaya data yang diperoleh semakin kaya. Referensi yang digunakan diharapkan merupakan referensi terbaru dengan usia maksimal 10 tahun supaya data yang diperoleh merupakan data yang akurat. Selain itu, untuk penelitian berikutnya juga dapat menggunakan dua macam variabel. Hal tersebut dilakukan agar dapat menambah pengetahuan atau wawasan baru mengenai topik ini. DAFTAR PUSTAKA Badu, S. Q., & Djafri, N. (2017). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Ideas Publishing: Gorontalo. Chairil, A., Darwis, M., & Jamaluddin. (2016). Pengaruh fungsi kepemimpinan terhadap motivasi kerja pegawai pada kantor dinas pendidikan Kabupaten Sinjai. Jurnal Office , 1-8. Cisma, F. (2017). Leadership styles and employee performance. IRE Journals , 6-10. Din, G., & Abdul, A. H. (2016). Kepemimpinan kesukarelaan dalam organisasi kesusteraan. Journal of Malay Language, Education, and Literature , 52-62. Faturahman, B. M. (2018). Kepemimpinan dalam budaya organisasi. MADANI Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan , 1-11. Harsono, A. Y., Supratomo, & Faria, M. (2015). Analisis gaya kepemimpinan dan komunikasi organisasi antara atasan-bawahan dalam membangun budaya organisasi di lingkungan sekretariat dprd Kota Bengkulu. Jurnal Komunikasi KAREBA , 328-343. Hermawan, I. (2019). Metodologi penelitian pendidikan: Kuantitatif, kualitatif, dan mixed methode. Kuningan: Hidayatul Quran Kuningan. Hidayatullah, M. N., & Dahlan, M. Z. (2019). Menjadi kepala sekolah ideal, efektif & efisien. Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi. Indriyati, E. S. (2017). Pengaruh gaya kepemimpinan, motivasi, dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan dengan pemahaman etika kerja islami. Upajiwa Dewantara , 134-146. Khamdani, P. (2014). Kepemimpinan dan pendidikan islam. Jurnal Madaniyah , 259-276. Lebih dari 400 ribu ormas terdaftar di Indonesia. (2019, Agustus 1). Dipetik April 30, 2020, dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia: https://www.kemendagri.go.id/berita/baca/22589/ Lebih-dari-400-Ribu-Ormas-Terdaftar-diIndonesia Mataputun, Y. (2018). Kepemimpinan kepala sekolah: Berbasis kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual terhadap iklim sekolah. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. Nur, P. (2017). Kepemimpinan. Yogyakarta: Relasi Inti Media. Pramudyo, A. (2013). Implementasi manajemen kepemimpinan dalam pencapaian tujuan organisasi . JMBA , 49-61. Salahudin, D., Lengkong, V., & Tulung, J. E. (2018). Pengaruh komunikasi dan gaya kepemimpinan serta budaya organisasi terhadap komitmen organisasi dan dampaknya pada kepuasan kerja pegawai negeri sipil pada kantor kecamatan se Kota Kotamobagu. Jurnal EMBA , 1858-1867. Soekarso, & Putong, I. (2015). Kepemimpinan: Kajian teoritis dan praktis. Buku&Artikel Karya Iskandar Putong. 216 Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam Organisasi) Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti Soliha, E., & Hersugondo. (2008). Kepemimpinan yang efektif dan perubahan organisasi. Fokus Ekonomi , 83-93. Suherman, U. D. (2019). Pentingnya kepemimpinan dalam organisasi. Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah , 259-274. Sulaksono, H. (2019). Budaya organisasi dan kinerja. Sleman: Deepublish. Timotius. (2016). Kepemimpinan dan kepengikutan: teori dan perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Tiogas, D., & Walukow, A. (2014). Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, supervisi dan kepuasan kerja guru terhadap kinerja guru mipa di Yayasan Pendidikan Advent Timika. Jurnal Ilmu Pendidikan Indonesia , 41-51. Zed, M. (2008). Metode penelitian kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 217 PERBEDAAAN OCB DITINJAU DARI JENIS KELAMIN PADA ANGGOTA DPM FAKULTAS X UNESA Gilang Rahmadani Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, glngrhmdn@gmail.com Ratih Ayu Dwi Arindawanti Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, ratiharinda09@gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat Organizational Citizenship Behavior (OCB) ditinjau dari jenis kelamin pada anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas X Universitas Negeri Surabaya, karena dalam kemajuan organisasi diperlukan tindakan dan pengambilan keputusan yang inisiatif untuk kemajuan suatu organisasi. Laki-laki dan perempuan dinilai memiliki perbedaan dalam berbagai aspek termasuk dalam kontribusi di dunia organisasi. Peneliti dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis komparatif. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas “X” Universitas Negeri dengan menggunakan sampel jenuh yaitu keseluruhan anggota yang berjumlah 57 orang dengan klasifikasi 36 anggota perempuan dan 21 anggota laki-laki. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu skala kuisioner organizational citizenship behavior, dengan teknik analisis data menggunakan Uji Independen t-tes. Analisis data menggunakan Uji Independen T-tes menunjukkan hasil taraf signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang maknanya adalah terdapat perbedaan tingkat OCB berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas X Universitas Negeri Surabaya yang berdasarkan hasil analisis OCB tersebut menunjukkan perempuan memiliki OCB lebih tinggi daripada laki-laki. Kata Kunci: OCB,Jenis kelamin, DPM Unesa. PENDAHULUAN Organisasi merupakan suatu bentuk hubungan antar individu yang terstruktur dan terkoordinasi demi mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan bersama (Firmansyah, 2019:48). Organisasi tidak akan berjalan bila tidak ada anggota di dalamnya sebagai motor dan penentu jalannya roda organisasi. Anggota datang dari berbagai karakter, latar belakang, dan jenis kelamin yang disatukan untuk bekerja sama, tanpa membatasi keunikan masing-masing. Keunikan yang ada dalam diri anggota justru diperlukan dalam hal membangun suatu organisasi. Keunikan ini salah satunya nampak pada perilaku yang anggota tersebut tunjukkan dalam kesehariannya ketika berada pada lingkup oragnisasi. Bekerja membangun suatu organisasi tanpa pamrih adalah salah satu contohnya. Organizational Citizenship Behavior (OCB) atau perilaku yang muncul karena inisiatif sendiri tanpa terikat peraturan (Organ, 1988:4) akan lebih menunjang keberhasilan suatu organisasi, daripada hanya mengikuti jalannya arus. Anggota yang memiliki OCB yang baik akan meningkatkan kinerja organisasi (Robbin dan Judge, 2016:40). Berbagai faktor dapat mempengaruhi perbedaan tingkat OCB tersebut, salah satunya adalah jenis kelamin Laki-laki seringkali diidentikan dengan sosok yang kuat dan mampu mengambil keputusan dengan mengutamakan akal, sedangkan wanita cenderung mengambil keputusan menggunakan hati. Perilaku seperti menolong orang lain, ramah, mudah bergaul, dan bekerja sama cenderung lebih banyak dilakukan oleh wanita (Konrad dkk, 2000:616). Perbedaan jenis kelamin dipandang menjadi yang paling mencolok dalam mempengaruhi tingkat OCB pada suatu organisasi. Organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa atau DPM Fakultas X Universitas Negeri Surabaya (UNESA) adalah salah satu contohnya. DPM di UNESA merupakan suatu organisasi yang bertugas di bidang legislatif mahasiswa yang memiliki tugas lumayan berat yaitu sebagai dewan pengawas eksekutif dan sebagai penyusun undang-undang kemahasiswaan di UNESA. DPM Fakultas X UNESA sendiri memiliki berbagai komisi yang memiliki tugas bermacammacam misalnya komisi pemerintahan, pengembangan sumber daya mahasiswa, kesejahteraan mahasiswa, hubungan masyarakat, dan audit keungan. Divisi tersebut diisi oleh laki-laki dan perempuan yang bekerja sama demi mencapai tujuan organisasi. Tujuan organisasi yang besar yang telah disusun di awal periode, tentu membutuhkan kerja keras dan ketepatan dalam pengambilan keputusan. OCB yang tinggi, baik dari anggota laki-laki maupun perempuan layak diperhitungkan. Organisasi tidak hanya menginginkan tujuan tercapai, namun juga 218 Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti menginginkan hasil optimal dalam pencapain tujuan tersebut. Keputusan-keputusan atau OCB yang tepat dan tinggi yang dimiliki dari para anggota membuat organisasi mampu berjalan dengan lebih optimal. Organ (1988:4) mendefinisikan OCB merupakan perilaku individu yang didasarkan pada keputusan sendiri secara bijaksana tanpa adanya peraturan dimana perilaku tersebut dilakukan tanpa mengharapkan sistem imbalan formal dan perilaku tersebut meningkatkan fungsi organisasi secara efektif. Robbins and Judge (2016:14) mendefinisikan OCB adalah perilaku bekerja ekstra yang bukan bagian dari persyaratam pekerjaan formal karyawan dan berdampak pada psikologis dan lingkungan sosial tempat kerja. Pourgaz, Naruei, and Jenaabadi (2015:801) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang didasarkan pada kebijaksanaan pribadi yang terlepas dari kewajiban pekerjaan dimana perilaku tersebut dapat meningkatkan efektivitas organisasi untuk memenuhi manfaat bagi organisasi. Organ dkk. (2006:22) menjelaskan terdapat lima dimensi yang membangun OCB. Kelima dimensi tersebut yaitu: 1. Altruism merupakan perilaku anggota organiasasi untuk menolong sesama anggota organisasi yang sedang bertugas dan mengalami permasalahan. Pertolongan yang diberikan anggota organisasi bukan merupakan tugas yang dimiliki anggota tersebut melainkan pertolongan pada hal diluar tugas atau pekerjaannya. 2. Courtesy merupakan perilaku anggota organisasi dengan tujuan menjaga hubungannya sesama anggota organisasi agar saling mempehatikan antar anggota. Anggota organisasi yang memiliki Courtesy tinggi akan berusaha untuk berteman baik pada sesama anggota serta berusaha menghargai dan mengapresiasi kinerja rekannya. 3. Sportmanship merupakan perilaku anggota organisasi dalam organisasi untuk menciptakan iklim organisasi yang baik. Perilaku tersebut dapat berupa berpikir terbuka tentang keadaan organisasi yang kurang kondusif dan tidak mengajukan komentar-komentar yang dapat menyebabkan lingkungan kurang stabil. 4. Conscientiousness adalah perilaku anggota organisasi yang melebihi dari tugas yang diberikan dari organisasi. Anggota organisasi akan mengerjakan beberapa tugas meskipun tugas tersebut bukanlah tanggung jawabnya. Anggota organasasi yang memiliki Conscientiousness tinggi akan terus berusaha untuk melakukan sesuatu melebihi yang diharapkan oleh organisasi tersebut. 5. Civic Virtue adalah perilaku anggota organisasi yang mememnuhi tanggung jawabnya sebagai anggota kehidupan organisasi. Organisasi yang dinaungi oleh anggotanya pasti memiliki peraturan, batasan, mengalami perubahan dimana anggota organisasi berpartisipasi dalam kehidupan tersebut. William dan Anderson dalam Wicaksana dkk. (2012:244) menjelaskan bahwa OCB terikat dengan faktor demografis pada setiap anggota organisasi. Faktor demografis tersebut diantaranya usia atau umur, jenis kelamin, level jabatan, status kerja, dan lama masa kerja. OCB yang dikaitkan faktor demografis jenis kelamin dapat dikaji tentang perbedaan OCB antara perempuan dengan laki-laki dalam suatu organisasi. Morrison (1994:1553) menjelaskan bahwa anggota organisasi dengan jenis kelamin perempuan akan lebih banyak menampilkan OCB daripada laki-laki. Konrad, dkk (2000:616) menemukan bahwa beberapa perilaku atau atribut kerja lebih menonjol dilakukan oleh perempuan daripada laki-laki. Atribut kerja yang lebih menonjol pada perempuan diantaranya menolong, bersahabat, dan bekerja sama dengan anggota organisasi lain. Lovell dkk. (1999:475) juga mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan OCB antara laki-laki dan perempuan dimana perbedaan tersebut cukup signifikan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada empat orang anggota, ditemukan beberapa hal yang bersangkutan dengan OCB. Organisasi tersebut beberapa kali mengadakan acara atau program kerja. ketika organisasi mereka mengadakan suatu acara atau program kerja tersebut, anggota organisasi laki-laki biasanya lebih banyak bertugas dibagian perlengkapan dan logistik sedangkan anggota organisasi perempuan cenderung bertugas dibagian acara dan administrasi. Anggota organisasi laki-laki biasanya kerja lebih lama karena jumlahnya yang sedikit meskipun tugasnya tidak banyak. Ketika anggota perempuan meminta tolong, anggota laki-laki biasanya hanya meng’iya’kan saja permohonan namun tidak tanggap untuk segera berdiri. Selain itu, anggota organisasi selalu mengevaluasi program kerja dengan kritis dan dianggap ketus. Hal tersebut terjadi apabila terjadi kesalahan dalam kegiatan yang telah terselenggara. Para anggota baik laki-laki maupun perempuan cenderung merasa merekalah yang paling berkontribusi dalam pengambilan langkah ketika terdapat proker dan semacamnya. Mereka menyatakan anggota perempuan cenderung lebih dalam pengambilan keputusan ketika berjalannya program kerja organisasi. Anggota lakilaki lebih kepada mengerjakan pada yang menjadi tugas mereka saja. 219 Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti Berdasarkan fenomena diatas , peneliti berminat mengkaji lebih dalam bagaimana perbedaan OCB pada anggota organisasi DPM Fakultas X Universitas Negeri Surabaya. METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian yang memfokuskan pada pengujian hipotesis dengan data yang terukur dan dapat menghasilkan data simpulan yang dapat digeneralisasikan (Anshori & Iswati, 2009:13). Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Menurut (Hermawan, 2019:39) penelitian komparatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah diantara dua macam kelompok terdapat perbedaan atau tidak pada sisi variabelnya. Penelitian komparatif tidak melakukan kontrol variabel (Hermawan, 2019:39). Tujuan dari penelitian komparatif ini adalah untuk mengetahui perbedaan OCB pada anggota organisasi DPM Fakultas X Universitas Negeri Surabaya. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh anggota DPM Fakultas X UNESA, dengan sampel keselurahan atau sampel jenuh yang berjumlah 57 orang anggota, dengan 36 anggota perempuan dan 21 anggota laki-laki. Menurut Sugiyono dalam Endra (2017:117) sampel jenuh adalah sampel yang menggunakan keseluruhan anggota populasi sebagai sampel. Peneliti mengumpulkan data menggunakan skala organizational citizen behavior. Teknik analisis yang dgunakan untuk mengolah data yaitu menggunakan uji T sampel independen. Menurut (Riyanto dan Hatmawan, 2020:93) Uji T sampel independen digunakan untuk melihat apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki perbedaa rata-rata. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Hasil Uji statistik Deskriptif Jenis N Min. Max. Mean Std. kelamin Dev. Perempuan 36 136 172 152,81 12,76 Laki-laki 21 89 144 116,81 8,2 Berdasarkan tabel hasil uji analisis deksriptif diketahui bahwa sampel dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 36 anggota ditunjukan dari N=36 dan sampel dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 21 anggota ditunjukan dari N=21. Nilai OCB terendah dari anggota DPM jenis kelamin perempuan yaitu 136 dan nilai tertingginya yaitu 172. Nilai OCB terendah dari anggota DPM jenis kelamin laki-laki yaitu 89 dan nilai tertingginya yaitu 144. Mean atau rata-rata nilai OCB untuk anggota DPM jenis kelamin perempuan sebesar 152,81 dan jenis kelamin laki-laki sebesar 116,81. Kemudian, nilai standar deviasi untuk anggota jenis kelamin perempuan sebesar 12,76 dan untuk anggota jenis kelamin laki-laki sebesar 8,2. Tabel 2. Kategorisasi OCB Anggota DPM Jenis Kategori Jumlah Presentase Kelamin Rendah Perempuan Laki-laki Sedang 11 19,3% Tinggi 25 43,9% Rendah 1 1,8% Sedang 20 35% Tinggi - Total 57 100% Berdasarkan Tabel diatas, OCB yang dimiliki oleh sampel terbagi menjadi tiga kategori yaitu kategori lemah (X < 93,4), sedang (93,4 ≤ X < 146,6), dan tinggi (X ≥ 146,6). Berdasarkan data pada tabel diatas, terdapat 1,8% sampel yang terkategori rendah yaitu 1 orang anggota DPM berjenis kelamin laki-laki. Anggota DPM dengan OCB yang masuk kategori sedang berjumlah 31 anggota dimana 11 anggota (19,3%) berjenis kelamin perempuan dan 20 anggota (35%) berjenis kelamin laki-laki. Anggota DPM dengan OCB kategori tinggi berjumlah 25 anggota (43,9%) dimana seluruh anggota tersebut berjenis kelamin perempuan. Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data Variabel OCB Kategori Nilai Keterangan Signifikasi Perempuan 0,2 Berdistrubusi normal Laki-laki 0,148 Berdistrubusi normal Berdasarkan hasil uji normalitas diatas, diketahui nilai signifikasi dari variabel OCB pada anggota dpm perempuan sebesar 0,2 sedangkan nilai signifikasi pada anggota dpm laki-laki sebesar 0,148. Subjek dikategorikan berdistribusi normal apabila nilai signifikasi lebih dari 0,05 sedangkan subjek dikategorikan tidak berdistribusi normal apabila nilai signifikasi kurang dari 0,05. Levene Statistic Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas df1 df2 Sig. 220 Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti 3,378 1 55 0,071 Berdasarkan hasil uji homogenitas diatas, diketahui nilai signifikasi dari variabel OCB pada anggota dpm sebesar 0,071 sehingga data penelitian ini disimpulkan homogen. Subjek dikategorikan homogen apabila nilai signifikasi lebih dari 0,05 sedangkan subjek dikategorikan tidak heterogen apabila nilai signifikasi kurang dari 0,05. Tabel 5. Hasil Analisis independent T test T df sig Mean difference 12.981 55 0,000 -35.996 Berdasarkan hasil analisis independent T test diatas menunjukan nilai signifikan sebesar 0. Nilai signifikan 0,00 tersebut lebih kecil dari 0,05 dimana 0,05 merupakan taraf signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini. Hal tersebut berarti hipotesis dalam penelitian ini diterima. Hipotesis tersebut menyatakan adanya perbedaan tingkat OCB berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas X Universitas Negeri Surabaya. Penelitian ini mengkaji tentang variabel OCB yang ditinjau dari jenis kelamin dimana berdasarkan uji hipotesis disimpulkan bahwa adanya perbedaan antara OCB yang dimiliki oleh anggota DPM laki-laki dengan anggota DPM perempuan. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan Lovell dkk. (1999:475) yang mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan OCB antara laki-laki dan perempuan dimana perbedaan tersebut cukup signifikan. Perbedaan yang cukup signifikan tersebut dapat diprediksi dari perilaku menolong, mudah memahami orang lain, dan peduli pada orang lain. Perilaku-perilaku tersebut apabila terjadi dalam lingkup organisasi tentu dapat memprediksi seseorang memiliki OCB yang tinggi. Hasil uji deskriptif menunjukan nilai rata-rata OCB pada anggota dpm jenis kelamin laki-laki sebesar 116, 81 dan pada anggota dpm jenis kelamin perempuan sebesar 152,81. Data tersebut menunjukan bahwa dalam Organisasi tersebut rata-rata anggota perempuan memiliki OCB yang lebih besar daripada anggota OCB laki-laki yang artinya anggota perempuan memiliki OCB lebih besar daripada anggota laki-laki. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian lainnya yang mengungkap bahwa OCB lebih sering nampak dan menonjol pada anggota organisasi dengan jenis kelamin perempuan (Morrison, 1994:1553; Konrad, dkk, 2000:616). Konrad, dkk (2000:595) menjelaskan dalam lingkup organisasi, individu yang feminis dalam dimensi afiliasi dan pengasuhan akan memiliki peluang untuk berteman, berpeluang untuk membantu anggota lain dan mudah bekerjasama dengan orang lain dalam lingkup organisasi sedangkan seseorang yang maskulin akan cenderung otonom, suka tantangan, dan mencari keuntungan. Hal tersebut menunjukan bahwa individu yang feminis seperti anggota organisasi perempuan cenderung memiliki sikap membantu dan peduli pada lingkup organisasi. Hasil rata-rata nilai OCB pada anggota perempuan dalam tabel uji statistik deskriptif menunjukan angka 152,81 yang mana rata-rata tersebut tersebut masuk dalam kategori tinggi (X ≥ 146,6) sedangkan hasil ratarata nilai OCB pada anggota laki-laki menunjukan angka 116,81 yang mana rata-rata tersebut masuk dalam kategori sedang (93,4 ≤ X < 146,6). Data tersebut diartikan bahwa OCB yang dimiliki anggota dpm perempuan berada pada kategori tinggi sedangkan OCB pada anggota dpm laki-laki berada pada kategori sedang. Tingkatan OCB yang tinggi pada anggota perempuan tersebut menandakan bahwa mereka sering melakukan perilaku-perilaku extra role atau perilaku yang lebih dari sekedar tugas yang diberikan dan tanggung jawab yang diemban. Pada anggota laki-laki, tingkatan OCB yang masuk dalam kategori sedang bukan berarti tidak melakukan perilaku peran yang lebih namun perilaku tersebut tidak sering dilakukan oleh anggota laki-laki. OCB dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut pendapat William dan Anderson dalam Wicaksana dkk. (2012:244) menjelaskan bahwa OCB sangat bergantung faktor demografis yang diantaranya usia atau umur, jenis kelamin, level jabatan, status kerja, dan lama masa kerja. Faktor jenis kelamin merupakan salah satu dari penentu yang membedakan pada besarnya tingkat OCB. Penelitian yang dilakukan pada DPM Fakultas X Universitas Negeri Surabaya menunjukkan kecenderungan OCB perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, hal ini dapat terjadi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dagun (dalam Oktavianto, 2014:3) menyebutkan salah satu faktor tersebut adalah dari perbedaan karakteristik laki-laki dan perempuan sendiri dari segi psikologisnya, yaitu kepribadian. Perempuan memiliki sisi kepribadian yang tersusun dari sisi emosionalitas, misalnya memiliki perilaku yang kurang terbuka, lebih subjektif dalam melihat sesuatu, dan sangat bergantung pada suasana hati. Laki-laki lebih dominan pada sisi pikiran, yaitu terdapat rasio yang jelas dalam pemikiran dan emosionalitas, ditunjukkan dalam hal, misalnya lebih tegas, memiliki pembagian sesuatu yang jelas, tidak bergantung suasana hati. Anggota DPM Fakultas X membuktikan faktor tersebut, dimana anggota perempuan lebih bekerja 221 Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti menggunakan suasan hati dan emosionalitas, mereka akan cenderung melakukan pekerjaan lebih dari tugasnya, namun juga akan menunjukkan kinerja apa yang telah mereka berikan, sebaliknya anggota lakilaki memiliki tingkat OCB yang rendah, bukan berarti tidak bekerja namun pada lebih menjalankan apa yang telah ditugaskan kepada mereka, hal ini menunjukkan anggota laki-laki cenderung lebih tegas terlebih kepada pembagian tugas. Tugas tersebut akan dilaksanakan tergantung persetujuan dan pembagian di awal karena itu anggota laki-laki jarang melakukan pekerjaan melebihi tugas mereka, karena mereka akan melihat sesuatu berdasarkan sisi rasionalitas dibandingkan emosionalitas, yang membuat tingkat OCB laki-laki berada di bawah OCB wanita. OCB sangat menentukan kemajuan suatu organisasi, maka dari itu OCB dapat digunakan untuk melihat hasil kerja anggotanya, karena hasil kerja tidak hanya melihat output namun juga melihat perilaku lain apa sajakah yang dilakukan untuk kemajuan organisasi (Auliana dan Nurasiah, 2017:160). Penelitian pada organisasi DPM Fakultas X tersebut telah menunjukkan terdapat ketimpangan terhadap besarnya OCB pada anggota, Perempuan lebih dominan dalam menyelesaikan program kerja dibandingkan anggota laki-laki, yang berarti tingkat kemajuan organisasi DPM Fakultas X sendiri sangat bergantung pada anggota perempuan sebagai sumber poros penggerak yang tidak jarang anggota perempuan tersebut menyampaikan keluhannya terhadap anggota laki-laki. Penelitian yang mendukung hasil penelitian ini yaitu milik Sahrah (2010) yang menunjukkan bahwa tingkat OCB pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki yang ditunjukkan dengan rata-rata OCB pada perempuan bernilai 197,40 sedangkan pada laki-laki menunjukkan angka rata-rata 172,63. Penelitian lain yang mendukung datang dari Sari, dkk (2018) yang menyebukan bahwa OCB pada perempuan lebih tinggi pada laki-laki. Penelitian ini idlakukan di RSD Balung, Jember. Angka yang ditunjukkan OCB pada pegawai perempuan mencapaib 14,37 % dan laki-laki sebesar 14,07 % setelah diukur dengan Uji Two Independet Sample t-test. Adanya dukungan terdapat penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan OCB pada perempuan dan laki-laki dalam sebuah organisasi, dengan perempuan cenderung lebih besar, namun faktor lain juga tidak dapat diabaikan dalam melihat besarnya tingkat OCB ini, seperti yang dipaparkan William dan Anderson dalam Wicaksana dkk. (2012:244) bahwa faktor demografis lain yang bisa menentukan faktor OCB diantaranya usia atau umur, level jabatan, status kerja, dan lama masa kerja. PENUTUP Simpulan Penelitian ini bertujuan mengukur perbedaan OCB ditinjau dari jenis kelamin pada anggota DPM Fakultas X Universitas Negeri Surabaya Berdasarkan hasil analisis menggunakan Uji Independen T-tes menunjukkan hasil taraf signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan l terdapat perbedaan OCB pada laki-laki dan perempuan, dengan kecenderungan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hasil ini ditunjukkan oleh angka rata-rata OCB perempuan mencapai angka 152,81 yang mana rata-rata tersebut tersebut masuk dalam kategori tinggi (X ≥ 146,6) sedangkan hasil rata-rata nilai OCB pada anggota lakilaki menunjukan angka 116,81 yang mana rata-rata tersebut masuk dalam kategori sedang (93,4 ≤ X < 146,6). Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti, yaitu: 1. Bagi Organisasi Adanya perbedaan tingkat OCB pada organisasi pada anggota laki-laki dan perempuan, haruslah dijadikan bahan evaluasi, karena menyangkut keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Faktorfaktor penyebab harus ditemukan, karena terdapat protes yang seringkali secara tersirat disampaikan anggota perempuan yang dapat berakibat negatif bagi organisasi. Selain itu, keadaan tingginya OCB pada perempuan harus dipetahankan atau ditingkatkan disamping mencari solusi untuk meningkatkan OCB pada anggota laki-laki. 2. Bagi penelitian selanjutnya Penelitian ini hanya berfokus pada perbedaan OCB ditinjau dari jenis kelamin tanpa mengungkap faktor lain yang menjadi penyebab. Penelitian selanjutnya dapat mengungkap perbedaan OCB berdasarkan faktor demografi lain yaitu umur, lama bekerja, status pekerjaan, daan level jabatan. Penelitian ini menggunakan subjek yang tidak terlalu besar, sehingga diharapkan penelitian selanjutnya dapat menggunakan subjek yang lebih besar dan juga kuisioner yang dikemas lebih menarik untuk meningkatkan minat mengisi dari subjek. DAFTAR PUSTAKA 222 Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti Anshori, M. & Iswati, S. (2009). Buku ajar metode penelitian kuantitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Auliana, S., & Nurasiah, I. (2017). Penerapan Organizational Citizenship Behavior di STIE Bina Bangsa. Jurnal Manajerial, 2(2), 149-162 Endra, F. (2017). Pedoman metodologi penelitian (statistika praktis). Sidoarjo: Zivatama Jawara. Firmansyah, A. (2019). Manajemen. Surabaya: Qiara Media. Hermawan, I. (2019). Metodologi penelitian pendidikan kuantitatif, kualitatif dan mixed method. Cetakan pertama. Kuningan: Hidayatul Quran Kuningan. Konrad, A. M., Ritchie, J. E., Lieb, P., & Corrigall, E. (2000). Sex differences and similarities in job attribute preferences: a meta-analysis. Psychological bulletin, 126(4), 593-641. doi:10.1037/0033-2909.126.4.593 Sahrah, A. (2010). Organizational Citizenship Behavior ditinjau dari kepuasan kerja dan jenis kelamin para prawat rumah sakit. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana. Sari, R., Sampeadi, Sunardi. (2018). Perbedaan Organizational Citizenship Behavior (OCB), kepuasan kerja dan stress kerja berdasarkan gender pada perawat instalasi rawat inap RSD Balung Kabupaten Jember. Jurnal Bisnis dan Manajemen, 12(3), 331-340. Retrieved from: https://jurnal.unej.ac.id/index.php/BISMA/article/d ownload/9003/6029/ Wicaksana, Y. A., Efar, M., Mewengkang, M. D., Miranti, I., Halim, M., & Suwartono, C. (2012). Adapatasi skala organzational citizenship behavior (OCB). Manasa: jurnal ilmiah psikologi, 2(1), 244. Retrieved from http://ojs.atmajaya.ac.id/index.php/manasaold/article/view/705. Lovell, S. E., Kahn, A. S., Anton, J., Davidson, A., Dowling, E., Post, D., & Mason, C. (1999). Does gender a ffect the link between organizational citizenship behavior and performance evaluation? Sex roles, 41(516), 469-478. Retrieved from https://link.springer.com/content/pdf/10.1023/A:10 18883018719.pdf. Morrison, E. W. (1994). Role definitions and organizational citizenship behavior: the importance of the employee’s perspective. Academy of management journal, 37(6), 1543-1567. doi:10.5465/256798 Oktovianto, R. (2014). Organizational Citizenship Behavior ditinjau dari jenis kelamin pada pegawai Dinas Pendidikan Kota Cilegon. Skripsi diterbitkan, Unversitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Organ, D. W. (1988). Organizational citizenship behavior: The good soldier syndrome. Lexington, MA: Lexington. Organ, D. W., Podsakoff, P. M., & MacKenzie, S. B. (2006). Organizational citizenship behavior: its nature, antecedents, and consequences. California: Sage Publication, Inc. Pourgaz, A. W., Naruei, A. G., & Jenaabadi, H. (2015). Examining the relationship of organizational citizenship behavior with organizational commitment and equity perception of secondary school administrators. Psychology, 6, 800-807. doi:10.4236/psych.2015.66079 Riyanto, S. & Hatmawan, A.A (2020). Metode riset penelitian kuantitatif. Yogyakarta: Deepublish. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2016). Essentials of organizational behavior. Boston: Pearson. 223 GAMBARAN KECENDERUNGAN KEMAMPUAN KERJASAMA AUD DI PPT SEKAR ARUM JAMBANGAN SURABAYA Sumartik PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id Fifi Khoirul Fitriyah PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id Tatik Muflihah PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id Jauharotur Rihlah PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id Abstrak Kemampuan bekerjasama mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk hidup yang selalu melakukan interaksi dengan sesama terlebih di era revolusi industry 4.0 dan 5.0, kemampuan kerjasama merupakan dasar dalam membangun hubungan kolaborasi. Stimulasi dari orang tua dan guru sangat dibutuhkan agar kemampuan kerjasama anak berkembang sesuai dengan tahapan pencapaian perkembangan anak. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat sejauh mana kecenderungan kemampuan kerjasama anak usia 3-4 tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan teknik pengumpulan data berupa angket. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan kemampuan kerjasama anak Usia 3-4 Tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya tertinggi pada Aspek kemampuan membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok dengan rata-rata 96% dan terendah pada Aspek kemampuan menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya dengan rata-rata 85,55% sehingga Kecenderungan Kemampuan Kerjasama Anak Usia 3-4 Tahun Di PPT Sekar Arum Jambangan mencapai rata-rata 89,26% (kriteria sangat tinggi). Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kemampuan kerjasama anak usia 3-4 tahun terutama untuk meningkatkan aspek kemampuan menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya dengan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Kata kunci : kemampuan kerjasama, deskriptif, anak PENDAHULUAN Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan bermain, anak juga sekaligus belajar. Semua aspek perkembangan anak ditumbuhkan dengan bermain sehingga anak-anak menjadi lebih sehat sekaligus cerdas. Anak-anak bermain dengan menggunakan seluruh emosinya, perasaannya, dan pikirannya (Adriana, 2013:15), di sisi lain, emosi positif anak akan berdampak pada sisi empatinya dan menurunkan kecemasannya dalam berinteraksi sosial (Fitriyah, 2019). Bermain dengan anak-anak lain juga memudahkan anak untuk mengembangkan makna hubungan sosial. Ketika bermain dengan anak-anak lain, anak belajar untuk berteman, memahami diri sendiri, dan memahami bahwa orang lain memiliki pandangan dan nilai-nilai yang berbeda dengannya. Lewat permainan dengan anak-anak lain, anak belajar untuk memecahkan masalah dan bekerjasama (Morrison, 2012:69). Sayangnya saat ini permainan anak didominasi dengan permainan menggunakan gadget dan dilakukan secara online, sehingga bermain anak konsep dulu dan sekarangpun berbeda (Kusumaningayu, dkk., 2019). Kurniasih (2009:11) menyatakan bahwa perkembangan kecerdasan anak usia dini terjadi sangat pesat pada usia 0-4 tahun dimana perkembangan kecerdasannya mencapai 50% dan 30% berikutnya hingga usia 8 tahun. Pesatnya perkembangan kecerdasan ini membuat masa ini disebut sebagai periode emas. Perkembangan yang didapat pada periode emas ini akan menjadi periode kritis. Periode kritis ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak dikemudian hari. Ketika secara emosional anak cenderung negatif maka yang muncul adalah perilaku agresif, di sisi lain agresif pada anak usia dini akan berdampak pada perkembangan anak selanjutnya (Fitriyah, 2017). Anak sangat membutuhkan berbagai macam asupan dalam periode kritis. Asupan tersebut diantaranya meliputi aspek kesehatan, aspek gizi dan 224 Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah aspek pendidikan. Tiga aspek ini menjadi pilar utama dalam perkembangan anak yang akan mempengaruhi kualitas anak dimasa mendatang. Orang tua memegang peranan penting dalam pengenalan pola makan yang baik dan teratur antara lain pemberian makan yang tepat waktu dan makanan yang bervariasi yang mengandung berbagai zat gizi diantaranya zat tenaga yaitu karbohidrat bisa diperoleh antara lain dari beras, roti, kentang, bihun, mi, singkong, ubi, dan talas. Zat pembangun yaitu protein bisa diperoleh antara lain dari daging, ikan, ayam, tahu, tempe, keju, susu dan kacang-kacangan. Zat pengatur yaitu vitamin dan mineral bisa diperoleh dari sayuran dan buah-buahan. Jika dari awal kehidupan anak mendapatkan makanan yang sehat dan seimbang maka akan menghasilkan SDM yang berkualitas yang sehat secara fisik, mental dan sosial . Zona perkembangan proximal merupakan istilah yang dimunculkan oleh Vygotsky yang mengacu pada keadaan yang menghubungkan peningkatan pemahaman anak akibat interaksi sosial. Vygotsky merupakan peneliti usia dini pertama yang sangat perhatian pada interaksi sosial anak. Ia beranggapan bahwa permainan sosial anak adalah unsur penyusun yang paling penting. Pada usia tiga tahun, karena makin matang dan berpengalaman, bisa bermain dengan lebih dari satu anak secara bersamaan. Saat mereka makin kurang egois dan lebih bisa memahami pandangan anak-anak lain, anak usia 3 tahun lebih berhasil dengan permainan sosial. Menggunakan bahasa lebih matang, mendengarkan teman bermain mereka, dan menyesuaikan perilaku mereka dengan situasi ini semua mendukung permainan sosial itu (Beaty, 2015:133). Namun menurut Einon (2008) anak-anak belum benar-benar berinteraksi dengan teman sebaya sampai usia dua tahun, namun mereka senang berteman. Tahun pertama mereka menunjukkan ketertarikan, di tahun kedua, bermain berdampingan, dan pada tahun ketiga mulai terlibat dalam permainan bersama. Salah satu strategi melatih perkembangan sosial emosional anak adalah dengan bermain kelompok. Usia dini adalah masa-masa bermain pada anak-anak, segala macam kegiatan anak tidak dapat terlepas dari bermain. Anak akan sangat senang ketika bermain di dalam kelompok bersama teman-temannya, melalui bermain kelompok akan dapat mengoptimalkan perkembangan sosial emosional anak (Kertamuda, 2015:56). Menurut Leach dalam Douglas (2009) bagi seorang anak kecil tidak ada pemisahan antara bermain dan belajar, diantara “bersenang-senang” dan “pendidikan”. Seorang anak belajar hidup, dan bagian dari kehidupan yang bisa dinikmati adalah juga bermain. Pendekatan pembelajaran pada anak usia dini bisa dilakukan dengan bermain. Pendidikan yang akan diberikan kepada anak harus dengan kondisi yang menyenangkan. Penggunaan metode pembelajaran, strateg dan pemberian materi harus menggunakan media yang menarik agar mudah dipahami anak. Pembelajaran akan semakin bermakna jika anak diajak untuk mengeksplorasi dan menemukan serta m emanfaatkan obyek-obyek yang dekat dengan anak melalui bermain. (Kurniasih, 2009:115). Namun demikian menurut Beaty (2015:145) apapun yang akan dilakukan, jangan memaksa. Beberapa anak belum cukup nyaman di ruang kelas untuk bergabung dengan anak lain dalam permainan kelompok. Beri mereka kesempatan agar terbiasa dengan program. Anak-anak akan nyaman dengan sendirinya dan sebagian besar anak akan bergabung sesuai keinginan sendiri. Mereka perlu terbiasa dengan pemain lain dan mungkin berteman dengan mereka. Mereka juga harus tertarik pada apa yang dikerjakan kelompok. Peran guru adalah mendorong permainan kelompok dengan memberi anak kesempatan melakukannya selama periode pilihan bebas, dengan mendukung pilihan permainan anak sendiri atau memberi mereka ide permainan baru tiap saat. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan penelitian mengenai Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama Anak Usia 3-4 Tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya: Survey Berdasarkan Penilaian Orangtua. Penelitian perlu dilakukan karena anak yang memiliki kemampuan kerjasama akan lebih mudah berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kemampuan kerjasama ini merupakan modal bagi anak untuk menjalani kehidupan di masa mendatang karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia selalu dibutuhkan dan membutuhakn orang lain. METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif yang bertujuan mengungkapkan suatu apa adanya. Menurut Arikunto (dalam Putra, 2015) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif tidak di maksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel. Dalam penelitian ini populasinya adalah siswa usia 3-4 tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya tahun ajaran 2019/2020 yang berjumlah 10 anak 225 Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah dengan rincian 6 siswa perempuan dan 4 siswa lakilaki. Pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa angket atau kuesioner tidak langsung berupa google form. Angket diberikan kepada orang tua siswa. Hal ini dilakukan karena situasi pandemi Covid-19 saat ini sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengumpulan data secara langsung. Hal ini merujuk pada Margono., dkk (dalam Sari, 2016). HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini akan diperoleh gambaran kecenderungan kemampuan kerjasama anak usia 3-4 tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya survey berdasarkan penilaian orangtua. Angket yang diberikan berisi 22 pernyataan. Responden dapat memilih jawaban “ya” atau “tidak” yang berhubungan dengan kemampuan kerjasama anak. Pernyataan dengan jawaban “ya” akan mendapat skor 1 sedangkan jawaban “tidak” akan mendapat skor 0. Menurut Ali (dalam Sari, 2016) persentase kemampuan kerjasama dari skor responden dapat dihitung dengan memakai rumus dibawah ini: 5 Sangat rendah (Sumber: Riduwan dalam Sari, 2016) Tabel 3. Persentase Kecenderungan kemampuan kerjasama anak didasarkan pada penilaian orangtua No Aspek Kemampuan Kerjasama Anak 1 Anak mampu berinteraksi dengan teman kelompoknya Anak dapat menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya Anak dapat membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok 2 3 96 2 3 92 90 88 Anak dapat menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya Kecenderungan kemampuan kerjasama anak didasarkan pada penilaian orangtua Nomor pernyataan 1-8 9-17 18-22 (Sumber: Fauziddin, 2016) Tabel 2. Kriteria Kemampuan Kerjasama anak didasarkan pada penilaian orangtua No Kriteria 96 80 Tabel 1. Kisi-kisi Kuesioner Kemampuan Kerjasama Anak 1 85,55 82 Keterangan : % = persentase kemampuan kerjasama anak berdasarkan penilaian orang tua n = skor yang diperoleh N = jumlah seluruh skor Anak mampu berinteraksi dengan teman kelompoknya Anak dapat menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya Anak dapat membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok 86,25 Anak mampu berinteraksi dengan teman kelompoknya 94 84 Aspek yang diamati Persentase (%) Grafik 1. Kecenderungan kemampuan kerjasama anak didasarkan pada penilaian orangtua 86 No 0-20 Persentase (%) 1 Sangat tinggi 81-100 2 Tinggi 61-80 3 Sedang 41-60 4 Rendah 21-40 Anak dapat membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa: 1. Aspek kemampuan berinteraksi dengan teman kelompoknya rata-rata 86,25% (kriteria sangat tinggi). 2. Aspek kemampuan menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya rata-rata 85,55% (kriteria sangat tinggi). 3. Aspek kemampuan membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok ratarata 96% (kriteria sangat tinggi). PENUTUP Simpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan tentang Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya dapat diambil kesimpulan bahwa kecenderungan kemampuan kerjasama anak Usia 3-4 Tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya 226 Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah tertinggi pada Aspek kemampuan membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok dan terendah pada Aspek kemampuan menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya sehingga Kecenderungan Kemampuan Kerjasama Anak Usia 34 Tahun Di PPT Sekar Arum Jambangan mencapai rata-rata 89,26% (kriteria sangat tinggi). Saran Dengan demikian, kedepannya tugas guru adalah mempertahankan kemampuan kerjasama anak dengan tetap memberikan metode-metode pembelajaran yang sesuai. Salah satu permainan yang dapat direkomendasikan untuk meningkatkan kerjasama anak adalah dengan permainan gobak sodor. Permainan ini terbukti mampu meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa-siswa sekolah dasar (Fitriyah, 2019). Dalam penelitian ini hasilnya dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya terutama yang berkaitan dengan kemampuan kerjasama anak usia 3-4 tahun terutama untuk meningkatkan aspek kemampuan menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya dengan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). DAFTAR PUSTAKA Adriana, Dian. (2013). Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak-Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Medika Beaty, Janice J. Alih Bahasa oleh Arif Rakhman. (2015). Observasi Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. EMPATI. Education and Human Development Journal, 4(1), 95-102. https://doi.org/10.33086/ehdj.v4i1.1088 Fitriyah, F. K. (2019). PENGARUH PERMAINAN TRADISIONAL GOBAK SODOR DALAM BIMBINGAN KELOMPOK TERHADAP PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS. Education and Human Development Journal, 4(2), 13-20. https://doi.org/10.33086/ehdj.v4i2.1293 Kertamuda, Miftahul Achyar. (2015). GOLDEN AGE Strategi Sukses Membentuk Karakter Emas Pada Anak Usia Dini. Jakarta: Elex Media Komputindo. Kurniasih, Imas. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini. Edukasia. Kusumaning Ayu, R. F. ., Puspita Sari, S. ., Yunarti Setiawan, B. ., & Khoirul Fitriyah, F. . (2019). Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Daerah Melalui Cerita Rakyat Digital pada Siswa Sekolah Dasar: Sebuah Studi Pengembangan. Child Education Journal, 1(2), 65-72. https://doi.org/10.33086/cej.v1i2.1356 Morrison, George S. Alih Bahasa oleh Suci Romadhona dan Apri Widiastuti. (2012). Dasardasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks. Putra, Erik Ade. 2015. Anak Berkesulitan Belajar Di Sekolah Dasar Se-Kelurahan Kalumbuk Padang (Penelitian Deskriptif Kuantitatif).E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS). Volume 4. Nomor 3. Sari, Evi Yunita., dkk. 2016. Profil Kemampuan Kerjasama Siswa Dalam Pembelajaran Ipa (Studi Deskriptif pada Siswa Kelas IV dan V Semester Genap SD Negeri 1 Rajabasa Jaya Bandar Lampung Tahun Ajaran 2015/2016) Douglas, Ann. Alih Bahasa oleh Bambang Ryadi Soetrisno. (2009). Buku Batita Terlengkap. Jakarta: Dian Rakyat. Einon, Dorothy. Alih Bahasa oleh Ariy Nilandari. (2008). Learning Early. Jakarta: Dian Rakyat. Fauziddin, Moh. 2016. Peningkatan Kemampuan Kerja Sama melalui Kegiatan Kerja Kelompok Pada Anak Kelompok A TK Kartika Salo Kabupaten Kampar. Jurnal PGPAUD STKIP PTT Volume 2 Nomor 1 Halaman 29 – 45 Fitriyah, F.K. (2017). REDUCING AGGRESSIVE BEHAVIOR USING SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING (SFBC). Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia, Volume 2 Nomor 2 bulan September 2017. Halaman 34-39, DOI: http://dx.doi.org/10.26737/jbki.v2i2.254. Fitriyah, F. K. (2019). PENGARUH PERILAKU AGRESIF PADA ANAK USIA DINI TERHADAP KECEMASAN DAN 227 HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASI DENGAN PERILAKU INOVATIF PADA MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Erlina Yupra Handayani Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, erlina17010664003@mhs.unesa.ac.id Aulia Rahmah Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, aulia17010664013@mhs.unesa.ac.id Abstrak Perkembangan zaman membuat persaingan antara organisasi satu dengan organisasi lain semakin ketat, tak terkecuali organisasi dalam lingkup UNESA. Untuk menjawab persoalan tersebut, organisasi dalam lingkup UNESA perlu mengembangkan sikap inovatif agar dapat terus berkembang dan kompetitif dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Penelitian-penelitan terdahulu menemukan indikasi bahwa terdapat hubungan antara komitmen organisasi dengan perilaku inovatif individu dalam lingkup organisasi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan anatara komitmen organisasi dengan perilaku inovatif pada mahasiswa UNESA. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner dengan uji hipotesis menggunakan uji korelasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa koefisien korelasi (r) sebesar 0.406 yang menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara kedua variabel tersebut. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa komitmen organisasi dengan variabel inovatif berhubungan secara positif pada aspek komitmen afektif dari hasil uji regresi sebesar 0.316 atau sebesar 31.6% , sehingga dapat disimpulkan bahwa makin tinggi seorang mahasiswa memiliki komitmen organisasi, makin tinggi pula perilaku inovatif yang dapat ia capai. Begitu pula sebaliknya, makin rendah komitmen organisasi yang ia miliki, makin rendah pun perilaku inovatif yang dapat mahasiswa tersebut capai. Kata Kunci: perilaku inovatif, komitmen organisasi, mahasiswa. PENDAHULUAN Inovatif merupakan perilaku dalam suatu rangkaian kerja yang secara bertahap dilakukan oleh individu dalam mengembangkan dan/atau meningkatkan perilaku kerja yang lebih efektif (De Jong & Hartog, 2010). Sedangkan menurut Gaynor (dalam Prayudhayanti, 2014), inovatif diartikan sebagai tindakan dalam menciptakan dan mengadaptasi ide, pemikiran, ataupun cara baru yang kemudian diterapkan dalam suatu kegiatan atau pekerjaan. Selain itu, menurut Janssen (2000), perilaku inovatif merupakan pengenalan, pembuatan, dan pengaplikasian ide baru dalam pekerjaan agar dapat meningkatkan kinerja individu, kelompok, ataupun suatu organisasi. Melalui pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa inovatif merupakan perilaku individu dalam menciptakan ide-ide baru yang dapat diterapkan dalam suatu pekerjaan tertentu. Dewasa ini, mahasiswa semakin dituntut untuk menjadi lebih inovatif dalam lingkup kelompok atau organisasi, tak terkecuali pada mahasiswa UNESA. Hal tersebut bertujuan agar organisasi tersebut dapat berkembang dan bersaing dalam memenuhi dan mencapai tujuan organisasi. Organisasi yang inovatif dinilai lebih unggul dalam merespon tantangan lingkungan secara cepat dan baik jika dibandingkan dengan organisasi yang tidak inovatif (Damanpour & Gopalakrishnan, 1998). Tidak heran jika banyak organisasi yang mulai menempatkan inovasi sebagai salah satu dari visi dan misi atau kemampuan yang wajib dimiliki oleh anggotanya. Meskipun begitu, bukan hal yang mudah untuk melakukan perilaku invofatif. Inovatif merupakan perilaku yang harus terus diasah dan dikembangkan, bukan sekedar suatu kecerdasan yang dibawa sejak lahir. Agar mahasiswa mampu mengembangkan perilaku inovatif, maka organisasi harus mendukung dan memfasilitasi mahasiswa dalam mengembangkan perilaku inovatif. Langkah tersebut dapat menjadi investasi yang cukup menguntungkan bagi organisasi agar dapat mempertahankan keunggulannya. Perilaku inovatif dapat menjadi faktor penting dalam mendorong keberhasilan organisasi (Yuan & Woodman, 2010). Jansen (2000) menyatakan bahwa terdapat tiga macam aspek yang dapat mengukur perilaku inovatif, yaitu: a. Menghasilkan Ide Individu mampu menciptakan ide dan solusi yang baru ketika ia dihadapkan pada suatu masalah yang terjadi dalam organisasi. Ide dan solusi ini bisa bersifat orisinil ataupun diadaptasi dari ide yang sebelumnya telah ada. 228 Hubungan antara Komitmen Organisasi dengan Perilaku Inovatif pada Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya Erlina Yupra Handayani, Aulia Rahmah b. Mempromosikan Ide Individu mencari dan memperoleh dukungan dari rekan yang lain dengan cara mempromosikan ide dan solusi baru yang ia buat. Dukungan t