KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang mencurahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua, serta dengan ijin-Nya, Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu Universitas Negeri Surabaya
2020 dengan tema “Penguatan Pendidikan Karakter Pada Era Merdeka Belajar”, dapat
terlaksana dengan baik dan prosiding ini dapat diterbitkan.
Tema seminar ini sangat penting untuk kita diskusikan karena pesatnya perkembangan
revolusi industri menuntut output dan outcome pendidikan dapat memenuhi kebutuhan pasar
industri. Namun demikian, dunia pendidikan juga dihadapkan pada menurunnya karakter
bangsa: sikap toleransi, nasionalisme, menghargai perbedaan serta menurunnya tanggung
jawab terhadap kebebasan berpendapat yang memicu munculnya berbagai fitnah pada berbagai
sosial media, dimana penurunan karakter ini akan mengancam keberlangsungan kita dalam
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tema seminar ini kami hadirkan untuk memberikan
wacana dan wawasan baru tentang pentingnya peran pendidikan terutama bagi pendidik dalam
memberikan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter terhadap anak didik pada Era
Merdeka Belajar.
Peran pendidik pada masa mendatang akan menuntut inovasi dan kreativitas yang sangat
tinggi dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita pendidikan. Pendidikan dan pembelajaran yang
sarat dengan muatan pengetahuan bila disinergikan dengan muatan sikap dan keterampilan
yang terimplementasi, akan menghasilkan peserta didik yang mampu berkompetisi memenuhi
kebutuhan dunia industri dan tetap menjaga keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seminar ini diikuti oleh guru, dosen, praktisi pendidikan, peneliti, serta mahasiswa dari
berbagai Universitas yang ada di Indonesia yang telah membahas berbagai kajian di bidang
ekonomi, psikologi, ilmu pengetahuan alam, teknologi, sosial budaya dan politik dalam
pengembangan karakter pada Era Merdeka Belajar saat ini.
Akhir kata, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Universitas Negeri
Surabaya beserta jajarannya, Narasumber, Pemakalah, Peserta, Panitia, dan berbagai pihak
yang telah berupaya menyukseskan Seminar Nasional 2020 ini. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa memberkati semua usaha baik kita. Aamiin YRA.
Surabaya, 19 Sepetember 2020
Ketua Pelaksana
Setyo Admoko, M.Pd
ii
KATA PENGANTAR KETUA LP3M UNESA
Perkembangan dunia dan aktivitas manusia didalamnya mendorong pengambil keputusan
tentang Pendidikan di Indonesia untuk mengantisipasi dan menyesuaikan diri terhadap
perubahan tersebut. Salah satu yang ditempuh adalah dengan program Merdeka Belajar yang
memberi kesempatan seluas-luasnya untuk belajar secara merdeka dari berbagai sumber baik
orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan yang beragam. Pada program ini para siswa didorong
memiliki kesempatan belajar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan serta passion yang sesuai
dengan dirinya.
Kondisi ini tentu memerlukan kemandirian bagi setiap pelajar yang menempuhnya, karena
semua kebutuhan dan cara belajarnya akan ditentukan oleh dirinya sendiri. Proses kemandirian
ini harus dikawal beriring dengan tahapan perkembangan individu yang menyertainya. Proses
kemandirian ini perlu mendapat bekal yang cukup untuk melangkah dan mengambil keputusan
yang tepat karena proses kemandirian sedikit sekali intervensi dari orang lain sehingga segala
keputusan diambil secara individual.
Proses kemandirian seperti itu tentu memerlukan karakter yang kuat sehingga setiap
tindakan dan keputusan yang diambil dapat berguna dan diterima baik oleh orang lain maupun
dirinya sendiri. Oleh karena itu setiap pelajar pada era Merdeka Belajar perlu memiliki karakter
yang kuat sebagai landasan dalam menempuh belajar di era ini dan untuk bekal dalam
mengantisipasi perubahan dan kehidupan dimasa mendatang.
Pusat Pendidikan Karakter, Bimbingan Konseling dan Layanan Psikologi pada Lembaga
Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Unesa memiliki tanggung jawab
dan komitmen untuk Bersama-sama mengembangkan karakter yang dapat membekali pelajar
dalam era Merdeka Belajar. Oleh karena itu melalui Seminar Nasional Penguatan pendidikan
karakter pada era Merdeka Belajar diharapkan mampu membekali, menambah wawasan dan
berbagai kemungkinan peluang yang dapat ditempuh untuk meningkatkan Pendidikan Karakter
di era Merdeka Belajar.
Semoga era Merdeka Belajar mampu mengantar pelajar Indonesia dan bangsa Indonesia
pada kehidupan di masa depan dengan Karakter yang kuat.
Surabaya, 19 September 2020
Ketua LP3M Unesa
Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd.
.
iii
PANITIA PELAKSANA
Steering Committee
: Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd.
Dr. Himawan Wismanadi, M.Pd.
Dr. Nanik Indahwati,S.Pd., M.Or.
Dr. Umi Anugerah Izzati, M.Psi., Psikolog.
Drs. Joni Susilowibowo, M.Pd.
Organizing Committee
Ketua
Wakil
Sekretaris
:
: Setyo Admoko, S.Pd., M.Pd.
: Dra. Sri Sulistiani, M.Pd.
: Listyaningsih, M.Pd.
Dr. Rr. Nanik Setyowati, M. Si.
Sulistyaningsih, S.H., M.M.
Bendahara
: Dra. Martini, M.Pd.
Dr. Advendi Kristyandaru, M.Pd.
Sie Acara
: Supriyanto, S.Pd., M.Pd.
Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP.
Dr. M. Turhan Yani, M.A
Drs. I Made Suwanda, M.Si.
Arief Sudrajat, S.Ant., M.Si.
Dr. Agusniar Dian Savitri, S.S., M.Pd.
Sie Open Conference System (OCS) : Utama Alan Deta, S.Pd., M.Pd, M.Si.
dan Humas
Setya Chendra Wibawa, S.Pd., M.T.
Ghea Sekar Palupi, S.Kom., M.I.M.
Dr. Nurhayati, S.T., M.T.
Syaiful Ardi, A.Md.
Sekretariatan
: Anis Trisusana, S.S., M.Pd.
Henny Dwi Iswati, S.S, M.Pd.
Rahmi Rahmayati, S.pd., M.Pd.
Dr. Hj. Mutimatul, S.Ag., M.Ag.
Tri Lestari, S..Pd
Prosiding
: Prof. Dr. Warsono, M.S.
Olievia Prabandini Mulyana, M.Psi., Psikolog.
Bambang Dibyo, S.Pd., M.Pd.
Yohana Wuri Satwika, M.Psi., Psikolog.
Perlengkapan
: Drs. H. Lamijan Hadi Susamo, M.Pd.
Aghus Sifaq, S.Or., M.Pd.
Yon Setiawan
Dokumentasi
: Komarudin
Sugianto, S.T.
iv
Reviewer
: Prof. Dr. Warsono, MS.
Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd.
Dr. Nanik Indahwati,S.Pd., M.Or.
Dr. Umi Anugerah Izzati, M.Psi., Psikolog.
Dr. Rr. Nanik Setyowati, M. Si.
Dr. Advendi Kristyandaru, M.Pd.
Dr. M. Turhan Yani, M.A.
Dr. Nurhayati, S.T., M.T.
Dr. Hj. Mutimatul, S.Ag., M.Ag.
Dr. Agusniar Dian Savitri, S.S., M.Pd.
Editor
: Olievia Prabandini Mulyana, M.Psi., Psikolog.
Yohana Wuri Satwika, M.Psi., Psikolog.
Bambang Dibyo Wiyono, S.Pd., M.Pd
v
SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL & CALL FOR PAPER 2020
“Penguatan Pendidikan Karakter Pada Era Merdeka Belajar”
Surabaya, 19 September 2020
Auditorium LP3M, Lantai 9, Gedung W1, Kampus Unesa Lidah Wetan Surabaya
No
1
2
Waktu
07.00 – 08.30
08.30 – 09.00
3
09.00 – 09.15
4
09.15 – 09.45
5
6
7
8
9
09.45 – 10.15
10.15 – 10.45
10.45 – 11.15
11.15 – 12.00
12.00 – 12.00
Acara
Registrasi Peserta
Pembukaan
- Mendengarkan Lagu Indonesia Raya
- Mendengarkan Mars UNESA
- Tampilan video Unesa crisis center
Pembacaan Do’a
Laporan Ketua Panitia
Sambutan Ketua LP3M
Sambutan sekaligus Pembukaan dan
Keynote Speaker: Rektor UNESA
Video Robot Unesa
Materi 1
“Merdeka Belajar Episode Kelima
Guru Penggerak”
Materi 2
“ Penguatan Pendidikan Karakter di
Era Pandemi”
Materi 3
“Penguatan Pendidikan Karakter
Berbasis Kearifan Budaya di Era
Merdeka Belajar”
Keterangan
Panitia / Mahasiswa
Pembawa Acara: Drs. Joni Susilowibowo, M.Pd. /
Prima Vidya Asteria, M.Pd.
Panitia
Dr. M. Turhan Yani, MA.
Setyo Admoko, S.Pd, M.Pd.
Dr. Bachtiar Syaiful Bachri, M.Pd.
Prof. Dr. Nurhasan, M. Kes.
Humas Unesa
Pemateri 1 :
Dr. Praptono, M.Ed.
(Direktur GTK Pendidikan Menengah dan
Pendidikan Khusus, Kemdikbud)
Moderator: Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP.
Notulen: Tim IT LP3M
Pemateri 2 :
Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd.
(Ketua Umum PB PGRI, Guru Besar di Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta)
Moderator: Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP.
Notulen: Tim IT LP3M
Pemateri 3 :
Dr. Martadi, M.Sn.
(Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Dosen di
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Surabaya)
Moderator: Siti Ina Savira, S.Psi., M.EdCP.
Notulen: Tim IT LP3M
TANYA JAWAB
PENUTUP
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR KETUA PANITIA ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR KETUA LP3M UNESA .................................................................. iii
PANITIA PELAKSANA ...................................................................................................... iv
SUSUNAN ACARA ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... vii
PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA ERA MERDEKA BELAJAR
Praptono ............................................................................................................................... 1
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PADA ERA MERDEKA BELAJAR DI SMP
NEGERI 20 SURABAYA
Bangkit Irmanudin Bahri .................................................................................................. 6
MERDEKA BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN JASMANI SEBAGAI
MATA PELAJARAN PENGEMBANGAN KARAKTER
Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto .............................................................. 12
PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MEMBENTUK SUMBER DAYA
MANUSIA YANG BERKOMPETEN UNTUK MEMBANGUN NEGARA
Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri ............................................................... 16
PEMBELAJARAN DI ERA MERDEKA BELAJAR TERHADAP KEMAMPUAN
METAKOGNITIF PESERTA DIDIK
Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya ....................................... 21
STUDI LITERATUR MENGENAI KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN DALAM
LINGKUP INDUSTRI DAN ORGANISASI DI ERA GENERASI MILLENIAL
Alfira Tara Rachmaningtyas, Felisca Novitria ................................................................ 26
MEMBANGUN KARAKTER BERBASIS BUDAYA JAWA PADA ERA REVOLUSI
INDUSTRI 4.0, REVOLUSI SOCIETY 5.0, DAN “MERDEKA BELAJAR”
Sri Sulistiani, Sukarman .................................................................................................... 34
PERUBAHAN KARAKTER SISWA SETELAH PEMBELAJARAN DALAM
JARINGAN (DARING) SELAMA MASA PANDEMI COVID-19
Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya .................................... 42
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN STRES AKADEMIK PADA
MAHASISWA YANG MENGIKUTI ORGANISASI DAN SCHOOL FROM HOME
Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas,
Dhea Karina Pramesta ....................................................................................................... 46
INTEGRASI PENDIDIKAN LIFE SKILL DENGAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA UNTUK MENGUATKAN KARAKTER SISWA SEKOLAH DASAR
Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan ........................ 52
vii
PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PROKRASTINASI AKADEMIK
MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA ANGKATAN
2017
Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani .......................................................... 58
PEMBELAJARAN EMANSIPATORIS BAGI MAHASISWA DI PERGURUAN
TINGGI BERBASIS LITERASI DIGITAL DI ERA MERDEKA BELAJAR
Rr Nanik Setyowati ............................................................................................................. 63
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS MASALAH DALAM PENDIDIKAN
KARAKTER
Nur Wahyu Rochmadi ........................................................................................................ 69
PENINGKATAN PADA PERILAKU KERJA INOVATIF MELALUI GAYA
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL (SEBUAH STUDI LITERATUR)
Nadhira Hafiza Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah ....................................................... 79
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA
KARYAWAN PERUSAHAAN: SEBUAH STUDI LITERATUR
Akbar Habibie, Zulia Tasnim ............................................................................................ 86
PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN
(DARING) BAGI PESERTA DIDIK DI ERA MERDEKA BELAJAR
Listyaningsih ....................................................................................................................... 94
STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM DUNIA
KERJA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN
Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa Husnianita .......................................................... 99
PERBEDAAN KETERLIBATAN KERJA DITINJAU DARI UNIT KERJA PADA
KARYAWAN
Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini ............. 105
HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DENGAN INNOVATIVE WORK
BEHAVIOR PADA RELAWAN STREET CHILDREN FOUNDATION SIDOARJO
Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla ........................................................................ 110
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI
MELALUI PRAKTIK PENGAJARAN YANG BERWAWASAN DEMOKRATIS
Maya Mustika Kartika Sari ............................................................................................... 117
KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN
PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA: SEBUAH STUDI LITERATUR
Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab ................................................................. 122
STRUKTUR DALAM MENULIS OPINI: MERDEKA BEROPINI DALAM
MENDESKRIPSIKAN SESEORANG
Norita Prasetya Wardhani, Hardono ................................................................................ 127
viii
PENGARUH ANALISIS JABATAN UNTUK MENENTUKAN SPESIFIKASI
JABATAN DALAM SUATU ORGANISASI : SEBUAH STUDI LITERATUR
Muhammad Vandif Abdurrahman Syah, Raditya Seta Sukma .................................... 131
STUDI LITERATUR MENGENAI PENILAIAN KEBUTUHAN PELATIHAN (TNA)
TERHADAP PRODUKTIVITAS KINERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya .................................................................................. 136
FAKTOR-FAKTOR
INTERNAL
DAN
EKSTERNAL
YANG
MEMPENGARUHI DISIPLIN KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN
DAPAT
Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani ............................................................. 145
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI MAHASISWA
ILMU HUKUM PADA ERA MERDEKA BELAJAR
Muh Ali Masnun ................................................................................................................. 150
STUDI LITERATUR:
ANALISIS
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM
MENINGKATKAN KINERJA PEGAWAI SEBAGAI BENTUK KESUKSESAN
BAGI PERUSAHAAN
Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah ............................................ 155
PENGEMBANGAN LITERASI MORAL PESERTA DIDIK DENGAN BIMBINGAN
KONSELING PERKEMBANGAN
Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti ............................................................... 160
HUBUNGAN SELF COMPASSION UNTUK MENINGKATKAN SUBJECTIVE WELL
BEING PADA MAHASISWA ORGANISASI UNESA
I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro .................................... 165
HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN
ORGANISASI DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER MAHASISWA
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul 'Alimah ............................................................ 170
TRADISI GAWI ADAT DAN IMPLIKASINYA DALAM MKU PENDIDIKAN ETIKA
DAN KEARIFAN LOKAL
Farida Ariyani, Edi Siswanto, Siska Mega Diana ............................................................ 175
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA
ANGGOTA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN (HMJ) PSIKOLOGI UNESA
Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri ....................................................................... 182
GAMBARAN RESILIENSI PADA BURUH PABRIK YANG MENGALAMI
DAMPAK PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin ......................................................... 186
PENGARUH SELF LEARNING TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR
PESERTA PELATIHAN DASAR CPNS ONLINE BMKG
Juniarto Widodo ................................................................................................................. 195
ix
BURNOUT DAN KOMITMEN TERHADAP TUGAS: TANTANGAN TENAGA
MEDIS DALAM MENGHADAPI PANDEMI COVID-19
Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan .................................................... 199
PERAN PENTING KEPEMIMPINAN TERHADAP BUDAYA ORGANISASI GUNA
MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DI TENGAH PESATNYA GLOBALISASI
Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti .................................................................. 204
MENGIMPLEMENTASIKAN ENAM LANGKAH STRATEGIS DALAM
PEMBELAJARAN
SEBAGAI
UPAYA
UNTUK
MENDIDIK
ANAK
BERKARAKTER
Muhammad Akbar, Hasmiati ............................................................................................ 208
PENERAPAN KEPEMIMPINAN UNTUK MENCAPAI KEMAJUAN ORGANISASI
(SEBUAH STUDI LITERATUR TENTANG KEPEMIMPINAN DALAM
ORGANISASI)
Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti .......................................................................... 213
PERBEDAAN OCB DITINJAU DARI JENIS KELAMIN PADA ANGGOTA DPM
FAKULTAS X UNESA
Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawati .............................................................. 218
GAMBARAN KECENDERUNGAN KEMAMPUAN KERJASAMA AUD DI PPT
SEKAR ARUM JAMBANGAN SURABAYA
Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah .......................... 224
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASI DENGAN PERILAKU
INOVATIF PADA MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Erlina Yupra Handayani, Aulia Rahmah ......................................................................... 228
PENGARUH KEPUASAN KERJA DALAM MEMPENGARUHI KOMITMEN
ORGANISASIONAL DITINJAU DARI TEORI KEPUASAN KERJA
Gresya Agung Rakasiwi ..................................................................................................... 235
PENGARUH KONFLIK PERAN TERHADAP KESEHATAN MENTAL BAGI
MAHASISWA YANG MENGIKUTI ORGANISASI UNESA
Elang Dewantara, Agung Ruli Vebrianto ......................................................................... 240
DAMPAK COVID-19 TERHADAP PENERAPAN “BELAJAR DARING” PADA
SISWA LUAR BIASA DI SD BANDAR KIDUL 2 KOTA KEDIRI
Nabilla Bakda Mauludy ..................................................................................................... 244
STUDI LITERATUR ETOS KERJA PENGUSAHA
MENGHADAPI DOMINASI ETNIK CINA DI INDONESIA
MUSLIM
DALAM
Alaya Putri Ananda, Ciendya Putri Yuda Ramadhani ................................................... 248
PENTINGNYA KOMPETENSI KEPRIBADIAN BAGI GURU BK DALAM
MEMBANGUN KARAKTER SISWA
Cucu Kurniasih, Panji Nur Fitri Yanto, Bayu Selo Aji ................................................... 256
x
PENGARUH STRES KERJA DALAM PEMILIHAN STRATEGI
ANGGOTA HMJ PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
COPING
Shima Zahrotunnisa', Atanasius Yudistira Putratama .................................................. 260
PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP DISIPLIN KERJA PADA ANGGOTA
HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN (HMJ) PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI
SURABAYA
Risti Dwi Pramesti, Christina Ayu Wibisono ................................................................... 265
PENYESUAIAN DIRI SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN DARING DI SMA
LABORATORIUM UNSYIAH PADA MASA PANDEMI COVID-19
Fajriani, Yulizar, Syaiful Bahri, Abu Bakar .................................................................... 271
PENGARUH
KONFORMITAS
TERHADAP
PERILAKU
KONSUMTIF
(CONSUMPTIVE BEHAVIOR) PADA MAHASISWA: SEBUAH STUDI LITERATUR
Nadila Trisukma Devi, Sridewi Murni Agriyanti ............................................................ 279
PROYEK KARAKTERKU: MODEL PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI
LEARNING FROM HOME DI ERA MERDEKA BELAJAR
Oksiana Jatiningsih ............................................................................................................ 283
PENGARUH KEPUASAN KERJA DALAM MENINGKATKAN
KARYAWAN PERUSAHAAN: SEBUAH KAJIAN LITERATUR
KINERJA
Martha Paula Veronika, Adela Alif Qintari ..................................................................... 290
STUDI LITERATUR MENGENAI MOTIVASI KERJA PADA KARYAWAN
DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN
Kusuma Purbaningtyas, Wiwin Muchollasho .................................................................. 295
AKTUALISASI NILAI NASIONALISME
PANCASILA DI BLITAR
DALAM
PERAYAAN
GREBEG
Indah Iriani, Nur Wahyu Rochmadi ................................................................................. 301
STUDI
LITERATUR:
ANALISIS
GAYA
KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL
DAN
KOMITMEN
ORGANISASI
DALAM
MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN
Elsa Hutabarat, Julia Fatmawati ...................................................................................... 310
PERBEDAAN KOMITMEN AFEKTIF DITINJAU DARI USIA PADA DEWAN
PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
Putri Ramadhany, Rizky Dewantoro ................................................................................. 314
PERBEDAAN KOMITMEN AFEKTIF DITINJAU
ANGGOTA DPM FIP UNESA 2019
DARI GENDER
PADA
Anggi Raylian Arum, Farisa Nur Amarina ...................................................................... 322
MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS VBA PADA POKOK BAHASAN
ASAS BLACK : CERMINAN IMPLEMENTASI MERDEKA BELAJAR
xi
Farihun Ni'mah, Rifa Salsabila Amani ............................................................................. 329
KAJIAN LITERATUR MENGENAI DAMPAK KOMITMEN ORGANISASI PADA
KINERJA KARYAWAN DI SUATU PERUSAHAAN
Adisti Dian Safitri, Cici Fauziah Agustin .......................................................................... 334
EFEKTIVITAS MANAJEMEN STRATEGIS ORGANISASI PADA ORGANISASI
MAHASISWA DI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA SEBAGAI BENTUK
PERENCANAAN SDM
Tasya Firly Febriana, Indah Nur Izzati ............................................................................ 339
PENEREPAN MODEL ROLE PLAYING UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR SISWA KELAS IV MIN 17 PIDIE
Nanda Saputra, Miswar Saputra ....................................................................................... 346
HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA PADA HMJ
PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Yeni Febriani, Erlina Batari .............................................................................................. 352
E-LEARNING MATA KULIAH SUBTITLING PRODI SASTRA INGGRIS
Mamik Tri Wedawati, Adam Damanhuri ........................................................................ 357
GAYA KEPEMIMPINAN DI LINGKUNGAN KERJA DAN ORGANISASI PADA
ERA KEMERDEKAAN BELAJAR: STUDI LITERATUR
Nurul Khoiriyah, Dinda Ayu Damayanti ......................................................................... 363
SEBUAH STUDI LITERATUR: PENGARUH SELF EFFICACY PADA KARYAWAN
TERHADAP KARAKTER SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PERUSAHAAN
ATAU ORGANISASI
Firda Dwi Ismiantari, Dya Wahyu Anggraeni, Sholekhania Novita Raniswati ........... 369
HUBUNGAN ANTARA PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS DENGAN KOMITMEN
PROFESIONAL PADA GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Suhermin, Umi Anugerah Izzati ........................................................................................ 378
STUDI LITERATUR: ANALISIS TEORI PEMBERIAN KOMPENSASI TERHADAP
KINERJA KARYAWAN DI PERUSAHAAN
Salsabila Citra Mahendro Putri, Alsheta Marcha Nurriyana ........................................ 384
MENUMBUHKAN KESADARAN MASYARAKAT DI ERA NEW NORMAL
DALAM RANGKA PENINGKATAN IMUNITAS
Arik Susanti, Anis Trisusana, Ririn Pusparini, Esti Kurniasih, Rahayu Kuswardani,
Inda Nur Abidah ................................................................................................................. 390
STUDI LITERATUR: ANALISIS PENGARUH PEMBERIAN MOTIVASI KERJA
TERHADAP HASIL KINERJA DAN PRESTASI KERJA KARYAWAN
Ayucitra Jalesveva Widyataqwa, Dwiyani Az Zahroh ..................................................... 395
IMPLEMENTASI MEDIA PEMBELAJARAN ONLINE YANG DIGUNAKAN OLEH
DOSEN SELAMA PANDEMI COVID 19
Rochmawati, Luqman Hakim, Agung Listiadi, Eko Wahjudi, Vivi Pratiwi ................ 399
xii
HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN DISIPLIN KERJA PADA
DRIVER OJEK ONLINE DI SURABAYA
Jesica Nur Azizah, Anisa Eka Septiningwulan ................................................................ 403
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN ONLINE DALAM MASA PANDEMIK
COVID 19
Denok Sunarsi, Hadion Wijoyo, Fikron Al Choir ............................................................ 411
xiii
PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA ERA MERDEKA BELAJAR
Praptono
Direktur GTK Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud, mpraptono@gmail.com
Abstrak
Pendidikan karakter menjadi suatu kunci dalam mempererat pembangunan sumber daya manusia di
Indonesia, sehingga perlu meningkatkan urgensi terhadap pentingnya penerapan pendidikan
karakter. Arah kebijakan pendidikan karakter di Indonesia secara operasional kebijakan tersebut
dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 87/2017 tentang “Penguatan Pendidikan Karakter”,
dengan konten utama pendidikan karakter, terdapat pada Pasal 3 Perpres No.87/2017. Berdasarkan
dari Peraturan Presiden No. 87/2017 tersebut, maka Kemendikbud memiliki gagasan untuk
mengembangkan platform pendidikan nasional yang mana jiwa utama dalam menyelenggarakan
pendidikan ialah pendidikan karakter. Rencana strategis kemendikbud tahun 2020-2024 yaitu
menciptakan Pelajar Pancasila dengan pewujudan atas serangkaian kebijakan dalam Merdeka
Belajar. Keberhasilan dalam menciptakan pendidikan karakter berada pada bagaimana kepiawaian
guru dalam menjadi inspirasi dan teladan yang baik bagi setiap murid, dengan demikian kebijakan
merdeka belajar akan menjadi sangat relevan dalam mensukseskan pendidikan karakter.
Kata Kunci: pendidikan karakter, kemendikbud, merdeka belajar.
PENDAHULUAN
Urgensi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sekarang ini semakin disadari
urgensinya bagi pembangunan sumberdaya manusia.
Secara teoritis, sudah cukup banyak studi yang
menunjukkan urgensi pendidikan karakter
dalam
rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Studi yang dilakukan Marvin Berkowitz dan Melinda
C Bier (2005) dari University of Missouri Saint Louis,
Amerika, menunjukkan sekolah- sekolah yang
menerapkan pendidikan karakter secara komprehensif
mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan
motivasi murid dalam meraih prestasi akademik dan
penurunan drastis pada perilakuk negatif yang
menghambat keberhasilan akademik. Studi ini
sejalan dengan penemuan Joseph Zins, at.al (2004)
bahwa faktor kegagalan murid, bukanlah pada
kecerdasan otak melainkan pada kelemahan karakter,
seperti rasa percaya diri dan motivasi yang kurang,
kurang mampu bekerjasama, kurang mampu
komunikasi, kurang rasa empati dan seterusnya.
Pendapat senada juga dikemukakan Daniel Goleman
(2018) tentang keberhasilan seseorang di masyarakat,
di mana 80 persen dipengaruhi kecerdasan emosi dan
hanya 20 persen ditentukan kecerdasan otak. Penelitian
tersebut seakan terkonfirmasi dengan bukti empiris
dari beberapa negara yang sejak awal sudah
memperkenalkan pendidikan karakter sejak dini,
seperti Korea Selatan, Singapura, Cina dan seterusnya.
Korea Selatan umpamanya, terkenal dengan
kewajiban anak usia antara 18-28 tahun untuk masuk
pendidikan wajib militer.
Beberapa penelitian tersebut di atas sebetulnya
melengkapi beberapa teori tetang modal manusia
(human capital). Kalau Schultz (1961), Becker (1964)
dan ilmuwan generasi seangkatannya masih
menekankan pentingnya lama pendidikan dalam
meningkatkan pendapatan maka generasi selanjutnya
yang dipelopori oleh Hanushek dan Woessman (2007)
mulai menekankan pentingnya mutu pendidikan
(bukan akses pendidikan) yang akan berpengaruh pada
peningkatan pendapatan. Dan sekarang, mulai
berkembang, pendekatan pendidikan karakter sebagai
kunci memperkuat pembangunan sumber daya
manusia.
Arah Kebijakan
Indonesia sudah cukup lama menyadari pentingnya
pendidikan karakter. Masalah ini sudah diletakkan
sebagai titik sentral dalam tujuan pendidikan. Hal itu
digariskan dalam Pasal 31 ayat (3) Amandemen UUD
1945 yang menyebutkan, “ pemerintah mengusahakan
dan
menyelenggarakan
satu sistem pendidikan
nasional yang
meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Amanah
konstitusi ini menyiratkan bahwa tujuan utama
pendidikan sebetulnya adalah pendidikan karakter
yang tercermin dalam
peningkatan keimanan,
ketakwaan dan akhlak mulia. Setelah itu, barulah
membangun kecerdasan bangsa.
Tekanan kepada
pendidikan karakter ini
dipertegas dalam UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, di mana tujuan pendidikan
dirumuskan sebagai berikut:
1
Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar
Praptono
“berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”
Kalau
memperhatikan
rumusan
tujuan
pendidikan ini, maka aspek yang paling banyak dari
tujuan pendidikan nasional justru terletak pada
pendidikan karakter, seperti kata
“beriman dan
bertakwa”, “berakhlak mulia”, “cakap”, “kreatif”,
“bertanggungjwab” dan “menjadi warga negara
demokratis”. Sementara itu, aspek yang mengarah
kepada kecerdasan intelligence atau cognitive skills
hanya terwakili dalam kata “berilmu”.
Bagaimana arah kebijakan pendidikan karakter
di Indonesia? Rumusan kebijakan operasionalnya
tertuang dalam Peraturan Presiden No. 87/2017
tentang “Penguatan Pendidikan Karakter”. Konten
utama pendidikan karakter, menurut Pasal 3 Perpres
No.87/2017 adalah sebagai berikut:
PPK dilaksanakan dengan menerapkan
nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan
karakter terutama meiiputi nilai-nilai
religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja
keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, komunikatif,
cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan,
peduli
sosial,
dan
bertanggungiawab
Rumusan ini cukup panjang, yang kalau
disederhanakan dapat dikelompokkan dalam dua
bagian. Konten yang terkait dimensi individual dan
konten yang berdimensi sosial. Menurut hemat kami,
pembagiannya adalah sebagai berikut:
Dimensi Individual
1) Jujur,
2) Toleran,
3) Disiplin,
4) Bekerja keras,
5) Kreatif mandiri,
6) Rasa ingin tahu,
7) Gemar
membaca,
8) Bertanggung
jawab.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Dimensi Sosial
Demokratis,
Semangat
kebangsaan,
Cinta tanah air,
Menghargai
prestasi,
Komunikatif,
Cinta damai,
Peduli lingkungan,
Peduli sosial.
Seperangkat nilai yang terumuskan di atas
merupakan formulasi dari nilai-nilai yang bersifat
universal dan nilai-nilai yang bersifat lokal. Jujur,
disiplin, kreatif, mandiri, bekerja keras dan
bertangungjawab umpamanya, merupakan nilai
kebaikan individu yang ada dalam masyarakat
manapun dan juga merupakan nilai yang berkembang
dalam ajaran agama. Rasanya, tak ada masyarakat
atau ajaran agama yang menolak kebaikan nilai-nilai
tersebut. Nilai-nilai semacam ini boleh dikatakan
bersifat universal.
Meskipun demikian, terdapat nilai-nilai yang
bersifat khas suatu masyarakat yang selanjutnya
menjadi ciri khas masyarakat tersebut. Nilai ini bukan
berarti tidak ada dalam masyarakat lain, melainkan
dalam masyarakat tertentu mendapat penguatan.
Masyarakat Indonesia umpamanya, di samping
terkenal dengan masyarakat yang kuat nilai
keagamaannya juga
sangat terkenal dengan nilai
kegotongroyongan atau solidaritas sosial tanpa
membedakan latar belakang suku dan agama.
Di
sini nilai kegotongroyongan berjalan seiring dengan
nilai-nilai toleransi dan pluralisme dan dalam
konstruksi modern berdampingan dengan nilai- nilai
demokratis. Kekhasan Indonesia selanjutnya adalah
semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Seperangkat nilai tersebut, diharapkan tertanam
dalam diri peserta didik sehingga mampu menjadi
acuan sikap dan perilaku sehingga membentuk
karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan
atau budi pekerti yang dapat membedakan seseorang
dengan yang lain (2008:639). Makna senada juga
ditemukan dalam
Oxford
Dictionary
yang
mendeskripsikan karakter sebagai the mental and
moral qualities distinctive to an individual; the
distinctive nature of something; the quality of being
individual in an interesting or unusual way; strength
and originality in a person’s nature; a person’s good
reputation (kualitas mental dan moral yang khas pada
seseorang; sifat khas sesuatu; kualitas individu dalam
pandangan yang menarik atau tidak biasa; kekuatan dan
orisinalitas dalam diri seseorang; reputasi yang baik
seseorang). Secara sederhana, karakter adalah nilainilai moral tertentu yang mampu membentuk sikap
seseorang dan sikap tersebut mewujud dalam perilaku
sehari-hari.
Saluran apakah yang digunakan dalam
menanamkan nilai-nilai tersebut ?
Perpres No. 87/2017 telah menggariskan bahwa
untuk menanamkan nilai-nilai tersebut di atas, harus
diupayakan melalui sistem pendidikan. Pasal 3 Perpres
No.87/2017 menggariskan tujuan pendidikan karakter
adalah sebagai berikut:
2
Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar
Praptono
a. Membangun dan membekali Peserta Didik sebagai
generasi emas Indonesia
Tahun 2045 dengan jiwa Pancasla dan pendidikan
karakter yang baik guna menghadapi dinamika
perubahan di masa depan;
b. Mengembangkan platform pendidikan nasional
yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa
utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi
Peserta Didik dengan dukungan pelibatan publik
yang dilakukan melalui pendidikan jalur formal,
nonformal, dan informal dengan memperhatikan
keberagaman budaya Indonesia; dan
c. Merevitalisasi dan memperkuat potensi dan
kompetensi pendidik, tenaga kependidikan,
Peserta Didik, masyarakat, dan lingkungan
keluarga dalam mengimplementasikan PPK.
Dari tiga poin di atas, terlihat sistem pendidikan
menjadi tumpuan utama pendidikan karakter. Hal ini
sangat wajar karena sistem pendidikan merupakan
institusi paling strategis dalam pendidikan karakter.
Dan sebagaimana disebutkan dalam tujuan diatas, jalur
pendidikan yang digunakan meliputi keseluruhan
sistem pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan
formal, nonformal dan informal. Terkait pendidikan
formal, maka penyelenggaraannya harus terintegrasi
dengan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstra
kurikulum.
PEMBAHASAN
Kemendikbud dan Pendidikan Karakter
Sebagaimana amanah Perpres No. 87/2017, maka
Kemendikbud
harus mengembangkan platform
pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan
karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan
pendidikan. Amanah ini diterjemahkan menjadi visi
Kemendikbud yaitu “terciptanya Pelajar Pancasila yang
bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa
kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong
royong, dan berkebinekaan global”. Kalau kita cermati
visi ini, maka akan tampak bahwa sebagian besar nilainilai yang hendak ditanamkan kepada Pelajar Pancasila
adalah nilai-nilai yang terkait dengan pendidikan
karakter, seperti beriman, bertakwa kepada Tuhan
YME,
berakhlak mulia, berkebinekaan global,
bergotong royong, mandiri
dan kreatif.
Dalam
Rencana Strategis Kemendikbud 2020-2024, Pelajar
Pancasila digambarkan sebagai berikut
Gambar 1 Pelajar Pancasila
Sumber: Renstra Kemendikbud 2020-2024
Gambaran ideal Pelajar Pancasila tersebut hendak
diwujudkan melalui serangkaian kebijakan Merdeka
Belajar. Kebijakan Merdeka Belajar dapat terwujud
secara optimal melalui:
1) Peningkatan
kompetensi
kepemimpinan,
kolaborasi antar elemen masyarakat, dan budaya;
2) Peningkatan infrastruktur serta pemanfaatan
teknologi di seluruh satuan pendidikan;
3) Perbaikan paa kebijakan, prosedur, dan pendanaan
pendidikan; dan
4) Penyempurnaan kurikulum, pedagogi, dan
asesmen.
Perubahan yang diusung oleh Kebijakan Merdeka
Belajar akan terjadi pada kaegori:
1) Ekosistem pendidikan;
2) Guru;
3) Pedagogi;
4) Kurikulum; dan
5) Sistem penilaian
Pada ekosistem pendidikan, Kemendikbud akan
mengubah pandangan dan praktik yang bersifat
mengekang kemajuan pendidikan, seperti penekanan
pada pengaturan yang kaku, persekolahan sebagai
tugas yang memberatkan, dan manajemen sekolah
yang terfokus pada urusan internalnya sendiri menjadi
ekosistem pendidikan yang diwarnai oleh suasana
sekolah yang menyenangkan, keterbukaan untuk
melakukan kolaborasi lintas pemangku kepentingan
pendidikan, dan keterlibatan aktif orang tua murid dan
masyarakat.
Berkaitan dengan guru, Kebijakan Merdeka
Belajar akan mengubah paradigma guru sebagai
penyampai informasi semata menjadi guru sebagai
fasilitator dalam kegiatan belajar. Dengan demikian
guru memegang kendali akan pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar di ruang kelasnya masing-masing.
Penghargaan setinggi-tingginya bagi profesi guru
sebagai fasilitator dari beragam sumber pengetahuan
akan diwujudkan melalui pelatihan guru berdasarkan
praktik yang nyata, penilaian kinerja secara holistik,
dan pembenahan kompetensi guru.
3
Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar
Praptono
Dalam hal pedagogi, Kebijakan Merdeka Belajar
akan meninggalkan pendekatan standardisasi menuju
pendekatan heterogen yang lebih paripurna
memampukan guru dan murid menjelajahi khasanah
pengetahuan yang terus berkembang. Murid adalah
pemimpin pemelajaran dalam arti merekalah yang
membuat kegiatan belajar mengajar bermakna,
sehingga pemelajaran akan disesuaikan dengan
tingkatan kemampuan siswa dan didukung dengan
beragam teknologi yang memberikan pendekatan
personal bagi kemajuan pemelajaran tiap siswa, tanpa
mengabaikan pentingnya aspek sosialisasi dan bekerja
dalam kelompok untuk memupuk solidaritas sosial dan
keterampilan lunak (soft skills). Dengan menekankan
sentralitas pemelajaran siswa, kurikulum yang
terbentuk oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan
berkarakteristik fleksibel, berdasarkan kompetensi,
berfokus pada pengembangan karakter dan
keterampilan lunak, dan akomodatif terhadap
kebutuhan DU/DI. Sistem penilaian akan bersifat
formatif/mendukung perbaikan dan kemajuan hasil
pemelajaran dan menggunakan portofolio.
Dalam pendidikan karakter ada empat aspek
filosofi pendidikan yang ditanamkan (olah hati, olah
raga, olah karsa, dan olah pikir) dan lima nilai utama
(religiositas, integritas, nasionalisme, gotong royong,
dan kemandirian) yang menjadi fokus dalam
pembentukan karakter seperti terlukis dalam gambar
berikut ini.
Gambar 2 Skema Penguatan Pendidikan Karakter
Sumber: Renstra Kemendikbud 2020-2024
Penguatan Pendidikan Karakter dilaksanakan
melalui pendekatan guru dan siswa secara langsung
melalui kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler, dan
ekstra-kurikuler pada setiap jenjang pendidikan.
a. Intrakurikuler
Merupakan penguatan nilai-nilai karakter melalui
kegiatan penguatan materi pembelajaran, metode
pembelajaran sesuai dengan muatan kurikulum.
b. Kokurikuler
• Merupakan penguatan nilai-nilai karakter yang
dilaksanakan untuk pendalaman dan/ atau
pengayaan kegiatan Intrakurikuler sesuai
muatan kurikulum.
• Dapat dilakukan melalui kerja sama antar
Satuan Pendidikan formal, dengan satuan
Pendidikan Nonformal dan dengan lembaga
keagamaan atau lembaga lain yang terkait
seperti lembaga pemerintahan, lembaga kursus
dan
pelatihan,
sanggar
budaya,
perkumpulan/organisasi
kemasyarakatan,
dunia usaha/dunia industri, dan/atau organisasi
profesi terkait.
c. Ekstrakurikuler
• Merupakan penguatan nilai-nilai karakter
dalam rangka perluasan profesi, bakat minat,
kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan
kemandirian Peserta Didik secara optimal.
• Meliputi kegiatan krida, karya ilmiah, latihan
olah bakat/olah minat, dan kegiatan
keagamaan seperti pesantren kilat, ceramah
keagamaan, katekisasi, retreat, dan/atau baca
tulis Al-Quran dan kitab suci lainnya.
Penguatan pendidikan karakter tersebut diatas
dilaksanakan dengan prmslp manajemen berbasis
sekolah di mana yang menjadi tanggungjawab
penyelenggaraan adalah kepala satuan Pendidikan
dan guru. Penyelenggaraan pendidikan karakter pada
satuan pendidikan formal dilaksanakan selama 6
(enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu)
minggu dengan mempertimbangkan a) kecukupan
pendidik dan tenaga kependidikan; b) ketersediaan
sarana dan prasarana; c) kearifan lokal; dan d)
pendapat tokoh agama atau tokoh masyarakat di luar
komite sekolah.
Kalau memperhatikan garis besar arah kebijakan
pendidikan karakter sebagaimana diuraikan diatas,
maka keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh
kepiawaian guru untuk menjadi inspirasi dan teladan
bagi murid-muridnya. Dan untuk itu, kebijakan
merdeka belajar menjadi sangat relevan.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan dalam Pasal 31 ayat (3) Amandemen
UUD 1945 yang menyebutkan, “pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.” Amanah konstitusi
ini menyiratkan bahwa tujuan utama pendidikan
4
Penguatan Pendidikan Karakter pada Era Merdeka Belajar
Praptono
sebetulnya adalah pendidikan karakter yang tercermin
dalam peningkatan keimanan, ketakwaan dan akhlak
mulia. Tekanan kepada pendidikan karakter ini
dipertegas dalam UU No.202003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, di mana tujuan pendidikan
dirumuskan sebagai berikut: “berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.
Memperhatikan rumusan tujuan pendidikan
tersebut, maka aspek yang paling banyak dari tujuan
pendidikan nasional justru terletak pada pendidikan
karakter, seperti kata “beriman dan bertakwa”,
“berakhlak
mulia”,
“cakap”,
“kreatif”,
“bertanggungjwab” dan “menjadi warga negara
demokratis”. Perubahan yang diusung oleh Kebijakan
Merdeka Belajar akan terjadi pada kaegori: 1)
Ekosistem pendidikan; 2) Guru; 3) Pedagogi; 4)
Kurikulum; dan 5) Sistem penilaian Pada ekosistem
pendidikan.
Kemendikbud akan mengubah pandangan dan
praktik yang bersifat mengekang kemajuan pendidikan,
seperti penekanan pada pengaturan yang kaku,
persekolahan sebagai tugas yang memberatkan, dan
manajemen sekolah yang terfokus pada urusan
internalnya sendiri menjadi ekosistem pendidikan yang
diwarnai oleh suasana sekolah yang menyenangkan,
keterbukaan untuk melakukan kolaborasi lintas
pemangku kepentingan pendidikan, dan keterlibatan
aktif orang tua murid dan masyarakat.
Joseph E. Zins, Roger P. Weissberg, et al. (2004).
Building Academic Success on Social and
Emotional Learning: What Does the Research Say?
New York: Teachers College Press.
Majelis Permusyawaratan Rakyat.(2017). UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia.
Jakarta: MPR.
Oxford English and Spanish Dictionary, Thesaurus,
and
Spanish
to
English
Translator
https://www.lexico.com/definition/character
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun
2020- 2024
Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2017
tentang “Penguatan Pendidikan Karakter”.
Schultz, T.W. (1961). “Investment in Human Capital”.
American Economic Review, Vol. 51.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
“Sistem Pendidikan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016)
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Becker, Gary S. (1964). Human Capital: A Theoretical
and Empirical Analysis with Special Reeference to
Education. Chicago and London: The University
of Chicago Press
Berkowitz, Marvin dan Melinda C Bier. (2005). What
works in character education: A research-driven
guide for educators. Washington, DC: Character
Education Partnership
Goleman, Daniel. (2018) Emotional Intelligence.
Jakarta: Pustaka Utama Gramedia. Hanushek, Eric
dan Woessman (2007). Education Quality and
Economic Growth. Washington
DC:
World
Bank
Group.
https://doi.org/10.1080/15507394.2019.1626211
5
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PADA ERA MERDEKA BELAJAR DI SMP NEGERI 20
SURABAYA
Bangkit Irmanudin Bahri
SMP Negeri 20 Surabaya, bangkit.bahri@gmail.com
Abstrak
Proses pendidikan secara filsafati merupakan semua hal yang berkaitan dengan usaha manusia untuk
mengerti dan memahami hakikat sebuah pendidikan. Filsafat pendidikan erat hubungannya dengan
proses pelaksanaan pendidikan yang baik dan tujuan pendidikan dapat tercapai seperti yang dicitacitakan. Upaya peningkatan kualitas pendidikan sesungguhnya dipengaruhi oleh proses
pembelajaran yang dilaksanakan, sehingga pembelajaran yang ideal yaitu mengedepankan
kebermaknaan dan kemanfaatan bagi pembelajar atau siswa. Saat ini menteri pendidikan dan
kebudayaan berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan dua hal yaitu merdeka belajar dan
program guru penggerak. Merdeka belajar adalah unit pendidikan yang terdiri atas sekolah, guruguru, dan siswanya punya kebebasan untuk berinovasi, serta kebebasan untuk belajar dengan mandiri
dan kreatif. Demi mewujudkan program merdeka belajar itu SMP Negeri 20 Surabaya
mengembangkan bahan ajar berbasis jaringan yang diberi nama e learning SMP Negeri 20 Surabaya
dengan menggunakan program Moodle. Pengembangan bahan ajar ini bertujuan pada aktivitas
modernisasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi yang diharapkan dapat
membantu siswa dalam memahami materi pelajaran secara produktif, efektif, interaktif, inspiratif,
konstruktif, dan suasana yang menyenangkan.
Kata Kunci: pendidikan, pembelajaran, sumber ajar.
PENDAHULUAN
Guru adalah pendidik profesional yang memiliki tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, memberikan
pengarahan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik. Semua tugas utama guru itu terangkai
dalam proses kegiatan pembelajaran. Beberapa faktor
yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran,
misalnya kreativitas guru dalam menggunakan model,
metode, dan media pembelajaran yang menarik untuk
menumbuhkan minat belajar siswa. Pemilihan dan
penggunaan model, metode, dan media pembelajaran
yang sesuai dengan materi pembelajaran dapat
mengoptimalkan proses pembelajaran serta pencapaian
tujuan pembelajaran. Guru dituntut mengembangkan
kreativitasnya
dalam
melaksanakan
proses
pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang
digunakan. Menurut Bahri (2017: 540), kurikulum
yang dilaksanakan sebaiknya kurikulum yang sesuai
dengan kondisi lingkungan, kebudayaan, minat, dan
kondisi psikis peserta didik.
Pada umumnya fungsi guru sudah dijabarkan
sebelumnya, namun masih terdapat fungsi lain yaitu
terkandung dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Pasal 40 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yakni (1) memelihara dan
memupuk persatuan dan kesatuan bangsa; (2)
menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika; (3) menciptakan suasana pendidikan yang
bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan
dialogis; (4) memelihara komitmen secara profesional
untuk meningkatkan mutu pendidikan; serta (5)
memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga,
profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berupaya
meningkatkan kualitas pendidikan dengan dua hal yaitu
merdeka belajar dan program guru penggerak. Merdeka
belajar adalah unit pendidikan yang terdiri atas sekolah,
guru-guru, dan siswanya punya kebebasan untuk
berinovasi, serta kebebasan untuk belajar dengan
mandiri
dan
kreatif.
Proses
pembelajaran
sesungguhnya memiliki peran penting dalam upaya
meningkatkan
kualitas
pendidikan,
sehingga
pembelajaran
yang
diselenggarakan
dengan
mengedepankan kebermaknaan dan kemanfaatan bagi
pembelajar. Hal tersebut diharapkan untuk
menciptakan suasana pembelajaran yang dapat
menstimulasi kemampuan peserta didik dalam
mengeksplorasi dan menggali potensinya secara
optimal dengan kreatif, inovatif, dan menyenangkan.
Menurut Sungkono, dkk. (2003: 1) pengembangan
bahan ajar akan membantu guru agar pembelajaran
lebih efektif, efisien, dan tidak melenceng dari
kompetensi yang ingin dicapainya.
Pada saat ini metode pembelajaran yang masih
dominan digunakan oleh guru dalam mengajar,
misalnya metode ceramah. Pembelajaran dengan
metode ceramah menyebabkan menurunkan minat
6
Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya
Bangkit Irmanudin Bahri
semangat belajar siswa, siswa kurang aktif dalam
pembelajaran, serta siswa sulit dikendalikan saat
pembelajaran, bosan, merasa takut, dan tidak percaya
diri. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa
model, metode, dan media pembelajaran yang
digunakan oleh guru perlu inovasi untuk menggunakan
media pembelajaran yang efektif dan efisien. Pada
kenyataannya
guru
kurang
optimal
dalam
menggunakan media dan Iptek yang tersedia di
sekolah. misalnya media LCD proyektor dan media
konkret.
Berdasarkan pengalaman sebagai guru dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran SMP Negeri 20
Surabaya, terdapat lima isu yang teridentifikasi, antara
lain (1) rendahnya pengetahuan dan keterampilan siswa
dalam proses pembelajaran, (2) guru kurang variatif
dan inovatif dalam penyampaian materi, (3) kurang
optimalnya penggunaan Iptek dalam proses
pembelajaran, (4) rendahnya fokus siswa pada kegiatan
belajar yang berbasis teacher center, dan (5) masih
kurangnya motivasi belajar siswa dalam pembelajaran
yang berbasis konvensional. Isu-isu tersebut dianalisis
menggunakan teknik AKPL untuk mengetahui isu
mana yang dominan nilainya. Berdasarkan penetapan
isu dengan menggunakan teknik AKPL, beberapa isu
yang dominan akan dianalisis menggunakan teknik
USG. Berdasarkan analisis teknik USG tersebut, maka
dirumuskan isu yang paling dominan.
Solusi yang diharapkan bisa mengatasi isu-isu
dalam pembelajaran di SMP Negeri 20 Surabaya adalah
pembuatan bahan ajar melalui e-learning atau
pembelajaran berbasis elektronik. E-learning adalah
suatu sistem atau konsep pendidikan yang
memanfaatkan teknologi informasi dalam proses
belajar mengajar. Keuntungan penyusunan bahan ajar
menggunakan sistem e-learning antara lain, (1) lebih
mudah diserap dengan adanya fasilitas multimedia; (2)
lebih efektif dalam pembiayaan, yaitu tidak perlu
instruktur, tidak perlu minimum audiensi, bisa dimana
saja dan kapan saja, mudah untuk diperbanyak; (3)
lebih ringkas dengan tidak banyak aturan formal di
kelas, langsung pada pokok pembahasan, materi
pelajaran sesuai kebutuhan; serta (4) tersedia waktu
yang longgar, karena penguasaan materi tergantung
pada keinginan dan kemampuan pemahaman siswa,
mudah dimonitor, dan bisa diuji dengan tes elektronik.
Pembuatan bahan ajar melalui e-learning di SMP
Negeri 20 Surabaya menggunakan aplikasi Moodle.
Aplikasi ini adalah sistem pengelolaan pembelajaran
yang bertujuan untuk memudahkan pembuatan,
pendistribusian, dan penilaian tugas siswa secara
paperless. E learning SMP Negeri 20 Surabaya
memiliki fungsi sebagai media pembelajaran yang
dapat digunakan oleh guru dan siswa untuk
menciptakan kelas online atau kelas virtual. Pada
dasarnya guru dapat memberikan bahan ajar yang
diterima secara langsung oleh siswa. Berdasarkan
uraian tersebut, maka disusun artikel dengan judul
“Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar
di SMP Negeri 20 Surabaya”
METODE
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan dasar peneliti
melakukan pengamatan terhadap kondisi yang alamiah.
Penelitian kualitatif ini diterapkan dengan tujuan untuk
menghasilkan data deskriptif berupa pengungkapan
kata bersifat tulis atau lisan dan perilaku dari orangorang yang bisa diamati. Creswell (2014: 8)
mengatakan, penelitian kualitatif adalah bentuk
kegiatan penelitian yang menempatkan peneliti di
dunia nyata.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain berupa pengamatan langsung
dan dokumentasi. Penelitian ini dilakukan berdasarkan
keadaan pembelajaran di SMP Negeri 20 Surabaya dan
dokumentasi teori-teori pembelajaran. Analisis data
dalam penelitian ini menggunakan teknik AKPL dan
USG. Menurut Idris, Irfan. dkk. (2017), AKPL yaitu A
(Aktual), K (Kekhalayakan), P (Problematik), L
(Kelayakan) dan USG, yaitu Urgency (U), Seriousnes
(S), dan Growth (G).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini adalah bentuk penyampaian hasil dan
pembahasan penelitian mengenai pengembangan bahan
ajar pada era merdeka belajar di SMP Negeri 20
Surabaya. Hasil dan pembahasan ini disampaikan
melalui tiga sub-bab sebagai berikut ini.
Analisis Isu Kegiatan Pembelajaran di SMP Negeri
20 Surabaya
Berdasarkan pengalaman melaksanakan tugas sebagai
guru dalam kegiatan pembelajaran di SMP Negeri 20
Surabaya, ditemukan beberapa isu di antaranya
sebagai berikut.
1. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan siswa,
2. Guru kurang variatif dan inovatif dalam
penyampaian materi pembelajaran.
3. Kurang optimalnya penggunaan Iptek dalam
proses pembelajaran.
4. Rendahnya fokus siswa pada kegiatan belajar yang
berbasis teacher center.
5. Masih kurangnya motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran yang berbasis konvensional.
7
Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya
Bangkit Irmanudin Bahri
Langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan
isu mana yang akan menjadi prioritas utama yang
dapat dicarikan solusi berdasarkan peran dan
wewenang sebagai guru. Proses identifikasi isu
tersebut menggunakan teknik AKPL yaitu A (Aktual),
K (Kekhalayakan), P (Problematik), L (Kelayakan)
untuk mengetahui isu mana yang dominan nilainya.
Tabel 1 Identifikasi Isu Menggunakan Teknik
AKPL
No
Isu
1
Masih kurangnya
motivasi belajar
siswa dalam
pembelajaran
yang berbasis
konvensional.
Guru kurang
variatif dan
inovatif dalam
penyampaian
materi
pembelajaran.
Kurang
optimalnya
penggunaan Iptek
dalam proses
pembelajaran.
Rendahnya fokus
siswa pada
kegiatan belajar
yang berbasis
teacher center.
Rendahnya
pengetahuan dan
keterampilan
siswa dalam
pelajaran,
2
3
4
5
A
K
P
L
Total
5
4
3
2
14
3
5
1
4
13
2
1
4
5
12
3) Cukup berkaitan hajat hidup orang banyak
4) Berkaitan hajat hidup orang banyak
5) Sangat berkaitan hajat hidup orang banyak
Problematik:
1) Permasalahan sederhana
2) Permasalahan kurang kompleks
3) Permasalahan cukup kompleks, namun tidak perlu
segera diberikan solusi
4) Permasalahan kompleks
5) Permasalahan sangat kompleks. sehingga segera
perlu diberikan solusi
Kelayakan:
1) Masuk akal
2) Realitas
3) Cukup masuk akal dan realistis
4) Masuk akal dan realistis
5) Masuk sangat kompleks, sehingga perlu diberikan
solusinya
Berdasarkan penetapan isu dengan menggunakan
teknik AKPL. maka dapat dikerucutkan menjadi tiga
isu. Proses selanjutnya tiga isu tersebut diidentifikasi
menggunakan teknik USG, yaitu Urgency (U),
Seriousnes (S), dan Growth (G) untuk mendapatkan
isu paling dominan.
Tabel 2 Identifikasi Isu Menggunakan Teknik
USG
No
1
1
2
5
3
11
2
4
3
2
1
10
Kriteria penetapan indikator AKPL, antara lain
sebagai berikut:
Aktual:
1) Benar-benar pernah terjadi
2) Benar-benar sering terjadi
3) Benar-benar terjadi, namun bukan menjadi bahan
pembicaraan
4) Benar-benar terjadi dan terkadang menjadi bahan
pembicaraan
5) Benar-benar terjadi dan hangat dibicarakan
Kekhalayakan:
1) Tidak berkaitan hajat hidup orang banyak
2) Sedikit berkaitan hajat hidup orang banyak
3
Isu
Masih kurangnya
motivasi belajar siswa
dalam pembelajaran
yang berbasis
konvensional.
Guru kurang variatif
dan inovatif dalam
penyampaian materi
pembelajaran.
Kurang optimalnya
penggunaan Iptek
dalam proses
pembelajaran.
U
S
G
Total
5
4
3
12
3
2
4
9
4
3
1
8
Kriteria penetapan indikator USG, antara lain sebagai
berikut.
Urgency:
1) Tidak penting
2) Kurang penting
3) Cukup penting
4) Penting
5) Sangat penting
Seriousness
8
Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya
Bangkit Irmanudin Bahri
1) Timbul akibat yang tidak serius
2) Timbul akibat yang kurang serius
3) Timbul akibat yang cukup serius
4) Timbul akibat yang serius
5) Timbul akibat yang sangat serius
Growth
1) Tidak berkembang
2) Kurang berkembang
3) Cukup berkembang
4) Berkembang
5) Sangat berkembang
Berdasarkan analisis teknik AKPL dan USG yang
telah dilaksanakan, maka simpulan yang diperoleh
mengarah pada isu masih kurangnya motivasi belajar
siswa
dalam
pembelajaran
yang
berbasis
konvensional. Isu ini yang mendasari penyusunan
bahan ajar menggunakan e learning SMP Negeri 20
Surabaya.
Persiapan E Learning SMP Negeri 20 Surabaya
Tahap kegiatan sosialisasi e-learning SMP Negeri 20
Surabaya ini dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan komitmen guru dan
siswa untuk melaksanakan prosedur, maupun
keterampilan guru dan siswa dalam melaksanakan elearning di SMP Negeri 20 Surabaya. Sebelum
memberikan sosialisasi, penulis membuat materi dalam
bentuk artikel e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya
dan video tutorial yang diunggah di Youtube. Kedua
bentuk materi inilah yang akan dijadikan panduan bagi
guru dan siswa dalam melaksanakan penerapan elearning di SMP Negeri 20 Surabaya.
Gambar 1 Video Tutorial E Learning
Proses berikutnya dilaksanakan koordinasi dengan
kepala ruang komputer untuk melaksanakan sosialisasi.
Pada saat sosialisasi disampaikan mengenai teknis
penerapan e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya
meliputi, pengertian, tujuan, tahapan sesuai dengan
materi panduan yang telah disusun, dan cara
pelaksanaan pembelajaran yang meliputi pengisian
absensi, pemberian materi, penugasan, dan penilaian
hasil belajar siswa.
Media e-learning SMP Negeri 20 Surabaya
menggunakan aplikasi moodle. Pengelolaan e-learning
SMP Negeri 20 Surabaya dapat dipelajari dan
dilaksanakan dengan memperhatikan langkah-langkah
berikut ini.
1. Buka peramban kemudian masuk ke website SMP
Negeri 20 Surabaya.
2. Pilih menu e-learning pada website SMP Negeri 20
Surabaya.
3. Login pada halaman e learning SMP Negeri 20
Surabaya menggunakan username dan password
yang sudah disepakati.
4. Proses selanjutnya silakan mengelola proses
pembelajaran pada e learning SMP Negeri 20
Surabaya.
Gambar 2 Penampilan E Learning
Pengelolaan e-learning di SMP Negeri 20 Surabaya
menggunakan aplikasi moodle ini dirancang untuk
mempermudah interaksi guru dan siswa dalam dunia
maya. Aplikasi ini memberikan kesempatan kepada
para guru untuk mengeksplorasi gagasan keilmuan
yang dimilikinya kepada siswa. Guru memliki
keleluasaan waktu untuk membagikan kajian keilmuan
dan memberikan tugas mandiri kepada siswa. Selain
itu, guru juga dapat membuka ruang diskusi bagi para
siswa secara online.
Pengaplikasian moodle sebagai media e-learning di
SMP Negeri 20 Surabaya dapat digunakan oleh siapa
saja yang tergabung dengan kelas tersebut. Kelas
tersebut adalah kelas yang didesain oleh guru yang
sesuai dengan kelas sesungguhnya atau kelas nyata di
sekolah. Moodle menyediakan kelas bagi siapa saja
yang memiliki akses ke dalam aplikasi ini.
Mengaplikasikan e learning SMP Negeri 20 Surabaya
dapat dipelajari dengan memperhatikan langkahlangkah berikut ini.
1. Guru dapat menambahkan siswa secara melalui
enroll method, sedangkan siswa akan bisa
mengikuti proses pembelajaran dengan login ke
dalam aplikasi ini.
2. Guru dapat menerapkan presensi kehadiran siswa
melalui fungsi attandance, memberikan materi
9
Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya
Bangkit Irmanudin Bahri
melalui fungsi page, dan melakukan penilaian
dengan fungsi quiz.
3. Selain memberikan tugas, guru juga menyampaikan
pengumuman atau informasi terkait dengan materi
menggunakan topik pengumuman atau chat pribadi.
4. Siswa dapat melacak setiap tugas yang hampir
mendekati batas waktu pengumpulan di laman
tugas dan mulai mengerjakannya.
5. Guru dapat melihat dengan cepat siapa saja yang
belum menyelesaikan tugas, serta memberikan
masukan dan nilai langsung di kelas.
Bahan Ajar E Learning SMP Negeri 20 Surabaya
Pemanfaatan bahan ajar dalam proses pembelajaran
memiliki peran penting. Peran tersebut menurut
Belawati (2003: 14) meliputi peran bagi guru, siswa,
dalam pembelajaran klasikal, individual, maupun
kelompok. E learning SMP Negeri 20 Surabaya
memberikan kesempatan kepada guru untuk menyusun
bahan ajar secara elektronik atau pembelajaran berbasis
komputer. Beberapa komponen dalam penyusunan
bahan ajar pada e learning SMP Negeri 20 Surabaya
sebagai berikut.
Perangkat Pembelajaran
Bagian perangkat pembelajaran ini merupakan bagian
awal bahan ajar pada setiap mata pelajaran di e learning
SMP Negeri 20 Surabaya. Perangkat pembelajaran ini
berisikan komponen perangkat pembelajaran dan
presensi kehadiran siswa.
Bagian materi dan latihan soal ini adalah modul
pembelajaran secara online atau pembelajaran berbasis
komputer. Pada bagian awal modul ini disampaikan
instruksi atau petunjuk pelaksanaan proses
pembelajaran. Diharapkan instruksi ini bisa membantu
siswa dalam mengikuti proses pembelajaran pada
setiap mata pelajaran. Salah satu cara untuk menarik
perhatian siswa dilakukan dengan cara menampilkan
gambar sampul mata pelajaran masing-masing.
Gambar 4 Instruksi Pembelajaran
Bagian materi dan latihan soal berikutnya berisikan
mengenai materi yang dipadukan dengan lembar kerja
siswa pada setiap bab atau materi yang diajarkan oleh
setiap guru. Materi ini berisikan pokok pembahasan
yang sama seperti penyampaian guru dalam satu tatap
muka, sedangkan lembar kerja siswa dimaksudkan
untuk mengukur pencapaian siswa mengenai materi
yang disampaikan. Penyampaian materi pada e
learning SMP Negeri 20 Surabaya ini bisa dipadukan
Gambar 3 Komponen Perangkat Pembelajaran
Komponen perangkat pembelajaran yang terdapat
di e learning SMP Negeri 20 Surabaya terdiri atas 1)
sampul, 2) lembar pengesahan, 3) visi misi sekolah, 4)
kalender akademik, 5) jadwal pelajaran secara umum,
6) jadwal mengajar pribadi, 7) rencana pekan efektif, 7)
program tahunan, 8) program semester, 9) kriteria
ketuntasan minimal, 10) silabus, 11) rencana
pelaksanaan pembelajaran, 12) daftar presensi siswa,
13) daftar penilaian siswa, 14) lembar kerja siswa, 15)
bank soal, dan 16) media. Semua komponen perangkat
pembelajaran itu berupa link yang dikaitkan dengan file
yang tersimpan di aplikasi drive.
Materi dan Latihan Soal
antara teks, gambar, dan video.
Gambar 5 Tampilan Materi dan LK Siswa
Pada setiap akhir bagian setiap materi dan latihan
soal akan diakhiri dengan penilaian harian. Sementara
pada akhir semua materi dan latihan soal yang
sesungguhnya bersamaan dengan akhir semester, maka
disediakan penilaian akhir semester dan penilaian akhir
tahun. Baik lembar kerja siswa maupun penilaian akhir
semester dan penilaian akhir tahun memiliki fungsi
yang sama, yaitu untuk mengukur pencapaian siswa
mengenai materi yang disampaikan.
Penilaian pada e learning SMP Negeri 20 Surabaya
telah disesuaikan dengan perkembangan pendidikan
10
Pengembangan Bahan Ajar pada Era Merdeka Belajar di SMP Negeri 20 Surabaya
Bangkit Irmanudin Bahri
saat ini, yaitu penilaian autentik dalam kurikulum 2013.
Penilaian autentik atau authentic assessment adalah
pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil
belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan,
dan pengetahuan. Kusnandar (2013: 35) mengatakan,
penilaian autentik merupakan proses penilaian yang
melibatkan beberapa bentuk pengukuran kinerja yang
mencerminkan belajar peserta didik, prestasi, motivasi,
dan sikap yang sesuai dengan materi pembelajaran.
Penilaian autentik juga mengajarkan kepada peserta
didik tentang pembelajaran yang bermakna karena
peserta didik dapat menjadikan segala aktivitas dari
pembelajaran sebagai pengalaman belajar yang
senantiasa diingatnya.
PENUTUP
Simpulan
Pengembangan bahan ajar pada e-learning SMP Negeri
20 Surabaya menggunakan aplikasi moodle
sesungguhnya dirancang untuk mempermudah
interaksi guru dan siswa dalam dunia maya. Aplikasi ini
memberikan kesempatan kepada para guru untuk
mengeksplorasi gagasan keilmuan yang dimilikinya
kepada siswa. Guru memiliki keleluasaan waktu untuk
membagikan kajian keilmuan dan memberikan tugas
mandiri kepada siswa. Selain itu, guru juga dapat
membuka ruang diskusi bagi para siswa secara online.
Berdasarkan hal tersebut, hasilnya akan memberikan
kotribusi tersendiri bagi visi dan misi SMP Negeri 20
Surabaya. Kontribusi yang paling tampak adalah dapat
mewujudkan
proses
pembelajaran
dengan
menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi
informasi, sehingga dapat mewujudkan SMP Negeri 20
Surabaya menjadi sekolah unggulan yang terpercaya
melayani kebutuhan pendidikan masyarakat.
pelajaran secara interaktif, produktif, efektif,
inspiratif, konstruktif, dan menyenangkan.
2. Demi terwujudnya visi dan misi SMP Negeri 20
Surabaya menjadi sekolah unggulan yang
terpercaya melayani pendidikan masyarakat, maka
pembelajaran berbasis elektronik atau e-learning
ini perlu dikembangkan secara sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
Belawati, Tian dkk. (2003). Pengembangan Bahan
Ajar. Jakarta: Pusat Penerbitan UT.
Creswell, John W. (2015). Penelitian Kualitatif dan
Desain Riset Memilih di Antara Lima Pendekatan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Idris, Irfan. dkk. (2017). Modul Pelatihan Dasar Calon
PNS Analisis Isu Kontemporer. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara.
Bahri, Bangkit Irmanudin. (2017). Refleksi Nilai-Nilai
Kearifan Lokal Kesusastraan Jawa sebagai
Pengembang Pendidikan Karakter Pembelajaran
Bahasa Indonesia. (makalah). Malang: Seminar
Nitisastra II Pascasarjana Universitas Negeri
Malang.
Kunandar. (2013). Penilaian Autentik: Penilaian Hasil
Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum
2013. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Sungkono, dkk. (2003). Pengembangan Bahan Ajar.
Yogyakarta: FIP UNY.
Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Saran
Pelaksanaan penelitian mengenai pengembangan
bahan ajar di era merdeka belajar di SMP Negeri 20
Surabaya ini merupakan sebuah kegiatan yang
terencana. Perlu adanya penyusunan rencana yang
matang sebelum menyusun bahan ajar. Penyusunan
bahan ajar tersebut akan berjalan lebih optimal dengan
adanya koordinasi dan diskusi dengan pihak-pihak
terkait. Saran setelah dilakukannya penelitian ini
adalah berkaitan dengan pihak-pihak terkait sebagai
berikut.
1. Setiap guru harus bisa mengembangan bahan ajar
yang arahnya pada aktivitas modernisasi dengan
bantuan teknologi komunikasi yang diharapkan
dapat membantu siswa dalam mencerna materi
11
MERDEKA BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN JASMANI SEBAGAI MATA
PELAJARAN PENGEMBANGAN KARAKTER
Advendi Kristiyandaru
Pendidikan Olahraga, Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Surabaya, advendikristiyandaru@unesa.ac.id
Kolektus Oky Ristanto
Pendidikan Olahraga, Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Surabaya, kolektusokyristanto@unesa.ac.id
Abstrak
Salah satu tujuan pendidikan jasmani menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 adalah
meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di
dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan serta mengembangkan sikap sportif, jujur,
disiplin, bertanggung jawab, kerja sama, percaya diri dan demokratis. Hal ini menjadi dasar bahwa
mata pelajaran PJOK ini memiliki peranan yang sangat penting dalan perkembangan proses belajar
peserta didik. Guru pendidikan jasmani harus mampu menjadi agen transformasi bagi peserta didik
baik dalam pembelajaran maupun di luar jam mengajar. Selain menyampaikan materi sesuai dengan
kurikulum, guru juga dituntut untuk meningkatkan pentingnya literasi fisik bagi peserta didik.
Konsep merdeka belajar dapat menjadi pemicu bagi peserta didik untuk mengembangkan karakter
melalui aktivitas jasmani yang muncul dalam pembelajaran PJOK maupun di rumah. Peserta didik
dapat memilih aktivitas fisik yang akan dilakukan sesuai dengan kegemarannya, sesuai arahan
penerapan literasi fisik yang diberikan oleh guru, salah satunya dengan memberikan contoh
permainan tradisional kepada peserta didik.
Kata Kunci: PJOK, karater, peserta didik
PENDAHULUAN
Pembelajaran pendidikan jasmani atau yang saat ini
dikenal dengan istilah PJOK, sudah diajarkan mulai
jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Pendidikan
jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan
aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematis
bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan
individu secara organik, neuromuskuler, perseptual,
kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem
pendidikan nasional (Rosdiani, 2013). Salah satu tujuan
pendidikan jasmani menurut Permendiknas Nomor 22
Tahun 2006 adalah meletakkan landasan karakter
moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang
terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan
kesehatan serta mengembangkan sikap sportif, jujur,
disiplin, bertanggung jawab, kerja sama, percaya diri
dan demokratis. Selaras dengan pendapat di atas,
Kristiyandaru (2010) menyatakan bahwa tujuan
pembelajaran PJOK yakni: 1) memiliki karakter yang
kuat; 2) memiliki kepribadian yang kuat; 3) mempunyai
kemampuan berpikir kritis, sikap sportif dan
mempunyai keterampilan gerak; 4) memahami konsep
dan mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani.
Pembelajaran ini berorientasi pada pembinaan perilaku
hidup sehat. Sehat yang dimaksud bukan hanya sehat
secara jasmani tetapi juga sehat secara rohani.
Peran guru PJOK sebagai salah satu sumber belajar
serta fasilitator pembelajaran tentunya harus
merancang model pembelajaran yang efektif dan
menyenangkan sehingga peserta didik dapat mencapai
tujuan dari pembelajaran yang diharapkan. Merdeka
belajar dalam pembelajaran PJOK salah satunya
dengan memberikan kebebasan kepada peserta didik
untuk melakukan aktifitasnya tanpa dibatasi dan sesuai
dengan kesenangan yang timbul dari peserta didik
sendiri dengan menggunakan fasilitas yang telah
disiapkan oleh guru untuk membentuk 3 pilar
pendidikan jasmani, yakni sikap, pengetahuan dan
keterampilan. Pemberian kebebasan beraktifitas bagi
peserta didik bukan berarti peserta didik dibiarkan
tanpa ada proses perencanaan, monitoring dan evaluasi.
Guru berperan untuk membuat rambu-rambu agar
sesuai dengan tujuan dari pembelajaran.
METODE
Berdasarkan hasil studi literatur pada beberapa artikel
dan hasil penelitian maka penulis dapat memperoleh
hal-hal baru dari data sekunder yang telah didapatkan
dan dideskripsikan secara mendalam berdasarkan
pemahaman terhadap konteks, memori dan emosi dari
sumber data termasuk juga sumber-sumber yang lain
yang memungkinkan (Maksum, 2018:104).
PEMBAHASAN
Proses pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan
kesehatan banyak mengalami perubahan sistem mulai
dari perubahan kurikulum hingga metode mengajar
12
Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Jasmani sebagai Mata Pelajaran Pengembangan Karakter
Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto
yang harus dilaksanakan oleh guru. Perubahan
kurikulum pada umumnya hanya dimaknai pada
perubahan materi, jam mengajar, model perangkat dan
evaluasi pembelajaran saja oleh guru PJOK. Perubahan
tersebut tidak membawa banyak dampak pada kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru meskipun
dengan pengalaman kerja yang cukup memadai, baik
dari segi latar belakang pendidikan maupun
peningkatan keprofesian guru. (Yulianto, 2017:130).
Dari temuan tersebut, dan juga berdasarkan hasil
penelitian dari Hartati, dkk (2018) yang menunjukkan
bahwa kebugaran dan kesehatan pelajar di Indonesia
cenderung menurun dan ditampilkan pada diagram di
bawah ini:
Gambar 1. Perbandingan Tingkat Kebugaran
Pelajar dalam (%)
Dari diagram tersebut terlihat bahwa mulai tahun
1995 sampai dengan 2018 tingkat kebugaran pelajar
semakin menurun hingga sampai 81,2% pada tahun
2018. Hal ini menunjukkan bahwa peran pembelajaran
PJOK di sekolah maupun aktivitas peserta didik di luar
sekolah masih belum efektif. Data tersebut juga
didukung dengan tren prevalensi penyakit tidak
menular dari 2013 sampai dengan 2018 menunjukkan
peningkatan yang signifikan dan disajikan dalam
diagram berikut:
Gambar 2. Prevalensi penyakit tidak menular naik
Tidak hanya kedua data tersebut yang sangat perlu
mendapat perhatian, hal ini juga ditemukan pada dua
penelitian lain yang dilaksanakan oleh Nurhayati, dkk
(2018) di Surabaya. Dalam penelitian tersebut
menunjukkan hasil bahwa 27,8% peserta didik sekolah
menengah pertama (SMP) di Surabaya mengalami
overweight, hal ini prevalensinya lebih tinggi daripada
tingkat rerata yang dihimpun secara nasional. Dari
penelitian ini diperoleh gambaran bahwa masih banyak
peserta didik SMP yang masih kelebihan berat badan
dan dimungkinkan karena aktivitas fisiknya kurang.
Penelitian pendukung lainnya adalah milik Indahwati,
dkk (2018) terkait dengan kemampuan motorik peserta
didik SD dan SMP di Surabaya yang menunjukkan
bahwa 7,3% peserta didik kategori baik sekali, 20,7%
kategori baik, 36% peserta didik berkategori sedang,
32% peserta didik dalam kategori kurang dan 4%
lainnya pada kategori kurang sekali.
Mutohir dan Soemosasmita (dalam Kristiyandaru,
2010) menjelaskan bahwa manusia yang sehat adalah
sehat jasmani dan rohani. Sehat jasmani meliputi: 1)
pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh yang
serasi dan seimbang; 2) terampil ditunjukan dengan
gerak yang makin kuat, cepat, tepat, lentur
terkoordinasi, luwes, indah, anggun, dan tangkas, yang
mendukung tercapainya prestasi olahraga; 3) bugar,
yaitu tidak mengidap penyakit, dapat bekerja dan
belajar relatif lama, dan masih memiliki daya cadang
setelah bekerja dan belajar dengan keras; 4) segar, yaitu
tampang selalu segar dan menarik. Selanjutnya sehat
rohani mengacu pada perilaku berbudi pekerti luhur,
meliputi: 1) sehat sosial artinya mampu bekerja sama,
tolong menolong, sikap terbuka, toleransi; 2) sehat
emosional artinya dapat mengendalikan diri, tenggang
rasa, saling memaafkan, saling menghormati, dan dapat
mengutarakan pendapat secara santun; 3) sehat mental
yaitu kemampuan bersikap jujur, sportif, disiplin, rela
berkorban, tangguh, mantap, mandiri, dan bertanggung
jawab; 4) sehat intelektual artinya mampu
menggunakan daya pikirnya untuk mengantisipasi
segala situasi dan keadaan secara tepat dan cepat; dan
5) sehat spiritual yaitu dapat mengambil hikmah dan
merasakan nikmat karena menghayati dan dapat
mengaktualisasikan perilaku hidup sehat, karena
mendapat limpahan rahmat dan anugerah dari Tuhan
YME.
Penjelasan di atas mengungkapkan bahwa tujuan
utama dari pencapaian kesehatan yang dimiliki
seseorang bukan hanya dari unsur jasmani saja, atau
bahkan hanya cenderung kepada prestasi olahraga,
melainkan kemampuan seseorang untuk memiliki
value (nilai) dalam berpikir kritis, kreatif, mampu
13
Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Jasmani sebagai Mata Pelajaran Pengembangan Karakter
Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto
beradaptasi dengan cepat, bekerja sama, pengendalian
diri, disiplin, jujur, tidak mudah menyerah dan
sebagainya, yang ditanamkan atau dibentuk melalui
aktivitas jasmani. Nilai-nilai tersebut akan muncul
dalam perilaku keseharian, dan masyarakat awam akan
menyebut sebagai karakter.
Pertanyaan yang muncul saat ini, apakah
pendidikan jasmani yang dilakukan sudah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan individu? Apakah anak didik kita sudah
memahami nilai-nilai karakter yang terkandung di
dalam pembelajaran pendidikan jasmani? Jika kita
renungkan sebenarnya sudah 12 tahun guru PJOK
mencoba menginternalisasi nilai-nilai luhur atau
karakter yang baik kepada mereka, mulai SD (6 tahun),
SMP (3 tahun) dan SMA (3 tahun). Maka nilai-nilai
karakter tersebut seharusnya sudah menjadi ciri
khas/atribut perilaku mereka. Jika peserta didik sadar
dan karakter sudah tertanam dalam diri peserta didik
maka perilaku hidup sehat sudah menjadi otomatisasi.
Pandangan di masyarakat tentang pembelajaran
PJOK di sekolah, berpendapat bahwa guru PJOK hanya
melakukan pembiaran saja ketika proses pembelajaran,
peserta didik hanya diberikan bola saja sedangkan guru
hanya menunggu dan beristirahat di bawah pohon
(Maulana, 2018:3). Citra jelek seperti itu seharusnya
sudah tidak sejalan dengan berbagai perubahan
kurikulum dan metode yang terus diperbaharui,
memang perlu adanya pembenahan dan perbaikan
karakter dari seluruh elemen yang terlibat dalam proses
pendidikan baik orang tua, guru dan peserta didik.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 87 Tahun 2017 yang berisi tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK). Dalam peraturan tersebut
diserukan mengenai pendidikan karakter yang
dibebankan pada satuan pendidikan dalam hal ini
sekolah dan masyarakat terutama pada lingkup
keluarga (Kemenkumham, 2017). Dari peraturan ini
jelas bahwa peran Pendidikan Jasmnai, Olahraga dan
Kesehatan di sekolah merupakan salah satu pendukung
utama pendidikan karakter bagi peserta didik, hanya
bagaimana kemasan yang cocok bagi peserta didik
sesuai dengan gagasan merdeka belajar.
Ada beberapa hal yang mendasar yang perlu
diperhatikan ketika membentuk karakter peserta didik
dalam pembelajaran PJOK yakni disiplin, tanggung
jawab, kerjasama, tolerasi dan sportivitas (Sriyani,
2018). Kelima nilai karakter tersebut dapat dimasukkan
dalam pembelajran PJOK melalui permainanpermainan yang inovatif, menarik dan dapat melibatkan
seluruh peserta didik. Dengan bermain peserta didik
akan enjoy dan tidak merasa terpaksa untuk melakukan
gerak. Membahas peserta didik pasti tidah jauh dari
kalimat “saya senang bermain”. Dalam bermain peserta
didik tidak hanya mengembangkan nilai karakter saja
melainkan juga mengembangkan kebugarannya saat
bermain (Sujarno, dkk, 2013:164). Alternatif kegiatan
bermain yang dapat digunakan guru adalah permainan
tradisional, banyak nilai positif yang bisa diambil dari
permaianan ini tergantung dari jenis permainannya.
Misalkan saja “Go Back to Door” atau biasa disebut
“gobak sodor”, dalam permainan ini peserta didik
belajar untuk membentuk nilai karakter yaitu kerjasama
dan kekompakan, dimana peserta didik harus
memahami pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam
melakukan sebuah pekerjaaan (Sasminta, 2012:97).
Selain itu permainan ini juga dapat melibatkan banyak
peserta didik dengan aktivitas yang lumayan padat.
Ada dua tim yakni penyerang dan bertahan yang
jumlahnya harus sama. Tugas regu penyerang adalah
melewati seluruh penjaga yang berada di garis sodoor
dari titik awal hingga kembali lagi ke titik awal (home).
Sedangkan untuk regu penjaga bertugas untuk
menangkap regu penyerang. Kemenangan ditentukan
dari jumlah peserta yang mampu melewati regu penjaga
dari titik awal hingga sampai ke titik awal penyerangan.
Gambar 3. Permainan Go Back to Door
Dari contoh permainan di atas dapat digunakan
peserta didik dalam mengembangkan karakternya tidak
hanya di sekolah saja, namun diluar sekolah peserta
didik juga mampu memilih jenis aktivitas fisik yang
sesuai dengan kegemarannya, inilah yang dinamakan
merdeka belajar.
Karakter yang lain dapat dikembangkan melalui
pemberian tugas gerak yang dapat dilakukan di rumah.
14
Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Jasmani sebagai Mata Pelajaran Pengembangan Karakter
Advendi Kristiyandaru, Kolektus Oky Ristanto
Peserta didik diberikan tugas untuk mencatat aktvitas
fisik harian yang dilakukan dalam satu minggu. Peserta
didik diberikan kebebasan untuk menentukan bentuk
latihan, dengan memperhatikan frekuensi, intensitas
dan durasi dalam beraktivitas. Beberapa karakter yang
muncul dalam penugasan ini adalah: 1) Kemandirian,
ditunjukkan dengan kemampuan peserta didik untuk
memilih dan menentukan bentuk latihan. Guru
memberikan literasi fisik dan peserta didik mampu
memilih jenis aktivitas yang digemari. Kemandirian
peserta didik juga memiliki peranan yang penting
dalam mencapai tujuan PJOK. Pola berpikir menjadi
hal utama yang berhubungan langsung dengan kinerja
yang dihasilkan oleh peserta didik (Maksum, 2020); 2)
Kedisiplinan, ditunjukkan dengan sikap disiplin
melakukan aktivitas fisik sesuai dengan aturan yang
telah ditentukan (misalnya minimal 3x dalam
seminggu, pemanasan sebelum beraktivitas dan
pendinginan setelah aktivitas); 3) Kejujuran,
ditunjukkan dengan kesesuaian dalam mencatatkan apa
yang telah dilakukan pada daftar catatan aktivitas
harian. Walau tidak ada guru atau orang lain tetapi
peserta didik dengan jujur mencatat sesuai dengan apa
yang telah dilakukan. Dan masih banyak nilai karakter
lain yang dapat dikembangkan. Oleh sebab itu
penanaman karakter menjadi hal yang terpenting dalam
proses penerapan merdeka belajar untuk mencapai
tujuan dari pembelajaran PJOK.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
kebugaran dan kesehatan pelajar makin menurun, maka
pengelolaan pembelajaran pendidikan jasmani harus
dikemas lebih baik. Merdeka belajar memiliki makna
peserta didik sudah mandiri, mampu berpikir kritis
dalam menentukan pendapat dan sikap. Melalui
pendidikan jasmani maka penerapan merdeka belajar
dapat diwujudnyatakan dengan membiasakan nilai
karakter yang baik kepada peserta didik.
Peserta didik sadar akan pentingnya literasi fisik
bagi kehidupannya, sehingga segala aktivitas yang
dilakukan bertujuan menjaga dan meningkatkan
kebugaran dan menjadi insan yang merdeka.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2006. Permendiknas.No.22 tentang Tujuan
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.
Jakarta: Depdiknas.
Indahwati, dkk. 2018. Profil Kemampuan Motorik
Anak SD dan SMP Se Kota Surabaya. Surabaya:
Unesa
Kristiyandaru, Advendi. 2010. Manajemen Pendidikan
Jasmani dan Olahraga. Surabaya: Unesa
University Press.
Kemenkumham. 2017. Peraturan Pemerintah No. 87
tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta:
Kemenkumham.
Maksum, Ali. 2018. Metodologi Penelitian dalam
Olahraga. Surabaya: Unesa University Press.
Maksum, dkk. 2020. Effect Of Learning Climate,
Thinking Pattern, And Curiosity On Academic
Performance In Higher Education. Lithuania:
Problems of Education in the 21st Century
Maulana, Lukman. 2018. Peran Guru Pendidikan
Jasmani Dalam Membangun Karakter Peserta
Didik Di SD Negeri Kraton Yogyakarta.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Nurhayati, dkk. 2018. Profil Status Gizi Siswa SD dan
SMP Negeri di Kota Surabaya. Surabaya: Unesa
Rosdiani, Dini. 2013. Model Pembelajaran Langsung
dalam Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.
Bandung: Alfabeta.
Hartati, S.Y.H; Priambodo, A; Kristiyandaru, A. 2012.
Permainan Kecil. Cara efektif mengembangkan
fisik, motorik, keterampilan sosial dan emosional.
Malang: Wineka Media.
Sriyani. 2018. Pembentukan Karakter Siswa Lewat
Olahraga, Semarang: SuaraMerdeka.com
Sujarno. 2013. Permainan Tradisional dalam
Pembentukan Karakter Anak. Balai Pelestarian
Nilai Kebudayaan: Yogyakarta.
Yulianto, dkk. 2017. Analisis Perubahan Kurikulum
Pada Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Olahraga dan Kesehatan di Sekolah Dasar.
Malang: Jurnal Pendidikan.
Saran
Guru PJOK perlu lebih banyak mengembangkan
kegiatan pembelajaran yang menarik dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menampilkan nilai
karakter yang diharapkan. Menerapkan literasi fisik
untuk aktif bergerak bagi kehidupan sepanjang hayat.
15
PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MEMBENTUK SUMBER DAYA MANUSIA YANG
BERKOMPETEN UNTUK MEMBANGUN NEGARA
Tio Kusuma
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, tio.17010664072@mhs.unesa.ac.id
Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, aldiah.17010664138@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Pendidikan merupakan bagian penting dalam perkembangan suatu Bangsa. Pendidikan memegang
peran dalam pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan memiliki kapasitas untuk
mengurus negara. Pada saat ini, Indonesia memiliki tingkat kebutuhan yang sangat tinggi akan
pendidikan, terutama pendidikan karakter. Sebab, banyak terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan
moralitas atau perilaku yang tidak etis. Misalnya korupsi, tindakan kekerasan, dan sopan santun.
Penelitian ini menggunakan metode literature review, mengumpulkan data-data yang relevan untuk
membahas masalah di atas. Hasil yang didapatkan yang pertama adalah pendidikan karakter dapat
diterapkan dengan digabungkan model pendidikan yang lainnya, seperti pendidikan multikultural
dan pendidikan seni budaya. Kedua yaitu pendidikan karakter memiliki peran yang penting untuk
mengatasi masalah yang ada di Indonesia. Karakter menjadi dasar utama dalam membangun
hubungan antar manusia dan lingkungan. Apabila hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka akan
menciptakan sumber daya manusia yang mandiri, tanggung jawab, dan mampu bersaing di skala
internasional. Dengan begitu bisa meningkatkan perekonomian dan nilai sosial negara. Selain itu,
pendidikan karakter bisa menjadi fasilitator untuk melestarikan kearifan lokal. Menanamkan pada
generasi baru agar tetap lestari dan hilang dimakan oleh waktu.
Kata Kunci: Pendidikan, karakter, sumber daya manusia.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk
membentuk kepribadian masyarakat. Pendidikan dapat
dikatakan berhasil apabila sumber daya manusia di
suatu negara memiliki kualitas yang baik, sehingga
pendidikan ini memiliki peran yang sangat penting.
UU No. 20 Tahun 2003 mengenai “Sistem Pendidikan
Nasional” pasal 3, menyebutkan bahwa fungsi
pendidikan
nasional
adalah
mengembangkan
kemampuan dan karakter dengan tujuan mencerdaskan
bangsa, dengan berkembangnya potensi peserta didik
diharapkan dapat menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu,
mandiri, kreatif, sehat, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 diatas,
pendidikan sangat penting dalam proses pembentukan
karakter
manusia,
dimana
manusia
dapat
mengembangkan potensi yang mereka miliki,
mempunyai kekuatan spiritual untuk mengendalikan
dirinya, serta menjadi warga Negara yang bertanggung
jawab. Hal ini juga selaras dengan UU No. 20 tahun
2003 pasal 4 dimana pendidikan diselenggarakan
secara
demokratis
dan
merupakan
proses
pemberdayaan manusia sepanjang hayat untuk
mengembangkan potensi dan memberi teladan.
Karakter merupakan bagian terpenting dan vital
untuk mencapai tujuan hidup. Karakter menjadi
sebuah dorongan untuk menjalani hidup lebih baik
(Rosidatun, 2018). Pembentukan karakter di Indonesia
tidak terlepas dari peran pancasila segai dasar Negara,
karena didalam pancasila terdapat nilai-nilai yang
mengatur tentang kehidupan.
Pendidikan karakter bermakna sama dengan
pendidikan moral dan ahlak. Pendidikan karakter ini
memiliki tujuan untuk mencetak kepribadian atau
karakter peserta didik menjadi pribadi yang lebih baik
serta berguna bagi nusa dan bangsa dengan tidak
meninggalkan nilai-nilai kehidupan (Ramli, 2003).
Menjadikan manusia pintar dan cerdas mudah
dilakukan, tetapi menjadikan manusia yang pintar,
cerdas, dan berkarakter tentunya tidak mudah karena
membutuhkan sebuah proses, karakter dalam hal ini
adalah berahlak mulia, jujur, disiplin, kreatif, dan
bertanggunng jawab. Apabila tujuan pendidikan hanya
untuk membuat seseorang pintar tentu tidak sesuai
dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional.
Pendidikan berbasis karakter harus memenuhi
beberapa komponen utama yaitu mengamalkan ajaran
agama, mengenali kelebihan dan kekurangan,
menumbuhkan sikap percaya diri, menghargai
keberagaman atau meningkatkan sikap toleransi, dan
patuh terhadap aturan-aturan yang berlaku
(Saifurrohman, 2014). Selain itu Murniyetti, dkk
16
Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara
Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri
(2016) pendidikan karkter sangat penting bagi siswa,
hal ini menuntut sekolah untuk mendesain kegiatan
yang menarik dalam menyampaikan pendidikan
karakter. Tujuan dari pendidikan karakter ini adalah
untuk menumbuhkan kepribadian siswa dengan baik
(Murniyetti, Engkizar, & Anwar, 2016).
Data KPK menunjukkan bahwa terdapat 383 kasus
korupsi di Indonesia pada kurun waktu tahun 2016
hingga tahun 2018. Setiap tahun kasus korupsi tidak
semakin berkurang tetapi semakin bertambah, dapat
dilhat dari tahun 2016 terdapat 96 kasus, tahun 2017
terdapat 123 kasus dan pada tahun 2018 terdapat 164
kasus. Dari 383 kasus telah ditetapkan sebanyak 277
orang yang menjadi tersangka korupsi. rata-rata
tersangka korupsi ini adalah anggota DPR dan juga
pejabat-pejabat tinggi Negara. Tentu bukan sembarang
orang yang dapat menjabat menjadi anggota DPR dan
menjadi pejabat di instansi pemerintahan mereka
orang-orang yang pandai dan memiliki pendidikan
yang tinggi, tetapi mereka tidak punya karakter yang
baik, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan menjaga
amanah dari rakyat.
Selain kasus korupsi, kasus kekerasan terhadap
guru juga banyak terjadi di Indonesia. Salah satu
contohnya dilansir dari detik.com “Guru SMA di
Sampang, Madura Tewas Diduga Karena Dianiaya
Siswa” hal ini terjadi pada tahun 2018, seorang siswa
menganiaya gurunya sendiri hingga meninggal karena
tidak terima mendapat teguran dari sang guru. Hal ini
mneunjukkan bahwa siswa tidak memiliki karakter
yang baik hingga berbuat hal yang sangat tidak terpuji.
Berdasarkan kasus-kasus diatas, pendidikan
karakter tentu sangat diperlukan di Negara Indonesia,
karena Indonesia merupakan Negara yang cukup besar
dan memiliki sumber daya manusia yang tidak sedikit,
dengan begitu tentu diperlukan sumber daya manusia
yang berkualitas. Tentu membutuhkan proses dalam
menerapkan pendidikan karakter, sehingga setiap
jenjang pendidikan memiliki kewajiban untuk
memberikan pendidikan karakter. Maka peneliti
berfokus pada pentingnya dan manfaat penerapan
pendidikan karakter di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin
mengkaji lebih dalam bagaimana pendidikan karakter
itu dianggap penting bagi sumber daya manusia
terutama Negara Indonesia yang memiliki sumber
daya manusia yang berlimpah. Peneliti juga ingin
melihat bagaimana perkembangan-perkembangan
penelitian terkait pendidikan karakter.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode literature review
atau studi kepustakaan. Literatur review ini merupakan
tinjauan komprehensif dari topik spesifik yang telah
diangkat sebelumnya dan kemudian ditujukan kepada
pembaca mengenai apa yang sudah diketahui dan
belum diketahui oleh pembaca mengenai topik tersebut
(Denney & Tewksburry, 2013). Selain itu Cooper juga
menyatakan bahwa literature review bertujuan untuk
menginformasikan kepada pembaca mengenai
penelitian pada saat itu dan kemudian dihubungkan
dengan penelitian saat ini melalui literatur-literatur
yang telah tersedia (Cresswell, 2010).
Pengumpulan data dilakukan Penulis adalah dengan
mengumpulkan data yang berkaitan dengan pendidikan
karakter, baik berupa jurnal, artikel, buku, maupun
surat kabar. Literatur review ini bertujuan untuk
mengetahui pentingnya pendidikan karakter dalam
pendidikan di Indonesia.
PEMBAHASAN
Definisi Pendidikan Karakter
Keberhasilan dari implementasi didasari oleh
pemahaman
konsep
yang
matang. Supaya
mendapatkan konsep yang matang harus dikaji sampai
dasar, supaya mendapatkan pengertian yang otentik.
Sehingga, bisa menerapkan batasan atau acuan yang
jelas.
Pendidikan karakter terdiri dua kata yang memiliki
maknanya masing-masing, yaitu pendidikan dan
karakter. Pendidikan menurut Soyomukti (2010)
adalah usaha untuk memberikan kesadaran,
pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan perilaku
yang lebih baik. Sementara Mayshandy (2019)
menyebutkan bahwa pendidikan merupakan upaya
terencana untuk membimbing dan mendidik individu
agar dapat berkembang menjadi manusia yang
mandiri, bertanggung jawab, berilmu, dan bermoral.
Kemudian, pemahaman konsep dari karakter, Fitri
(2012) menerangkan yang namanya karakter adalah
sifat-sifat manusia, kepribadian, budi pekerti, dan
watak. Pendapat yang sama juga dari Ramadhan, G. M
& Resmi (2019) bahwa karakter dimaknai sebagai sifat
bawaan manusia dari lahir untuk dapat merespon
situasi secara bermoral yang diwujudkan dalam bentuk
sikap dan perilaku.
Kedua istilah tersebut, kemudian dikaitkan menjadi
satu dan memiliki pemaknaan yang baru. Beberapa
ahli menguraikan pendapatnya masing-masing terkait
konsep pendidikan karakter itu seperti apa dan
bagaimana. Misalnya, pendidikan karakter menurut
Elkin dan Sweet (dalam Gunawan, 2012) adalah upaya
yang disengaja dan dirancang dengan sistematis untuk
17
Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara
Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri
memahami, peduli, dan menerapkan nilai-nilai etis
pada manusia. Secara lebih rinci, Mochtarom (2017)
menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan
usaha yang direncanakan dengan sadar untuk
mengedukasi secara terpadu pada peserta didik di
sekolah dengan mengacu nilai-nilai moral. Dari situ,
dapat dipilah bahwa pendidikan karakter terdiri dari
dua dimensi, dimensi individual, dan dimensi sosiokultural.
Berdasarkan dimensi individual maka pendidikan
karakter dimaknai sebagai upaya memperoleh
kesadaran diri setiap manusia untuk dapat menyadari
kebebasan diri dan tanggung jawab atas petumbuhan
dirinya sendiri sebagai manusia yang berdikari
(Hayati, 2012). Sementara dimensi sosio kultural
pendidikan karakter dimaknai bahwa sistem sosial
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
karakter individu. Oleh karena itu, fokus pendidikan
karakter adalah mengubah perilaku agar sesuai dengan
standar yang baku dan mencakup perkembangan sosial
siswa (Majid, A & Andayani, 2012).
Pentingnya Pendidikan Karakter.
Bangsa Indonesia kini terjadi krisis moralitas, identitas
bangsa dan rasa nasionalisme. Endang Soemantri
(dalam Budimansyah, D & Komalasari, 2011)
mengatakan “bangsa Indonesia mengalami masa
discontinue, unlinier, dan unpredictable” yang artinya
bahwa masyarakat Indonesia kini mengalami
pendangkalan terhadap rasa nasionalisme, identitas
diri dan beragama.
Negara tidak akan bisa bersaing dalam kancah
internasional apabila memiliki sumber daya manusia
(SDM) yang rendah akan moralitas, dan nasionalisme.
Syahbudin (2018) menjelaskan apabila negara ingin
bersaing di skala internasional baik di bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya harus memperbaiki
SDMnya terlebih dahulu terutama yang berkaitan
dengan moralitas. Hal ini dilandasi terkait
pembentukan kebijakan negara. Seperti yang
disinggung sebelumnya, bahwa banyak pejabatpejabat negara atau pembuat kebijakan negara sering
tertangkap kasus korupsi. Tidak integritas dan
kejujuran dalam karakter para pejabatan tersebut.
Maka secara logika, apabila pejabatnya seperti itu,
berlaku juga pada kebijakannya. Sebab setiap
kebijakan pasti memiliki bobot nilai yang
menunjukkan kapasitas dari pembuatnya. Jika terus
seperti ini, untuk mengurus negara sendiri pasti tidak
akan berjalan dengan baik, apalagi dalam skala
internasional.
Dalam penelitian Sularso (2016) bahwa pendidikan
karakter bisa digunakan untuk melestarikan budaya
lokal sebagai identitas Bangsa Indonesia. Kearifan
lokal yang diintegrasikan dalam pendidikan
memberika peluang bagi siswa untuk dapat menyerap
dan diterapkan sehingga pengetahuan tersebut tidak
hilang. Selain untuk melestarikan, dapat diambil juga
manfaatnya. Misalnya pendapat Soetomo (2012) yang
mengatakan bahwa kearifan lokal berfungsi sebagai
penjaga keseimbangan dan juga keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungannya. Telah
diterapkan juga dalam penelitian Istiawati (2016) yang
meneliti kearifan lokal adat ammatoa. Hasil yang
didapat adalah kearifan lokal adat ammatoa
mengandung pengetahuan ekologis yang berkaitan
dengan keseimbangan alam yang dapat membentuk
karakter cinta pada lingkungan atau konservasi. Oleh
karena itu, pendidikan karakter menjadi penting
sebagai penyalur bagi kearifan lokal supaya tetap
lestari.
Pendidikan karakter tidak hanya berguna dalam
skala luas, tapi juga berguna dalam skala individual.
Berdasarkan penelitian dari Mayshandy (2019) bahwa
pendidikan karakter dapat menuntun manusia untuk
bisa menghindari kehidupan yang berat. Mengacu
pada sejarah Cina pada tahun 1985 setelah mengalami
keterpurukan dari dampak revolusi Mao Tse dong.
Cina melakukan reformasi pendidikan dengan
menerapkan pendidikan karakter sejak usia dini. Hal
ini kemudian membawa hasil yang signifikan baik
secara ekonomi, sosial dan budaya.
Pendidikan karakter menjadi alternatif yang sudah
terbukti di negara lain. Bangsa Indonesia masih
memiliki peluang dengan menerapkan pendidikan
karakter untuk mengatasi permasalahan krisis moral,
identitas bangsa, dan nasionalisme. Bahkan bisa
berpengaruh pada perkembangan ekonomi negara di
skala Internasional.
Implementasi Pendidikan Karakter
Dalam implementasinya, banyak sekali nilai yang
diterapkan. Pendidikan karakter di Indonesia mengacu
pada agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan
nasional yang terpecah menjadi beberapa nilai seperti:
1) religius; 2) toleransi; 3) disiplin; 4) jujur; 5) kreatif;
6) mandiri; 7) kerja keras; 8) cinta tanah air; 9)
demokratis; 10) cinta damai; 11) peduli lingkungan
dan sosial; 12) tanggung jawab; 13) semangat
kebangsaan (Dalimunthe, 2015)
Mengacu dari aspek tersebut, banyak penelitian
yang dilakukan untuk mencari metode yang sesuai dan
efektif untuk pendidikan karakter yang sesuai
18
Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara
Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri
kebutuhan Bangsa Indonesia. Dalam penelitian
Adibah (2014) yang meneliti pendidikan multikultural
di Universitas Darul Ulum, menemukan bahwa
pendidikan multikultural dapat membentuk karakter
toleransi pada mahasiswa. Pendidikan multikultural
memberikan fasilitas bagi mahasiswa untuk bisa
mengerti dan memahami suku, budaya, dan agama lain
sehingga dapat menerima dan menghargai perbedaan
tersebut.
Penelitian lain dari Fithriyana (2019) yang meneliti
pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada santri
pondok pesantren Ar-Rosyid dan At-Tanwir.
Ditemukan bahwasanya terdapat hal yang menarik,
yaitu sifat empatik para santri terbentuk karena proses
internalisasi dari keteledanan tenaga pendidik dan
pengurus pondok tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam pemodelan menjadi bagian penting
dalam pendidikan karakter. Yulia (2016) juga
menyebutkan dalam penelitiannya bahwa keteladanan
merupakan metode yang paling efektif dalam
keberhasilan pendidikan karakter. Seperti yang
dikatakan Bandura pada teori Modelling-nya dan Ki
Hadjar Dewantoro yang mengatakan bahwa dalam
pendidikan harus menerapkan 3 konsep yaitu “Niteni,
Nirokke, Nambahi” atau “Dilihat, Ditiru, dan
Dibenahi”.
Penelitian dari Syamsuddin (2019) menjelaskan
bahwa pendidikan karakter bisa diajarkan dalam
bidang seni. Madrasah Aliyah Negeri 1 Palu, memiliki
pelajaran seni budaya yang menampilkan pertunjukan
teater. Dalam pembelajaran, guru mempersiapkan alur
cerita, dan adegan dengan menyelipkan kepribadiankepribadian yang ingin ditanamkan pada siswanya.
Proses latihan teater sebelum tampil akan menjadi
proses pembiasaan siswa untuk menerapkan karakter
yang dimainkan. Dilakukan secara terus menerus
hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
Pada intinya, pendidikan karakter bisa diterapkan
dengan mengaitkan kearifan lokal, dan seni. Semuanya
memberikan sumbangsi yang sesuai dengan kebutuhan
Bangsa Indonesia yang tercantum dalam tujuan
pendidikan nasional dan Pancasila. Maka dari itu,
semua metode harus bisa dikembangkan dan
diterapkan secara berkala. Seperti yang dikatakan oleh
Nurfalah (2016) dalam konteks pendidikan apabila
ingin menanamkan karakter yang diinginkan pada
anak, harus diarahkan juga supaya diterapkan dan
menjadi kebiasaan. Sehingga yang muncul tidak hanya
kesadaran kognitif untuk mengetahui yang benar dan
salah. Tapi juga kesadaran untuk melakukannya
(psikomotor).
PENUTUP
Simpulan
Pendidikan
karakter
sangat
penting
untuk
dikembangkan dan diajarkan pada anak sejak usia dini.
Pada dasarnya pendidikan karakter di Indonesia sendiri
mengacu pada agama, pancasila, budaya, dan
pendidikan nasional. Pada pendidikan nasional telah
diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan
karakter ini dapat di terapkan melalui pembiasaan
sejak dini sehingga dapat menajangkau emosi yang ada
didalam diri individu. Terdapat tiga komponen penting
agar pendidikan karakter ini berhasil yaitu moral
knowing, moral acting, dan moral feeling. Pendidikan
karakter memiliki peran yang penting dalam
kehidupan bangsa, karena dengan adanya pendidikan
karakter individu dapat mengenali dirinya sendiri
kemudian dapat belajar mengenali orang lain, dengan
begitu maka akan tercipta kehidupan yang berbasis
nilai-nilai agama dan pancasila.
Manfaat pendidikan karakter sendiri tidak hanya
berguna secara individual tetapi juga secara luas bagi
kehidupan, selain itu pendidikan karakter juga
membenahi krisis moral yang ada di masyarakat.
Dengan menanamkan pendidikan karakter yang
berbasis pancasila tentu akan menjadikan sumber daya
manusia yang ada di Indonesia menjadi pribadi yang
baik dan mulia sehingga akan membawa Negara
Indonesa menjadi Negara yang maju.
Saran
Pemerintah perlu memperhatikan dan meninjau ulang
terkait pendidikan karakter yang telah diterapkan di
Indonesia. Apakah pendidikan karakter tersebut sudah
efektif atau perlu adanya inovasi-inovasi yang lain dan
baru, karena hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya
kasus-kasus korupsi, rendahnya moral siswa kepada
guru, serta kasus lain yang setiap tahun masih terus
bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Adibah, I. Z. (2014). Pendidikan multikultural sebagai
wahana pembentukan karakter. Jurnal Madaniyah,
7, 175–190.
Budimansyah, D & Komalasari, K. (2011). Pendidikan
karakter: Nilai inti bagi upaya pembinaan
kepribadian bangsa. Bandung: Widaya Aksara
Press.
Cresswell, J. W. (2010). Research Desain: Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approach (3th
ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dalimunthe, R. A. A. (2015). Strategi dan
implementasi pelaksanaan pendidikan karakter di
19
Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Sumber Daya Manusia yang Berkompeten untuk Membangun Negara
Tio Kusuma, Aldiah Rosa Hayuningtiyas Putri
SMPN 9
Yogyakarta. Jurnal Pendidikan
Karakter, 5(1), 102–111.
Denney, A. S., & Tewksburry, R. (2013). How To
Write A Literature Review. Journal of Criminal
Justice Education, 24(2), 218–234.
Fithriyana, E. (2019). Menumbuhkan sikap empati
melalui pendidikan karakter berbasis kearifan lokal
pada sekolah berasrama. Jurnal Pendidikan Islam:
Al Ulya, 4(1), 42–54.
Fitri, Z. (2012). Pendidikan karakter berbasis nilai
etika di sekolah. Jurnal Pendidikan Islam: Al Ulya,
4(1), 42–54.
Gunawan., H. (2012). Pendidikan karakter konsep dan
implementasi. Bandung: Alfabeta.
Hayati, S. (2012). Mengembangkan potensi guru dan
calon guru untuk mewujudkan pendidikan karakter
yang efektif. Jurnal Pkn Progresif, 7(1), 85–96.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sularso. (2016). Revitalisasi kearifan lokal dalam
pendidikan dasar. Jurnal Pendidikan Sekolah
Dasar, 2(1), 73–79.
Syahbudin, R. H. (2018). Peran pendidikan dalam
membangun karakter bangsa yang bermoral.
Jurnal At-Talim, 17(2), 161–170.
Syamsuddin. (2019). Pembentukan karakter siswa
berbasis pendidikan seni budaya di MAN 1 Palu.
Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 2(1), 29–
36.
Yulia, P. (2016). Implementation of profesionalism of
teacher and information of character in primary
school students. Jurnal Dinamika Pendidikan
Dasar, 8(1), 40–43.
Istiawati, F. N. (2016). endidikan karakter berbasis
nilai-nilai kearifan lokal adat ammatoa dalam
menumbuhkan karakter konservasi. Jurnal
Cendekia, 10(1), 1–18.
Majid, A & Andayani, D. (2012). Pendidikan karakter
perspektif islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mayshandy, M. . (2019). Studi Literatur Pentingnya
Penerapan Pendidikan Karakter bagi Pendidikan
Formal Sekolah Menengah Pertama. Junal
Scienceedu, 2(1), 67–71.
Mochtarom, M. (2017). Pendidikan karakter bagi
warga negara sebagai upaya mengembangkan good
citizen. Jurnal Pkn Progresif, 12(1), 543–552.
Murniyetti, Engkizar, & Anwar, F. (2016). Pola
Pelaksanaan Pendidikan karakter Terhadap Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, 6, 2.
Nurfalah, Y. (2016). Urgensi nilai-nilai pendidikan
karakteri. Jurnal IAIT Kediri, 27(1).
Ramadhan, G. M & Resmi, C. (2019). Analisis
pendidikan karakter berbasis nilai kearifan lokal
cipta gelar sukabumi dalam mengembangkan
kecerdasan ekologis. Jurnal Edukasi, 11(2), 91–
102.
Ramli, T. (2003). Pendidikan Karakter. Bandung:
Angkasa.
Rosidatun. (2018). Model Implementasi Pendidikan
Karakter. Gresik: Caramedia Communication.
Saifurrohman. (2014). Pendidikan Berbasis Karakter.
Jurnal Tarbawi, 2, 2.
Soetomo.
(2012).
Keswadyaan
masyarakat,
manifestasi
kapasitas
masyarakat
untuk
berkembang secara mandiri. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Soyomukti,
N.
(2010).
Teori-teori
Pendidikan.
20
PEMBELAJARAN DI ERA MERDEKA BELAJAR TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF
PESERTA DIDIK
Fatimah Suri
Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru. email: fatimahsuri806@gmail.com
Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya
Pendidikan IPA, Universitas Muhammadiyah Riau, Pekanbaru, hadipurwanto@umri.ac.id
Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru, merrynovaliza75@gmail.com, detramulya20@gmail.com
Abstrak
Artikel ini menelaah pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap kemampuan metakognitif
peserta didik. Merdeka Belajar terkait dengan upaya sekolah dalam menanamkan Lifelong Learning
Capacity (LLC) merupakan respon terhadap kebutuhan sistem pendidikan Revolusi Industri 4.0.
Merdeka Belajar diperlukan untuk mewujudkan mutu pendidikan berkelanjutan dan kebutuhan
utama yang ingin dicapai dalam sistem pendidikan atau lebih khusus dalam metode pembelajaran
agar peserta didik mampu menguasai terhadap literasi sainteknologi dan sosial. Pembelajaran di era
merdeka belajar berpengaruh terhadap kemampuan metakognitif peserta didik karena dalam
pembelajaran, pengetahuan metakognitif yang dimiliki oleh peserta didik juga berkaitan dengan
keyakinan dirinya tentang kecerdasan, seberapa sadarnya siswa tentang pengetahuannya dan tingkat
kesulitan tugas yang dikerjakan dengan caranya sendiri dan dianggapnya terbaik untuk belajar yang
efektif dan baik untuk dirinya sendiri, karena sistem pendidikan merdeka belajar mengutamakan
pendidikan karakter. Artikel ini menggunakan penelitian pustaka (library research). Dengan sumber
data dari jurnal, laporan hasil penelitian, dan artikel ilmiah. Oleh karna itu pembelajaran di era
merdeka belajar adalah kebebasan untuk berinovasi, belajar atas motivasinya dan kemandirian, dan
kreatif bagi guru serta peserta didik. Saat ini antara guru dan peserta didik memiliki pengalaman yang
mandiri dan dari pengalaman yang ada tersebut guru dan siswa akan mediskursuskannya di ruang
kelas maupun di luar kelas (outdoor learning). Sehingga guru beradaptasi dengan kemampuan
metakongnitif yang dimiliki peserta didik. karena tugas guru dan pimpinan di sekolah sebagai
lembaga pendidikan dapat mengarahkan, memimpin, dan menggali daya kritis dan potensi dari diri
peserta didik.
Kata Kunci: Pembelajaran, Merdeka Belajar, Metakongnitif.
PENDAHULUAN
Belakangan ini ramai dibincangkan didunia
pendidikan, dengan dicetuskannya konsep mengenai
merdeka belajar oleh menteri pendidikan dan
kebudayaan yaitu Nadiem Makarim. Pada setiap fase
dan setiap era semua di-arahkan agar mendapatkan
hasil yang semakin baik untuk kedepannya, namun
faktanya masih tetap kurang maksimal. Akhirnya, oleh
Nadiem Makarim dikeluarkan kebijakan yang
dianggap masyarakat cukup revolusioner dan menjadi
pembicaraan di ruang publik. Kebijakan itu adalah
program ”Merdeka Belajar”. Program ini diwujudkan
dalam kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN)
mulai tahun 2021 diganti dengan sistem penilaian
asesmen kompetensi dan survei karakter.
(Kemendikbud) Nadiem Makarim saat berpidato
pada acara Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019
beliau mencetuskan konsep “Pendidikan Merdeka
Belajar”. Konsep ini merupakan respons terhadap
kebutuhan sistem pendidikan pada era revolusi industri
4.0. Nadiem Makarim menyebutkan merdeka belajar
merupakan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan
berfikir ditentukan oleh guru (Tempo.com, 2019). Jadi
kunci utama menunjang sistem pendidikan yang baru
adalah guru.
Maka Guru dan siswa diharapkan mampu memiliki
pemikiran atau pengetahuan dengan metakognisi,
siswa akan “Tahu bahwa dia tahu dan tahu bahwa
dia tidak tahu”. Desmita (2012:132) menegaskan,
matakognitif adalah “pengetahuan dan kesadaran
tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang
pikiran dan cara kerjanya”. Sehingga timbul rasa
ingin tahu, karena siswa menggunakan proses
kognitifnya untuk memikirkan prosesnya sendiri
karena siswa sendiri dapat memandu dirinya sendiri
dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk
meningkatkan kemampuan metakognitif nya di masa
depan.
Masalah pokok yang sering dihadapi guru yakni
manajemen kelas. Oleh karena itu, kelas harus didesain
kreatif dan inovatif. Serta konsep “Merdeka Belajar”
tujuan pembelajaran akan bisa tercapai dengan baik jika
guru sukses mendesain pengelolaan pembelajaran yang
21
Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik
Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya
inovatif dan kreatif. Akan tetapi, berdasarkan fakta di
lapangan ada beberapa masalah tentang Model
pembelajaran yang diterapkan di setiap sekolah.
Berdasarkan Hasil Penelitia (Purwanto, et al: 2020)
banyak guru pelajaran IPA yang ada di Provinsi Riau
kurang mengaplikasikan media pembelajaran, secara
deskriptif dari hasil penelitian pada penerapan
pembelajaran IPA secara daring yang di terapkan oleh
setiap sekolah saat pandemik Covid-19. Spirit belajar
atau semangat peserta didik malah mengalami
penurunan, bahkan KI pada Pembelajaran IPA tidak
sepenuhnya tersampaikan. Seharusnya dengan
perkembangan teknologi informasi saat ini
pembelajaran online merupakan proses pembelajaran
yang bisa memanfaatkan teknologi informasi. Maka
untuk pembelajaran di era merdeka belajar ini siswa
diharapkan
dapat
meningkatkan
pengetahuan
metakognitif yang dimilikinya.
Pengetahuan metakognitif yang dimiliki oleh
peserta didik berkaitan dengan keyakinan dirinya
tentang
kecerdasan,
seberapa
kesadaran,
pengetahuannya dan tingkat kesulitan tugas yang
dikerjakan dengan caranya sendiri dan dianggapnya
terbaik (Sumampouw, 2011:28). Merdeka belajar
terkait dengan upaya yang dilakukan sekolah dalam
menanamkan Lifelong Learning Capacity (LLC)
sebagai tema sentral revoluasi industri. Merdeka belajar
diperlukan untuk mewujudkan mutu pendidikan
berkelanjutar. Maka agar terwujudnya merdeka belajar
perlu transformasi kurikulum sekolah & pembelajaran
. Perlu transformasi manajemen pendidikan nasional
untuk terwujudnya merdeka belajar (Unifah Rosyidi:
2020)
Proses pembelajaran dibangunkan ekosistem
pendidikan yang memfasilitasi tumbuh dan
berkembangnya nalar, karakter, inovasi, kemandirian,
kenyamanan, dan keahlian siswa. Maka merdeka
belajar dampat membentuk sumber daya yang unggul
atau berkualitas untuk menuntaskan peluang
pendidikan pada era Industri 4.0 serta diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan metakognitif yang dimiliki
oleh peserta didik dengan tujuan kemajuan bangsa dan
Negara.
Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah di
atas, maka perlu untuk meneliti mengenal lebih dalam
sebagai sebuah kondisi yang akan dihadapi oleh
pendidik dan peserta didik,serta alasan mengapa
pendidik dan peserta didik membutuhkan sebuah
konsep pembelajaran pada era merdeka belajar sebagai
perubahan ke arah yang lebih baik. Bagaimana rencana
penerapan pembelajaran pada era merdeka belajar,
sebagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan
yang siap menghadapi tantangan zaman dan
memberikan sedikit analisis tentang bagaimana
Pembelajaran pada era meredeka belajar.
Kemudian, penulis berharap agar artikel ini dapat
bermanfaat dalam menambah wawasan tentang
bagaimana pembelajaran pada era merdeka belajar,
bagi para pembaca, khususnya bagi pendidik dan
peserta didik yang nantinya menjadi seorang calon
pendidik, agar kiranya dapat menyadari bagaimana
tantangan ke depan, pada kemampuan metakognitifnya
sehingga dapat mempersiapkan diri untuk menjadi
insan yang lebih baik dan bermanfaat
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
non riset, yakni penelitian studi pustaka, dengan
mengumpulkan informasi dari beberapa sumber yakni
buku, jurnal, internet, dan informasi berupa pendapat
yang dikemukakan menteri pendidikan melalui
beberapa acara yang penulis kutip dari Youtube.
dengan tujuan untuk memperoleh informasi lebih
dalam dan memberikan analisis terkait dengan konsep
merdeka belajar di era merdeka belajar terhadap
kemampuan metakongnitif peserta didik (Sugiyono,
2008). Penelitian pustaka (library research). Penelitian
pustaka adalah penelitian yang teknik pengumpulan
datanya dilakukan dengan cara membaca berbagai
literatur yang berkaitan dengan informasi serta
relevansi terhadap topik penelitian (Sukardi, 2010 : 3435).
PEMBAHASAN
Menurut penulis terkait konsep yang dicetuskan oleh
Menteri pendidikan yakni Bapak Nadiem Makarim,
merupakan sebuah konsep yang sangat baik, dan
merupakan bentuk upaya untuk kemajuan pendidikan
khususnya pada jenjang perguruan tinggi dalam
menghadapi era revolusi industri 4.0. Nadiem
membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa
alasan. Pasalnya, penelitian Programme for
International Student Assesment (PISA) tahun 2019
menunjukkan hasil penilaian pada siswa Indonesia
hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk
bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki
posisi ke-74 dari 79 Negara.
Maka kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan
mandiri, dan kreatif dapat dilakukan oleh unit
pendidikan, guru, dan siswa. Karena saat ini antara
guru dan siswa memiliki pengalaman yang mandiri di
lingkungannya. Dan dari pengalaman yang ada
tersebut akan didiskursuskan di ruang kelas dan
lembaga pendidikan. Adaptasi sistem pendidikan di
22
Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik
Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya
era Revolusi Industri 4.0 harus distimulasi dengan
proses literasi baru tersebut. Siswa/peserta didik pada
era industri 4.0 memiliki pengalaman yang padat
dengan dunia digital atau visual saat ini. Dan tugas
guru, kepala sekolah termasuk lembaga pendidikan
dapat mengarahkan, memimpin, dan menggali daya
kritis dan potensi siswa.
Paulu Freire (Adhysaksti, 2015) menyatakan
bahwa manusia yang utuh adalah manusia sebagai
subjek yang mampu berintegrasi dengan lingkungan,
integrasi
muncul
dari
kemampuan
untuk
menyesuaikan diri darirealitas, ditambah kemampuan
kritis untuk mengubah realitas. Artinya konsep
pendidikan yang dijalankan harus mampu membangun
keasadaran kritis. Untuk membangun kesadaran kritis
dalam hal ini Paulo Freire menggagas konsep
pendidikan berupa ”hadap-masalah”. Jadi, apa yang
dipelajari siswa dalam sekolah tidak lepas dari
persoalan-persoalan
yang dihadapinya dalam
kehidupan nyata. Bukan hanya materi yang
menawarkan ilusi semata, yang realitanya sulit untuk
diterapkan dan tidak diperlukan dalam kehidupan
nyata. Maka dari itu pemahaman harus ditemukan dan
dibangun sendiri oleh para pelaku atau dalam hal ini
adalah belajar.
Karena sekolah adalah tempat mengembangkan
bakat, minat, rasa ”ceria” untuk belajar, menjadi
manusia yang berilmu, berasa bebas menjadi manusia
yang diinginkan (Rahardjo, 2018). Tiga orang tokoh
dunia yang pemikirannya mempunyai pengaruh besar
dalam dunia pendidikan yaitu Gurudev Rabindranath
Tagore, Ki Hajar Dewantoro, Julius Nyerere,
menggambarkan sekolah adalah sebuah taman yang
menghadirkan suasana kegembiraan dan menjadi
tempat bermain atau tempat belajar. Walaupun
kepandaian, kecerdasan, dan ketrampilan merupakan
dimensi yang penting, namun menengok kondisi
Negara saat ini yang marak akan praktik korupsi,
lemahnya kebijakan hukum, dan berbagai problema
yang muncul akibat keserakahan oknum, maka yang
diperlukan saat ini adalah pendidikan mampu
mendidik siswa menjadi manusia yang budiman.
Melalui pendidikan diharapkan mampu melahirkan
manusia yang merdeka, kritis, dan peka terhadap
realitas sosial, serta menghilangkan status quo seperti
yang dihadapi pada masa orde baru. Hal ini tentunya
sejalan dari gagasan yang dikemukaan oleh Paulo
Freire yaitu pendidikan yang membebaskan atau
memerdekakan.
Maka guru dan siswa diharapkan mampu memiliki
pemikiran atau pengetahuan dengan metakognitif,
siswa akan “Tahu bahwa dia tahu dan tahu bahwa dia
tidak tahu”.
Karena keterampilan siswa dalam
memecahkan masalah diperlukan bagi siswa untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam
pembelajaran.
Menurut Nurdalilah,dkk
(2013)
mengatakan bahwa siswa dikatakan telah mampu
memecahkan suatu masalah jika siswa telah mampu
memahami soal, mampu merencanakan pemecahan
masalah tersebut. Tahap-tahap tersebut harus dimiliki
seorang siswa untuk dapat memecahkan masalah.
Selain itu, aspek kognitif dalam diri siswa sangat
mendukung dalam memecahkan suatu masalah. Sagala
(2010:12) mengemukakan bahwa kognitif yaitu
kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan,
penalaran, atau pikiran terdiri dari kategori
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analysis,
sintesis dan evaluasi. Menurut Desmita (2014:131)
aspek perkembangan kognitif sangat penting bagi
proses belajar siswa disekolah, yakni keterampulan
kognitif, yang salah satunya meliputi kemampuan
metakognitif. Kemampuan metakognitif siswa sangat
mendukung kemampuan seorang siswa.
Selain itu guru merupakan inti dari pendidikan,
tanpa guru pendidikan tidak akan berjalan dengan
efektif. Oleh sebab itu, guru harus mampu
menyeimbangkan antara sistem pembelajaran dengan
teknologi yang kian semakin berkembang. Disini guru
harus mampu menginovasi pembelajaran dari yang
klasik menuju modrenisasi. Menggabungkan metode
pembelajaran dengan teknologi, untuk membantu
siswa memahami bahwa pendidikan dan teknologi
harus sejalan dan mampu menciptakan kegiatan belajar
dalam keadaan diamana saja. Oleh karena itu, revolusi
pembelajaran menjadi satu keniscayaan.
Inovasi pembelajaran 4.0 dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Pendidik tentunya menguasai metode
pembelajaran yang selama ini diterapkan. adapun
mengadopsi
dan
mengembangkan
metode
pembelajaran yang sudah ada dengan berbagai
kreativitas sendiri adalah langkah awal yang dapat
dilakukan dalam rangka pembelajaran 4.0.(Joenaidy,
2019)
Pembelajaran pada era merdeka belajar merupakan
perpanjangan dari program merdeka belajar yang
masih hangat diperbincangkan di bidang pendidikan,
pembelajaran merdeka belajar memberikan guru dan
siswa kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN)
mulai tahun 2021 diganti dengan sistem penilaian
Asesmen Kompetensi dan survei karakter. Tidak lepas
dari itu statement ini merupakan langkah terciptanya
peningkatan kualitas pendidikan yang dicetuskan oleh
menteri pendidikan Nadiem Makarim. (Direktorat
23
Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik
Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2020)
Oleh karna itu Nadiem Makarim mecetuskan
Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim karena
keinginannya untuk menciptakan suasana belajar yang
bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau
nilai tertentu.
Pokok-pokok kebijakan Kemendikbud RI tertuang
dalam paparan Mendikbud RI di hadapan para kepala
dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota seIndonesia, Jakarta, pada 11 Desember 2019.
Ada empat pokok kebijakan baru Kemendikbud
RI, yaitu:
1. Ujian Nasional (UN) akan digantikan oleh
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei
Karakter. Asesmen ini menekankan kemampuan
penalaran literasi dan numerik yang didasarkan
pada praktik terbaik tes PISA. Berbeda dengan UN
yang dilaksanakan di akhir jenjang pendidikan,
asesmen ini akan dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11.
Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi
sekolah untuk memperbaiki proses pembelajaran
selanjutnya sebelum peserta didik menyelesaikan
pendidikannya.
2. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan
diserahkan ke sekolah. Menurut Kemendikbud,
sekolah diberikan keleluasaan dalam menentukan
bentuk penilaian, seperti portofolio, karya tulis,
atau bentuk penugasan lainnya.
3. Penyederhanaan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Menurut Nadiem Makarim,
RPP cukup dibuat satu halaman saja. Melalui
penyederhanaan administrasi, diharapkan waktu
guru dalam pembuatan administrasi dapat
dialihkan untuk kegiatan belajar dan peningkatan
kompetensi.
4. Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB),
sistem zonasi diperluas (tidak termasuk daerah 3T).
Bagi peserta didik yang melalui jalur afirmasi dan
prestasi, diberikan kesempatan yang lebih banyak
dari sistem PPDB. Pemerintah daerah diberikan
kewenangan secara teknis untuk menentukan
daerah zonasi ini. (Media, Kompas Cyber: 201912-17)
Itulah sebabnya guru dan siswa diharapkan mampu
melakukan inovasi-inovasi dalam setiap proses
pembelajarannya yakni pembelajaran yang berpusat
pada siswa dan mahasiswa agar mendukung
tercapainya lulusan yang berkualitas yang siap
menghadapi situasi zaman yang terus berubah.
Pendidikan selalu mengupayakan terciptanya peserta
didik yang selalu melakukan pembaharuan demi
pembaharuan dalam setiap waktu. Tidak hanya mampu
berpendidikan tinggi akan tetapi mampu menjadi agen
perubahan dalam lingkup kecil maupun besar. Satuan
pendidikan yang paling berpengaruh dalam perubahan
adalan perguruan tinggi. Mengapa demikian? Karena
disinilah kematangan dalam menempuh pendidikan
dan diharapkan menjadi perubahan dalam berpikir dan
bertindak seagai calon pendidik nantinya.
PENUTUP
Simpulan
Adapun dalam hal ini penulis menarik kesimpulan dari
hasil analisis berdasarkan teori yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa, sebuah era revolusi
industri 4.0 adalah era yang penuh dengan teknologi
yang semakin meninggi, teknologi bisa menjadi teman
juga bisa menjadi musuh, tergantung bagaimana kita
menggunakannya. dengan kemajuan teknologi
tersebut, bahkan menyebabkan sebuah pekerjaan dapat
digantikan dengan mesin, dan muncul pekerjaan baru
yang membutuhkan berbagai bidang ilmu. Karena dari
konsep merdeka belajar merupakan tawaran dalam
merekonstruksi sistem pendidikan nasional. Penataan
ulang sistem pendidikan dalam rangka menyongsong
perubahan dan kemajuan bangsa yang dapat
menyesuaikan dengan perubahan zaman. Dengan cara,
mengembalikan hakikat dari pendidikan yang
sebenarnya yaitu pendidikan untuk memanusiakan
manusia atau pendidikan yang membebaskan. Dalam
konsep merdeka belajar, antara guru dan murid
merupakan subyek di dalam sistem pembelajaran.
Serta meningkatkan pengetahuan metakognitif yang
dimiliki oleh peserta didik agar siswa menyadari
bahwa dirinya memiliki kemampuan belajar secara
efektif dan siswa tahu bagaimana belajar yang baik
untuk dirinya sendiri dengan keyakinan dirinya tentang
kecerdasan yang dimiliki, seberapa kesadaran,
pengetahuannya.
Saran
Dengan adanya artikel ini banyak hal baru yang di
dapatkan tentunya mendapatkan ilmu yang lebih
mendalam mengenai pembelajaran di era merdeka
belajar, untuk pembaca agar dapat menjadi bahan
informasi untuk meningkatkan lagi pembelajaran yang
lebih efektif, inovatif pada pembelajaran di era merdeka
belajar saat ini, serta dapat menjadikan acuan untuk
saya melakukan penelitian lanjut pada topik yang
berbeda.
24
Pembelajaran di Era Merdeka Belajar terhadap Kemampuan Metakognitif Peserta Didik
Fatimah Suri, Hadi Purwanto, Merry Novaliza, Detra Mulya
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanti Riri. (2016). ANALISIS KETERAMPILAN
METAKOGNITIF
SISWA
DALAM
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
APLIKASI
PERBANDINGAN.
Publikasi
Ilmiah.hlm.(6)
Desoete, Anemi,Herbert Roeyers dan Ann Busysee.
“Metacognition and Mathematical problem Solving
in Grade 3”. Journal of Learning Dissabilities. Vol.
34.
Desmita. (2014). Psikologi Perkembangan Peserta
Didik, Bandung:
Remaja Rosdakarya. Lailia
Firda, Utama Budi, Wisudarianti Ria.(2019).
Pemanfaatan Portal/Web E-Learning Pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Di Sma Negeri 4
Singaraja. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia Undiksha 13. Volume 9 Nomor 1.No.5.
Page435-44
Freire, P. (1984). Pendidikan
pembebasan. PT Gramedia
sebagai
Industri 4.0. Fitrah: Journal of Islamic Education,
1(1), 141-157. Rahardjo, T. (2018). Sekolah biasa
saja. Yogyakarta: INSISTPress.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta
Sagala, Syaiful. 2010. Konsep
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
dan
Makna
Siregar Nurhayani, Sahirah Rafidatun, Amsal Harahap
Arsikal. (2020). KONSEP KAMPUS MERDEKA
BELAJAR DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0.
Journal of Islamic Education, 1(1), 141-157.
Sukardi. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan:
Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Askara.
Tohir, M. (2020). Merdeka Belajar: Kampus Merdeka.
praktek
Hadi Purwanto, Defrizal Hamka, Witri Ramadhani,
Detra Mulya, Fatimah Suri, Merry Novaliza.
(2020). Problematics Study of Natural Sciences
(IPA) Online at Junior High School in the Time of
the Pandemic Covid-19. International Journals of
Sciences and High Technologies. Volume 2. Nomor
2. 189-191
Ibda, H., & Rahmadi, E. (2018). Penguatan literasi baru
pada guru madrasah ibtidaiyah dalam menjawab
tantangan era revolusi industri 4.0. JRTIE: Journal
of Research and Thought of Islamic Education,
1(1), 1-21.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.Vol 18. Balitbang
Kemendikbud
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020).
Merdeka Belajar: Kampus Merdeka.
Lisnawati, L. (2018). Korelasi Antara Keterampilan
Metakognisi Dengan Hasil Belajar Siswa Melalui
Model Pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) Pada Materi Lingkungan: Penelitian
Deskriptif-korelasional pada siswa kelas X SMAN
26 Bandung (Doctoral dissertation, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung).
Nurdalilah,
dkk.2013.”Perbedaan
Kemampuan
Penalaran Matematika dan Pemecahan Masalah
pada Pembelajaran Berbasis
Masala
dan
Pembelajaran Konvensional di SMA Negeri 1
Kualuh
Selatan."Jurnal
PendidikanMatematika/volume 6/no 2.page 109119.
Paulo Freire. (1984). Pendidikan Sebagai Praktik
Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia.
Siregar, N., Sahirah, R., & Harahap, A. A. (2020).
Konsep Kampus Merdeka Belajar di Era Revolusi
25
STUDI LITERATUR MENGENAI KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN DALAM LINGKUP
INDUSTRI DAN ORGANISASI DI ERA GENERASI MILENIAL
Alfira Tara R.
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, alfira.17010664006@mhs.unesa.ac.id
Felisca Novitria
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, felisca.17010664016@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Untuk menjadi seorang pemimpin di era revolusi industri 4.0 dengan sebagian besar karyawan yang
berasal dari generasi milenial merupakan sebuah tantangan, terlebih jika pemimpin juga berasal dari
generasi yang sama. Dukungan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah
mengalihkan banyak pekerjaan secara digital. Dengan banyaknya generasi muda di Indonesia yang
memiliki karakteristik yang khas dan potensi besar terhadap perubahan, maka kepemimpinan yang
muncul pun harus menyesuaikan dengan keadaan saat ini. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan karakteristik kepemimpinan, kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin
ini, dan bagaimana mengembangkan figur pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan
organisasi/perusahaan di era generasi milenial sekarang dengan menggunakan metode penelitian
studi literatur. Hasil telaah literatur menunjukkan bahwa pemimpin milenial harus memiliki digital
mindset, cepat beradaptasi, senantiasa mengamati lingkungan sekitar, pemikiran yang terbuka,
berani untuk berubah, dan pantang menyerah. Gaya kepemimpinan yang efektif diterapkan di era
generasi milenial adalah gaya kepemimpinan transformasional dan etis. Dengan gaya
kepemimpinan ini berdampak positif pada perkembangan motivasi dan performa karyawan. Untuk
mengembangkan seseorang menjadi pemimpin milenial yang baik, diperlukan identifikasi terhadap
karyawan yang berpotensi tinggi, menyesuaikan pengembangan dengan gaya belajar milenial, tidak
terbatas pada pembelajaran dan segera mempromosikan generasi milenial pada peran
kepemimpinan lebih cepat
Kata Kunci: Kepemimpinan, karakteristik, generasi milenial
PENDAHULUAN
Setiap organisasi ataupun perusahaan memerlukan
sumber daya manusia yang memiliki etos kerja yang
baik demi tercapainya sebuah tujuan. Pencapaian
tujuan dalam organisasi juga harus memperhatikan
aspek-aspek penting diantaranya peran kepemimpinan
atau pemimpin. Pemimpin nantinya harus bisa
mengelola pegawai atau karyawan dengan baik supaya
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab
itu, pemimpin harus bisa mengelola sumber daya
manusia dan menetapkan metode yang digunakan
dalam memimpin pegawai atau karyawan demi
tercapainya tujuan tersebut.
Pola kepemimpinan yang dilakukan oleh
pemimpin terhadap pegawai atau karyawannya akan
berpengaruh pada dampak yang akan dihasilkan.
Dampak tersebut bisa positif dan negatif. Dampak
postif dari pemimpin yang baik diantaranya atasan dan
bawahan memiliki cara berpikir yang positif,
kesadaran untuk tidak melanggar komitmen,
kenyamanan antara pemimpin dan bawahan, motivasi
dan kepuasan untuk terus bekerja apabila pemimpin
menggunakan gaya kepemimpinan transformasional
dan transaksional, sedangkan dampak negatif dari
pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan
leissez faire akan melahirkan sikap arogan, otoriter,
komunikasi yang buruk antara pemimpin dan bawahan
serta
ketidaknyamanan
dan
ketidakpuasan
dilingkungan kerja sehingga terjadi kegagalan dalam
memimpin (Bass & Avoilo, 2012).
Menjadi seorang pemimpin yang baik pada
generasi masyarakat milenial saat ini dan kedepan
menjadi satu tantangan yang kritis. Pada era generasi
milenial saat ini, oragnisasi yang efektif dapat
terwujud apabila para pemimpin dalam organisasi
tersebut dapat memenuhi kriteria yang ditentukan
sebagai pemimpin yang kredibel, pemimpin yang
mempunyai kemampuan mengontrol bawahan dengan
baik, berintelektual dan berwawasan luas, dan
memiliki visi misi yang jauh kedepan. Kepemimpinan
milenial perlu mendukung pekerja supaya memiliki
sikap kemandirian dan jiwa entrepreneurship.
Kemajuan teknologi informasi menjadi hal yang
penting untuk saat ini, teknologi semakin canggih dan
berkembang dari masa ke masa. Kemajuan teknologi
dan infirmasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
masyarakat saat ini. Laju informasi dan pengetahuan
bergerak begitu cepat tanpa kendala, semua berubah
dalam hitungan sekian detik semua masyarakat bisa
26
Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial
Alfira Tara R, Felisca Novitria
menikmati kecanggihan teknologi. Mulai dari proses
penggalian informasi, penyebaran berita, tren masa
kini, teknologi yang terus berkembang hingga berbagai
produk yang bisa dinilai masyarakat hanya dengan
melihat layar handphone masing-masing. Sebagai
bangsa yang besar dan semakin diperhitungkan di
kancah internasional, Indonesia memiliki banyak
tantangan yang harus diselesaikan.
Membangun Indonesia berarti membangun mental
rakyatnya sehingga gagasan revolusi mental pun lahir
dan dicetuskan pemerintah sebagai gerakan yang
masif. Untuk mencapai perubahan yang besar dan
membangun mental yang kuat diperlukan proses yang
besar pula, seiring dengan perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi yang terus mengalami
pembaharuan rupanya kepemimpinan model lama pun
tidak sesuai dengan generasi milenial saat ini. Oleh
karena itu harus ada pembaharuan sistem dan perlu
dikembangkan model-model kepemimpinan yang
sesuai dengan masa sekarang. Dengan banyaknya
generasi muda di Indonesia yang memiliki potensi
besar terhadap perubahan, maka gaya kepemimpinan
yang muncul pun harus menyesuaikan dengan keadaan
saat ini. Generasi milenial saat ini memengaruhi
banyak hal sehingga juga harus dipimpin dengan gaya
kepemimpinan milenial.
Praktek kepemimpinan berkembang mengikuti
perkembangan zaman. Kepemimpinan milenial
memiliki pendekatan yang khas karena adanya
digitalisasi yang terus merambah didunia kerja
sehingga tidak memungkinkan lagi seorang pemimpin
untuk bertindak secara konvensional. Di samping itu,
dibutuhkan karakter pula kepemimpinan yang mampu
mereduksi berbagai sikap negatif dan mampu
mengeluarkan semua potensi positif dari generasi
milenial seperti melek teknologi, bergerak cepat, haus
ilmu pengetahuan, dan publikasi.
Dengan semakin banyaknya orang yang
menggunakan smartphone, maka akses komunikasi
antar individu sudah semakin mudah. Yang semula
harus bertemu kini ruang pertemuan fisik beralih ke
ruang pertemuan digital. Pemimpin milenial harus bisa
memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk
menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di
lingkungan kerjanya, misalnya dengan mengadakan
rapat via whatsapp ataupun Anywhere Pad, mengganti
surat undangan tertulis dengan undangan via email
ataupun Telegram, dan membagi product knowledge
via Whatsapp. Apabila seorang pemimpin tidak
berupaya mendigitalisasi pekerjaannya pada era saat
ini dan tidak mengalami perubahan seiring dengan
kemajuan teknologi, maka pemimpin seperti itu akan
ketinggalan dengan organisasi lain yang lebih modern
dan memanfaatkan kecanggihan teknologi demi
kemajuan oragnisasinya. Seperti yang dilansir oleh
DDI (Development Dimensions International) dalam
penelitiannya pada tahun 2016, mayoritas millenial
leader menyukai sebuah perusahaan yang fleksibel
terhadap jam kerja dan tempat mereka bekerja. Hal ini
tentu saja disebabkan karena kecanggihan teknologi
yang membuat orang bisa bekerja dimana saja dan
kapan saja. Dapat disaksikan bahwa hari ini banyak
sekali coffeeshop yang berfungsi sebagai co-working
space bertebaran di tempat kita dan sebagian besar
pengunjungnya adalah millenials.
Generasi milenial juga dikenal lebih menyukai
sesuatu yang instan, cara ini bisa dipersepsikan negatif
atau positif. Posititifnya generasi ini menyukai sesuatu
yang praktis dan simple, negatifnya generasi ini
mungkin memiliki daya tahan yang lebih rendah
terhadap tekanan dan stress karena terbiasa melakukan
sesuatu dengan cepat dan instan sehingga kurang sabar
jika hasil yang diperoleh tidak muncul seketika.
Dengan memahami karakter generasi milenial ini,
kepemimpinan yang muncul pun perlu menjadi bagian
dari figure yang cocok dengan mereka (Kartono, 2010)
Kepemimpinan
Kepemimpinan menurut Rivai dan Mulyadi (2011:12)
meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan
tujuan organisasi, memotivasi pegawai atau karyawan
dalam mencapai tujuan, mempengaruhi interprestasi
mengenai
peristiwa-peristiwa
para
pekerjaa,
pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas lain untuk
mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama
yang baik dan kerja tim yang solid dan kompak,
mendapatkan dukungan satu sama lain dan saling
sharing dengan orang lain untuk mendapatkan
pengetahuan baru.
Kepemimpinan merupakan sebuah proses dalam
memengaruhi orang lain untuk memahami dan
menyetujui tentang hal-hal yang harus dilakukan dan
cara melakukannya, serta proses dalam memfasilitasi
usaha kolektif dan individual dalam mencapai tujuan
bersama (Yukl, 2010:8).
Pemimpin yang baik bisa terlihat dari beberapa
keunggulan yang dimilikinya dalam memimpin orang
lain. Menurut Terry (dalam Brantas, 2009) seorang
pemimpin yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Energi: seorang peimpin yang baik akan selalu
mempunyai kekuatan mental dan fisik dalam
menghadapi segala persoalan yang mungkin terjadi
di organisasi tersebut atau mengarahkan bawahan
dalam bekerja.
27
Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial
Alfira Tara R, Felisca Novitria
2. Stabilitas emosi: sebagai seorang pemimpin
tentunya tidak memiliki pikiran yang buruk dengan
pekerja lain atau prasangka karena akan sangat
berpengaruh terdahadap hubungan harmonis antara
atasan dan bawahan, pemimpin juga harus mampu
mengendalikan diri dan mengontrol emosi dengan
baik, tidak cepat marah kepada bawahan apabila
bawahan melakukan kesalahan, serta mempunayi
kepercayaan diri yang tinggi karena percaya diri
memiliki peran penting bagi seorang pemimpin.
3. Human relationship: seorang pemimpin tentunya
diharuskan mempunyai pengetahuan dalam
berhubungan dengan orang lain seperti
menghormati pendapat orang lain, ramah, dan
menghargai orang lain. Sehingga pemimpin
memiliki hubungan dan relasi yang baik dengan
orang lain.
4. Personal motivation: pemimpin sebagai seseorang
yang memiliki jabatan tinggi tentunya seorang
pemimpin yang memiliki keinginan menjadi
pemimpin besar selain itu, pemimpin harus dapat
memotivasi dirinya sendiri dan memotivasi
bawahan.
5. Communication skill: menjadi seorang pemeimpin
diharuskan untuk mempunyai kecakapan dalam
berkomunikasi karena komunikasi faktor yang
sangat penting dalam organisasi. apabila pemimpin
memiliki cara komunikasi yang buruk oragnisasi
tersebut juga tidak akan dapat berkembang dengan
baik.
6. Teaching skill: sebagai pimpinan, seorang
pemimpin diharapkan mampu mempunyai
kecakapan untuk mengajarkan, menjelaskan, dan
mengembangkan bawahannya. Karena bawahan
tentu saja perlu diarahkan, dibimbing, dan
didorong untuk mengembangkan skillnya.
7. Social skill: pemimpin harus mempunyai keahliankeahlian yang digunakan untuk mempimpin
organisasinya. Misalnya keahlian dalam bidang
sosial seperti suka menolong apabila mengetahui
ada bawahan yang sedang mengalami kesusahan,
selalu mendukung apabila bawahannya ingin maju,
ramah kepada semua orang terutama pegawai dan
bawahannya, dan sluwes dalam bergaul.
8. Technical competent: sebagai seorang pemimpin
hal utama yang mesti dimiliki yaitu kecakapan
dalam
menganalisis,
merencanakan,
mengorganisasi, mendelegasikan wewenang,
menyusun konsep, dan mengambil keputusan
dalam organisasi. karena hal tersebut merupakan
aspke penting yang harus dimiliki oleh pemimpin
organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin
dicapai.
Adapun prinsip-prinsip kepemimpinan menurut
Atmadja (2012) sebagai berikut:
1. Peramu talenta
Seorang pemimpin harus dapat meramu orangorang yang dipimpinnya sehingga mereka mampu
menjalankan misi dan tugas-tugas organisasi
dengan baik. Meramu artinya pemimpin dapat
memilih orang-orang terbaik yang dimilikinya,
kemudian menempatkannya pada posisi, tanggung
jawab, dan kewenangan yang sesuai sehingga akan
mengahsilkan kerjasama dan kinerja sinergis yang
luar biasa.
2. Inspiring by modelling
Menjadi seorang pemimpin tentunya juga harus
bisa menjadi contoh atau panutan yang baik bagi
anak buahnya. Cara yang bisa dilakukan untuk oleh
pemimpin yaitu merasa dirinya sebagai seorang
model. Melakukan pekerjaan yang baik, tepat
waktu dan displin karena kekuatan mempengaruhi
(power of influence) juga ditentukan oleh
kemampuan pemimpin dalam menginspirasi
bawahan melalui peran panutan.
3. Empowerment and motivation
Sebagai seorang pemimpin harus mampu
menemukan potensi-potensi tersembunyi yang
terdapat dalam diri anak buahnya, kemudian
melakukan pelatihan atau menggali potensi lebih
dalam untuk menciptakan sumber daya manusia
yang unggul.
4. Productive harmony
Artinya iklim organisasi dimana karyawan,
pemimpin dan semua pekerja memiliki hubungan
yang hangat layaknya kekeluargaan, harmonis
karena mereka memiliki satu tujuan yang sama
yang harus dicapai dan hubungan antar pekerja
terjalin sangat baik.
5. Everyone is importance
Pemimpin yang menganggap bahwa “everyone is
importance” akan selalu menghargai setiap
pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya dari
divisi manapun. Karena pemimpin seperti ini
memiliki prinsip bahwa semua divisi dan bagian
yang ada dalam organisasi memiliki peran yang
penting bagi organisasi itu sendiri.
6. Guardian
Pemimpin adalah pelindung. Maksudnya adalah
sebagai pimpinan dalam organisasi, seorang
pemimpin harus ada ketika pegawai atau karyawan
sedang menghadapi persoalan-persoalan pelik
28
Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial
Alfira Tara R, Felisca Novitria
yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri
sehingga membutuhkan bantuan pemimpin.
Selain itu, Kartono (2014) menyatakan untuk
menjadi pemimpin harus mempunyai
1. Kekuasaan: kekuasaan artinya seorang pemimpin
harus memiliki kekuatan otoritas, legalitas, mampu
menggerakkan bawahan untuk mengerjakan
pekerjaan dalam mencapai tujuan.
2. Kewibawaan: seorang pemimpin pasti memiliki
kelebihan / keunggulan dalam membuat kebijakan
yang tegas supaya semua pegawai atau karyawan
patuh terhadap aturan yang telah dibuatnya.
3. Kemampuan: pemimpin pasti diharruskan
memiliki kesanggupan dalam mengatur dan
memberi arahan kepada bawahan apabila ada yang
tidak mengerti, memiliki kekuatan yang besar
karena harus mengurus sebuah organisasi, dan
memiliki kecakapan dan inetraksi sosial yang
tinggi.
Generasi Millenial
Menurut Manheim (dalam Kemenpppa, 2018)
generasi adalah konstruksi sosial yang terdapat
sekelompok orang yang memiliki kesamaan usia dan
pengalaman historis. Individu yang berada dalam satu
generasi akan memiliki kesamaan tahun lahir dalam
rentang 20 tahun dengan dimensi sosial dan sejarah
yang sama.
Generasi merupakan sekelompok individu yang
memiliki identitas kesamaan usia, tahun kelahiran,
lokasi, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
kehidupan kelompok tersebut, sehingga memengaruhi
fase pertumbuhan mereka secara signifikan
(Kupperschmidt, dalam Kemenpppa, 2018).
Generasi milenial merupakan sekelompok individu
yang lahir dalam rentang tahun 1981-2000an (Long,
2017). Generasi ini adalah penggerak utama dalam
fenomena bonus demografi, terutama dengan potensi
kesetaraan gendernya akan mampu meningkatkan
perekonomian negara. Generasi milenial terdiri dari
mayoritas penduduk usia produktif dengan peranannya
yang penting. Untuk memasuki dunia kerja, para
milenial akan lebih memiliki bermacam-macam jenis
profesi yang karakteristiknya berbeda dari beberapa
generasi sebelumnya. Untuk memaksimalkan potensi
ini, maka perlu lebih memahami karakteristik milenial.
Ciri utama kaum milenial adalah peningkatan
penggunaan dan kelekatan dengan media komunikasi
dan teknologi digital di kehidupan sehari-hari. Dengan
adanya kemajuan teknologi ini, para milenial memiliki
karakteristik kreatif, informatif, passionate dan
produktif. Generasi ini juga memiliki komunikasi yang
terbuka, bebas, kritis, berani, dan reaktif terhadap
perubahan lingkungan di sekitarnya. Generasi milenial
memiliki kualitas yang lebih unggul dalam segi
pendidikan, dan memiliki minat untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Kemenpppa,
2018).
Menurut Harrison (2017) generasi milenial
mmiliki keinginan bekerja pada perisahaan yang
mengembangkan pemikiran kreatif / inovatifnya,
sehingga mereka dapat berkompetensi dan
mengembangkan kontribusi positif bagi organisasi.
Hal ini juga didukung oleh banyak cendekiawan yang
mengakui bahwa para milenial memiliki karakteristik
yang percaya diri terhadap teknologi dan kompeten di
tempat kerja.
Maka dari itu, berdasarkan pemaparan diatas,
penelitian ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana
karakteristik kepemimpinan, kemampuan yang harus
dimiliki oleh pemimpin ini, dan bagaimana
mengembangkan figur pemimpin yang sesuai dengan
kebutuhan organisasi/perusahaan di era generasi
milenial sekarang.
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah studi
literatur, yaitu dengan telaah dan pengumpulan data
melalui sumber-sumber tertulis seperti buku, jurnal,
dan surat kabar, terkait kepemimpinan di era generasi
millenial.
PEMBAHASAN
Setiap generasi memiliki karakteristik tertentu yang
membedakannya dari perkembangan zaman generasi
sebelumnya. Berkaitan dengan hal ini, setiap generasi
membutuhkan pemimpin dengan karakteristik yang
berbeda-beda. Di era revolusi industri 4.0 yang bermula
sejak sekitar tahun 2010, ditandai dengan adanya
perkembangan penggunaan internet, mesin dan
rekayasa kecerdasan sebagai penggerak utama
konektivitas antar manusia dan mesin (Prasetyo, 2018).
Era revolusi industri 4.0 ini telah banyak digerakkan
oleh kaum milenial yang lahir pada tahun 1980-2000an
(Suwardana, 2018).
Kepemimpinan milenial didefinisikan sebagai
kepemimpinan masa kini yang menyesuaikan dengan
gaya generasi baru yang lahir pada era 1980-an. Pola
kepemimpinan milenial tidak sama dengan pola
kepemimpinan lama dari generasi sebelumnya.
Generasi milenial lebih memiliki keberanian dalam
berinovasi karena mereka lebih termotivasi
menciptakan startup atau merintis usaha dan bisnis
baru.
29
Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial
Alfira Tara R, Felisca Novitria
Pada dasarnya generasi milenial merupakan
generasi yang aktif dalam bekerja, belajar, maupun
berbisnis. Konsep kepemimpinan bagi masyarakat
milenial yaitu sebagai teladan bagi orang lain. Selain
memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, dibutuhkan
pula kemampuan dan kapasitas dalam memimpin,
serta memiliki pola perilaku yang baik. Untuk itu,
pemimpin generasi milenial perlu memiliki
karakteristik: dapat menjadi teladan yang baik,
memiliki rasa tanggung jawab, memiliki sense of
belonging, sense of participation, sense of
responsibility, dan dapat menciptakan kerjasama yang
baik dikalangan anggotanya. Selain itu, karakteristik
khas dari generasi milenial adalah kemampuannya
dalam memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi, dimana media online menjadi kebutuhan
sehari-hari mereka. Generasi milenial juga lebih berani
dalam berinovasi, lebih menyukai kemandirian dan
menyukai sesuatu yang cepat, praktis, ataupun instan.
Figur kepemimpinan generasi milenial harus dapat
memahami karakteristik tersebut dan menjadi bagian
dari mereka. Maka dari itu, kepemimpinan milenial
perlu memahami dan menerapkan pola komunikasi
generasi milenial, yaitu dengan ikut menggunakan
media sosial. Pemimpin juga harus dapat mendorong
munculnya inovasi, kreativitas, dan kemandirian jiwa
wirausaha mereka secara konkrit (Ambarwati &
Raharjo, 2018).
Selain itu, dalam lingkungan kerja, perubahan dari
generasi ke generasi merupakan subjek yang
memunculkan perkembangan manajemen sumber
daya manusia (SDM). Untuk mewujudkan
kepemimpinan ideal yang dapat memaksimalkan
potensi positif dan mengurangi sikap negatif yang
dimiliki kaum milenial, terdapat beberapa aspek-aspek
karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin di
era revolusi industri 4.0 adalah sebagai berikut
(Peramesti & Kusuma, 2018):
1. Digital Mindset
Digital mindset merujuk pada pemikiran seseorang
yang
senantiasa
dapat
memanfaatkan
perkembangan teknologi yang ada, sehingga dapat
meningkatkan
efisiensi
dan
efektivitas
pekerjaannya. Hal ini dapat diwujudkan melalui
pertemuan digital/online melalui platform media
sosial. Kecanggihan teknologi ini membuat
pekerjaan menjadi fleksibel, dapat dikerjakan
dimanapun dan kapanpun. Jika pemimpin tidak
berinisiatif dalam melakukan digitalisasi, maka
akan dianggap sebagai pemimpin yang tidak
adaptif.
2. Observer dan Active Listener
3.
4.
5.
6.
Seorang pemimpin harus dapat menjadi pengamat
sekaligus pendengar yang aktif. Hal ini
dikarenakan kaum milenial yang memiliki
keinginan untuk diperhatikan dan menyukai
kebebasan berekspresi di media sosial, sehingga
apabila diperhatikan, mereka cenderung merasa
dihargai dan termotivasi. Terutama jika diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan idenya dan
berbagi pengalaman.
Agile
Pemimpin yang agile merujuk pada pemimpin
yang cerdas dalam melihat peluang, cepat
beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi
perubahan di organisasinya. Selain itu, seorang
pemimpin harus memiliki pemikiran yang terbuka
dan bersedia menerima ketidakjelasan (ambiguity).
Inclusive
Makna inclusive mengacu pada kemampuan cara
berpikir yang luas dalam memandang suatu
permasalahan.
Pemimpin
yang
inclusive
dibutuhkan karena cara pandang individu semakin
kompleks karena kemudahan akses terhadap
berbagai informasi akan membentuk perspektif
yang berbeda-beda. Maka dari itu, seorang
pemimpin diharapkan dapat mengahrgai berbagai
sudut pandang pemikiran yang ada untuk mencapai
tujuan bersama. Selain itu, pemimpin juga harus
memberikan pemahaman pentingnya nilai-nilai,
budaya, dan visi dalam organisasinya.
Brave to be Different
Menjadi pemimpin yang berani mengambil resiko
dalam mencapai tujuan yang berbeda dengan
budaya atau kebiasaan orang lain di lingkungan
sekitar merupakan suatu tantangan bagi pemimpin
milenial. Pemimpin perlu mengubah kondisi
tersebut dan menanamkan pemahaman bahwa
berbeda itu merupakan hal yang diperbolehkan
selama disertai dengan perencanaan dan tujuan
yang jelas.
Unbeatable
Unbeatable mrujuk pada sikap pantang menyerah
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
terutama dalam memimpin kalangan milenial yang
cenderung malas dan merasa paling benar sendiri.
Selain itu, pemimpin harus memiliki cara berpikir
positif dan semangat yang tinggi dalam mencapau
suatu tujuan. Persangan kerja yang semakin ketat
menuntut
pemimpin
untuk
meningkatkan
keterampilan ataupun kemampuannya, sehingga
penting bagi pemimpin memiliki sikap yang
mampu bangkit dari kegagalan dan pantang
menyerah.
30
Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial
Alfira Tara R, Felisca Novitria
Pola kepemimpinan yang berlaku di suatu
perusahaan ataupun organisasi juga perlu disesuaikan
dengan karyawan dan perkembangan generasi
milenial. Menurut Suyanto, Mu’ah, Purwanti, dan
Sayyid (2019), kepemimpinan transformasional adalah
suatu gaya kepemimpinan yang efektif dalam
memberikan motivasi kepada para bawahan agar dapat
berperilaku sesuai tujuan yang diinginkan, terutama
dikalangan milenial. Gaya kepemimpinan ini
mencerminkan karakteristik kalangan milenial yang
berorientasi pada peningkatan produktivitas yang
mengandalkan kreativitas dan inovasi. Kepemimpinan
transformasional mengutamakan prinsip-prinsip yang
inspiratif dan dapat memberikan dukungan
perkembangan SDM disuatu organisasi. Dengan
menerapkan kepemimpinan transformasional, maka
akan mendukung adaptasi terhadap perubahan dan
perkembangan teknologi informasi komunikasi di era
revolusi industri 4.0 dan dapat memaksimalkan peran
milenial
dalam
memajukan
suatu
organisasi/perusahaan.
Kepemimpinan
transformasional ini juga sangat cocok jika diterapan
dalam organisasi beriklim dinamis, yang memerlukan
kreativitas dan inovasi yang tinggi.
Adapun penelitian oleh Mangundjaya dan
Ratnaningsih (2017) yang juga membuktikan bahwa
gaya
kepemimpinan
transformasional
dapat
meningkatkan visi dan penilaian positif terhadap
pemberdayaan psikologis generasi X dan Y. Hal ini
berarti bahwa kedua generasi tersebut memiliki
kecocokan
terhadp
gaya
kepemimpinan
transformasional, yang dapat mengembangkan
interaksi antara atasan dan bawahan, sehingga
berdampak positif pada perkembangan SDM-nya.
Selain itu, Widjaja (2020) menjelaskan bahwa
kepemimpinan transformasional dalam industri
manufaktur
menunjukkan
bahwa
organisasi
membutuhkan manfaat timbal balik dari semangat
inspirasi, advokasi, pemberdayaan, dan komunikasi
secara efektif di seluruh organisasi untuk kesuksesan
di masa depan. Transformasi kepemimpinan mengacu
pada tujuan melengkapi pekerja dengan keyakinan dan
kemampuan untuk beradaptasi dan menjadi lebih
inovatif di tempat kerja; sehingga perkembangan
program kepemimpinan menjadi faktor yang penting
dalam menentukan bentuk dan seberapa signifikan
perkembangan peran kepemimpinan bagi keberhasilan
keberlanjutan organisasi di masa depan. Pemimpin
yang fokus pada industri manufaktur 4.0 menunjukkan
kekhawatiran bahwa pemimpin saat ini kurang
memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk masa
depan, kecuali pemimpin milenial mempelajari
sesuatu yang berbeda dari apa dilihat dan ditiru oleh
para pemimpin lainnya. Generasi milenial memiliki
tugas yang kebih menantang yang membutuhkan
pengalaman baru, evaluasi, dan pengenalan performa
tertentu. Para milenial menempati kepentingan
tertinggi pada peluang perbaikan pekerjaan. Sekarang,
generasi milenial dan revolusi industri menantang
sistem kepercayaan lama. Seiring dengan hal tersebut,
diperlukan kepemimpinan untuk menuju perubahan di
masa depan dengan nilai-nilai dan norma sosial yang
baru. Para pemimpin harus belajar beradaptasi dengan
norma-norma baru yang fokus pada kebutuhan pekerja
karena globalisasi dan teknologi telah merobohkan
hambatan jarak dan pekerjaan intelektual. Organisasi
harus memikirkan kembali program pengembangan
kepemimpinan
yang
efektif
dengan
mempertimbangkan aspek budaya dalam memenuhi
kebutuhan pekerja saat ini untuk menjadi pemimpin
masa depan nantinya.
Selain kepemimpinan transformasional, adapun
gaya kepemimpian etis yang efektif diterapkan pada
generasi milenial. Long (2018) menunjukkan bahwa
kepemimpinan etis merupakan gaya kepemimpinan
yang paling efektif setelah survei. Kepribadian seorang
pemimpin dapat memengaruhi gaya kepemimpinan
yang ia praktikkan. Atribut seorang pemimpin yang
efektif adalah mempercayai peluang kesuksesan yang
ada, keterampilan komunikasi yang baik, empatik, dan
dapat memberikan penilaian yang baik. Pemimpin
dengan pola perilaku dan suasana hati yang positif
akan lebih diterima oleh para karyawan dan
mendorong performa kerja mereka, yang pada
akhirnya dapat memengaruhi sikap karyawan dalam
mengambil keputusan. Selain itu, keutamaan seorang
pemimpin adalah kemampuan bekerja dengan
integritas dan bertanggung jawab. Perilaku ini
memiliki hubungan terkuat untuk memotivasi
karyawan millenial. Memberikan kejelasan peran
adalah perilaku yang paling disukai kedua dengan
memberikan panduan etika. Sebaliknya, menunjukkan
perilaku keadilan dan pembagian kekuasaan tidak akan
efektif untuk memotivasi karyawan milenial.
Kepuasan kerja karyawan dapat meningkat karena
perilaku kepemimpinan ini diterapkan. Pada gilirannya
akan memiliki dampak sosial yang positif pada
individu, maupun pada komunitas yang bekerja untuk
para pemimpin yang mempraktikkan gaya
kepemimpinan etis.
Menurut Kelly dan Vamos (2018), terdapat
beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk
mengembangkan pemimpin milenial, antara lain :
1. Mengidentifikasikan bakat potensi tinggi milenial.
31
Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial
Alfira Tara R, Felisca Novitria
SDM dan para manajemen profesional perlu
mengidentifikasi karyawan milenial
yang
berpotensi tinggi dan melacak mereka untuk
pengembangan kepemimpinan khusus berdasarkan
strategi pengembangan personal tiap individunya.
2. Menyesuaikan
pengalaman
belajar
dan
pengembangan dengan gaya belajar milenial,
preferensi, dan konten harapan.
Ketika datang ke pelatihan formal dan pengalaman
pengembangan,
milenium
menginginkan
fleksibilitas. Divisi SDM dan manajemen
profesional perlu menyusun ataupun memperbarui
pelatihan dan pengembangan pengalaman agar
lebih singkat, dapat diakses secara online, dan
tersedia kapan saja untuk sesuai dengan
fleskibilitas generasi milenial.
Pembelajaran
formal dan pengembangan harus terfokus pada soft
skill
untuk
pengembangan
keterampilan
kepemimpinan yang lebih transformasional, yang
mencakup: komunikasi, relationship building,
etiket bisnis, cara menginspirasi dan memengaruhi
orang lain.
3. idak membatasi pengembangan keterampilan
kepemimpinan pada pembelajaran formal dan
pengembangan pengalaman sendiri.
Keterampilan kepemimpinan dapat dipelajari di
luar pembelajaran formal dan pengalaman
pengembangan. Generasi milenial menginginkan
umpan balik tatap muka tentang kinerja mereka.
Pembinaan formal, mentoring, dan program jobshadowing
dapat
memenuhi
kebutuhan
pengembangan keterampilan kepemimpinan bagi
milenial. Seperti misalnya program rotasi
pekerjaan yang dapat meningkatkan pengetahuan
tentang organisasi dan industri mereka, serta
pertemuan bulanan antara karyawan milenial dan
pelatih SDM untuk membahas tujuan karir dapat
membantu mereka tetap berkomitmen pada
organisasi.
4. Mempromosikan generasi milenial pada peran
kepemimpinan secara lebih cepat daripada generasi
sebelumnya.
Perusahaan atau organisasi dapat menawarkan
kesempatan bagi generasi milenial untuk
melakukan peran kepemimpinan. Hal ini dapat
dilakukan dengan menjadikan mereka sebagai
pemimpin tim/ proyek berbasis tim, menjadikan
mereka mentor bagi karyawan senior, rotasi
pekerjaan, dan tour of duty dapat memungkinkan
mereka mempelajari keterampilan kepemimpinan
yang mereka perlukan untuk berhasil mengambil
posisi kepemimpinan di organisasi mereka.
PENUTUP
Simpulan
Kepemimpinan milenial didefinisikan sebagai
kepemimpinan masa kini yang menyesuaikan dengan
gaya generasi baru yang lahir pada era 1980-an. Pola
kepemimpinan milenial tidak sama dengan pola
kepemimpinan lama dari generasi sebelumnya.
Generasi milenial lebih memiliki keberanian dalam
berinovasi karena mereka lebih termotivasi
menciptakan startup atau merintis usaha dan bisnis
baru. Pemimipin milenial harus memiliki digital
mindset, keberanian untuk berubah, cepat beradaptasi,
senantiasa mengamati lingkungan sekitar, pemikiran
yang terbuka, dan pantang menyerah. Gaya
kepemimpinan yang efektif diterapkan di era generasi
milenial adalah gaya kepemimpinan transformasional
dan etis. Dengan gaya kepemimpinan ini berdampak
positif pada perkembangan motivasi dan performa
karyawan.
Menurut Kelly dan Vamos (2018), terdapat
beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk
mengembangkan pemimpin milenial, antara lain:
1. Mengidentifikasikan bakat potensi tinggi milenial.
2. Menyesuaikan
pengalaman
belajar
dan
pengembangan dengan gaya belajar milenial,
preferensi, dan konten harapan.
3. Tidak membatasi pengembangan keterampilan
kepemimpinan pada pembelajaran formal dan
pengembangan pengalaman sendiri.
4. Mempromosikan generasi milenial pada peran
kepemimpinan secara lebih cepat daripada generasi
sebelumnya.
Generasi milenial adalah generasi yang memiliki
kemampuan dalam memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi, dimana media online menjadi
kebutuhan sehari-hari mereka. Generasi milenial juga
lebih berani dalam berinovasi, lebih menyukai
kemandirian dan menyukai sesuatu yang cepat, praktis,
ataupun instan, sehingga figur kepemimpinan generasi
milenial harus dapat memahami karakteristik tersebut
dan menjadi bagian dari mereka. Maka dari itu,
kepemimpinan milenial perlu memahami dan
menerapkan pola komunikasi generasi milenial, yaitu
dengan ikut menggunakan media sosial.
Saran
Berhasil tidaknya organisasi dalam mencapai tujuannya
sangat bergantung pada kepemimpinannya. Pemimpin
yang bertanggung jawab dalam mengintegrasikan
antara keinginan dan kebutuhan dari anggota organisasi
dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi, sehingga
sebuah kepemimpinan harus dapat menyesuaikan
32
Studi Literatur Mengenai Karakteristik Kepemimpinan dalam Lingkup Industri dan Organisasi di Era Generasi Milenial
Alfira Tara R, Felisca Novitria
dengan tuntutan dan perkembangan zaman, terlebih
pada era generasi milenial saat ini.
Rivai, V., & Mulyadi, D. (2011). Kepemimpinan dan
perilaku organisasi (edisi ke-3). PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Suyanto, U.Y., Mu’ah, M., Purwanti, I., & Sayyid, M.
(2019). Transformational leadership: Millenial
leadership style in industry 4.0. Manajemen Bisnis,
9(1), 53-63.
Ambarwati, A., & Raharjo, S.T. (2018). Prinsip
kepemimpinan character of a leader pada era
generasi milenial. Philanthropy Journal of
Psychology, 2(2), 114-127.
Atmadja, Stanley. S. (2012). Inside the giant leap:
How abundance mind creates performing climate
to achive extraordinary result. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Bass, B. M., & Avoilo, B. J. (2012). Bass & stodghill’s
handbook of leadhership: theory, research and
managerial application 3rd ed. New York: Free
Press.
Wong, C.A. (2007). The relationship between nursing
leadhership and patient outcomes: a systematic
review. Jounal University of Western Ontario
London.
Yukl, G.2010. Leadership in organizations. New
Jersey: Prentice Hall.
Brantas. (2009). Dasar-dasar manajemen. Bandung:
alfabeta
Harrison, A.E. (2017). Exploring millenial leadership
development: An evidence assessment of
information communication technology and
reverse mentoring competencies. Case Studies in
Business and Management, 4(1), 25.
Kartono, K. (2010). Pemimpin dan kepemimpinan
apakah kepemimpinan abnormal itu?. Jakarta.
Rajawali press
Kartono, K. (2014). Pemimpin dan kepemimpinan.
Jakarta: Grafindo Persada.
Kelly, K., & Vamos, C. (2017). Developing Millenial
Leaders. UNC Executive Development. Diunduh
dari execdev.kenan-flagler.unc.edu
Kemenpppa. (2018). Statistik gender tematik: Profil
Generasi Milenial Indonesia. Jakarta : Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
Long, S. (2017). Exploring which leadership style are
effective with millenial employees. ProQuest
Dissertation and Theses, 171.
Long, S. (2018). Leading millennial employees
through ethical leadership. International Journal
of Business and Management Invention, 7(12), 4852.
Mangundjaya, W.H., & Ratnaningsih, I.Z. (2017).
Gaya kepemimpinan transformasional, jenis
generasi, dan psychological empowerment pada
karyawan PT. X Karawang. Jurnal Empati, 6(1),
436-441.
Peramesti, N. P. D. Y., & Kusmana, D. 2018.
"Kepemimpinan Ideal Pada Era Generasi
Milenial". TRANSFORMASI: Jurnal Manajemen
Pemerintahan.
33
MEMBANGUN KARAKTER BERBASIS BUDAYA JAWA PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0,
REVOLUSI SOCIETY 5.0, DAN “MERDEKA BELAJAR”
Sri Sulistiani
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya,
srisulistiani@unesa.ac.id
Sukarman
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya,
sukarman@unesa.ac.id
Abstrak
Penguatan karakter harus dilakukan seiring dengan era Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society 5.0,
dan “Merdeka Belajar”. Pendidikan karakter bangsa yang bersumber pada budaya nasional yang
berarti berakar pada budaya lokal. Nilai-nilai luhur budaya lokal itulah yang dekat dengan anak dan
dapat ditanamkan melalui pendidikan informal (keluarga) formal, maupun non formal. Karakter
bangsa dibangun melalui 4 olah yang berakar pada budaya Jawa, yaitu olah pikir, olah hati, olah
rasa, dan olah raga. Keempat olah menghasilkan karakter dasar jujur, cerdas, peduli, dan tangguh
yang kemudian dikembangkan menjadi karakter-karakter lainnya. Melalui studi pustaka dan
analisis deskriptif pembangunan dan penguatan karakter bangsa dapat dilakukan dengan bahasa,
sastra, seni budaya Jawa. Seni budaya Jawa, seperti unggah-ungguh basa, tembang, dan ungkapan
tradisional mengandung nilai-nilai yang menjadi penguat karakter bangsa, seperti demokratis,
religius, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, mandiri, jujur, toleran, bekerja keras, cinta tanah air,
semangat kebangsaan, komunikatif, peduli sosial, dan lainnya.
Kata kunci: karakter, budaya Jawa, Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society 5.0, “Merdeka
Belajar”
Berbicara tentang “Jawa” di era globalisasi
PENDAHULUAN
mengingatkan kita akan ungkapan ”wis nJawa, durung
Perkembangan revolusi industri (RI) 4.0, yang ditandai
nJawa, lan ora nJawa”. Ungkapan ini dalam konsep
oleh literasi data atau big data, literasi teknologi
budaya Jawa merupakan cerminan etika dan moralitas
dengan perkembangan teknologi digital yang luar
masyarakat Jawa. Ungkapan ini merupakan cerminan
biasa, ternyata dilengkapi dengan literasi sumber daya
hati nurani (karsa) yang sudah, belum, dan tidak sesuai
manusia yang humanistik. Mengapa? Ternyata
dengan tuntutan moralitas dan etiket Jawa (Saryono,
secanggih-canggihnya
perkembangan teknologi
2007:44). Antara etika dan moral memiliki hubungan
yang erat, jika etika berupa aturan tentang tingkah
digital yang diciptakan oleh manusia, literasi manusia
laku, maka moral merupakan hasilnya. Ungkapan ”wis
menjadi penting agar manusia bisa bertahan, berfungsi,
nJawa” berarti sudah mengerti dan menguasai
dan dapat memahami interaksi yang kompleks di
segala konteks atau lingkungan. Sepintar apapun
moralitas dan etiket Jawa, ”durung nJawa” berarti
pada tataran proses untuk mengerti, dan ”ora nJawa”
manusia tidak dapat hidup dengan teknologi yang
bisa memiliki dua pengertian, yakni memang tidak
merupakan benda mati, manusia secara langsung
maupun tidak langsung sebagai makhluk individu
mengerti ”Jawa” atau mengerti tentang ”Jawa” tapi
tidak melakukan etika dan moralitas Jawa tersebut.
sekaligus makhluk sosial membutuhkan orang lain
Yang terpenting terkait etika dan moralitas, adalah
atau masyarakat dalam segala urusannya kehidupan di
(1) tingkah-laku dan tata nilai sesuai dengan tatanan
dunia ini. Perkembangan teknologi digital yang luar
masyarakat yang timbul dari hati sendiri, (2) rasa
biasa cepatnya mempengaruhi seseorang untuk
tanggung jawab yang menyertai tindakan itu, dan (3)
mendapatkan data dan informasi dengan mudah dan
perilaku mendahulukan kepentingan masyarakat dari
cepat tanpa batas ruang dan waktu, tidak cukup untuk
pada keinginan dan kepentingan pribadi (Drajat dalam
menjalani kehidupan ini. Memang saat ini manusia
Widayati, dkk, 2008:94). Kearifan lokal dalam
dituntut menjadi pribadi yang mandiri, tetapi harus
kaitannya dengan produk budaya mencakup 5
dapat berkomunikasi, berkolabarasi, berpikir kritis,
kegiatan, yaitu: (1) sikap religius sebagai cerminan
kreatif, dan inovatif. Yang semuanya itu tidak tercapai,
jika mengabaikan peran individu dalam kehidupan
kearifan lokal yang berkaitan dengan perilaku dan
sikap dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta
sosial yang humanis, ‘memanusiakan manusia’.
alam semesta, yaitu Tuhan Yang Mahaesa; (2) perilaku
34
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Sri Sulistiani, Sukarman
diri sendiri sebagai upaya pengendalian diri agar dapat
menerima dan diterima oleh masyarakat di luar
dirinya; (3) tatacara berkomunikasi atau bergaul
dengan masyarakat luas sebagai bagian dari dirinya;
(4) perilaku dan sikap dalam berkomunikasi dengan
anggota keluarga dan kerabat lainnya; dan (5) kearifan
lokal yang berkaitan
dengan lingkungan yang
memberi manfaat positif kepada kehidupan, serta
membuat hidup menjadi aman dan nyaman (Sutarto,
2010:vii). Nilai kearifan lokal atau local genius yang
dicontohkan sebagai dasar pembangunan pendidikan
karakter bangsa. Karakter mengacu pada perilaku yang
berkaitan dengan nilai-nilai yang baik, perbuatan yang
baik, menjalani kehidupan yang baik, menciptakan
lingkungan yang baik, sehingga semua hal yang “baik’
itu terejawantahkan dalam semua perilaku dan terpatri
dalam diri pribadi (Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa, 2010).
METODE
Artikel ini merupakan hasil studi pustaka tentang
penguatan karakter yang terkandung dalam budaya
Jawa dalam kaitannya dengan era RI 4.0, RS 5.0, dan
“Merdeka Belajar”. Masalah yang dikaji adalah nilainilai karakter yang terkandung dalam budaya Jawa
yang merefleksikan era RI 4,0, RS 5.0, dan “Merdeka
Belajar. Teknik analisis isi dan analisis deskriptif
digunakan untuk membuat penggambaran objektif
tentang sesuatu keadaan sesuai dengan situasinya.
Melalui studi dokumentasi, pengambilan data
dilakukan dengan memahami sistem tanda yang dapat
dianalogikan sebagai kata atau kalimat dan cara
penulisannya. Untuk pengujian keabsahan data
dilakukan dengan triangulasi sumber dan teori, serta
dengan cara diskusi dengan teman sejawat. Hasil
analisis diharapkan menambah wawasan terhadap
pembaca bahwa penguatan pendidikan karakter
berakar pada latar belakang budaya lokal (daerah)
sebagai komponen utama yang memperkuat budaya
nasional.
PEMBAHASAN
Pembahasan dilakukan dengan mengkaji sumber
pustaka yang terkait dengan era Revolusi Industri 4.0,
Revolusi Society 5.0, dan “Merdeka Belajar dan
karakter yang berbasis budaya Jawa.
Selayang Pandang Era Revolusi Industri 4.0,
Revolusi Society 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Konsep Society 5.0 muncul pertama kali di Jepang
sebagai dampak RI 4.0. Konsep ini menggambarkan
suatu tatanan masyarakat yang berpusat pada manusia
yang hidup di tengah perkembangan teknologi. Dalam
RI 4.0 masyarakat dapat melacak, mengunduh, dan
menganalisis informasi dari berbagai sumber big data
dan dengan era Society 5.0 data yang ada dianalisis
melalui kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence
(AI) yang hasilnya dikembalikan untuk kepentingan
manusia dalam berbagai bentuk dalam ruang fisik.
Era Revolusi Industri 4.0
Banyak negara-negara maju maupun yang sedang
berkembang memasukkan RI 4.0 sebagai agenda wajib
gerakan nasional untuk meningkatkan daya saing di
kancah pasar global. Perkembangan RI ini sebenarnya
menggambarkan bagaimana sejarah perkembangan
peradaban kehidupan manusia dari jaman purbakala
sampai dengan era digital saat ini. Proses
perkembangan tersebut digambarkan berikut ini
Gambar 1. Revolusi Industri 4.0
(Sumber: www.kompasiana.com)
(1) Revolusi Industri 1.0 (abad 18) dikenal dengan
istilah food gathering atau tahap meramu dan
berburu, yang terjadi pada zaman purbakala
dengan peradaban dan teknologi yang masih
sangat minim. Peradaban manusia pada zaman
itu berburu dan memanfaatkan apa yang mereka
temukan di alam.
(2) Revolusi Industri 2.0 (abad 19) dikenal dengan
revolusi agrarian, karena seiring dengan
perkembangan keilmuan manusia yang semula
mengumpulkan makanan beralih menjadi
memproduksi makanan melalui sistem pertanian
dan mulai penerapan teknologi produksi massal
bertenaga listrik
(3) Revolusi Industri 3.0 (abad 20) dikenal dengan
industri mesin, yang ditandai dengan perubahan
penggunaan tenaga manusia yang beralih ke
tenaga mesin sebagai pola kerja. Pabrik-pabrik
memanfaatkan elektronik dan teknologi
informasi (TI).
(4) Revolusi Industri 4.0 (abad 21-sekarang) dikenal
dengan era digital dengan memanfaatkan
jaringan internet. Berbagai sendi kehidupan
manusia didominasi oleh kemajuan teknologi
informasi, yang ditandai dengan big data, big
teknologi dan literasi manusia.
35
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Sri Sulistiani, Sukarman
Perkembangan RI 4.0 melahirkan “robot cerdas”
dan “pabrik cerdas” yang memaksimalkan fungsi
internet yang digunakan sebagai promotor untuk
mengoptimalkan rantai produksi. Dengan adanya big
data dan teknologi ternyata perlu
adanya sisi
humanistis dalam melakukan semuanya, sehingga
dikembangkan literasi manusia (human literacy)
sebagai penyeimbang bahwa manusia dalam
kehidupannya membutuhkan interaksi langsung
dengan manusia lainnya. Bergabungnya berbagai
teknologi berbasis Internet of Things (IoT) yang
disimpan ke dalam big data tersebut kemudian
diproses oleh Artificial Intelligence (kecerdasan
buatan)..
Menyikapi pengaruh yang luar biasa dahsyat, yang
perlu diperhatikan ketika menghadapi RI 4.0 di dunia
pendidikan, antara lain:
a. Era Disrupsi 4.0
Clayton Christensen dan Michael Porter
memopulerkan
istilah
disrupsi
sebagai
perkembangan dari
tradisi berpikir yang
kompetitif “untuk bisa menang” atau “agar kamu
menang”, kamu harus membuat beberapa orang
kalah” (for you to win, you’ve got to make some
body lose). Era disrupsi adalah masa ketika
perubahan suatu masa yang terjadi dengan tidak
terduga, namun mendasar dan mengenai hampir
semua aspek kehidupan (Bashori, 2018: 287). Ciriciri yang menandai era disrupsi, yaitu penggunaan
teknologi online secara besar-besaran pada
sebagian besar perusahaan mengutamakan
kecakapan sosial (social skills) dalam bekerja dan
untuk menjual produk mereka. Untuk mengatasi
disrupsi ada tiga opsi, yaitu (1) berisi atau keluar
(contain or exit), (2) jadilah gangguan (be the
disruption),
dan (3) merusak pengganggu
(undermine the disruptor).
b. Era Literasi 4.0
Era literasi ditandai dengan bergesernya literasi
lama yang bersandar ke calistung (membaca,
menulis berhitung) ke literasi baru berbasis RI 4.0,
yaitu 1) Literasi Data (big data) yaitu kemampuan
untuk membaca, menganalisis, dan menggunakan
informasi di dunia digital; 2) Literasi Teknologi
yaitu kemampuan memahami cara kerja mesin dan
aplikasi teknologi (Coding, Artificial Intelligence,
& Engineering Principles); dan
3) Literasi
Manusia yaitu tumbuhnya manusia yang humanis,
komunikatif, dan mampu mendesain.
Revolusi Society 5.0 (RS 5.0)
Society 5.0 menjadikan The Internet of Things suatu
kearifan budaya baru yang membuka peluang-peluang
bagi kemanusiaan dengan kecerdasan buatan yang
mentransformasi big data pada segala sector
kehidupan untuk meningkatkan kemampuan manusia.
Dunia berubah dengan cepat dan signifikan karena big
data meretas batas ruang dan waktu. Pengembangan
alur informasi terkait dengan pengembangan revolusi
masyarakat 5.0 berikut ini
.
Entering Society 5.0
(https://karinov.co.id/revolusi-industri-5-jepang)
Hal itu tentunya akan memberikan dampak pada
ketahanan nasional jika tidak ada filter yang
menyaring masuknya arus budaya asing. Oleh karena
itu, penguatan integritas bangsa melalui penguatan
nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan terus
melakukan penataan, pemeliharaan, pemertahanan,
pelestarian, dan pengembangan secara terus-menerus
dari generasi ke generasi. Ancaman ketahanan
nasional saat ini berbentuk digital melalui dunia maya,
bukan lagi berbentuk fisik lagi. Dampak yang
ditimbulkan, yaitu:
a. Dunia semakin terkoneksi
Dunia yang semakin terkoneksi sebagai dampak
nyata dari RI 4.0 dan RS 5.0 menyebabkan seolaholah batas-batas negara hilang. Hilangnya batasbatas ini tentu mengancam bangsa Indonesia dalam
berbagai hal, misalnya jatidiri dan identitas bangsa
akan terpengaruh oleh penetrasi pengaruh budaya
asing yang semakin sulit disaring dan tidak
terkendali. Hal yang takkalah berbahaya adalah
pengaruh big data yang menyebabkan informasi
segala aktivitas masyarakat Indonesia terekam dan
dapat diakses oleh siapapun, termasuk potensi
bocornya rahasia dan privasi negara. Pendataan
identitas pemegang handphons termasuk salah satu
upaya untuk mengantisipasi dan mengendalikan
informasi agar tidak sembarangan disebarkan.
b. Dunia semakin kompetitif
Di era teknologi digital ini peran manusia semakin
banyak digantikan oleh munculnya robot-robot
cerdas. Pekerjaan-pekerjaan dalam dunia industri
banyak yang diselesaikan oleh robot dan peran
manusia tidak dibutuhkan lagi. Ini adalah ancaman
36
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Sri Sulistiani, Sukarman
dan sekaligus ujian bagi pendidikan Indonesia.
Jika
problema pendidikan ini gagal diatasi
pemerintah, itu berarti masyarakat Indonesia
mengalami kekalahan bersaing dengan robot
ciptaannya dan itu akan berdampak terhadap
peningkatan angka pengangguran.
Konsep RS 5.0 secara sederhana merupakan
tatanan integrasi masyarakat yang memusatkan pada
hakikat manusia (human-centered) dan berbasis
teknologi (technology based). Aplikasi RS 5.0 yang
merupakan peradaban baru yang diterapkan oleh
pemerintah Jepang dalam menghadap masalah angka
generasi tua yang tinggi yang membutuhkan pelayanan
kesehatan, solusi dilakukan dengan membuat sistem
remot menggunakan artificial intelligence (AI) dan
menciptakan robot perawat. AI dan robot juga
diaplikasikan
untuk mengatasi tingginya biaya
perawatan infrastruktur lainnya.
Indonesia saat ini belum memiliki kompleksitas AI
seperti negara ASEAN lainnya. Penerapan AI yang
sudah dirasakan dalam bentuk-bentuk yang sederhana
saat ini adalah chatbot yang aplikasinya dijumpai
dalam pesan instan seperti Line, Telegram ataupun
Whatsapp.
Chatbot merupakan bagian program
komputer yang didesain dalam sebuah platform
berbentuk teks ataupun audio untuk menstimulasi
percakapan dengan pengguna manusia. Tujuan praktis
Chatbot memanfaatkan akuisisi informasi untuk
memberi layanan personal, bantuan online sebagai
suatu jenis agen percakapan (conversational agent).
Selama jaringan ada internet, chatbot bisa merespons
kebutuhan kita. Misalnya, dengan chatbot, kita bisa
minta informasi tentang kondisi cuaca dalam hitungan
detik, chatbot sudah akan menjawabnya, juga ketika
ingin memesan makanan (go food) chatbot sudah
mengorderkan sesuai selera.
Pendidikan “Merdeka Belajar”
Esensi “Merdeka Belajar” yang dituangkan dalam
Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 adalah program
kebijakan yang memberikan kemerdekaan berpikir
kepada mahasiswa dan
kepada dosen dalam
mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Tujuan “Merdeka Belajar” ialah agar proses
pembelajaran dapat membuat para dosen, mahasiswa,
serta orangtua bisa mendapat suasana yang
membahagiakan, menyenangkan, dan jauh dari
tekanan yang membuat mahasiswa tidak nyaman.
Kemerdekaan atau kebebasan berpikir sebenarnya
sudah dimiliki oleh mahasiswa, karena dalam belajar
selain memiliki potensi atau bakat yang dibawa sejak
lahir, juga dipengaruhi oleh lingkungan dan daya
intelektual.
Pendidikan Tinggi merupakan agen perubahan
(agent of change). Hanya orang-orang yang
berkompeten yang mampu “mengubah dunia” secara
progresif dalam bidangnya yang membuat dunia
semakin maju.
Untuk mencapai kompetensi,
diperlukan adopsi dan adaptasi berbagai ilmu global
maupun lokal. Ilmu lokal dalam kehidupan bangsa
Indonesia yang merupakan negara multibudaya
dengan beragam kearifan lokal tidak dapat
ditinggalkan dalam perkembangan dan penguasaan
ilmu global.
Pada saat ini pemuda Indonesia adalah generasi
emas yang dimiliki bangsa. Program “Merdeka
Belajar” yang dicanangkan pemerintah saat ini
merupakan langkah tepat untuk meningkatkan dan
pemerataan kualitas pendidikan untuk melahirkan
SDM unggul serta berdaya saing. Untuk itu, maka
perlu diperkuat pendidikan yang melahirkan SDM
dengan keterampilan kognitif dan kreatif dalam
menyelesaikan persoalan. Manusia Indonesia yang
mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan berdaya
saing global harus dapat diwujudkan dengan sistem
pendidikan Indonesia, yang dilakukan dengan
perbaikan kurikulum, sumber daya pengajar, dan
infrastruktur.
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa
Pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi Society
5.0, dan “Merdeka Belajar”
Pendidikan karakter harus ditanamkan sejak dini, baik
secara informal di lingkungan keluarga, secara formal
di sekolah, maupun secara nonforma di masyarakat.
Pendidikan karakter secara formal menjadi muatan
wajib dalam proses pembelajaran, berdampingan
dengan
penguatan
literasi,
pengembangan
keterampilan abad 21 (kritis, kreatif, kolaboratif,
komunikatif), dan pengembangan penilaian HOTS.
Pendidikan karakter yang baik harus mencakup ketiga
ranah secara terpadu, yaitu aspek pengetahuan yang
baik (moral knowing), merasakan dengan baik (loving
the good, moral feeling), dan perilaku yang baik
(moral action).
Nilai karakter bangsa dibangun dengan kearifan
lokal Jawa, yakni olah hati yang melahirkan karakter
jujur, olah pikir yang melahirkan karakter cerdas, olah
rasa yang melahirkan karakter peduli, dan olah raga
yang melahirkan karakter tangguh. Keempatnya
karakter dasar itu kemudian dikembangkan menjadi
karakter-karakter lainnya. Hal itu seperti digambarkan
pada bagan berikut ini:
37
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Sri Sulistiani, Sukarman
(Samani & Hariyanto, 2011:25)
Keempat karakter tersebut sebenarnya juga sudah
tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas yang
menjelaskan tujuan pendidikan
nasional juga mengembangkan 4 karakter di atas, yaitu
karakter sikap spiritual ditunjukkan dengan kalimat,
"agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia",
sedangkan sikap sosial dibangun melalui perilaku
demokratuis
dan
bertanggungjawab
yang
membutuhkan peran individu sebagai makhluk sosial.
Pelanggaran norma karakter bangsa di lingkungan
pendidikan yang ditopang akselerasi informasi dan
komunikasi yang berkembang tanpa batas ruang dan
waktu cukup banyak, dimulai dari perilaku pelajar
yang cenderung hedonis, terlibat pergaulan bebas, seks
bebas melanda kalangan pelajar, LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual, Transgender), aborsi, Aids, narkoba,
semakin memperlihatkan kehidupan yang tidak
bermoral Ketuhanan. Pendidikan dapat dipandang
sebagai media untuk penanaman nilai keimanan yang
menjadikan generasi muda tidak mudah terpengaruh
dengan perilaku yang amoral. Materi pembelajaran
budaya Jawa yang mengandung muatan pendidikan
karakter, antara lain sebagai berikut.
Unggah-Ungguh Basa
Berbicara tentang unggah-ungguh basa tidak dapat
dilepaskan dengan budaya sopan santun dan tatanan
untuk saling menghormati kepada orang lain. Saat ini
budaya sopan santun sudah mulai langka dijumpai di
kalangan anak-anak muda. Situasi ini oleh Soekanto
(1993: 26) disebut dengan istilah “anomie”, yaitu
situasi yang ditandai dengan memudarnya nilai-nilai
luhur yang ada di masyarakat dan tidak adanya normanorma atau aturan untuk menjalani kehidupan
bermasyarakat. Unggah-ungguh basa merupakan alat
untuk menciptakan jejak sosial, namun di sisi lain
unggah-ungguh basa juga merupakan produk dari
kehidupan sosial (Suhono, 1952:12). Struktur
masyarakat merupakan faktor yang menentukan
struktur bahasa. Makin rumit unggah-ungguh basa
makin rumit juga tingkat sosialnya. Poerwadarminto
(1953) juga mengemukakan hal yang senada bahwa
unggah-ungguh basa memang rumit walaupun tatanan
yang pokok hanya 2, yaitu basa ngoko lan krama.
Bentuk krama sering pula disebut dengan bentuk basa
sehingga jika ada orang yang tidak bisa menggunakan
bentuk krama dengan benar, orang itu akan disebut
“uwong ora bisa basa “ orang yang tidak bisa
menggunakan bahasa (bahasa Jawa halus).
Tingkat tutur bahasa Jawa ada empat, yaitu 1)
ngoko, 2) ngoko alus, 3) krama, dan 4) krama alus
(Sudaryanto dalam Sasangka, 2004:16). Dalam
konteks komunikasi yang sopan dan santun dipilih
ragam krama dengan maksud untuk menghormati dan
menghargai orang yang diajak bicara. Unggah-ungguh
ini mengatur tatacara berbahasa yang terkait dengan
umur, jabatan, dan golongan.
Terkait dengan bahasa Jawa sebagai sarana
pendidikan sopan santun pada anak, Sabdawara
(2001:127-128) mengemukakan fungsi bahasa Jawa
sebagai berikut: (1) Berfungsi komunikatif di samping
bahasa, (2) sarana perwujudan sikap nilai-nilai luhur
budaya Jawa, (3) sopan santun berbahasa Jawa, (4)
rasa tanggung jawab untuk memperbaiki dan
kesopanan yang menjadi hiasan diri pribadi, yang
dibangun dengan sikap tenggang rasa, saling
menghormati, dan menjaga tutur kata yang tidak
menyinggung perasaan atau menyakiti orang lain.
Apabila dirunut lebih lanjut, penyebab fenomena
tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal, yang berasal dari diri atau pribadi
siswa yang dipengaruhi oleh pola pendidikan karakter
di lingkungan keluarga. Wujud pembentukan karakter
anak dan perkembangannya di lingkungan keluarga
dan sekitarnya membangun identitas diri anak (Idrus,
2012: 120). Jika anak tidak mempunyai kepribadian
yang baik, hal itu menunjukkan kegagalan pendidikan
di ranah keluarga. Perilaku kesopanan yang yang
terbangun secara internal, misalnya menganggukkan
kepala jika bertemu dengan orang lain dan
menggunakan ragam bahasa yang baik. Orang Jawa
mengatakan “ora duwe duga” atau “ora duwe tata
krama” untuk seseorang yang tidak memiliki sopan
santun.
Faktor eksternal yang menyebabkan disintegritas
karakter, antara lain pengaruh globalisasi dan
lingkungan pergaulan bebas. Di era RI 4.0 dan RS 5.0
dengan perkembangan internet dan teknologi digital
yang meretas batas ruang dan waktu, anak-anak bisa
mengakses apa saja melalui big data. Apabila tidak
disikapi secara bijak dan mendampingan dari orang
dewasa, perkembangan digital dapat membawa
dampak negatif dalam tahap perkembangan dan
pencarian jatidiri anak.
38
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Sri Sulistiani, Sukarman
Pengenalam unggah-ungguh bahasa Jawa sejak
dini dapat dilakukan dengan cara, yaitu: (1) bernyanyi
lagu-lagu anak berbahasa Jawa.(2)
bercerita/
mendongeng berbahasa Jawa, dan (3) bermain peran
untuk melatih mengucapkan kalimat bahasa Jawa
sederhana. Hal itu juga dapat dilakukan dengan media
sosial, youtube, Instagram, dan lainnya.
Tembang
Dalam kesusastraan Jawa kita mengenal, yaitu
(1)tembang dolanan, (2) tembang cilik atau macapat,
(3) tembang tengahan, dan (4) tembang gedhe atau
kawi. Selain itu kita juga mengenal tembang kreasi,
yang termasuk di dalamnya tembang campursari,
kroncong, dan langgam. Tembang-tembang tersebut
ditinjau dari isi mengandung nilai-nilai yang bisa
dipakai sebagai media pendidikan karakter. Dalam
konteks tembang macapat, seperti Serat Tripama,
Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, Serat Dewa Ruci,
Serat Sabda Jati, dan Serat Kalatidha emerupakan
contoh karya yang banyak mengandung nilai karakter.
Dalam serat-serat tersebut mengandung ajaran tentang
budi pekerti, keimanan, religiusitas, tong-menolong,
bersikap kesatria, saling menghormati, cara
mengormati guru, cara belajar yang baik, dan lain
sebagainya.
Dalam
Serat Tripama karya KGPAA
Mangkunegara IV mengandung nilai karakter yang
patut diteladani dari Patih Suwanda. Sebagai seorang
patih memiliki kecerdasan, kemampuan, dan
keberanian (guna, kaya, purun) untuk melindungi dan
menunjukkan darma baktinya kepada negara dan
rajanya. Hal itu seperti kutipan tembang berikut ini:
Yogyanira kang para prajurit/ Lamun bisa sira
anulada/ Duk ing nguni caritane/ Andelira Sang
Prabu/ Sasrabahu ing Maespati/ Aran patihSuwanda/
Lalabuhanipun/ Kang ginelung triprakara/ Guna kaya
purun ingkang den antepi/ Nuhoni trah utama.
Tembang
ini memberikan contoh karakter
kepemimpinnan melalui tokoh Patih Suwanda. Patih
Suwanda yang memilki kepandaian, kemampuan, dan
keberanian (guna, kaya, purun) yang dipegang teguh
dalam menjalankan perintah raja (Sang Sasrabahu).
Selain Serat Tripama, Mangkunegara IV juga
mengarang Serat Wedatama. Salah satu bait
tembangnya bercerita tentang bedanya orang dungu
dengan orang pandai. Orang yang dungu bicaranya
ngelantur, membual, tidak masuk akal, dan sombong.
Berbeda dengan orang pandai selalu bicara cermat dan
hati-hati, tetap gembira walau dihina, tidak merana
disebut bodoh, bahkan berani
mengalah untuk
menutupi aib si dungu atau si bodoh. Hal itu seperti
kutipan berikut ini: Mangkono ilmu kang nyata/
sanyatane mung we reseping ati/ bungah ingaran
cubluk/ sukeng tyas yen den ina/ nora kaya si
punggung anggung gumunggung/ ugungan sadina
dina/ aja mangkono wong urip. Kutipan tembang
tersebut mengajarkan tentang ilmu yang nyata yang
dapat memberikan ketenteraman hati. Seseorang yang
sudah mantap dengan sejatinya ilmu akan merasakan
bahwa ilmu sejati yang sempurna hanya milik Tuhan
Yang Maha Kuasa. Karena keyakinan itulah,
seseorang tidak akan merasa sakit hati ketika dikatakan
bodoh dan selalu gembira jika dihina.
Pendidikan karakter juga tertuang dalam tembang
dolanan. Tembang dolanan selalu dikaitkan dengan
permainan-permainan, walaupun sekarang ini sudah
banyak ditinggalkan oleh anak-anak, karena tergusur
oleh permainan modern seperti play station, game on
line, video game, game watch, dan sebagainya.
Berdasarkan bentuk dan sifatnya, Overbeck (dalam
Parwatri, 2004: 119) mengelompokkan empat
golongan permainan anak-anak Jawa, yaitu: (1)
permainan biasa (gewone spelen), (2) nyanyian
(liederen), (3) nini thowok dan permainan sejenisnya
(ni thowok en verwante spelen), dan (4) permainan
sihir (biologeerspelen).
Lagu dolanan yang mengandung unsur lagu dan
permainan dapat dipakai untuk pembelajaran dan
penanaman budi pekerti dan nilaia-nilai luhur budaya
Jawa pada anak, seperti
nilai tanggungjawab,
kejujuran, keberanian, sportivitas, saling menghormati
dan menghargai, berperilaku adil, dan masih banyak
lagi. Permainan dapat memberikan dampak positif
dalam mendidik anak, antara lain: (1) menghilangkan
stress ketika proses pembelajaran, (2) menyingkirkan
keseriusan yang menghambat, (3) mengajak orang lain
berpartisipasi, (4) meningkatkan variasi proses belajar,
(5) mengembangkan kreativitas diri, (6) mencapai
tujuan dengan kesenangan, (7) memberi pengalaman
dalam meraih makna belajar, dan (8) memfokuskan
siswa sebagai sumber belajar (Suyatno, 2005:14).
Salah satu contoh teks tembang dolanan yang
menanamkan karakter adalah “Padhang Rembulan”
berikut ini: Ya prakanca dolanan neng njaba/ Padhang
bulan padhange kaya rina/ Rembulane wis angaweawe/ Ngelingake aja turu sore-sore. Melalui tembang
dolanan “Padhang Rembulan” dapat ditanamkan nilai
budaya Jawa, seperti kekaguman dan takjub atas
keindahan alam semesta, kekeluargaan, solidaritas,
gotong royong, dan bekerja sama. Peradaban
kehidupan pedesaan juga digambarkan dalam lagu
dolanan “Jago Kluruk” berikut ini: Ing wayah esuk
jagone kluruk/ Rame swarane pating kemruyuk/
39
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Sri Sulistiani, Sukarman
Banget senenge sedulur tani/ Bebarengan padha
nandur pari/ Srengenge nyunar wetan prenahe/
Manuke ngoceh ana wit-witan/ Pating cemruwit endah
swarane/ Tambah asri jagad seisine. Lagu tersebut
memberikan gambaran indahnya suasana pedesaan di
pagi hari dengan suara ayam berkotek, kicauan burung,
kabut yang menyelimuti lingkungan memberikan rasa
tenteram dan damai, yang berbeda dengan suasana
kota.
Selain tembang macapat dan dolanan, beberapa
tembang campursari juga mengandung nilai-nilai
karakter yang bisa digunakan dalam pembelajaran.
Tembang “Anoman Obong” misalnya memberikan
membangun karakter tentang kepahlawanan Anoman
yang menyelamatkan Dewi Sinta yang diculik oleh
Dasamuka. Kesetiaan kepada Prabu Rama,
menjadikan Anoman tergugah jiwa kesatrianya untuk
menyelamatkan isteri dari rajanya. Kutipan
tembangnya:“…..//Ceritane Wayang Ramayana/ Ing
negara Ngalengka Diraja/ Ratu buta Rahwana Raja/
Gawe geger nyolong Dewi Shinta// Anoman Si Kethek
Putih//
Sowan/mlebu
taman
Shinta
dijak
mulih/Konangan Indrajit lan patih/Anoman ora wedi
getih//....”.
Dalam lirik lagu “Kidung Wahyu Kalaseba”, lebih
mengungkapkan muatan spiritual ajaran nilai-nilai
Islam makrifat, yaitu berisi ajaran kesejatian hidup
“manunggaling kawula Gusti” yang harus diketahui
umat manusia. Untuk tetap eksis pada era RI 4.0 dan
RS 5.0, generasi muda harus dibekali dengan sikap
spiritual yang kuat agar mampu menghadapi tantangan
jaman. Misalnya: mampu mengendalikan diri,
menjaga hawa napsu, bertaqwa kepada Tuhan. Kutipan
tembangnya: “Rumeksa ingsun laku nista ngayawara/
Kelawan mekak hawa, hawa kang dur angkara/
Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda/
Hingga pupusing jaman// Hameteg ingsun nyirep geni
wisa murka/ Maper hardening panca, saben ulesing
netra/…” Melalui “Kidung Wahyu Kalaseba” ini
identik dengan spiritualisme Islam berbaur nuansa
mistisisme Jawa yang mengingatkan kepada manusia
jika kelak menghadap kepada Sang Maha Kuasa.
Ungkapan-ungkapan Jawa
Ungkapan merupakan nilai-nilai kearifan lokal atau
local genius yang telah dimiliki dan secara turuntemurun dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa, antara lain
paribasan, bebasan, saloka, cecandran, wangsalan,
cangkriman, parikan. Ungkapan-ungkapan Jawa
banyak mengandung nilai-nilai karakter yang patut
diteladani, antara lain: bisaa rumangsa, aja rumangsa
bisa (saling tenggang rasa); ngundhuh wohing pakarti
(semua orang akan memetik hasil perbuatannya);
wong salah seleh (orang yang berbuat salah akan
kelihatan); rukun agawe santosa, crah agawe bubrah
(orang yang menjaga kerukunan akan kuat, karena
bertengkar akan menghancurkan semuanya); memayu
hayuning bawana (menjaga keselamatan dunia); sura
dira jayaningrat lebur dening pangastut (segala
perbuatan angkara/kejahatan akan hancur oleh
perbuatan baik), dan masih banyak lagi lainnya. Nilai
karakter yang ditanamkan seperti tidak boleh bersikap
sombong, berhati-hati dalam bertingkah-laku, menjaga
harga diri, jangan merendahkan orang lain, menjaga
persatuan, berhemat, dan karakter bangsa lainnya.
“Merdeka Belajar” yang berbasis RI 4.0 dan RS
5.0 memberikan kemerdekaan kepada pendidik
maupun peserta didik untuk mengembangkan jiwa dan
cita-cita dengan memanfaatkan teknologi yang
melampaui langit dan yang melampaui batas ruang
kelas dan batas dunia. Kurikulum “Merdeka Belajar”
harus mampu mengakomodasi pembangunan karakter
yang menjadi sebuah solusi untuk menciptakan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul.
PENUTUP
Simpulan
Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan terus
dilakukan pada kondisi apapun, termasuk RI 4.0, RS
5.0, dan “Merdeka Belajar” saat ini. Pembangunan
karakter harus tetap berakar pada nilai-nilai luhur
budaya bangsa sebagai filter untuk menyaring
pengaruh budaya asing yang dapat merusak dan tidak
sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia. Salah satu
bentuk upaya membangun karakter melalui budaya
Jawa dapat dilakukan dengan mengembangkan dan
melestarikan budaya Jawa pada generasi muda
melalui media tatap muka (luring) maupun melalui
online atau daring. Nilai-nilai luhur yang mengandung
karakter terkandung dalam unggah-ungguh basa,
tembang, maupun ungkapan tradisional.
Saran
Artikel ini dapat dikembangkan dengan studi budaya
Jawa lainnya, seperti nilai-nilai karakter dalam cerita
wayang, kethoprak, ludruk yang diambil dari youtube.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2001). Pedoman Umum Pendidikan Budi
Pekerti Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah I. Jakarta: Ditjen Dikdasmen
Depdiknas.
40
Membangun Karakter Berbasis Budaya Jawa pada Era Revolusi Industri 4.0, Revolusi 5.0, dan “Merdeka Belajar”
Sri Sulistiani, Sukarman
Idrus, Muhammad. (2012). “Pendidikan Karakter pada
Keluarga Jawa” dalam Jurnal Pendidikan
Karakter, Tahun II, No. 2, Juni 2012. Univesitas
Negeri Yogyakarta.
Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak,
Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Parwatri, dkk. (2004). Laku. Depok: Program Studi
Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Inddonesia
Poerwadarminta, W.J.S. (1953). Sarining Parama
Sastra Djawa. Djakarta: Noordoff Kolff
Riyanto, Theo. (2004). Pendidikan Pada Usia Dini.
Tuntunan Psikologis dan Pedagogis bagi Pendidik
dan Orang Tua. Jakarta: gramedia Widiasarana
Indonesia.
Suyatno.
(2005).
Permainan
Pendukung
Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta:
Grasindo.
Widayati, Sri Wahyu. dkk.(2008). Ilmu Sosial Budaya
Dasar.Surabaya: Unesa University Press.
Sumber lain:
(1) (gurupembaharu.com/.../pembelajaran-bahasaindonesia, diunduh tanggal 12 September 2015).
(2) (https://id.wikipedia.org/wiki/Digitalisasi).
(3) (www.klinikpendidikan@gmail.com).
(4) https://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/05/
29/model-pembelajaran-quantum-quantumlearning/
(5) http://quantumteachingandlearning.blogspot.co.id/
2012/09/quantum-teaching-and-learning.html
Rohmadi, Muhammad & Lili Hartono. (2011). Kajian
Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa: Teori dan
Pembelajarannya. Surakarta: Pelangi Press.
Samani, Muchlas & Hariyanto.(2011). Pendidikan
Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Saryono,Djoko. (2011). Sosok Nilai Budaya Jawa:
Rekonstruksi Normatif Idealitas. Yogyakarta:
Aditya Media’
Soekanto, Soerjono. (1993). Kamus Sosiologi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Sabdawara. (2001). ‘Pengajaran Bahasa Jawa Sebagai
Wahana Pembentukan Budi Pekerti Luhur’.
Makalah Konggres. Yogyakarta: Konggres Bahasa
Jawa III.
Sayuti, Suminto A. (2007). ‘Yang Lokal dan Nasional
di Tengah Budaya Global’. Makalah Seminar
Nasional dalam rangka Dies Natalis FISE UNY
tanggal 8 September 2007.
Sudaryanto. (1995). Linguistik: Identitasnya, Cara
Penanganan Obyeknya, dan Hasil Kajiannya.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sujamto. (1992). Refleksi Budaya Jawa. Semarang:
Effhar & Dahara Prize
Suharti.(2001). ‘Pembiasaan Berbahasa Jawa Krama
dalam Keluarga Sebagai Sarana Pendidikan Sopan
Santun’. Makalah Konggres. Yogyakarta:
Konggres Bahasa Jawa III.
Sasangka, Sry Satriya Catur Wisnu. (2004). Tingkat
Tutur Bahasa Jawa Berdasarkan Leksikon
Pembentukannya. Surabaya: Yayasan Djoyo Bojo
Suhono, Antun. (1952). Paramasastra Djawa. Djogja:
Hien Hoo Sien.
Sutarto, Ayu. (2010). Kearifan Lokal Jawa (Pesanpesan Mulia dari Leluhur). Surabaya: Bidang
PNFI –Nilai Budaya, Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Timur.
41
PERUBAHAN KARAKTER SISWA SETELAH PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN
(DARING) SELAMA MASA PANDEMI COVID-19
Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma
Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya,
muchammadsukma@mhs.unesa.ac.id
Renny Rachmatya
Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya,
renrachmatya@gmail.com
Abstrak
Artikel ini membahas tentang pengembangan karakter yang terbentuk pada siswa sekolah dasar.
Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengembangan karakter siswa sekolah dasar dalam
penerapan pembelajaran selama menggunakan daring. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis peran siswa, guru, dan orang tua sebagai pengawas dalam mengembangkan karakter
siswa guna mendasari untuk mencapai kompetensi sumber daya manusia yang unggul. Penelitian ini
dilakukan dengan metode deskriptif yang membandingkan aspek yang berkaitan dengan topik
penelitian dan diperkuat dengan pembahasan pada penelitian sebelumnya. Hasil penelitian
menunjukkan karakter siswa sekolah dasar yang terbetuk setelah pembelajaran daring perlu
dilakukan secara masif dan disiplin agar dapat mencapai tujuan pembelajaran terutama dalam
membangun karakter dan sikap siswa yang baik secara berkelanjutan. Pengembangan karakter dan
sikap siswa sekolah dasar harus dilakukan beriiringan dalam waktu tertentu. Kedua proses ini
membutuhkan pembiasaan untuk menjadikan siswa sekolah dasar memiliki tanggung jawab terhadap
dirinya sendiri dalam belajarnya. Peningkatan kompetensi siswa dapat dilakukan dengan
menyediakan proses transfer pengetahuan antar guru ke siswa, siswa ke siswa, maupun orang tua
yang mengawasi siswa. Kunci kesuksesan berasal dari komitmen maupun komunikasi.
Kata Kunci: Karakter Siswa, Orang Tua, Pembelajaran Daring
PENDAHULUAN
Pandemi COVID-19 merupakan musibah yang
memilukan bagi seluruh penduduk yang berada di bumi
yang menyebabkan seluruh segmen kehidupan manusia
di bumi terganggu, tanpa terkecuali pendidikan.
Pemerintah dihadapakan pada dua pilihan yang sangat
berat antara menjaga stabilitas ekonomi tanpa
mempedulikan keganasan dari COVID-19 atau
membuat batasan-batasan yang dapat mencegah
penyebaran covid 19. Pemerintah Indonesia akhirnya
memutuskan untuk melakukan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB), dimana hal tersebut akan
membatasi kegiatan dan mengurangi sosialisasi dengan
orang lain dalam bidang keagamaan, ekonomi, bahkan
pendidikan. Dalam bidang pendidikan diambil
keputusan besar untuk menutup sekolah dari SD, SMP,
SMA maupun universitas dan memberlakukan
pembelajaran online.
Karakter pembelajaran siswa sebelum adanya
pandemik covid siswa tingkat sekolah dasar biasanya
mencontoh perilaku guru yang langsung ditirukan oleh
siswa tersebut. contohnya pada siswa kelas 2 tingkat
sekolah dasar yang akan memulai pembelajaran
matematika mengenai perkalian. Dimana biasanya
siswa tersebut diberikan perintah untuk mencatat
kemudian menghafal secara bersama sama. Sampai
pada guru memeriksa hafalan siswa satu persatu dengan
maju kedepan kelas atau pertanyaan cepat sebelum
pulang. Saat pembelajaran dilakukan dirumah, peran
guru yang biasanya dilakukan disekolah harus
digantikan oleh seseorang yang mendampingi siswa
belajar di rumah. Jika peran seseorang yang
mendamping siswa belajar dirumah tidak dapat
memerankan tugas guru dengan baik, maka karakter
siswa yang terbentuk antara siswa yang belajar secara
langsung dengan siswa yang belajar secara daring akan
berbeda.
Pembelajaran daring hampir terjadi selama 3 bulan
lamanya dan tentunya pembelajaran menggunakan
sistem ini memiliki kendala-kendala yang akan
dirasakan oleh siswa, orang tua, guru bahkan sekolah.
Kendala tersebut merupakan hal mendasar dalam
menunjang sistem pembelajaran daring sebagai berikut
ini pada poin 1) guru dan siswa di Indonesia yang tidak
seluruhnya paham akan penggunaan teknologi menjadi
hambatan tersendiri dalam pembelajaran secara daring;
2) perangkat teknologi yang mendukung pembelajaran
daring terkesan mahal bagi
kalangan keluarga
menegah ke bawah. serta guru yang berada di daerah
terpencil pun masih belum dapat menjangkau peralatan
teknologi pendukung tersebut. perlu adanya perhatian
42
Perubahan Karakter Siswa Setelah Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) Selama Masa Pandemi Covid 19
Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya
yang lebih kepada guru maupun murid agar mereka
mendaptakan melakukan pembelajaran secara daring.;
3) akses internet yang terbatas serta masih belum
merata di pelosok negeri menjadi penghambat dalam
pembelajaran yang dilaksanakan di rumah. Penyebaran
internet belum dinikmati oleh
semua lembaga
pendidikan baik sekolah dasar maupun sekolah
menengah. Jaringan internet yang ada kondisinya
masih belum memadai untuk diberlakukan
pembelajaran secara daring; 4) Kesejahteraan guru dan
murid seharusnya menjadi perhatian khusus bagi
pemerintah karena hal tersebut dapat menghambat
keberlangsungan pembelajaran daring. Ketika
menggunakan kuota internet untuk memenuhi
kebutuhan media daring, maka jelas mereka tidak
sanggup membayarnya. Pemanfaatan media daring
memberikan dilema tersendiri, dimana ketika menteri
pendidikan memberikan semangat produktivitas harus
tetap melaju, namun negara pun masih belum bisa hadir
dalam memfasilitasi kebutuhan biaya yang dimaksud
dikarenakan kondisi yang semakin buruk masih terjadi
pada masa pandemic Covid.
Melalui kendala-kendala yang telah disampaikan di
atas, menujukkan kondisi pembelajaran yang dilalui
daring masih terbilang belum maksimal sesuai dengan
harapan dan tujuan yang dibuat oleh pemerintah.
Kesalahan-kesalahan menghadapi kebijakan DARING
juga terletak pada para pelaku pendidikan dan orang
tua. Adapu kesalahan tersebut sebagai berikut pada
poin 1) guru tidak memberikan pembelajaran yang
sama baiknya dengan pembelajaran saat tatap muka di
sekolah. Guru dinilai hanya memberikan tugas yang
menurut beliau dapat menjadi ukuran pemahaman
murid akan suatu materi. Guru juga sepertinya tidak
mempedulikan bagaimana proses siswa mendapatkan
jawaban untuk tugas yang diberikan seperti
mengandalkan teman, mengandalkan google. Melalui
hal tersebut dapat dikatakan bahwa siswa memiliki sifat
yang tidak bertanggung jawab dan tidak mandiri; poin
2) peranan yang besar juga dapat dilakukan oleh orang
tua dalam mendampingi kegiatan belajar siswa pada
saat ini. Dimana yang sangat terlihat bahwa orang tua
terlalu mengurusi bahkan dapat dikatakan mengerjakan
pekerjaan yang diberikan oleh guru. Sepertinya orang
tua lupa akan tujuan utama dalam menyekolahkan
anak. Orang tua mengira bahwa tujuannya adalah agar
anak mendapatkan nilai yang bagus. Padahal dengan
terlalu ikut campur orang tua menyebabkan tujuan
mereka menyekolahkan tidak tercapai; Poin 3) siswa
tidak melakukan pembelajaran secara maksimal,
terbukti dengan banyaknya anak-anak yang melakuan
kegiatan di luar rumah seperti bermain dengan teman
sebayanya sampai larut malam. Siswa hanya terpaku
dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh guru.
Tugas tersebut merupakan bentuk aplikasi yang harus
dikerjakan oleh siswa, bukan semata sebagai indikator
yang menunjukkan bahwa siswa sedang belajar.
Adapun kesalahan di atas perlu ditindak lanjuti lebih
dalam agar sistem daring dapat berjalan efektif dan
efisien untuk membentuk karakter siswa sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Penulis
melakukan pengumpulan kendala dan kesalahan yang
seharusnya bisa antisipasi agar siswa dapat memiliki
karakter bertanggung jawab untuk dirinya sendiri
terutama dalam belajarnya.
METODE
Penelitian dengan metode naratif deskriptif dilakukan
untuk meninjau permaslahan yang terkait. Penelitian
desktiptif yang dipaparkan oleh Sugiyono (2011) ialah
penelitian yang memiliki tujuan dalam mengetahui
nilai dari variabel mandiri, meliputi satu atau lebih
variabel (independen) dengan tidak membuat
hubungan maupun perbandingan dengan variabel
lainnya. Artikel penelitian ini akan mengacu pada
sejumlah hasil yang berada dilapangan berupa
permasalahan yang terkait untuk membahas dan
menganalisis terhadap kesesuaian dengan masalah
penelitian yang dijadikan topik. Dari hasil karakter
siswa yang terbentuk selama kondisi Covid-19 maka
akan di tinjau sebagai bentuh penilaian tersendiri oleh
peneliti sehingga seluruh elemen pendidikan yang
terkait dapat merencanakan kegiatan pembelajaran
daring yang baik dan efektif. Karakter siswa
merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh siswa
karena akan tertanam sehingga berpengaruh untuk
jenjang berikutnya. Data sekunder atau literatur akan
dijadikan dasar sebagai pendukung topik penelitian.
Dokumen yang sudah didapat dari pencarian berupa
jurnal, buku, berita media massa, catatan, transkrip, dan
sebagainya akan diberikan analisis secara interpretatif
dimana data yang diperoleh dapat dicari keterkaitan
dengan topik kemudian dibuatlah kesimpulan yang
sesuai.
PEMBAHASAN
Karakter Siswa Yang Ingin Dibentuk Selama Masa
Covid-19
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah perihal
pendidikan dalam kasus pandemik covid ini pastinya
sangat membingungkan dimana urusan pendidikan
yang seharusnya diserahkan ke sekolah sekarang
berpindah alih mejadi urusan rumah yang pastinya
membuat orang tua sangat kebingungan dalam
43
Perubahan Karakter Siswa Setelah Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) Selama Masa Pandemi Covid 19
Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya
mengatasi hal ini. Perlu disadari bahwa pencapaian
sesuai dengan target kurikulum bukan merupakan
masalah yang penting, masalah yang paling penting
dalam menghadapi situasi seperti ini adalah
kebahagiaan anak-anak dalam menjalani proses belajar
di rumah. Kurangnya dampingan orang tua berakibat
serius pada mentalitas anak. Bagi sebagian orang tua
yang memiliki kesadaran tentang pendidikan karakter.
Namun, ada sebagian orang tua yang bersikap tidak
peduli akan hal tersebut. Pendidikan karakter menjadi
salah satu jawaban untuk menyelesaikan banyak
persoalan yang saat ini ada.
Penerapan nilai karakter religius mencerminkan
ketaqwaan terhadap tuhan yang maha esa. Jika dulu
sebelum adanya peristiwa ini semua hal tersebut
ditandai dengan menjalankan ajaran agama,
menghargai perbedaan agama, toleransi, dan mencintai
lingkungan.
Diharapkan
dari
peristiwa
ini
menyadarkan siswa tentang keagungan tuhan yang
maha esa tanpa mengubah karakter yang telah
terbentuk.
Penerapan karakter nasionalis ditunjukkan melalui
sikap apresiasi budaya bangsa, rela berkorban, cinta
tanah air. Pada saat ini hal tersebut dapat ditandai
dengan mengaplikasikan sikap peduli terhadap sesama.
Contohnya: menjalankan semua protokol kesehatan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut
meruaka contoh peduli akan sesama.
Karakter gotong royong mencerminkan tindakan
saling mengahargai dan bahu membahu dalam
menyelesaikan persoalan bersama-sama, memberikan
pertolongan pada orang yang membutuhkan.
Contohnya dengan sikap menjaga orang yang termasuk
dalam seseorang yang reatif akan peristiwa ini ataupun
yang telah diberikan julukan ODP dan PDP. Agar
masayarat tersebut menjadi tanggung jawab warga
sekitar untuk urusan semua hal yang berkaitan dengan
beliau.
Peran Siswa, Guru, dan Orang Tua
Siswa harus sadar diri bahwa mereka tidak bisa lagi
belajar mengandalkan guru. Oleh karena hal tersebut,
maka perlu dihadapi dengan keinginan kuat untuk
belajar. Pada kasus anak balita usia 1-3 tahun yang
memiliki masa golden age, anak tersebut mempelajari
hal baru yang menurut mereka menarik. Hal baru
tersebut membuat anak tersebut memiliki rasa
penasaran yang besar sehingga mengulang prosesnya
berkali-kali sampai bisa. Contohnya anak kecil yang
bernama Mahira sangat penasaran dengan bunyi yang
keluar dari headset saat didekatkan ditelinganya. Dia
mengulangi bebrapa kali, sampean memahami bahwa
headset bisa mengeluarkan bunyi. Di waktu yang lain,
saat sesorang memegang hp dan headset, Mahira
langsung pensaran dengan headsetnya daripada hp.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa keinginan yang
kuat dari balita usia 1-3 tahun dapat di tiru dan
dilakukan secara terus menerus sehingga pada saat
pembelajaran pada siswa SD dimulai pada kelas 1
hingga 6 dengan memberikan metode pembelajaran
yang variatif, agar siswa memiliki minat belajar
semakin besar.
Kemudian peran guru tetap dimaksimalkan
meskipun sudah tidak bisa lagi bertatap muka secara
langsung dengan siswa dalam proses pembelajarannya.
Guru memberikan tutorial live secara langsung
kemudian membuat diskusi grup yang menarik serta
memberi pemantauan dan apresia. Kemudian dimulai
dari pengawasan dalam proses praktek pembelajaran
yang harus disipin. Peran orang tua menjadi hal penting
dilakukan sebagai pengawas langsung untuk
menggantikan guru dalam tatap muka. Orang tua harus
sadar bahwa perhatian yang biasanya diberikan guru
kepada siswa tidak bisa lagi dilakukan, maka orang tua
yang menggantikannya.
PENUTUP
Simpulan
Di masa pandemi covid-19 ini, dapat diambil hikmah
dalam membentuk karakter siswa agar memiliki
keyakinan kuat untuk membentuk pribadi yang disiplin
secara mandiri terutama dalam proses belajarnya yang
harus bisa mencerminkan dari program merdeka belajar
yang digagas oleh pemerintah. Peran guru memeng
berkurang secara langsung tapi dapat dibantu oleh
orang tua siswa agar memberikan pengawasan yang
sesuai dalam kegiatan belajarnya.
Saran
Perlu adanya kesadaran untuk memperbaiki dan
mengoptimalkan pembelajaran secara daring karena
menjadi dilemma tersendiri bagi elemen terkait seperti
pemerintah, kepala sekolah, guru, siswa, bahkan orang
tua. Sejatinya musibah ini bisa menjadi sesuatu yang
mendewasakan diri agar selalu menjadi orang terus
berproses menjadi lebih baik dari segala sisi.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Nasihudin Al Ansori. (2020). Belajar di Rumah
Akibat Corona COVID-19, Ini Pendapat dan
Harapan
Anak
Indonesia.
Liputan6.
https://m.liputan6.com/health/read/4224969/belajar
-di-rumah-akibat-corona-covid-19-ini-pendapatdan-harapan-anak-indonesia
44
Perubahan Karakter Siswa Setelah Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) Selama Masa Pandemi Covid 19
Muchammad Niki Bagus Wahyune Sukma, Renny Rachmatya
Dewi, Wahyu Aji Fatma. (2020). Dampak Covid-19
Terhadap Implementasi Pembelajaran Daring Di
Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan Volume 2
Nomor 1 April 2020 Halm 55-61 Research &
Learning
in
Education
https://edukatif.org/index.php/edukatif/index
April.2020.Poskita.co:https://poskita.co/2020/04/0
2/peran-orangtua-dalam-pembelajaran-jarak-jauh
Hilna Putria, Luthfi Hamdani Maula, Din Azwar
Uswatun. (2020). Analisis Proses Pembelajaran
Dalam Jaringan (DARING) Masa Pandemi
COVID-19 pada Guru Sekolah Dasar. Jurnal
Basicedu Volume 4 Nomor 4 Tahun 2020 Halm.
861 – 872 Research & Learning in Elementary
Education
https://jbasic.org/index.php/basicedu/index
Hero, Hermus & Sni.M.S. (2018). Peran Orang Tua
Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas
V Disekolah Dasar Inpres Iligetan. Jurnal
Pendidikan Dasar 01 (2) Fakultas Keguruan Ilmu
Pendidikan Universitas Nusa Nipa, Indonesia.
Nurwanti, Nunung & Nurlaeli.R.D. (2020). Kelekatan
(Attachment) Ibu dan Anak Selama Covid-19.
Akademia Edu
Padmadewi. (2018). Memberdayakan Keterlibatan
Orang Tua Dalam Pembelajaran Literasi Sekolah
Dasar. Jurnal Ilmu Sosial Humaniora Vol 7, No 1
Pemerintah Pusat . (2020). Surat edaran mendikbud no
4 tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan
pendidikan dalam masa darurat Covid-19.
Retrieved from Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Pegawai
KEMENDIKBUD
:https://pusdiklat.kemdikbud.go.id/surat-edaranmendikbud-no-4-tahun-2020-tentang-pelaksanaankebijakan-pendidikan-dalam-masa-darurat
penyebarancorona-virus-disease-covid-1-9/
Purwanto, A., Pramono, R., Asbari, M., Budi Santoso,
P., Mayesti Wijayanti, L., Chi Hyun, C., &
Setyowati Putri, R. (2020). Studi Eksploratif
Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Proses
Pembelajaran Online di Sekolah Dasar.
Universitas
Muhammadiyah
Enrekang.
EduPsyCouns (Journal of Education, Psychology
and COunseling), 2(1), 1–12.
Ratna, Ningrum W. (2018). Pengaruh peranan dan
pola asuh orang tua terhadap hasil belajar siswa
sekolah dasar negeri (SDN) di kecamatan Bogor
Barat. Jurnal pendidikan,17(2), 129-137)
Rizqon Halal Syah Aji. (2020). Dampak Covid-19 pada
Pendidikan di Indonesia: Sekolah, Keterampilan,
dan Proses Pembelajaran. Jurnal Sosial & Budaya
Syar-FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 7
No.
5
(2020),
pp.
395-402,
DOI:
10.15408/sjsbs.v7i5.15314
Winingsih, Endang. (2020). Peran Orang Tua Dalam
Pembelajaran
Jarak
Jauh.
45
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA YANG
MENGIKUTI ORGANISASI DAN SCHOOL FROM HOME
Priskilla Narendra Wijaya
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Priskilla.17010664045@mhs.unesa.ac.id
Noval Achmad Muamar Pamungkas
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Noval.17010664071@mhs.unesa.ac.id
Dhea Karina Pramesta
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Dhea.17010664076@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Dalam menghadapi pandemi Covid-19, maka pemerintah menerapkan self-quarantine. Di mana hal
ini berdampak kepada berbagai hal salah satunya adalah sistem pendidikan di Indonesia.
Pembelajaran yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka kini berubah menjadi school from
home. Mengacu pada fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara
kecerdasan emosional dan stres akademik pada mahasiswa yang mengikuti organisasi dan school
from home. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan skala kecerdasan
emosional dan stres akademik. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara
kecerdasan emosional dengan stres akademik yang dirasakan oleh mahasiswa yang mengikuti
organisasi. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional individu, maka semakin rendah stress
akademik yang dirasakan selama school from home sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan emosional individu, maka semakin tinggi
stress akademik yang dirasakan oleh mahasiswa yang aktif berorganisasi selama school from home
tersebut. Maka dapat disimpulkan hubungan keduanya bersifat terbalik. Hal ini berarti apabila
kecerdasan emosional individu tinggi, maka kemungkinan tingkat stress rendah akan lebih besar dan
begitu pula sebaliknya.
Kata Kunci: Kecerdasan emosional, stres akademik, organisasi, school frome home.
PENDAHULUAN
Mahasiswa adalah seseorang yang diharapkan sebagai
calon pemimpin bangsa di masa depan nanti. Sebagai
calon pemimpin diperlukan sudut pandang baik,
kepribadian, mental, dan kondisi jiwa yang stabil.
Seorang mahasiswa selayaknya dapat memecahkan
masalah-masalah yang cenderung rumit, mampu
mengatasi tantangan yang dihadapi, dan memiliki
pikiran positif terhadap dirinya sendiri (Kholidah &
Alsa, 2012). Kehidupan mahasiswa tidak luput dari
macam-macam permasalahan yang dihadapi, sumber
permasalahan yang dihadapi juga datang dari berbagai
faktor seperti lingkungan sosial, pertemanan, diri
sendiri, dan juga keluarga. Transisi dari kehidupan saat
sekolah memasuki dunia perkuliahan bisa menjadi
salah satu faktor yang dapat membuat stress
dikarenakan perubahan signifikan yang dialami oleh
seorang mahasiswa.
Salah satu perubahan yang akan langsung
dirasakan oleh mahasiswa baru yaitu gaya dan tuntutan
dalam pembelajaran dimana sebelum memasuki
perkuliahan mereka masih mendapatkan bimbingan
penuh dari seorang guru tetapi setelah memasuki
perkuliahan mahasiswa diharuskan untuk bersikap
mandiri dalam menjalankan segala kegiatan
akademisnya seperti kegiatan belajar mengajar,
menuntaskan tugas, praktikum, dan syarat-syarat
untuk menghindari Drop Out yang dimana perubahan
tersebut signifikan dibandingkan saat di sekolah
menengah. Menurut Gunawati (2006) masa peralihan
yang dialami oleh mahasiswa dapat menjadi dorongan
untuk menghadapi tugas dan tuntutan perkembangan
baru dimana tugas dan tuntutan tersebut muncul untuk
menuntut mahasiswa untuk melakukann penyesuaian
diri.
Stres yang dialami seorang seorang mahasiswa
selama menjalani masa studi perkuliahan dapat
membuat pola pikir mahasiswa menjadi kacau
dikarenakan kompleksitas masalah yang dihadapi.
Tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian teknis
tetapi mahasiswa juga dituntut untuk mempunyai sikap
mental dan kerangka berpikir tertentu sehingga
wawasan luas yang didapatkan oleh mahasiswa bisa
diterapkan dalam lingkungan sosialnya. Hans Selye
(dalam Pinel, 2009) memiliki teori bahwa stressor
psikologis dan fisik menginduksi respon stress yang
secara umum sama. Respon stres termasuk hal yang
46
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home
Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta
bervariasi dan cenderung kompleks dimana respons
terguantung kepada sifat orang yang mengalami stres,
kapan stres tersebut datang, dan bagaimana individu
bereaksi terhadap stres yang dialaminya. Mahasiswa
juga dalam kesehariannya dituntut untuk peka dengan
apa yang sedang terjadi di sekitar lingkungannya.
Dengan segala hal yang harus dipenuhi oleh
mahasiswa kecerdasan emosi sangat diperlukan oleh
mahasiswa untuk mengendalikan emosi-emosi yang
datang di kehidupan sehari-harinya dan bahkan emosi
yang tidak diinginkan untuk muncul seperti rasa
pesimis, malu, amarah, putus asa, dan kesedihan.
Seseorang yang dapat mengenali lalu mengelola
emosi yang ada pada dirinya dengan baik maka emosi
tersebut dapat menjadi sumber energy positif agar
dapat melawan emosi yang cenderung kurang
menyenangkan. Tidak hanya untuk menangani emosi
negatif, dengan mengenali emosi yang dirasakan
mahasiswa dapat mengerti emosi orang lain dan dapat
membina hubungan satu sama lain. Dengan
kemampuan tersebut individu dapat membimbing
tindakan dan pikiran untuk beradaptasi terhadap
tekanan dan tuntutan di mana individu tersebut berada
(Megawati, 2010).
Semenjak pandemik Covid-19, masyarakat
dianjurkan untuk tetap berada di rumah. Di mana
anjuran tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek,
salah satunya merupakan pendidikan. Maka dari itu,
peneliti ingin meneliti keterkaitan kecerdasan
emosional dan stres akademik pada mahasiswa yang
aktif berorganisasi dan menerapkan perkuliahan daring
atau school from home.
Tinjauan Pustaka
Stres merupakan penilaian individu terkait suatu
fenomena baik sebagai sesuatu yang mengancam,
menantang, atau membahayakan, hal tersebut
selanjutnya termanifestasi dalam respon individu baik
secara kognitif, fisiologis, emosional, maupun
perilaku. Hal-hal yang diartikan sebagai peristiwa
yang penuh dengan tekanan dapat bervariasi pada
setiap individu berdsarkan interpretasinya terhadap
fenomena tersebut (Widury, 2010).
Menurut Sarafino (2012) stres merupakan suatu
keadaan saat individu merasa terdapat ketidaksesuaian
antara kemampuan yang dimiliki dengan situasi
tertentu yang bersumber dari aspek biologis,
psikologis, dan sosial yang pada gilirannya
menyebabkan ketidakseimbangan dalam segi
psikologis dan fisiologis inidvidu tersebut sehingga
individu merasa situasi tersebut sebagai hal yang
menekan dan mengancam. Stres akademik merupakan
kondisi yang dipersepsikan sebagai menekan secara
psikologis oleh seseorang yang sebagian besar
bersumber dari kegiatan akademik serta tuntutan
lainnya sehubungan dengan tekanan akademik yang
mempengaruhi individu tersebut secara psikologis
maupun perilaku (Sun, Dunne, Hou, & Xu, 2011).
Sementara itu menurut Wilks (2008) Stress akademik
merupakan stres yang bersumber dari tekanan dari
kegiatan akademik. Hal ini bersumber dari kombinasi
antara tuntutan akademik yang melebihi kapasitas
individu tersebut.
Stres dapat diartikan sebagai suatu stimulus yang
menuntut individu untuk melakukan upaya tertentu
diluar hal-hal yang biasanya dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Stres dapat menyebabkan
respon tertentu baik secara emosional, fisik, serta
tindakan yang menimbulkan kesulitan pada individu
tersebut dalam menghadapinya. Respon terhadap
stressor juga dapat berkaitan dengan penilaian individu
tersebut serta evaluasinya terhadap stressor apakah
stressor tersebut sesuai atau tidak dengan kemampuan
individu serta strategi yang dimiliki oleh individu
untuk menghadapinya (Gadzella, 1994).
Stres yang dialami oleh mahasiswa dapat
menimbulkan dampak tertentu, diantaranya adalah
rasa gelisah, gangguan pada sistem pencernaan,
ketegangan, khawatir dan kecemasan, rasa sakit pada
bagian leher maupun bahu (Agolla & Ongori, 2009).
Lebih lanjut menurut Widury (2010) stress dapat
memberikan dampak terhadap kesehatan individu
seperti sakit kepala atau migrain, penyakit fisik, serta
system kekebalan tubuh.
Stressor akademik dapat berasal dari berbagai hal
seperti kondisi akademik yang dipersepsikan menekan
oleh siswa, dalam hal ini menyebabkan stress
akademik yang tinggi. Tuntutan akademik tersebut
dapat bersumber baik dari orang tua, teman sebagaya,
maupun guru, selain itu factor lainnya dapat terkait
dengan cara individu dalam melakukan manajemen
waktu, permasalahan terkait finansial, hubungan
dengan guru, serta dukungan dan kegiatan sosial
(Barseli, Ahmad, & Ifdil, 2018).
Menurut Lazarus (1984) respon seseorang dapat
berbeda dalam mengelola tuntutan yang dipersepsikan
sebagai hal yang menekan. Perbedaan dalam
menyikapi stressor yang berasal dari dalam diri
maupun luar yang menjadi sumber stress dapat
ditentukan oleh cara individu tersebut dapat mengelola
stressor (Barseli, Ahmad, & Ifdil, 2018) serta
karakteristik tertentu yang dimiliki oleh individu
tersebut (Gunawati & Listiara, 2006). Salah satu
47
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home
Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta
karakteristik tersebut adalah kecerdasan emosional
individu yang berkaitan dengan emosi.
Menurut Goleman (1996) emosi merupakan
perasaan serta pikiran yang bersumber dari proses
kognisi yang dilakukan oleh individu dalam
menghadapi suatu fenomena yang dapat ditunjukkan
oleh kondisi biologis tertentu serta mendorong
individu tersebut untuk bertindak dengan cara tertentu.
Lebih lanjut Goleman (1995) mengemukakan bahwa
kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang untuk mengidentifikasi
perasaan yang dimiliki oleh diri sendiri dan orang lain,
serta kemampuan untuk memotivasi diri dan mengatur
perasaan yang dirasakan dalam menghadapi stressor
sehingga berpengaruh pada tindakan yang
dilakukannya. Lebih lanjut Menurut Salovey & Mayer
(1990) Kecerdasaan emosi yaitu kemampuan individu
dalam melakukan pemantauan terhadap perasaannya
dan perasaan orang lain serta menggunakan informasi
yang diperoleh untuk memandu cara berpikir dan
bertindak. hal ini berarti bahwa kecerdasan emosi
terkait dengan kemampuan untuk mempersepsikan,
menggunakan, memahami, dan memanajemen emosi
yang dirasakan.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
dalam
kecerdasan emosi dapat dipengaruhi oleh factor
internal dan eksternal menurut Goleman (1999)
sebagai berikut:
1. Faktor internal
Dalam hal ini kecerdasan emosi turut dipengaruhi
oleh bagian otak tertentu yakni neo korteks lobus
prefrontal yang memiliki fungsi dalam proses
berpikir seseorang, serta system limbik dan
amigdala yakni bagian dari otak yang terletaj
dibagian bawah yang berfungsi dalam mengatur
emosi tertentu.
2. Faktor eksternal
Dalam hal ini kecerdasan emosional dapat
dipengaruhi oleh hal-hal diluar diri individu
tersebut seperti misalnya pengaruh yang dating dari
lingkungan baik lingkungan keluarga maupun
lingkungan masyarakat dimana individu tersebut
berinteraksi.
Tanpa disadari, terus berada di rumah dapat
meningkatkan tingkat stres individu. Bekerja dari
rumah dapat disebut juga dengan teleworking atau
working from home. Hal ini merupakan pekerjaan yang
dilakukan oleh individu secara berbayar dari rumah
maupun mereka yang bekerja dari rumah. Hal ini
memungkinkan individu untuk memperoleh berbagai
keragaman pengalaman dalam pekerjaan rumahan atau
bekerja dari rumah (Crosbie & Moore, 2004). Sistem
ini diterapkan dalam berbagai aspek salah satunya
pendidikan. Terutama di tengah pandemic Covid-19
yang mengharuskan individu untuk berdiam di rumah.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian
dengan data yang dianalisis berupa angka. Data yang
diperoleh akan dianalisis dengan perhitungan statistic
tertentu (Jannah, 2018).
Teknik pengambilan sampel penelitian adalah
dengan menggunakan purposive sampling. Teknik ini
merupakan suatu teknik yang berdasarkan pada
kehendak peneliti. Maka dari itu, dalam penentuan
subjek penelitian terdapat beberapa kriteria yang perlu
terpenuhi dalam subjek (Jannah, 2018). Subjek dalam
penelitian ini berjumlah 57 responden dengan rentang
usia 18-21 tahun. Kriteria dari resonden tersebut adalah
sebagai berikut: 1) Mahasiswa, baik di perguruan tinggi
negeri/swasta/politeknik lainnya; 2) Aktif dalam
kegiatan organisasi baik di dalam maupun luar kampus;
3) Tengah melakukan sistem pembelajaran daring atau
school from home; 4) Berusia 18-21 tahun.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala kecerdasan emosional dan stress akademik
dengan metode likert. Hasil validitas instrumen skala
kecerdasan emosional dan stress akademik
menunjukkan semua item dinyatakan valid. Hasil
reliabilitas skala kecerdasan emosional adalah sebesar
0.930, sedangkan untuk stress akademik sebesar 0.715.
Hal ini berarti kedua skala tersebut reliabel. Analisis
data penelitian menggunakan analisis regresi dengan
SPSS Statistics for windows versi 24.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk menguji adanya
hubungan terkait kecerdasan emosional dengan stres
akademik pada mahasiswa yang berorganisasi dan
menjalani school from home. Hasil analisis regresi
terangkum dalam tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Regresi
Correlations
Kecerdasan
Stres
Emosional
Akademik
Kecerdasan
Pearson
1
-.331*
Emosional
Correlation
Sig. (2.012
tailed)
N
57
57
Stres Akademik
Pearson
-.331*
1
Correlation
Sig. (2.012
tailed)
N
57
57
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
48
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home
Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta
Hasil dari perhitungan tersebut, menunjukkan
bahwa Sig. (2-tailed) bernilai 0.012<0.05. hal ini
menunjukkan adanya hubungan antara kecerdasan
emosional dengan stress akademik mahasiswa. Selain
itu, didapatkan korelasi antara kecerdasan emosional
dan stress akademik (r) adalah sebesar 0.331. Tanda
negatif menunjukkan bahwa korelasi kedua variabel ini
bersifat terbalik. Hal ini berarti, semakin tinggi
kecerdasan emosional individu, maka semakin rendah
stress akademik yang dirasakannya sebagai mahasiswa
aktif berorganisasi dan menerapkan sistem
pembelajaran school from home.
Semenjak pandemik Covid-19, masyarakat
dianjurkan untuk tetap berada di rumah. Di mana
anjuran tersebut berpengaruh terhadap beberapa aspek,
salah satunya merupakan pendidikan. Sistem
pembelajaran yang sebelumnya tatap muka, menjadi
pembelajaran daring atau school from home. Hal ini
diterapkan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga
perkuliahan.
Berkaitan dengan sistem daring, tentu saja beberapa
faktor luar memengaruhi kelancaran pembelajaran
tersebut seperti: hilangnya motivasi belajar,
miskomunikasi, masalah keamanan data, kesulitan
dalam monitoring pembelajaran, dan sinyal jaringan.
Tanpa disadari, faktor-faktor tersebut menjadi sumber
stress mahasiswa yang aktif di organisasi dan
menerapkan sistem pembelajaran school from home.
Dalam kondisi seperti ini, peran kecerdasan
emosional individu sangat membantu dan menentukan
seberapa besar individu mampu mengatasi rasa stres
yang dirasakannya. Goleman (1995) mengemukakan
bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang untuk mengidentifikasi
perasaan yang dimiliki oleh diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan emosional juga merupakan kemampuan
untuk memotivasi diri dan mengatur perasaan yang
dirasakan dalam menghadapi stressor sehingga
berpengaruh pada tindakan yang dilakukannya. Lebih
lanjut Menurut Salovey & Mayer (1990) kecerdasaan
emosi yaitu kemampuan individu dalam melakukan
pemantauan terhadap perasaannya dan perasaan orang
lain serta menggunakan informasi yang diperoleh untuk
memandu cara berpikir dan bertindak. hal ini berarti
bahwa kecerdasan emosi terkait dengan kemampuan
untuk mempersepsikan, menggunakana, memahami,
dan memanagemen emosi yang dirasakan. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional dapat memengaruhi bagaimana
individu mengatasi stressor yang diperolehnya.
Hal ini sama halnya dengan mahasiswa yang aktif
berorganisasi dan menerapkan sistem pembelajaran
daring atau school from home. Seperti yang telah
disampaikan sebelumnya, beberapa faktor luar dapat
meningkatkan stress yang dirasakan individu selama
pembelajaran daring. Salah satu faktornya adalah
kesulitan dalam melakukan monitoring pembelajaran.
Maka dari itu, untuk melakukan monitoting
pembelajaran tersebut, diberikan tugas untuk mengukur
seberapa besar pemahaman pelajar mengenai
pembelajaran yang telah diberikan. Hal ini diakui oleh
sejumlah 45 responden yang terlibat dalam penelitian
ini. Jumlah ini merupakan 79% dari total keseluruhan
responden. Mereka menyatakan bahwa tugas yang
diberikan selama perkuliahan daring aatau school from
home terlalu banyak.
Selanjutnya, berkaitan dengan sinyal jaringan,
sebanyak 20 responden menyatakan memiliki kendala
jaringan selama perkuliahan daring atau school from
home. Jumlah ini merupakan 35% dari total
keseluruhan responden. Mereka menyatakan bahwa
memiliki kendala jaringan untuk melaksanakan
perkuliahan daring atau school from home.
Sebanyak 43 responden atau 75% dari total
keseluruhan responden mengaku kehilangan motivasi
belajar semenjak perkuliahan daring atau school from
home. Hal ini membuat responden kesulitan untuk
berkonsentrasi selama pembelajaran daring atau school
from home tersebut.
Selanjutnya, sebanyak 23 responden mengaku ragu
untuk menyampaikan pendapatnya selama perkuliahan
daring atau school from home. Jumlah ini merupakan
40% dari total keseluruhan responden. Keraguan dalam
mengemukakan pendapat tersebut merupakan bentuk
ketakutan akan miskomunikasi yang mungkin terjadi.
seperti yang telah disampaikan sebelumnya,
miskomunikasi menjadi salah satu faktor luar yang
dapat meningkatkan stres individu. Hal ini juga
merupakan kelemahan dari sistem pembelajaran daring
atau school from home tersebut.
Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah
dilakukan, maka dapat dilihat bahwa kecerdasan
emosional berhubungan dengan stres akademik yang
dirasakan oleh mahasiswa yang aktif berorganisasi dan
menerapkan sistem pembelajaran daring atau school
from home. Nilai negatif pada hasil korelasi kecerdasan
emosional dan stres akademik (r) menunjukkan adanya
korelasi terbalik. Di mana hal ini berarti, apabila tingkat
kecerdasan emosional individu tinggi maka tingkat
stres akademiknya semakin rendah. Begitu juga
sebaliknya, apabila tingkat kecerdasan emosional
individu, maka tingkat stres akademik yang
49
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home
Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta
dirasakannya selama perkuliahan daring atau school
from home semakin tinggi pula.
Berdasarkan paparan sebelumnya, hal ini
dikarenakan kecerdasan emosional membantu individu
dalam mengidentifikasi perasaannya maupun orang
lain. Di mana informasi tersebut menjadi dasar individu
dalam berpikir dan bertindak. Fungsi lainnya dari
kecerdasan emosional individu adalah untuk
memanajemen emosi yang dirasakan dalam
menghadapi stressor yang dimiliki. Bagaimana
individu bertindak dalam menghadapi stressor atau
strategi
coping
yang
diterapkannya,
dapat
memengaruhi apakah individu tersebut dapat mengatasi
stressornya. Apabila individu tidak mampu mengatasi
stressor ini, maka akan timbul rasa stres yang
dirasakannya. Hal ini juga berlaku dalam pendidikan
atau akademik, maka dari itu muncul istilah stres
akademik.
Stres akademik sendiri merupakan stres yang
bersumber dari akademik. Hal ini berarti stressor yang
dirasakan dapat berupa konflik dalam pembelajaran,
sistem pembelajaran, mau pun bobot atau jumlah tugas
yang diberikan. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, bahwa 79% responden menyatakan tugas
yang diberikan terlalu banyak. Selain itu, 40%
responden menyatakan ragu dalam menyampaikan
pendapatnya di perkuliahan, meski pun menerapkan
sistem perkuliahan daring atau school from home. Lalu,
75% responden juga menyatakan bahwa telah
kehilangan motivasi belajar semenjak perkuliahan
daring atau school from home. Padahal seperti yang
diketahui, motivasi belajar merupakan aspek penting
dalam pembelajaran itu sendiri. Faktor sinyal jaringan
juga dapat menjadi stressor individu selama
menerapkan perkuliahan daring atau school from home.
Hal ini diakui oleh 35% responden yang memiliki
kendala jaringan untuk melakukan perkuliahan daring
atau school from home tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar responden yaitu
sebanyak 57,25 % responden, kemungkinan
mengalami hal tersebut. Di mana hal ini merupakan
stressor selama perkuliahan daring atau school from
home.
Hasil penelitian relevan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Julika dan Setiyawati (2019). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan
emosional dan stres akademik saling berhubungan
dalam memengaruhi tingkat kesejahteraan indvidu.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhnia, Isnah, dan
Hapsah (2019) menunjukkan adanya hubungan antara
kecerdasan emosional dengan tingkat stres pada
mahasiswa tingkat pertama. Di mana hubungan ini
bersifat negatif. Penelitian yang dilakukan oleh
Situmorang
dan
Desiningrum
(2018)
juga
menunjukkan hasilnya yang serupa. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat kecerdasan emosional individu, maka strategi
coping stres yang dimiliki juga semakin baik. hal ini
mampu mengurangi tingkat stres yang dirasakan oleh
individu tersebut. Hal ini berarti semakin tinggi
kecerdasan emosional individu, semakin rendah tingkat
stres yang dirasakannya. Hal ini juga relevan dengan
hasil penilitian yang dilakukan oleh Sofyanti dan
Prihastuti (2017). Hasil penelitian
tersebut
menunjukkan adanya hasil signifikan antara kecerdasan
emosional dan efikasi diri pada tingkat stres akademik
yang dirasakan oleh siswa.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat
disimpulkan
bahwa
kecerdasan
emosional
berhubungan negatif dengan stres akademik pada
mahasiswa yang mengikuti organisasi dan menerapkan
perkuliahan daring atau school from home. Hubungan
negatif ini berarti apabila kecerdasan emosional
individu tinggi, maka tingkat stres akademik yang
dirasakannya rendah. Begitu juga sebaliknya, apabila
tingkat kecerdasan emosional individu rendah, maka
tingkat stres akademik yang dirasakannya semakin
tinggi.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil analisa data dalam penelitian yang
diperoleh serta pembahasan, kesimpulan dalam
penelitian ini bahwa mahasiswa yang menjalani
perkuliahan daring atau school from home memiliki
tingkat stres akademik. Berdasarkan hasil yang telah
dibahas sebelumnya, sebagian besar responden yaitu
sebanyak 57,25 % responden, kemungkinan
mengalami hal tersebut. Di mana hal ini merupakan
stressor selama perkuliahan daring atau school from
home. Tingakatan stres akademik tersebut dipengaruhi
oleh tingkat kecerdasan emosional individu tersebut.
Hubungan ini bersifat negatif, sehingga apabila
kecerdasan emosional tinggi maka stres akademik yang
dialami lebih rendah.
Aspek dalam kecerdasan emosi yang terkait dengan
stres akademik mahasiswa yaitu kemampuan dalam
memanajemen emosi dan memotivasi diri. Oleh sebab
itu kecerdasan emosi penting untuk ditanamkan dan
diterapkan melalui berbagai cara atau program tertentu
untuk meminimalisir peningkatan stres akademik pada
mahasiswa.
50
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Stres Akademik pada Mahasiswa yang Mengikuti Organisasi dan School from Home
Priskilla Narendra Wijaya, Noval Achmad Muamar Pamungkas, Dhea Karina Pramesta
Saran
Saran yang dapat disampaikan terkait penelitian ini
adalah individu, khususnya mahasiswa yang aktif
dalam organisasi dan menerapkan sistem perkuliahan
daring atau school from home dapat mencari alternative
strategi coping yang baik. Selain itu, individu tersebut
juga dapat meningkatkan kemampuan kecerdasan
emosional yang dimilikinya sehingga stres akademik
yang dirasakan juga semakin rendah. Hasil dari
penelitian ini juga dapat dikembangkan dalam
penelitian yang membahas kecerdasan emosional dan
stres akademik, khususnya dengan metode
pembelajaran daring atau school from home. Selain itu,
diharapkan dalam penelitian selanjutnya, peneliti dapat
memperbanyak jumlah subjek. Hal ini dapat dilakukan
agar data yang diperoleh bersifat lebih universal.
DAFTAR PUSTAKA
Agolla, J. E., & Ongori, H. (2009). An assessment of
academic stress among undergraduate students:
the case of university of Botswana. Educational
Research and Review, 4, 63-70.
Barseli, M., Ahmad, R., & Ifdil. (2018). Hubungan
stress akademik siswa dengan hasil
belajar.
Jurnal Pendidikan Indonesia, 4(1), 40-47.
Crosbie, T., Moore J. (2004).Work life balance and
working from home. Social Policy &
Society,
3(3), 223-233.
Gadzella, B. M. (1994). Student life stress inventory:
identification of and reaction to stressors.
Pyschological Reports, 74, 395-402.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: What it
can matter more than IQ. New York:
Bantam
Books.
Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence. London:
Bloomsbury Publishing.
Goleman, D. (1999). Working with emotional
intelligence. New York: Bloomsbury.
Gunawati, R. S & Listiara, A. (2006). Hubungan antara
efektivitas
komunikasi
mahasiswa
dosen
pembimbing utama skripsi dengan stress dalam
menyusun skripsi pada mahasiswa
program
studi psikologi fakultas kedokteran universitas
diponegoro. Jurnal Psikologi Undip, 3(2), 93-115.
Gunawati, R., Hartati, S., & Listiara, A. (2006).
Hubungan
antara
efektivitas
komunikasi
mahasiswa-dosen utama pembimbing skripsi
dengan stres dalam menyusun skripsi pada
mahasiswa program studi psikologi universitas
diponegoro.
Jurnal
Psikologi
Universitas
Diponegoro, 93115.
Jannah, M. (2018). Metodologi penelitian kuantitatif
untuk psikologi. Surabaya: UNESA Press.
Julika, S., & Setiyawati, D. (2019). Kecerdasan
emosional, stres akademik, dan kesejahteraan
subjektif pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal
of Psychology (GAMAJOP), 5(1), 50-59.
Kholidah, E. N., & Alsa, A. (2012). Berpikir positif
untuk menurunkan stres psikologis. Jurnal
Psikologi, 67-75.
Lazarus, R. S., Folkman, S. (1984). Stress, appraisal,
and coping. New York: Springer Publishing
Company.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1990). Emotional
intelligence.
Imagination, Cognition, and
Personality, 9(3), 185-211.
Megawati, P., & Yuwono, S. (2010). Hubungan Antara
Kecerdasan Emosi Dengan Stres Kerja Pada
Perawat ICU dan Perawat IGD. Indigenous: Jurnal
Ilmiah Psikologi, 169-178.
Muhnia, Isnah, W. O. N., & Hapsah. (2019).
Relationship between emotional intelligence with
stress level of first year student in Nursing Program
Study Medical Faculty Hasanuddin University.
Indonesian Contemporary Nursing Journal, 2(2),
1-10.
Sarafino, E. O., & Smith, T. W. (2012). Health
psychology: biopsychosocial interactions.New
Jersey: John Wiley & Sons.
Situmorang, G. C. I., & Desiningrum, D. R. (2018).
Hubungan antara kecerdasan emosional dengan
coping stress pada mahasiswa tingkat pertama
jurusan musik di Institut Seni Indonesia
Yogyakarta. Jurnal Empati, 7(3), 279-285.
Sofyanti, R., & Prihastuti. (2017). Pengaruh
kecerdasan emosi dan efikasi diri terhadap stres
akademik di Madrasah Aliyah Nurul Islam Desa
Bades Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang.
Jurnal Psikologi dan Perkembangan, 6, 24-39.
Sun J., Dunne M. P., Hou, X. E., Xu, A. Q. (2011).
Educational stress scale for adolescent:
development, validity, and reability with Chinese
student. Journal of
Psychoeducational
Assesment, 29(6), 534-546.
Wilks, S. E. (2008). Resilience amid academic stress:
the moderating impact of social support among
social works students. Advances in Social Work,
9(2), 106-125.
51
INTEGRASI PENDIDIKAN LIFE SKILL DENGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK
MENGUATKAN KARAKTER SISWA SEKOLAH DASAR
Erika Maulita Zuliyawati
SD Islam Terpadu At-Taqwa 2 Surabaya, erikamaulitaz95@gmail.com
Ani Setiya Agustin
SD Sampoerna Academy Surabaya, anisetiya08@gmail.com
Galih Majesty Erawan
SD Laboratorium Unesa Surabaya, galiherawan@gmail.com
Abstrak
Pembelajaran jarak jauh sebagai dampak wabah Covid-19 mengubah fokus pendidikan di Indonesia.
Penyelenggaraan pendidikan saat ini berfokus pada kecakapan hidup (life skill) yang terkait dengan
pandemi Covid-19. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pembelajaran yang dapat
dirancang oleh guru dengan mengintegrasikan pendidikan life skill dan pembelajaran matematika
untuk menguatkan pendidikan karakter di era merdeka belajar. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi pustaka. Hasilnya, pendidikan life skill di sekolah dasar dapat
diintegrasikan dengan mata pelajaran Matematika. Aktivitas sederhana untuk mengembangkan life
skill yang dapat diajarkan kepada siswa sekolah dasar adalah menyapu. Melalui aktivitas tersebut,
terdapat konsep Matematika yang dapat dipelajari oleh siswa sekaligus terdapat kemampuan yang
dapat dikembangkan oleh siswa. Konsep Matematika yang dipelajari yaitu jenis-jenis bangun datar,
konsep luas bangun datar, dan pengukuran bangun datar dengan satuan tidak baku. Selain itu,
kemampuan siswa yang dapat dikembangkan adalah kemampuan spasial. Integrasi pendidikan life
skill dengan pembelajaran Matematika dapat menguatkan karakter siswa, di antaranya karakter
tanggung jawab, peduli, dan mandiri.
Kata Kunci: Life Skill, Pembelajaran Matematika, Karakter.
PENDAHULUAN
Covid-19 atau Corona Viruse Disease merupakan salah
satu wabah penyakit yang menyerang manusia hampir
di seluruh dunia. Virus tersebut tergolong baru dan
belum ditemukan vaksin untuk pengobatan dari efek
yang ditimbulkan. Wabah Covid-19 muncul pertama
kali di Kota Wuhan, China dengan kasus pertama pada
bulan November 2019. Penyebaran virus tersebut dapat
melalui percikan air liur saat berbicara atau bersin
sehingga penyebarannya sulit untuk dihentikan (WHO,
2020). Beberapa negara yang terdampak virus ini,
melakukan lockdown sebagai salah satu upaya untuk
menghentikan penyebaran Covid-19.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena
pandemik virus corona. Masyarakat positif corona
pertama kali masuk pada awal bulan Maret tahun 2020
(CNN Indonesia, 2020). Penyebaran terjadi begitu
cepat sehingga objek-objek yang digunakan sebagai
tempat bersosialisasi masyarakat terpaksa harus ditutup
dan dihindari. Pemerintah pun mengambil tindakan
untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Beberapa
perusahaan terpaksa harus berhenti beroperasi agar
menghentikan penyebaran virus. Selain itu, anak-anak
yang bersekolah terpaksa harus dirumahkan mulai
tanggal 16 Maret (CNN Indonesia, 2020). Terdapat 61
negara yang telah menutup sekolah untuk
meminimalisir penyebaran pada bulan Maret 2020
(UNESCO, 2020). Berdasarkan data dari google news,
terdapat 147.000 kasus terkonfirmasi positif corona per
tanggal 21 Agustus 2020 di Negara Indonesia.
Wabah
Covid-19
turut
memengaruhi
penyelenggaraan sekolah di Indonesia. Nadiem
Makarim, Menteri Pendidikan Indonesia mengeluarkan
Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan
kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran
Covid-19. Pada masa pandemik, siswa melakukan
proses pembelajaran jarak jauh dari rumah dengan
memanfaatkan teknologi yang dapat diakses dari
rumah. Pembelajaran dilakukan tanpa bertemu dengan
guru. Hal tersebut menjadi tantangan bagi guru dan
siswa, khususnya siswa sekolah dasar (SD) karena
mengalami perubahan dalam pelaksanaan pendidikan.
Perubahan tersebut membuat guru, siswa maupun
orang tua harus bertindak dalam merespon sikap dan
perilaku dengan cara cepat belajar hal yang baru demi
kelancaran proses pembelajaran siswa (Wiryanto,
2020).
Pembelajaran jarak jauh membutuhkan kerja sama
orang tua karena dalam pelaksanaannya karena guru
tidak dapat memantau siswa secara langsung.
Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu inovasi
52
Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar
Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan
pendidikan dalam menghadapi ketersediaan sumber
belajar yang variatif dan bergantung pada infrastruktur
teknologi yang dimiliki (Dewi, 2020). Pembelajaran
jarak jauh menjadi tantangan guru untuk
mentransformasi materi kepada siswa menggunakan
teknologi.
Pembelajaran jarak jauh hanya mempertemukan
siswa dan guru secara virtual tanpa berhadapan
langsung. Pembelajaran di rumah melibatkan orang tua
dalam persiapan maupun pelaksanaannya. Namun
demikian guru tetap mencari cara terbaik untuk
memberikan pembelajaran jarak jauh yang bermakna
bagi siswa. Terdapat dua faktor yang dapat
memengaruhi keberhasilan siswa dalam melakukan
pembelajaran jarak jauh yaitu faktor lingkungan dan
karakteristik siswa (Nakayama, Yamamoto, dan
Santiago, 2007). Faktor lingkungan yang dimaksud
adalah kesiapan dan kerja sama orang tua dalam
mendampingi siswa selama pembelajaran serta
memberikan fasilitas agar siswa dapat mengikuti
pembelajaran jarak jauh. Sementara itu, faktor
karakteristik siswa yang dimaksud adalah antusiasme
siswa dalam mengikuti pembelajaran jarak jauh. Jika
siswa semangat, maka mereka dapat mengikuti
pembelajaran dengan lebih mudah.
Siswa SD dengan rata-rata umur 6-11 tahun sangat
membutuhkan proses pembelajaran yang konkrit
karena mereka sedang mengalami tahap operasional
konkrit (Bujuri, 2018). Hal tersebut tentu menjadi
tantangan untuk siswa ketika tidak bisa bertatap muka
dan mengikuti instruksi guru secara langsung. Siswa
membutuhkan benda yang konkrit dalam pembelajaran
dan aktivitas yang dapat mereka lakukan agar
pembelajaran menjadi bermakna. Pada umumnya,
siswa SD akan mudah jenuh jika guru memberikan
sesuatu yang abstrak dan tidak dapat dibayangkan oleh
siswa.
Guru menjadi salah satu peran yang penting dalam
pembelajaran (Anwar, 2012). Pada pembelajaran jarak
jauh, guru memegang peran penting dalam berinovasi
dan berkreasi dengan cepat terkait metode atau model
pembelajaran apa yang akan digunakan dalam
pembelajaran jarak jauh. Terlebih lagi, adanya gagasan
“Merdeka Belajar” oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nadiem Makariem semakin mendukung
guru untuk bebas menggunakan sumber belajar dalam
pembelajaran (https://gtk.kemdikbud.go.id/, 2020).
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang
digunakan pada era merdeka belajar lebih dipersingkat
sehingga guru lebih bebas berkeksplorasi dalam
kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan
materi. Inovasi pembelajaran oleh guru saat ini sangat
diperlukan untuk tetap mencapai tujuan pendidikan
Indonesia meskipun dalam keadaan pembelajaran jarak
jauh (Dewi, 2020).
Proses pembelajaran yang dilakukan dari rumah
membuat siswa banyak beraktivitas di rumah dan
subjek yang ditemui oleh siswa secara nyata adalah
orang tua (Abdussomad, 2020). Hal ini bisa menjadi
kesempatan untuk menguatkan pendidikan kecakapan
hidup (life skill) anak. Pendidikan life skill merupakan
proses belajar tentang kecakapan hidup yang harus
dimiliki oleh siswa sehingga siswa mudah beradaptasi
di tengah masyarakat (Yuliwulanda, 2017). Dalam hal
ini, siswa tidak hanya pandai secara intelektual, namun
diharuskan untuk terampil dan mandiri pada era
sekarang (Desy dkk, 2019). Pendidikan life skill dapat
diajarkan dimana saja sesuai dengan tujuan. Terdapat
dua jenis pendidikan life skill, yaitu: 1) kecakapan
hidup general (generic life skill), dan 2) kecakapan
hidup spesifik (specific life skill). Generic life skill yaitu
kecakapan hidup yang mencakup kecakapan personal
dan sosial. Specific life skill mencakup kecakapan
vokasional dan akademik. Spesific life skill dibutuhkan
dalam suatu pekerjaan atau keahlian tertentu
(Depdiknas, 2007).
Siswa pada tingkat SD sampai SMP masih
difokuskan pada kecakapan hidup general (generic life
skill). Pendidikan life skill yang dikuatkan pada siswa
tingkat SD masih sangat sederhana (Anwar, 2006).
Siswa akan melakukan pekerjaan sesuai dengan
kebutuhannya untuk mengenal dirinya sendiri seperti
merapikan tempat tidurnya sendiri, menyapu kamarnya
sendiri, menjaga barangnya sendiri, dan lain-lain.
Semakin tinggi tingkat pendidikan siswa maka
pendidikan life skill yang harus dikuasai atau
ditingkatkan akan semakin kompleks seperti kecakapan
dalam berfikir rasional dan kepeduliaan terhadap
masyarakat yang lebih luas.
Pada pembelajaran jarak jauh, mayoritas siswa
berinteraksi dengan orang tua atau saudara di rumah. Di
dalam rumah, mereka tentu memiliki barang-barang
pribadi yang dapat menjadi objek untuk menguatkan
life skill kemandirian siswa. Hal ini menjadi
kesempatan yang baik bagi guru dan orang tua untuk
menguatkan life skill siswa sehingga siswa dapat lebih
mudah beradaptasi dengan lingkungan masyarakat
karena adanya pendidikan life skill yang diajarkan sejak
dini.
Berdasarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020
tentang pelaksanaan kebijakan Pendidikan dalam masa
darurat penyebaran Covid-19 yang dikeluarkan oleh
Kemendikbud, saat belajar dari rumah siswa
difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup (life
53
Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar
Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan
skill) yang terkait dengan pandemik Covid-19.
Pendidikan life skill penting diterapkan untuk siswa.
Guru harus dapat berinovasi dalam menguatkan life
skill siswa dalam pembelajaran jarak jauh. Guru dapat
berinovasi dengan mengintegrasikan pembelajaran
dengan life skill pada siswa (Depdiknas, 2003).
Pembelajaran yang dipilih adalah pembelajaran yang
sesuai dan dapat digunakan untuk menguatkan life skill
siswa.
Integrasi pembelajaran dengan life skill dapat
diterapkan pada siswa sekolah dasar. Guru merancang
pembelajaran pada mata pelajaran tertentu dan
diintegrasikan dengan life skill yang dapat dicapai oleh
siswa. Setiap gerakan atau aktivitas akan dihubungkan
dengan topik pada mata pelajaran tertentu. Selanjutnya,
pendidikan life skill yang diimplementasikan dengan
baik akan memengaruhi karakter siswa (Purnomo,
2019). Terdapat lima karakter utama yang menjadi
target Kemendikbud untuk seluruh siswa di Indonesia
yaitu karakter religius, nasionalis, integritas, mandiri,
dan gotong royong. Karakter mandiri merupakan
karakter yang memungkinkan untuk dibangun pada
siswa sekolah dasar. Generic life skill dapat
memengaruhi karakter kemandirian siswa (Purnomo,
2019). Karakter mandiri merupakan karakter yang tidak
bergantung pada orang lain untuk mendapat kebutuhan
siswa sendiri dan menggunakan tenaga, pikiran, dan
waktu untuk mewujudkan harapan dan cita-cita.
Pembelajaran yang akan dibahas terkait integrasi
dengan life skill adalah mata pelajaran Matematika.
Pembelajaran Matematika bagi siswa sekolah dasar
dapat dijadikan dasar dari mata pelajaran lain, berguna
untuk kepentingan hidup di lingkungannya, dan
mengembangkan pola pikir siswa sekolah dasar (Karso,
2014). Pembelajaran matematika yang masih bersifat
abstrak akan menjadi konkret tidak hanya dengan
media tetapi dengan learning by doing atau siswa
beraktifitas akan membuat pembelajaran matematika
menjadi konkret dan lebih bermakna bagi siswa
(Yuhasriati, 2012).
Berdasarkan kondisi dan referensi di atas maka
dirumuskan masalah “Bagaimana integrasi pendidikan
life skill dengan pembelajaran Matematika dapat
menguatkan pendidikan karakter di era merdeka
belajar?”. Tujuan penelitian ini digunakan untuk
mengetahui pembelajaran yang dapat dirancang oleh
guru dengan mengintegrasikan pendidikan life skill dan
pembelajaran matematika yang sesuai dengan kondisi
siswa untuk menguatkan pendidikan karakter di Era
Merdeka Belajar.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi pustaka. Studi pustaka memanfaatkan sumber
perpustakaan sebagai bahan untuk dikumpulkan,
dibaca, dicatat, dan diolah, sehingga tidak
menggunakan penelitian lapangan (Zed, 2004).
Penelitian studi pustaka ditunjukkan dengan ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Data yang diperoleh peneliti
langsung berupa teks atau angka, bukan pengetahuan
yang didapat dari kegiatan penelitian di lapangan, (2)
Data bersifat siap pakai, yang artinya peneliti langsung
bisa menggunakan data yang ada di perpustakaan. (3)
Data yang diperoleh merupakan sumber sekunder,
karena tidak orisinil dari lapangan, (4) Data tidak akan
berubah (berupa informasi statistik). Berdasarkan hal
tersebut, pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menelaah buku, jurnal, dan dokumen
lain yang relevan dengan topik penelitian.
PEMBAHASAN
Integrasi
Pendidikan
Life
skill
dengan
Pembelajaran Matematika
Pendidikan kecakapan hidup (life skill) menurut Olim
dan Ali (2007) merupakan salah satu upaya
meningkatkan kompetensi pribadi, akademik, sosial,
dan vokasional. Tujuannya adalah agar siswa mampu
memenuhi kebutuhan dan menghadapi tantangan
kehidupan secara efektif. Dalam menjalani kehidupan,
manusia tentu menghadapi permasalahan. Life skill
merupakan keterampilan seseorang dalam memahami
potensi dirinya dan menemukan alternatif untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Kemampuan
memecahkan masalah tersebut diharapkan tidak hanya
bermanfaat bagi diri sendiri, melainkan bermanfaat
bagi lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Nurhilmiyah (2018) menjelaskan bahwa life skill
penting dikuasai oleh anak sejak dini. Hal tersebut
membawa manfaat bagi pembentukan karakter anak.
Anak dengan penguasaan life skill akan memiliki
kompetensi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di
masa depan, bertanggung jawab terhadap hidupnya,
dan menjadi pribadi yang tanggap dalam mencapai
tujuan. Dengan demikian, ia akan menjadi pribadi
yang lebih mandiri.
Al-Twairqi dan Al-Salmi (2017) menjelaskan
bahwa semua keahlian (skill) apapun yang berguna di
rumah dan kehidupan pribadi manusia dapat
dipertimbangkan sebagai life skill. Jenis-jenis life skill
dapat dikategorikan menjadi: (1) keterampilan dalam
kehidupan sehari-hari, (2) keterampilan yang
berhubungan dengan pekerjaan, (3) keterampilan
pengembangan diri, dan (4) keterampilan sosial.
54
Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar
Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan
Dalam hal ini, jenis life skill yang menjadi pembahasan
adalah keterampilan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh keterampilan dalam kehidupan
sehari-hari adalah praktik kebiasaan hidup sehat. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Saravanakumar (2020)
bahwa life skill dapat mendukung masalah kesehatan
dengan merancang sebuah kegiatan yang memuat
informasi kesehatan dan nilai-nilai sosial yang
berpengaruh terhadap lingkungan sehingga dapat
memberikan kontribusi kepada individu untuk mampu
mempraktikkan hidup sehat dan bersih.
Pendidikan life skill saat ini menjadi perhatian di
Indonesia. Sehubungan dengan adanya wabah Covid19, kini sektor pendidikan sedang menerapkan
pembelajaran jarak jauh. Hal tersebut dilakukan
sebagai upaya meminimalisir penyebaran virus Covid19. Guru tidak dapat bertatap muka dengan siswa
secara langsung. Siswa belajar dari rumah, sehingga
banyak aktivitas dapat mereka lakukan di rumah.
Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 4 Tahun 2020 menjelaskan beberapa prinsip
dalam pembelajaran jarak jauh (belajar dari rumah),
seperti siswa tidak lagi dibebani dengan tuntutan
pencapaian kurikulum. Selain itu, kegiatan belajar
fokus kepada pendidikan kecakapan hidup (life skill),
termasuk life skill yang berkaitan dengan pandemik
Covid-19. Oleh karena itu, kegiatan life skill tentang
pola hidup bersih dan sehat memiliki urgensi yang
cukup besar untuk diterapkan di masa ini.
Salah satu kegiatan life skill yang mendukung pola
hidup bersih dan sehat adalah kegiatan menyapu.
Menyapu merupakan aktivitas sederhana yang dapat
diajarkan kepada siswa SD, mulai dari siswa kelas
rendah hingga kelas tinggi. Dengan menyapu, siswa
terlibat dalam upaya menjaga kebersihan dan
kesehatan. Kegiatan menyapu dapat diintegrasikan
dengan salah satu muatan pembelajaran, yakni
Matematika. Dengan integrasi ini, siswa mendapatkan
pengalaman belajar secara langsung melalui aktivitas
nyata dan melihat objek-objek secara konkrit. Terdapat
dua poin penting dalam integrasi antara pendidikan life
skill (kegiatan menyapu) dengan pembelajaran
Matematika. Pertama, dari segi konsep Matematika
yang dapat dipelajari siswa. Kedua, dari segi
pengembangan kemampuan spasial siswa.
Konsep Matematika yang dapat dipelajari oleh
siswa melalui aktivitas menyapu antara lain: (1) jenisjenis bangun datar sederhana, (2) konsep luas bangun
datar, dan (3) pengukuran luas dengan satuan tidak
baku. Pertama, jenis-jenis bangun datar sederhana.
Pada materi ini, siswa dapat mengenal jenis-jenis
bangun datar sederhana melalui kegiatan menyapu
dengan cara mengamati bentuk ubin yang ada di
rumah. Mereka dapat mengidentifikasi jenis bangun
datar pada lantai ruangan-ruangan rumah secara
langsung. Berikut adalah contoh bentuk ubin yang
berbentuk segi empat, segi tiga, dan segi lima.
Gambar 1. Jenis-jenis Bangun Datar
Kedua, konsep luas bangun datar. Pada saat
menyapu, siswa dapat diarahkan untuk mengamati
besar area (wilayah) yang disapu. Seberapa besar
keseluruhan area yang disapu menunjukkan luas area
tersebut. Dengan demikian siswa dapat memahami
konsep luas ruangan setelah siswa mengetahui besar
areanya. Lebih jauh lagi, siswa dapat mengidentifikasi
perbedaan luas sebuah ruangan dengan ruangan lain di
rumahnya setelah memahami konsep luas dengan
benar.
Ketiga, konsep pengukuran dengan satuan tidak
baku. Ketika menyapu, siswa mengamati lantai rumah
yang tertutupi ubin. Pengamatan tersebut dapat
mengarahkan kepada konsep pengukuran dengan
satuan tidak baku. Dalam konteks tersebut, satuan
tidak baku yang dapat digunakan untuk mengukur luas
ruangan adalah ubin. Dengan menghitung banyaknya
ubin yang menutupi lantai, akan dipahami bahwa
melakukan pengukuran dengan satuan tidak baku
dapat dilakukan dengan menghitung banyaknya satuan
tidak baku yang digunakan untuk menutupi sebuah
area atau permukaan. Sehingga siswa dapat mengukur
luas lantai dengan menghitung banyaknya ubin yang
ada (sebagai satuan tidak baku).
Selain mempelajari konsep Matematika melalui
aktivitas menyapu, siswa juga dapat mengembangkan
kemampuan spasialnya. Putri (2017) menjelaskan
bahwa salah satu kemampuan geometri yang berkaitan
dengan bangun datar dan bangun ruang adalah
kemampuan spasial. Di antara indikator kemampuan
spasial adalah mengekplorasi arah, orientasi, dan
perspektif objek dalam ruang. Pada saat menyapu,
siswa melangkahkan kakinya dan bergerak dengan
arah tertentu. Di situlah mereka berkesempatana
mempelajari arah (kanan, kiri, atas, bawah) dan
gerakan (maju, mundur, lurus, belok) secara nyata.
Dengan demikian, pengalaman ini akan mendorong
siswa mengembangkan kemampuan spasialnya. Lebih
lanjut, Putri dkk, (2020) menjelasakan bahwa
kemampuan spasial bermanfaat bagi siswa untuk
55
Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar
Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan
membantu mereka memecahkan masalah yang
ditemui, baik masalah matematika maupun
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Life Skill
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
(Kemdikbud) membuat suatu program yakni
Penguatan Pendidikan Karakter yang bertujuan untuk
memperkuat karakter siswa sesuai dengan budaya dan
Pancasila. Karakter menurut Rosidatun (2018)
merupakan nilai dasar dalam diri seseorang yang
tampak pada perilakunya dalam kehidupan sehari-hari,
yang dipengaruhi oleh faktor hereditas maupun
lingkungan. Pendidikan karakter dilakukan sebagai
upaya untuk membantu siswa menguatkan karakter
mulia dalam dirinya. Karakter yang digaungkan oleh
Kemdikbud antara lain karakter religius, nasionalis,
integritas, gotong royong, dan mandiri.
Hasan, dkk (2010) menjelaskan bahwa
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter
dapat diimplementasikan pada kurikulum sekolah
melalui beberapa cara, di antaranya melalui program
pengembangan diri, melalui pengintegrasian dengan
mata pelajaran, dan melalui budaya sekolah.
Pelaksanaan
pendidikan
karakter
melalui
pengembangan diri dapat dilakukan dengan
menginternalisasikannya
ke
dalam
kegiatan
keseharian. Salah satu kegiatan keseharian yang dapat
dilakukan oleh siswa SD adalah kegiatan life skill
menyapu. Melalui aktivitas menyapu, terdapat nilainilai karakter yang dapat dikembangkan, antara lain
tanggung jawab, peduli, dan mandiri.
Nilai karakter yang pertama adalah tanggung
jawab. Tanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu
bentuk kesadaran terhadap kewajiban, maupun
penerimaan konsekuensi terhadap pilihan. Nilai ini
dapat dikembangkan manakala seorang individu
merasa memiliki suatu objek. Seorang siswa yang
berpikir bahwa kamar tidur atau ruangan di rumah
yang dimilikinya terlihat kotor memiliki pilihan untuk
membersihkannya atau membiarkannya. Kedua
pilihan tersebut memiliki konsekuensi masing-masing.
Ketika siswa merasakan bahwa ruangan tersebut
miliknya dan mengingkan kenyamanan selama berada
di dalamnya maka tentu ia memilih untuk
membersihkannya. Kesadaran demikian yang dapat
ditanamkan kepada siswa sehingga dapat menguatkan
nilai tanggung jawab yang ada dalam dirinya.
Nilai karakter yang kedua adalah peduli. Peduli
merupakan suatu kemauan untuk terlibat dalam
keadaan atau kondisi yang sedang terjadi di sekitar.
Kegiatan menyapu merupakan salah satu wujud
kepeduliaan terhadap lingkungan sekitar. Siswa yang
peduli tidak akan membiarkan rumah atau
lingkungannya kotor. Mereka memahami bahwa
menyapu membuat rumah menjadi bersih dan
terhindar dari kuman penyakit. Dengan demikian,
mereka turut berpartisipasi terhadap kesehatan diri dan
anggota keluarganya.
Nilai karakter yang ketiga adalah mandiri. Mandiri
merupakan sikap yang membawa seseorang untuk
mampu melakukan sesuatu tanpa bergantung pada
orang lain. Kemandirian anak yang masih usia dini
masih terbatas sebagai akibat dari perkembangan
motoriknya. Namun, ketika memasuki usia sekolah
dasar,
seorang anak perlu dilatih untuk
mengembangkan karakter mandiri pada dirinya. Salah
satu caranya adalah dengan mengajarkan kegiatan
menyapu. Saat menyapu siswa berlatih mandiri karena
ketika menginginkan sesuatu, sebagai contoh ruangan
yang bersih dan nyaman, mereka menyadari bahwa
dirinya mampu menghadirkan ruangan yang bersih
secara mandiri dengan cara menyapu ruangan tersebut.
PENUTUP
Simpulan
Pendidikan life skill dibutuhkan dalam masa pandemi
ini. Agar Pendidikan life skill menjadi lebih bermakna,
dapat diintegrasikan dengan pembelajaran. Salah satu
mata pelajaran yang dapat diintegrasikan adalah
Matematika. Sehingga secara tidak langsung, ketika
siswa melakukan aktivitas untuk menguatkan life skill
dirinya, mereka juga bisa mempelajari konsep-konsep
dalam Matematika. Hal tersebut akan memudahkan
siswa karena siswa mempelajari sesuatu hal yang baru
melalui pengalaman dan pengamatan benda konkrit.
Selain mempelajari konsep baru, aktivitas life skill juga
dapat menguatkan karakter siswa.
Saran
Dalam pengembangan penelitian ini, diharapkan guru
kreatif dalam mengeksplorasi dan mengintegrasikan
aktivitas lain dalam pendidikan life skill dengan
beragam mata pelajaran. Dengan demikian, siswa dapat
melakukan aktivitas life skill dengan penuh makna
karena siswa juga mendapatkan pengetahuan baru yang
bermanfaat bagi dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Twairqi, N.W., & Al-Salmi, N.M. (2017). Teaching
Life Skills for Students. Amazon: E-Kutub Ltd.
Anwar. (2006). Pendidikan Kecakapan Hidup Konsep
dan Aplikasi. Alfabeta. Bandung.
56
Integrasi Pendidikan Life Skill dengan Pembelajaran Matematika untuk Menguatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar
Erika Maulita Zuliyawati, Ani Setiya Agustin, Galih Majesty Erawan
BBC News. (2020). Update virus corona: Kurva, data,
peta pasien terinfeksi, meninggal, dan sembuh di
Indonesia
serta
Dunia.
(online)
(https://www.bbc.com/indonesia/indonesia518501
13 diakses pada 21 Agustus 2020).
Bujuri, D. A. (2018). Analisis Perkembangan Kognitif
Anak Usia Dasar dan Implikasinya dalam Kegiatan
Belajar Mengajar. Jurnal Literasi, 9 (1), 37-50.
Depdiknas. (2007). Konsep Pengembangan Model
Integrasi Kurikulum Pendidikan Kecakapan
Hidup.
Jakarta:
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pusat Kurikulum.
Dewi, W. A. F. (2020). Dampak COVID-19 Terhadap
Implementasi Pembelajaran Daring di Sekolah
Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan 2 (1), 55-61.
Hasan, S.H., dkk. (2010). Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional.
Karso, H. (2014). Pembelajaran Matematika di SD.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013).
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013.
Jakarta: Kemendikbud.
Savaranakumar, A.R. (2020). Life Skill Education
Through Lifelong Learning. Raleigh: Lulu
Publication.
World Health Organization. (2020). WHO DirectorGeneral’s Opening Remarks at The Media Briefing
on
COVID-1d9.
(online).
(https://www.who.int/dg/speeches/detail/whodirec
tor-generals-opening-remarks-at-themediabriefing-on-covid-19---21-Agustus-2020)
diakses pada 21 Agustus 2020.
Yuhasriati.
(2007).
Relevansi
Pembelajaran
Marematika Realistik (PMR) dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Disajikan
dalam Seminar Nasional Pendidikan Matemátika
Realistik (PMRI) Jurusan Pendidikan Matemática
FKIP Unsyiah di Banda Aceh, diakses pada 20
Agustus 2020.
Yuliwulandana, N. (2017). Pengembangan Muatan
Kecakapan Hidup (Life Skill) Pada Pembelajaran
Di Sekolah. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 12 (2), 191206.
Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2020). Surat Edaran Nomor 4 Tahun
2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan
dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus
Disease (COVID-19).
Nakayama, M., Yamamoto, H., & Santiago, R. (2007).
The Impact of Learner Characteristics on Learning
Performance in Hybrid Courses among Japanese
Students. Electronic Journal e-Learning, 5 (3),
195-206.
Nurhilmiyah. (2018). Kapita Selekta Pendidikan:
Menelaah Fenomena Pendidikan Indonesia dari
Pelbagai Disiplin Ilmu. Surabaya: Mitra Mandiri
Persada.
Olim, A. & Ali, M. (2007). Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan. Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama.
Purnomo, Sutrimo. (2019). Pendidikan Karakter Di
Indonesia: Antara Asa Dan Realita. Jurnal
Kependidikan, 2 (2), 66-84.
Putri, H.E. (2017). Pendekatan Concrete-PictorialAbstract
(PCA),
Kemampuan-Kemampuan
Matematis, dan Rancangan Pembelajarannya.
Sumedang: UPI Sumedang Press.
Putri, H.E. dkk. (2020). Kemampuan-Kemampuan
Matematis dan Pengembangan Instrumennya.
Sumedang: UPI Sumedang Press.
Rosdiatun. (2018). Model Implementasi Pendidikan
Karakter. Gresik: Caremedia Communication.
57
PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PROKRASTINASI AKADEMIK MAHASISWA
PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA ANGKATAN 2017
Bella Ayu Dianti Priastuty
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Bella.17010664053@mhs.unesa.ac.id
Nur Hidayah Astriani
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Nur.17010664058@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Mahasiswa merupakan individu dengan kadar keingintahuan tinggi sehingga dituntut untuk mampu
aktif dan kritis dalam mengatur diri dan waktunya serta mampu menyelesaikan berbagai jenis
permasalahan yang ditemui dan tidak mudah menjadi mahasiswa. Maka tidak jarang ada beberapa
orang yang tidak bisa memenuhi dengan baik dan keseluruhan tuntutan tersebut. Salah satu perilaku
yang muncul yang diakibatkan hal tersebut adalah prokrastinasi akademik. Perilaku tersebut dapat
muncul jika seorang individu tidak mampu melakukan kontrol dirinya dengan baik saat dihadapkan
dengan standar dan tuntutan sebagai mahasiswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh dari kontrol diri dengan perilaku prokastinasi akademik mahasiswa yang berada pada
Jurusan Psikologi angkatan 2017 Universitas Negeri Surabaya. Metode penelitian yang digunakan
adalah kuantitatif deskriptif dengan populasi sejumlah 200 mahasiswa dan sampel sejumlah 60 orang
mahasiswa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai r-hitung sebesar 1.251 < r-tabel (1.84)
dengan nilai Deviation from Linearity sebesar 0.270 > 0.05. Hasil analisis hipotesis dengan nilai
signifikansi sebesar 0.000 < 0.05. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa antara
variabel kontrol diri dan prokrastinasi akademik memiliki hubungan yang linear dan terdapat
pengaruh antara kedua variabel tersebut.
Kata Kunci: Kontrol diri (self-control), prokrastinasi akademik, mahasiswa
PENDAHULUAN
Akademik dalam konteks sekolah mempunyai
pengertian yaitu segala hal yang mempunyai
keterkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan
yang perlu dikuasai oleh pelajar setelah mengikuti
proses belajar-mengajar. Dalam proses belajarmengajar terdapat aktivitas akademik, ialah aktivitas
proses pembelajaran dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan pembelajaran (Fauzi, 2019).
Pendidikan tinggi menurut Undang-undang Dasar
Republik Indonesia No. 12 Tahun 2013, Pasal 1 Ayat
6 adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor.
Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan
tinggi, yaitu dua tingkat di atas jenjang pendidikan
dasar dan satu tingkat di atas pendidikan menengah.
Pada tingkat perguruan tinggi ini, adapun tenaga
pengajarnya disebut dosen dan peserta didiknya
disebut mahasiswa (Amin, 2014)
Mahasiswa merupakan individu dengan kadar
keingintahuan tinggi sehingga dituntut untuk mampu
aktif dan kritis dalam mengatur diri dan waktunya serta
mampu menyelesaikan berbagai jenis permasalahan
yang ditemui. Menjadi mahasiswa juga diharapkan
dapat belajar secara individu dan mandiri. Mahasiswa
mandiri dapat diartikan yaitu mampu untuk membuat
perencanaan selama kuliah yakni: menentukan tujuan,
target nilai, strategi yang akan digunakan serta waktu
yang tepat dalam belajar. Menentukan sumber belajar
juga hal yang harus dikuasai mahasiswa dan mampu
untuk menjalankan segala rencara secara teratur adalah
pencapaian yang harus diraih.
Sebab itulah, banyak sekali akibat-akibat yang
terjadi yang dikarenakan masalah-masalah akibat
tuntutan untuk seorang mahasiswa. Ada beberapa yang
masih tidak mampu untuk menghadapi hal tersebut
atau memenuhi standar yang ada sebagai mahasiswa.
Sehingga hal yang dilakukan yaitu menghindari halhal yang membuat mahasiswa tertekan yaitu salah
satunya dengan menghindari tugas dan menunda
pengerjaan tugas tersebut atau biasa disebut dengan
prokasitnasi dalam hal akademik.
Menurut Ghufron and Risnawati (2010)
prokrastinasi akademik ialah suatu perilaku yang
ditunjukkan dari kecenderungan untuk menundanunda suatu pekerjaan atau tugas untuk diselesaikan
secara langsung dengan berbagai alasan dengan
mengabaikan kewajibannya dalam menyelesaikan
tugas yang ada. Alasan penundaan tugas yang
diberikan ini bisa bermacam-macam, entah lebih
memilih untuk berjalan-jalan bersama teman atau
hanya sekedar rebahan dan bersantai. Semuanya
termasuk dalam prokastinasi akademik jika bentuk
58
Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017
Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani
perilakunya yaitu menunda pekerjaan atau tugas demi
suatu alasan yang tidak penting hanya untuk
menghindari tugas tersebut.
Dalam mengukur prokrastinasi akademik, Menurut
Ferrari, dkk dalam (Kartadinata, 2008) terdapat
beberapa aspek, yaitu:
a. Preceived time
Individu dengan kecenderungan prokrastinasi
merupakan orang yang gagal dalam menempati
batas waktu pengerjaan. Menunda mengerjakan dan
menyelesaikan tugas membuat individu dengan
kecenderungan prokrastinasi akan gagal dalam
memperkirakan waktu yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan tugas.
b. Intention-action (keinginan – tindakan)
Seorang dengan kecenderungan prokrastinasi
mempunyai kesulitan dalam melakukan pekerjaan
sesuai batas waktu. Dalam hal ini, mahasiswa
mungkin memiliki perencanaan untuk mulai
mengerjakan tugasnya pada waktu yang ia tentukan,
namun saat waktu tersebut datang ia tidak
melakukan rencananya sehingga mengakibatkan
keterlambatan dan hasil yang didapat tidak
maksimal.
c. Emotional distress (perasaan cemas)
Seorang yang melakukan prokrastinasi akan
merasakan perasaan tidak nyaman sehingga dapat
memicu kecemasan. Saat ia sadar waktu untuk
mengerjakan tugas tidak tersisa banyak, ia akan
segera merasa cemas karena belum menyelesaikan
tugas.
d. Preceived ability (keyakinan pada kemampuan)
Rasa keraguan dalam diri dapat memicu seseorang
untuk melakukan prokrastinasi akademik. Perasaan
ini akan menguat jika ditambah rasa ketakutan
dengan kegagalan, hal ini membuat ia merasa tidak
mampu dan menyalahkan dirinya. Pengalaman
kegagalan akan membuat seseorang menghindari
tugas-tugas sekolah karena takut merasa gagal dan
tidak berguna.
Beberapa aspek perilaku prokrastinasi akademik
tersebut dapat terjadi karena ketidakmampuan individu
dalam mengontrol perilaku dan dirinya sendiri saat
mengalami tuntutan dan standar menjadi seorang
mahasiswa. Ada beberapa area yang rawan terjadi
prokrastinasi akademik, enam area yang rawan terjadi
prokrastinasi akademik oleh siswa menurut (Solomon,
1984) adalah : a) Tugas menulis, b) Belajar menghadapi
ujian, c) Tugas membaca per minggu, dan d) Tugas
administratif.
Menghindari area-area yang sering terjadi
prokrastinasi dengan melakukan perencanaan serta
pelaksaan yang tepat akan medapatkan pencapaian
akademik. Mendapatkan pencapaian dalam dunia
akademik sesuai dengan yang direncanakan pun
tentunya bukan sesuatu hal yang mudah, diperlukan
konsistensi dalam belajar serta kontrol diri yang baik
dalam mengendalikan diri. Karena itulah kontrol diri ini
sangat penting ada terutama sebagai mahasiswa untuk
menghindari perilaki prokrastinasi dam mencapai suatu
hal yang tinggi.
Kontrol diri menurut Lazarus (dalam Bachri, 2010)
merupakan keputusan yang dilakukan oleh individu
dengan mempertimbangkan kognitif demi menyatukan
perilaku yang telah direncanakan guna meningkatkan
hasil dan mewujudkan tujuan tertentu seperti apa yang
telah dirancang sebelumnya. Keputusan tepat yang
diambil oleh individu tidak terlepas dengan pentingnya
kognitif agar mengetahui cara yang tepat dalam
menuntun perilaku apa yang dapat meningkatkan dan
memaksimalkan hasil yang akan diperoleh.
Gleitman
1999
(dalam
Bachri,
2010)
mendefinisikan kontrol diri yaitu kemampuan seorang
individu dalam melakukan suatu hal yang diinginkan
dengan melakukan tanpa mengalami halangan baik
oleh rintangan maupun kekuatan yang berasal dari
dalam diri individu itu sendiri. Seseorang yang
mempunyai kontrol diri baik dapat mengetahui hal apa
saja yang ingin ia lakukan dengan melakukan perbuatan
yang mendukung keinginanya tersebut. Kontrol diri
memiliki keterkaitan erat dengan keterampilan
emosional dalam diri individu.
Menurut Goleman, 1997 (dalam Bachri, 2010)
keterampilan emosional mencakup beberapa hal, yaitu:
pengendalian diri, semangat dan ketekunan,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi
frustasi,
kesanggupan
untuk
mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir, dapat memberikan empati pada
orang lain serta berdoa untuk kebaikannya, memelihara
hubungan dengan sebaik-baiknya, dan kemampuan
untuk mennyelesaikan konflik.
Adapun aspek-aspek kontrol diri menurut
(Adeonalia, 2002) yaitu:
a. Kemampuan mengontrol perilaku
Peran perilaku dalam kehidupan adalah sangat
penting, oleh sebab itu jika perilaku individu tidak
dapat terkontrol dengan baik, maka akan
menimbulkan perilaku menyimpang. Namun
kemampuan untuk mengontrol perilaku tiap
individu berbeda dengan individu lain,
b. Kemampuan mengontrol stimulus
59
Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017
Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani
Dalam kehidupan seorang individu terdapat
berbagai bentuk stimulus yang selalu diterima.
Stimulus yang masuk harus dikontrol dengan baik
yaitu dapat menyaring stimulus mana yang harus
ditolak dan stimulus mana yang harus diterima.
c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa
Permasalahan akan selalu datang dalam kehidupan
individu, oleh sebab itu kemampuan mengantisipasi
peristiwa yang dapat menimbulkan masalah harus
bisa diantisipasi dengan baik.
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa
Kemampuan menafsirkan adalah skill yang harus
dimiliki individu untuk dapat mengartikan dan
memaknai apa yang terjadi dalam hidupnya. Hal ini
agar individu mampu untuk menjalani peristiwa
yang ada dihidupnya dan dapat mengetahui langkah
apa yang harus dilakukan selanjutnya.
e. Kemampuan mengambil keputusan
Setiap individu akans selalu dihadapkan dengan
pilihan. Oleh karenanya setiap individu harus
mempunyai kemampuan untuk memutuskan mana
pilihan yang tepat dengan mempertimbangkan
keputusan yang diambil akan mempunyai dampak
baik bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Berdasarkan pemaparan aspek-aspek di atas,
simpulan yang dapat diambil adalah jika setiap individu
memiliki kemampuan-kemampuan yang telah
disebutkan, maka individu tersebut mempunyai kontrol
diri yang baik sehingga dapat terhindar dari masalah
yang tidak dikehendaki.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan
pendekatan korelasi. Menurut Azwar (2015)
Berdasarkan sifatnya penelitian ini adalah deskriptif.
Metode tersebut digunakan dengan pertimbangan
karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
dan menjelaskan keadaan subjek pada saat penelitian
sedang berlangsung didasarkan pada fakta yang
terdapat sebagaimana adanya di lapangan. Adapun
bentuk penelitian dalam penelitian ini adalah “studi
hubungan” yaitu menggunakan cara pengungkapan
bentuk hubungan timbal balik antar variabel yang
diteliti berupa mencari pengaruh antar variabel-variabel
yang diteliti. Sumber data yang kami ambil pada
penelitian ini adalah mahasiswa psikologi Unesa
angkatan
2017.
Pengumpulan data dengan
menggunakan kuesioner yang disebar pada subjek yang
kami teliti, sehingga diperoleh data primer.
Populasi dalam penelitian ini merupakan
mahasiswa jurusan psikologi Unesa Angkatan 2017
dengan jumlah 200 orang mahasiswa. Berdasarkan
jumlah populasi lebih dari 100, maka sampel diambil
sebanyak 25% dari populasi yang ada. Teknik sampling
yang digunakan dalam penelitian ini adalah random
sampling atau dengan setiap mahasiswa memiliki
peluang untuk dijadikan sampel secara proporsional
sebesar 25% untuk tiap kelas. Atas dasar itu maka
jumlah sampel penelitian adalah sebanyak 60
mahasiswa. Aitem dalam penelitian ini menggunakan
14 aitem untuk setiap variabel dengan jumlah 28 aitem
yang dibuat dengan menggunakan dasar aspek-aspek
dari setiap variabel. Kemudian ditarik indikator dan
dibuatlah aitem dari indikator tersebut yang nantinya
akan dijadikan kuisioner.
Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan
menghitung nilai r hitung dan uji reliabilitas
menggunakan Cronbach Alpha. Sedangkan untuk uji
normalitas menggunakan One-Sample KolmogorovSmirnov Test, uji linearitas menggunakan Anova Table
untuk melihat Deviation from Linearity. Adapun uji
hipotesis menggunakan teknik analisis regresi
sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan apakah
terdapat pengaruh kontrol diri pada prokrastinasi
akademik mahasiswa jurusan psikologi Unesa
angkatan 2017. Dalam penelitian ini menggunakan
metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif yang
menggunakan alat pengumpulan data berupa kuisioner.
Terdapat 60 sampel dari mahasiswa jurusan psikologi
Unesa angkatan 2017. Penelitian ini menggunakan
perhitungan statistik dengan aplikasi SPSS (Statistical
Product and Service Solutions) 25.0 sebagai alat
pendukung dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil uji SPSS mengenai r-hitung
untuk mengetahui validitas dari semua aitem. Untuk
perhitungan validitas, suatu aitem dikatakan valid jika
suatu aitem memiliki r-hitung > r-tabel. Pada penelitian
kami didapatkan data :
Tabel 1 Variabel X
R-HITUNG
0.376
0.553
0.809
0.417
0.688
0.506
0.655
0.466
0.320
0.714
0.725
0.607
0.618
R-TABEL
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
0.254
KETERANGAN
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
60
Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017
Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani
0.131
0.254
Pada uji normalitas data, menggunakan OneSample Kolmogorov-Smirnov Test pada SPSS. Uji
normalitas data digunakan untuk melihat apakah
residual dari penelitian ini memiliki nilai yang
berdistribusi normal atau tidak.
Tidak Valid
Tabel 2. Variabel Y
R-HITUNG
R-TABEL
KETERANGAN
0.708
0.254
Valid
0.669
0.254
Valid
0.512
0.254
Valid
0.794
0.254
Valid
0.715
0.254
Valid
0.262
0.254
Valid
0.506
0.254
Valid
0.736
0.254
Valid
0.318
0.254
Valid
0.074
0.254
Tidak Valid
0.391
0.254
Valid
0.415
0.254
Valid
0.458
0.254
Valid
0.690
0.254
Valid
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Data
Berdasarkan data yang terlihat pada tabel 1.1 dan
tabel 2.1 dapat dilihat bahwa validitas untuk variabel x
terdapat satu aitem tidak valid, begitupun dengan
variabel y yang juga memiliki satu aitem yang tidak
valid. Secara keseluruhan aitem. Terdapat dua aitem
yang tidak valid. Reliabilitas data adalah selanjutnya
untuk mengetahui kualitas aitem data dengan
menggunakan perhitungan SPPS dengan Cronbach
Alpha.
Tabel 3. Variabel Kontrol Diri (X)
Tabel 6. Hasil Uji Linearitas Data
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Dari hasil analisis data oleh SPSS dapat dilihat dari
tabel. 3 bahwa nilai Asymp Sig. (2-tailed) mempunyai
nilai signifikasi bernilai 0.200, yang mana nilai
tersebut lebih besar dari 0.05 (0.200 > 0-05). Maka
dapat disimpulkan bahwa nilai residual berdistribusi
normal.
Perhitungan lain yaitu hasil dari uji linearitas data
untuk menentukan apakah ada linearitas antara kontrol
diri (x) dengan prokrastinasi akademik (y) pada
mahasiswa jurusan psikologi UNESA.
N of Items
.815
14
Tabel 4. Var. Prokrastinasi Akademik (Y)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
.777
N of Items
14
Berdasarkan hasil pehitungan pada tabel 2.1 dan
2.2 di atas dapat dilihat bahwa variabel x dan y pada
penelitian ini dikatakan reliabel. Saat kuisioner
dikatakan reliabel jika Cronvach’s Alpha > 0.6. Pada
variabel kontrol diri (x) Cronbach’s Alpha 0.815 pada
tabel 2.1, yang mana hasil tersebut merupakan jumlah
dengan nilai > 0.6. Maka kuisioner dengan variabel x
ini bisa dikatakan reliabel (Cronvach’s Alpha 0.815 >
0.6). Untuk variabel prokrastinasi akademik (y)
Cronbach’s Alpha yaitu 0.777 pada tabel 2.2 yang
mana hasil tersebut merupakan jumlah dengan nilai
>0.6. Maka kuisioner dengan variabel y ini bisa
dikatakan reliabel (Cronvach’s Alpha 0.777 > 0.6).
Berdasarkan data yang telah diperoleh pada tabel 4
di atas, menunjukkan bahwa nilai Deviation from
Linearity mempunyai nilai sebesar 0.270 > 0.05, yang
mana nilai tersebut lebih besar dari 0.05. Hasil lainnya
diperoleh nilai f-hitung sebesar 1.251 jika
dibandingkan dengan f-tabel dengan nilai 1.84, maka
didapatkan bahwa r-hitung < r-tabel. Dari kedua data
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang linear antara kontrol diri (self-control)
dengan prokrastinasi akademik.
Hasil uji analisis regresi sederhana untuk
menunjukkan apakah terdapat pengaruh dari kedua
variabel yang diteliti dilihat dari hasil signifikan dan
koefisien korelasi dari kedua variabel tersebut.
61
Pengaruh Kontrol Diri terhadap Prokastinasi Akademik Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2017
Bella Ayu Dianti Priastuty, Nur Hidayah Astriani
Tabel 7. Hasil Uji Hipotesis
DAFTAR PUSTAKA
Adeonalia, G. (2002). Hubungan Antara Kontrol Diri
Dengan Kecanduan Internet. Jurnal Psikologi.
Amin, A. (2014). Sistem pembelajaran pendidikan
agama islam pada perguruan tinggi umum.
Yogyakarta: Deepublish.
Azwar, S. (2015). Metode penelitian. Yogyakarta:
C.V. Pustaka Belajar.
Berdasarkan hasil uji SPSS menunjukkan nilai
koefisien korelasi sebesar 0.748 dengan nilai
signifikansi yaitu 0.000 < 0.05. Kedua hal ini
menunjukkan adanya pengaruh antara variabel kontrol
diri (x) dengan prokrastinasi akademik (y). Pengaruh
dari kedua variabel ini adalah searah atau positif. Data
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kontrol
diri maka akan semakin rendah prokrastinasi akademik.
Sebaliknya, jika semakin rendah kontrol diri maka akan
semakin tinggi prokrastinasi akademik.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa nilai r-hitung sebesar 1.251 < r-tabel (1.84)
dengan nilai Deviation from Linearity sebesar 0.270 >
0.05. Hasil analisis hipotesis dengan nilai signifikansi
sebesar 0.000 < 0.05. Berdasarkan hasil tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa antara variabel kontrol diri
dan prokrastinasi akademik memiliki hubungan yang
linear dan terdapat pengaruh antara kedua variabel
tersebut. Semakin besar kontrol diri maka akan
semakin rendah prokrastinasi akademik yang
dilakukan, begitu pula sebaliknya. Semakin rendah
kontrol diri maka prokrastinasi akademik semakin
besar.
Bachri, S. (2010). Psikologi pendidikan berbasis
analisis empiris aplikatif. Jakarta: Prenada Media
Group.
Fauzi. (2019). Model pengawas sekolah yang
berkesan. Riau: PT. Indragiri Dot Com.
Ghufron, & Risnawati. (2010). Teori-teori psikologi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Kartadinata, I., & Sia, T. (2008). Prokrastinasi
Akademik dan Manajemen Waktu. Anima,
Indonesian Psychological Journal, 23.
Solomon, L. J., & Rothblum, E. D.
. (1984).
Academic procrastination: Frequency and
cognitive-behavioral correlates. Journal
of
Counseling Psychology, 31(4), 503-509.
Saran
Saran yang diberikan untuk para peneliti selanjutnya
untuk lebih memperluas jangkauan dari subjek,
sehingga akan didapatkan nilai yang lebih spesifik dan
lebih baik dengan jumlah subjek yang banyak pula
dengan gambaran yang lebih baik mengenai kontrol diri
dengan pokrastinasi akademik yang dialami oleh
mahasiswa.
Saran selanjutnya yaitu, untuk para peneliti
selanjutnya untuk menambahkan jangka waktu dalam
pengambilan data sehinggamenjadi lebih efektif
dengan sumber data yang jelas. Bisa juga untuk
menambahkan variabel dalam penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh atau hubungan variabel yang
lebih luas.
62
PEMBELAJARAN EMANSIPATORIS BAGI MAHASISWA DI PERGURUAN TINGGI BERBASIS
LITERASI DIGITAL DI ERA MERDEKA BELAJAR
Rr Nanik Setyowati
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya
naniksetyowati@unesa.ac.id
Abstrak
Mendikbud pada tahun 2020 mempunyai ide dengan merdeka belajar kampus merdeka yang
mempunyai tujuan mewujudkan tujuan dari UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Untuk
itu diperlukan pembaharuan paradigma pembelajaran yang bersifat emasipatoris. Pembelajaran
emansipatoris yaitu suatu model pendidikan yang memfokuskan diri pada aktivitas mahasiswa
(student centered) sehingga mahasiswa diberi ruang yang luas untuk bereksplorasi, menemukan
pengalaman baru dan berpikir kritis dalam menemukan dan memecahkan masalah yang ditemuinya
dalam sebuah pembelajaran holistik dan bermakna. Pendidikan emansipatoris berbasis literasi digital
adalah pendidikan yang merdeka, tidak mengekang dan tidak hanya sekedar belajar tentang
membaca, menulis atau pun berhitung semata. Jika mahasiswa mempunyai kemampuan berliterasi
digital maka akan akan mempunyai kemampuan berpikir kritis. Hal tersebut dapat dilihat dari
bagaimana proses literasi digital itu berlangsung. Ketika seseorang berliterasi digital, maka ia akan
masuk ke dalam dunia global melalui penggunaan internet dan menemukan informasi serta
pengetahuan baru. Secara tidak langsung, ia akan menggunakan proses berpikirnya dan mencari tahu
peristiwa apa yang sedang terjadi, mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa dampak dari peristiwa
yang sedang terjadi. Pada akhirnya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa akan mempunyai
karakter yang mandiri, disiplin dan bertanggung jawab yang semakin menguat. Melalui
pembelajaran emansipatoris berbabsis literasi digital diharapkan akan menguatkan pendidikan
karakter pada diri mahasiswa. Yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan
bernegara.
Kata Kunci: Pembelajaran Emansipatoris, Mahasiswa, PT, Berbasis Literasi Digital, Era Merdeka
Belajar,
PENDAHULUAN
Memasuki awal tahun 2020 telah terjadi pesgeseran
paradigma pendidikan di era merdeka belajar. Dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional pendidikan
sebagai amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mewujudkan
tujuan tersebut melalui kebijakan Merdeka Belajar –
Kampus Merdeka. Permendikbud Nomor 3 Tahun
2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi,
menjelaskan bahwa terdapat empat amanah kebijakan
terkait Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, yang
meliputi: kemudahan pembukaan program studi baru,
perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi,
perubahan perguruan tinggi menjadi badan hukum, dan
hak belajar tiga semester di luar program studi.
Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka
dilaksanakan dalam rangka mewujudkan proses
pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan
fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif,
tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan
mahasiswa. Kebijakan ini juga bertujuan untuk
meningkatkan link and match dengan dunia usaha dan
dunia industri, serta untuk mempersiapkan mahasiswa
dalam dunia kerja sejak awal. Melalui kebijakan
Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, Perguruan
Tinggi dituntut untuk merancang dan melaksanakan
proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa
dapat meraih capaian pembelajaran secara optimal.
Mahasiswa diberikan kebebasan mengambil SKS
pembelajaran di luar program studi selama tiga
semester, yang dapat diambil dari luar program studi
dalam satu Perguruan Tinggi (PT) dan/atau di luar PT.
(Direktorat Dikti, 2020).
Melalui kebijakan Merdeka Belajar – Kampus
Merdeka, Perguruan Tinggi dituntut untuk merancang
dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif
agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran
secara optimal. Untuk itulah diperlukan pergeseran
paradigma pembelajaran khususnya di Perguruan
Tinggi, khususnya di bidang pembelajaran. Menurut
Setyowati, Rr Nanik (2020:3) pergeseran paradigma
pembelajaran di perguruan tinggi seperti awalnya old
industrial education bergeser ke new normal
entrepreneurial education, dosen saat ini lebih sebagai
fasilitator. Dulu mahasiswa pasif, saat ini tidak boleh
lagi. dulu kelas terprogram sekarang harus lebih
fleksibel, Dulu tekanan pada teori, sekarang lebih pada
pekerjaan yang dilakukan mahasiswa. Dalam banyak
kasus (lihat Lewis, 2000; Accilar, 2011; Miah dan
63
Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar
Rr Nanik Setyowati
Omar, 2012; Heeks dan Stanforth, 2015), mahasiswa
dan pengajar di negara berkembang tampak seperti di
bawah tekanan oleh sebagian besar sistem pendidikan
untuk secara langsung menggunakan teknologi
digitaldengan kesempatan yang sangat terbatas.Baik
untuk mempertanyakan keunggulan teknologi digital
tersebut, atau merefleksikan peran teknologi tertentu
dalam mentransformasi pengajarandan proses
pembelajaran (Kalolo, 2019:346).
Berbicara pembelajaran yang inovatif, maka yang
diharapkan adalah proses belajar mengajar yang terjadi
di kampus yang pada akhirnya menghasilkan
mahasiswa yang kelak menjadi bagian dari masyarakat.
Masyarakat yang diinginkan adalah masyarakat madani
yang pada hakikatnya merupakan bentuk masyarakat
yang dialogis-emansipatoris dan mandiri. Dengan kata
lain masyarakat yang demokratis. Menurut Rukiyati
dan L. Andriyani (1000:143) untuk menuju masyarakat
tersebut diperlukan penyiapan SDM agar terkondisikan
untuk hidup mandiri di alam yang demokratis tersebut.
Dunia pendidikan merupakan wahana utama untuk
pembentukan insan-insan yang mandiri dan
demokratis. Dengan demikian pendidikan yang
diperlukan adalah pendidikan yang bersifat
emansipatoris
(membebaskan,
memerdekakan
manusia). Melalui pembelajaran emansipatoris
diharapkan penguatan pendidikan karakter akan
dimiliki oleh mahasiswa.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini
tergolong dalam penelitian kepustakaan. Data yang
digunakan dalam kajian ini berupa data kepustakaan
untuk membahas problematika yang telah dirumuskan.
Selanjutnya akan dianalisis melalui pendekatan content
analysis.
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Emansipatoris
Selama ini pembelajaran di sekolah dan kampus lebih
menitikberatkan pada menghafal, tidak membuka
peluang pada penalaran kritis. Kurikulum yang
sentalistik membuat dunia pendidikan menjadi seragam
dan menghasilkan lulusan yang yang apatis, tidak kritis
dan inovatif serta tidak kreatif. Kondisi pendidikan
yang tidak mendewasakan akan sulit dalam mencapai
masyarakat madani. Untuk itu diperlukan pergeseran
dalam dunia pendidikan yaitu dengan pendidikan
mansipatoris yaitu pendidikan yang bersifat
memberdayakan dan membebaskan (Rukiyati dan L.
Andriyanti (1999:145). Menurut Suprijono (2016)
pendidikan emansipatoris adalah suatu model
pendidikan yang memfokuskan diri pada aktivitas
peserta didik (student centered) sehingga siswa diberi
ruang yang luas untuk bereksplorasi, menemukan
pengalaman baru dan berpikir kritis dalam menemukan
dan memecahkan masalah yang ditemuinya dalam
sebuah pembelajaran holistik dan bermakna.
Pendekatan ini melibatkan cara berpikir, negosiasi, dan
transformasihubungan dalam pengajaran di kelas,
sertamenghasilkan pengetahuan, hubungan sosial, dan
material yang lebih luaspada komunitas, masyarakat,
dan negara-bangsa (Keesing-Styles, 2003:3).
Pendidikan emansipatoris di era digital adalah
pendidikan yang merdeka, tidak mengekang dan tidak
hanya sekedar belajar tentang membaca, menulis atau
pun berhitung semata. Namun lebih dari itu, pendidikan
di era ini menjadikan proses pembelajaran sebagai
aktivitas untuk berpikir kritis, berpikir kreatif,
kolaborasi dan berkomunikasi dengan individu lain
sehingga didapatkan kebermaknaan mendalam dalam
sebuah pembelajaran.
Pendidikan di abad ke-21 merupakan pendidikan
modern dengan pengetahuan dan kebutuhan
keterampilan yang beragam. Hal tersebut ditandai
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi seiring dengan adanya perkembangan zaman
yang juga merupakan sebuah tantangan besar dalam
dunia pendidikan. Kini, pendidikan tidak hanya
dipandang seagai sebuah sistem pengajaran ilmu
pengetahuan dari guru kepada siswa melainkan sebuah
kenyataan yang harus disadari bersama bahwa
pendidikan adalah sebuah proses holistik yang hidup
dan berkembang dalam diri peserta didik yang
bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
hidupnya di era saat ini dan masa depan.
Paradigma pendidikan modern di era digital
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Metode
pengajaran danproses pembelajaran di kelas berubah
dari gaya otokratis menjadi demokratis ataugaya
partisipatif dimana peserta didik berperan aktif
(Sharma, 2017:11). Dari belajar untuk mendapat nilai
menjadi belajar untuk memperbaiki norma agar
menjadi insan yang bernilai; dari belajar di ruang kelas
menjadi belajar dengan sumber dan lingkungan yang
luas; dari belajar hanya sekedar untuk calistung
(membaca, menulis dan berhitung) menjadi
pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan
berpikir kritis dan kreatif, pemecahan masalah,
kolaborasi, dan komunikasi agar menjadi insan yang
beruntung. Ketiga contoh perubahan paradigma
pendidikan tersebut mutlak harus disadari dan dimiliki
oleh setiap peserta didik agar bisa bertahan,
64
Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar
Rr Nanik Setyowati
berkembang dan memperbaiki kualitas hidupnya di
masa sekarang dan mendatang.
Pendidikan di era digital disebut juga sebagai
pendidikan emansipatoris yang dapat dimaknai sebagai
pendidikan yang mengarahkan siswa langsung pada
objek sehingga siswa secara sadar memahami apa yang
hendak ia pelajari. Pendidikan emasipatoris merupakan
pendidikan aktif dan kritis yang tidak menghendaki
transfer ilmu pengetahuan secara langsung oleh guru,
melainkan di dalamnya terdapat sebuah proses
konstruksi pengetahuan yang benar-benar dialami oleh
sisiwa. Hal tersebut dikarenakan adanya fakta bahwa
setiap peserta didik selalu mempunyai sikap need to
know (ingin tahu) need to show (ingin ditunjukkan) dan
need to be (ingin berperan secara langsung). Ketiga
perilaku tersebut hanya bisa dilakukan jika peserta
didik diberikan kesempatan untuk menemukan dan
belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
sehingga pada akhirnya siswa terlibat pada
pembelajaran mandiri (self-directed learning) serta
mampu mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan
yang mereka peroleh untuk menyelesaikan masalah
atau isu yang ada serta responsif terhadap segala
perubahan yang ada di sekitarnya.
Suprijono
(2016:27)
menyatakan
bahwa
pendidikan emansipatoris merupakan pendidikan
merdeka dimana siswa diberikan kebebasan yang luas
untuk menyadari keterampilan yang dimilkinya agar
selalu umbuh dan berkembang sesuai dengan
perkembangan diri dan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan tipe ini memberikan ruang dan waktu yang
ta terbatas untuk siswa agar mengenali dan mempelajari
lingkungan yang lebih global. Salah satu bentuk
penerapan pendidikan emansipatoris adalah pendidikan
transfromatif yang mengarahkan peserta didik bahwa
dirinya merupakan seseorang yang dinamis, berubah
serta terus menerus belajar untuk menjadi insan yang
bernilai, berkarakter, berketrampilan dan berguna di
kehidupannya kelak.
Pendidikan emansipatoris pada era digital seperti
saat ini mempunyai urgensi yang sangat penting
berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut.
1. Perubahan ilmu pengetahuan, teknologi dan
informasi yang selalu dinamis dan berkembang
yang aksesnya semakin mudah dengan adanya
jaringan internet dan global. Akses internet akan
memudahkan seseorang untuk terhubung dengan
siapapun dan mengakses informasi apapun.
2. Arus globalisasi dan modernisasi yang telah
memasuki budaya hidup masyarakat sehingga gaya
hidup kini semakin dinamis dan fleksibel yang
menyebabkan kehidupan individualistik sudah
tidak bisa digunakan lagi.
3. Tuntutan standar kualitas hidup yang semakin
tinggi
membuat
setiap
individu
harus
mengembangkan keterampilan berpikir, kreatif dan
mengoptimalkan kepribadian yang serba mumpuni
(multitalented) dan kompleks untuk kualitas hidup
yang lebih baik.
Pendidikan emansipatoris selalu merujuk pada
proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student
centered) yang menempatkan siswa subjek belajar serta
mampu merefleksikan apa yang ia pelajari sehingga
orientasi hasil proses pembelajaran tidak hanya sekedar
angka namun sebuah kebermaknaan yang holistik dan
internalisasi nilai dalam kehidupa nyata. Pembelajaran
interaktif berpusat pada siswa dibuat utuk
mengembangkan dan menggali potensi yang dimiliki
oleh setiap siswa sehingga filosofi pengembangan
pendidikan berkarakter yang terdiri atas olah hati atau
etika, olah pikir atau berliterasi, olah karsa atau estetika,
serta olah raga atau kinestetika dapat terlaksana dengan
maksimal.
B. Berbasis Literasi Digital
Literasi digital merupakan kemampuan menemukan,
menggali, dan memahami informasi serta pengetahuan
yang didapatkan dari sumber internet atau piranti
digital lainnya. Dikutip dari UNESO Institute of
Information Technologies in Education menyatakan
bahwa pertemuan para ahli pendidikan di Paris pada
tahun 2003 menyepakati literasi digital saat ini telah
memiliki definisi yang begitu luas dari definisi awal.
Literasi digital merupakan sebuah kemampuan untuk
mengidentifikasi,
memahami,
menginterpretasi,
mengkreasimengkomunikasi, dan menggunakan materi
atau informasi secara tertulis yang diasosiakan dengan
konteks yang bervariasi. Literasi melibatkan
pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus
yang memungkinkan individu untuk mengembangkan
kompetensi, dan berpartipasi penuh dalam masyarakat
yang lebih luas. (dalam Teng, 2018).
Literasi digital sebenarnya merupakan bagian dari
literasi media yang muncul pada tahun 1980-an yang
dikenl denngan istilah literasi komputer. Konsep
literasi digital mempunyai keterbatasan hanya pada
piranti komputer, hingga akhirnya muncullah sebuah
konsep baru yang terkait dengan penggunaan media
digital dan perangkat digital yang disebut dengan
literasi digital (Buckingham, 2006:45-46). Definisi dari
literasi digital memang sangat beragam dan tidak bisa
dipandang dari satu paradigma saja. Beberapa orang
memang memandang bahwa literasi digital merupakan
65
Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar
Rr Nanik Setyowati
kemampuan literasi baru yang mengandng beberapa
keterampilan
kompleks,
multidimensi
dan
direpresentasikan dalam praktik sosial. Namun pada
dasarnya secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses,
mengelola,
memahami,
mengintegrasikan,
berkomunikasi dan menggunakan teknologi digital
dengan kompetensi yang beragam.
Belshaw (2011) menyatakan bahwa ada delapan
elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital,
yaitu sebagai berikut.
1) Pemahaman beragam konteks yang ada pada dunia
digital.
2) Kognitif, yakni daya pikir atau pengetahuan
seseorang
3) Strukturisasi ilmu pengetahuan
4) Komunikasi dalam dunia maya dan global
5) Kepercayaan diri dan bertanggung jawab
6) Penciptaan hal yang inovatif
7) Kritis dalam menyikapi konten yang ada di jejaring
internet
8) Tanggung jawab secara sosial.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa literasi digital merupakan seperangkat
keterampilan dan pengetahuan untuk menggunakan
media digital, jaringan internet dan piranti komputer
yang lainnya untuk menemukan informasi baru,
menkonstruk pengetahuan, menganalisis isi berita atau
konten untuk diambil kebermaknaan dan manfaatnya di
kehidupan sehari-hari. Dewasa ini, literasi digital
diartikan bukan hanya sebagai proses interaksi individu
dengan media internet dan jejaringnya. Namun juga
bagaimana kontribusi interaksi itu terhadap
kebermanfaatan kehidupan individu selanjutnya.
Manfaat Keterampilan Literasi Digital menurut
Belshaw (2011) menyatakan bahwa beberapa manfaat
keterampilan literasi digital sebagai berikut.
a. Mendapatkan informasi yang lebih cepat dan
mudah
b. Mendapatkan informasi terbaru
c. Mempermudah akses komunikasi
d. Memberikan pemahaman mengenai segala jenis
cybercrime
e. Membantu untuk membuat keputusan yang lebih
bijak
Selain kelima hal tersebut, manfaat literasi digital
juga sangat bermanfaat bagi kesuksesan sebuah proses
pembelajaran di kelas terutama bagi guru dan siswa.
Berikut ini adalah manfaat literasi digital bagi
proses pembelajaran di kelas menurut menurut
UNESCO (2011:7).
a. Siswa mampu mengakses informasi dengan lebih
mudah karena pekembangan data sudah tersedia
melalui media digital dan internet sehingga
penyebarannya lebih cepat dari pada media
tradisional seperti dalam teks bacaan.
b. Siswa dapat terhubung dengan komunitas yang
lebih luas untuk berdiskusi dan berkolaborasi dalam
membicarakan sebuah informasi yang baru.
c. Guru mampu mempraktikan secara langsung
kepada
siswa
untuk
mengevaluasi
dan
memperlihatkan mana infomasi yang otentik dan
valid langsung dari sumbernya.
C. Pembelajaran Emansipatoris Berbasis Literasi
Digital pada Era Merdeka Belajar dalam
Menguatkan Pendidikan Karakter Mahasiswa
Model pembelajaran emansipatoris diaksentuasikan
pada pembelajaran berpusat pada peserta didik. Model
pembelajaran emansipatoris dihadirkan oleh beberapa
alasan (1) transformasi dunia karena revolusi teknologi
telekomunikasi dan komputer menjadi agenda utama
perubahan dunia saat ini (Koh, et. al, 2019:818). Dunia
tidak lagi dapat dipandang sebagai benua-benua yang
terpisah atau kumpulan negara-negara yang terpisah,
melainkan dunia menjadi syaraf global telekomunikasi
dan komputer (Oztemel dan Gursev, 2018:8).
Kepesatan perkembangan teknologi telekomunikasi
dan komputer telah mengantarkan masyarakat
memasuki era global; (2) Globalisasi ditandai oleh
kompleksitas keragaman kehidupan masyarakat.
Model kehidupan seperti ini tak dapat lagi direduksi ke
dalam model-model normatif yang standar dan tak
banyak lagi pengaturan sentral. Aktivitas hidup lebih
banyak bermula dan berlangsung pada interaksiinteraksi antar individu yang diprakarsai individu itu
sendiri. Society is produced and reproduced by the
interacting individuals; (3) Setiap individu di era global
dituntut mengembangkan kapasitasnya secara optimal,
kreatif dan mengadaptasikan diri ke dalam situasi
global yang amat bervariasi dan cepat berubah. Setiap
individu dituntut melakukan customization. Setiap
individu dituntut memiliki daya nalar kreatif dan
kepribadian yang tidak simpel, melainkan kompleks.
Sekompleks situasi-situasi yang penuh varian yang
dihadapi.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
66
Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar
Rr Nanik Setyowati
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab. Kemendikbud
sendiri juga mengeluarkan 6 kebijakan dengan
Penciptaan Karakter Unggul, Budaya Akademik
Kolaboratif & Kompetitif di PerguruanTinggi yang
meliputi
General
Education,
Pengembangan
Kepemimpinan, Pendampingan Dosen (Dosen
Penggerak), Civic Intelligence, Responsibility and
Participation, Entrepreneurial Mindset dan Pembelajar
Sepanjang Hayat (Setyowati, Rr Nanik, 2020).
Melalui pembelajaran emansipatoris maka dosen
dapat menggunakan berbagai model pembelajaran
yang sudah ada tetapi dalam prosesnya dapat
menggunakan berbagai cara dalam penugasannya.
Dosen melakukan penguasaan teknologi, pedagogik
dan kemampuan mengasai materi. Bermacam model
yang dipilih dapat dikembangtkan dengan berbagai
metode. Adanya penugasan yang membuat mahasiswa
menjadi subjek bukan sekedar objek.
Misalnya dalam matakuliah Pendidikan Karakter
ada satu proyek yang dikerjakan mahasiswa secara
berkelompok. Ada penugasan dari dosen yaitu meminta
mahasiswa melakukan studi lapangan terkait
implementasi pendidikan karakter di sekolah,
masyarakat atau keluarga. Maka secara berkelompok
mahasiswa diminta membuat pedoman wawancara. Di
lapangan mereka bisa berkreasi dengan melakukan
bebagai pertanyaan untuk kedalaman analisis. Dan
beberapa tugas lainnya diman mahasiswa bisa berkreasi
dengan memanfaatkan literasi digital dalam
pembelajarannya.
PENUTUP
Pembelajaran emansipatoris berbasis literasi digital
merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk
mndorong mahasiswa berkarakter tanggudi era
merdeka belajar. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Nadiem Makarim, mlalui kebijakannya bertujuan
mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai
keilmuan yang berguna dalam memasuki dunia kerja.
Kampus Merdeka memberikan kesempatan bagi
mahasiswa untuk menentukan mata kuliah yang akan
mereka ambil. Kemudian dosen juga diminta
melakukan inocasi pembelajaran. Untuk itu melalui
pembelajaran emansipatoris berbasis litarsi digital pada
era merdeka belajar akan dapat menguatkan mahasiswa
sebagau subjek bukan hanya objek dalam
pembelajaran. Perubahan paradigma pembelajaran
yang inovatif sangat diperlukan dan perlu koordinasi
yang baik antara dosen, mahasiswa dan kampus
sehingga akan dapat berjalan dengan baik.
Karakter mahsiswa sebagai generasi penerus
bangsa akan dapat ditingktakan sejak mereka menjadi
mahasiswa, disinilah peran dosen sangat diperlukan
dan pembelajaran emansipatoris bagi mahasiswa di
perguruan
tinggi
merupakan
salah
satu
solusinya.merupakan salah satu solusinya.Mahasiswa
akan berdaya mereka tidak hanya sekedar menjadi
objek tetapi mahasiswa akan menjadi subjek dalam
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Accilar, A. (2011). Exploring the aspects of digital
divide in a developing country. Issues in Informing
Scienceand Information Technology, 8(1), 231244.
Heeks, R.dan Stanforth, C. (2015) Technological
change indeveloping countries: opening the black
box of process using actor-network theory,
DevelopmentStudies
Research,
2(1),
3350,DOI:10.1080/21665095.2015.1026610
Junaidi, A. (2020). Kebijakan Kemendikbud.Direktur
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kalolo, J.F. (2019). Digital revolution and its impact
on education systemsin developing countries,
Education and Information Technologies, 24:345358.
Keesing-Styles, L. (2003). The relationship between
critical pedagogy and assessment in teacher
education. Radical Pedagogy, 5(1), 1-20.
Koh, L., Orzes, G. dan Jia, F. (2019).The fourth
industrial revolution (Industry 4.0): technologies
disruption on operations and supply chain
management, International Journal of Operations
& Production Management, Vol. 39 No. 6/7/8, pp.
817-828.https://doi.org/10.1108/IJOPM-08-2019788
Lewis,
T.(2000).Technology
Education
and
Developing Countries. International Journal of
Technology and Design Education (10), 163-179.
https://doi.org/10.1023/A:1008967718978
Miah, M., dan Omar, A. (2012). Technology
advancement in developing countries during
digital age.International Journal of Science and
Applied Information Technology, 1(1), 30-38.
Ngalimun. (2017). Strategi dan Model Pembelajaran.
Yogyakarta: AswajaPressindo.
Oztemel, E. dan Gursev, S. (2018), Literature review
of Industry 4.0 and related technologies, Journalof
Intelligent Manufacturing, pp. 1-56
Setyowati, Rr Nanik, Maya Mustika Kartikasari dan
Siti Maizul Habibah. (2018). Improving Critical
Thinking Skills of Students through the
67
Pembelajaran Emansipasi Toris bagi Mahasiswa di Perguruan Tinggi Berbasis Literasi Digital di Era Merdeka Belajar
Rr Nanik Setyowati
Development of Teaching Materials. Published by
Atlantis Press. Advances in Social Science,
Education and Humanities Research.Volume 226.
240-245
Setyowati, Rr Nanik. (2020). Pergeseran Paradigma
Pembelajaran Menuju New Normal di Era Abad
21.Disampaikan pada Webinar Nasional Unram.
Rabu, 8 Juli 2020.
Setyowati, Rr Nanik. (2020). Keterampilan Berpikir
Kritis melalui Pendidikan Karakter di Prodi PPKn
FISH Unesa Menuju Era Merdeka Belajar.
Disampaikan pada Webinar Nasional Unram.
Selasa, 14 Juli 2020.
Sharma, M. (2017). Teacher in a Digital Era. Global
Journal
of
Computer
Science
and
Technology,Version 1.0, 17(3), 11-14. Online
ISSN: 0975-4172
Tim. (2020). Buku Saku Panduan Merdeka Belajar
Kampus Merdeka. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Kemendikbud : Jakarta.
Rukiyati dan L. Andriyani. Pendidikan Emansipatoris
dan Masyarakat Madani. Cakrawala Pendidikan.
November 1999.Tahun XVIII No 4.143-148
Syihabuddin, Muhammad Arif. Kiat-kiat Membangun
Strategi Pembelajaran Emansipatoris pada
Pendidikan Dasar Islam. Indonesian Journal of
Islamic Education Studies (IJIES) Online:
https://ejournal.iaitribakti.ac.id/index.php/ijies.29-39.
68
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS MASALAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Nur Wahyu Rochmadi
PPKn, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, nur.wahyu.fis@um.ac.id
Abstrak
Tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia di era pandemi global, tidak hanya sekedar cerdas,
berpengetahuan. dan terampil, tetapi juga harus berkarakter baik. Oleh karena itu pembangunan,
penguatan dan pengembangan karakter yang baik bagi warga negara Indonesia mutlak harus
dilakukan secara sistematis. Dengan demikian, sistem pendidikan Indonesia harus mengedepankan
aspek pengetahuan, keterampilan dan karakter secara integrated dan berkesinambungan sebagai
ukuran keberhasilan. Permasalahannya bagaimana dengan pendidikan karakter, yang hingga kini
masih menjadi “wacana dialog” terutama tentang model pembelajaran, bahan ajar serta sistem
penilaiannya. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan bahan ajar dalam
pendidikan karakter, yang dikembangkan berbasis masalah serta penggunaannya dalam
pembelajaran beserta sintaksnya. Penelitian dilakukan dengan rancangan pengembangan, namun
hanya sampai pada tahapan pengembangan produk dan sintaks penggunaannya dalam pembelajaran
serta validasinya. Produknya berupa bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter dan
penggunaannya dalam pembelajaran beserta sintaks. Produk pengembangan divalidasi kepraktisan
penggunaanya oleh guru dalam kegiatan pendidikan karakter. Hasil pengembangan sebagai temuan
penelitian: (1) wujud bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter berupa gambar dan
cerita tentang perilaku manusia dalam memperoleh pendapatan di beberapa tempat di dunia; (2)
bahan ajar berbasis masalah yang dikembangkan dapat dipergunakan pada saat apersepsi
(pendahuluan) maupun pada kegiatan inti dalam pembelajaran, dengan sintaks yang berbeda sesuai
dengan tujuan pembelajaran; dan (3) guru memiliki peran aktif dalam pengembangan maupun
penggunaan bahan ajar berbasis masalah. Berdasarkan hasil pengembangan tersebut disampaikan
saran sebagai rekomendasi, perlu dilakukan upaya peningkatan kompetensi guru dalam
mengembangkan bahan ajar berbasis masalah dan mempraktekkannya dalam pembelajaran.
Kata-kata Kunci: bahan ajar, karakter, berbasis, masalah
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah kerja membangun manusia agar
menjadi manusia yang bisa survive dalam melindungi
diri terhadap alam dan makluk hidup, serta mengatur
hubungan antar-manusia (Freud, 2007: 55-56 dalam
BSNP, 2010).
Tujuan pendidikan tidak hanya agar manusia bisa
survive melindungi diri terhadap alam, tetapi juga juga
menjadikan manusia mampu melindungi diri terhadap
makluk hidup lainnya, termasuk dari manusia yang
lain. Bahkan diharapkan pendidikan menjadikan
manusia mampu memperdayakan alam dan makluk
hidup yang ada di sekitarnya untuk peningkatan
kesejahteraan
hidupnya,
mengatasi
berbagai
permasalahan hidupnya, meningkatkan kualitas hidup
dan kehidupannya serta mampu mengembangkan diri
dan peradabannya.
Melalui proses pendidikan terjadi proses di mana
suatu kompleks pengetahuan, kecakapan (capacities),
sikap, serta nilai diteruskan kepada generasi
selanjutnya. Demikian disampaikan BSNP (2010)
bahwa paradigma pendidikan nasional abad XXI
haruslah memberi garis besar terhadap hal-hal berikut
yaitu: (1) pendidikan sebagai upaya dalam
mengembangkan keterampilan dan ilmu pengetahuan
baik dengan bantuan guru maupun secara mandiri; (2)
pendidikan sebagai penyalur dan pengembang karakter
luhur bangsa; dan (3) pendidikan sebagai pembangun
tumbuhnya rasa kebangsaan.
Pentingnya pembangunan, penguatan dan
pengembangan karakter luhur bagi bangsa Indonesia di
era pandemi global seperti sekarang ini dilatar
belakangi oleh realita munculnya pernik-pernik
permasalahan kehidupan dalam beragam aspek yang
sifatnya kompleks, sebagai akibat dari berbagai
kelangkaan sumberdaya yang dialami bangsa
Indonesia.
Pandemi global menjadikan terganggunya
berbagai aktifitas produksi dan distribusi, kondisi ini
menjadikan terjadinya ketidakseimbangan aliran
barang, uang dan jasa, sehingga pada akhirnya
mempengaruhi upaya pemenuhan kebutuhan hidup
secara cukup dan memadahi.
Pandemi global menjadikan terjadinya “disrupsi”
pada pola kehidupan manusia dalam seluruh aspek
kehidupannya, yang pada akhirnya terjadi juga
disrupsi pada kapabilitas manusia. Kompetensikompetensi di bidang digital, jaringan dan berbasis
online menjadi pengganti kompetnsi yang selama ini
dimiliki manusia.
69
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
Pada masa pandemi global seperti sekarang ini,
sistem pendidikan juga mengalami disrupsi, tujuan
pendidikan tak bisa lagi hanya mengedepankan aspek
kemampuan keilmuan, pengetahuan dan keterampilan
sebagai ukuran keberhasilan. Sistem pendidikan harus
mulai melakukan pembangunan, penguatan dan
pengembangan karakter secara integratif dengan
pengetahuan
dan
keterampilan
secara
berkesinambungan pada peserta didik.
Pandemi global seperti sekarang ini membutuhkan
sumberdaya manusia yang memiliki kapabilitas
karakter yang didukung oleh pengetahuan dan
keterampilan yang unggul. Karena hanya dengan
karakter yang baik dan unggul, eksistensi manusia
dalam kehidupan di dunia ini dapat dipertahankan
keberadaannya.
Perhatian pada pengembangan tiga ranah di atas
diyakini mampu membangun sistem pendidikan di
Indonesia yang mampu melahirkan sumber daya
manusia dengan memiliki kompetensi: ”(1) crticalthinking
and
problem-solving
skills;
(2)
communication and collaboration skills; (3) creativity
and innovation skills; (4) information and
communications technology literacy; (5) contextual
learning skills; and (6) information and media literacy
skills”. Selain itu juga mampu mengembangkan
sumber daya manusia yang memiliki karakter dan
perilaku: ”leadership, personal responsibility, ethics,
people
skills,
adaptability,
self-direction,
accountability, social responsibility, and personal
productivity” (BSNP, 2010: 44-45).
Pembangunan, penguatan dan pengembangan
karakter luhur bagi bangsa Indonesia dalam kegiatan
pendidikan secara formal merupakan sesuatu yang
baru, Dengan demikian, wajar bila masih ditemukan
berbagai permasalahan dalam implementasinya, mulai
dari model dan strategi pembelajaran, materi, hingga
sistem evaluasinya.
Pengalaman saat berinteraksi dengan guru-guru
tingkat pendidikan dasar dan menengah, ditemukan
adanya praktek pendidikan karakter selama ini masih
dalam proses untuk berlangsung, hanya sekedar
program sebagaimana tuntutan diknas, kadang
dipinggirkan dalam proses pendidikan di sekolah,
pendidikan karakter juga tidak mempunyai bahan ajar
yang jelas, demikian halnya dengan tujuan, strategi
pembelajaran serta sistem penilaiannya, padahal di
beberapa kesempatan pasca lulus studi dan ketika
peserta didik berada di dalam masyarakat aspek
karakter dan kepribadian menjadi syarat mutlak untuk
pengembangan diri yang bersangkutan.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting dalam
kesempatan ini untuk melakukan kegiatan
pengembangan bahan ajar dalam pendidikan karakter
berbasis masalah sebagai suatu pengayaan bahan ajar
dalam pendidikan karakter, serta meningkatkan
efektifitasnya.
Melakukan pengembangan bahan ajar, secara tidak
langsung juga harus melakukan pengembangan tujuan,
mengembangkan sintaks pembelajaran serta sistem
penilaian dalam pendidikan karakter.
Pengembangan bahan ajar dalam pendidikan
karakter berbasis masalah dilakukan dengan rasional,
bahwa munculnya kehendak manusia untuk belajar
sering dikarenakan adanya masalah. Artinya ketika,
manusia menghadapi masalah dalam hidupnya,
disitulah awal munculnya kemauan untuk belajar,
dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Torren (2011;1) bahwa the motivation to learn begins
with a problem. Demikian juga yang dikemukakan
oleh Moore (2005; 294) “…John Dewey advocated a
curriculum that was based on problems”. Sedangkan
Reigeluth, (2009;147) menyampaikan bahwa
“problem-based approaches to instruction are rooted
inexperience-based education”.
Berkaitan dengan tuntutan karakteristik kualitas
sumber daya manusia di era pandemi global seperti
sekarang ini, maka tujuan dan model atau strategi
pembelajaran yang diterapkan guru harus diarahkan
pada pembentukan sumber daya manusia yang
memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan
dalam kondisi normal. Artinya strategi pembelajaran
dan bahan ajar yang dipergunakan guru harus mampu
menggairahkan, meningkatkan kehendak subyek didik
untuk belajar dan memperoleh pengalaman belajar
yang lebih, sehingga dapat menjadikannya memiliki
kompetensi
unggul,
salah
satunya
adalah
menggunakan bahan ajar berbasis masalah dalam
pendidikan karakter.
Model pembelajaran yang selaras dengan bahan
ajar berbasis masalah yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran pemecahan
masalah (Moore, 2005: 294., Reigeluth, 1999: 527.,
Amador, 2006: xiii., BSNP, 2010: 47). Model
pembelajaran pemecahan masalah (problem solving),
adalah suatu model pembelajaran yang memfokuskan
pada pemecahan masalah sebagai fokus kajian dalam
kegiatan pembelajarannya.
Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat
Jonassen (2004: xxi) yang menegaskan bahwa
“learning to solve problem is the most important skill
that student can learn in any setting. In professional
70
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
context, people are paid to solve problem, not to
complete exams”. Sedangkan Reigeluth (2009: 147)
menyatakan bahwa “problem-based approaches to
instruction are rooted inexperience-based education,
research and theory on learning suggest that by having
student learn through the experience of solving
problems, they can learn both content and thingking
strategies”. Kemudian Barrett (2005) menegaskan
bahwa “problem based learning is that the problem is
presented to the students first at the start of the
learning process”.
Model pembelajaran berbasis masalah mempunyai
keunggulan dalam mengembangkan kemampuan
berpikir,
pemecahan
masalah,
keterampilan
intelektual, dan belajar dengan terlibat dalam
pengalaman nyata/simulasi (Ibrahim, 2002: 12).
Sebagai suatu model pembelajaran, pembelajaran
berbasis pemecahan masalah (problem solving)
memiliki karakteristik berawal dengan masalah,
berpusat pada siswa, otonom, berkaitan dengan
masalah nyata kehidupan sehari-hari, konstruktif dan
kooperatif.
Model pembelajaran berbasis pemecahan masalah
dapat membiasakan siswa menghadapi dan
memecahkan masalah secara terampil, meningkatkan
pengetahuan, meningkatkan motivasi belajar, serta
merangsang pengembangan kemampuan berpikir
secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses
belajarnya siswa banyak melakukan proses mental
dengan menyoroti permasalahan kontekstual dari
berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.
Pembelajaran berbasis masalah memungkinkan
terjadinya suatu kondisi hasil belajar yang seimbang
antara aspek intelektual dan moralitas pada anak didik.
Sehingga tercipta kondisi keseimbangan antara
teaching mind dengan touching heart melalui ethics &
esthetics.
Bertolak dari hal tersebut dilakukan penelitan
dengan fokusnya pada pengembangan bahan ajar
berbasis masalah dalam pendidikan karakter, dengan
tujuan untuk memperkaya ragam bahan ajar dalam
pendidikan karakter, sekaligus sebagai rujukan dalam
praktek pengembangan karakter di sekolah.
Tujuan utama dilakukannya pengembangan bahan
ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter adalah
sebagai upaya dalam penyelesaian permasalahan
sulitnya menemukan bahan ajar dalam pendidikan
karekter. Sekaligus juga sebagai sarana dalam
mengembangkan karakter baik peserta didik, secara
lebih efektif.
METODE
Penelitian
dilaksanakan
dengan
rancangan
pengembangan, namun hanya sampai pada tahapan
pengembangan produk dan validasinya. Produknya
berupa bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan
karakter dan penggunaannya dalam pembelajaran
beserta sintaks. Produk pengembangan divalidasi
kepraktisan penggunaanya oleh guru dalam kegiatan
pendidikan karakter.
Penelitian diawali dengan mengembangkan
prototipe model bahan ajar berbasis masalah dalam
pendidikan karakter. Selanjutnya dilakukan uji validasi
kepraktisan penggunaanya oleh guru dalam kegiatan
pendidikan karakter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wujud Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam
Pendidikan Karakter
Proses pengembangan bahan ajar berbasis masalah
dalam pendidikan karakter dilakukan melalui tahapan
sebagai berikut: (1) penentuan nilai karakter yang
dikembangkan; (2) pengembangan bahan ajar
berdasarkan nilai yang dipilih serta berbasis pada
masalah; (3) menentukan sintaks penggunaan bahan
ajar dalam pembelajaran.
Pada kesempatan ini, nilai yang dikembangkan
bahan ajarnya adalah syukur, iman dan berprestasi.
Wujud bahan ajar yang dikembangkan berupa gambardan cerita tentang manusia yang sedang bekerja serta
melakukan sesuatu untuk memperoleh pendapatan
atau bahan makanan dan minuman.
71
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
Keadaan Buruh Kasar di Haiti.
sumber foto: Brightside
Pekerja di Ladang Minyak
Sumber foto: Brightside
Pekerja yang sedang menggali tanah di tepi tebing
Pekerja yang Sedang Melewati Jembatan Tepi Tebing.
Cerita tentang Kerja Keras untuk Mendapatkan
Air
CHHATTISGARH – Masyarakat desa Saja Pahad,
Chhattisgarh, India, sudah sangat lama menghadapi
krisis air. Desa tersebut memiliki dua sumur yang
menjadi tumpuan bagi penduduk setempat untuk
memenuhi kebutuhannya. Namun, debet air di kedua
sumur tersebut tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan air ternak dan sawah mereka, sehingga hasil
panennya rendah .
Penduduk desa tidak tahu harus berbuat apa dan
pemerintah tak acuh dengan keadaan mereka. Namun
seorang remaja "gila" yang bernama Shyam Lal (15
tahun) berhasil mengatasi masalah tersebut.
Shyam Lal mencari sebuah tempat di hutan
terdekat dan memutuskan menggali tanah tersebut
untuk dibuat sebuah kolam penampungan air hujan,
yang bisa dipergunakan oleh semua penduduk desa
Saja Pahad.
Usahanya tidak mendapat dukungan dari penduduk
setempat, bahkan mereka menertawakan rencananya
dan memanggilnya orang gila. Tapi pemuda itu tidak
menyerah, dia meraih sekop dan mulai menggali
kolam itu seorang diri. Dia terus menggali selama 27
tahun.
Kini Shyam Lal berusia 42 tahun, dan dianggap
sebagai pahlawan dan penyelamat penduduk desanya.
Lubang kecil yang mulai digali hampir tiga dekade
yang lalu, sekarang berupa kolam sedalam 15 meter
yang dipenuhi air untuk seluruh penduduk desa.
"Tidak ada yang membantu saya dalam membuat
kolam, baik pemerintah maupun penduduk desa,"
ungkap Lal, seperti yang dilansir Oddity Central,
Kamis (31/8/2017).
Kisah Shyam Lal ini menjadi viral di seluruh India
dan mendorong pihak berwenang di distrik
Mahendragarh mengakui prestasinya. Seorang anggota
dewan legislatif daerah mengunjungi Desa Saja Pahad
dan menawarkan hadiah Nobel sebesar 10.000 rupee
India kepada Shyam Lal atas kontribusinya kepada
desa tersebut.
Pemerintah
daerah
setempat
menyatakan
kekagumannya terhadap Shyam Lal dan berjanji untuk
membantunya. "Saya baru tahu tentang Shyam.
Usahanya untuk desanya sangat terpuji dan saya akan
datang untuk memberikan bantuan, " kata Narendra
Duggal.
Kini kolam air tersebut mampu menghidupi warga
desa Saja Pahad dan sekitarnya. Chhattisgarh memang
mengalami kekeringan terparah akibat curah hujan
yang hanya sebesar 10%, lebih sedikit selama 10 tahun
terakhir.
Sumber:
http://id.ucnews.ucweb.com/story/3057389039727059?channel_id
=103&host=http:%2F%2Fid.ucnews.ucweb.com&list_article_fro
m=Okezone&item_type=0&content_type=0&app=browser_iflow
&uc_param_str=dnvebichfrmintcpwidsudsvpfmt&ver=11.4.2.995
&sver=inapppatch2&demote_type=normal&adapter=&grab_time
=2017-09-1_20.30.56&
lang=indonesian&comment_stat=1&reco_id=c653dbd0-f61043f5-8f3d-e9ae75cfd572&ucnews_rt=kRealtimeContent&entry
=browser&entry1=shareback&entry2=widget
72
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
Paparan diatas adalah contoh bahan ajar berbasis
masalah dalam pendidikan karakter yang berwujud
gambar dan cerita tentang perilaku manusia yang
mencoba mengelola alam dengan kerja keras bertahuntahun dalam upaya untuk mendapatkan air bersih
untuk memenuhi kebutuhannya.
Beratnya pekerjaan, kesulitan yang dihadapi,
ketidakpedulian dari pemerintah dan masyarakat
setempat, resiko yang harus ditanggung serta perilaku
yang ditampilkan menjadi fokus dalam pemanfaatan
bahan ajar ini dalam kegiatan pembelajaran.
Penggunaan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam
Pendidikan Karakter
Bahan ajar berbasis masalah yang dikembangkan dapat
dipergunakan pada saat apersepsi (pendahuluan)
maupun pada kegiatan inti dalam pembelajaran,
dengan sintaks yang berbeda sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Penggunaan bahan ajar berbasis masalah pada saat
apersepsi atau pendahuluan, bisa dilakukan dalam
semua mata pelajaran dan berbagai tingkatan, tentu
saja harus disesuaikan dengan nilai-nilai karakter yang
akan dikembangkan.
Penggunaan bahan ajar pada saat apersepsi
dilakukan dengan menayangkan gambar atau cerita
tersebut oleh, menjelaskan itu gambar apa, mengapa
dan bagaimana hingga seperti itu. Penjelasan ini
diskenario sedemikian rupa sehingga terjadi
keterlibatan psikologis dan emosional peserta didik
terhadap gambar, dan selanjutnya dibandingkan
dengan pola-pola kerja yang dialami oleh masyarakat
yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
Kemudian, suasana keterlibatan secara psikologis dan
emosional peserta didik tersebut diarahkan untuk
meningkatkan nilai syukur dan iman kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta mengajak untuk lebih
bersemangat untuk prestasi agar tidak kelak
mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik.
Penjelasan guru dalam penggunaan bahan ajar
berbasis masalah, dan pengalihan suasana hati peserta
didik secara emosional dan psikologi tersebut sangat
dipengaruhi oleh kemampuan guru menciptakan dan
mengembangkan suasana kelas. Guru mempunyai
peran yang sangat menentukan terhadap efektifitas
bahan ajar berbasis masalah ini ketika dipergunakan
pada tahapan apersepsi.
Penggunaan bahan ajar berbasis masalah dalam
kegiatan pembeljaran dan dilaksanakan pada saat
kegiatan bisa dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut.
Langkah 1
Klarifikasi Permasalahan
• Guru menyajikan gambar atau cerita tentang
fenomena tentang perilaku manusia dalam upaya
memperoleh
pendapatan
guna
memenuhi
kebutuhan hidupnya.
• Guru menyajikan fenomena dengan menayangkan
gambar tentang perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, serta berbagai mata
pencaharian yang ekstrem.
• Guru menjelaskan secara detail dengan penuh
perasaan atas gambar atau cerita yang ditayangkan,
apa, mengapa dan bagaimana gambar tersebut;
• Guru menyajikan fenomena dengan menayangkan
gambar tentang tanah air Indonesia, dan perilaku
bangsa Indonesia dalam memperoleh pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
• Guru memfasilitasi peserta didik untuk
menemukan masalah-masalah nyata tentang
tentang perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, serta berbagai mata
pencaharian, interaksi antara manusia dengan
sumber daya alam sebagai salah satu bentuk
tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
• Guru memfasilitasi peserta didik mengklarifikasi
permasalahan nyata yang ditemukan dengan
menggunakan lembar kegiatan siswa yang telah
disiapkan guru.
Langkah 2
Brainstorming
➢ Peserta didik mengidentifikasi apa yang diketahui,
apa yang perlu diketahui, dan apa yang perlu
dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan,
dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan seperti;
o Mengapa manusia mendapatkan pekerjaan
seperti itu?
o Bagaimana bila yang melaksanakan pekerjaan
tersebut Saudara?
o Bagaimana bila yang melaksanakan pekerjaan
tersebut adalah ayah Saudara?
o Apakah Saudara mau bekerja seperti itu?
Mengapa? Bagaimana caranya?
o Bagaimana dengan kondisi di Indonesia yang
menjadi tanah air kita?
➢ Peserta didik secara berkelompok mengembangkan
alternative penyelesaian masalah berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki.
Langkah 3
Pengumpulan Informasi dan Data
➢ Peserta didik secara mandiri maupun kelompok
mengumpulkan data dan informasi (pengetahuan,
konsep, teori) dari berbagai sumber untuk
73
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
menemukan solusi atas permasalahan yang
ditemukan.
➢ Peserta didik mengolah hasil pengumpulan
informasi untuk dipergunakan sebagai solusi
pemecahan masalah.
Langkah 4
Berbagi Informasi dan Berdiskusi untuk Menemukan
Solusi Penyelesaian Masalah
➢ Peserta didik berbagi informasi dan berdiskusi
untuk menemukan dan menentukan solusi yang
dianggap paling tepat untuk menyelesaikan
masalah.
➢ Peserta didik menetapkan solusi untuk
penyelesaian masalah.
➢ Peserta didik menyusun laporan hasil kerja, dapat
berupa paparan/bahan tayang, display, atau dalam
bentuk lembaran.
Langkah 5
Presentasi Hasil Penyelesaian Masalah
➢ Peserta didik mempresentasikan hasil kerjanya di
depan kelas.
➢ Peserta didik melakukan review dan memberikan
tanggapan terhadap hasil kerja.
➢ Peserta didik secara berkelompok memperbaiki/
menyempurnakan hasil kerjanya berdasarkan
tanggapan dan masukan kelompok lain.
➢ Peserta didik menindaklanjuti hasil kerjanya dalam
bentuk
poster
atau
slogan
tentang
ajakan/kampanye untuk berperilaku sesuai dengan
nilai iman, syukur dan berprestasi.
➢ Peserta didik mengampanyekan perilaku sesuai
dengan nilai iman, syukur dan berprestasi dengan
cara memajang poster/slogan di lingkungan
sekolah, guru dapat melakukan penilaian.
Langkah 6
Refleksi
➢ Bersama guru peserta didik melakukan review dan
refleksi atas proses pembelajaran yang telah
dilakukan.
➢ Pemberian apresiasi atas partisipasi semua pihak
oleh guru dan peserta didik.
➢ Guru dan peserta didik bersama-sama merayakan
keberhasilan kegiatan pembelajaran dengan yelyel, atau foto bersama hasil karyanya.
Bahan ajar berbasis masalah beserta prosedur dan
langkah-langkah penggunaannya dalam kegiatan
pembelajaran seperti tersebut di atas, ketika
disampaikan kepada guru sebagai salah satu wujud
validasi produk pengembangan, secara umum
menyampaikan sangat menarik dan bisa dipergunakan
dalam praktek pendidikan karakter di sekolah.
Pernyataan ini, diddasarkan pada pendapat beberapa
orang guru sebagai berikut.
Pernyataan Bu Alf, salah seorang guru di SMAN
kota Malang tentang bahan ajar berbasis masalah
dalam
pendidikan
karakter
tersebut
dan
penggunaannya dalam pembelajaran: “ini adalah
sebuah bahan ajar yang menarik dan sangat berbeda
dengan bahan ajar yang selama ini kita pergunakan,
kalau bahan ajar seperti ini bisa kita kembangkan dan
mudah kita dapat di internet. Penggunaannya
sepertinya hanya untuk matapelajaran PPKn, tetapi
dalam kegiatan pendahuluan bisa diterapkan untuk
semua mata pelajaran. Kalau seperti ini sepertinya
keaktifan siswa bisa semakin meningkat”.
Bahan ajar berbasis masalah dan langkah-langkah
penggunaannya juga disampaikan kepada Bapak Arief,
guru PPKn di SMK Kota Malang, yang menyampaikan
bahwa:” bahan ajar yang sangat menarik, bisa kita
pergunakan dalam kegiatan pendidikan karakter di
sekolah. Sepertinya mudah dikembangkan dan
diperoleh. Kalau seperti ini sepertinya keaktifan siswa
bisa semakin meningkat, selain lebih banyak yang
berpartisipasi dalam kegiatan belajar, sepertinya bisa
menjadikan peserta didik lebih antusias dalam
belajar”.
Validasi juga dilakukan oleh guru setingkat SMP
di kota Malang, Bapak Tanto, tentang bahan ajar
berbasis
masalah
serta
langkah-langkah
penggunaannya dalam pendidikan karakter, sebagai
berikut “ada suasana baru dan berbeda bilamana
pembelajaran menggunakan bahan ajar seperti ini,
nuansa pengembangan karakternya begitu terasa,
sangat menarik dan mudah untuk dikembangkan,
demikian halnya dengan penggunaannya dalam
kegiatan pembelajaran”.
Berdasarkan beberapa pendapat guru tentang
bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter
beserta angkah-langkah penggunaannya tersebut di
atas, disimpulkan bahwa bahan ajar tersebut sangat
menarik, mudah dikembangkan, mudah untuk
mendapatkannya, bisa dipraktekkan dalam kegiatan
pendidikan karakter, terutama pada saat pelaksanaan
pembelajaran baik pada kegiatan apersepsi maupun
pada saat kegiatan inti, serta diduga dapat
meningkatkan partisipasi belajar peserta didik.
Berdasarkan proses pengembangan produk berupa
bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan karakter
beserta langkah-langkah penggunaannya dalam
kegiatan pembelajaran, harus diawali dengan
penentuan jenis-jenis jenis-jenis watak dan nilai-nilai
yang akan dikembangkan sehingga menjadi perilaku
peserta didik dan seluruh warga sekolah.
74
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
Demikian halnya ketika guru melaksanakan
pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajaran
yang diselenggarakannya. Guru harus menentukan
nilai apa yangakan dikembangkan dalam kegiatan
pembelajaran tersebut.
Pemilihan dan penentuan nilai yang menjadi acuan
untuk dikembangkan oleh guru dilakukan dengan
memperhatikan kalimat-kalimat yang ada dalam
kompetensi dasar dan kompetensi inti, selain itu juga
bisa melihat dari visi dan misi sekolah, nilai-nilai
Pancasila serta nilai-nilai yang dikembangkan dalam
kegiatan penguatan pendidikan karakter, serta nilainilai pendidikan karakter yang berjumlah 18 nilai,
yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Selain nilai-nilai yang bersumber pada hal-hal
seperti tersebut di atas, praktek pendidikan karakter
juga dapat berfokus pada beberapa pendapat para ahli,
seperti yang disampaikan oleh BSNP (2010), bahwa
fokus perhatian pengembangan karakter bangsa
Indonesia terletak pada enam nilai, yakni tiga
berdimensi personal (jujur, akal sehat, dan pemberani),
dan tiga lainnya berdimensi sosial (adil, tanggungjawab, dan toleran). Bila pengembangan keenam nilai
ini benar-benar dikembangkan secara profesional dan
dalam lingkup nasional, tak mustahil peningkatan
kualitas manusia Indonesia dalam kurun waktu satu
generasi saja akan terjadi.
Selain itu, juga perlu dikembangkan sembilan
sikap luhur yang ditanamkan sejak dini pada anakanak Indonesia di sekolah. Sikap itu adalah: (1) cinta
Tuhan dan kebenaran, (2) tanggung-jawab,
kedisiplinan dan kemandirian, (3) amanah, (4) hormat
dan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan
kerjasama, (6) percaya diri, kreatif, dan pantang
menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik
dan rendah hati, dan (9) toleransi dan cinta damai.
Kemudian, watak atau karakter lain yang perlu
dikembangkan adalah karakter “produktif” dan
“kreatif/inovatif”’ dalam berfikir dan berkarya
(Megawangi, 2004).
Apapun pilihan nilai yang ditentukan dan menjadi
acuan dalam pengembangan karakter peserta didik,
yang paling penting dilakukan adalah mencanangkan
bahan ajar serta pelaksanaan strategi yang tepat agar
karakter luhur itu dapat berkembang dan
terinternalisasi secara efektif dalam diri setiap peserta
didik melalui praktek pendidikan karakter di sekolah.
Sekolah dan guru mempunyai peran yang sangat
menentukan keberhasilan dari praktek pendidikan
karakter, demikian halnya dalam penggunaan bahan
ajar berbasis masalah yang dikembangkan. Penting
dan sangat menentukannya peran guru dan sekolah
dalam membangun watak dan karakter peserta didik,
sebagaimana dikatakan Lickona (1993): "School must
help children understand core values, adopt or commit
to them, and then act upon them in their own lives".
“The belief that character education implementation in
schools is related to academic achievement of studen
ts in those schools has great intrinsic appeal
(Benninga, 1991). Termed character education in
today’s world has been called many things throughout
the history of education in this country. Character
education has been both a formal and informal part of
schools. At times it has been integrated in small ways
into many other pieces of the curriculum (Watz, 2011).
Selain mewariskan, sekolah melalui kegiatan
pendidikan yang diselenggarakan juga memiliki fungsi
untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi
masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang
sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang
akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang
menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu,
pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti
dari suatu proses pendidikan.
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi
landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses
yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata
pelajaran yang ada dalam kurikulum serta melalui
berbagai kegiatan yang dilaksanakan sekolah, baik
yang sifatnya non=korikuler maupun berupa kegiatan
rutin dan insidental.
Pengembangan kegiatan pendidikan karakter,
hendaknya diawali dengan munculnya kesadaran akan
siapa dirinya dan lingkungannya adalah bagian yang
teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat
terbangun dengan baik melalui sejarah yang
memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai
siapa diri dan masyarakatnya di masa lalu yang
menghasilkan dirinya dan masyarakatnya di masa kini.
Selain itu, pendidikan harus membangun pula
kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan
dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup
(geografi), nilai yang hidup di masyarakat
(antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang
berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan,
pemerintahan,
dan
politik
(ketatanegaraan/politik/kewarganegaraan),
bahasa
Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan
perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya,
perlu ada upaya terobosan dalam pengembangan nilainilai yang menjadi dasar bagi pendidikan karakter
yang berwujud penataan tujuan pembelajaran, bahan
75
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
ajar, strategi pembelajaran serta sistem penilaian
dalam praktek pendidikan di sekolah.
Harapannya, berbagai pola baru tersebut,
menjadikan nilai dan karakter yang dikembangkan
pada diri peserta didik sangat kokoh dan memiliki
dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat,
bangsa, dan bahkan umat manusia.
Salah satu terobosan dalam praktek pendidikan
karakter dan juga merupakan pola baru serta kreatif
adalah penggunaan bahan ajar berbasis masalah
sebagaimana yang telah dikembangkan sebelumnya.
Beragam cara kreatif dapat dicoba dilakukan dalam
pendidikan karakter di sekolah. Namun perlu
diperhatikan bahwa pengembangan karakter luhur
hanya akan tumbuh sehat, bila ada dukungan kuat dari
komunitas tempat seseorang hidup sehari-hari, dan
sekolah adalah salah satu komunitas. Komunitas yang
sehat adalah komunitas yang di dalamnya terjadi
interaksi yang sejajar, yakni masing-masing anggota
memiliki kesamaan derajat, ada kesamaan tingkat
keterlibatan, dan ada sikap keterbukaan. Langkah
membangun interaksi sehat ini memerlukan
pemahaman dan latihan terus-menerus. Manakala
komunitas semacam ini terbangun, maka setiap
anggota di dalamnya memiliki jalinan hubungan erat
yang diikat oleh nilai-nilai moral yang disepakati
bersama.
Karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis
dalam proses pendidikan yang holistik menggunakan
metode “knowing the good, feeling knowing the good,
and acting the good. Setelah siswa memiliki
pengetahuan baru ditumbuhkan feeling loving the
good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan, sehingga senantiasa mau berbuat sesuatu
kebaikan (acting the good), yang pada akhirnya
tumbuh kesadaran dan kebiasaan untuk selalu berbuat
baik sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi
panutan.
Salah satu strategi atau cara untuk mewujudkan hal
tersebut adalah dengan memasukkan pendidikan
karakter dalam semua mata pelajaran di sekolah
(Suyanto, 2009).
Pendidikan karakter atau proses pengembangan
karakter harus dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan
yang
melibatkan
aspek
“knowledge, feeling, loving and action”. Pembentukan
karakter dapat dibaratkan seperti proses “body builder”
yang memerlukan latihan dan pembiasaan secara terus
menerus agar bisa menjadi kokoh dan kuat (Lickona,
1991). Good character is not formed automatically, it
is developed over time through a sustained process of
teaching, example, learning and practice. It is
developed through character education. Quality of
character education helps schools create a safe, caring
and inclusive learning environment for every student
and supports academic development. It fosters
qualities that will help students be successful as
citizens, in the workplace, and with the academic
curriculum (Lickona, 2002).
Centre for Character & Value University of
Birmingham (2012) mengemukakan bahwa; “the
development of character is a process that requires the
efforts of both the developing individual and the
society and its schools. A society determined to enable
its members to live well will treat character education
as something to which every child has a right.
Questions about the kinds of persons children will
become, the contributions of good character to a
flourishing life, and how to balance various virtues
and values in this process are therefore salient
concerns for all schools.
Lickona (2002) menegaskan bahwa “character
education as a program that strives to encompass the
following: the cognitive, affective, and behavioral
aspect of morality. Good character consist of knowing
the good, desiring the good, and doing the good.
Schools must help children understand the core values,
adapt or commit to them and then act upon them in
their own lives.
Beberapa prinsip yang perlu menjadi perhatian
dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah
sebagaimana disampaikan oleh Centre for Character &
Value University of Birmingham (2012) adalah: (1)
character is important: it contributes to human and
societal flourishing) character is educable and its
progress can be measured holistically, not only
through self-reports but also more objective research
methods; (2) character is largely caught through rolemodelling and emotional contagion: school culture
and ethos are therefore essential; (3) character should
also be taught: direct teaching of character provides
the rationale, language and tools to use in developing
character elsewhere in and out of school; (4) character
is the foundation for improved attainment, better
behaviour and increased employability; (5) character
should be developed in partnership with parents,
employers and other community organizations; (6)
character results in academic gains for students, such
as higher grades; (7) character education is about
fairness and each child has a right to character
development; (8) character empowers students and is
liberating; (9) character demonstrates a readiness to
learn from others; and (10) character promotes
democratic citizenship.
76
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapatlah
disampaikan bahwa pendidikan karakter perlu
diupayakan dan diimplementasikan pada jalur
pendidikan formal, informal dan non formal secara
terpadu dan berkesinambungan. Integrasi dan
kesinambungan dari ketiga ranah ini mutlak harus
dilakukan agar terjadi kebersamaan tujuan dan langkah
dalam pengembangan karakter luhur bangsa Indonesia.
Bilamana dilakukan kajian berdasarkan grand
design yang dikembangkan Kemendiknas (2017),
secara psikologis dan sosial kultural pembentukan
karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari
seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
konatif dan psikomotorik) dalam konteks interaksi
sosial kultural (dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan
dalam: (1) olah hati (spiritual and emotional
development), (2) olah pikir (intelectual development),
(3) olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic
development), (4) olah rasa dan karsa (affective and
creativity development), keempat hal tersebut tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain bahkan saling
melengkapi dan saling berkaitan.
Bahan ajar berbasis masalah dalam pendidikan
karakter,
beserta
langkah-langkah
dalam
penggunaanya yang telah dikembangkan di atas
merupakan salah upaya kreatif dalam pengembangan
praktek pendidikan karakter di sekolah. Produk dari
pengembangan tersebut menjadi salah satu solusi
dalam mengatasi permasalahan dalam praktek
pendidikan karakter adalah keberadaan bahan ajar
serta strategi pembelajarannya.
Fenomena yang diangkat sebagai bahan ajar dalam
pendidikan karakter berisikan tentang bagaimana
berat/kesulitan manusia yang tinggal di negara lain
untuk memperoleh pendapatan dalam upaya
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bilamana
dibandingkan dengan kehidupan manusia Indonesia,
yang tinggal di wilayah Indonesia, yang memiliki
banyak kemudahan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Membandingkan kondisi dan perilaku manusia
dalam bekerja, memperoleh pendapatan, untuk
memenuhi kebutuhan, yang dapat diperolehnya dari
lingkungan sekitarnya menjadikan peserta didik
menyadari tentang kondisi tanah air Indonesia, apalagi
bila dibandingkan dengan kondisi wilayah tanah air di
negara lain. Dengan demikian, secara tidak langsung
munculnya karakter bersyukur, beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa karena bertempat tinggal di Indonesia,
munculah rasa cinta tanah air Indonesia berkembang,
dan tumbuh serta berkembangnya kehendak untuk
berprestasi agar kelak mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik.
Penggunaan bahan ajar berbasis masalah dalam
pendidikan karakter, dan proses pembelajarannya
dilaksanakan melalui pemecahan masalah dapat
membiasakan siswa menghadapi dan memecahkan
masalah secara terampil apabila menghadapi
permasalahan dalam kehidupan, serta merangsang
pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan
menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa
banyak melakukan proses mental dengan menyoroti
permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari
pemecahannya.
PENUTUP
Simpulan
Hasil pengembangan bahan ajar di atas menegaskan
bahwa dalam praktek pendidikan karakter, bahan
ajarnya bisa dikembangkan dengan mengidentifikasi
berbagai fenomena tentang perilaku manusia dalam
upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena
yang dipilih dikategorikan ekstrem, sehingga dapat
dikategorikan berbasis masalah.
Bilamana pelaksanaan pendidikan karakter
dilaksanakan dengan menggunakan bahan ajar
berbasis masalah, maka efektifitas pendidikan karakter
menjadi meningkat, partisipasi belajar peserta didik
meningkat,
sekaligus
dapat
mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis
(penalaran), keterampilan intelektual, kolaborasi,
belajar mandiri, komunikasi, meningkatkan motivasi
dan aktivitas belajar peserta didik, serta menjadikan
kegiatan belajar berlangsung secara aktif dan
menyenangkan.
Saran
Berdasarkan hasil pengembangan bahan ajar berbasis
masalah beserta langkah-langkah penggunaannya
dalam pendidikan karakter di atas disarankan (1)
pelaksanaan pendidikan karakter harus didasarkan pada
nilai, demikian halnya ketika dilakukan pengembangan
bahan ajar beserta model penyampaiannya; (2) kiranya
selalu dilakukan pengembangan bahan ajar dalam
praktek pendidikan karakter di sekolah yang sifatnya
kontekstual; (3) adanya fasilitasi dari sekolah untuk
guru dalam mengembangkan nbahan ajar serta strategi
dalam praktek pendidikan karakter di sekolah; dan (4)
perlu adanya tindaklanjut untuk melakukan pelatihan
bagi guru dalam mengembangkan bahan ajar dalam
pendidikan karakter.
77
Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Masalah dalam Pendidikan Karakter
Nur Wahyu Rochmadi
DAFTAR PUSTAKA
Amador, J.A., Miles, L. & Peters, C.B. 2006. The
Practice of Problem-Base Learning, A Guide to
Implementing PBL in the College Classroom.
Bolton: Anker Publishing Company, Inc.
pirateproxy.net/torrent/7327827/Ultimate_Guide_t
o_Become_an.. diakses 22 Mei 2012.
Watz, Michael. 2011. An Historical Analysis of
Character Education. Journal of Inquiry & Action in
Education, 4(2), 2011.
Centre for Character Vakue University of Birmingham
Barrett, T., Mac Labhrainn, I. & Fallon, H. (Eds).
2005. Handbook of Enquiry & Problem-based
Learning. Galway: CELT, Released under Creative
Commons Licence. Attribution Non-Commercial
2.0.
Some
rights
reserved.
(online).
http://www.nuigalway.ie/celt/pblbook/ diakses 19
Agustus 2011.
Benninga, J.S., ed. (1991). Moral, Character, and
Civic Education in the Elementary School. New
York: Teachers College Press.
BSNP. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad
XXI. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Depdiknas.
Ibrahim, M. 2002. Pembelajaran Kontekstual.
Tayangan Power Point PPS UNESA Surabaya.
Jonassen, D.H. 2004. Learning to Solve Problems: an
Instructional Design Guide. San Fransisco:
Pfeiffer, John Wiley & Sons, Inc.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Konsep dan Pedoman PPK. Tim PPK
Kemendikbud.
Lickona, T. 1993. Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility.
New York. Bantam Books.
Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. 2002. Eleven
Principles of Effective Character Education.
Washington DC: Character Education Partnership.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi
yang Tepat untuk Membangun Bangsa.Tanpa
Tempat: Indonesia Heritage Foundation.
Moore, K.D. 2005. Effective Instructional Strategies:
From Theory to Practice. London: Sage
Publications Inc.
Reigeluth C.M. & Chellman, C.A. (Eds). 2009.
Instructional Design Theories and Models Volume
III. New York and London: Routledge, Taylor and
Francis Publishers.
Peraturan Presiden No. 87 tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan karakter.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter.
http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id
/web/pages/urgensi.html.
Torren, R.R. 2011. The Motivation to Learn Begins
with a Problem. Journal International Review of
Economics Education. 10 (1): 14-28. (online).
78
PENINGKATAN PADA PERILAKU KERJA INOVATIF MELALUI GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL (SEBUAH STUDI LITERATUR)
Nadhira Hafiza Virgianty
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, nadhira.17010664056@mhs.unesa.ac.id
Lilik Iswatun Khasanah
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, lilik.17010664066@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Berkembangnya terknologi memimbulkan dampak negatif bagi perusahaan atau organisasi. Salah
satu dampaknya yaitu semakin ketatnya daya saing antar perusahaan. Sehingga perusahaan dituntut
untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan. Melalui perilaku kerja inovatif perusahaan mampu
memunculkan ide-ide baru dan mampu bersaing dengan perusahaan lain. Akan tetapi, dalam
meningkatkan perilaku kerja inovatif berkaitan dengan gaya kepemimpinan transformatif. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan perilaku kerja inovatif melalui gaya kepemimpinan
transformasional. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah studi literatur. Berdasarkan studi
literatur, penelitian yang dilakukan memperoleh hasil bahwa kepemimpinan transformasional dapat
meningkatkan perilaku inovatif. Penelitian yang dilakukan Jung, dkk (2003) mendapatkan hasil
bahwa pemimpin transformasional mampu meningkatkan kecenderungan umum pada perusahaan
atau organisasi untuk melakukan inovasi. Penelitian yang dilakukan Ayu Octavias dan Ika Zenita
Ratnaningsih (2017) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang
meningkatkan perilaku inovatif. Hal tersebut sama dengan hasil dari penelitian yang dilakukan Iffah
Fitri Nur Khasanah dan Fathul Himam (2018) terbukti bahwa kepemimpinan transformasional yang
tinggi menyebabkan peningkatan perilaku kerja inovatif karyawan. Hasil yang sama mengenai
kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap perilaku inovatif ditunjukkan dalam
penelitian yang dilakukan Dewa Nyoman Reza Aditya dan Komang Ardana pada tahun 2016 dan
Ryani Dhyan Parashakti, Mochammad Rizki, dan Lisnatiawati Saragih pada tahun yang sama.
Kata Kunci: perilaku kerja inovatif, kepemimpinan transformasional, hasil penelitian.
PENDAHULUAN
Era kemajuan teknologi yang terjadi seperti sekarang
tentunya membawa dampak bagi semua sektor, mulai
dari sektor pendidikan hingga sektor sosial. Tak
terkecuali juga bagi perusahaan atau organisasi.
Tentunya hal tersebut memimbulkan dampak, baik
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak
positif bagi perusahaan atau organisasi dari adanya
kemajuan teknologi meliputi efisiensi dan efektifitas
dalam melakukan proses produksi, kemudahan dalam
mengakses informasi, dan lain sebagainya. Sedangkan
salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari
adanya kemajuan teknoogi bagi perusahaan atau
organisasi yaitu semakin ketatnya daya saing antar
perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk
terus mengembangkan diri secara berkelanjutan
(continue) agar mampu bertahan dalam jangka panjang.
Perusahaan dapat mengembangkan diri dengan cara
mencari dan mengembangkan ide-ide baru. Sehingga
dengan ide tersebut, perusahaan mampu memenuhi
kebutuhan pasar dan mampu bersaing dengan
perusahaan lain.
Menurut Cefis dan Marsili (2006) perusahaan yang
mampu berinovasi memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk tetap bertahan dan bersaing daripada yang
tidak melakukan inovasi. Perusahaan yang mampu
berinovasi tergantung dengan perilaku kerja inovatif
pada karyawan (Scott & Bruce, 1994). Karyawan yang
memiliki perilaku kerja inovatif mampu menciptakan
id- ide yang beda dari yang lain, sehingga menjadikan
perusahaan mencapai target atau bahkan melebihi
target yang ditentukan dan menjadikan perusahaan
mampu bersaing.
Istilah inovatif sering dikaitan dengan kreativitas,
keduanya memang saling berkaitan, akan tetapi
memiliki makna yang berbeda. Terjadinya proses
inovasi dapat dikatakan dimulai dari kreativitas (de
Jong, 2007; Nardo, Evanita, & Syahrizal, 2018).
Menurut Van den Ven (dalam Scott & Bruce, 1994)
istilah kreativitas berkaitan dengan mengeksplorasi dan
menghasilkan gagasan atau ide tertentu, sedangkan
inovasi berkaitan dengan penetapan dan penerapan ide
atau gagasan.
De Jong dan Hertog (2010) mendefinisikan perilaku
kerja inovatif sebagai serangkaian perilaku karyawan
yang
berkaitan
dengan
generalisasi
ide,
mengimplementasikan ide, dan dukungan yang
diberikan dalam pengimplementasian ide tersebut.
Generalisasi ide dalam perilaku kerja inovatif dapat
79
Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur)
Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah
berkaitan dengan produk, layanan atau proses baru,
masuk ke pasar baru, peningkatan dalam proses kerja
saat ini, atau secara umum, solusi untuk masalah yang
diidentifikasi. Menurut Carmeli, dkk (dalam Nardo,
Evanita, & Syahrizal, 2018) perilaku inovatif
merupakan proses yang lebih kompleks karena
berkaitan dengan melakukan penerapan terhadap ideide yang dihasilkan.
Scott dan Bruce (1994) mengatakan bahwa
organisasi yang inovatif dicirikan dengan orientasi
tujuan yang menuju kearah kreativitas dan perubahan
yang inovatif – mampu berfungsi secara mandiri dalam
mendapatkan ide-ide baru. Menurut Farr dan Ford (De
Jong dan Hertog, 2010) tujuan perilaku kerja inovatif
untuk mencapai inisiatif dan pengenalan yang
disengaja (dalam peran kerja, kelompok atau
organisasi) dari ide, proses, produk, atau prosedur yang
baru dan bermanfaat. Perilaku kerja inovatif berkaitan
dengan tingkat jaringan dan individu, kelompok kerja,
dan organisasi atau perusahaan (King dan Anderson,
dalam De Jong & Hertog, 2010).
Dalam penerapannya, perilaku kerja inovatif
memerlukan peranan dan interaksi mulai dari individu,
pemimpin, kelompok kerja, dan iklim organisasi (Scott
& Bruce, 1994). Kaitannya dengan iklim organisasi
dalam menciptakan perilaku kerja inovatif, perusahaan
perlu menyediakan fasilitas, peralatan, dan waktu yang
sangat penting serta memadahai dalam terciptanya
inovasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
kerja inovatif meliputi faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku
kerja inovatif meliputi hubungan antara karyawan
dengan pemimpin dan hubungan dengan kelompok
kerja. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku kerja inovatif yaitu competitive pressures dan
social-political pressures (Nijenhuis, dalam Kania,
Senen, & Masharyono, 2018).
Kaitannya dengan hubungan antara pemimpin dan
karyawan dalam terciptanya perilaku kerja inovatif
muncul dikarenakan hubungan positif atau kedekatan
antara pemimpin dengan karyawan (dalam Scott &
Bruce, 1994). Hubungan positif antara pemimpin dan
karyawan memberikan gambaran bahwa hubungan
tersebut juga berkualitas. Menurut Kroes (dalam Kania,
Senen, & Masharyono, 2018) adanya hubungan yang
berkualitas antara pemimpin dan karyawan ditandai
dengan saling menghormati dan saling percaya
merupakan ciri kepemimpinan transformasional.
Sedangkan hubungan kelompok kerja dengan
karyawan yang serasi atau cocok menurut Rogers
(dalam Scott & Bruce, 1994) mampu menentukan
sejauh mana individu percaya untuk mengungkapkan
idenya. Individu yang berada dalam kelompok kerja
yang memiliki kualitas hubungan kerja yang baik
mempengaruhi iklim organisasi. Apabila iklim
organisasi yang tercipta baik, maka individu mampu
memunculkan ide yang baru, berbagi ide dan
mrmbrtikan umpan balik, sehingga muncullah perilaku
kerja inovatif.
Faktor hubungan dengan pemimpin perlu
dipertimbangkan dalam tercapainya perilaku kerja
inovatif. Hal tersebut dikarenakan pemimpin dapat
secara efektif mempengaruhi perilaku karyawan. Oleh
karena itu, tentunya diperlukan pemimpin yang mampu
memberi motivasi pada karyawan untuk melakukan
dan mengidentifikasi tujuan serta minat organisasi
melalui tingkat kinerja yang diharapkan disebut
pemimpin transformasional (Sarros dkk, dalam Slåtten
& Mehmetoglu, 2014). Menurut Bass kepemimpinan
transformasional merupakan pemimpin yang memiliki
dimensi sebagai berikut intellectual simulation,
karisma atau pengaruh yang diideal, pemimpin sebagai
inspirational motivation, dan memiliki pertimbangan
secara individual (dalam Slåtten & Mehmetoglu, 2014).
Pertama, kaitannya dengan intellectual simulation,
pemimpin mengetahui tentang bagaimana pemimpin
memperkenalkan perilaku kerja inovatif dan kreatif
pada karyawan melalui perilakunya. Kedua, pemimpin
yang berkarisma atau pengaruh yang ideal, yang mana
pemimpin perlu menjadikan dirinya sebagai contoh
atau model yang dapat diidentifikasi dan ditiru oleh
karyawan. Menurut S`aenz (dalam Slåtten &
Mehmetoglu, 2014) pemimpin yang berkarisma akan
dihormati, dipercaya, dikagumi, dianggap memiliki
kemampuan, kegigihan, dan tekat yang luar biasa.
Ketiga, pemimpin yang inspirational motivation
berkaitan dengan bagaimana pemimpin dapat
mengispirasi atau memberi energi pada karyawan
untuk menerima dan melakukan segala upaya untuk
mencapai visi dan tujuan kedepan perusahaan.
Keempat, memiliki pertimbangan secara individual
yakni
pemimpin
mampu
membangun
dan
mengembangkan
hubungan
antar
karyawan
perusahaan. Dalam hal ini menurut Shin dan Zhou
tentang bagaimana cara pemimpin menunjukkan
pemahaman, empati, dukungan, dan penghargaan atas
inisiatif, aspirasi, dan sudut pandang karywan (dalam
Slåtten & Mehmetoglu, 2014). Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa pemimpin dalam industri ataupun
organisasi bukan hanya berperan sebagai pemegang
pimpinan tertinggi, melainkan juga harus dapat
memberikan teladan perilaku yang baik dan inspirasi
bagi karyawannya.
80
Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur)
Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah
Dess dan Picken (dalam Slåtten & Mehmetoglu,
2014) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
merupakan faktor penting yang terkait dengan inovasi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya (Jung, dkk , 2003;
Gumuslouoglu & Ilsev, 2009; Slåtten & Mehmetoglu,
2014) mendapatkan hasil bahwa pemimpin
transformasional
mampu
meningkatkan
kecenderungan umum pada perusahaan atau organisasi
untuk melakukan inovasi. Bass mengemukakan bahwa
empat dimensi kepemimpinan transformasional yang
paling panting dalam terciptanya inovasi adalah
intellectual simulation dan pemimpin sebagai
inspirational motivation. Penelitian tersebut juga
menungkapkan bahwa melalui kepemimpinan
transformasional dapat memberi motivasi pada
karyawan untuk melakukan sesuatu yang dluar
harapannya, seperti berinovasi. Kemudian berdasarkan
penelitian yang dilakukan Slåtten & Mehmetoglu
(2014) menunjukkan bahwa perilaku kerja inovatif
dengan gaya kepemimpinan transformasional memiliki
pengaruh positif, yang mana perilaku kerja inovatif
akan
meningkat
jika
gaya
kepemimpinan
transformasional juga meningkat. Hal tersebut
didukung
dengan
pernyataan
bahwa
gaya
kepemimpinan transformasional merupakan cara yang
efektif untuk mendorong kecenderungan perusahaan
untuk berinovasi secara umum (gardner & Avollo,
1998; Jung, dkk, 2008; Sarros, dkk, 2008; Slåtten &
Mehmetoglu, 2014). Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan perilaku kerja inovatif melalui
kepemimpinan transformasional.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi literatur. Studi literatur merupakan metode yang
digunakan dalam penelitian dengan mengumpulkan
informasi dan data dengan melalui buku, jurnal,
catatan, dan berbagai sumber lain yang berkaitan
dengan masalah yang ingin diselesaikan. Pada
penelitian ini, peneliti mengumpulkan data-data yang
berkaitan dengan perilaku kerja inovatif dan gaya
kepemimpinan transformasional yang bersumber dari
jurnal penelitian.
PEMBAHASAN
Perilaku Inovatif
Inovasi merupakan bagian dari kontribusi individu
dalam mengembangkan kinerja dari pekerjaannya.
Inovasi juga merupakan implikasi dari proses
kreativitas individu. Menurut Robbins (2006) inovasi
ialah suatu pencapaian serta penemuan baru, dapat
berupa ide, aturan, sistem atau hal lainnya (Sujarwono
& Wahjono, 2017) . Sujarwo dan Wahjono (2017)
mengatakan bahwa inovasi merupakan suatu hal yang
baru, tapi tidak selalu baru, dimana bentuknya tidak
sama dengan yang sudah ada terlebih dahulu. Inovasi
dapat berupa pembaharuan ide maupun sistem. Inovasi
merupakan dasar dari perilaku inovatif terbentuk.
Perilaku inovatif timbul dikarenakan adanya
perubahan sosial yang terjadi karena individu sendiri
maupun masyarakat (Sujarwono & Wahjono, 2017).
Perilaku inovatif menekankan ciri perubahan yang
berupa sikap bersifat tradisional menjadi modern, hal
ini akan memperlihatkan perbedaan pada individu
berupa adanya upaya kritis mengenai bagaimana
perubahan yang terjadi menjadi beguna dan bernilai
tambah (Sujarwono & Wahjono, 2017). Kleysen dan
Street (2001) mendefinisikan perilaku inovatif ialah
segala tindakan individu yang mewujudkan pengenalan
dan keuntungan kepada organisasi atau perusahaan.
Dengan adanya perilaku inovatif seseorang mempunyai
solusi dari pemecahan masalah yang berbeda dari orang
lain serta lebih efektif dan efisien. Menurut De Jong dan
Hartog (2007) perilaku inovatif dapat berupa eksplorasi
peluang serta ide-ide baru yang mencakup perilaku
aplikatif ide baru dari diri individu, penerapan
pengetahuan dan pencapaian peningkatan kinerja
individu dan kinerja kerja (Maulana, 2019). Individu
yang memiliki perilaku inovatif mempunyai
karakteristik serta tahapan-tahapan yang ia lalui.
Karakteristik perilaku inovatif menurut Gorge dan
Zhou (2001) ialah: 1) individu memahami
perkembangan teknonologi, proses serta gagasan baru;
2) individu berupaya dalam menghasilkan ide serta
gagasan baru; 3) individu berupaya untuk
memperjuangkan dan menyebar luaskan ide-ide kepada
orang lain; 4) indivdu menyediakan kebutuhan yang
diperlukan dalam mewujudkan ide-ide baru; 5)
individu mengembangkan strategi perencanaan untuk
mewujudkan ide baru (Sujarwono & Wahjono, 2017).
Dalam melakukan perilaku inovatif di lingkungan
pekerjaan, individu akan melewati proses tahapan yang
terdiri dari tiga tahapan (Prayudhayanti, 2014) yaitu: 1)
Generating ideas, merupakan tahapan yang melibatkan
individu bekerja sama dengan tim dalam menghasilkan
suatu ide dalam mengembangkan, memperbaiki, atau
menciptakan; 2) Harvesting ideas, merupakan tahapan
dimana sekelompok orang mengumpulkan ide-ide
sebelumnya dan mengevaluasi ide tersebut; 3)
Developing and implementing, merupakan tahapan
mengembangkan ide dan mengaplikasikan ide tersebut
secara nyata. Menurur Sanders, dkk (2010) perilaku
81
Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur)
Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah
inovatif pada karyawan akan mensukseskan organisasi
atau perusahaan serta bermanfaat bagi kinerja.
Selain karakteristik perilaku inovatif dan fase dalam
proses perilaku inovatif, terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya perilaku inovatif yang
terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi perilaku inovatif
menurut Etikariena dan Muluk (2014) ialah jenis
kepribadian dan gaya individu dalam problem solving
(Faizaty & Rivanda, 2019). Faktor eksternal yang
mempengaruhi perilaku inovatif menurut Etikariena
dan Muluk (2014) ialah kepemimpinan, dukungan,
tuntutan dalam pekerjaan dan kondisi psikologis
(Faizaty & Rivanda, 2019). Menurut Prayudhayanti
(2014) perilaku inovatif tidak hanya dipengaruhi oleh
dalam diri individu, akan tetapi perilaku inovatif dapat
muncul karena individu menghadapi suatu tantangan
dalam pekerjaan yang menyebabkan ia bertanggung
jawab dan diberikan kewenangan dalam penyelesaian.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
inovatif adalah kepemimpinan. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Kim dan Yoon bahwa kreativitas
karyawan, perubahan pada karyawan, dan sumberdaya
untuk inovasi berhubungan dengan lingkungan budaya
inovasi yang berada disekitarnya (Khasanah & Himam,
2018). Budaya inovasi dapat diwujudkan melalui
kepemimpinan yang dapat membangkitkan semangat
serta menghadapi perubahan situasi yang dialami
karyawan, pemimpin memberi inspirasi kepada
karyawan untuk dapat mencapai tujuan dari organisasi
atau perusahaan (Robiah, Yunus, Ashry, & Tarigan,
2013; Sulistiyani & Azizah, 2017). Kepemimpinan
yang sesuai dengan pengembangan budaya inovasi
dalm
mewujudkan
perilaku
inovatif
ialah
kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan Transformasional
Menurut Kim dan Yoon (2015) kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif terhadap inovasi
karyawan dalam lingkungan pekerjaan (Khasanah &
Himam, 2018). Kepemimpinan transformasional
menurut Fischer (2016) ialah gaya kepemimpinan yang
mempunyai nilai serta kompetensi dilihat dari kinerja,
kematangan emosional, menginspirasi, dan cara dalam
memotivasi karyawan atau rekan kerja. Fisher (2016)
juga mendefinisikan kepemimpinan transformasional
merupakan pemimpin yang mampu mewujudkan
perubahan
inovasi.
Antonakis,
Avolio
dan
Sivasubramaniam
(2003)
mengatakan
bahwa
kepemimpinan transformasional merupakan perilaku
yang bersifat proaktif, pemimpin yang meningkatkan
perhatian untuk mewujudkan tujuan bersama sampai
pada tingkatan tertinggi dengan membantu rekan kerja
bersama. Dari definisi yang disbeutkan dapat diambil
kesimpulan bahwa kepemimpinan transformasional
merupakan suatu gaya kepemimpinan yang dapat
dilihat dari kompetensi, kematangan emosional, dapat
menginspirasi rekan kerjanya agar dapat mewujudkan
tujuan organisasi atau perusahaan secara bersamasama.
Kepemimpinan transformasional memiliki empat
aspek yang dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1994)
yaitu: 1) Pengaruh ideal (Idealized influence) ialah
aspek pemimpin berupa perilaku seperti pemberian visi
dan misi, mempunyai rasa bangga dan kepercayaan dari
rekan kerjanya. Aspek ini menjadikan pemimpin dapat
mewujudkan visi dengan jelas, memotivasi rekan kerja,
kinerja kerja yang naik, dan menunjukkan etika yang
tinggi. Pemimpin transformasional yang mempunyai
aspek ini mampu meyakinkan rekan kerja melalui visi
dan etikanya sehingga rekan kerja percaya pada
pemimpin; 2) Motivasi inspirasional (Inspirational
motivation) ialah aspek pemimpin berupa tindakan
dalam menginspirasi rekan kerjanya dengan cara
menunjukkan komitmen, optimisme, antusiasme
mencapai tujuan bersama. Pemimpin mencontohkan
dengan meningkatkan standarisasi tinggi; 3) Stimulasi
intelektual (Intellectual stimulation) ialah aspek
pemimpin berupa perilaku yang meningkatkan
kesadaran mengenai suatu masalah dan mempengaruhi
rekan kerja melihat masalah tersebut dari sudut
pandang baru yang mengarah pada problem solving.
Pemimpin mampu mempengaruhi rekan kerja menjadi
lebih kreatif dan inovatif dan berani mengambil resiko.
Stimulasi intelektual ini menjadikan individu
mempunyai kemampuan untuk berfikir dengan caracara baru dalam bekerja sehingga menghasilkan
pemecahan masalah melalui ide-ide baru dan
mendorong untuk mencobanya tanpa kekhawatiran
akan kritik publik; 4) Pertimbangan individual
(Individual Consideration) ialah aspek pemimpin
berupa kemampuan dalam memahami rekan kerja dan
berbagi masalah serta kebutuhan. Pemimpin juga
memperlakukan rekan kerja dengan memahami
berbagai
kepribadian
dengan
menggunakan
pemberdayaan, pendampingan, menjadi pendengar,
dan melihat individu secara unik yaitu mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Peningkatan
Perilaku
Inovatif
Melalui
Kepemimpinan Transformasional
Dalam suatu organisasi maupun perusahaan akan ada
suatu tuntutan untuk selalu berinovasi. Hal tersebut
dikarenakan perubahan zaman dan daya tarik minat
82
Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur)
Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah
masyarakat berubah menjadi arah kreativitas yang
mengharuskan suatu organisasi maupun perusahaan
mempunyai inovasi baru untuk mencapai tujuan yang
membuat keuntungan bagi organisasi maupun
perusahaan. Perilaku inovatif akan berdampak pada
produktivitas suatu organisasi atau perusahaan.
Penelitian ini membahas mengenai peningkatan
perilaku
inovatif
melalui
kepemimpinan
transformasional ditinjau dari studi terdahulu. Apakah
perilaku inovatif dapat ditingkatkan melalui
kepemimpinan transformasional dapat dilihat sebagai
berikut:
Dalam jurnal penelitian berjudul “Hubungan antara
Gaya Kepemimpinan Transformasional dengan
Perilaku Inovatif Karyawan Non Proses (Supporting)
PT Indocement Tunggal Prakarsa TBK Plant
Paliaman” ditulis oleh Ayu Octavias dan Ika Zenita
Ratnaningsih (2017) bertujuan untuk mengetahui
hubungan gaya kepemimpinan transformasional
dengan perilaku inovatif karyawan. Penelitian ini
menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan
salah satu faktor yang meningkatkan perilaku inovatif.
Pemimpin dalam perusahaan merupakan role model
bagi karyawan lainnya. Melalui aspekaspek perilaku
inovatif, gaya kepemimpina transformasional akan
membuat keefektifan dan membuat perusahaan
mencapai tujuan. Dari penelitian ini menghasilkan
bahwa gaya kepemimpinan memberika keefektifan
yang tinggi terhadap perilaku inovatif. Penelitian ini
mendukung pernyataan dari May (2007) yang
mengatakan bahwa inovasi yang dilakukan oleh
karyawan berhubungan dengan kepemimpinan yang
efektif.
Dalam jurnal penelitian berjudul “Kepemimpinan
Transformasional, Kepribadian Proaktif, dan Desain
Kerja sebagai Prediktor Perilaku Kerja Inovatif” ditulis
oleh Iffah Fitri Nur Khasanah dan Fathul Himam
(2018) bertujuan untuk menguji secara empirik apakah
kepemimpinan transformasional, kepribadian proaktif,
dan desain kerja mendorong perilaku inovatif pada
karyawan. Hasil dari penelitian ini adalah terbuktinya
kepemimpinan
transformasional
yang
tinggi
menyebabkan peningkatan perilaku kerja inovatif
karyawan. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
karyawan merasakan peran dari pemeimpin
transformasional maka perilaku inovatif karyawan
menjadi semakin tinggi.
Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Pengaruh
Iklim Organisasi, Kepemimpinan Transformasional,
Self Efficay terhadap Perilaku Kerja Inovatif” ditulis
oleh Dewa Nyoman Reza Aditya dan Komang Ardana
(2016) bertujuan untuk menguji pengaruh iklim
organisasi, kepemimpinan transformasional, dan self
efficay terhadap perilaku kerja novatif karyawan.
Penelitian ini menjelaskan bahwa dari hasil analisis
weakness dan threat perusahaan mengalami
permasalahan pada perilaku inovatif karyawan.
Sehingga peneliti melakukan uji salah satunya adalah
apakah
terdapat
pengaruh
kepemimpinan
transformasional terhadap perilaku kerja inovatif. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan
transformasional berpengaruh terhadap perilaku kerja
inovatif.
Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional dan Budaya
Organisasi terhadap Perilaku Inovatif Karyawan (Studi
Kasus di PT. Bank Danamon Indonesia)” ditulis oleh
Ryani Dhyan Parashakti, Mochammad Rizki, dan
Lisnatiawati Saragih (2016). Penelitian ini menjelaskan
perilaku inovatif perusahaan terlihat dari sedikitnya
prosedur, kebijakan dan peraturan perusahaan yang
dihasilkan yang seharusnya menjadi tolak ukur dari
perusahaan tersebut. Inovasi di dalam organisasi atau
perusahaan tidak dapat dilepaskan dari peran pemimpin
dari organisasi atau perusahaan tersebut. Peneliti
melakukan uji untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh kepemimpinan transformasional dan budaya
organisasi terhadap perilaku inovatif. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan
transformasional berpengaruh terhadap perilaku
inovatif di perusahaan.
PENUTUP
Simpulan
Inovasi merupakan bagian dari kontribusi individu
dalam mengembangkan kinerja dari pekerjaannya.
Inovasi juga merupakan implikasi dari proses
kreativitas individu. Karakteristik perilaku inovatif
menurut Gorge dan Zhou (2001) ialah: 1) individu
memahami perkembangan teknonologi, proses serta
gagasan baru; 2) individu berupaya dalam
menghasilkan ide serta gagasan baru; 3) individu
berupaya untuk memperjuangkan dan menyebar
luaskan ide-ide kepada orang lain; 4) indivdu
menyediakan kebutuhan yang diperlukan dalam
mewujudkan ide-ide baru; 5) individu mengembangkan
strategi perencanaan untuk mewujudkan ide baru
(Sujarwono & Wahjono, 2017). Dalam melakukan
perilaku inovatif di lingkungan pekerjaan, individu
akan melewati proses tahapan yang terdiri dari tiga
tahapan (Prayudhayanti, 2014) yaitu: Generating ideas,
Harvesting ideas, Developing and implementing.
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
inovatif yang terbagi menjadi faktor internal dan faktor
83
Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur)
Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah
eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku
inovatif menurut Etikariena dan Muluk (2014) ialah
jenis kepribadian dan gaya individu dalam problem
solving (Faizaty & Rivanda, 2019). Faktor eksternal
yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut
Etikariena dan Muluk (2014) ialah kepemimpinan,
dukungan, tuntutan dalam pekerjaan dan kondisi
psikologis (Faizaty & Rivanda, 2019).
Kepemimpinan transformasional menurut Fischer
(2016) ialah gaya kepemimpinan yang mempunyai
nilai serta kompetensi dilihat dari kinerja, kematangan
emosional, menginspirasi, dan cara dalam memotivasi
karyawan atau rekan kerja. Kepemimpinan
transformasional memiliki empat aspek yang
dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1994) yaitu:
Pengaruh ideal (Idealized influence), Motivasi
inspirasional (Inspirational motivation), Stimulasi
intelektual (Intellectual stimulation), Pertimbangan
individual (Individual Consideration).
Dari hasil studi literatur dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan
perilaku inovatif. Hal ini dikarenakan pemimpin
menjadi role model dalam bekerja. Pemimpin
menginspirasi karyawan dalam bertindak dan
memotivasi untuk mempunyai inovasi dalam problem
solving yang dihadapi. Didukung penelitian yang
dilakukan oleh Khasanah dan Himam (2018), semakin
karyawan merasakan peran pemimpin transformasional
maka perilaku inovatif semakin tinggi.
Saran
Berdasarkan temuan yang sudah dibahas, saran yang
dapat peneliti berikan bagi peneliti selanjutnya yaitu
diharapkan dapat melakukan penelitian yang berkaitan
dengan
faktor-faktor
internal
yang
dapat
mempengaruhi perilaku kerja inovatif, seperti
hubungan dengan kelompok kerja pada faktor internal.
Dan juga faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku
kerja inovatif yaitu competitive pressures dan socialpolitical pressures. Dengan demikian diharapkan dapat
diketahui
bahwa
tidak
hanya
pemimpin
transformasional saja yang dapat
meningkatkan
perilaku kerja inovatif pada karyawan. Berdasarkan
temuan penelitian yang dibahas, saran dapat mengacu
pada penelitian lanjutan, pengembagan teori yang ada
atau teori baru, dan melakukan tindakan praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, D. N. R., & Ardana, K. (2016). Pengaruh iklim
organisasi, kepemimpinan transformasional, self
efficacy terhadap perilaku kerja inovatif. E-Jurnal
Manajemen, 5(3).
Antonakis J., Avolio B.J., & Sivasubramaniam, N.
2003. Context and Leadership: An Examination of
the Nine Factor Full-Range Leadership Theory
Using the Multifactor Leadership Questionnaire,
The Leadership Quarterly, Vol 14, No 2, hal 261295.
Bass, B.M. & Avolio, B.J., (1994), Improving
Organizational
Effectiveness
through
Transformational Leadership, Sage, Thousand
Oaks.
Cefis, E., & Marsili, O. (2006). Survivor: The role of
innovation in firms’ survival. Research Policy,
35(5),
626–641.
https://doi.org/10.1016/j.respol.2006.02.006
de Jong, J., & den Hartog, D. (2010). Measuring
Innovative Work Behaviour. Creativity and
Innovation Management, 19(1), 23–36.
Faizaty, N. E., & Rivanda, N. O. (2019). Pengaruh
Gaya Kepemimpinan Otokratis terhadap Perilaku
Inovatif Karyawan UMKM Batik Ghatot
Tuban. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, 20(2),
09-17.
Fischer, S. A., (2016). Transformational leadership in
nursing: A concept analysis. Journal of Advanced
Nursing, 72 (11), 2644–2653.
Kania, D., Senen, S. H., & Masharyono, M. (2018).
Analisis
gambaran
kepemimpinan,
work
engagement dan perilaku kerja inovatif karyawan.
Journal of Business Management Education, 3(3),
79-88.
Khasanah, I. F. N., & Himam, F. (2018).
Kepemimpinan Transformasional Kepribadian
Proaktif dan Desain Kerja sebagai Prediktor
Perilaku Kerja Inovatif. Gadjah Mada Journal of
Psychology (Gamajop), 4(2), 143-157.
Kleysen, R.F., & Street, C.T. (2001). Toward a multidimensional measure of individual innovative
behavior. Journal of Intellectual Capital. 2(3),
1469-1930.
Maulana, Abdussamad (2019). Efektivitas Pelatihan
Team Building Untuk Meningkatkan Perilaku
Inovatif Perawat IGD RSUD Kabupaten Sumbawa
(Nusa Tenggara Barat). Tesis thesis, Universitas
Mercu Buana Yogyakarta.
Nardo, R., Evanita, S., & Syahrizal. (2018). Pengaruh
kepemimpinan transformasional, dan lingkungan
kerja non fisik terhadap perilaku inovatif. Jurnal
ekonomi dan bisnis islam, 3(2), 209-215.
Octavia, A., & Ratnaningsih, I. Z. (2017). Hubungan
Antara Gaya Kepemimpinan Transformasional
Dengan Perilaku Inovatif Karyawan Non Proses
(Supporting) PT Indocement Tunggal Prakarsa
Tbk Plant Palimanan. Empati, 6(1), 40-44.
84
Peningkatan pada Perilaku Kerja Inovatif melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional (Sebuah Studi Literatur)
Nadhira Hafizah Virgianty, Lilik Iswatun Khasanah
Parashakti, R. D., Rizki, M., & Saragih, L. (2016).
Pengaruh kepemimpinan transformasional dan
budaya organisasi terhadap perilaku inovatif
karyawan (studi kasus di pt. Bank danamon
indonesia). Jurnal Manajemen Teori dan Terapan|
Journal
of
Theory
and
Applied
Management, 9(2).
Prayudhayanti, B. N. (2014). Peningkatan perilaku
inovatif melalui budaya organisasi. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis, 15(2), 19-32.
Scott, S. G., & Bruce, R. A. (1994). Determinants of
Innovative Behavior: a Path Model of Individual
Innovation in the Workplace. Academy of
Management
Journal,
37(3),
580–607.
https://doi.org/10.2307/256701
Slåtten, T., & Mehmetoglu, M. (2014). The Effects of
Transformational Leadership and Perceived
Creativity on Innovation Behavior in the
Hospitality Industry. Journal of Human Resources
in Hospitality & Tourism, 14(2), 195–219.
Sujarwo, A., & Wahjono, W. (2017). Pengaruh
Motivasi Kerja Dan Perilaku Inovatif Terhahap
Kinerja Karyawan Dengan Kepuasan Kerja
Sebagai Variabel Mediasi (Studi Kasus Pada LKP
Alfabank Semarang). INFOKAM, 13(1).
Sulistiyani, E. (2017, November). Beberapa
Determinan Perilaku Kerja Inovatif pada
Karyawan Industri Batik Skala Ekspor Surakarta.
In Prosiding Sentrinov (Seminar Nasional Terapan
Riset Inovatif), 3(1), EB308-EB319.
85
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN
PERUSAHAAN: SEBUAH STUDI LITERATUR
Akbar Habibie
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Akbar.17010664174@mhs.unesa.ac.id
Zulia Tasnim
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Zulia.17010664184@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Perusahaan di Indonesia sangat banyak dengan macam-macam jenis perusahaan dan tujuan yang
berbeda. Tujuan perusahaan dapat dicapai dengan melakukan pengoptimalan pada beberapa aspek.
Salah satu aspek yang harus dioptimalkan yaitu pada bagian sumber daya manusia (SDM) dimana
merupakan aset terpenting bagi perusahaan. Pengoptimalan SDM dapat dilakukan dengan berbagai
cara salah satunya yaitu dengan memenuhi kebutuhan karyawan yang akan menimbulkan kepuasan
kerja bagi karyawan yang juga akan berdampak pada aspek lian seperti komitmen organisasi yang
dimiliki karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasi pada karyawan perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode studi literatur
dengan mengumpulkan berbagai sumber yang mencakup permasalahan yang diangkat peneliti yang
berjumlah 14 sumber yang terdiri dari 4 buku dan 10 jurnal penelitian. Penggalian data yang
dilakukan peneliti yaitu dengan menggunakan bantuan teknik matrik sintesis. Teknik matrik sintesis
merupakan teknik yang digunakan untuk mempermudah menemukan inti permasalahan dari
berbagai sumber yang dikhususkan untuk penelitian yang menggunakan metode studi literatur. Hasil
penelitian ini yaitu terdapat pengaruh positif dan signifikan kepuasan kerja karyawan terhadap
komitmen organisasi yang dimiliki karyawan perusahaan.
Kata Kunci: komitmen organisasi, kepuasan kerja, studi literatur.
PENDAHULUAN
Perusahaan merupakan sebuah organisasi yang terdiri
dari kelompok orang yang bekerja untuk mencapai
tujuan tertentu yang telah ditentukan (Robert, 2019).
Setiap perusahaan memiliki karyawan sebagai sumber
daya manusia yang dapat membantu perusahaan dalam
berproses untuk memajukan serta mengembangkan
perusahaan. Karyawan merupakan seseorang yang di
pekerjakan dan diberi tugas oleh perusahaan.
Kemampuan perusaahan dalam bersaing sesama
perusahaan juga didasari oleh karyawan yang ada pada
suatu perusahaan. Maka dengan demikian banyak
perusahaan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia perusahaannya. Perusahaan besar terwujud
karena memiliki karyawan yang berprestasi dan juga
memiliki produktivitas yang tinggi. Aspek karyawan
yang terpenuhi juga sangat berpengaruh pada kinerja
yang baik yang menguntungkan baik bagi karyawan
sendiri maupun perusahaan. Aspek karyawan terdiri
dari banyak aspek yang menjadi tugas bagi perusahaan
untuk memenuhi aspek-aspek tersebut. Beberapa aspek
karyawan yang sering dilihat atau didengar yaitu
komitmen organisasi, hubungan organisasi, kepuasan
kerja, dan lain sebagainya. Setiap aspek karyawan
berkemungkinan memiliki dampak atau berhubungan
dengan aspek yang lain. Salah satu aspek yang sangat
besar kemungkinannya berpengaruh terhadap aspek
lain yaitu kepuasan kerja karyawan.
Kepuasan kerja merupakan perasaan senang yang
muncul dari karyawan tentang pekerjaan yang
dilakukannya (As’ad dalam Kurniawan). Kepuasan
kerja karyawan akan berdampak pada produktivitas dan
juga prestasi dari karyawan. Kepuasan kerja yang di
kemukakan oleh Kunartinah (dalam Nurcahyani, 2016)
diaman dia mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah
hal yang penting dan seharusnya di miliki oleh
karyawan. Hal ini bertujuan untuk karyawan dapat
merasa nyaman dalam bekerja baik mulai dari
berinteraksi
dengan
lingkungan
kerjanya,
melaksanakan pekerjaan dengan baik dan dapat
memicu karyawan bersungguh sungguh terhadap
pekerjaannya serta mengerjakannya dengan penuh
gairah. Hal ini membuat karyawan menjadi ikut
berkontribusi dalam meningkatkan sebuah pencapain
perusahaan. Kepuasan kerja dapat dibentuk oleh
perusahaan dengan berbagai macam cara. Setiap cara
yang dilakukan perusahaan untuk memunculkan
kepuasan kerja terhadap karyawan digunakan untuk
mencapai tujuan bersama yaitu tujuan perusahaan.
Kepuasan kerja karyawan sangat penting bagi
perusahaan karena puasnya karyawan akan berdampak
pada aspek karyawan yang lain serta aspek perusahaan.
Salah satu aspek yang sangat berkemungkinan
86
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur
Akbar Habibie, Zulia Tasnim
dipengaruhi kepuasan kerja yaitu komitmen organisasi
karyawan.
Komitmen pada sebuah organisasi adalah sebuah
aspek penting bagi sebuah organisasi. Northcraft dan
Neale (Susiawan & Muhid, 2015) mengemukakan pada
dasarnya jika seorang karyawan ketika mempunyai
sebuah komitmen yang tinggi terhadap organisasi
dimana tempat dia bernaung, maka karyawan tersebut
akan memberikan hasil kerja semaksimal mungkin
dalam melakukan pekerjaannya. Komitmen organisasi
merupakan keadaan dimana seseorang sebagai
karyawan memiliki pihak atas perusahaan secara
penuh, baik pada tugas-tugasnya, tujuan-tujuannya,
hingga kesetiaan dengan mempertahankan dirinya
sebagai anggota karyawa dari organisasi atau
perusahaan tersebut (Robbins & Judge, dalam Yulianti,
2017). Bagi sebuah perusahaan memiliki keryawan
yeng mempunyai komitmen yang tinggi dan juga
kualitas yang bagus merupakan modal yang baik untuk
melakukan persaingan bisnis dengan perusahaan yang
lainnya, karena dalam sebuah perusahaan yang paling
diandalkan yaitu sumber daya manusianya. Jika sebuah
perusahaan memiliki sumber daya manusia yang tidak
memiliki komitmen pada organisasinya dan juga
memiliki kualitas yang rendah maka akan sulit bagi
perusahaan tersebut untuk bersaingan dalam dunia
bisnis dengan perusahaan yang lainnya.
Suseno dan Sugianto (dalam Susiawan & Muhid,
2015) memaparkan bahwa komitmen organisasi yang
rendah dari karyawan akan membawa kerugian yang
besar bagi pihak perusahaan, terlebih lagi hal tersebut
terjadi dengan karyawan yang mana perusahaan telah
memberikan banyak pelatihan kepadanya. Ketika
perusahaan menunjuk karyawan untuk mengikuti
pelatihan dengan tujuan meningkatkan soft skill dari
karyawan tersebut, pada saat itu perusahaan juga
mengeluarkan dana yang besar untuk mengadakan
pelatihan. Dana yang besar diinvestasikan dengan
harapan ketika karyawan telah selesai mengikuti
pelatihan maka akan kembali ke perusahaan dengan
soft skill yang baru, fresh¸dan inovatif. Setelah itu
karyawan diharapkan menjadi lebih produktif dan lebih
berprestasi sehingga menguntungkan perusahaan.
Namun ketika komitmennya terhadap perusahaan
semakin menurut, maka pelatihan yang diberikan oleh
perusahaan kepada karyawan tersebut menjadi sia sia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susilo
Susiawan dan Abdul Muhid yang berjudul
“Kepemimpinan Transformation, Kepuasan Kerja dan
Komitmen Organisasi” dari hasil penelitian yang
dilakukan terdapat kesimpulan bahwa kepuasan kerja
mempengaruhi komitmen organisasi pada karyawan
Produksi PT. BI di Gresik. Ketika kepuasaan kerja dari
karyawan tinggi maka hal tersebut akan berbanding
lurus dengan komitmen terhadap organisasi. Begitu
juga demikian, jika kepuasan kerja yang ada pada
karyawan rendah maka komitmen kariawan terhadap
oraganisasi juga akan menjadi rendah. Parawita juga
mengungkapkan (dalam, Susiawan & Muhid, 2015)
jika karywan telah di penuhi kebutuhan intrinsiknya
oleh perusahaan maka karyawan tersebut akan
memperlihatkan loyalitas dan juga keperduliannya
terhadap perusahaan tempat dia bekerja.
Kepuasan kerja sendiri merupakan kondisi
emosional yang dimiliki individu sebagai karyawan
berupa perasaan menyenangkan pada pekerjaannya
(Locke dalam Tama dan Hardiningtyas, 2017).
Perasaan menyenangkan karyawan atas pekerjaannya
dapat disebut sebagai kepuasan kerja. Kepuasan kerja
yang dimiliki karyawan menjadi kepuasan tersendiri
pula bagi perusahaan.
Sedangkan menurut Jewell dan Siegel (dalam Tama
& Hardiningtyas, 2017) kepuasan kerja merupakan
sebuah sikap karyawan yang didasarkan pada penilaian
situasi kerja. Sikap yang ditampilkan karyawan
tergantung pada apa yang dirasakannya, begitu pula
sikap karyawan terhadap situasi kerja yang diciptakan
lingkungan
perusahaan.
Apabila
perusahaan
memberikan situasi yang menyenangkan maka akan
menjadi kepuasan bagi karyawan perusahaan.
Berbeda dengan Berry (dalam Tama dan
Hardiningtyas, 2017) yang menyatakan bahwa
kepuasan kerja merupakan bentuk reaksi individu
terhadap pengalaman kerjanya, sehingga pengalaan
kerja di suatu perusahaan menjadi faktor yang membuat
karyawan merasa puas atau tidak.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja
merupakan kondisi emosional individu sebagai
karyawan baik berupa sikap maupun rekasi yang
menyenangkan atas pekerjaan yang dilakukan di suatu
perusahaan.
Terdapat beberapa aspek kepuasan kerja menurut
As’ad (dalam Kurniawan, 2016) yang diantaranya
adalah: (a) psikolgik, yang berorientasi pada hubungan
antara kejiwaan karyawan yang mana didalamnya
terdiri dari ketentraman dalam bekerja, minat, sikap
kerja, bakat dan juga keterampilan; (b) social,
merupakaan hubungan sosial seperti berinteraksi
dengan karyawan lain, atasan bahkan karyawan yang
beda departemen; (c) fisik, yang berhubungan dengan
kesehatan kerja, kondisi fisik lingkungan tempat kerja,
perlengkapan keselamatan kerja dan juga waktu kerja
yang diterapkan; (d) finansial, mencakup kesejahteraan
87
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur
Akbar Habibie, Zulia Tasnim
karyawan yang diantaranya yaitu jumlah gaji yang
diterima, jaminan yang diberikan perusahaan seperti
kesehatan, sosial, fasilitas yang di berikan, promosi
jabatan dan tunjangan yang diberikan oleh perusahaan.
Salah satu aspek kepuasan kerja menurut As’ad
(dalam Kurniawan, 2016) yaitu aspek psikologik
dimana aspek ini merupakan aspek yang sangat penting
bagi kepuasan kerja seseorang. Selain aspek
psikologik, aspek lain juga sangat berpengaruh pada
kepuasan kerja seseorang. Aspek-aspek tersebut,
teruama pada aspek psikologik, sosial, dan fisik yang
memiliki definisi bagaimana keadaan lingkungan
sangat berpengaruh dalam pemenuhan aspek-aspek
tersebut. ketentraman jiwa, hubungan yang baik, dam
kesehatan lingkungan kerja yang membuat kesehatan
fisik terjaga dapat membangun aspek lain dalam
karyawan selain kepuasan kerja. Kreitner dan Kinicki
(dalam Muhridin, Ansir, & Sinarwaty, 2019)
menyebutkan terdapat lima faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya
yiatu: pemenuhan kebutuhan, perbedaan, pencapaian
nilai, keadilan, dan komponen genetik atau hubungan
kepuasan kerja dengan variabel lain yang bersifat
positif maupun negatif. Ketika seorang karyawan
memiliki kepuasan kerja yang berarti bahwa faktor
yang mempengauhi kepuasan kerja sudah terpenuhi
baik hanya satu faktor maupun lebih, maka akan timbul
aspek lain yang lebih menguntungkan, salah satu aspek
tersebut yatitu komitmen organisasi.
Luthans (dalam Fauzi, 2016) yang mengatakan
bahwa komitmen organisasi merupakan sebuah sikap
kesetiaan seorang karyawan yang ditunjukan kepada
peruasahaan yang berlangsung secara terus menerus.
Ketika sebuah perusahaan memiliki karyawan yang
mempunya komitmen kerja yang tinggi makan
perusahaan dapat meminta potensi sumber daya
manusia yang ada pada karyawannya.
Sedangkan menurut Fahri, Mariatin, dan Zahreni
(2017) yang menyatakan bahwa komitmen organisasi
merupakan sebuah hubungan antara individu sebagai
karyawan dengan perusahaan yang meliputi keinginan
untuk setia dan tidak meninggalkan perusahaan sesuai
dengan komitmen karyawan yang diantaranya yaitu
affective commitment, continuance commitment, dan
normative commitment.
Berbeda dengan Mowday, et all (dalam Fahri,
Mariatin, dan Zahreni, 2017), komitmen organisasi
merupakan bentuk kekuatan yang relatif dimiliki
karyawan untuk melibatkan dirinya dengan oganisasi
atau perusahaan.
Berdasarkan pada beberapa definisi tersebut maka
komitmen organisasi merupakan sikap yang juga
bentuk kekuatan individu sebagai karyawan yang
ditunjukkan pada perusahaan sebagai bentuk kesetiaan
sesuai dengan komitmen karyawan.
Mowday, et all (dalam Ingarianti, 2017)
mengemukakan bahwa dimensi atau aspek dari
organisasi yaitu terdapat tiga, diantaanya yaitu: 1)
peneriman terhadap nilai serta tujuan perusahaan,
dimana karyawan dapat menerima segala tujuan
perusahaan tanpa ada perasaan jengkel maupun tidak
terima atas tujuan dan nilai-nilai yang ditetapkan
perusahaan; 2) Kesukarelaan untuk berusaha
melakukan yang terbaik untuk organisasi atau
perusahaan, merupakan sebuah ketersediaan karyawan
disamping gaji yang diberikan maka karyawan
melakukan yang terbaik semampunya semata-mata
karena memiliki komitmen terhadap perusahaan; 3)
keinginan menjaga loyalitas keanggotaan organisasi
atau karyawan untuk tetap berada pada perusahaan
dimana tempat da bekerja, dimana karyawan berusaha
tetap berada di perusahaan dan ingin terus berada di
perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka peneliti
melakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui
apakah terdapat pengaruh antara kepuasan kerja dengan
komitmen organisasi pada karyawan.
METODE
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini
yaitu studi literatur. Studi literatur merupakan metode
yang digunakan peneliti dengan mengumpulkan
referensi yang relevan dengan permasalahan yang
diangkat oleh peneliti (Baharuddin & Bumbungan,
2018). Sumber referensi yang digunakan peneliti yaitu
14 sumber referensi berupa buku dan jurnal penelitian
yang didapat dari sumber yang akurat yaitu dari website
resmi penerbit dan google scholar. Prosedur penelitian
menggunakan
metode
studi
literatur
yaitu
pengumpulan data, analisis data, kemudian
kesimpulan. Penelitian dengan studi literatur ini
peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan
data sekunder dari bahan informasi dan referensi yang
berkaitan dengan permasalahan yang harus dipecahkan.
Penggalian data yang dilakukan peneliti yaitu
menggunakan bantuan teknik matrik sintesis. Teknik
matrik sintesis merupakan teknik yang digunakan
untuk mempermudah peneliti melakukan analisis
sumber data yang didapatkan dengan cara menemukan
setiap ide pokok yang terdapat dalam setiap sumber
data yang didapatkan. Peneliti melakukan penelitian ini
dari rumah mengingat keadaan yang mengharuskan di
rumah karena terdapat pandemi covid19. Penelitian ini
dilakukan selama sekitar dua bulan.
88
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur
Akbar Habibie, Zulia Tasnim
PEMBAHASAN
Kepuasan Kerja
Terdapat beberapa penyataan dari para peneliti tentang
kepuasan kerja. Noermijati (2013) mengungkapkan
bahwa dalam ruang lingkup kerja, perusahaan harus
memperhatikan kepuasan kerja karyawannya. Hal ini
dimaksudkan agar karyawan yang terlibat dalam
operasional perusahaan dapat berkerja dengan sungguh
sungguh dan penuh tanggungjawab. Hal ini bisa
tercapai jika kepuasan kerja dari karyawan terpenuhi.
Kepuasan kerja dari setiap karyawan berbeda beda
antara karywan satu dengan karyawan lainnya. Hal ini
didukung oleh Bahri (2018) yang menyatakan bahwa
kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual
dan tidak bisa disamakan antara kepuasan kerja
karyawan satu dengan yang lainnya. Jadi kepuasan
kerja merupakan apa yang diharapkan oleh individu
bukan apa yang di tentukan dari perusahaan, seperti
halnya ada karyawan yang merasa kepuasan kerjanya
tinggi jika dia diberikan gaji yang besar dan ada juga
karyawan yang kepuasan kerjanya naik ketika
perusahaan memberikannya sebuah promosi yang
tentunya di inginkan oleh orang tersebut. Kepuasan
kerja juga bisa dipengaruhi oleh motivasi seperti
promosi dan kenaikan gaji yang diberikan oleh
perusahaan. Pada perusahaan yang memiliki organisasi
yang kurang baik misalnya kepemimpinan yang buruk,
lingkungan kerja yang tidak nyaman, budaya organisasi
dan juga motifasi yang buruk akan mempengaruhi
kepuasan kerja dari karyawan yang bekerja disana
(Bahri, 2018).
Pada dasarnya ketika individu memiliki kepuasan
kerja yang tinggi maka dia akan melalukan kerja
dengan baik. Bahri (2018) mengungkapkan bahwa
kepuasan kerja merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan dan juga dipelajari. Ketika seorang
karyawan memiliki kepuasan kerja yang tinggi maka
akan menunjukan sikap kerja yang positif dan
melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya. Hal ini
menjadi salah satu faktor yang biasa di perhatikan dan
di pelajari oleh sebuah perusahaan. Jika mereka ingin
mencapai target yang telah ditetukan maka hal yang
perlu mereka lakukan adalah memenuhi kepuasan kerja
karyawannya. Ketika kepuasan kerja karyawan
terpenuhi maka karyawan tersebut akan merasa senang
melakukan pekerjaannya, pekerjaan yang dilakukannya
tidak lagi dianggap sebagai beban yang harus dipikul.
Hal ini juga akan mempengaruhi hasil pekerjaan
karyawan tersebut. Ketika tingkat kepuasaan kerja
karyawan tinggi maka mereka akan memiliki
emosional yang positif dan akan memberikan
loyalitasnya terhadap perusahaan tempat dia bekerja
(Hasbie, Faslah, dan Swaramarinda, 2016).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja karyawan menurut Herzberg (dalam
Noermijati, 2013) yaitu pertama, prestasi, jika
karyawan memiliki prestasi kerja yang baik dan diakui
oleh perusahaan,hal tersebut akan menjadi kebanggaan
tersendiri bagi karyawan dan tentunya akan merasa
puas akan hasil kerjanya. Kedua, penghargaan, ketika
seorang karyawan memiliki prestasi maka sepatutnya
perusahaan memberika penghargaan kepadanya, hal ini
dilakukan agar karyawan merasa dihargai hasil
kerjanya dan juga bisa meningkatkan kepuasan kerja
karyawan. Ketiga, promosi, kenaikan pangkat ini juga
bisa membuat karyawan termotivasisehingga akan
berdampak pada kinerjanya. Kempat, pekerjaan,
pekerjaan yang menjadi salah satu keahliannya akan
memudahkan karyawan menyelesaikan pekerjaan
tersebut. Kelima pertumbuhan pribadi, semakin lama
dia bekerja maka akan ada pertumbuhan sosial dan
sikap kerja pada lingkungan tempat kerja, jika tempat
kerjanya dianggap nyaman maka hal tersebut akan
berdampak pada kinerjanya. Keenam, tanggung jawab,
ketika tanggung jawab yang di pegang oleh seseorang
bertambah maka karyawan tersebut akan merasa bahwa
dia telah dipercayai oleh perusahaan dan pastinya akan
berdampak pada kepuasan kerja karyawan tersebut.
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang
meneliti mengenai kepuasan kerja. Salah satunya yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Rosita dan Yuniati
(2016) yang menunjukan hasil bahwa kepuasan kerja
memiliki pengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja seseorang
tinggi maka akan berdampak pada kinerja karyawan.
Selain itu juga terdapat penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Ningrum, Halim, dan Syamsuri (2020)
dimana penelitian ini menunjukan hasi bahwa terdapat
pengaruh yang sangat signifikan dari kepuasan kerja
terhadap kinerja karyawan. Hal ini ditemukan dengan
menggunakan analisis regresi linier berganda yang
menunjukan hasil bahwa kepuasan kerja sangat
mempengaruhi kinerja dari karyawan. Tidak hanya
kepuasan kerja saja yang mempengaruhi kinerja kerja
namun komitmen organisasi juga memiliki pengaruh
positif terhadap komitmen kerja.
Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan ketertarikan yang
karyawan terhadap perusahaan tempat dia bekerja
melalui keinginan kuat untuk terus bertahan dan
bersedia untuk selalu melayani perusahaan dengan hal
yang lebih dari keinginan organisasi atau perusahaan
89
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur
Akbar Habibie, Zulia Tasnim
(Porter dalam Kusumaputeri, 2018). Setiap organisasi
atau perusahaan memiliki tujuan masing-masing, untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan usaha yang
harus dilakukan. Karyawan yang yang memiliki
komitmen organisasi tinggi akan melakukan sesuatu
yang lebih untuk mencapai tujuan perusahaan. Menurut
Kusumaputeri (2018) menganggap bahwa karyawan
yang memiliki komitmen organisasi tinggi bukan hanya
menerima tujuan serta nilai yang dimiliki organisasi
atau perusahaan, melainkan lebih dari itu. karyawan
yang memiliki komitmen organisasi tinggi akan
memiliki sikap yang dapat diketahui oleh perusahaan
tempat dia bekerja karena karyawan tersebut
memberikan dirinya baik berupa tenaga maupun sikap
yang lebih baik dari karyawan pada umumnya yang
memiliki komitmen organisasi rendah. Sikap-sikap
yang ditunjukkan karyawan merujuk pada sikap
loyalitas terhadap perusahaan yang dapat terlihat
melalui kontribusi yang lebih untuk memenuhi
kebutuhan perusahaan.
Banyaknya karyawan yang memiliki komitmen
organisasi tinggi tergantung bagaimana perusahaan.
Secara umum komitmen organisasi memang secara
individual yang setiap karyawan pasti memiliki
tingkatan yang berbeda dan pastinya hal itu
dikarenakan karyawan itu sendiri, namun komitmen
organisasi juga dipengaruhi oleh perusahaan. Menurut
Kusumaputeri (2018) beberapa cara yang dapat
menambah dan mempertahankan komitmen organisasi
karyawannya yaitu dengan memberikan perhatian lebih
terhadap karyawan, selain itu juga perusahaan perlu
melakukan usaha-usaha yang dapat menguntungkan
karyawan yang pasti juga dapat berdampak pada
keuntungan perusahaan. Keuntungan yang diterima
oleh karyawan memberikan kesenangan bagi karyawan
dan akan berdampak pada kinerja karyawan sehingga
perusahaan akan menerima dampak positif dari kinerja
karyawan yang meningkat. Mukhtar, Ali, dan
Mardalena (2016) menyatakan bahwa terdapat empat
hal yang memiliki keterkaitan dengan komitmen kerja,
yang pertama yaitu sikap dan performa kerja, hal ini
merujuk pada sikap karyawan yang muncul serta
performa atau kinerja yang dimiliki karyawan. Kedua
yaitu perilaku, sifat, dan kognisi, hal ini merujuk pada
keterkaitan antara pikiran yang dimiliki karyawan akan
memunculkan perilaku yang menjadi sifat dan pastinya
akan berkaitan dengan komitmen organisasi. Ketiga
yaitu tanggung jawab, yang merujuk pada tanggung
saat bekerja dan mengemban amanah. Kemudian
keempat atau terakhir yaitu lama bekerja. Keempat hal
tersebut sangat berkaitan dengan komitmen organisasi,
sehingga semakin banyak hal tersebut yang dimiliki
karyawan akan menunjukkan bahwa karyawan
memiliki komitmen organisasi yang tinggi.
Membahas mengenai komitmen organisasi yang
memiliki banyak keterkaitan dan pengaruh dari
berbagai aspek. Banyak hal yang dapat mempengaruhi
komitmen organisasi salah satunya yaitu kepuasan
kerja. Sesuai dengan pernyataan Bahri (2018) yang
menyatakan bahwa terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi,salah satu dari
faktor tersebut yaitu kepuasan kerja yang dimiliki
karyawan. Kepuasan kerja dihasilkan oleh pertukaran
kontribusi karyawan dengan bonus, promosi karyawan
untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi maupun
yang diinginkan, serta kenikmatan dari pekerjaan itu
sendiri yang dapat meningkatkan minat dan kinerja
karyawan yang ketiga hal tersebut sangat menentukan
komitmen organisasi yang dimiliki karyawan (Ilahi,
Mukzam, & Prasetya, 2017).
Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi
Berdasarkan pada buku yang ditulis oleh Mukhtar, Ali,
dan Mardelina (2016) yang menyatakan bahwa
komitmen organisasi sangat berpengaruh secara positif
dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.
Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh Ilahi, Mukzam, dan Prasetya
(2017) yang meneliti mengenai hubungan kepuasan
kerja, disiplin kerja, dan komitmen organisasi pada
sampel yang berjumlah 70 orang yang merupakan
karyawan tetap di PT. PLN menemukan hasil yang
menunjukkan bahwa terdapat positif dari perhitungan
hasil yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
kepuasan kerja yang dimiliki karyawan maka semakin
tinggi pula komitmen organisasi yang dimilikinya.
Selain itu juga terdapat penelitian yang serupa yang
dilakukan pada sampel yang berjumlah 40 orang yang
merupakan karyawan bidang medical representative
PT. Gracia Pharmindo Pharmaceutical cabang
Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan oleh Nasution
(2017) yang menemukan pernyataan bahwa semakin
tinggi kepuasan yang dimiliki seseorang atau
karyawan, maka semakin berpengaruf positif terhadap
komitmen organisasinya. Penelitisn yang dilakukan
oleh Antari (2019) yang melakukan pada karyawan di
Losari Hotel Sunset Bali yang berjumlah 50 orang
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang
telah dijelaskan sebelumnya yaitu terdapat pengaruh
yang signifikan antara kepuasan kerja yang dimiliki
karyawan dengan komitmen organisasi yang dimiliki,
pernyataan tersebut ditemukan dengan melakukan uji
hipotesis pada penelitiannya. Hasil penelitian serupa
juga ditemukan oleh Latief, Syardiansah, dan Safwan
90
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur
Akbar Habibie, Zulia Tasnim
(2019) yang melakukan juga melakukan penelitian
mengenai kepuasan kerja dengan komitmen organisasi
yang diduga memiliki pengaruh signifikan yang
dilakukan pada sampel yang berjumlah 31 orang yang
merupakan karyawan tetap dari BPJS Kesehatan Kota
Langsa. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut
yaitu kepuasan kerja yang dimiliki karyawan
berdampak pada kinerja yang positif dan aktif selama
di perusahaan, hal tersebut membuat karyawan
berkomitmen terhadap perusahaan atau dengan istilah
lain perusahaan memiliki komitmen organisasi yang
tinggi karena memiliki kepuasan kerja yang tinggi.
Hasil penelitian tersebut diperkuat dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Rosita dan Yuniati (2016) yang
diperoleh juga dari penelitian yang dilakukannya
bahwa apabila kepuasan kerja memiliki pengaruh yang
sangat tinggi atau signifikan maka akan menciptakan
komitmen yang semakin tinggi terhadap organisasi atau
perusahaannya. Kepuasan kerja sangat berpengaruh
posiitif terhadap komitmen organisasi. Dampak dari hal
tersebut yaitu komitmen organisasi dianggap sebagai
outcome yang dihasilkan dari kepuasan kerja
karyawan. Hal tersebut berarti bahwa tingginya
kepuasan kerja yang dimiliki karyawan sangat
berdampak pada komitmen organisasi yang dimiliki.
Kepuasan kerja yang dimiliki karyawan sangat
mempengaruhi loyalitas dan pasti berpengaruh juga
pada keterlibatan karyawan terhadap organisasi atau
perusahaan baik berupa pekerjaan rutinan maupun
tugas tambahan. Loyalitas yang dimiliki karyawan ini
merupakan sifat yang dimiliki karyawan yang berarti
bahwa karyawan tersebut memiliki komitmen
organisasi yang tinggi (Basna, 2016). Penelitian yang
dilakukan oleh Naution (2017) menemukan sebuah
hasil yaitu setiap karyawan yang memiliki kepuasan
kerja yang baik dan komitmen organisasi yang tinggi
cenderung tidak ingin pergi dari perusahaan tempat dia
bekerja. Dari pernyataan tersebut menunjukkan sebuah
petunjuk bahwa kepuasan kerja dan komitmen
organisasi sangat berpengaruh. Selain itu kepuasan
kerja dan komitmen organisasi juga angat berpengaruh
terhadap aspek lain di luar kepuasan kerja dan
komitmen organisasi, namun aspek-aspek tersebut
memiliki keterkaitan dengan kepuasan kerja dan
komitmen organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, Halim,
dan Syamsuri (2020) yang menyatakan bahwa kinerja
karyawan yang baik dan semakin meningkat tidak
hanya disebabkan oleh kepuasan kerja dan komitmen
organisasi, melainkan dengan hal lain. Pada penelitian
ini menemukan bahwa kecerdasan emosional juga
sangat berpengaruh pada kinerja karyawan yang baik
dan terus berkembang. Penelitian ini telah dilakukan
pada karyawan PT. Supra Matra Abadi Aek Naraba
Kabupaten Labuhanbatu.
Berbeda lagi dengan penelitian yang dilakukan
oleh Saeka dan Suana (2016) yang meneliti mengenai
pengaruh kepuasan kerja dengan turnover atention pada
karyawan yang menunjukkan hasil bahwa kepuasan
kerja mempunyai pengaruh yang negatif terhadap
keinginan karyawan pindah dari perusahaan tempatnya
bekerja. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hidayat (2018) yang meneliti mengenai pengaruh
kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap
turnover karyawan. Penelitian ini dilakukan terhadap
50 orang karyawan di PT. Toyamilindo yang
menunjukkan hasil uji hipotesis bahwa kepuasan kerja
dan komitmen organisasi memiliki pengaruh satu sama
lain, dan diantara kedua aspek tersebut sangat
mempengaruhi pengaruh negatif terhadap turnover
karyawan. Sehingga kepuasan kerja dan komitmen
organisasi tidak menyebabkan karyawan ingin
berpindah dari perusahaan tempat dia bekeja. Oleh
sebab itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan
kerja dapat mempengaruhi komitmen organisasi yang
dimiliki karyawan.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan dari hasil hasil yang didapat dari berbagai
penelitian yang sudah dilakukan ditemukan bahwa
adanya pengaruh dari kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasi pada karyawan. Karyawan yang
memiliki kepuasan kerja yang tinggi maka akan
berbanding lurus dengan tingginya komitmen
organisasi dari karyawan tersebut. Faktor seperti bonus
dan promosi juga bisa meningkatkan kepuasan kerja
dari karyawan karena karyawan merasa usaha dan kerja
kerasnya dihargai oleh perusahaan, hal ini tentunya
juga akan berdampak pada komitmen organisasi yang
dimiliki oleh karyawan.
Saran
Untuk peneliti selanjutnya, jika ingin meneliti yang
ingin meneliti penelitian sejenis, disarankan untuk
mencari sember yang lebih banyak lagi dan juga lebih
variatif lagi. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk
menggunakan sumber sumber yang terbaru agar hasil
dari penelitian yang dilakukan bisa menggambarkan
fenomena yang relevan dan terjadi pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Antari, N. L. S. (2019). Pengaruh kepuasan kerja
terhadap komitmen organisasi dan turnover
91
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur
Akbar Habibie, Zulia Tasnim
intention (Studi pada Losari Hotel Sunset Bali).
Jurnal manajemen dan bisnis. 1(1), 31-37.
http://103.216.87.80/index.php/psikologi/article/vi
ew/6652
Baharuddin, B., & Bumbungan, B. (2018). Partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah dasar (sebuah studi komparatif indonesia
dan jepang). Prosiding. 4(1), 37-47. Diunduh dari
https://journal.uncp.ac.id/index.php/proceding/artic
le/view/1457
Kurniawan, D. (2016). Pengaruh kompensasi dan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terhadap
kepuasan kerja pada karyawan PT. Cahaya
Samtraco Utama Samarinda. Ejournal psikologi,
4(4),
722-738.
Diunduh
dari
http://ejournal.psikologi.fisipunmul.ac.id/site/wpc
ontent/uploads/2017/01/JURNAL%20DWI%20K
URNIAWAN%20(01-03-17-11-00-24).pdf
Bahri, M. S. (2018). Pengaruh kepemimpinan,
lingkungan kerja, budaya organisasi dan motivasi
terhadap kinerja dosen. Surabaya: CV. Jakad
Publishing
Basna, F. (2016). Analisis gaya kepemimpinan,
kepuasan kerja, komitmen organisasi dan
kompetensi terhadap kinerja pegawai. Jurnal riset
bisnis
dan
manajemen.
4(3),
319-334.
https://media.neliti.com/media/publications/12890
1-ID-analisis-gaya-kepemimpinan-kepuasankerj.pdf
Kusumaputeri, E. S. (2018). Komitmen pada
perubahan organisasi (Perubahan organisasi dalam
perspektif islam dan psikologi). Yogyakarta:
Penerbit Deepublish
Latief, A., Syardiansah., & Safwan, M. (2019).
Pengaruh komitmen organisasi dan kepuasan kerja
terhadap kinerja karyawan BPJS Kesehatan
Cabang Langsa. J-EBIS. 4(1), 52-65. Doi:
http://dx.doi.org/10.25105/jmpj.v10i1.2516
Fahri, S., Mariatin, E., Zahreni, S. (2017). Pengaruh
dukungan organisasi dan work value terhadap
komitmen organisasi karyawan generasi y.
Psikoislamika: Jurnal psikologi islam (JPI). 14(1),
22-30.
Diunduh
dari
http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/psiko/article/view/6499
Muhridin, M., Ansir, A., & Sinarwaty, S. (2019).
Pengaruh kemampuan kerja, komitmen kerja dan
kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai. Jurnal
manajemen, bisnis dan organisasi (JUMBO), 3(1),
221-234.
Diunduh
dari
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JUMBO
Fauzi, M., Warso, M., M., & Haryono, A., T (2016).
Pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja
terhadap kinerja karyawan dengan komitmen
organisasi sebagai variabel intervening. Journal of
management. 2(2). 1-15. Diunduh dari
http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/MS/article/vi
ew/426/413
Mukhtar., Ali, H., & Mardelina. (2016). Efektivitas
pimpinan: Kepemimpinan transformatif dan
komitmen organisasi. Yogyakarta: Penerbit
Deepublish
Hasbie, S. P., Faslah, R., & Swaramarinda, D. R.
(2016). Kepuasan kerja, komitmen organisasi dan
keinginan berpindah: Studi pada karyawan pahala
express Jatiasih Bekasi. Jurnal pendidikan ekonomi
dan
bisnis.
4(1),
79-86.
Doi:
https://doi.org/10.21009/JPEB.004.1.6
Hidayat, A. S. (2018). Pengaruh kepuasan kerja
terhadap komitmen organisasi dan turnover
intention. Jurnal manajemen dan pemasaran jasa.
11(1),
51-66.
Doi:
http://dx.doi.org/10.25105/jmpj.v10i1.2516
Ilahi, D. K., Mukzam, M. D., & Prasetyo, A. (2017).
Pengaruh kepuasan kerja terhadap disiplin kerja
dan komitmen organisasional (Srudi pada
karyawan PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa
Timur Area Malang). Jurnal administrasi bisnin
(JAB).
44(1),
31-39.
Diunduh
dari
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id
Ingarianti, T. M. (2017). Pengembangan alat ukur
komitmen organisasi. Jurnal RAP (Riset Aktual
Psikologi Universitas Negeri Padang), 6(1), 80-91.
Diunduh
dari
Nasution, M. I. (2017). Pengaruh stres kerja, kepuasan
kerja, dan komitmen organisasi terhadap
turnoverintention medical reprecentative. Jurnal
ilmiah manajemen. 7(3), 407-428.
Ningrum, D. K., Halim, A., & Syamsuri, A. R. (2020).
Pengaruh kecerdasan emosional, kepuasan kerja
dan komitmen organisasi terhadap kinerja
karyawan pada PT. Supra Matra Abadi Aek Nabara
Kabupaten Labuhanbatu. Jural ecobisma. 7(1), 7688.
Noermijati. (2013). Kajian tentang aktualisasi teori
Herzberg, kepuasan kerja, dan kinerja spiritual
manajer operasional. Malang: Universitas
Brawijaya Press (UB Press)
Nurcahyani, N. M., & Adnyani, I. G. A. D. (2016).
Pengaruh kompensasi dan motivasi terhadap
kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai
variabel intervening. E-jurnal manajemen unud.
5(1).
500-523.
Diunduh
dari
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Manajemen/articl
e/view/16159/11543
Robert. (2019). Efek profitabilitas dan ukuran
perusahaan terhadap nilai perusahaan dengan
pengungkapan coporate social responsibility
sebagai variabel mediasi pada perusahaan
konstruksi yang terdaftar di bursa efek Indonesia
92
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Karyawan Perusahaan: Sebuah Studi Literatur
Akbar Habibie, Zulia Tasnim
tahun 2014-2016. Jurnal manajemen bisnis dan
kewirausahaan. 3(5), 67-72. Diunduh dari
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmbk/article/v
iewFile/6084/4090
Rosita, T., & Yuniati, T. (2016). Pengaruh kepuasan
kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen
organisasional sebagai variabel intervening. Jurnal
ilmiah dan riset manajemen. 5(1), 1-20.
Saeka, I. P. A. P., & Suana, I. W. (2016). Pengaruh
kepuasan kerja, komitmen organisasional dan stres
kerja terhadap turnover intention karyawan PT.
Indonusa Algaemas Prima Bali. E-jurnal
manajemen unud. 5(6), 3736-3760.
Susiawan, S., & Muhid, A., (2015). Kepemimpinan
transformation, kepuasan kerja dan komitmen
organisasi. Jurnal psikologi Indonesia. 4(3) 304313.
Diunduh
dari
https://jurnal.untagsby.ac.id/index.php/persona/issue/view/94
Tama & Hardiningtyas. (2017). Psikologi Industri
dalam Perspektif Sistem Industri. Malang: UB
Press
Yulianti, E. (2017). Komunikasi dna konflik terhadap
kinerja
karyawan
melalui
komitmen
organisasisebagai variabel intervening. Journal of
business studies. 2(2), 51-65. Diunduh dari
http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/jbsuta/a
rticle/view/957/665
93
PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN (DARING) BAGI
PESERTA DIDIK DI ERA MERDEKA BELAJAR
Listyaningsih
Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri
Surabaya, listyaningsih@unesa.ac.id
Abstrak
Pendidikan karakter sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan tujuan Negara Indonesia. Dalam
rangka mencapai tujuan Negara ini diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya
dalam kemampuan intelektual tetapi sumber daya manusia yang memiliki karakter yang luhur.
Pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya sekolah sebagai lembaga
formal, namun keluarga dan masyarakat juga memiliki andil. Di era 4.0 saat ini pembelajaran banyak
memanfaatkan teknologi dan pembelajaran bisa dilaksanakan secara online (daring). Pembelajaran
daring ini bisa berlangsung dimana saja, kapan saja. Dalam rangka mengimplementasikan
pendidikan karakter pada pembelajaran daring bagi peserta didik di era merdeka belajar diperlukan
inovasi dan kreatifitas guru agar pembelajaran menarik dan menyenangkan. Pendidikan karakter
bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan mengembangkan potensi pada peserta didik agar
pandai dalam berpikir, bijak dalam bertindak dan berkembang ke arah yang positif. Oleh karena itu,
keteladanan dan pembiasaan sebagai prinsip dalam pendidikan karakter harus bisa dilaksanakan
kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun
Kata Kunci: karakter, pembelajaran daring, merdeka belajar
PENDAHULUAN
Masyarakat yang berkarakter yang baik sangat
diperlukan bagi bangsa agar menjadi bangsa yang
maju. Karakter yang baik yang dimiliki oleh individu
pada sebuah bangsa merupakan hasil dari pendidikan
karakter yang telah diberikan. Pendidikan karakter
sebagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh manusia
yang diwujudkan dalam suatu tindakan yang ditujukan
untuk generasi berikutnya. (Maharani dan Hasan).
Karakter yang positif perlu dibangun, karena hal ini
adalah sebagai modal dalam membangun sebuah
peradaban. Apabila masyarakat memiliki sikap disiplin,
jujur, mandiri, tangguh memiliki etos kerja yang baik
maka akan menghasilkan kehidupan yang teratur dan
baik di masyarakat. Namun jika yang terjadi
sebaliknya, masyarkat yang tidak disiplin, tidak jujur
dan lain-lain maka akan menimbulkan keresahan dan
ketidakteraturan di masyarakat. Hal ini mengakibatkan
peradaban di masyarakat menjadi lemah.
Karakter bangsa yang luhur adalah sebagai modal
dasar dalam membangun peradaban yang tinggi bagi
sebuah bangsa. Karakter yang baik pasti diperlukan
disemua lingkungan kehidupan, seperti lingkungan
pekerjaan, sekolah, masyarakat dan lain-lain. Namun
tidak semua individu memiliki karakter yang baik, ada
individu-individu yang ada di sekitar kita memiliki
karakter yang tidak baik.
Setiap hari di media massa baik cetak maupun
elektronik selalu ada berita tentang kejahatan,
pencurian, pelanggaran lalu lintas, korupsi dan lain-
lain. Hal ini menunjukkan masih ada karakter yang
tidak baik yang dilakukan oleh individu. Oleh karena
itu, bagaimana upaya untuk meminimalisir karakter
yang buruk tersebut, pendidikan karakter sangat
diperlukan demi majunya sebuah bangsa.
Berkaitan dengan karakter, Acetylena (2018: 3)
mengatakan bahwa (1) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, karakter merupakan hal yang sangat
penting, karena apabila karakter itu hilang akan
berdampak pada hilangnya generasi penerus bangsa;
(2) Karakter memiliki peran sebagai “kemudi” agar
sebuah bangsa tidak mudah terombang-ambing dan
harus memiliki kekuatan; (3) Untuk menjadi bangsa
yang bermartabat, karakter yang baik harus dibangun,
karena tidak akan datang dengan sendirinya. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter ini
penting dan perlu dibangun agar bangsa ini menjadi
bangsa yang memiliki martabat.
Di samping itu, pendidikan karakter sangat
diperlukan dalam upaya mewujudkan tujuan Negara
seperti yang tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
Dalam rangka mencapai tujuan negara tersebut,
pemerintah berupaya meningkatkan kualitas sumber
daya manusia Indonesia, diantaranya melalui
pendidikan. Salah satu program Menteri Pendidikan
94
Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar
Listyaningsih
dan Kebudayaan (Nadiem Makarim) adalah tentang
merdeka belajar. Menurut mas Nadiem "Esensi
Merdeka Belajar adalah menggali potensi terbesar para
guru-guru sekolah dan peserta didik kita untuk
berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran
secara mandiri. Mandiri bukan hanya mengikuti proses
birokrasi pendidikan, tetapi benar-benar inovasi
pendidikan,”
(https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/05/ref
ormasi-pendidikan-nasional-melalui-merdeka-belajar).
Merdeka belajar yang menjadi salah satu program
dari mendikbud Mas Nadiem Makarim ini adalah ingin
menciptakan suasana belajar yang bahagia. Suasana
bahagia yang dirasakan oleh para guru, peserta didik,
dan orang tua merupakan tujuan dari merdeka belajar.
Lebih lanjut mendikbud menegaskan bahwa merdeka
belajar tidak mungkin berhasil tanpa adanya teknologi.
Teknologi ini tidak semuanya online tapi bisa
bermacam-macam dan bisa menggunakan TVRI
sebagai salah satu media pembelajaran.
Bangsa Indonesia sejak Maret 2020 tengah
menghadapi pandemic Covid 19. Tidak hanya Negara
Indonesia tapi hampir seluruh negara-negara di dunia
juga tengah menghadapi covid 19. Adanya pandemi
covid ini membawa dampak yang luar biasa dalam
segala aspek kehidupan. Dalam rangka memutus mata
rantai penyebaran covid salah satu kebijakan
pemerintah adalah dengan adanya social distancing dan
physical distancing.
Di dunia pendidikan juga berdampak. Pemerintah
melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem
Anwar Makarim memutuskan untuk memindahkan
proses pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran
secara daring diiumumkan melalui Surat Edaran
Nomor 36962/MPK.A/HK/2020. Berdasarkan surat
edaran ini, maka anak-anak sekolah melaksanakan
pembelajaran secara daring (dalam jaringan)/ online.
Pembelajaran secara daring untuk anak-anak sekolah
ini sudah dilaksanakan sejak Maret 2020. Dengan
keluarnya surat edaran kemendikbud ini, maka anakanak sekolah melaksanakan pembelajaran di rumah
masing-masing secara daring. Hal ini tentunya bukan
hal yang mudah untuk dilaksanakan, tetapi karena
kondisi maka mau tidak mau, suka tidak suka, siap dan
tidak siap harus melaksanakan pembelajaran secara
daring.
Pembelajaran secara daring menuntut tenaga
pendidik
untuk
mampu
berinovasi
dalam
melaksanakan pembelajaran. Dalam merancang
pembelajaran harus dirancang agar membawa peserta
didik pada pengenalan nilai pada aspek pengetahuan
(kognitif), penghayatan nilai secra afektif, dan pada
akhirnya diwujudkan melalui pengamalan nilai secara
nyata (Pertiwi, 2020). Hal ini tentu tidak mudah untuk
dilaksanakan, pembelajaran yang dilaksanakan selama
ini melalui tatap muka, sehingga guru dapat
berinteraksi secara langsung kemudian karena kondisi
adanya covid 19 memaksa guru untuk melek teknologi.
Guru harus melakukan inovasi dan kreatif dalam
merancang pembelajaran yang akan dilakukan. Adanya
covid 19 ini justru memberikan potensi dalam
percepatan kebijakan Merdeka Belajar.
Ketika pembelajaran dilaksanakan secara daring
timbul permasalahan bagaimana membentuk karakter
peserta didik? Apakah bisa dilakukan secara daring?
Inilah yang menjadi permasalahan “Bagaimana
pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam
Jaringan (daring) di Era Merdeka Belajar pada Peserta
didik?”
METODE
Dalam menjawab permasalahan di makalah ini
menggunkan metode studi kepustakaan. Permasalahan
dibahas dengan memanfaatkan referensi dari berbagai
sumber, seperti internet, buku-buku, artikel ilmiah, dan
berbagai macam jurnal selanjutnya disusun secara
sistematis untuk memecahkan masalah yang telah
dirumuskan.
PEMBAHASAN
Pendidikan Karakter
Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“to mark” (menandai) dan memfokuskan. Dalam
pengaplikasisn nilai kebaikan yang diwujudkan dalam
bentuk tingkah laku atau tindakan, ini bukanlah hal
yang mudah. Orang dikatakan memiliki karakter jelek,
apabila orang tersebut melakukan suatu tindakan yang
jahat, tidak jujur, kejam, bengis dan lain-lain, tetapi
orang dikatakan berkarakter yang baik apabila orang
yang tersebut memiliki sikap peduli, jujur, suka
menolong dan perbuatan baik lainnya. Istilah karakter
ini erat kaitannya dengan personality (kepribadian)
seseorang. Seseorang disebut orang berakarakter
apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.
(Zubaedi,2011: 12).
Karakter yang ada pada diri seseorang pada
dasarnya bersifat biologi, artinya bahwa karakter itu
ada sejak manusia dilahirkan. Sebagaimana
disampaikan oleh Bapak Ki Hajar Dewantara bahwa
perwujudan karakter yang ditunjukkan pada perilaku
seseorang merupakan hasil keterpaduan antara karakter
biologis dengan karakter yang merupakan hasil dari
interaksi antar individu dengan lingkungannya. Sarana
yang paling efektif untuk menyadarkan individu dalam
95
Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar
Listyaningsih
menumbuhkan jatidiri kemanusiaan adalah melalui
pendidikan. Dengan pendidikan akan dihasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas, yang memilki
kelembutan jiwa, berpikir cemerlang, sigap dalam
melakukan tindakan dan memiliki kesadaran dalam
penciptaan dirinya. (Wahid Munawar dalam
Zubaedi,2011: 12). Oleh karena itu, melalui pendidikan
karakter diharapkan akan lahir sumber daya manusia
yang berkualitas yang tidak hanya memiliki
kemampuan kognitif, tetapi juga afektif dan
psikomotor.
Dalam rangka pendidikan karakter ini maka
pemerintah mengeluarkan perpres No 87 tahun 2017
tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Berdasarkan ketentuan pada pasal 3 Perpres ini
menyebutkan bahwa “PPK dilaksanakan dengan
menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan
karakter, terutama meliputi: Nilai-nilai Religius, jujur,
toleran, disiplin, bekerja keras, Kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat Kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial dan bertanggungjawab. Lebih lanjut pada pasal 4
disebutkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan PPK
meliputi satuan pendidikan jalur formal, nonformal dan
informal. Hal ini berarti bahwa penguatan pendidikan
karakter ini tidak hanya menjadi tanggung jawab
sekolah semata sebagai satuan pendidikan jalur formal,
tetapi keluarga dan masyarakat juga memiliki andil
dalam upaya penguatan pendidikan karakter ini.
Dalam pasal 5 Peraturan Presiden No 87 Tahun
2017 tetang prinsip pengembangan pendidikn karakter
meliputi (1) berorientasi pada perkembangan peserta
didik; (2) keteladanan dalam menerapkan pendidikan
karakter di lingkungan pendidikan masing-masing; (3)
melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya prinsip ini, maka penguatan pendidikan
karakter ini menjadi tanggung jawab bersama dan
berpusat pada berkembangnya peotensi yang dimiliki
peserta didik. Dalam penerapan pendidikan karakter
diperlukan keteladanan dan pembiasaan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Daring
Pembelajaran daring artinya adalah pembelajaran yang
dilakukan secara online, menggunakan aplikasi
pembelajaran
maupun
jejaring
sosial.
(https://www.amongguru.com/pembelajaran-daringdan-luring-pengertian-ciri-ciri-serta-perbedaannya).
Pembelajaran dalam jaringan (daring) dan biasa disebut
sebagai pembelajaran online merupakan pembelajaran
yang dilaksanakan secara jarak jauh dengan
menggunakan
teknologi
(jaringan
internet).
Pembelajaran daring ini pembelajaran yang
dilaksanakan melalui dunia maya, tidak ada kontak
secara langsung antar individu. Interaksi antar guru
dengan peserta didik dilakukan secara jarak jauh.
Pembelajaran daring di tengah pandemic yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia menjadi suatu kebutuhan.
Dengan adanya kebijakan social distancing maka
sekolah-sekolah sementara ini melaksankan secara
jarak jauh. Mau tidak mau siap dan tidak siap
pembelajaran ini harus dilakukan dalam rangka
memutus mata rantai penyebaran covid 19.
Dalam rangka melaksanakan pembelajaran daring
ini agar maksimal maka ada 4 kunci untuk
melaksanakan
pembelajaran
daring,
seperti
dikemukakan oleh Bapak Sandra Salman (dalam
Harususilo, 2020), antara lain meliputi: (1)
Kemampuan Guru Memanfaatkan Teknologi.
Penguasaan teknologi merupakan kunci pertama yang
harus dimiliki guru. Hal ini penting dalam rangka untuk
mentransfer pengetahuan pada peserta didik secara
menarik dan efektif; (2) Pembelajaran terencana dan
efektif. Pembelajaran yang dilaksanakan secara daring
tidak bisa dilaksanakan secara tiba-tiba, dibutuhkan
perencanaan untuk mempersiapkan materi yang akan
diberikan pada peserta didik, guru juga perlu mengatur
tahap-tahapan yang akan dilaksanakan dalam
pembelajaran; (3) Menyatukan persepsi dan
konsentrasi peserta didik. Dalam hal ini guru harus bisa
menjalankan perannya sebagai motivator, fasilitator,
mediator dan komunikator agar guru mampu menjalin
ikatan batin dengan peserta didiknya; (4) Penguatan
Karakter peserta didik. Dalam hal ini guru bisa
memotivasi peserta didik dalm menghadapi situasi
yang baru, tetap memiliki jiwa yang tangguh, disiplin,
tanggungjawab, dan lain-lain. Ini merupakan hal
penting. Dengan demikian pembelajaran secara daring
ini tidak hanya berorientasi pada pengetahuan semata
tapi juga sikap dan keterampilan.
Merdeka Belajar
Pada dunia pendidikan, merdeka belajar mencakup
kondisi merdeka dalam hal mencapai tujuan, metode,
materi dan evaluasi pembelajaran baik pada guru
maupun peserta didik (Lubis, dalam Izza dkk; 2020).
Era merdeka belajar dapat diartikan sebagai masa
dimana guru dan peserta didik memiliki kebebasan atau
kemerdekaan dalam berfikir, bebas dari pendidikan
yang membelenggu agar mempu mengembangkan
potensi diri untuk mencapai tujuan pendidikan (Izza
dkk, 2020). Setiap individu memiliki potensi sendiri-
96
Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar
Listyaningsih
sendiri, potensi ini perlu digali dan diarahkan sehingga
tujuan peidikan yang diharapkan bisa diwujudkan.
Dalam konsep merdeka belajar, antara guru dan
peserta didik merupakan subjek di dalam sistem
pembelajaran. Artinya guru bukan dijadikan sumber
kebenaran oleh peserta didik, namun guru dan peserta
didik berkolaborasi penggerak dan mencari kebenaran.
Artinya posisi guru di ruang kelas bukan untuk
menanam atau menyeragamkan kebenaran menurut
guru, namun menggali kebenaran, daya nalar dan
kritisnya peserta didik melihat dunia dan fenomena.
(Yamin dan Syahrir). Dalam proses pembelajaran
peserta didik tidak sebagai objek dalam pembelajaran,
peserta didik adalah sebagai subjek dalam
pembelajaran. Peserta didik memiliki hak dalam
menyampaikan gagasan atau ide-idenya dan guru
memberi kesempatan dalam penyampaian gagasan
tersebut. Pada era seperti sekarang ini, segala macam
informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat dan
tidak menutup kemungkinan peserta didik dengan
kemampuan yang dimiliki menggali informasi dari
berbagai macam sumber tanpa ada komando dari guru.
Oleh karena itulah, kolaborasi antara guru dan peserta
didik dalam pembelajaran ini penting untuk dilakukan.
Pembelajaran yang bertujuan untuk memerdekakan
peserta didik, diperlukan suatu strategi agar dalam
pembelajaran
menekankan
pada
penggunaan
pengetahuan secara bermakna. Artinya bahwa peserta
didik tidak hanya menghafal tentang konsep-konsep
akan tetapi menghubungkan konsep-konsep sehingga
menghasilkan konsep-konsep yang utuh dan sulit untuk
dilupakan. Proses pembelajaran lebih banyak diarahkan
untuk menanggapi berbagai pertanyaan atau pandangan
dari peserta didik. Ketrampilan berfikir kritis, analisis,
membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan
menyusun hipotesis ini merupakan aktivitas belajar
yang perlu ditekankan dalam proses pembelajaran.
Demikian pula dalam hal
evaluasi, proses
pembelajaran
yang
memerdekakan
lebih
mengutamakan pada bagaimana proses menyusun
makna secara aktif dengan keterampilan terintegrasi
dengan cara memanfaatkan permasalahan dalam
kontekas realitas melalui ketrampilan terintegrasi
(Syukri, 2020). Dalam proses pembelajaran guru
memberi kebebasan pada peserta didik untuk
mengungkapkan gagasannya dan memberi kesempatan
untuk lebih banyak bertanya untuk melatih
keterampilan berpikir peserta didik. Diskusi yang
interaktif antara guru dan peserta didik harus lebih
banyak dilakukan agar semakin terasah kemampuan
yang dimiliki.
Kemerdekaan sebagai salah satu kunci dalam
pengembangan guru, memiliki dimensi komitmen pada
tujuan, memiliki kemandirian dalam proses belajar dan
reflektif selama proses pengembangan (Syukri, 2020).
Guru yang merdeka memiliki komitmen dalam
mencapai tujuan belajar, dalam hal ini guru harus
memiliki target yang ditetapkan sendiri tentang materi
apa yang akan dibelajarkan dan menentukan tujuannya.
Guru yang merdeka adalah guru yang mandiri, karena
itu strategi yang efektif diperlukan agar bisa
mengembangkan
kompetensi,
mengembangkan
karirnya dan berkolaborasi. Guru yang merdeka adalah
guru yang reflektif, ini berarti bahwa guru perlu
memahami apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan
agar bisa berkembang.
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Daring
di Era Merdeka Belajar
Dalam pendidikan perlu diketahui apa yang menjadi
misi utamanya. Pendidikan tidak hanya membentuk
peserta didik memiliki kemampuan intelektual secara
baik namun karakter yang baik ini tidak boleh
diabaikan. Dalam rangka melaksanakan misi ini
penerapan metode pembelajaran harus tetap
diwujudkan baik pembelajaran melalui tatap muka
langsung maupun pembelajaran secara jarak jauh atau
pembelajaran daring. Penanaman nilai-nilai kebaikan,
membentuk manusia seutuhnya, dan mengembangkan
potensi yang dimiliki individu sehingga individu
memiliki kecakapan dalam berpikir, saling
menghormati dalam setiap tindakan dan melatih
potensi individu agar berkembang kearah yang positif
merupakan tujuan dari pendidikan karakter (Pertiwi
2020). Dalam rangka mencapai misi itu, pendidik/ guru
harus merencanakan pembelajaran yang akan
dilakukan yang tidak hanya menyampaikan materi
untuk meningkatkan pengetahuan pada peserta didik
akan tetapi juga perlu membentuk karakter pada peserta
didiknya.
Menurut Pertiwi (2020) dalam pembelajaran secara
daring ada beberapa metode pembelajaran bermuatan
karakter yang dapat diterapkan antara lain: Contekstual
Teaching Learning (CTL) yang bermuatan karakter,
pembelajaran aktif yang bermuatan karakter,
pembelajaran berbasis masalah yang bermuatan
karakter, pembelajaran inquiri bermuatan karakter; dan
lain-lain. Berbagai macam metode tersebut bisa
menjadi alternatif guru dalam menerapkan
pembelajaran yang dilakukan secara daring. Oleh
karena itu, guru perlu melakukan inovasi dalam
melaksanakan pembelajaran.
97
Pendidikan Karakter pada Pembelajaran dalam Jaringan (Daring) bagi Peserta Didik di Era Merdeka Belajar
Listyaningsih
Dalam upaya mengimplementasikan pendidikan
karakter melalui pembelajaran secara daring ini
diperlukan inovasi guru dalam pembelajaran agar
menarik dan menyenangkan. Pembelajaran yang
dikemas secara menarik dan menyenangkan ini akan
membuat peserta didik bahagia dan inilah yang menjadi
harapan di era merdeka belajar yang dicanangkan oleh
Mas Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan saat ini. Beliau menegaskan bahwa
”esensi Merdeka Belajar adalah menggali potensi
terbesar para guru-guru sekolah dan peserta didik kita
untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas
pembelajaran secara mandiri”.
Inovasi yang dapat dilakukan guru dalam
mengimplementasikan pendidikan karakter dengan
pembelajaran daring dimulai dengan merencanakan
pembelajaran dan melaksankannya dengan menarik.
Bagaimana pembelajaran yang dilakukan mendorong
rasa ingin tahu peserta didik, menumbuhkan sikap
disiplin dan tanggung jawab pada peserta didik,
misalnya mengumpulkan tugas yang diberikan guru
sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Kreatifitas,
kemandirian, kejujuran, gemar membaca juga bisa
ditumbuhkan dalam pembelajaran secara daring. Orang
tua juga memiliki andil dalam rangka mewujudkan ini,
karena pembelajaran dilaksanakan di rumah,
bagaimana orang tua/ keluarga memberi dukungan
pada anak agar pembelajaran yang dilaksanakan oleh
guru secara daring ini berhasil.
PENUTUP
Simpulan
Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan
karakter dalam pembelajaran daring bagi peserta didik
di era merdeka belajar diperlukan inovasi dan
kreatifitas guru. Pendidikan karakter yang bertujuan
untuk
menanamkan
nilai-nilai
luhur
dan
mengembangkan potensi pada peserta didik agar
pandai dalam berpikir, bijak dalam bertindak dan
berkembang ke arah yang positif. Keteladanan dan
pembiasaan sebagai prinsip dalam pendidikan karakter
harus bisa dilaksanakan kapanpun, dimanapun dan
dalam situasi apapun.
Saran
Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama,
oleh karena itu, pada orang tua, guru, dan masyarakat
pada umumnya harus ikut andil dalam membentuk
karakter anak bangsa agar bangsa kita menjadi bangsa
yang maju. Karena karakter yang luhur sangat
diperlukan dalam pembangunan sebuah bangsa dan
Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Acetylena, Sita. 2018. Pendidikan Karakter Ki Hajar
Dewantara. Malang: Madani.
Harususilo, Yohanes Enggar. 2020. 4 Kunci
Pembelajaran di Rumah Bermakna dan
Menyenangkan dari Sekolah Kharisma Bangsa
https://edukasi.kompas.com/read/2020/04/14/1826
38771/4-kunci-pembelajaran-di-rumah-bermaknadan-menyenangkan-dari-sekolah?page=all.
Diakses pada tanggal 22 Agustus 2020.
https://www.amongguru.com/pembelajaran-daringdan-luring-pengertian-ciri-ciri-sertaperbedaannya/. Diakses pada tanggal 22 Agustus
2020.
Izza, Zulfa, Aini; Falah, Mufti; Susilawati Siska. 2020.
Studi Literarur: Problematika Evaluasi Pebelajaran
dalam Mencapai Tujuan Pendidikan di Era
Merdeka
Belajar.
https://proceeding.unikal.ac.id/index.php/kip. 1015
Maharani, Wahyu, Riris dan Hasan, Safari.
Membangun
Karakter
Bangsa.
https://www.academia.edu/38142151/MEMBAN
GUN_KARAKTER_BANGSA_pdf. Diakses pada
2 Agustus 2020.
Peraturan
Presiden
No
87
tahun
2017.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/73167/p
erpres-no-87-tahun-2017. Diakses pada tanggal 2
Agustus 2020.
Pertiwi, Indah. 2020. Implementasi Pendidikan
Karakter
Saat
Wabah
Covid
19.
http://lppm.unpam.ac.id/2020/05/28/implementasi
-pendidikan-karakter-saat-wabah-covid-19/
Diakses pada tanggal 1 Agustus 2020.
Syukri, Bayumie. 2020. Menakar Konsep “Merdeka
Belajar”.
https://intens.news/menakar-konsepmerdeka-belajar/. Diakses pada tanggal 1 Agustus
2020.
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan
Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Karakter,
Lembaga
Yamin, Muhammad dan Syahrir. 2020. Pembangunan
Pendidikan Merdeka Belajar (Telaah Metode
Pembelajaran). Jurnal Ilmiah Mandala Education
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIME/i
ndex. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2020.
98
STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM DUNIA KERJA UNTUK
MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN
Nurul Indah Mustiyah
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Nurul.17010664155@mhs.unesa.ac.id
Vika Maurissa Husnianita
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Vika.17010664160@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Untuk meningkatkan kinerja karyawan di dalam dunia kerja diperlukan sebuat strategi. Salah satu
yang dapat dilakukan adalah melalui sumber daya manusai. Sumber daya manusia memiliki peran
penting selain meningkatkan kinerja juga sebagai perencanaan strategi dan pengembangan untuk
keberhasilan suatu perusahaan. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian literatur, dimana data
yang digunakan untuk menganalisis strategi yang tepat untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia
dalam dunia kerja terhadap kinerja karyawan pada perusahaan yang dianalisis secara kualitatif
dengan mengkaji beberapa sumber bacaan. Dalam penelitian ini menggunakan 4 penelitian yang
menggambarkan strategi dalam meningkatkan kinerja. Penelitian yang telah dikaji menggunakan
penelitian dari yang paling lama yaitu pada tahun 2014 hingga yang terbaru yaitu 2020. Hasil yang
diperolah rata-rata menunjukkan strategi yang digunakan pada perusahaan dapat melalui pendidikan
dan pelatihan, pemberian kompensasi termasuk tunjangan kesehatan, anak, dan jaminan masa tua,
serta dukungan perusahaan dengan merancang dan mengembangkan karir yang ingin dicapai agar
produktivitas kinerja dapat meningkat dan membuahkan hasil yang diinginkan oleh perusahaan.
Kata Kunci: Strategi, Sumber Daya Manusia, Kinerja
PENDAHULUAN
Setiap Lembaga, Instansi maupun Perusahaan
memiliki target agar dapat mencapai tujuan, tujuan
tersebut akan menuntut sebuah usaha dan kompetensi
untuk mencapai tujuan secara efektif. Hal ini berkaitan
dengan perkembangan di sektor bisnis, ekonomi
bahkan teknologi yang begitu cepat, mengakibatkan
persaingan untuk dapat bertahan atau mengembangkan
sumber daya yang dimiliki. Tanpa adanya ketahanan,
ketangguhan dalam menghadapi persaingan tersebut
maka akan terjadi penurunan, kerugian pada
perusahaan Adanya kompetensi yang dimiliki
dibentuk oleh pengalaman, dan proses pembelajaran
atau pelatihan dalam rangka mengembangkan potensi
serta kompetensi yang dimiliki oleh individu atau
sumber daya alam terhadap perusahaan. Agus
Gumiwang Kartasasmita, Mentri Perindustrian
menyatakan bahwa pentingnya pengembangan sumber
daya manusia terhadap perusahaan menjadi prioritas
(Santia, 2020) dalam membangun daya saing
diberbagai level sumber daya manusia dapat
membantu membangun sektor atau divisi dalam
perusahaan.
Menurut Suwanto dalam (Yusran, 2018) adanya
peran sumber daya manusia merupakan pelaku yang
bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatan atau
program didalam perusahaan secara langsung, serta
berperan aktif terhadap perubahan, perkembangan dan
kemajuan perusahaan lewat kinerja yang diberikan.
Pengembangan sumber daya manusia merupakan
program yang ditujukan kepada karyawan agar dapat
meningkatkan
kualitas
kinerja
diperusahaan.
Umumnya didalam perusahaan terdiri atas beberapa
bidang atau divisi yang memiliki tugas dan peran yang
berbeda, peran tersebut memiliki tujuan dan dampak
langsung terhadap perkembangan perusahaan
perusahaan. Agar sumber daya alam di setiap divisi
maksimal,
maka
adanya
kebutuhan
untuk
mengembangkan sumber daya alam dengan berbagai
program atau pelatihan yang menunjang dengan
menyesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan
karyawan. Pentingnya pengembangan ini akan
berdampak tidak hanya pada sumber daya manusia,
namun mempengaruhi usaha kontribusi yang
dihasilkan untuk mencapai target dan tujuan
perusahaan.
Mengembangkan sumber daya alam dibutuhkan
managemen pada aspek perencanaan, pengaturan,
pengarahan, dsb. Bertujuan tidak hanya mengelola
agar mengembangkan karyawan, namun mampu
mensejahterahkan para karyawan di perusahaan
(Bukit, Malusa, & Rahmat, 2017). Untuk
meminimalisir terjadinya kesalahan serta hambatan
lapangan, maka dibutuhkan strategi pengembangan
agar lebih efektif.
Sumber Daya Manusia
99
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan
Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa
Menurut Richard Swanson, pengembangan sumber
daya alam merupakan suatu proses atau kegiatan
dalam mengembangakan kemampuan dan keahlian
karyawan agar meningkatan kualitas kinerja karyawan
diperusahaan (Werner & DeSimone, 2012). Dijelaskan
lebih lanjut oleh Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe,
and Shane R. Premeaux dalam (Bukit, Malusa, &
Rahmat, 2017) bahwa pengembagan sumber daya
manusia merupakan proses yang didasarkan sebuah
perencanaan oleh perusahaan bertujuan meningkatkan
kemampuan karyawan lewat serangkaian program
yang diberikan. Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan pengembangan sumber daya manusia
merupakan sebuah upaya perusahaan dalam mencapai
tujuan.
Pengembangan sumber daya manusia dapat
menggunakan serangkaian program, pendidikan,
ataupun pelatihan untuk pengembangan pengetahuan
dan kemampuan kinerja karyawan di perusahaan
dengan menyesuaikan kebutuhan karyawan dan
perusahaan tersebut. program pengembangan
diberikan kepada karyawan sejak masuk dan bekerja
diperusahaan, agar dapat memenuhi tuntutan dan
tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diberikan.
Upaya pengembangan sumber daya alam tidak hanya
bermanfaat
bagi
peningkatan
pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan, dan pengembangan
karir karyawan, namun juga berdampak terhadap
kemajuan, keuntungan serta tujuan bagi perusahaan
secara efektif (Werner & DeSimone, 2012).
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Strategi pengembangan sumber daya manusia
merupakan serangkaian rencana serta keputusan yang
bertujuan untuk melihat atau menganalisa peluang,
hambatan, kecocokan antara faktor eksternal dan
sumber daya terhadap tujuan perusahaan (Werner &
DeSimone, 2012). Dengan adanya starategi mampu
mengurangi hambatan yang terjadi, sehingga lebih
mempermudah pencapaian. Dibutuhkan strategi
pengembangan yaitu:
1. Bagian administrasi adalah Administrasi dalam arti
sempit adalah kegiatan yang meliputi: catatmencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan,
ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang
bersifat teknis ketatausahaan.
2. Bagian pemberi masukan adalah berperan sebagai
pemberian masukan jika mengalami kesalahan dan
hambatan
3. Bagian lapangan sumber daya manusia adalah
bagian yang mampu memberikan fasilitas program
yang dibutuhkan
4. Bagian stategis adalah bagian penyokong bisnis
dalam perusahaan
Kinerja
Stoner mendefinisikan kinerja sebagai kontribusi hasil
kerja karyawan terhadap kemampuan yang diberikan
kepada perusahaan. Selain itu menurut Seymour dalam
Swasto dalam (Priyono, 2010) menyatakan bahwa
kinerja adalah sebuah usaha atau upaya karyawan
dalam menghasilkan sesuatu. Kinerja yang dilakukan
oleh karyawan sangat dibutuhkan oleh perusahaan agar
dapat mencapai tujuan. Menurut Drucker dalam
(Bukit, Malusa, & Rahmat, 2017) Kinerja memiliki 5
elemen yaitu:
1. Elemen
fisiologis
berhubungan
dengan
kemampuan menyelesaikan tugas yang diimbangi
oleh kondisi fisik.
2. Elemen psikologis berhubungan kondisi psikologis
yang sehat juga akan mempengaruhi penyelesaian
tugas dengan baik.
3. Elemen sosial berhubungan dengan kemampuan
bersosialisasi juga berhubungan dengan kualitas
pekerjaan.
4. Elemen ekonomi berhubungan dengan kecukupan
kebutuhan hidup tanpa kekurangan akan
mempermudah pengerjaan tugas pada karyawan.
5. Elemen keseimbangan berhubungan dengan
kesesuaian atau kelayakan karyawan terhadap apa
yang diberikan dan apa yang didapatkan oleh
perusahaan.
Dari paparan penjelasan diatas dapat dipahami
pentingnya pengembangan sumber daya manusia pada
karyawan untuk meningkatkan kinerja terhadap
kontribusi terhadap perusahaan, namun dalam
meningkatkan kualitas tersebut dibutuhkan upaya
berupa strategi dalam mengembangkan sumber daya
manusia agar proses menjadi lebih mudah dan efektif.
Penelitian ini memunculkan rumusan masalah yang
hendak peneliti kaji terkait strategi dalam
mengembangkan sumber daya manusia terhadap
kinerja karyawan dalam perusahaan, dan tujuan
penelitian
ini
adalah
menemukan
strategi
pengembangan sumber daya manusia.
METODE
Metode penelitian menggunakan systematic literature
review. Data penelitian diperoleh melalui penelusuran
internet mengenai jurnal Strategi Pengembangan
Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan
yang dipublikasikan 2014-2020. Jumlah jurnal yang
dianalisis sebanyak 4 jurnal. Data digunakan untuk
menganalisis Strategi yang tepat untuk Pengembangan
100
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan
Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa
Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Karyawan
pada perusahaan dianalisis secara kualitatif.
Data yang digunakan adalah pengumpulan data
dengan teknik studi literatur, dimana data bersumber
dari artikel, jurnal, berita, penelitian terdahulu,
maupun buku literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang sebelumnya telah dikaji.
PEMBAHASAN
Strategi pengembangan sumber daya manusia
sejatinya merupakan suatu langkah yang difokuskan
sebagai upaya dalam menyempurnakan serta
memperbaiki aspek-aspek yang ada dalam sumber
daya manusia agar lebih berkualitas dalam
membangun kinerja para karyawan di suatu
perusahaan. Sangat penting bagi organisasi dalam
perusahaan untuk mengetahui sumber daya yang ada,
karena sumber daya manusia berperan penting dalam
menunjuang adanya tingkat produktivitas kinerja para
karyawan di suatu organisasi perusahaan. Apabila
suatu HRD perusahaan tidak dapat memahami
bagaimana suatu strategi yang tepat dalam
membangun dan mengembangkan SDM maka dapat
dipastikan bahwa tujuan-tujuan yang diharapkan
dalam suatu organisasi tersebut akan mengalami
penurunan produktivitas kerja karyawan dan
perusahaan tersebut tidak dapat beroperasi secara
maksimal bahkan dapat mengalami penurunan dan
kerugian yang diakibatkan kurangnya penanganan
yang berkaitan dengan sumberdaya manusia terutama
menurunkan kinerja pegawainya. Oleh sebab itu
dibutuhkan strategi untuk meningkatkan kinerja
melalui pengembangan sumber daya manusia.
Terdapat beberapa temuan yang telah di kaji dari
peneliti-peneliti yang relevan diantaranya:
1. Penelitian “Pengaruh Pengembangan Sumber Daya
Manusia Terhadap Kinerja Karyawan Pada
PT.PLN Cabang Binjai” menunjukkan terdapat
hubungan antara pengembangan SDM terhadap
kinerja. Strategi yang digunakan dalam
meningkatkan produktivitas kinerja deilakukan
dengan pendidikan dan pelatihan. Namun tidak
hanya itu, peningkatakn lainnya dapat dilakukan
dengan faktor lain seperti keselamatan kerja,
promosi, kompensasi seperti upah, dan tunjangan
lainnya (Tarigan & Nasution, 2014)
2. Penelitian yang berjudul “Strategi Pengembangan
Sumber Daya Manusia dalam Meningkatkan
Kinerja Karyawan Pada Bank Syariah Mandiri
Cabang Pembantu Batusangkar” strategi yang
dilakukan guna meningkatkan kinerja pegawai
yaitu dilakukan dengan dua cara. Cara pertama
yaitu melalui orientasi, proses ini dilakukan
terhadap karyawan baru untuk memahami dan
memperkenalkan seluk beluk dalam perusahaan.
Kemudian cara kedua yaitu dengan pelatihan dan
pengembangan karyawan, proses pelatihan ini
dimaksudkan untuk membantu karyawan dalam
meningkatkan kinerjanya (Mirsal, 2017).
3. Penelitian dengan judul “Strategi Pengembangan
Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan
Kinerja Karyawan” melalui pelatihan, pendidikan
serta pengembangan karir dapat digunakan untuk
mengembangkan keterampilan karyawan serta
memperluas
pengetahuan
karyawan.
dari
penelitian ini, hasil evaluasi dijadikan sebagai
program dalam melakukan pelatihan yang dapat
dilakukan dengn teknik on the job training atau
pun off the job training. Kemudian adanya
pendidikan yang mana karyawan mendapat
kesempatan untuk mendapatkan wawasan
pendidikan diluar perusahaan serta sanggup untuk
menyekolahkan
atau
merekomendasikan
pendidikan lanjut. Selanjutnya pengembangan
karir yang dilakukan perusahaan dalam penelitian
ini dengan melihat prestasi yang diukur dari hasil
kerja dan lamanya karyawan berada pada
perusahaan tersebut (Miftahuddin, Rahman, &
Setiawan, 2018).
4. Penelitian dengan judul “Analisis Kebutuhan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Untuk
Meningkatkan Kinerja Pegawai Di Balai Karantina
Pertanian Kelas I Mataram” mendapatkan hasil
habwa kinerja pegawai dipengaruhi dari
pengembangan SDM yang termasuk didalamnya
adalah perekrutan, pengembangan karir, pelatihan
dan promosi. Namun dari penelitian itu terdapat
hambatan keterbatasan anggran, kurangnya jumlah
pegawai dan peserta dalam melakukan suatu
pelatihan (Agussaleh, Agusdin, & Hermanto,
2020).
Dari berbagai penelitian tersebut maka strategi
dalam meningkatkan kinerja melalui sumber daya
manusia dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
dengan:
Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan merupakan cara yang dapat
dilakukan dalam meningkatkan dan mengembangkan
pngetahuan baik intelektual maupun soft skill. Tujuan
diadakannya pendidikan dan pelatihan sumber daya
manusia bagi perusahaan maupun bagi individu itu
sendiri dalam menjalankan tugas yang diberikan
101
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan
Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa
adalah untuk meningkatkan, memperbaiki, dan
membantu memecahkan permasalahan dalam
organisasi maupun individu yang berdampak pada
peningkatan kinerja.
Pendidikan atau education dimaksudkan untuk
memperbaiki pemahaman dengan memberikan
pengetahuan bagi karyawan agar dapat lebih
meningkatkan kualitas pekerjaa dibidang
yang
dikerjakan. Pendidikan juga termasuk didalamnya
mencakup pengajaran dan praktek pengaplikasiannya
terhadap aspek-aspek teoritis. Pendidikan dapat
dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan biaya
sekolah
kepada
karyawan
dalam
artian
menyekolahkan karyawan atau merekomendasikan
lembaga yang tepat guna menunjang karyawan
meningkatkan kinerjanya. Namun disamping itu tidak
sembarang
perusahaan
mau
menyekolahkan
karyawannya, hanya karyawan-karyawan yang
berkompeten lah yang dapat diberikan karyawan serta
karyawan yang berdedikasi tinggi untuk perusahaan.
Sedangkan
pelatihan
atau
training
sendiri
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
dan
mengembangkan keterampilan karyawan dalam
menjalankan suatu pekerjaan yang diberikan. Pelatihan
pada dasarnya lebih mengutamakan praktek daripada
teori. Tujuan diadakanya pelatihan sendiri selain untuk
meningkatkan
kinerja
dan
mengembangkan
keterampilan juga sebagai pengalaman bagi para
karyawan.
Dari penelitian relevan yang dilakukan Agussaleh,
Agusdin dan Hermanto (2020) dan penelitian dari
Miftahuddin, Rahman dan Setiawan (2018) disebutkan
bahwa pelatihan yang dilakukan di suatu perusahaan
dapat dilakukan dengan on the jon training maupun off
the job training. Hal ini sama hal nya dengan yang
dijelasakan Samual (2017) pelatihan dalam upaya
mengembangkan SDM untuk meningkatkan kinerja
dapat di klasifikasikan kedalam 4 kegiatan yaitu:
1. On The Job Training
Pelatihan ini dilakukan secara langsung ditempat
kerja, dimana dalam pelatihan ini seseorang
diminta untuk mempelajari pekerjaan itu dengan
langsung mengerjakannya. Metode ini banyak
dilakukan oleh banyak perusahaan, umumnya
dilakukan oleh manajer atau karyawan lainnya.
Adapun bentuk on the job training yaitu (1)
Metode coaching (membimbing), dimana dalam
metode ini seorang yang sudah berpengalaman dan
sudah mendapatkan latihan yang selanjutnya
ditugaskan untuk melatih karyawan. (2) Rotasi
pekerjaan, dalam bentuk ini seorang calon
karyawan pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan
lainnya..(3) Tugas khusus, yang mana diberikan
khusus pada karyawan yang berpengalaman
langsung dengan pekerjaan tersebut.
2. Magang (Apprenticehsip)
Apprenticehsip (magang), program ini biasanya
mengkombinasikan on the job training dengan
pengalaman sistem magang. Dalam jenis ini
terdapat kegiatan-kegiatan didalamnya yaitu : (1)
seorang karyawan dapat belajar dari karyawan
yang lainnya yang jauh lebih berpengalaman dari
dirinya, (2) coaching dalam hal ini adalah seorang
pemimpin mengajarkan cara-cara kerja yang benar
kepada bawahannya di tempat pekerjaan dan caracara yang diajarkan atasan, (3) karyawan yang
telah dilatih dapat menjadi seorang ”asisten”, (4)
menugaskan karyawan tertentu dapat dijadikan
dalam berbagai panitia, sehingga mendapat
pengalaman lebih banyak.
3. Classroom Method
Model ini berbentuk pembelajaran di dalam kelas
dengan menggunakan metode ceramah diskusi.
Aktivitas pembelajaran pada umumnya berjalan
sepihak yang instruktur aktif memberikan
informasi atau pengetahuan kepada peserta.
4. Vestibule
Model ini bertujuan untuk meningkatkan
keterampilan terutama teknik. Artinya, harus
menyediakan lokasi dan fasilitas khusus untuk
berlatih, sehingga tidak mengganggu pekerjaan
yang sebenarnya.
Kompensasi
Kompensasi merupakan sesuatu yang diterima oleh
karyawan sebagai bentuk apresiasi dari usaha-usaha
mereka dalam menjalankan suatu tugas dari pekerjaan
yang diberikan oleh perusahaan. Kompensasi beragam
bentuknya. Kenaikan tunjangan atau upah yang
diterima pegawai juga dapat diberikan oleh perusahaan
dari lamanya seseorang bekerja di suatu perusahaan.
Seperti yang di jelaskan dalam penelitian Tarigan dan
Nasution (2014) kompensasi yang diberikan berupa
upah atau gaji pokok, intensif, tunjangan kesehatan,
dan tunjangan lainnya termasuk tunjangan anak dan
istri, tunjangan hari raya serta jaminan masa tua yang
dapat diberikan kepada karyawan.
Telah banyak penelitian yang menganggap adanya
kompensasi mempengaruhi hasil produktivitas kinerja.
Kompensasi dapat meningkatnya kinerja, sebab
dengan adanya kompensasi pegawai merasa puas dan
usaha yang mereka lakukan dihargai perusahaan, dan
mendapatkan keadilan akan hak mereka. Tidak hanya
meningkatkan produktivitas kerja, kompensasi juga
102
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan
Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa
mempengaruhi
dalam
mempertahankan
dan
memperbaiki SDM dalam suatu perusahaan.
Namun, kompensasi tidak serta merta diberikan,
terdapat beberapa sistem kompensasi yang dapat
menentukan seseorang layak mendapatkan kompensai
yang diterima. Sistem itu diantaranya adalah Sistem
prestasi dan sistem waktu. Banyak atau sedikitnya
upah yang diperolah bergantung pada hasil yang
dicapai dari waktu tugas yang dibebankan (Masram &
Mu'ah, 2015). Misalkan, seseorang melakukan sesuatu
pekerjaan dalam per-potong atau per-lembar nya
dalam waktu sehari mereka mendapatkan hasil
sebanyak 20 lembar, maka kompensasi dari prestasi ini
lah dapat dihargai dengan memberikan bonus atas
prestasi yang dilakukan.
Perencanaan dan Pengembangan Karir
Perencanaan merupakan suatu istilah yang digunakan
untuk menjelasakn suatu rencana dimasa mendatang.
Perencanaan karir akan berhasil apabila seseorang
memiliki tanggung jawab, serta memiliki keahlian
dalam bidang tertentu. Tujuan adanya perencaan karir
ini salah satunya adalah untuk membangun dan
menggali potensi yang dimiliki karyawan. Menurut
Masram dan Mu’ah (2017) suatu karir dapat mencapai
keberhasilan apabila memiliki dua aspek, yang
pertama yaitu kemampuan dan kemauan dan yang kedua yaitu keuletan yang bersumber dari suatu individu
itu sendiri. maka suatu perencanaan juga
membutuhkan
pengembangan
karir
untuk
meningkatkan produktivitas suatu kinerja.
Pengembangan karir merupakan upaya dalam
meningkatkan
kemampuan
seseorang
dalam
mewujudkan suatu keinginan yang diharapkan.
Program pengembangan karir ini dapat menjadikan
karyawan dalam memahami kebutuhan-kebutuhan
internal dalam individu itu sendiri. Seperti dalam
penelitian yang dilakukan Agussaleh, Agusdin dan
Hermanto (2020) dan penelitian dari Miftahuddin,
Rahman dan Setiawan (2018) perencannan dan
pengembangan karir akan dapat terwujud apabila
perusahaan juga mendukungnya.
Masram dan Mu’ah (2017). Perusahaan dapat
mendukung hal tersebut guna meningkatkan kinerja
karyawannya dengan beberapa cara. Diantaranya
adalah (1) melalui pendidikan karir, dalam hal ini
perusahaan dapat memberikan lokakarya workshop
atau seminar dalam hal pendidikan terhadap
karyawannya. (2) informasi karir, dalam perusahaan
pada bagian SDM adakalanya informasi karir ini
diperlukan untuk membuat suatu prencanaan karir
yang mana berkaitan dengan uraian dan spesifikasi
kerjanya. (3) konseling dan bimbingan karir, adanya
masalah yang dapat timbul baik dari dalam individu
maupun dalam organisasi yang dapat menghambat
jalannya karir tersebut. Maka, adanya konseling karir
ini membantu karyawan dalam memecahkan suatu
persoalan sehingga tidak menghambat karirnya.
PENUTUP
Simpulan
Membangun sumber daya manusia penting dilakukan
bagi setiap perusahaan. dengan adanya SDM
perusahaan dapat meningkatkan kinerja para pegawai,
memberbaiki SDM yang kurang tepat dan merancang
strategi yang tepat untuk menciptakan sebuah
organisasi dan mensejahterahkan civitas yang ada
dalam perusahaan. Kinerja dapat ditingkatkan dengan
beberapa cara dengan pengembangan sumber daya,
diantaranya adalah melalui pendidikan dan pelatihan,
pemberian kompensasi termasuk tunjangan kesehatan,
anak, dan jaminan masa tua, serta dukungan
perusahaan dengan merancang dan mengembangkan
karir yang ingin dicapai agar produktivitas kinerja
dapat membuahkan hasil yang diinginkan.
Saran
Untuk dapat mengembangkan sumber daya manusia
setiap perusahaan sebaiknya wajib untuk menerapkan
strategi dalam meningkatkan kinerja. Masih banyak
ditemui bahwa perencanaan karir masih minim
diterapkan dalam suatu perusahaan. Perusahaanperusahaan lebih mengedepankan adanya pelatihan
atau training bagi setiap atasan dan bawahan dalam
berbagai tujuan namun minim dengan adanya
perencanaan dan pengembangan karir. Maka,
sebaiknya setiap perusahaan melakukan perencanaan
dan pengembangan karir.
DAFTAR PUSTAKA
Agussaleh, Agusdin, & Hermanto. (2020). Analisis
Kebutuhan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Untuk Meningkatkan Kinerja Pegawai Di Balai
Karantina Pertanian Kelas I Mataram . Distribusi,
8(1), 53-66.
Bukit, B., Malusa, T., & Rahmat, A. (2017).
Pengembangan Sumber Daya Manusia (Teori,
Dimensi Pengukuran, dan Implementasi dalam
Organisasi). Yogyakarta: Zahir Publising.
Masram, & Mu'ah. (2015). Manajemen Sumbr Daya
Manusia . Sidoarjo: Zifatama Publisher.
Masram, & Mu'ah. (2017). Manajemen Sumber Daya
Manusia
Profesional.
Sidoarjo:
Zifatama
Publisher.
103
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dunia Kerja untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan
Nurul Indah Mustiyah, Vika Maurissa
Miftahuddin, Rahman, A., & Setiawan, A. I. (2018).
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan. Tadbir:
Jurnal Manajemen Dakwah, 3(2), 01-16. DOI:
10.15575/tadbir.
Mirsal. (2017). Strategi Pengembangan Sumber Daya
Manusia dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan
Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu
Batusangkar. Jurnal EKOBISTEK Fakultas
Ekonomi, 6(2), 208-217.
Priyono. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Sidoarjo: Zifatama Publisher.
Samual, T. E. (2017). Manajemen Sumber Daya
Manusia Edisi Revisi. Surabaya: CV. R.A. De.
Rozarie.
Santia, T. (2020, Februari 5). Kemenperin:
Pengembangan SDM adalah Prioritas Utama.
Dipetik Mei 6, 2020, dari Liputan 6:
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4171909/ke
menperin-pengembangan-sdm-adalah-prioritasutama
Tarigan, C. G., & Nasution, M. A. (2014). Pengaruh
Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap
Kinerja Karyawan Pada PT. PLN Cabang Binjai .
Jurnal Administrasi Publik , 2(2), 146-153.
Werner, J. M., & DeSimone, R. L. (2012). Human
Resource Development 6e. Canada: Nelson
Education, Ltd.
Yusran, A. (2018). Analisis Pengaruh Pengembangan
Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT. Bank BNI Cabang Utama
Kendari. Jurnal Ilmu Managemen, 4(3), 1-11.
104
PERBEDAAN KETERLIBATAN KERJA DITINJAU DARI UNIT KERJA PADA KARYAWAN
Phonny Aditiawan Mulyana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surabaya, phonny.aditiyawan@fe.um-surabaya.ac.id
Olievia Prabandini Mulyana
Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, olieviaprabandini@unesa.ac.id
Novia Anggraini
Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan keterlibatan kerja ditinjau dari unit kerja
pada karyawan. Metode yang digunakan berupa metode penelitian kuantitatif komparatif. Penelitian
ini merupakan penelitian populasi dengan subjek penelitian sejumlah 114 karyawan tetap dengan
masa kerja minimal 1 tahun pada tiga unit kerja divisi produksi yakni PM 1, PM 2, dan PM 3.
Instrumen dalam penelitian ini dikembangkan atas konsep keterlibatan kerja yang disusun menjadi
skala keterlibatan kerja. Alat pengumpulan data pada unit kerja diperoleh melalui studi dokumen
dari data karyawan perusahaan, sedangkan pada variabel keterlibatan kerja, alat pengumpulan
datanya menggunakan teknik kuesioner. Teknik analisis data pada penelitian ini diolah dengan
menggunakan pengujian one way anova. Berdasarkan hasil dari analisis data, bisa ditarik kesimpulan
bahwa terdapat perbedaan keterlibatan kerja jika ditinjau dari unit kerja pada karyawan dengan
signifikansi sebesar 0,041 (Sig. < 0,05). Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa
terdapat perbedaan keterlibatan kerja ditinjau dari unit kerja pada karyawan, diterima. Perbedaan
keterlibatan kerja tersebut terjadi karena bentuk mesin, cara pengoperasian mesin, dan target hasil
produksi.
Kata Kunci: keterlibatan kerja, unit kerja, karyawan.
PENDAHULUAN
Era industri saat ini sedang berada pada penghujung
masa 4.0 dan tengah bersiap untuk memasuki masa
industri 5.0. Demi kemajuan perusahaan, menerapkan
sikap kompetitif adalah cara yang efektif dalam
bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang
serupa. Adanya pergeseran masa dari industri 4.0
menjadi 5.0 disebabkan menurunnya tingkat kinerja
karyawan saat menyelesaikan tugas. Hal ini karena
penggunaan teknologi seperti komputer dalam
mengendalikan pekerjaan, sehingga peran manusia
semakin berkurang (Skobelev & Borovik, 2017).
Meskipun demikian, perusahaan tetap harus
memperhatikan
kondisi
karyawan
ketika
menyelesaikan pekerjaannya, dengan meningkatkan
efisiensi dan kreativitas selama proses kerja (Istifadah
& Tjaraka, 2017). Karyawan yang memiliki efisiensi
dan kreativitas saat bekerja akan memudahkan
perusahaan untuk menghadapi masa industri 5.0,
karena akan menciptakan alur kerja dengan sistem
cerdas pada penggabungan teknologi dan manusia
(Navandi, 2019).
Karyawan yang berkeinginan besar untuk
meningkatkan diri dan betanggung jawab terhadap
pekerjaannya adalah yang memiliki tingkat peran serta
atau keterlibatan kerja tinggi (Abdallah et al., 2017).
Kanungo, 1982; Lambert et al., 2018 menyatakan
keterlibatan kerja adalah sikap saat bekerja yang timbul
melalui kemampuan kognitif serta keyakinan individu
ketika
mengidentifikasi
pekerjaannya
secara
psikologis, didorong dengan persepsi bahwa
pekerjaannya tersebut
memiliki potensi yang dapat memenuhi kebetuhan
hidupnya. Ketika karyawan telah menganggap bahwa
pekerjaannya menjadi sentral utama guna memenuhi
setiap kebutuhannya, maka dapat menimbulkan
keterikatan secara emosional terhadap pekerjaannya
serta akan berpartisipasi secara aktif saat bekerja
(Kanungo, 1982; Lambert et al., 2018).
Beberapa karakteristik karyawan dengan tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi telah dijelaskan oleh
Cohen (2003). Karakteristik tersebut seperti peduli
terhadap kondisi pekerjaan ataupun perusahaan,
optimal dalam bekerja, berusaha untuk meminimalisir
tingkat
absensi,
memiliki
komitmen,
serta
memaksimalkan waktu saat bekerja. Adanya tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi pada karyawan, akan
memberikan
keuntungan
bagi
perusahaan.
Fathurrohnman (2018) mengatakan bahwa ketika
karyawan memiliki keterlibatan kerja yang tinggi maka
perusahaan akan mengalami peningkatan terhadap
kuantitas serta kualitas hasil produksi, selain itu
meningkatnya efisiensi kerja karyawan.
105
Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan
Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini
Namun ketika karyawan memiliki tingkat
keterlibatan kerja yang rendah, maka perusahaan akan
mengalami berbagai hambatan dalam mencapai hasil
yang optimal karena menurunnya konsentrasi
karyawan saat bekerja (Abdallah et al., 2017). Cohen
(2003) menjabarkan beberapa karakteristik lain
karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja
rendah, yaitu tidak berkeinginan untuk bekerja keras
serta kurangnya kepedulian terhadap pekerjaan.
Penyebab terjadinya keterlibatan kerja yang rendah
telah dikemukakan oleh Bolelli dan Durmus, 2017;
Kanungo, 1982. Terdapat dua faktor pada keterlibatan
kerja yakni faktor personal dengan atribut demografis
dan psikologis, serta faktor situasional dengan atribut
pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya.
Atribut demografis pada faktor personal memiliki
pengaruh yang besar terhadap keterlibatan kerja namun
masih jarang diperhatikan (Bolelli & Durmus, 2017).
Kanungo (1982) menjabarkan atribut demografis
tersebut yakni mencakup perbedaan pada jenjang
pendidikan terakhir, status pernikahan, jenis kelamin,
umur, tingkat jabatan, bagian kerja, dan lama kerja.
Pada bagian produksi di suatu perusahaan memiliki
tiga bagian/unit kerja yaitu PM (Paper Machine) 1, PM
(Paper Machine) 2, dan PM (Paper Machine) 3 dengan
jenis pekerjaan yang masing-masing berbeda. Proses
kerja pada ketiga unit sepenuhnya menggunakan alat
yang berupa mesin namun bentuk dan cara
mengoperasikan mesin tersebut berbeda-beda. Produk
yang dihasilkan pada setiap unit juga berbeda, seperti
kertas coklat, printing paper, newsprint paper,
packaging paper, serta kertas daur ulang, yang terbagi
ke dalam tiga unit tersebut.
Hasil wawancara yang telah dilakukan pada studi
pendahuluan dengan Human Resources Development
di perusahaan tersebut, ditemukan bahwa dilihat secara
grafik tingkat keterlibatan kerja pada setiap unit kerja
memiliki perbedaan. Anggota dari PM 1 cenderung
lebih antusias saat bekerja dan mengoptimalkan waktu
yang dimilikinya untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal
ini terjadi karena pada PM 1 memiliki jenis pekerjaan
yang menuntut setiap anggotanya untuk selalu sigap
dalam mengoperasikan mesin guna mencapai hasil
yang optimal.
Berdasarkan dari paparan latar belakang maka
ditemukan tujuan penelitian ialah untuk mengetahui
lebih dalam mengenai tingkat keterlibatan kerja jika
ditinjau dari unit kerja pada karyawan. Apakah
keterlibatan kerja pada PM 1 memang tergolong ke
dalam kategori lebih tinggi dibandingkan unit yang lain
dan sesuai dengan studi pendahuluan, atau nantinya
justru kategori keterlibatan kerja pada setiap unit akan
berbeda. Dengan demikian, peneliti mengangkat
penelitian dengan judul “Perbedaan Keterlibatan Kerja
Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan”.
METODE
Jenis penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian kuantitatif, dengan
data berupa angka-angka dan kemudian dilakukan
analisis sesuai dengan prosedur statistik (Noor, 2015).
Adapun jika dilihat dari analisis data yang digunakan,
penelitian ini tergolong ke dalam penelitian komparatif
dengan memiliki fokus utama ialah membandingkan
antara dua atau lebih kondisi yang tengah diteliti, dan
demikian akan diketahui apakah terdapat perbedaan
atau tidak pada berbagai kondisi tersebut (Mundir,
2013).
Subjek Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan penelitian populasi
dengan subjek penelitian sebanyak 114 karyawan pada
bagian produksi yang terdiri dari tiga bagian/unit kerja
yaitu PM (Paper Machine) 1, PM (Paper Machine) 2,
dan PM (Paper Machine) 3. Kriteria lain yang
diberikan adalah masa kerja minimal 1 tahun dan
merupakan karyawan tetap.
Variabel penelitian
Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel
bebas yang merupakan unit kerja dan variabel terikat
yang merupakan keterlibatan kerja. Definisi
operasional dari unit kerja adalah bagian-bagian yang
terbentuk sesuai dengan bentuk tugas. Unit kerja
berisikan sekumpulan individu yang menjadi suatu
kelompok, tim, ataupun regu dan saling melakukan
kerjasama dalam menyelesaikan tugas tertentu.
Sedangkan definisi operasional dari keterlibatan kerja
adalah sikap terhadap pekerjaan melalui adanya
kemampuan kognitif dan keyakinan individu dalam
mengidentifikasi secara psikologis terhadap pekerjaan
dan mempersepsikan pekerjaannya memiliki potensi
dalam memenuhi setiap kebutuhan. Aspek keterlibatan
kerja terdiri dari kemampuan identifikasi, keterikatan
emosional, dan partisipasi pada pekerjaan.
Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data pada unit kerja di peroleh dari
studi dokumen dari data karyawan perusahaan.
Sedangkan pada variabel keterlibatan kerja, alat
pengumpulan datanya menggunakan teknik kuesioner.
Peneliti melakukan penyebaran angket yang berisi
kumpulan pernyataan-pernyataan tertulis kepada
subjek (Sugiyono, 2012). Instrumen yang berupa skala
106
Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan
Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini
dikembangkan dari konsep keterlibatan kerja menurut
Kanungo, 1982; Lambert et al., 2018, dengan tiga aspek
utama yaitu identifikasi, keterikatan emosional, dan
berpartisipasi secara aktif. Hasil uji coba yang
dilakukan pada skala keterlibatan kerja di peroleh nilai
koefisien reliabilitas sebesar 0,912 yang tergolong ke
dalam kategori sangat reliabel, sedangkan daya beda
aitem memiliki nilai 0,303 sampai dengan 0,817 dan
mmenghasilkan jumlah aitem yang valid sebanyak 28
dari total 36 aitem.
Analisis Data
Setelah memperoleh data dari hasil penyebaran angket,
selanjutnya peneliti melakukan analisis data
menggunakan uji komparasi atau uji beda. Teknik
analisis yang dipilih untuk digunakan pada penelitian
ini adalah one way anova dengan dibantu oleh program
JASP (Jefferys’s Amazing Statistics Program) versi
0.13.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengujian homogenitas dengan menggunakan test for
equality of variance ditemukan nilai signifikansi
sebesar 0,060, oleh karena nilai signifikansi besar dari
0,05 maka dapat dikatakan bahwa data telah memiliki
sifat yang homogen. Ketika data telah memenuhi syarat
homogenitas, dengan demikian dapat melanjutkan
pengujian anova.
Tabel 1. Anova Keterlibatan Kerja
Cases
unit kerja
Residuals
Sum of Squares df Mean Square
1154.796
2
19451.669 111
F
p
η²
577.398 3.295 0.041 0.056
175.240
Note. Type III Sum of Squares
Tabel anova dari variabel keterlibatan kerja
ditemukan nilai signifikansi sebesar 0,041 yang
menunjukkan nilai tersebut kurang dari 0,05 dengan
nilai F sebesar 3,295. Dari hasil tersebut bisa dikatakan
bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan
keterlibatan kerja pada karyawan di masing-masing
unit kerja, yaitu PM 1, PM 2, dan PM 3. Selain itu
ditemukan nilai eta squared (η²) sebesar 0,056, yang
bermakna bahwa sebesar 5,6% pengaruh yang
diberikan unit kerja terhadap keterlibatan kerja. Dalam
mengetahui bagaimana keterlibatan kerja pada tiap unit
kerja, maka dilakukan pengujian deskriptif terhadap
variabel keterlibatan kerja sebagai berikut:
Tabel 2. Statistik Deskriptif
Unit Kerja
Mean
SD N
PM 1
102.000
11.981 37
PM 2
107.281
15.796 32
PM 3
99.467
12.200 45
Tabel statistik deskriptif di atas menunjukkan
bahwa karyawan pada PM 2 memiliki keterlibatan kerja
yang lebih tinggi daripada unit yang lain, kemudian PM
1 dengan keterlibatan kerja karyawan cukup, dan PM 3
yang menampilkan keterlibatan kerja karyawan lebih
rendah dibandingkan yang lainnya.
Setelah mengetahui bahwa secara keseluruhan
terdapat perbedaan keterlibatan kerja karyawan pada
tiap unit kerja, maka selanjutnya melakukan analisis
untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pada tiaptiap unit yang dilakukan dengan menggunakan
pengujian post hoc comparisons sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Post Hoc Comparisons
95% CI for Mean Difference
Mean
Lowe Uppe
SE t
p tukey
Difference r
r
PM PM,
,1 2
PM,
3
PM PM,
,2 3
3.19
0.22
1.65
-5.281 12.87 2.310
6
8
3
3
2.93 0.86 0.66
2.533 -4.446 9.512
8
2
5
15.08 3.06 2.55 0.03
7.815 0.543
*
6
1
3
2
* p < .05
Note. P-value and confidence intervals adjusted for
comparing a family of 3 estimates (confidence
intervals corrected using the tukey method).
Hasil yang ditemukan pada pengujian post hoc
comparisons, yaitu pada PM 1 dan PM 2 tidak
ditemukan adanya perbedaan karena nilai signifikansi
sebesar 0,228 yang berarti lebih besar dari 0,05.
Selanjutnya, pada PM 1 dan PM 3 juga tidak terdapat
perbedaan karena nilai signifikansi sebesar 0,665 dan
lebih besar dari 0,05. Namun, pada PM 2 dan PM 3
terdapat perbedaan yang signifikan sebesar 0,032,
dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05.
Pembahasan
Berlandaskan analisis terhadap data yang dimiliki,
maka hipotesis yang berbunyi “terdapat perbedaan
keterlibatan kerja ditinjau dari unit kerja pada
karyawan” dapat diterima. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
keterlibatan kerja jika ditinjau dari unit kerja yaitu PM
1, PM 2, PM 3. Dilakukan kepada 114 karyawan
produksi dan dianalisis menggunakan uji one way
107
Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan
Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini
anova, yang menghasilkan nilai signifikansi sebesar
0,041 (Sig. < 0,05).
Unit kerja ini dibedakan berdasarkan bentuk mesin,
cara pengoperasian mesin tersebut, serta hasil produksi.
Dengan demikian jenis pekerjaan pada masing-masing
unit memiliki perbedaan. Masing-masing unit kerja
memiliki jenis pekerjaan yang berbeda-beda, Arini dan
Dwiyani (2015) mengatakan bahwa jenis pekerjaan
terbagi menjadi dua, yakni monoton dan tidak
monoton. Pekerjaan monoton adalah pekerjaan yang
dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya
pembaruan, sedangkan pekerjaan tidak monoton adalah
pekerjaan yang berbeda dan membutuhkan kreativitas
lebih.
Pengujian statistik deskriptif yang telah dilakukan,
ditemukan kategori keterlibatan kerja karyawan pada
setiap unit, yang mana karyawan dengan keterlibatan
kerja tinggi berada pada PM 2, cukup berada pada PM
1, sedangkan rendah berada pada PM 3. Hal tersebut
disebabkan karena pada PM 2 karyawan dituntut untuk
bisa lebih kreatif dalam melakukan pemilihan warna
ataupun ketebalan kertas sesuai yang dibutuhkan,
sehingga setiap harinya karyawan tidak mudah merasa
jenuh saat bekerja. Kemudian pada PM 1, bentuk mesin
yang digunakan masih bersifat manual, sehingga
karyawan harus lebih proaktif dan tanggap dalam
menyelesaikan
tuntutan
pekerjaan
dengan
mengoperasikan mesin dengan optimal. Sedangkan
pada PM 3, telah menggunakan mesin yang secara
keseluruhan dioperasikan oleh komputer dan karyawan
hanya bertugas dalam memantau bagaimana mesin
yang sedang berproses melalui komputer, sehingga
peluang karyawan merasa mudah jenuh saat bekerja
cenderung lebih besar.
Berkesinambungan dengan hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Sethi (2016), yang mengatakan
bahwa ketika individu tidak terlibat dan berpartisipasi
secara aktif di dalam organisasi dan pekerjaannya,
maka individu tersebut akan menganggap pekerjaannya
adalah hal yang tidak penting bagi kelangsungan hidup
dan harga dirinya. Hal tersebut akan berdampak negatif
terhadap perusahaan, karena kinerja yang diberikan
karyawan saat bekerja mengalami penurunan.
Berpartisipasi aktif sendiri merupakan salah satu aspek
dari keterlibatan kerja menurut Kanungo, 1982;
Lambert et al., 2018. Aspek termasuk sebagai cerminan
dari variabel, dengan demikian berpartisipasi aktif juga
menjadi cerminan dari variabel keterlibatan kerja. Nilai
dari variabel akan mengalami penurunan jika salah satu
dari aspek diketahui mengalami penurunan.
Penelitian yang dilakukan ini memiliki suatu
batasan, dimana pengukuran hanya dilakukan pada
apakah terdapat perbedaan keterlibatan kerja yang
ditinjau dari unit kerja pada karyawan. Hasil penelitian
yang diperoleh, belum dapat dipastikan mampu
menggeneralisir setiap unit kerja dibagian produksi
pada setiap perusahaan. Selain itu, terdapat faktorfaktor lainnya dalam mempengaruhi tingkat
keterlibatan kerja pada karyawan seperti faktor yang
telah dikemukakan oleh Bolelli dan Durmus, 2017;
Kanungo, 1982.
PENUTUP
Simpulan
Sesuai dengan hasil analisis terhadap data yang telah
diperoleh, diketahui terdapat perbedaan keterlibatan
kerja ditinjau dari unit kerja pada karyawan, dengan
besarnya signifikansi yakni 0,041 dimana kecil dari
0,05. Jika dicari perbedaan berdasarkan setiap unit
kerja yang ada, ditemukan bahwa pada PM 1 dan PM 2
tidak terdapat perbedaan, begitupun PM 1 dan PM 3
yang tidak terdapat perbedaan, namun pada PM 2 dan
PM 3 terdapat perbedaan yang signifikan sebesar 0,032
(p < 0,05). Perbedaan keterlibatan kerja yang terjadi
pada setiap unit, didasarkan atas perbedaan bentuk
mesin, cara dalam mengoperasikan mesin, serta hasil
produksi.
Saran
Terdapat saran yang bisa diberikan kepada pihak-pihak
terkait berdasarkan hasil dari analisis terhadap data
yang diperoleh, yakni:
1. Bagi perusahaan
Perusahaan diharapkan dapat melakukan evaluasi
secara berkala terkait keterlibatan kerja pada
karyawan bagian produksi, dengan memberikan
kegiatan ataupun tugas yang melibatkan karyawan
secara langsung saat bekerja sehingga keterlibatan
kerja yang dimiliki karyawan pun akan semakin
meningkat.
2. Bagi peneliti lanjutan
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan
pengembangan terhadap penelitian ini, dengan
menjadikan faktor keterlibatan kerja yang lain
sebagai variabel peninjau ataupun memberikan
variabel tambahan serta mengubah jenis penelitian
agar menjadi lebih bermanfaat dan menarik. Selain
itu, diharapkan dapat mencakup populasi dengan
lebih luas, sehingga informasi yang akan diperoleh
menjadi lebih autentik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdallah, A. B., Obeidat, B., Aqqad, N. O., Janini, M.
N. K., & Dahiyat, S. E. (2017). An Integrated
108
Perbedaan Keterlibatan Kerja Ditinjau dari Unit Kerja pada Karyawan
Phonny Aditiawan Mulyana, Olievia Prabandini Mulyana, Novia Anggraini
model of job involvement, job satisfaction and
organizational commitment: A structural analysis
in Jordan’s banking sector. Communication and
Network, 9(1), 28–53.
Arini, S. Y., & Dwiyani, E. (2015). Analisis faktor
yang berhubungan dengan terjadinya kelelahan
kerja pada pengepul tol di perusahaan
pengembangan jalan tol Surabaya. The Indonesian
Journal of Occupational Safety and Health, 4,
113–122.
Bolelli, M., & Durmus, B. (2017). Work attitude
influencing job involvement among “Y”
generation. International Journal of Commerce
and Finance, 3(1), 1–11.
Cohen, A. (2003). Multiple commitments in the
workplace: An integrative approach (1st ed.).
Lawrence Erlbaum Associates.
Fathurrohnman, A. (2018). Pengaruh keterlibatan
kerja dan stres terhadap kinerja guru SMK swasta
Kecamatan Matraman Jakarta Timur. Jurnal
Susunan Artikel Pendidikan, 3(1), 10–17.
Istifadah, N., & Tjaraka, H. (2017). Kreativitas dan
inovasi pada industri kreatif untuk meningkatkan
daya saing dan kesinambungan pertumbuhan
ekonomi. Conference on Management and
Behavioral Studies, 89–99.
Kanungo, R. N. (1982). Work alienation: An
integrative approach. Praeger Publishers.
Lambert, E. G., Qureshi, H., Frank, J., Klahm, C., &
Smith, B. (2018). Job stress, job involvement, job
satisfaction, and organizational commitment and
their associations with job burnout among Indian
police officers: A research note. Journal of Police
and Criminal Psychology, 33(85), 1–15.
Mundir. (2013). Statistik pendidikan: Pengantar
analisis data untuk penulisan skripsi dan tesis.
Pustaka Pelajar.
Navandi, S. (2019). Industry 5.0 – A human-centric
solution. Sustainability, 11(16), 1–13.
Noor, J. (2015). Metodologi penelitian: Skripsi, tesis,
disertasi, dan karya ilmiah. Prenadamedia.
Sethi, A. (2016). A study of job involvement among
senior secondary school teachers. International
Journal of Applied Research, 2(2), 205–209.
Skobelev, P. O., & Borovik, S. Y. (2017). On the way
from industry 4.0 to industry 5.0: From digital
manufacturing to digital society. International
Scientific Journal “Industry 4.0,” 2(6), 307–311.
Sugiyono. (2012). Metode penelitian kombinasi.
Alfabeta.
109
HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DENGAN INNOVATIVE WORK BEHAVIOR PADA
RELAWAN STREET CHILDREN FOUNDATION SIDOARJO
Vivin Faizatul Marita
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, vivin.17010664012@mhs.unesa.ac.id
Dinarayu Aldililla
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, dinarayu.17010664022@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Komitmen organisasi merupakan suatu kondisi psikologis yang mengikat individu pada organisasi
yang diikuti. Dengan memiliki komitmen pada organisasi, seseorang dapat melakukan kreativitas
atau inovasi untuk mengembangkan organisasi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara komitmen organisasi dengan innovative work behavior pada relawan komunitas
non-proft berbasis sosial-pendidikan, Street Children Foundation, di Sidoarjo. Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Penelitian ini melibatkan 54 orang sebagai responden
yang terdiri dari pengurus inti dan anggota yang tergabung dalam komunitas Street Children
Foundation. Hasil dari penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara kedua variabel
dengan nilai signifikansi 0,034 < 0,05 (p < 0,05). Nilai korelasi r = 0,288 yang lebih besar dari r
tabel pada ukuran sampel 54 dan taraf signifikansi 0,05 yaitu r = 0,268 (0,288 > 0,268) juga
menunjukan adanya hubungan dengan kekuatan rendah antara komitmen organisasi dengan
innovative work behavior pada sampel yang diuji. Hubungan ini dapat dikarenakan oleh identifikasi
relawan dengan budaya serta tujuan organisasi untuk memberikan pendidikan yang menarik dan
mendukung berkembangnya innovative work behavior.
Kata Kunci: Komitmen organisasi, Innovative work behavior
PENDAHULUAN
Bekerja secara kreatif dan inovatif merupakan sikap
yang dibutuhkan oleh seorang tenaga pendidik, baik
yang bekerja di institusi pendidikan formal, informal,
maupun non-formal. Hal ini dikarenakan proses
pembelajaran dalam pendidikan bersifat menantang,
menyempurnakan dan meningkatkan pemahaman
peserta didik mengenai konsep-konsep yang luas dan
terus berkembang. Menurut Must, Jacques, Dallal,
Bajema, dan Dietz (dalam Naz & Murad, 2017) format
tradisional dalam pembelajaran hanya membuat siswa
berkonsentrasi pada indikator-indikator yang dangkal,
namun mengabaikan pembelajaran aktif yang
mendalam. Hal tersebut dapat mengurangi keterlibatan
aktif peserta didik dalam proses pembelajaran.
Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, desain
pembelajaran di era sekarang menerapkan desain yang
berpusat pada peserta didik agar dapat lebih
mengembangkan potensi mereka. Pembelajaran aktif
ini melibatkan peserta didik yang memperoleh
pengetahuan melalui interaksi dengan pendidik
maupun dengan sesama peseerta didik (Naz & Murad,
2017). Sehingga, dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik yang beragam untuk
mengembangkan kemampuan kognitif maupun
sosialnya dalam ruang belajar, seorang pendidik perlu
melakukan rekonstruksi metode pengajaran yang akan
membuat ruang belajar menjadi lebih menarik dan
meningkatkan keterlibatan peserta didik. Hal tersebut
dapat dicapai dengan menerapkan pengajaran inovatif
yang berbeda dan strategi serta metode mengajar yang
berbeda pula.
Penerapan cara mengajar yang inovatif berarti
menggunakan praktik pengajaran untuk mendorong
kreativitas dan penerapan inovasi selama pengajaran
yang penting diterapkan agar peserta didik dapat
mencapai potensi yang dimiliki (Kalyani &
Rajasekaran, 2018). Pendidik yang mampu
menerapkan bekerja secara kreatif, menyumbangkan
ide dan mampu memberikan hasil positif bagi
organisasi tempat mereka bekerja seperti menerapkan
cara mengajar yang inovatif menunjukkan adanya
penerapan innovative work behavior dalam melakukan
pekerjaan dan tugasnya (Baharuddin, Masrek, &
Shuhidan, 2019).
Innovative work behavior merujuk pada penciptaan
ide-ide baru yang disengaja, hingga pegenalan ddan
penerapannya dalam organisasi maupun pekerjaan
yang dilakukan sehingga terdapat peningkatan dalam
performa individual dalam bekerja maupun performa
kelompok atau organisasi (Janssen, 2000). Innovative
work behavior melibatkan kreativitas dalam prosesnya
dan bagiamana ide kreatif tersebut diimplementasikan
untuk mencapai suatu keuntungan dalam pekerjaan
yang dilakukan (de Jong & den Hartog, 2010).
110
Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo
Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla
Mendorong terwujudnya inovasi dalam lingkungan
organisasi ini penting untuk memastikan efektivitas,
pertumbuhan, dan pengembangan berkelanjutan dalam
organisasi, baik organisasi profit maupun non-profit
atu organisasi berukuran besar maupun kecil
(Battistelli, Odoardi, Vandenberghe, Di Napoli, &
Piccone, 2019).
Proses innovative work behavior yang dilakukan
oleh seorang individu dalam tugas yang dilakukannya
meliputi pembuatan ide (pembuatan ide yang baru dan
bermanfaat), promosi ide (membangun koalisi
pendukung yang mampu memberikan kekuatan yang
diperlukan untuk implementasi ide), dan realisasi ide
atau menghasilkan model dari ide inovatif yang
dirumuskan agar dapat diterapkan dalam proses kerja
individu dalam organisasi atau organisasi itu sendiri
(Janssen, 2000).
Terdapat beberapa faktor yang dapat mepengaruhi
innovative work behavior individu dalam melakukan
pekerjaannya. Dalam perspektif individual, faktorfaktor dalam diri individu yang dapat memengaruhi
innovative work behavior meliputi kompetensi yang
dimiliki oleh individu (kapabilitas kognitif dan
keterampilan interpersonal, keterampilan kolaborasi,
keterampilan komunikasi, dan lain sebagainya), efikasi
diri, motivasi, komitmen (Siregar, Suryana, Ahman, &
Senen, 2019). Dalam kerangka yang disusun oleh
Siregar, Suryana, Ahman, dan Senen (2019),
kompetensi individu, efikasi diri, dan motivasi
memiliki pengaruh pada komitmen individu terhadap
organisasi dan komitmen organisasi ini dapat
memengaruhi innovative work behavior.
Menurut Allen dan Meyer (dalam Battistelli,
Odoardi, Vandenberghe, Di Napoli, & Piccone, 2019),
komitmen organisasi sendiri adalah suatu kondisi atau
keadaan psikologis yang mengikat individu pada
organisasinya. Individu dengan komitmen organisaisi
yang tinggi akan melihat dirinya sebagai bagian dari
organisasinya sehingga mampu mengesampingkan
hal-hal yang buruk dalam organisasi dan tetap bertahan
dalam organisasi tersebut (Griffin, Phillips, & Gully,
2017).
Three-Component Model dari komitmen organisasi
yang dirumuskan oleh Allen dan Meyer (Meyer,
Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002)
menyebutkan bahwa terdapat tiga komponen yang
menyusun komitmen organisasi. Komponen pertama
yaitu komitmen afektif atau affective commitment
membahas mengenai keterikatan emosional terhadap
organisasi, keterlibatan dalam organisasi, dan
identifikasi terhadap organisasi (Meyer, Stanley,
Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Komponen
komitmen selanjutnya adalah komitmen kelanjutan
atau continuance commitment yaitu “harga” yang
harus dibayarkan, baik secara finansial maupun
emosional, apabila individu memilih meninggalkan
organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch, &
Topolnytsky, 2002). Komponen yang terakhir adalah
komitmen normatif atau normative commitment yang
mencerminkan persepsi tentang kewajiban untuk tetap
bertahan dalam organisasi (Meyer, Stanley,
Herscovitch, & Topolnytsky, 2002).
Menurut Allen dan Meyer, setiap komponen
tersebut dapat dibedakan dan dapat memberikan hasil
korelasi yang berbeda ketika dikaitkan dengan variabel
lain, dengan komitmen afektif yang paling banyak
berkorelasi positif dengan performa individu maupun
organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch, &
Topolnytsky, 2002). Salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Yesil, Sözbilir, dan Akben (2012),
dimana diketahui bahwa bahwa komitmen afektif
memiliki hubungan yang positif dengan perilaku
inovatif infividual maupun perilaku inovatif dalam
organisasi. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Bawuro, Danjuma, dan Wajiga (2018) juga
menemukan bahwa komitmen afektif dalam organisasi
memiliki pengaruh terhadap innovative work behavior
pada guru sekolah menengah pertama.
Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Allen
dan Meyer (1990) menemukan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara komitmen organisasi
dan orientasi peran pada anggota organisasi yang baru
bergabung selama enam bulan. Hasil tersebut
mendukung penelitian lain yang dilakukan oleh Jones
yang menyimpulkan bahwa anggota baru yang
mengembangkan komitmen kuat untuk organisasi
mungkin tidak cukup inovatif dalam melakukan
perannya dan mereka yang inovatif mungkin tidak
cukup berkomitmen (Allen & Meyer, 1990).
Faktor lain yang berhubungan dan berpengaruh
dengan komitmen organisasi secara keseluruhan juga
beragam. Kajian yang dilakukan oleh Joiner dan
Bakalis (2006) menemukan bahwa perceived
organizational support berupa dukungan dari atasan
dan rekan kerja, akses terhadap sumber daya untuk
melakukan tugasnya, dan kejelasan peran dalam
organisasi dapat memengaruhi secara positif terhadap
komitmen organisasi individu. Selain itu, penelitian
oleh Bahrami, Barati, Ghoroghchian, Montazeralfaraj, Ezzatabadi (2016) menemukan bahwa variabel
yang berhubungan dengan komitmen organisasi adalah
iklim organisasi atau bagaimana individu menilai
lingkungan organisasi tempatnya bekerja. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Dwivedi, Kaushik, dan
111
Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo
Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla
Luxmi (2014) menunjukkan hasil bahwa budaya dalam
organisasi memiliki pengaruh yang positif terhadap
komitmen organisasi, pengaruh ini berkaitan dengan
identifikasi anggota terhadap organisasi yang
merupakan hasil dari serangkaian kebijakan yang
dirancang dengan cermat dalam pola budaya
organisasi.
Berdasarkan kajian literasi yang telah dilakukan,
maka dapat diketahui bahwa komitmen anggota
terhadap organisasi dapat menjadi faktor dari
dilakukannya innovative work behavior oleh anggota
tersebut apabila terdapat syarat yang dipenuhi, seperti
telah cukup lama berada dalam organisasi. Di sisi lain,
terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan
munculnya komitmen organisasi, seperti budaya
dalam organisasi.
Hal tersebut memunculkan pertanyaan apakah
hasil yang sama akan muncul pada organisasi dimana
peraturan dan sosialisasi di dalamnya membentuk pola
budaya yang tidak mengikat anggota untuk tetap
berada dalam organisasi. Salah satunya adalah Street
Children Foundation di Sidoarjo. Komunitas ini adalah
suatu komunitas sosial yang begerak di bidang
pendidikan informal untuk anak jalanan di Sidoarjo.
Komunitas ini mengumpulkan anggotanya yang secara
sukarela menjadi relawan sebagai pendidik dalam
kegiatan organisasi, tanpa ada peraturan yang
mengikat para relawan untuk secara terus-menerus
menjadi anggota. Peraturan tersebut menimbulkan
budaya yang lebih fleksibel terkait permasalahan
keanggotaan dalam komunitas yang berpotensi
memiliki peran pada pembentukan komitmen relawan
terhadap organisasi. Di sisi lain, meskipun tidak ada
peraturan khusus yang mengikat keanggotaan para
relawan, komunitas ini tetap menuntut adanya inovasi
para relawan untuk diimplementasikan selama
memberikan pembelajaran, baik materi akademik
maupun non-akademik, kepada anak jalanan yang
tergabung sebagai peserta didik dalam suatu kelas nonformal.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara komitmen organisasi dengan innovative work
behavior pada relawan komunitas Street Children
Foundation Sidoarjo.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi. Penelitian
kuantitatif sendiri merupakan penelitian yang
dilakukan menggunakan instrumen yang valid maupun
terstandarisasi
dimana
data
numerik
yang
dikumpulkan akan dianalisis menggunakan teknik
statistik untuk menjawab hipotesis penelitian (Jannah,
2018). Lebih lanjut, penelitian korelasi adalah suatu
metode penelitian yang ditujukan untuk mengetahui
seberapa jauh hubungan antar variabel yang diuji
(Jannah, 2018).
Variabel dalam penelitian merupakan konstruk
yang memiliki sifat bervariasi dan variasi tersebut
memiliki nilai yang akan diteliti (Jannah, 2018).
Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu
komitmen organisasi dan innovative work behavior.
Dalam penelitian ini, variabel komitmen organisasi
adalah variabel terikat dan innovative work behavior
adalah variabel bebas. Berdasarkan uraian tersebut,
maka ditentukan bahwa hipotesis dari penelitian ini
adalah ada hubungan antara komitmen organisasi
dengan innovative work behavior pada relawan
komunitas Street Children Foundation Sidoarjo.
Komitmen organisasi adalah tingkat keterlibatan
dan identifikasi individu terhadap komunitas yang
akan diukur menggunakan versi terjemahan bahasa
Indonesia dari Organizational Commitment Scale yang
dikembangkan oleh Allen dan Meyer (1990) dan
terdiri atas 18 aitem. Berdasarkan uji coba skala,
diketahui bahwa satu aitem dinyatakan gugur karena
memiliki koefisien validitas di bawah 0,300 (aitem
tersebut memiliki koefisien α = 0.107). Hal tersebut
membuat skala yang digunakan terdiri atas 17 aitem
dengan rentang skor 1 (sangat tidak setuju) hingga 5
(sangat setuju), dimana semakin tinggi skor maka
semakin tinggi pula tingkat komitmen individu pada
komunitas.
Innovative work behavior adalah frekuensi
perilaku individu dalam proses pembuatan, penerapan,
dan peninjauan kembali dari ide-ide inovatif selama
bertugas dalam organisasi yang akan diukur
menggunakan versi terjemahan bahasa Indonesia dari
Innovative Work Behavior Scale yang dikembangkan
oleh Janssen (2000) dan terdiri atas 9 aitem dengan tipe
skala likert dari skor 1 (tidak pernah) hingga 7 (selalu),
dimana semakin tinggi skor maka semakin tinggi pula
frekuensi penerapan perilaku inovatif selama di
lingkungan kerja komunitas. Seluruh aitem
menunjukkan nilai validitas dan reliabilitas yang baik.
Kedua skala tersebut berbentuk self-report.
Metode self-report digunakan untuk mendapatkan data
mengenai komitmen organisasi karena variabel ini
merupakan salah satu bentuk dari variabel yang
mengukur penilaian subjektif masing-masing individu,
atau disebut pula subjective attitudinal variable (Jex,
2002). Di sisi lain, metode self-report juga dipilih
untuk mengetahui innovative work behavior karena
112
Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo
Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla
pekerja itu sendiri yang mengetahui perilaku inovatif
yang telah dilakukan, baik yang terlihat oleh atasan
maupun tidak terlihat oleh atasan, sehingga mampu
merekam lebih banyak perilaku inovatif yang telah
dilakukan dan menghindari bias yang mungkin terjadi
apabila skala diisi oleh atasan atau observer (Jenssen,
2000; Mumford & Todd, 2020).
Sumber data didapatkan dari kedua skala yang
dibagikan menggunakan pembagian angket elektornik.
Angket elektronik dibagikan melalui grup media sosial
komunitas Street Children Foundation (SCF) agar
dapat diakses oleh subjek.
Subjek penelitian ini adalah relawan yang
tergabung dalam komunitas Street Children
Foundation (SCF) Sidoarjo, yang terdiri dari pengurus
inti dan anggota. Seluruh relawan berjumlah 54 orang
dengan sejumlah 17 orang termasuk ke dalam
pengurus inti yang terdiri atas ketua, sekretaris,
bendahara, koordinator divisi pendidikan dan empata
anggota utama, koordinator divisi hubungan
masyarakat dan dua anggota utama, koordinator divisi
dana usaha dan tiga anggota utama, dan koordinator
divisi sumber daya manusia dengan satu anggota
utama.
Penelitian ini menerapkan teknik sampling jenuh
untuk menetapkan subjek penelitian. Teknik sampling
jenuh sendiri merujuk pada teknik penentuan sample
dimana populasi relatif berukuran kecil sehingga
seluruh anggota populasi digunakan untuk menjadi
sample penelitian (Wagiran, 2019).
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data
statistik. Dalam melakukan uji hipotesis secara
statistik, data kuantitatif yang diperoleh akan dianalisis
dengan menggunakan teknik uji statistik korelasi. Uji
statistik tersebut akan dilakukan untuk menentukan
apakah hipotesis dari penelitian ini akan diterima atau
ditolak. Setelah menentukan hal tersebut berdasarkan
hasil uji statistik, hasil yang didapatkan akan dibahasa
menggunakan literatur tentang innovative work
behavior dan komitmen organisasi yang telah
dikumpulkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan sampling jenuh dimana
seluruh anggota dalam populasi yang berukuran kecil
akan digunakan untuk menjadi subjek penelitian.
Berdasarkan dasar tersebut, maka kedua skala yang
digunakan dibagikan kepada seluruh relawan Street
Children Foundation Sidoarjo berjumlah 54 relawan
yang
bersedia untuk menjadi responden dan
menjawab kuesioner yang dibagikan. Hal tersebut
membuat jumlah subjek penelitian ini adalah sejumlah
54 orang (N = 54). Rata-rata usia relawan berkisar pada
rentang 19 tahun hingga 26 tahun, sejumlah 3 relawan
berusia di bawah 19 tahun dan sejumlah 14 relawan
memiliki usia di atas 26 tahun. Sejumlah 17 orang
pengurus inti telah mengisi kuesioner yang dibagikan
dan sejumlah 37 orang anggota juga bersedia untuk
mengisi kuesioner yang dibagikan.
Berdasarkan hasil skala innovative work behavior
yang dibagikan, diketahui bahwa rata-rata skor
perilaku inovatif seleama bertugas dari relawan Street
Children Foundation Sidoarjo adalah sebesar 41,5 dari
skor maksimal 63. Sedangkan, rata-rata skor yang
diperoleh dari skala komitmen organisasi adalah
sebesar 56,9 dari skor maksimal 85. Rata-rata skor
untuk komitmen afektif adalah sebesar 22,9 dari skor
maksimal 30, rata-rata skor untuk komitmen
berkelanjutan adalah sebesar 16,01 dari skor maksimal
30, dan rata-rata skor untuk komitmen normatif adalah
sebesar 20,3 dari skor maksimal 30.
Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov
Smirnov menggunakan program IBM SPSS Statistics
24, diketahui bahwa data dari variabel innovative work
behavior memiliki taraf signikansi sebesar p = 0,175
(p ≥ 0,05) dan nilai variabel komitmen organisasi
memiliki taraf signifikansi sebesar p = 0,200 (p ≥
0,05). Berdasarkan asumsi bahwa data akan akan
dinyatakan berdistribusi normal apabila nilai
probabilitas ≥ 0,05 (Gunawan, 2016), maka dapat
disimpulkan bahwa data dari kedua variabel yang
diperoleh merupakan data dengan distribusi normal.
Dikarenakan kedua data yang digunakan memiliki
distibusi yang normal, maka uji statistik untuk
pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan uji
korelasi parametrik yaitu uji korelasi Pearson product
moment. Pengambilan keputusan menggunakan uji
korelasi Pearson berdasarkan pada kekuatan korelasi
dan jumlah sampel (Baarda, Martijn, & van Dijkum,
2004). Apabila nilai r semakin mendekati angka +1
akan menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan
(Baarda, Martijn, & van Dijkum, 2004). Korelasi yang
positif menunjukkan apabila salah satu variabel
meningkat maka variabel lainnya juga akan
meningkat, sedangkan korelasi yang negatif
menunjukkan bahwa apabila salah satu variabel
meningkat maka skor variabel lainnya akan turun
(Norris, Qureshi, Howitt, & Cramer, 2013).
Berikut adalah hasil penghitungan uji korelasi
Pearson untuk variabel komitmen organisasi dan
innovative work behavior dalam penelitian ini:
113
Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo
Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla
Tabel 1. Hasil Uji Korelasi Pearson
Keterangan
Komitmen
IWB
-
Hasil Uji Korelasi
Koefisien
Nilai
Korelasi Pearson
Signifikansi
(r)
0,288*
0,034
*korelasi signifikan pada level signifikansi 0,05
(2-tailed)
Berdasarkan hasil dan pertimbangan tersebut,
maka diketahui bahwa terdapat hubungan antara kedua
variabel dengan nilai signifikansi 0,034 < 0,05 (p <
0,05). Nilai korelasi r = 0,288 yang lebih besar dari r
tabel pada ukuran sampel 54 dan taraf signifikansi 0,05
yaitu r = 0,268 (0,288 > 0,268) juga menunjukan
adanya hubungan antara dua variabel yang diuji.
Nilai r = 0,288 berada pada rentang nilai 0,25 dan
0,34, menurut Spickard (2017) nilai ini menunjukkan
bahwa kekuatan korelasi antara komitmen organisasi
dan innovative work behavior merupakan korelasi
yang lemah (weak correlation). Korelasi yang rendah
menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel
tetap penting meskipun tidak terlalu signifikan
(Spickard, 2017). Kondisi ini menunjukkan bahwa
kemampuan untuk memprediksi peningkatan pada satu
variabel apabila variabel yang lain juga meningkat
akan cenderung rendah.
Berdasarkan uraian di atas, uji korelasi ini
mendukung hipotesis penelitian ini. Dengan demikian,
diketahui bahwa hipotesis mengenai terdapat
hubungan antara komitmen organisasi dengan
innovative work behavior pada relawan Street Children
Foundation Sidoarjo dapat diterima.
Hubungan antara kedua variabel adalah 2-tailed
atau dua sisi yang menunjukkan hubungan tidak
berarah. Angka koefisien korelasi Pearson yang
merupakan angka positif menunjukkan bahwa
hubungan yang muncul antara komitmen organisasi
dan innovative work behavior adalah hubungan positif,
dimana apabila nilai komitmnen organisasi meningkat
maka nilai innovative work behavior yang ditunjukkan
juga akan meningkat dan begitu pula sebaliknya.
Apabila hasil nilai komitmen organisasi
meningkat, maka nilai innovative work behavior juga
akan meningkat ini mendukung kerangka konseptual
yang disusun oleh Siregar, Suryana, Ahman, dan
Senen (2019), bahwa komitmen individu terhadap
organisasi dan komitmen organisasi ini dapat
memengaruhi innovative work behavior. Dalam hal
ini, anggota organisasi yang memiliki komitmen akan
merasa menjadi bagian dari organisasi dan berusaha
untuk mencapai tujuan organisasi tersebut (Siregar,
Suryana, Ahman, & Senen, 2019). Upaya dalam
mencapai tujuan organisasi ini yang memungkinkan
anggota untuk menerapkan inovasi dalam melakukan
pekerjaan atau tugasnya.
Dalam bidang pendidikan, komitmen yang dapat
mendorong kesediaan untuk melakukan perilaku
inovatif tersebut adalah pemahaman pendidik sebagai
seorang professional yang peduli dan berdedikasi
dalam melakukan tugasnya. Komitmen tersebut dapat
dibentuk melalui peraturan dan kebijakan dalam
organisasi yang mendukung dan memberikan
kesempatan bagi partisipasi pendidik untuk
menerapkan perilaku inovatif selama bertugas (Henkin
& Holliman, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun komunitas memberikan fleksibilitas
keanggotaan pada para relawan, komitmen tetap dapat
terbentuk melalui identifikasi relawan terhadap tujuan
organisasi untuk memberikan pembelajaran yang
menarik pada anak jalanan yang merupakan peserta
didik dalam komunitas ini. Kondisi tersebut dapat
memfasilitasi relawan dalam Street Children
Foundation untuk menerapkan perilaku kreatif dan
inovatif dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pendidik untuk anak jalanan.
Ditinjau dari sisi komponen komitmen organisasi,
komponen komitmen afektif memiliki hubungan yang
paling signifikan dengan innovative work behavior
dibandingkan komponen lain dengan nilai r = 0,395.
Hal tersebut mendukung hasil penelitian lain seperti
penelitian Yesil, Sözbilir, dan Akben (2012) yang
menemukan bahwa komitmen afektif memiliki
hubungan yang positif dengan perilaku inovatif
individual maupun perilaku inovatif dalam organisasi
serta penelitian oleh Bawuro, Danjuma, dan Wajiga
(2018) juga menemukan bahwa komitmen afektif
dalam organisasi memiliki pengaruh terhadap
innovative work behavior pada guru sekolah menengah
pertama. Komponenn komitmen afektif ini
menunjukkan adanya keterikatan emosional terhadap
organisasi, keterlibatan dalam organisasi, dan
identifikasi terhadap organisasi (Meyer, Stanley,
Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Meskipun sistem
keanggotaan dalam organisasi yang fleksibel, hasil
tersebut menunjukkan bahwa lingkungan dalam
organisasi telah dirancang secara efektif untuk
mengembangkan identifikasi dan keterikaatan anggota
terhadap tujuan organisasi dan mampu menjadi wadah
bagi anggota untuk mengembangkan perilaku inovatif
(Yeşil, Sözbilir, & Akben, 2012). Oleh karena adanya
identifikasi ini, apabila komitmen terhadap organisasi
ini meningkat, maka kemungkinan relawan untuk
114
Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo
Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla
melakukan inovasi dalam melaksanakan tugasnya juga
dapat ditunjukkan mengalami peningkatan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Allen dan Meyer
(1990) bahwa anggota yang baru yang bergabung
kurang dari enam bulan tidak memiliki cukup waktu
untuk menginternalisasi tujuan organisasi sehingga
tidak memiliki komitmen yang cukup baik. Hal
tersebut terlihat pada hasil penelitian ini dimana
anggota organisasi yang baru bergabung antara 2
hingga 5 bulan tidak menunjukkan rata-rata skor yang
cukup tinggi.
Di sisi lain, anggota baru yang mengembangkan
komitmen kuat untuk organisasi mungkin tidak cukup
inovatif dalam melakukan perannya dan mereka yang
inovatif mungkin tidak cukup berkomitmen (Allen &
Meyer, 1990). Penelitian ini menemukan bahwa
apabila relawan yang baru bergabung di bawah enam
bulan tidak memiliki skor komitmen yang cukup
tinggi, maka skor innovative work behavior yang
muncul juga tidak cukup tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa anggota baru dengan komitmen organisasi yang
rendah, bukan berarti lebih inovatif. Hubungan positif
dalam penelitian ini justru menggambarkan bahwa
apabila komitmen organisasi tidak terbentuk pada
relawan baru, maka perilaku inovatif dalam bekerja
juga cenderung tidak terlalu menonjol. Hal ini dapat
dikarenakan karena relawan Street Children
Foundation Sidoarjo yang baru bergabung masih
belum memiliki waktu yang cukup lama untuk
mengembangkan identifikasi yang mendalam terhadap
tujuan organisasi dan tidak memiliki keterlibatan yang
cukup untuk menerapkan perilaku inovatif dalam
melakukan tugasnya.
dapat dikarenakan adanya budaya dalam organisasi
yang menimbulkan peningkatan komitmen relawan
terhadap tujuan organisasi sehingga juga memfasilitasi
kemungkinan relawan menerapkan inovasi dalam
melakukan tugasnya. Penelitian ini memiliki
keterbatasan baik dari sisi variabel yang dipilih, alat
ukur, dan sampel penelitian.
Saran
Melalui penelitian ini, peneliti memiliki saran untuk
peneliti lain yang akan mengkaji topik serupa agar
dapat menambahkan variabel lain yang berkaitan
dengan hubungan antara komitmen organisasi dan
innovative work behavior sehingga gambaran
hubungan yang muncul diharapkan dapat lebih
lengkap. Salah satu variabel yang disarankan untuk
diteliti lebih lanjut bersama dengan komitmen
organisasi dan innovative work behavior berdasarkan
hasil penelitian ini adalah budaya organisasi. Selain
itu, peneliti lain juga dapat menggunakan pendekatan
penelitian yang berbeda, seperti meneliti lebih lanjut
mengenai pengaruh antara komitmen organisasi dan
innovative work behavior pada komunitas non-profit
berbasis sosial dan pendidikan lainnya.
Saran yang diberikan kepada komunitas Street
Children Foundation Sidoarjo, diharapkan terus
mengembangkan budaya dan iklim komunitas
berdasarkan tujuan sebagai pendidik untuk anak
jalanan serta dapat memberikan program pelatihan
dalam komunitas untuk meningkatkan komitmen
organisasi pada relawan agar innovative work behavior
yang muncul juga dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP
Simpulan
Street Children Foundation merupakan komunitas
sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan
informal untuk anak jalanan di Sidoarjo. Penelitian ini
menguji hubungan antara komitmen organisasi dan
innovative work behavior pada relawan Street
Children Foundation. Berdasarkan hasil uji korelasi
Pearson product moment antara variabel komitmen
organisasi dan innovative work behavior menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel
tersebut pada komunitas Street Children Foundation
karena memiliki nilai signifikansi 0,034 < 0,05 (p <
0,05) dan nilai korelasi r = 0,288 yang lebih besar dari
r tabel (r = 0,288 > 0,268). Hubungan antar variabel
dalam penelitian ini memiliki kekuatan rendah.
Melalui hasil penelitian tersebut, maka hipotesis dari
kedua variabel dapat diterima. Hubungan tersebut
Allen, N. J., & Meyer, J. (1990). Organizational
Socialization Tactics: A Longitudinal Analysis of
Links to Newcomers' Commitment and Role
Orientation. The Academy of Management Journal,
33(4),
847-858.
doi:
https://doi.org/10.5465/256294
Baarda, B., Martijn, D., & van Dijkum, C. (2004).
Introduction to Statistics with SPSS. Routledge:
London.
Baharuddin, M. F., Masrek, M., & Shuhidan, S.
(2019). Innovative work behavior of school
teachers: A conceptual framework. International
E-Journal of Advances in Education, 5(14), 213221. doi: 10.18768/ijaedu.593851
Battistelli, A., Odoardi, C., Vandenberghe, C., Di
Napoli, G., & Piccone, L. (2019). Information
sharing and innovative work behavior: The role of
work-based learning, challenging tasks,and
organizational commitment. Human Resource
115
Hubungan Komitmen Organisasi dengan Innovative Work Behavior pada Relawan Street Children Foundation Sidoarjo
Vivin Faizatul Marita, Dinarayu Aldililla
Development
Quarterly,
1-21.
https://doi.org/10.1002/hrdq.21344
doi:
de Jong, J., & den Hartog, D. (2010). Measuring
Innovative Work Behaviour. Creativity and
Innocation Management, 19(1), 23-36. doi:
https://doi.org/10.1111/j.1467-8691.2010.00547.x
Griffin, R. W., Phillips, J., & Gully, S. (2017).
Organizational Behavior: Managing People and
Organizations. Boston: Cengange Learning.
Gunawan, I. (2016). Pengantar Statistika Inferensial.
Depok: Rajawali Press.
Henkin, A. B., & Holliman, S. (2009). Urban Teacher
Commitment: Exploring Associations With
Organizational Conflict, Support for Innovation,
and Participation. Urban Education, 44(2), 160180. doi: 10.1177/0042085907312548
Jannah, M. (2018). Metodologi Penelitian Kuantitatif
untuk Psikologi. Surabaya: Unesa University Press.
Janssen, O. (2000). Job demands, perceptions of
effort–reward fairness and innovative work
behaviour. Journal of Occupational and
Organizational Psychology, 73, 287-302. doi:
https://doi.org/10.1348/096317900167038
Siregar, Z. M., Suryana, Ahman, E., & Senen, S.
(2019). Factors Influencing Innovative Work
Behavior: An Individual Factors Perspective.
International Journal of Scientific & Technology
Research,
8(9),
324-327.
doi:
10.3126/ijssm.v4i3.17755
Spickard, J. V. (2017). Research Basics: Design to
Data Analysis in Six Steps. Los Angeles: SAGE
Publications.
Wagiran. (2019). Metodologi Penelitian Pendidikan:
Teori Dan Implementasi. Yogyakarta: Penerbit
Deepublish.
Yeşil, S., Sözbilir, F., & Akben, İ. (2012). Affective
Organisational
Commitment,
Individual
Innovation
Behavior
and
Organisational
Innovative Performance. 10th International
Conference on Knowledge, Economy and
Management; 11th International Conference of the
ASIA Chapter of the AHRD & 2nd International
Conference of the MENA Chapter of the AHRD,
(pp. 274-285).
Jex, S. M. (2002). Organizational Psychology: A
Scientist-Practitioner Approach. New York: John
Wiley & Sons.
Joiner, T., & Bakalis, S. (2006). The antecedents of
organizational commitment: The case of Australian
casual academics. International Journal of
Educational Management, 20(6), 439-452. doi:
10.1108/09513540610683694
Kalyani, D., & Rajasekaran, K. (2018). Innovative
teaching and learning. Journal of Applied and
Advanced
Research,
3(1),
23-25.
doi:
http://dx.doi.org/10.21839/jaar.2018.v3iS1.162
Meyer, J. P., Stanley, D., Herscovitch, L., &
Topolnytsky, L. (2002). Affective, Continuance,
and Normative Commitment to the Organization:
A Meta-analysis of Antecedents, Correlates, and
Consequences. Journal of Vocational Behavior,
62, 20-52. doi: 10.1006/jvbe.2001.1842
Mumford, M. D., & Todd, E. (2020). Creativity and
Innovation in Organizations. New York: Taylor &
Francis.
Naz, F., & Murad, H. (2017). Innovative Teaching Has
a Positive Impact on the Performance of Diverse
Students. Special Collection - Student Diversity, 118.
doi:
https://doi.org/10.1177/2158244017734022
Norris, G., Qureshi, F., Howitt, D., & Cramer, D.
(2013). Introduction to Statistics with SPSS for
Social Science. Abington: Routledge.
116
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI MELALUI
PRAKTIK PENGAJARAN YANG BERWAWASAN DEMOKRATIS
Maya Mustika Kartika Sari
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial Hukum, Universitas Negeri Surabaya,
mayamustika@unesa.ac.id
Abstrak
Artikel ini mengkaji pandangan filosofis dan teoritis dalam mengejawantahkan konsep merdeka
belajar yang menjadi isu utama dalam perubahan kurikulum di perguruan tinggi. Kebijakan merdeka
belajar menuai berbagai respon dari masyarakat, baik ditinjau secara terminologi, intepretasi,
maupaun implementasi. Konsep merdeka belajar akan dikaji dalam terminologi filsafat demokrasi,
yang menekankan pada kesetaraan dalam pendidikan. Merupakan fakta yang diakui bahwa ada
hubungan yang erat antara demokrasi dan pendidikan. Dalam demokrasi, pendidikan diberikan
keutamaan, karena itu merupakan prasyarat untuk kelangsungan hidup dan kesuksesan yang pertama.
Demikian pula, pendidikan memupuk temperamen demokratis di benak setiap insan warga negara.
Nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan persaudaraan, martabat individu,
kerjasama, berbagi tanggung jawab dll diterapkan pada pendidikan agar lebih efektif, bermakna,
relevan dan berguna. Ada hubungan yang tidak terpisahkan antara demokrasi dan pendidikan.
Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari spektrum pendidikan. Diakui di semua sisi bahwa otot
demokrasi bergantung pada karakter dan kecerdasan semua warganya. Oleh karenanya praktik
pengajaran yang demokratis selayaknya menjadi titik tekan dalam kurikulum merdeka belajar.
Karena demokrasi dapat berfungsi dengan baik hanya jika semua warganya dididik dengan baik.
Demokrasi harus memberikan tujuan untuk pendidikan dan dengan demikian, prinsip-prinsip
demokrasi harus tercermin dalam tujuan, kurikulum, metode pengajaran, administrasi dan organisasi,
disiplin, sekolah, guru, dll.
Kata Kunci: Pendidikan, Demokrasi, Partisipatif, Musyawarah
PENDAHULUAN
Fungsi pendidikan dalam tujuan nasional adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut
terefleksi dalam tujuan pendidikan nasional yaitu untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Berbagai upaya
dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai tujuan
tersebut. Untuk jenjang Pendidikan Tinggi, ditetapkan
dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Selanjutnya diatur
melalui Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Standar
Nasional
Pendidikan
Tinggi,
dan
diimplementasi secara teknis dalam Buku Panduan
tentang Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM)
tahun 2020.
Merujuk dari uraian tersebut di atas, maka MBKM
merupakan refleksi dalam mengembangkan pendidikan
yang demokratis. Tujuan pendidikan demokratis adalah
untuk menghasilkan warga negara demokratis yang
tidak hanya dapat memahami secara objektif berbagai
masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, tetapi juga
membentuk penilaian independen mereka sendiri atas
masalah-masalah rumit tersebut. Proses pendidikan
harus menanamkan dalam diri warga negara semangat
toleransi dan menyalakan keberanian keyakinan. Itu
harus bertujuan untuk menciptakan dalam diri mereka
semangat untuk keadilan sosial dan pelayanan sosial. Ia
harus melengkapi mereka dengan kekuatan penilaian,
pemikiran ilmiah dan menimbang yang benar dan yang
salah. Pendidikan bertujuan untuk memungkinkan
siswa menjadi manusia yang berwawasan sosial yang
mampu mengatur urusan mereka sendiri dan hidup
dengan orang lain secara memadai.
Konsep pendidikan demokratis, dikemukakan oleh
Dewey (1916), dalam Democracy and Education
tentang pendidikan demokrasi dalam teori dan
beasiswa pendidikan. Sebuah karya yang awalnya
berjudul An Introduction to Philosophy of Education
yang menginspirasi teori dan penelitian tidak hanya
dalam filsafat pendidikan tetapi juga dalam beasiswa
pendidikan secara lebih umum (Doddington, 2018).
Untuk waktu yang lama, "pendidikan demokratis" telah
berfungsi sebagai titik simpul (Laclau, 2007; Mannion,
Biesta, Priestley, & Ross, 2011) dalam teori dan
penelitian pendidikan, berfungsi sebagai tempat
117
Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis
Maya Mustika Kartika Sari
pertemuan untuk berbagai disiplin ilmu pendidikan,
wacana demokrasi dan pendidikan. Demokrasi
dimaknai sebagai kenyataan dan cara hidup yang harus
dikenalkan sejak awal pendidikan dan nilai-nilainya
perlu dipraktekkan di lembaga pendidikan..
Pendidikan harus berorientasi pada pengembangan
kualitas-kualitas dasar karakter yang esensial bagi
keberlangsungan kehidupan demokrasi (Barber, 1994).
Pendidikan demokrasi benar-benar mendukung
perkembangan individu yang maksimal, kurikulum
dalam demokrasi harus fleksibel sehingga dapat
memenuhi selera dan temperamen yang beragam, bakat
dan kemampuan, kebutuhan dan minat mahasiswa. Ini
berusaha untuk merangsang pemikiran dan
kemampuan kreatifnya.
Lebih lanjut, penting bahwa kurikulum demokrasi
harus mempertimbangkan kondisi lokal dan tuntutan
lingkungan (Duarte, 2016). Unsur sosial sangat
ditekankan di dalamnya. Dengan kata lain, kurikulum
harus disesuaikan dengan pandangan dan temperamen
sosial. Harus ada ketentuan untuk memasukkan
keterampilan dalam kurikulum demokratis. Di atas
segalanya, kurikulum harus dibangun atas dasar prinsip
integrasi. Itu tidak boleh dipisahkan menjadi bagianbagian yang terfragmentasi. Ini harus dibedakan pada
tahap selanjutnya agar sesuai dengan beragam minat,
sikap, bakat dan kemampuan mahasiswa. Selain itu,
harus fleksibel dan dinamis agar sesuai dengan waktu
yang berubah.
Masalah utama dalam kehidupan kompleks dari
kebanyakan ruang perkuliahan adalah praktik
pengajaran. Pendekatan paling populer yang paling
sering digunakan adalah behaviorisme sederhana —
hukuman dan penghargaan. Pendekatan ini tidak
pernah mempertanyakan klaim pengetahuan, elitisme
budaya, dari materi yang diajarkan. Pengajaran yang
demokratis
memfokuskan
praktik
pengajaran
berdasarkan pembangunan komunitas, bukan hanya
pada cara namun mengubah arah, dan tujuan,
pendidikan. Melakukan tindakan eksplorasi untuk
menerapkan apa yang disebut pendidikan demokratis
melalui
enam
tema:
membina
hubungan,
memberdayakan siswa, mengajar dan menggunakan
keterampilan demokratis, struktur pendidikan yang
demokratis, praksis guru yang demokratis, dan
mengelola hambatan.
Artikel ini berusaha mengkaji implementasi
kebijakan merdeka belajar dalam kerangka pendidikan
demokratis ditinjau secara filosofis dan praksis praktik
pengajaran.
METODE
Studi ini mengambil titik awal pemahaman interpretif
bahwa realitas Merdeka-Belajar dibangun melalui
wacana (discourses), dipahami dalam istilah teori
wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (Jorgensen
& Phillips, 2002). Wacana adalah sistem makna dan
nilai termasuk pertukaran linguistik dan tindakan di
mana pertukaran tersebut tertanam. Definisi ini
pengakuan bahwa keberadaan realitas material secara
secara independen dari sistem hubungan sosial apa pun
dan manusia memberi makna pada ini melalui
"konfigurasi diskursif tertentu" (Laclau, 1990:101).
Dengan demikian, diasumsikan bahwa pendidikan
demokrasi dapat dibangun di atas data politik dan / atau
pendidikan. Untuk itu makna data terkait merdelka
belajar idikonstruksi dalam kaitannya dengan asumsi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis pendidikan
demokratis.
PEMBAHASAN
Inovasi dan reformasi pendidikan adalah proses yang
berkelanjutan yang tidak akan pernah benar-benar
selesai. Hal tersebut mendorong pada diskusi yang
intensif, tidak hanya tentang efektivitas sistem
Perguruan tinggi saat ini tetapi juga tentang reformasi
hampir semua elemen pendidikan. Keberhasilan
pendidikan tinggi bergantung pada "literasi"
mahasiswa. Secara khusus, metode pengajaran dan
pembelajaran telah - dan masih - dipertanyakan, dan
tuntutan diartikulasikan untuk menciptakan iklim
pendidikan tinggi dan lingkungan belajar yang berbeda
masih kurang terefleksi. Oleh sebab itu istilah literasi
perlu diperluas untuk mencakup aspek-aspek seperti
"literasi politik" atau "literasi demokratis", yang berarti
kualifikasi mahasiswa untuk peran masa depan mereka
sebagai warga negara. Dalam konteks ini, peran
perguruan tinggi dalam kualifikasi calon warganegara
masa depan yang bertanggung jawab dan partisipatif
dalam masyarakat yang demokratis semakin terasa.
Secara umum pemikiran kritis dan mandiri adalah
prasyarat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi
dan lembaga pendidikan.
Demikian pula,
kemungkinan untuk melihat pengakuan yang tumbuh,
di bagian dari kekuatan politik dan sosial, dan opini
publik secara umum, tentang pentingnya sistem sekolah
dalam menciptakan warga negara yang bertanggung
jawab dan sadar, dan dalam membangun masyarakat
demokratis yang terbuka untuk berubah. Mendidik
generasi muda dalam semangat demokrasi dan
mempersiapkan mereka untuk peran masa depan
mereka sebagai warga negara yang aktif telah menjadi
amanat sistem pendidikan yang demokratis.
118
Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis
Maya Mustika Kartika Sari
Kebijakan merdeka belajar dapat dimaknai sebagai
refleksi dari upaya mengembangkan pembelajaran
yang demokratis. Bahkan hal tersebut merupakan
amanat Undang-Undang
Sisdiknas yang belum
terefleksi secara aktual dalam praktik pengajaran,
sehingga semangat warga negara yang bertanggung
jawab dan memiliki kesadaran belum terwujud secara
otentik. Oleh sebab itu, diskursus terkait merdeka
belajar, merupakan arena dalam mengaktualisasi
praktik demokrasi.
Memahami Merdeka Belajar dalam Perspektif
Pendidikan Demokratis
Pendekatan dalam pendidikan demokratis dapat
ditinjau menjadi tiga kelompok berbeda dengan
konsepsi yang berbeda tentang hubungan antara
pendidikan dan politik. Pendekatan pertama adalah
pendidikan untuk demokrasi (Biesta & Lawy, 2006; M.
Levinson, 2011). Perspektif ini menafsirkan demokrasi
sebagai keharusan normatif universal dan pendidikan
sebagai “instrumen” untuk mencapai tujuan ini.
Logikanya adalah bahwa pendidikan dapat
berkontribusi pada perbaikan masyarakat masa depan.
Pendidikan warga negara adalah tujuan kurikuler (dan
terkadang subjek kurikuler) yang tertanam dalam
sistem pendidikan. Kebijakan pendidikan diarahkan
untuk kondisi dan persyaratan bagi siswa untuk
menguasai elemen karakter demokratis (yaitu, warga
negara yang berpengetahuan dan rasional). Kebijakan
kurikulum berorientasi pada musyawarah dan / atau
partisipatif
yang
menekankan
perlunya
kewarganegaraan yang lebih musyawarah dan aktif.
Contoh dari konvergensi ini adalah kurikulum untuk
studi kewarganegaraan di British Columbia di mana
siswa "secara individu dan dengan orang lain
membahas masalah kewarganegaraan — lokal hingga
global — untuk tujuan menjadi pembuat keputusan
yang diberdayakan dalam tindakan sipil" (Ruitenberg,
2015: 6). Pendidikan juga diharapkan menjadi “alat”
esensial untuk mobilitas sosial.
Pendekatan kedua adalah pendidikan dalam
demokrasi (Bradshaw, 2014). Pendekatan ini,
didefinisikan oleh Levinson sebagai situasi di mana
"orang dewasa" secara demokratis melegitimasi kontrol
atas pendidikan dalam demokrasi (M. Levinson,
2011:125). Baik demokrasi dan pendidikan bersifat
instrumental daripada normatif. Logika yang dibangun
bahwa demokrasi bukanlah keharusan normatif
melainkan sistem politik yang secara efektif
mengamankan aturan elit (elitisme) atau kebebasan
individ. Pendidikan harus bebas dari aspirasi moral dan
kebutuhan untuk menanggapi tuntutan individu warga
(Ichilov, 2012). Kebijakan pilihan, standardisasi, dan
akuntabilitas, seperti "Pilihan di Sekolah" Swedia,
"Standar Negara Bagian Inti Umum" AS, atau Program
Internasional Penilaian Pelajar Internasional, dapat
ditemukan di banyak negara dan tingkat pendidikan.
Namun, pendidik demokratis sangat kritis terhadap
pendekatan ini. Epistemologi individualis dan
rasionalis yang mendasari kebijakan ini ditantang oleh
konstruksi pengetahuan intersubjektif seperti yang
ditemui dalam pemikiran Dewey (Biesta, 2011; Meens
& Howe, 2016). Dikatakan juga bahwa, di bawah
penampilan netralitas normatif, memang menciptakan
kerangka
normatif
alternatif
berdasarkan
individualisme dan persaingan. Lebih lanjut, meskipun
kebijakan ini dapat berfungsi dalam sistem demokrasi
agregat atau elitis, terdapat konsensus akademis yang
jelas bahwa, secara keseluruhan tidak mencoba untuk
menanggapi prinsip atau tujuan demokrasi.
Pendekatan ketiga adalah apa yang Biesta dan Lawy
(2006) definisikan sebagai pendidikan melalui
demokrasi. Pendekatan ini tampaknya menjadi
kerangka kerja yang disukai bagi sebagian besar
pendidik demokratis. Para intelektual terlibat dalam
aktivitas partisipatif, musyawarah, multikultural,
agonistik kritis dan memiliki pandangan yang sama
tentang manfaat demokrasi. Pendekatan ini berbeda
dalam konseptualisasi hubungan antara pendidikan dan
demokrasi. Sebagaimana telah disebutkan, pendekatan
pendidikan untuk demokrasi mengkonseptualisasikan
pendidikan sebagai alat demokrasi masa depan, dan
pendidikan dalam pendekatan demokrasi memahami
pendidikan dan demokrasi untuk saling mandiri.
Sebaliknya, dalam pendidikan melalui pendekatan
demokrasi, pendidikan dan demokrasi dibayangkan
dibayangkan mengakomodasi keduanya secara
bersama (Stevenson, 2015). Di sini pembuatan
kebijakan pendidikan dikonseptualisasikan melalui
etos demokrasi yang melibatkan anggota masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan.
Secara filosofis, Kebijakan Merdeka Belajar dapat
diejawantahkan melalui ketiga pendekatan tersebut.
Namun, sebagai konsepsi politik dan pendidikan, perlu
adanya kesepahaman yang dirumuskan dalam ruang
kebebasan dengan berpegang pada tanggung jawab
sosial. Pendekatan komprehensif memungkinkan
inovasi dan eksperimen dalam kebijakan pendidikan.
Hal tersebut yang dapat dimaknai dalam kebijakan
Merdeka Belajar.
119
Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis
Maya Mustika Kartika Sari
Praktik Pengajaran Merdeka Belajar Melalui
Pendidikan Demokratis
Rekomendasi untuk praktik pendidikan demokrasi juga
termasuk dalam dua pendekatan yang disebutkan di
atas. Perlu dicatat di sini bahwa, karena pendidikan
dalam pendekatan demokrasi, memahami pendidikan
dan demokrasi secara mandiri, hanya ada sedikit atau
tidak ada rekomendasi untuk praktik yang terkait
dengan pendekatan ini. Sebaliknya, pendekatan
pendidikan untuk demokrasi dapat ditemukan di enam
wacana pendidikan pro demokrasi dan telah sangat
berhasil mempengaruhi praktik pendidikan di seluruh
dunia. Dari perspektif ini, proposal praktis menentukan
kualitas warga negara demokratis dan memeriksa
pedagogi yang mungkin lebih baik berkontribusi pada
pembelajaran kualitas ini. Mahasiswa di sini adalah
warga negara dalam proses, mendapatkan persiapan
dengan pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk tampil sebagai warga negara yang
demokratis. Pedagogi dan bidang kurikulum tertentu di
sini direkomendasikan selama dianggap efektif dalam
mendorong pembelajaran demokratis ini. Dalam hal
ini, hasil dari penelitian empiris sering digunakan untuk
mengidentifikasi pedagogi yang relevan.
Kurikulum disusun dengan bertujuan untuk
mempromosikan pengetahuan politik dan pemikiran
kritis (Gibson & Grant, 2012). Pendidik demokratis
musyawarah merekomendasikan pengajaran dan
pembelajaran musyawarah, pemecahan masalah, dan
keterampilan
komunikasi
melalui
masalah
kontroversial
Demokrasi
partisipatif
merekomendasikan
bahwa
mahasiswa
perlu
mempelajari keterampilan partisipatif (Parker, 2010).
Peluang untuk berpartisipasi dalam struktur tata kelola
kelas dan sekolah, dalam kegiatan KKN, serta simulasi
dan permainan terbukti berkontribusi terhadap tujuan
ini. Pendidik demokratis multikultural berpendapat
bahwa siswa memiliki kesempatan untuk terlibat
dengan budaya sendiri dan budaya lain (Alexander,
2007). Pendidik demokratis kritis bertujuan untuk
mengkaji masalah sosial sehingga mahasiswa dapat
memperoleh pengetahuan untuk mengungkap struktur
dominasi dan bekerja sama dengan masyarakat untuk
mengurangi ketimpangan. Pendidik demokratis
agonistik merekomendasikan untuk mendidik emosi
politik, dan untuk membantu mahasiswa memahami
perbedaan antara klaim politik dan moral (Backer,
2017).
Dalam pendekatan pendidikan melalui demokrasi,
Mahassiswa memiliki kesempatan untuk belajar
sebagai bagian dari komunitas di mana mereka
memiliki suara dan dapat berpartisipasi dalam
mengambil keputusan dengan satu sama lain.
Mahasiswa secara de facto bertindak sebagai warga
negara, dan pembelajaran demokratis dilaksanakan
melalui partisipasi demokratis dengan pendidikan dan
politik dipahami sebagai saling terkait. Dalam
perspektif ini, partisipasi demokrasi bersifat edukatif
dan pendidikan diharapkan dapat melahirkan
kemungkinan-kemungkinan baru bagi demokrasi.
Yang penting bukanlah tujuan kurikuler yang dibiarkan
terbuka, tetapi pengalaman pedagogis yang juga
dianggap politis.
Hanya tiga dari wacana yang diidentifikasi
membuat proposal eksplisit untuk pendidikan melalui
demokrasi. Proses pendidikan berpusat pada
mahasiswa, sementara pernah diakui secara konsensus
sebagai contoh jelas dari pendidikan demokratis, saat
ini mengambil peran yang diperebutkan dalam
mendefinisikan arti pendidikan demokratis. Selain itu,
usulan lain untuk pendidikan melalui demokrasi telah
diajukan.
Multikulturalis
pascakolonial
mempertahankan kebutuhan untuk menciptakan
peluang sehingga mahasiswa dapat terlibat dengan
epistemologi dalam proses merekonstruksi hubungan
antara mengetahui dan menjadi. Pendidik demokratis
partisipatif mendukung pedagogi berpusat pada
tindakan yang menawarkan peluang nyata untuk
berpartisipasi secara demokratis. Contohnya dapat
berupa pengembangan kode kurikulum dan
pembelajaran komunitas (Helfenbein & Shudak, 2009).
Pendidik demokrasi agonistik merekomendasikan
pembuatan saluran untuk ekspresi perbedaan pendapat
politik untuk singularisasi subjektivitas, dan untuk
artikulasi politik mahasiswa dan dosen (Snir, 2017).
Logikanya di sini adalah bahwa lembaga pendidikan
juga merupakan ruang politik dan oleh karena itu
tempat di mana wacana dan aliansi politik dapat
muncul.
PENUTUP
Simpulan
Hasil tinjauan ini menunjukkan peluang untuk diskusi
akademis lebih lanjut tentang kebijakan pendidikan.
Dengan sedikit pengecualian, terdapat konsensus yang
jelas tentang defisit demokrasi dalam pendidikan dalam
kebijakan Merdeka Belajar dan tentang nilai demokrasi
dari pendidikan melalui proses demokrasi. Kebijakan
pendidikan dapat bertujuan untuk menghasilkan
peluang untuk proses pengambilan keputusan
partisipatif dan mengeksplorasi potensi dampaknya
terhadap kebijakan pendidikan yang ada. Minimnya
pembahasan kebijakan di bidang ini mungkin
disebabkan oleh komitmen para pendidik demokrasi
120
Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Melalui Praktik Pengajaran yang Berwawasan Demokratis
Maya Mustika Kartika Sari
agonistik untuk berbeda pendapat, dan memandang
demokrasi sebagai jalan keluar dari institusionalisasi.
Peta teoritis berguna bagi studi pedagogi dan
kurikulum. Tinjauan ini menunjukkan bahwa ada
sejumlah pedagogi yang didasarkan pada wacana
multikultural transfiguratif dan antagonis yang belum
diselidiki secara empiris. Diskusi tentang kontroversi,
konflik, atau masalah, partisipasi mahasiswa dalam
proses pengambilan keputusan, dan penguatan
hubungan antara lembaga pendidikan dan masyarakat,
tampaknya menjadi fitur utama untuk praktik
pendidikan demokratis. Namun, tinjauan ini juga
menunjukkan bagaimana berbagai pedagogi yang
secara dominan diakui sebagai pendidikan demokratis
(misalnya, kegiatan yang mendorong pemikiran kritis,
pedagogi
musyawarah,
simulasi
partisipatif)
didasarkan pada klaim ontologis, epistemologis, dan
etis yang kontroversial dan, oleh karena itu, rentan
terhadap kritik.
Saran
Untuk itu pengkajian secara komprehensif dalam
implementasi kurikulum merdeka belajar, hendaknya
menerapkan preinsip pendidikan demokratis. Diskusi
dan penelaahan secara terbuka dapat menghasilkan
berbagai
inovasi
dan
penyelesaian
yang
mengakomodasi berbagai perdebatan terkait kebijakan
merdeka belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Dewey, J. (1916/1985). Democracy and education.
Carbondale: Southern Illinois University Press.
Doddington, C. (2018). “Democracy and Education: Is
it relevant now? “, Education 3–13, 46, 381–384.
Laclau, E. (2007). On populist reason. London,
England: Verso.
Mannion, G., Biesta, G., Priestley, M., Ross, H.
(2011). “The global dimension in education and
education for global citizenship: Genealogy and
critique.” Globalisation, Societies and Education,
9, 443–456.
Barber, B. R. (1994). An aristocracy of everyone.
Oxford, England: Oxford University Press.
Duarte, M. (2016). “Educating citizens for humanism:
Nussbaum and the education crisis.” Studies in
Philosophy and Education, 35, 463–476.
Wisler, A. K. (2009). “Of, by, and for are not merely
prepositions”: Teaching and learning conflict
resolution for a democratic, global citizenry.
Intercultural Education, 20, 127–133.
Jorgensen, M., Phillips, L. J. (2002). Discourse
analysis as theory and method. London. England:
Sage
Biesta, G., Lawy, R. (2006). “From teaching
citizenship to learning democracy: Overcoming
individualism in research, policy and practice.”
Cambridge Journal of Education, 36, 63–79
Ruitenberg, C. W. (2015). “The practice of equality: A
critical understanding of democratic citizenship
education”. Democracy & Education, 23(1), 2.
Bradshaw, R. (2014). “Democratic teaching: An
incomplete job description.” Democracy &
Education, 22(2), 3.
Levinson, M. (2011). “Democracy, accountability, and
education”. Theory and Research in Education, 9,
125–144.
Ichilov,
O.
(2012).
“Privatization
and
commercialization
of
public
education:
Consequences for citizenship and citizenship
education” Urban Review: Issues and Ideas in
Public Education, 44, 281–301.
Stevenson, N. (2015). “Revolution from above in
English schools: Neoliberalism, the democratic
commons and education”. Cultural Sociology, 9,
534–549.
Gibson, M. L., Grant, C. A. (2012). Toward a paideia
“of the soul”: Education to enrich America’s
multicultural democracy. Intercultural Education,
23, 313–324.
Parker, W. (2010). Listening to strangers: Classroom
discussion in democratic education. Teachers
College Record, 112, 2815–2832.
Alexander, H. (2007). What is common about common
schooling? Rational autonomy and moral agency in
liberal democratic education. Journal of
Philosophy of Education, 41, 609–624.
Backer, D. I. (2017). The critique of deliberative
discussion. A response to “Education for
Deliberative Democracy: A Typology of
Classroom Discussions.” Democracy & Education,
25(1), 9.
Helfenbein, R. J., & Shudak, N. J. (2009).
Reconstructing/
reimagining
democratic
education: From context to theory to practice.
Educational Studies, 45(1), 5–23
Snir, I. (2017). Education and articulation: Laclau and
Mouffe’s radical democracy in school. Ethics and
Education, 12, 351–363
121
KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN PANDEMI COVID19 DI INDONESIA: SEBUAH STUDI LITERATUR
Ryan Alviandi Akbar
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, ryan.17010664070@mhs.unesa.ac.id
Barron Atalarik Sihab
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, barron.17010664085@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Pandemi COVID-19 memang memberikan dampak yang buruk ke segala sektor, tidak terkecuali
sektor bidang usaha. Kerugian yang didapat semakin hari semakin memburuk dikarenakan tidak
diketahuinya kapan pandemi ini berakhir. Hal tersebut membuat daya beli konsumen dan daya guna
jasa konsumen menurun, diperburuk lagi dengan system PSBB (Pembatasan Sosial Besar Berskala)
ataupun lockdown yang mau tidak mau membuat pelaku usaha menutup bidang usahanya. Akan
tetapi, beberapa sektor bidang usaha ada yang diuntungkan dengan pandemi ini. Hal itu dikarenakan
mereka-mereka yang mampu menyadari dan menggunakan peluang dengan sebaik mungkin dan
mampu mengeksploitasi kewirausahaan. Kedua hal tersebut ada pada orang yang memiliki gaya
kepemimpinan kewirausahaan, yang mana mereka mampu menjadi responsif pada kondisi
lingkungan dan langsung membuat gebrakan inovasi disaat masa-masa sulit dan disaat harapan
memudar, mereka mampu mengubahnya menjadi keuntungan. Individu yang memiliki gaya
pemimpin seperti ini sangat dibutuhkan, mengingat kejadian seperti ataupun kejadian yang berkaitan
dengan perubahan dapat terjadi lagi di masa depan. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah
untuk mempelajari, mengidentifikasi, dan menganalisis kepemimpinan kewirausahaan dalam kondisi
pandemi COVID-19. Selain itu untuk menjawab pertanyaan mengenai karakteristik kepemimpinan
kewirausahaan seperti apa dalam menjawab tantangan pada kondisi pandemi COVID-19. Metode
pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi
kepustakaan atau studi literatur.
Kata Kunci: entrepreneurial leadership, kepemimpinan, kewirausahaan, COVID-19.
PENDAHULUAN
Tahun 2020 merupakan tahun yang sulit dan
merupakan salah satu tahun yang berat yang sedang
dihadapi oleh tiap lapisan masyarakat di dunia tidak
terkecuali pemilik usaha dikarenakan dampak dari
pandemi COVID-19 (Corona Virus Desease).
Pandemi ini menyebabkan peubahan yang cukup
signifikan pada segala sektor, termasuk sektor
wirausaha. Hal itu dikarenakan tidak lain karena
menurunnya omzet akibat dari merebaknya wabah
yang terjadi dan menurunnya daya beli konsumen pada
produk. Selain daya beli konsumen terhadap produk,
daya guna terhadap suatu jasa yang menurun juga
menjadi tantangan bagi pemimpin usaha start-up. Pada
pandemi ini, secara tidak langsung mengarahkan kita
pada situasi Volatility (pergolakan), Uncertainty
(ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan
Ambiguity (ketidakjelasan) yang disingkat dengan
istilah VUCA. Istilah ini pertama kali dipopulerkan
oleh kemiliteran Angkatan darat Indonesia untuk
dijadikan sarana dalam pengajaran di medan perang
tentang teknik kepemimpinan (Aribowo & Wirapraja,
2018). Situasi ini menggambarkan situasi yang tidak
jelas, tidak stabil dan tidak diketahui masa
berakhirnya. Pada situasi yang terjadi tersebut demi
menjaga kestabilan wirausaha, terdapat kunci, yang
mana terdapat pada peran pemimpinnya.
Pemimpin yang dibutuhkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah pemimpin yang
memiliki visi dan memahaminya dengan baik, selain
itu kepekaan akan keadaan sekitar juga menjadi suatu
hal yang penting. Seorang pemimpin juga harus
mampu dalam mengendalikan diri serta organisasinya,
hal tersebut dilakukan agar organisasi yang
dipimpinnya tetap dapat berjalan disaat yang lain
harapannya mulai hilang. Kemampuan yang jelas dan
tegas mengenai suatu hal yang akan dilakukan ataupun
yang sedang dilakukan demi terwujudnya visi, akan
tetapi sangat pantas serta flexible dalam penerapannya
juga harus dimilikinya. Seorang pemimpin harus
memiliki kelincahan dalam menghadapi perubahan
yang ada, hal tersebut bertujuan agar ia dapat cepat
beradaptasi dalam hal intelektual agar selalu memiliki
gagasan baru (Arifin, Zuhri, Khan, & Yunus, 2019).
Tantangan selain persaingan yang terjadi
diperburuk dengan munculnya permasalahan global
dalam kasus ini adalah pandemi COVID-19. Selain
menurunnya daya beli dan daya guna konsumen
selama pandemi ini, mengutip dari cnn indonesia
122
Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur
Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab
melalui pernyataan Menteri Keuangan Indonesia yang
menyebutkan dampak dari pandemi ini akan menjadi
lebih kompleks karena tidak diketahui kapan waktu
berakhirnya. Belum lagi apabila diberlakukannya
system lockdown yang membuat pemimpin usaha
dalam menutup usahanya dalam kurun waktu tertentu
yang mana kondisi tersebut tentunya memberikan
kerugian bagi para pemimpin usaha itu sendiri sebagai
contohnya.
Kepemimpinan
Menurut
Soliha
dan
Hersugondo
(2008),
kepemimpinan diartikan sebagai proses yang
membawa dampak pada orang lain untuk melakukan
tindakaan dalam menggapai tujuan bersama.. Dalam
artian bahwa, kepemimpinan merupakan kegiatan
yang dapat mempengaruhi orang-orang untuk bekerja
sama atau melakukan tindakan sesuai dengan perintah
yang berkaitan dengan tujuan bersama. Hal ini perlu
dalam konsep kepemimpinan, dimana saat orang ingin
mencapai tujuan dengan kerja sama, maka perlu
sesosok figur pemimpin yang dapat bertanggung jawab
penuh. Hal tersebut didukung dengan pernyataan
Subarino, Ali, dan Ngang (2011), dimana
kepemimpinan adalah proses yang mana mengaitkan
pengaruh, dapat terjadi dalam lingkungan kelompok
maupun individu, dan mengaitkan pencapaian tujuan.
Kewirausahaan
Menurut Saragih (2017), kewirausahaan adalah proses
aktif guna mewujudkan nilai tambah terkait jasa
maupun barang dan kemakmuran. Keterampilan untuk
mewujudkan suatu hal baru dan berbeda yang
didapatkan dari pemikiran kreatif serta tindakan yang
inovatif agar terwujudnya oportunitas. Kewirausahaan
tidak hanya berfokus pada pengusaha, melainkan juga
memilih dari pilihan yang ada di depannya dan
pemanfaatan kesempatan itu sendiri (Renko,
Tarabishy, Carsrud, & Brännback, 2015).
M. Scarborough dan Thomas W. Zimmerer dalam
(Suharyono, 2018). Menuliskan bahwa terdapat
delapan karakteristik terkait dengan kewirausahaan
yang meliputi:
1. Mempunyai rasa tanggung jawab dari tindakan
yang telah dilakukannya.
2. Risiko yang rasional lebih dipilih.
3. Keyakinan yang tinggi pada kemampuan diri untuk
berhasil.
4. Selalu menginginkan feedback yang cepat.
5. Futuristik, perspektif, dan juga berpengetahuan
jauh ke depan
6. Semangat kerja dan kerja keras yang dimiliki tinggi
dalam mencapai keinginannya untuk masa depan
yang lebih baik.
7. Memiliki sifat terampil dalam memobilisasi
sumber daya untuk mewujudkan nilai tambah
8. Menilai prestasi selalu dengan uang.
Kepemimpinan Kewirausahaan
Lipit
mengatakan
pemimpin
kewirausahaan
didefinisikan sebagai figur yang dapat berinovasi,
berani dalam mengambil risiko yang ada, berorientasi
pada tugas, menanggung beban tanggung jawab dan
memelopori orientasi ekonomi (Yu, 2014).
Kepemimpinan kewirausahaan, juga didefinisikan
sebagai suatu prosedur dalam mewujudkan visi
kewirausahaan dan menjadi inspirasi kelompok untuk
memberlakukan visi tersebut dengan cepat di
lingkungan yang tidak menentu (Churchill, Agbodohu,
& Arhenful, 2013). Tidak hanya itu, kepemimpinan
kewirausahaan juga didefinisikan oleh Renko,
Tarabishy, Carsrud, dan Brännback (2015) sebagai
keterlibatan kegiatan mempengaruhi dan mengarahkan
kinerja dari anggotanya terhadap pencapaian dari
tujuan bersama yang melibatkan proses mengenali dan
juga mengeksploitasi kewirausahaan. Selain itu
menurut mereka, yang membedakan kepemimpinan
ini dengan gaya kepemimpinan lainnya adalah fokus
pada peluang yang ada dan juga eksploitasi
kewirausahaan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi
pada saat ini, mengingat peluang sekecil apapun dapat
menjadi keuntungan bagi individu yang mampu
memanfaatkannya dengan baik.
Kepemimpinan kewirausahaan, diidentifikasikan
dengan beberapa komponen, yaitu: innovativeness,
proactiveness, risk-taking, organizing dan conducting
(Yu, 2014; Bagheri & Pihie, 2009). Keempat
komponen tersebut menjadi kunci pemahaman
mengenai kepemimpinan kewirausahaan pada
penelitiannya.
Ada delapan karakteristik dari entrepreneurial
leadership, menurut Tjandra dan Ardianti (2013)
dalam penelitiannya yang berjudul “Analisa
entrepreneurial
leadership
dan
hambatan
pertumbuhan usaha mikro dan kecil di Jawa Timur”. Ia
menyebutkan karkateristik-karakteristiknya sebagai
berikut.
a. Able to motivate
Entrepreneurial Leader tidak hanya menuntut
untuk mengarahkan orang lain untuk bekerja
dengan benar. Para pekerja memerlukan motivasi
yang dapat digunakan sebagai dorongan untuk
melaksanakan pekerjaannya. Motivasi merupakan
123
Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur
Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab
b.
c.
d.
e.
f.
g.
hal yang penting untuk para pekerja, motivasi dapat
berguna untuk meningkatkan produktivitasnya
dalam bekerja. Oleh karena itu seorang pemimpin
tersebut juga harus bisa memotivasi para
bawahannya.
Achievement orientated
Dalam melaksanakan tugasnya, proses dalam
bekerja merupakan hal yang penting. Proses kerja
dilakukan untuk mengevaluasi kinerja yang tidak
terpacu pada hasil saja. Entrepreneurial Leader
berfokus menciptakan proses kinerja efektif dan
efisien, namun melihat proses kinerja untuk
mengevaluasi pencapaian hasil yang diperoleh.
Creative
Kemampuan entrepreneurial leader dalam
menciptakan ide yang tidak hanya baru, namun
menarik untuk digunakan dalam kegiatan
entrepreneurial. Kemampuan kreativitas harus
dimiliki seorang entrepreneurial leader. kreativitas
dapat mengasah kemampuan untuk menciptakan
ide yang menarik dan memanfaatkan peluang dari
kondisi lingkungan maupun trend yang sedang
terjadi dengan mengubahnya menjadi sebuah
bentuk hasil kinerja yang nyata untuk
kesejahteraan bersama.
Flexible
Kepekaan entrepreneurial leader menuntut untuk
menjadi seorang yang dapat beradaptasi terhadap
perubahan, serta kemampuan untuk memanfaatkan
perubahan dengan cepat dalam menghasilkan
kinerja yang adaptif.
Patient
Perubahan kondisi maupun trend yang sedang
beredar menyebabkan seseorang memerlukan
kesabaran untuk menunggu peluang atau
melakukan eksekusi yang tepat sasaran.
Entrepreneurial leader perlu mempunyai karakter
sabar dalam menjalani entrepreneurial .
Entrepreneurial leader tidak akan gegabah dalam
mengambil dan menentukan tindakan dalam
menghadapi kondisi yang tidak dapat diprediksi.
Persistent
Entrepreneurial leader adalah seorang yang
mempunyai karakter gigih untuk memperjuangkan
tujuan dan impiannya. Dalam menghadapi resiko
yang dialami,
Entrepreneurial leader perlu
memiliki keteguhan dalam menjalani tantangan
yang dihadapi dengan tidak mudah menyerah, saat
mengalami kegagalan. Hal tersebut dapat menjaga
konsistensi dalam menjalani usaha yang telah
dijalani.
Risk Taker
Entrepreneurial leader tidak hanya memiliki
insting atau naluri dalam mengambil resiko, namun
resiko yang dihadapi telah diperhitungkan sebelum
mengambil keputusan . keputusan untuk berani
menerima resiko dan tidak takut untuk mencoba
sesuatu yang masih belum pasti merupakan
karakter Entrepreneurial leader.
h. Visionary
Entrepreneurial leader memiliki kemampuan
menggambarkan tentang masa depan usaha yang
dijalani, hal ini perlu dilakukan untuk menentukan
tujuan dari usaha yang sesuai dengan visi misi.
Dengan demikian ia dapat memiliki keyakinan
bersama orang-orang terdekat yang ikut serta
berusaha untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam menghadapi kenyataan yang terjadi pada
saat ini, seorang pemimpin yang mampu menjawab
tantangan dan juga kesempatan yang ada sangatlah
dibutuhkan. Crackers sebutan bagi pemimpin yang
menemukan dan memanfaatkan peluang yang ada dan
mengadaptasi transformasi serta mampu keluar dari
zona nyaman (Suyatno, 2014 dalam Safuan, 2018).
Pemimpin dengan karakteristik tersebut sangat benarbenar dibutuhkan.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah
untuk mempelajari, mengidentifikasi, dan menganalisis
kepemimpinan kewirausahaan dalam kondisi pandemi
COVID-19. Selain itu untuk menjawab pertanyaan
mengenai karakteristik kepemimpinan kewirausahaan
seperti apa dalam menjawab tantangan pada kondisi
pandemi COVID -19.
METODE
Pada penelititian ini, metode yang digunakan oleh
peneliti adalah metode kualitatif. Sedangkan teknik
pengumpulan data berupa studi kepustakaan atau studi
literatur review terhadap jurnal skala nasional, skala
internasional pada penelitian terdahulu, buku dan situs
dari internet yang memiliki keterkaitan dengan
kepemimpinan wirausaha (entrepreneurial leadership).
Kemudian jurnal dianalisis agar mendapatkan data,
yang kemudian penyajian data dilakukan dalam bentuk
naratif atau uraian singkat.
PEMBAHASAN
Para peneliti baik dari praktisi ataupun akademisi telah
melakukan penelitian terkait dengan Entrepreneurial
Leadership. Berikut uraian singkat beberapa penelitian
mengenai hal tersebut.
1. Dalam penelitian yang berjudul Model Hubungan
Entrepreneurial Leadership, Entrepreneurial
Culture dan Entrepreneurial Mind-Set terhadap
124
Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur
Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab
2.
3.
4.
5.
Organizational Performance Melalui Innovation
Sebagai Variabel Mediasi (Perkasa & Abadi,
2020). Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa
kepemimpinan kewirausahaan memiliki pengaruh
signifikan terhadap kinerja organisasi, tetapi tidak
untuk budaya kewirausahaan.
Sulistyowati (2018) dalam penelitian yang
dilakukann
dengan
judul
Pengaruh
Entrepreneurial Leadership dan Innovation
Capacity terhadap Competitive Advantage Pada
Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) Binaan Dinas
Perdagangan Kota Surabaya. Hasil penelitian yang
dilakukannya menunjukkan adanya pengaruh
signifikan dan juga positif antara Entrepreneurial
Leadership terhadap Competitivem Advantage.
Bagheri (2017) dalam penelitiannya dengan judul
The impact of entrepreneurial leadership on
innovation work behavior and opportunity
recognition in high-technology SMEs. Ia
menemukan dampak yang cukup signifikan dari
variable entrepreneurial leadership pada perilaku
kerja inovasi dan pengakuan kesempatan karyawan
di UKM berteknologi tinggi dengan jumlah
responden sebanyak 319 orang.
Kusmintarwanto (2014) melakukan penelitian
yang berjudul Analisa Pengaruh antara
Entrepreneurial
Leadership
dan
Product
Innovation Pada Industri Makanan dan Minuman
di Jawa Timur. Dari hasil penelitiannya,
didapatkan terdapat pengaruh yang signifikan
antara variabel Entrepreneurial Leadership dengan
variabel Product Innovation.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Churchill,
Agbodohu, dan Arhenful (2013) dengan judul An
Exploratory Study of Entrepreneurial Leadership
Development of Polytechnic Students. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan
kewirausahaan memberikan dampak positif salah
satunya adalah siswa menjadi lebih responsif
terhadap kesempatan yang ada dan mampu
menggunakannya baik dari segi pembangan diri
dan penciptaann bisnis.
PENUTUP
Simpulan
Bidang usaha dengan situasi dan kondisi seperti ini
(COVID-19) yang disamakan dalam penelitian dengan
kondisi VUCA; Volatility (pergolakan), Uncertainty
(ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan
Ambiguity (ketidakjelasan). Dibutuhkan individu
dengan kepemimpinan kewirausahaan yang mana
dapat memanfaatkan peluang di kondisi seperti ini dan
mampu mengeksploitasi kewirausahaan, agar bidang
usahanya tetap dapat berjalan dan bertahan ditengah
hilangnya harapan. Hal tersebut berlaku baik di bidang
usaha makro maupun mikro.
Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian
selanjutnya adalah dengan menggunakan data atau
sumber dari buku atau penelitian lain yang memiliki
kaitan atau kemiripan dengan kondisi VUCA; Volatility
(pergolakan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity
(kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan). Hal itu
dilakukan untuk menjaga kekonsistenan tema
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aribowo, H., & Wirapraja, A. (2018). Strategi inovasi
dalam rangka menjaga keberlanjutan bisnis dalam
menghadapi
era
Volatility,
Uncertainty,
Complexity, dan Ambiguity (VUCA). Jurnal Ilmu
Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT), 9(1),
51-58.
Arifin, A., Zuhri, A., Khan, H. A., & Yunus, M.
(2019). Bunga rampai gubahan akademisi
manajemen 2019. Sumenep: STIEBA Madura
Press.
Bagheri, A. (2017). The impact of entrepreneurial
leadership on innovation work behavior and
opportunity recognition in high-technology SMEs.
Journal of High Technology Management
Research, 28(2), 159-166.
Bagheri, A., & Pihie, Z. A. (2009). An exploratory
study of entrepreneurial leadership development of
university students. European Journal of Social
Sciences, 11(1), 177-190.
Churchill, R. Q., Agbodohu, W., & Arhenful, P.
(2013). An exploratory study of entrepreneurial
leadership development of polytechnic students.
Journal of Education and Practice, 4(24), 9-18.
Kusmintarwanto, F. (2014). Analisa pengaruh antara
entrepreneurial leadership dan product innovation
pada industri makanan dan minuman di Jawa
Timur. AGORA, 2(2).
Perkasa, D. H., & Abadi, F. (2020). Model hubungan
entrepreneurial leadership, entrepreneurial culture
dan
entrepreneurial
mind-set
terhadap
organizational performance melalui innovation
sebagai variabel mediasi. Jurnal Riset Manajemen
dan Bisnis (JRMB) Fakultas Ekonomi UNIAT,
5(2), 15-28.
Renko, M., Tarabishy, A. E., Carsrud, A. L., &
Brännback, M. (2015). Understanding and
measuring entrepreneurial leadership style.
125
Kepemimpinan Kewirausahaan dalam Menghadapi Tantangan Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah Studi Literatur
Ryan Alviandi Akbar, Barron Atalarik Sihab
Journal of Small Business Management, 53(1), 5474.
Safuan. (2018). Studi literatur kepemimpinan
wirausaha dalam menghadapi tantangan global.
Jurnal Manajemen Industri dan Logistik, 1(2),
171-181.
Saragih, R. (2017). Membangun usaha kreatif, inovatif
dan bermanfaat melalui penerapan kewirausahaan
sosial. Jurnal Kewirausahaan, 3(2), 26-34.
Septalisma, B. (2020, April 6). Sri Mulyani sebut
dampak virus corona melebihi krisis 1998.
Retrieved Mei 5, 2020, from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/2020040
6193647-532-490944/sri-mulyani-sebut-dampakvirus-corona-melebihi-krisis-1998
Soliha, E., & Hersugondo, H. (2008). Kepemimpinan
yang efektif dan perubahan organisasi. Fokus
Ekonomi, 7(2), 83-93.
Subarino, S., Ali, A. J., & Ngang, T. K. (2011).
Kepemimpinan integratif: Sebuah Kajian teori.
Jurnal Manajemen Pendidikan UNY, 7(1), 17-50.
Suharyono. (2018). sikap dan perilaku wirausahawan.
Jurnal lmu dan Budaya, 40(56)., 40(56), 65516586.
Sulistyowati, A. (2018). Pengaruh entrepreneurial
leadership dan innovation capacity terhadap
competitive advantage pada usaha kecil, dan
menengah (UKM) binaan Dinas Perdagangan Kota
Surabaya. Jurnal Aplikasi Administrasi, 21(1), 3141.
Tjandra, R. R., & Ardianti, R. R. (2013). Analisa
entrepreneurial
leadership
dan
hambatan
pertumbuhan usaha mikro dan kecil di Jawa Timur
. Agora, 1684-1694.
Yu, F.-L. T. (2014). Entrepreneurial leadership, capital
structure and capabilities development of the firm:
the case of the Haier Group. International Journal
Economics and Business Research, 7(2), 241-255.
126
STRUKTUR DALAM MENULIS OPINI: MERDEKA BEROPINI DALAM MENDESKRIPSIKAN
SESEORANG
Norita Prasetya Wardhani
Institute Teknologi Adhi Tama Surabaya, noritanonoy@itats.ac.id
Hardono
STIBA Satya Widya Surabaya, hardonod52@gmail.com
Abstrak
Menulis sesuatu yang mudah adalah awal yang baik bagi mahasiswa yang mempunyai motivasi yang
kurang dalam menulis. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripskan kemampuan mahasiswa dalam
menulis opini tentang sesuatu yang mereka lihat dan rasakan, yaitu menuliskan opini tentang dosen
pengajar Bahasa Inggris mereka. Analisi tulisan mahasiswa adalah desain yang di gunakan dalam
penulisan ini. Peneliti menggunakan tata bahasa mahasiswa Teknik Sipil dalam menuliskan opini
tentang dosen Bahasa Inggris mereka sebagai data penelitian. Penelitian ini diadakan pada semester
ganjil pada tahun ajaran 2019-2020. Subject penelitian ini adalah mahasiswa Teknik Sipil angkatan
2018 sedang melakukan proses belajar mengajar Bahasa Ingris. Tulisan mahasiswa Teknik Sipil
menujukkan bahwa mahasiswa mampu mengumukakan opininya tentang dosen Bahasa Inggris
mereka dengan baik dan jujur meskipun masih ada beberapa mahasiswa yang membuat kesalahan
dalam struktur penulisan dan ada yang memanfaatkan platform transleter.
Kata Kunci: Menulis, Opini, Struktur Kalimat.
PENDAHULUAN
Di jenjang perguruan tinggi, para mahasiswa harus
mampu untuk menulis atau mengexplorasi sesuatu
dalam bentuk tulisan dalam bentul laporan, jurnal atau
artikel. Sedangkan, menulis dalam Bahasa Inggris
adalah salah satu kesulitan yang dialami oleh
mahasiswa teknik, salah satunya adalah mahasiswa
Teknik Sipil di salah satu kampus swasta di Surabaya.
Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa
Teknik Sipil dalam menulis menggunakan Bahasa
Inggris adalah menyusun kata perkata menjadi suatu
kalimat yang benar dan mudah dipahami Selain itu,
mereka juga sering mengalami kesulitan untuk
mengeksplore tema yang akan mereka tulis. Tidak
jarang, mahasiswa sering melakukan copy paste dalam
menuliskan sesuatu, seperti laporan ataupun karya tulis.
Tribe (1996) di dalam thesis Marlina (2019)
mengatakan jika banyak orang yang menguasai suatu
bahasa dengan baik dan benar, setidaknya satu bahasa,
tetapi banyak yang tidak mampu menulis dengan
percaya diri. Hal inilah yang terjadi pada sebagian besar
mahasiswa.
Salah satu cara untuk meemotivasi mahasiswa
untuk menulis dalam Bahasa Inggris adalah yang dekat
dengan kehidupan mereka, adalah menulis opini atau
mendeskripsikan tentang seseorang. Santana (2007)
mengatakan jika opini merukapan perasaan dan
pemikiran seseorang terhadap suatu subject. Dengan
menuliskan sebuah opini, seirang dapat menuangkan
dan mengungkapkan gagasannya atau pemikirannya
dalam sebuah tulisan. Tetapi banyak orang yang takut
untuk mengungkapkan gagasan meraka karena mereka
takut akan dapat negative nya, misalnya Ketika dosen
meminta mahasiswanya untuk menuliskan opini
tentang dosen tersebut, mahasiswa terkesan tidak jujur
atau tidak mau mengungkapkan sesuatu yang negative
karena mereka takut jika dosen akan mengurangi nilai
mereka. Disini dosen harus menanamkan kepercayaan
diri kepada mahasiswa jika mereka bisa menulis
apapun tanpa takut dosen akan mengurangi nilai
mereka. Disini, dosen juga mengajarkan mahasiswa
Teknik Sipil untuk bebas beropini dan memerdekan
mahasiswa yang masih takut akan kosenkuensi yang
sebenarnya belum tentu mereka dapatkan.
Penelitian ini meminta mahasiswa untuk
menuliskan opini tentang dosen pengajar Bahasa
Inggris mereka. Mahasiswa diijinkan menulis apapun
tentang dosen tersebut baik dalam segi postif dan
negatifnya. Didalam penelitian ini, penulis ingin
mengetahui bagaimana mahasiswa dapat memberikan
opini mereka dan bagaimana strukture tulisan
mahasiswa menggunakan Bahasa Inggris.
METODE
Deskripsi kualitatif adalah metode yang di gunakan
dalam penelitian ini. Penelitian ini akan
menggambarkan
bagaimana
mahasiswa
bisa
menuliskan opini mereka tentang dosen Bahasa Inggris
meskipun belajar mengajarnya menggunakan sistem
daring. Peneliti akan menganalisa strukture penulisan
mahasiswa, apakah sudah sesuai dengan susunan
127
Struktur dalam Menulis Opini: Merdeka Beropini dalam Mendeskripsikan Seseorang
Norita Prasetya Wardhani, Hardono
kalimat dalam Bahasa Inggris yang baik dan benar atau
tidak. Ada 50 mahasiswa yang mengumpulkan tugas
opini ini. Dosen hanya meminta mahasiswa untuk
menulis 200 kata. Penelitian ini diadakan pada semester
ganjil pada tahun ajaran 2019-2020, Ketika mahasiswa
teknik sipil menempuh mata Kuliah English 2 di
semester 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mahasiswa teknik sipil dalam penelitian ini sedang
menempuh semester 3. Mata kuliah yang mereka
tempuh adalah mata kuliah Bahasa Inggris 2. Sebelum
menempuh mata kuliah Bahasa Inggris 2, mahasiswa
harus menempuh mata kuliah Bahasa Inggris 1. Dalam
mata kuliah Bahasa Inggris 2, mahasiswa mempelajari
tentang strukture lebih dalam dan mengarah ke
pembelajaran TOEFL. Tapi sayangnya, masih banyak
mahasiswa yang belum memahami dasar materi Bahasa
Inggris, terutama strukture. Oleh sebab itu, dosen
pengampu mata kuliah Bahasa Inggris 2, menerangkan
kembali beberapa strukture yang umum di gunakan,
contohnya simple present tense, simple past tense,
simple continuous tense, dan lain sebagainya.
Didalam mata kuliah Bahasa Inggris 2, seharusnya
mahasiswa sudah memahami beberapa strukture yang
digunakan didalam Bahasa Inggris. Karen mereka
sudah mempelajarinya di mata kuliah Bahasa Inggris 1
dan mereka sudah di wajibkan mengikuti kursus yang
diadakan oleh kampus sebanyak 16 kali pertemuan.
Tapi pada kenyataannya masih banyak mahasiswa yang
belum memahami strukture kalimat dalam Bahasa
Inggris terutama jika mereka di minta untuk
menuangkannya dalam sebuah tulisan.
Sebelum dosen meminta mahasiswa untuk menulis,
dosen memberikan game untuk meningkatkan
semangat mahasiswa dalam mmenulis. Game yang
diberikan adalah menuliskan kalimat yang telah
diberikan oleh dosen melalui 1 perwakilan kelompok,
dan kemudian perwakilan tersebut membisikkan kesatu
anggota kelompak apa yang kalimat yang telah di
berikan. Dan itu lakukan secara mengular. Dengan
begitu mahasiswa mencoba untuk mendengar dan
menulis menggunakan Bahasa Inggris.
Ketika atmosfer kelas sudah hidup, dosen
menerangkan tentang strukture kalimat kepada
mahasiswa. Tetapi, dosen menerangkannya tidak
dalam 1 arah, maksudnya dosen menerangkan dan
mahasiswa hanya menyimak. Dosen mengajak
mahasiswa
berinteraksi
ketika
menerangkan.
Contohnya, dosen meminta salah satu mahasiswa untuk
maju ke depan untuk menuliskan sebuah contoh. Dan
dengan iming-iming reward penilaian bagi mahasiswa
yang mau maju kedepan. Dengan begini, antusias
mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah akan lebih
besar.
Setelah mahasiswa sudah mulai memahami apa
yang dijelaskan oleh dosen, mahasiswa diminta untuk
menulis beberapa kalimat dengan jelas dan benar.
Dosen memberi beberapa kata ketrja dan mahasiswa
harus membuatnya dalam kalimat. Selain itu, untuk
melihat pemahaman mahasiswa dalam menulis, dosen
meminta memberikan keterangan di bawah penulisan,
dosen meminta mahasiswa untuk meberikan
penjelasan, seperti contoh di Gambar 1.
Gambar 1. Contoh keterangan agar mahasiswa
memahami penulisan dengan baik dan benar
Dengan diberikannya keterangan seperti contoh
diatas, dosen dapat lebih memahami apakah mahasiswa
sudah memahami strukture penulisan dalam Bahasa
Inggris dengan baik atau tidak. Dosen selalu meminta
mahasiswa untuk berusaha membuat tulisan sendiri
tanpa mencontek dan tanpa takut ketika membuat
kesalahan. Dosen memberikan feedback kepada
kalimat singkat yang dibuat oleh mahasiswa,
harapannya mahasiswa tidak membuat kesalahan yang
cukup banyak ketika dosen meminta mereka untuk
membuat tulisan.
Setelah dosen menerangkan struktur penulisan
dalam Bahasa Inggris dan meminmta mahasiswa untuk
menulis kalimat sederhana, dosen meminta mahasiswa
untuk menulis opini tentang dosen pengampu mata
Kuliah English. Disini mahasiswa bebas menuliskan
opini mereka dalam menilai cara mengajar,
berkomunikasi, berpakaian, karakteristik, dan apapun
itu yang mahasiswa ingin sampaikan. Sebelum
mahasiswa menuliskan opininya, dosen berpesan untuk
menulis yang jujur dan tidak usah di tutup-tutupi.
Silahkan menulis positif dan negatifnya, serta
memberikan saran ataupun kritik terhadap dosen
tersebut. Hal tersebut tidak akan mengurangi nilai
mahasisiwa. Karena dosen hanya melihat tata cara
penulisan mahasiswa teknik sipil menggunakan Bahasa
Inggris. Jadi ini memotivasi mahasiswa untu selalu
berani dalam mengutarakan pendapat atau opininya.
Dari 50 mahasiswa yang mengirimkan opini
mereka dalam bentuk tulisan, masih ada 8 mahasiswa
yang menulisannya tidak sesuai dengan struktur dalam
Bahasa Inggris. Mahasiswa tersebut menterjemahkan
dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Berikut
adalah salah satu contohnya di gambar 2.
128
Struktur dalam Menulis Opini: Merdeka Beropini dalam Mendeskripsikan Seseorang
Norita Prasetya Wardhani, Hardono
Gambar 2. Tulisan mahasiswa dengan terjemahan
Bahasa Indonesia
Pada gambar 2, sudah terlihat sangat jelas jika
mahasiswa tersebut hanya Menyusun kata-kata dalam
Bahasa Inggris sesuai penyusunan SPOK dalam Bahasa
Indonesia. Mahasiswa tersebut tidak menggunakan
auxiliary dalam penulisan kalimatnya. Selain itu, tanda
baca dan huruf besar-kecil juga tidak diperhatikan.
Inilah kesalahan yang sering terjadi pada mahasiswa
jika diminta untuk menulis menggunakan Bahasa
Inggris karena Bahasa Inggris merupakan bahasi asing
untuk kebanyakan orang di Indonesia. Sedangkan
Bahasa Indonesia yang di gunakan oleh mahasiswa
bukan Bahasa Indonesia baku, sehingga itu sangat
berpengaruh pada cara menulis mahasiswa ketika
menulis mengguakan Bahasa Inggris. Jika mahasiswa
menggunakan Bahasa Indonesia yang baku, mahasiswa
tidak akan kesulitan untuk menerjemahkannya kedalam
Bahasa Inggris. Karena susunan kalimat Bahasa Inggris
dan Bahasa Indonesia hampir sama. Yang
membedakan adalah pada penggunaan auxiliary setelah
Subject di Bahasa Inggris.
Ada juga mahasiswa yang menggunakan platform
google translate untuk menterjemahkan maksud
mereka dalam Bahasa Inggris. Ketika mereka menulis
dengan bantuan google translet, terlihat sekali
kesalahan-kesalahan dalam tenses dan pronoun.
Mahasiswa yang menerjemahkan menggunakan google
translet bisa dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Tulisan Mahasiswa dengan
menggunakan google translate
Seharusnya diawal kalimat, kata know harus
menggunakan past tense karena itu adalah kejadian
yang sudah lewat. Begitu juga dengan phrasa college at
the ITATS Campus mahasiswa bisa membuatnya lebih
singkat agar tidak terlalu panjang. Tapi mahasiswa
beralasan, dengan begitu jumlah kata yang dia tulis
akan lebih cepat menjadi 200 kata. Jadi mereka sering
menggunakan kata yang sebenarnya bisa di minimalisir
atau menggilangkan flowering words.
Alasan mahasiswa menggunakan google translet
adalah
mahasiswa
merasa
kesulitan
dalam
menerjemahkan danmalas mencari arti kata dalam
Bahasa
Inggrisnya.
Selain
itu,
mahasiswa
mengerjakannya secara mendadak. Padahal dosen
memberi waktu 1 minggu untuk mengerjakan tugas ini.
Selain 2 contoh tulisan di atas, tidak sedikit
mahasiswa yang menulis menggunakan kalimat pendek
tapi tetap mematuhi struktur kalimat dalam Bahasa
Inggris sesuai dengan yang pernah di tugaskan oleh
dosen. Jadi itu sangat memudahkan mahasiswa dalam
penulisan opini. Contoh penulisan yang sesuai struktur
ada dalam gamabar 4.
Gambar 4. Penulisan kalimat yang benar
Dilihat dari contoh diatas, hanya beberapa bagian sj
yang salah, seperti I am not believing karena ini
menceritakan masa lampau, seharunya tidak memakai
am tetapi seharunya memakai was. Tapi susunanan
strukture di kalimat ini sudah tepat. Penulisan kalimat
yang informal, menandakan bahwa mahasiswa dekat
dan nyaman dengan dosen mereka. Bisa kita lihat dari
candaan mereka di kata hahahahah. Selain itu,
mahasiswa juga sangat terbuka memberikan komen
negative kepada dosen mereka. Mahasiswa tidak
sungkan untuk bilang you have fierce face and your
voice is too loud.
Dalam setiap contoh yang diberikan, mahasiswa
tidak hanya memberikan komen positif, tetapi juga
komen negative. Mahasiswa sudah tidak malu ataupun
merasa takut nilainya di kurangi. Karena mahasiswa
sudah percaya dengan dosen mereka jika dosen tidak
akan memberikan nilai buruk jika mahasiswa
memberikan opini negative. Ini akan membuat tingkat
kreatifitas mahasiswa terpancing dalam menyampaikan
opini. Dosen wajib menghibau kepada mahasiswa jika
mahasiswa berhak menyampaikan opini tetapi harus
dalam batas-batas yang wajar, memperhatikan etika,
dan kesopanan karena dosen berperah sebagai teladan
bagi mahasiswanya. Ini adalah salah satu cara untuk
memerdekakan mahasiswa dalam beropini dan
menghilangkan stikma jika dosen selalu benar.
Di lain sisi, dengan memberikan opini pada dosen
pengajar, secara tidak langsung dosen juga bisa tau
bagaimana cara mengajarnya, apakah mahasiswa bisa
memahami atau tidak. Opini mahaiswa juga bisa
digunakan sebagai bahan evaluasi oleh dosen yang
bersangkutan. Dosen bisa membenahi sistem dan cara
belajar mengajar agar mahasiswa lebih nyaman dan
mudah dalam menerima pembelajaran.
129
Struktur dalam Menulis Opini: Merdeka Beropini dalam Mendeskripsikan Seseorang
Norita Prasetya Wardhani, Hardono
PENUTUP
Simpulan
Memerdekan mahasiswa dalam berkarya sangan
membuka peluang bagi mereka untuk mengeksplore
kreativitas mahasiswa meskipun itu di mulai dari hal
kecil. Bimbingan dan dukungan mahasiswa dalam
berkaya juga sangat di butuhkan agar mahasiswa tetap
berjalan di jalurnya. Jika mahasiswa diberi kebebasan
dalam berkreativitas atau menulis, mahasiswa akan
lebih berani, walaupun tetap ada mahasiswa yang
mencari jalan pintasnya, salah satunya dengan
menggunakan google translet. Masih ada mahasiswa
yang melakukan kesalahan dalam menulis, sehingga
dosen harus lebih telaten dalam membimbing.
Contohnya dengan memberi mereka tugas menulis tapi
yang menyenangkan dan melibatkan dunia mereka atau
hobi mereka. Salah satunya bisa menulis caption di
media social.
Saran
Mahasiswa perlu diberikan stimulus agar berani
mengungkapkan sesuatu melalui tulisan. Tulisan
mahasiswa adalah suatu ekspresi mahasiswa dalam
menyampaikan isi hati. Memberi tema pada mahasiswa
sangat penting agar mahasiswa tidak kebingungan
dalam menentukan alur tulisan. Lebih baik lagi, jika
dosen mengikuti sesuatu yang sedang booming pada
saat ini. Sehingga dosen dapat bersinergi dengan
mahasiswa. Contohnya membuat tulisan menggunakan
tik tok atau meminta mahasiswa mengunggah foto
ketika praktek lapangan ke Instagram, lalu meminta
mereka untuk memberikan caption untuk foto tersebut.
Rahayu, Dwijayanti, et. al. 2015. Pembelajaran
Menulis Opini Berbasis Media Video Berita di
Televisi Pada Siswa Kelas X.2 SMA Negeri 1
Sawan. Undiksha Volume: Vol: 3 No: 1 Tahun:
2015
Reina L & Sarah K. 2019. Teaching Students to Write
Opinion Pieces Using a Dialogic Approach. The
Reading
Teacher.
https://ila.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.100
2/trtr.1848
Sakaria dan Nojeng, A, 2018. Bahan Ajar Menulis
Opini dan Esai Dengan Pembelajaran Berbasis
Proyek. http://ojs.unm.ac.id/retorika ISSN:16-142716 (cetak), ISSN: 2301-4768 (daring)
Santana, S. 2007. Menulis Ilmiah: Metode Penulisan
Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Setyowati, L. 2016. Analyzing the Students' Ability in
Writting Opinion Essay Using Flash Card Fiction.
Journal of English Language and Linguistics
(JELTL). e-ISSN: 2502-6062,p-ISSN: 2503-1848
Tribble, C. 1996. Writting. Oxford: OUP. Per Linguam
:
A
Journal
of
Language
Learning.
https://doaj.org/article/1f76d342abc6416580e3841
611409660
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 2019. Analisa Kebutuhan Pembelajaran Mata
Kuliah Bahasa Inggris untuk Mahasiswa NonJurusan Bahasa Inggris di Universitas Islam",
INNOVATIO: Journal for Religious Innovation
Studies.
Karma, M. 2019 Analisa Pengelolaan Produksi dan
Biaya Investigasi Fasilitas Bandar Udara untuk
Memprediksi Peningkatan Revenue (Studi Kasus
di Bandara Depati Amir–Pangkal Pinang)
https://www.neliti.com/id/publications/273043/an
alisa-pengelolaan-produksi-dan-biaya-investigasifasilitas-bandar-udara-untuk
Marlian, V. 2019. Pengaruh Model Core (Connecting,
Organizing, Reflecting, Extending) Dengan Latar
Belakang
Kemahiran
Berbahasa
Dalam
Pembelajaran
Menulis
Opini.S2
Thesis.
Universitas
Pendidikan
Indonesia.
http://repository.upi.edu/id/eprint/40453
130
PENGARUH ANALISIS JABATAN UNTUK MENENTUKAN SPESIFIKASI JABATAN DALAM
SUATU ORGANISASI : SEBUAH STUDI LITERATUR
Muhammad Vandif Abdurahman Syah
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, muhammad.17010664057@mhs.unesa.ac.id
Raditya Seta Sukma
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, raditya.17010664087@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Organisasi atau perusahaan adalah sebuah tempat dimana dua orang atau lebih melakukan suatu
kegiatan atau pekerjaan dengan keingian dan tujuan atau visi dan misi yang sama sebagai suatu
pencapaian dari organisasi atau perusahaan tersebut. Didalam organisasi atau perusahaan,
dibutuhkan suatu analisis jabatan agar organisasi atau perusahaan dapat berjalan dengan baik dan
dapat berkembang lebih besar dari sebelumnya. Studi ini merupakan sebuah studi literatur dengan
mengkomparasikan beberapa penelitian yang tujuannya adalah ingin mengetahui bagaimana analisis
jabatan menimbulkan efek baik positif maupun negatif terhadap organisasi atau perusahaan.
Pencarian data untuk artikel ini menggunakan mesin pencari (search engine) yang ada di internet.
Penelitian yang didapatkan tersebut memberikan sebuah hasil bahwa analisis jabatan memiliki
peranan yang sangat penting terhadap organisasi atau perusahaan sehingga organisasi atau
perusahaan dapat berjalan dengan baik dan dapat berkembang lebih besar lagi. Diharapkan dari hasil
studi ini dapat memberikan manfaat yang baik terhadap organisasi atau perusahaan yang ingin
mengembangkan atau baru berdiri dengan menggunakan analisis jabatan sebagai komponen yang
harus diperhatikan untuk organisasi atau perusahaan.
Kata Kunci: analisis jabatan, studi literatur.
PENDAHULUAN
Sumber daya manusia merupakan unsur utama dalam
menjalankan suatu organisasi. Hal ini dikarenakan
sumber daya manusia merupakan salah satu unsur
terbentuknya suatu organisasi. Organisasi menurut
Bayle, et al. (dalam Rifa’i, 2013) adalah kumpulan
orang yang bekerja bersama dalam suatu pembagian
kerja untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi yang
dimaksud dalam pengertian ini mencakup keluasan
ragam bentuk perkumpulan orang. Seperti kelompok
persaudaraan, kelompok dalam klub suatu bidang
olahraga, organisasi sukarela, organisasi masyarakat,
organisasi dalam suatu perusahaan, organisasi sekolah,
lembaga pemerintahan dan organisasi lainnya yang
nyata atau ada dalam suatu lingkup masyarakat.
Langkah awal pembagian kerja dalam suatu organisasi
dapat dilakukan dengan cara memanajemen sumber
daya manusia.
Manajemen sumber daya manusia dapat kita temui
dalam suatu perusahaan atau suatu organisasi umum.
Manajemen sumber daya manusia dalam Dessler
(2015) menjelaskan bahwa Manajemen Sumber Daya
Manusia Strategis adalah menghubungkan Manajemen
Sumber Daya Manusia dengan peran dan tujuan
strategis dalam rangka meningkatkan kinerja bisnis
dan mengembangkan budaya organisasi dan
mendorong inovasi dan fleksibilitas. Manajemen
sumber daya manusia dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Salah satu langkah dalam memanajemen sumber
daya manusia adalah dengan menganalisis jabatan
dalam setiap struktural suatu organisasi atau
perusahaan.
Analisis jabatan adalah suatu hal yang penting
dalam suatu organisasi, baik dalam organisasi kerja
maupun organisasi umum. Analisis jabatan digunakan
dalam suatu organisasi guna untuk mengidentifikasi
deskripsi kerja atau tugas dalam suatu organisasi.
Analisis jabatan juga bertujuan untuk meletakkan
individu kedalam suatu bagian dalam organisasi sesuai
dengan kapabilitas atau kemampuan individu.
Peletakan individu yang tepat dalam suatu organisasi
dapat memberikan dampak positif untuk organisasi itu
sendiri. Maka dari itu peran analisis jabatan dinilai
sangat krusial dan penting dalam suatu organisasi.
Analisis jabatan dalam dunia kerja dapat menjadi
suatu dasar untuk menilai kinerja dari pegawai.
Penilaian kinerja karyawan umumnya dilakukan setiap
setahun sekali. Namun kebijakan tersebut tegantung
dari kebijakan dari tiap-tiap perusahaannya. Hasil dari
penilaian kinerja karyawan dapat digunakan sebagai
dasar penentuan jenjang karir individu dan penentuan
kompensasi individu tersebut.
Analisis jabatan juga berfungsi sebagai faktor
untuk menunjang profesionalisme karyawan dalam
suatu organisasi. Dengan memberikan batasan
wewenang yang jelas atau deskripsi kerja pada suatu
struktural organisasi, akan memberi pengaruh terhadap
131
Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur
Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma
profesionalisme kinerja pada individu dalam
organisasi. Hal ini dikarenakan individu mengerti
tugas yang dikerjakan dalam bidangnya dan membantu
individu untuk mencapai target dalam kinerjanya,
sehingga individu dapat memberikan kinerja yang baik
dalam melakukan bagian atau tugas dalam bagiannya.
Selain itu analisis jabatan juga diperlukan untuk
memberikan persyaratan pada pelamar kerja atau
klasifikasi yang diperlukan dalam rekrutmen suatu
perusahaan.
Penjelasan tentang pentingnya analisis jabatan
dikemukakan oleh Schuler & Jackson, Sharman et al.,
& Dessler et al. (dalam Tanumiharjo et al., 2013) yang
intinya analisis jabatan memberikan informasi terkait
pekerjaan karyawan yang digunakan oleh sumber daya
manusia profesional untuk menjelaskan deskripsi
pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, dan penilaian kerja.
Tinjauan Pustaka
Analisis Jabatan
Pengertian analisis jabatan menurut Edwin Flippo
dalam Elbadiansyah (2019) adalah suatu proses
mempelajari dan mengkoleksi informasi yang
berhubungan dengan tanggung jawab dan deskripsi
tugas tentang suatu pekerjaan tertentu dalam suatu
organisasi. Menurut Dessler (2015), Analisis jabatan
adalah suatu prosedur penilaian, pengumpulan dan
penyusunan informasi secara sistematis terkait dengan
suatu jabatan. Menurut Mathis dan Jackson (2011)
dalam karyanya berjudul Human Resource
Management 13th Edition analisis jabatan adalah cara
sistematis mengumpulkan dan menganalisis informasi
tentang produk, konteks, dan persyaratan pekerjaan
suatu individu. Kesimpulan dari beberapa pendapat
diatas adalah analisis jabatan merupakan suatu
kegiatan untuk membantu mengidentifikasi suatu
jabatan, mulai dari bagaimana jabatan tersebut
harusnya dilakukan, tugas-tugas pada jabatan tersebut,
atau lebih ringkasnya adalah untuk mengetahui isi dari
jabatan tersebut. Analisis jabatan dapat menjadi tolak
ukur spesifikasi calon karyawan yang dibutuhkan
dalam suatu organisasi.
Tujuan dari analisis jabatan menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 35
tahun 2012 adalah untuk penyusunan kebijakan
program :
1. Pembinaan
dan
penataan
kelembagaan,
kepegawaian, ketatalaksanaan
2. Perencanaan kebutuhan pendidikan dan pelatihan
3. Evaluasi kebijakan program pembinaan dan
penataan
kelembagaan,
kepegawaian,
ketatalaksanaan dan perencanaan kebutuhan
pendidikan dan pelatihan
Tujuan analisis jabatan menurut Mathis dan
Jackson dalam Human Resource Management 13th
Edition (2012) bahwa analisis jabatan juga berguna
untuk mengidentifikasi faktor dan kewajiban dalam
suatu pekerjaan yang dapat berkontribusi pada
kesehatan tempat kerja, keamanan dan keselamatan
karyawan, dan masalah hubungan kerja. Informasi
analisis jabatan dapat membantu membuat perbedaan
antar pekerjaan meliputi :
1. Kegiatan dan perilaku kerja
2. Interaksi dengan orang lain
3. Standar kinerja
4. Dampak keuangan dan penganggaran
5. Mesin dan peralatan yang digunakan
6. Kondisi kerja
7. Pengawasan diberikan dan diterima
8. Pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
dibutuhkan
Terdapat 2 elemen output dalam analisis jabatan. 2
elemen output analisis jabatan tersebut meliputi:
1. Deskripsi Jabatan (Job Description)
Deskripsi jabatan atau Job Description adalah
informasi tertulis secara sistematis menguraikan
tugas dan tanggung jawab dari suatu jabatan
tertentu. Deskripsi jabatan memuat ringkasan
tentang apa yang harus dilakukan oleh karyawan
dalam melakukan tugasnya. Di bawah ini
komponen yang terdapat pada deskripsi jabatan
menurut Mustadin Tagala (2018, h.132):
a. Job Title
Berupa nama jabatan, yang berfungsi sebagai
data dalam perusahaan dan guna memudahkan
proses penyusunan laporan.
b. Job procedure
Berisi
mengenai
aktivitas-aktivitas
atau
kewajiban yang harus dijalankan sebagai
karyawan, tools atau alat yang dipakai, interaksi
formal dengan pekerjaan lain dan seberapa level
supervisi yang diberikan.
c. Work Conditions dan Physical Environment
Mencakup
suhu,
panas,
penerangan,
suara/kebisingan, lokasi di dalam/di luar gedung,
lokasi fisik, kondisi yang membahayakan.
d. Social Environment
Mencakup berapa kuantitas anggota dalam suatu
kelompok kerja, dan seberapa jauh interaksi
interpersonal yang perlu dijalin dalam
menjalankan suatu pekerjaan tersebut.
132
Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur
Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma
e. Job Conditions
Berisi mengenai durasi jam kerja, struktur gaji,
metode pembayaran, bonus, kedudukan dalam
pekerjaan, kesempatan promosi dan transfer.
2. Spesifikasi Jabatan (Job Specification)
Mathis dan Jackson (2012) mengungkapkan bahwa
Spesifikasi jabatan merupakan beberapa hal yang
dibutuhkan pegawai dalam menunjukkan kinerja
serta kepuasan kerjanya, dimana hal tersebut terdiri
dari pengetahuan, ketrampilan dan kebutuhan
pegawai. Spesifikasi jabatan adalah kualifikasi
minimum yang terdiri dari pendidikan, ketrampilan
serta kebutuhan pegawai yang harus dipenuhi pada
saat menjalani suatu jabatan tertentu agar dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
optimal. Spesifikasi jabatan banyak memberikan
manfaat pada organisasi, diantaranya:
a. Sebagai dasar untuk organisasi melakukan
evaluasi jabatan.
b. Sebagai dasar untuk organisasi menentukkan
standar kinerja pegawai.
c. Sebagai dasar untuk organisasi pada saat
melakukan rekrutmen, seleksi maupun
penempatan pegawai baru.
d. Sebagai dasar untuk organisasi merancang
pendidikan dan pelatihan bagi pegawai.
e. Sebagai dasar untuk organisasi menyusun jalur
promosi bagi pegawai.
f. Sebagai dasar untuk organisasi merencanakan
perubahan dan menyederhanaan kerja yang ada
dalam organisasi.
g. Sebagai
dasar
untuk
organisasi
mengembangkan program kesehatan dan
keselamatan kerja bagi pegawai.
METODE
Tulisan ini merupakan studi literatur. Peneliti
mengumpulkan data berdasarkan jurnal penelitian
melalui pencari data (search engine) dalam internet.
Peneliti mencari jurnal penelitian 10 tahun terakhir
yang memiliki kaitan dengan pengaruh analisis kerja
terhadap organisasi, baik organisasi kerja maupun
organisasi umum. Dari beberapa jurnal penelitian,
terdapat 10 jurnal penelitan yang relevan dan memiliki
informasi yang spesifik tentang pengaruh analisis
jabatan terhadap organisasi. 10 jurnal penelitian
tersebut akan digunakan sebagai data dalam studi
literatur ini. 10 jurnal penelitian tersebut antara lain :
1. Studi Penataan Kelembagaan Berdasarkan Analisi
s Jabatan Pada SATKER Pelaksana Jalan
Nasional Provinsi Bengkulu karya
Erry Christianty
dan Willy Abdillah, Nasution tahun 2013 dalam
The Manager Review : Jurnal Ilmiah Manajemen
Vol. 15, No. 2. ISSN : 1979-2239.
2. Pengaruh Job Description dan Job Specification
Terhadap Kinerja Proses karya Salmah
Pattisahusiwa tahun 2013 dalam Jurnal Akuntabel :
Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 10, No. 1.
ISSN : 0216-7743.
3. Pemanfaatan Analisis Jabatan Dalam Aktivitas
Manajemen Sumber Daya Manusia Di Kantor
Perpustakaan Kota Malang karya Lestari Eko
Wahyudi tahun 2015 dalam Reformasi : Jurnal
Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No. 1.
ISSN : 2088-7469 (Paper), ISSN : 2407-6864
(Online).
4. Pengaruh Analisis Jabatan dan Pengembangan
Karir Terhadap Kinerja Pegawai Pada kantor
Camat
Rantau Selatan karya Sarnama L.
Tambunan dan Desmawaty Hasibuan tahun 2016
dalam jurnal ECOBISMA, Vol. 3, No. 1. ISSN :
2477-6092.
5. Evaluasi Analisa Jabatan dan Identifikasi
Kebutuhan
Pelatihan
Untuk
Peningkatan
Kompetensi Pegawai Di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Jambi karya Dwi Kurniawan
dan Sumarni tahun 2017 dalam Jurnal Sains Sosio
Humaniora, Vol. 1, No. 1. eISSN : 2580-2305 /
pISSN : 2580-1244.
6. Pengaruh Analisis Jabatan dan Desain Pekerjaan
Terhadap Perencanaan SDM Pada PT. Ultra Jaya
And Trading Company, Tbk. Karya Esa Yulyanti
dan Enang Narlan S.A.P. tahun 2018 dalam Jurnal
Manajemen dan Bisnis (ALMANA) Vol. 2, No. 1.
ISSN : 2579-4892.
7. Analisis Jabatan Penjaga Sekolah Dasar Negeri
Kayukebek karya Sagita Manggala Dewi tahun
2018 dalam JMSP: Jurnal Manajemen dan
Supervisi Pendidikan Vol. 2, No. 2. ISSN : 25414429.
8. Pelaksanaan Analisa Jabatan Pada Universitas
Islam Kadiri karya Endah Kurniawati tahun 2018
dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol.
3, No. 3. ISSN : 2477-3166.
9. Analisis Jabatan, Beban Kerja dan Perhitungan
Kebutuhan Pegawai di Pusat Data dan Statistik
Pendidikan
dan
Kebudayaan
karya Tri
Istiwahyuningsih tahun 2019 dalam Jurnal
Administrasi Pendidikan Vol. 26, No. 2. ISSN :
p.1412-8152 e.2580-1007.
10. Pengaruh Analisis Jabatan dan Pengembangan
Karir Terhadap Kinerja Pegawai Pada Sekretariat
Daerah Kota Pangkalpinang karya Meryance, Yudi
133
Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur
Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma
Rafani, dan Dini Pratiwi tahun 2014 dalam Jurnal
Ilmiah Progresif Manajemen Bisnis (JIPMB) Vol.
1, No. 1. ISSN : 2354-5682.
PEMBAHASAN
Menurut kajian dari jurnal, diperoleh beberapa poin
penting dalam analisis jabatan pada suatu organisasi.
Dalam pelaksanaan analisis jabatan yang dilakukan
pada organisasi yang terdapat dua hal penting yang
bisa didapatkan.
Pentingnya analisis jabatan pada perusahaan.
Analasis jabatan sendiri memiki beberapa pengertian,
salah satunya adalah suatu prosedur penilaian,
pengumpulan dan penyusunan informasi secara
sistematis terkait dengan suatu jabatan (Dessler, 2015).
Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa analisis
jabatan memiliki peranan dalam mengatur kinerja dari
karyawan dalam sebuah perusahaan atau organisasi
agar tetap bisa terorganisir dengan baik. Selain itu,
menurut Mathis dan Jackson (2011), analisis jabatan
adalah cara sistematis mengumpulkan dan
menganalisis informasi tentang produk, konteks, dan
persyaratan pekerjaan suatu individu. Sehingga
analisis jabatan memiliki peranan penting dalam
kepengurusan pada perusahaan atau organisasi.
Selanjutnya analisis jabatan memiliki peranan
penting pada pengembangan perusahaan. Selain
penting dalam mengatur dan menempatkan karyawan,
analisis jabatan juga memiliki peranan penting dalam
mengembangkan perusahaan agar semakin maju, hal
ini dapat dilihat dari aspek tujuan analisis jabatan
menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No. 35 tahun 2012 yang dimana bila
disimpulkan, tujuannya adalah untuk mengembangkan
perusahaan gas bisa lebih maju lagi. Selain itu hal ini
dijelaskan lebih rinci didalam dua output analisis
jabatan yaitu Job Description dan Job Specification.
Komponen-komponen yang terdapat dalam dua output,
memberikan penjelasan bahwa analisis jabatan
memiliki banyak faktor yang menguntungkan dan
dapat mengembangkan perusahaan bila diterapkan
secara baik di perusahaan atau organisasi.
Pada penelitian milik Meryance, dkk (2014),
diketahui pentingnya analisis jabatan untuk diterapkan
dalam penempatan apartur negara yang dimana
persyaratan jabatan dan uraian pekerjaan akan
mendasari pembagian pekerjaan untuk meningkatkan
kinerja dari para apartur negara ini. selain itu pada
penelitian Lestari pada tahun 2015 juga
menyampaikan bahwa aktivitas-aktivitas yang
dilakukan di perpustakaan ini berpacu pada hasil dari
analisis jabatan. Lalu pada penelitian milik Esa, dkk
(2018), peneliti disini mengatakan bahwa analisis
jabatan berpengaruh terhadap perencanaan sumber
daya manusia (SDM) sehingga dapat dikatakan
penelitian ini juga melihat analisis jabatan merupakan
suatu hal yang penting yang harus dimiliki oleh sebuah
perusahaan. Hal ini juga dikatakan oleh Sarnama, dkk
pada tahun 2016 yang dimana peneliti mengatakan
bahwa analisis jabatan memiliki pengaruh yang positif
terhadap pegaiwai sehingga kinerja dari pegawai
memiliki peningkatan setelah dilakukannya analisis
jabatan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Tri
(2019) ini bahwa peneliti ingin menyampaikan bila
ingin melakukan suatu penataan apartur atau kayawan,
harusnya didasari oleh studi kerja melalui analisis
jabatan. Peneliti-peneliti ini memberitahukan bahwa
disetiap
penelitiannya
menjelasakan
tentang
pentingnya analisis jabatan dalam suatu perusahaan
atau organisasi agar organisasi bisa berjalan dengan
baik.
Pentingnya analisis jabatan untuk mengembangkan
perusahaan, dijabarkan dalam beberapa bukti yang
telah ada dari beberapa penelitian. Penelitian milik
Salmah pada tahun 2013, menjelaskan bahwa job
description memiliki pengaruh yang baik kepada
karyawan sehingga kinerja yang dimiliki oleh para
karyawan tersebut meningkat. Pada tahun yang sama
dengan penelitian milik Salmah (2013), penelitian
milik Erry, dkk yang juga pada tahun 2013 ini
menyampaikan hal yang sama, yaitu meningkatnya
kinerja organisasi baik dari segi produktivitas,
pelayanan, maupun kualitas, sehingga dari hal ini
dapat dilihat bahwa penelitian ini memiliki
pengembanga perusahaan yang baik. Beberapa tahun
kedepan, penelitian milik Dwi dan Sumarni (2017)
mengatakan bahwa analisis jabatan diperlukan untuk
mengembangkan karyawannya melalui pelatihan,
sehingga bila analisis jabatan tidak dilakukan,
pelatihan pun tidak akan berhasil dengan baik. Pada
tahun selanjutnya, penelitian milik Sagita (2018)
mengatakan bahwa spesifikasi jabatan yang ada dalam
analisis jabatan memiliki peranan penting dalam
mengatur pembagian karyawan beserta tugas-tugasnya
sehingga organisasi dapat berjalan lebih baik dan lebih
efisien. Pada tahun yang sama Endah (2018) dengan
penelitiannya yang mengatakan bahwa perencanaan
analisis jabatan itu diperlukan agar analisis jabatan
dapat menghasilkan hasil yang sesuai dengan
perencanaan, bila hasil yang dihasilkan dari analasis
jabatan ini sesuai, maka analisis jabatan akan
berpengaruh dengan baik saat diterapkan.
Pemaparan diatas telah memaparkan bagaimana
pentingnya analisis jabatan pada suatu organsasi atau
134
Pengaruh Analisis Jabatan untuk Menentukan Spesifikasi Jabatan dalam Suatu Organisasi : Sebuah Studi Literatur
Muhammad Vandif Abdurahman Syah, Raditya Seta Sukma
perusahaan, serta dampak-dampak positif yang
dihasilkan dari analisis jabatan bila diterapkan dengan
baik di suatu organisasi atau perusahaan. Sehingga
pentingnya analisis jabatan dapat diterima oleh
oraganisasi ataupun perusahaan.
PENUTUP
Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas,
yaitu
1. Analisis jabatan merupakan suatu komponen yang
penting dan diperlukan bagi suatu perusahaan atau
organisasi untuk menata dan memberikan
pengarahan kepada karyawan.
2. Analisis jabatan merupakan suatu komponen yang
penting dan diperlukan bagi suatu perusahaan atau
organisasi untuk dapat lebih berkembang dari
sebelumnya.
Meryance, Rafani, Y., & Pratiwi, D. (2014). Pengaruh
Analisis Jabatan dan Pengembangan Karir
Terhadap Kinerja Pegawai Pada Sekretariat Daerah
Kota Pangkalpinang. Jurnal Ilmiah Progresif
Manajemen Bisnis, Vol. 1(1).
Pattisahusiwa, S. (2013). Pengaruh Job Description
dan Job Specification Terhadap Kinerja Proses.
Jurnal Akuntanbel, Vol. 10(1).
Tambunan, S. L., & Hasibuan, D. (2016). Pengaruh
Analisis Jabatan dan Pengembangan Karir
Terhadap Kinerja Pegawai Pada kantor Camat
Rantau Selatan. Jurnal Ecobisma, Vol. 3(1).
Yulyanti, E., & Narlan, E. S. A. P. (2018). Pengaruh
Analisis Jabatan dan Desain Pekerjaan Terhadap
Perencanaan SDM Pada PT. Ultra Jaya And
Trading Company, Tbk. . Jurnal Manajemen dan
Bisnis, Vol. 2(1).
Saran
Peneliti menyarankan agar pihak yang ingin meneliti
tentang judul atau tema yang sama dimasa mendatang
agar menggunakan referensi yang lebih kaya dengan
setidaknya ada satu referensi di setiap tahun untuk
mengetahui perkembangan analisis jabatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Christianty, E., & Abdillah, W. N. (2013). Studi
Penataan Kelembagaan Berdasarkan Analisis
Jabatan Pada SATKER Pelaksana Jalan Nasional
Provinsi Bengkulu. Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol.
15(No. 2).
Dessler, Gary. (2015). Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Salemba Empat
Eko, L. W. (2015). Pemanfaatan Analisis Jabatan
Dalam Aktivitas Manajemen Sumber Daya
Manusia Di Kantor Perpustakaan Kota Malang
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5(1).
Istiwahyuningsih, T. (2019). Analisis Jabatan, Beban
Kerja dan Perhitungan Kebutuhan Pegawai di Pusat
Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.
Jurnal Administrasi Pendidikan, Vol. 26(2).
Kurniawan, D., & Sumarni. (2017). Evaluasi Analisa
Jabatan dan Identifikasi Kebutuhan Pelatihan
Untuk Peningkatan Kompetensi Pegawai Di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi.
Jurnal Sains sosio Humaniora, Vol. 1(1).
Kurniawati, E. (2018). Pelaksanaan Analisa Jabatan
Pada Universitas Islam Kadiri. Jurnal Manajemen
dan Kewirausahaan, Vol. 3(3).
Manggala, S. D. (2018). Analisis Jabatan Penjaga
Sekolah Dasar Negeri Kayukebek. Jurnal
Manajemen dan Supervisi Pendidikan, Vol. 2(2).
135
STUDI LITERATUR MENGENAI PENILAIAN KEBUTUHAN PELATIHAN (TNA) TERHADAP
PRODUKTIVITAS KINERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI
Alma Abidah Sakaluri
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, alma.17010664176@mhs.unesa.ac.id
Dwi Hestya
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, dwi.17010664186@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Pelatihan mempunyai pengaruh dalam pengembangan kinerja karyawan terutama produktivitas
kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan tinjauan literature tentang penilaian kebutuhan
pelatihan (Trainning Needs Analysis) pada progam pelatihan untuk meningkatkan produktivitas kerja
karyawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literature dengan melakukan
telaah pada buku dan jurnal terkait penilaian kebutuhan pelatihan pada produktivitas kinerja. Data
dalam penelitian ini dari 6 jurnal dan 1 buku yang diperoleh dari pencarian di internet. Data pada
jurnal ini dianalisis secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah penilaian kebutuhan pelatihan
(Trainning Needs Analysis) pada progam pelatihan dapat meningkatkan produktivitas kerja
karyawan. Penilaian kebutuhan pelatihan merupakan tahap awal dalam merancang pelatihan, apabila
proses ini tidak dilakukan dengan baik oleh organisasi maka program pelatihan tidak memperoleh
hasil yang sesuai dengan harapan organisasi dan tidak akan memberikan keuntungan bagi organisasi.
Penilaian kebutuhan pelatihan merupakan komponen inti dari suatu progam pelatihan. Dengan
melakukan penilaian kebutuhan pelatihan maka pelatihan akan berjalan dengan efektif dan efisien
sehingga hal tersebut mampu meningkatkan produktivitas kinerja. Dengan meningkatnya
produktivitas maka karyawan juga dapat mengembangkan karir serta kemampuan karyawan.
Kata Kunci: Penilaian kebutuhan pelatihan, TNA, Pelatihan, Produktivitas kinerja.
PENDAHULUAN
Pada era saat ini kemajuan teknologi membawa
dampak bagi suatu organisasi. Salah satunya yaitu
adanya persaingan antara organisasi satu dengan yang
lainnya, di mana persaingan tersebut dapat memotivasi
organisasi untuk meningkatkan dan memajukan
kinerja karyawan pada organisasi tersebut. Untuk
mecapai hal tersebut, organisasi mengoptimalkan
kemampuan kinerja karyawan dalam bidangnya
masing-masing dengan mengadakan suatu pelatihan.
Hal ini yang membuat manajer menyadari bahwa
pelatihan merupakan suatu kebutuhan penting yang
harus dilakukan sesegera mungkin. Manajer mengakui
bahwa pelatihan dapat mengembangkan sumber daya
manusia dan kinerja, sehingga dapat memajukan
organisasi. Oleh karena itu, menjadi suatu tantangan
tersendiri bagi manajer, HRD (Human Resource
Development), dan trainer dalam menyelenggarakan
suatu pelatihan yang bertujuan untuk memajukan
organisasi supaya memiliki daya saing dan mampu
beradaptasi dengan teknologi.
Manajer seringkali melupakan langkah utama
dalam menentukan pelatihan yang akan diberikan.
Salah satunya, yaitu penilaian kebutuhan pelatihan
yang merupakan komponen inti dari suatu progam
pelatihan. Dalam menyelenggarakan pelatihan,
organisasi berperan dalam penentuan kebutuhan
pelatihan secara tepat dan sesuai, supaya penggunaan
anggaran pelatihan dan sumber yang lain dapat
berjalan efektif. Untuk dapat mencapai hal tersebut,
maka langkah pertama yang perlu dilakukan, yaitu
menentukan lokasi, cakupan, dan tinngkat
kebutuhannya.
Menurut Mangkunegara (dalam Hutajulu &
Supriyanto, 2013) pelatihan atau training merupakan
proses pendidikan yang ditempuh dalam waktu singkat
yang menggunakan prosedur terstruktur, di mana
traine mempelajari keterampilan dan pengetahuan.
Pelatihan juga merupakan suatu prosedur yang
dilakukan secara berkesinambungan dan tidak
dilakukan sekali saja dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, di mana pelatihan
berperan sangat penting dalam membentuk kreativitas
yang digunakan dalam pencapaian tujuan organisasi
agar dapat berjalan lebih efisien dan efektif (Fatihin,
2014). Sedangkan menurut Simamora (dalam Sefriady
& Iskandar, 2018) pelatihan merupakan suatu proses
bimbingan dengan menyertakan konsep, keahlian,
sikap, dan peraturan yang bertujuan sebagai metode
dalam pengembangan kinerja pada karyawan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pelatihan merupakan suatu
prosedur dalam proses pendidikan yang dilakukan
dalam waktu yang singkat dan disesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
136
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
menyertakan konsep, keahlian, sikap, dan peraturan
sebagai bekal dalam membentuk kreativitas untuk
pengembangan kinerja karyawan.
Pelatihan yang ditujukan bagi pengembangan
kinerja karyawan dapat berupa keahlian, pengetahuan
maupun sikap kerja yang diinginkan oleh suatu
organisasi. Hal ini selaras dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Sahanggamu (2014), yaitu
pelatihan yang ditujukan untuk karyawan merupakan
suatu prosedur yang memberikan tiga aspek, yaitu
keahlian, pengetahuan, dan sikap tertentu supaya
karyawan mempunyai keterampilan dan tanggung
jawab yang disesuaikan dengan pekerjaannya masingmasing dalam suatu organisasi. Ketiga aspek ini
merupakan poin-poin yang harus dikembangkan
dalam diri karyawan, supaya mereka sadar jika mereka
merupakan karyawan yang terampil untuk memajukan
organisasinya. Selain itu, efisiensi dan efektivitas
program pelatihan dapat mendorong berkembanganya
keterampilan dan pengetahuan pada karaywan.
Menurut Pojoh (2014) terselenggaranya pelatihan
dengan baik, maka akan mempengaruhi pada kinerja
dari karyawan dalam suatu organisasi.
Suatu program pelatihan dapat dilakukan dengan
melalui beberapa tahapan. Menurut Dessler (dalam
Arda, 2019) tahapan program pelatihan dapat
dilakukan melalui lima tahap, yaitu: a) tahap pertama,
yaitu melakukan penilaian kebutuhan pelatihan
dengan
mempertimbangkan
kebutuhan
dan
keterampilan dari traine; b) menyusun instruksi,
berupa kegiatan pelatihan, modul pelatiha, dan lembar
kerja; c) melakukan uji coba terhadap pelatihan yang
akan dilakukan; d) melakukan pelatihan pada traine; e)
melakukan evaluasi untuk meninjau keberhasilan
maupun kegagalan program pelatihan. Sedangkan
menurut Gomes (dalam Arda, 2019) terdapat tiga
tahapan dalam merancang program pelatihan, yaitu: a)
menentukan penilaian kebutuhan pelatihan yang
terdiri dari tiga jenis, yaitu penilaian kebutuhan
pelatihan berdasarkan pada hasil observasi, tanpa
menghiraukan data tentang kinerja karyawan, dan
berhubungan dengan sumber daya manusia di masa
depan; b) merancang program pelatihan yang
disesuaikan dengan kurikulum dan kebutuhan; c)
evaluasi terhadap pelatihan yang bertujuan untuk
menilai keefektifan dari pelatihan yang telah
dilakukan.
Setelah pelatihan selesai dilakukan, maka untuk
mengetahui keberhasilan dari pelatihan tersbeut
dibutuhkan adanya suatu evaluasi yang didasarkan
pada berbagai informasi yang telah diperoleh ketika
melakukan proses penilaian kebutuhan pelatihan
sampai pelatihan selesai dilakukan. Menurut Arda
(2019) evaluasi program pelatihan dapat mengacu
pada informasi-informasi berikut: a) reactions
(informasi yang didapat dari traine mengenai kepuasan
mereka dalam mengikuti pelatihan); b) learning
(informasi yang didapat dari traine mengenai sejauh
mana mereka memahami konsep-konsep yang
diberikan dalam materi pelatihan); c) behaviors
(informasi yang didapat dari tingkah laku traine
sebelum dan sesudah melakukan pelatihan guna
mengetahui seberapa efektif pelatihan tersebut); d)
organizational result (informasi yang didapat dari efek
yang dihasilkan terhadap organisasi); dan e) cost
effectivity (informasi yang didapat dari anggaran biaya
yang dikeluarkan dalam melakukan pelatihan.
Hal pertama dan terpenting sebelum melakukan
pelatihan diperlukan adanya rancangan penilaian
kebutuhan pelatihan atau yang sering disebut dengan
TNA (Training Needs Analysis). Menurut Kaufman
(dalam Chaerudin, 2019) penilaian kebutuhan
pelatihan merupakan suatu proses yang digunakan
dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan yang
disebabkan oleh munculnya ketidakseimbangan (gap)
antara sesuatu yang diperoleh sekarang dengan sesuatu
yang diharapkan. Penilaian kebutuhan pelatihan
merupakan tahap awal dalam merancang pelatihan,
apabila proses ini tidak dilakukan dengan baik oleh
organisasi maka program pelatihan tidak memperoleh
hasil yang sesuai dengan harapan organisasi dan tidak
akan memberikan keuntungan bagi organisasi
(Chaerudin, 2019). Program pelatihan yang diberikan
akan membawa manfaat bagi masing masing
karyawan yang dapat membantu dalam pelaksanaan
kinerjanya dan jika dilakukan dengan baik akan
mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan
(Pojohet al.2014).
Menurut Rifai (dalam Budiyanti & Damayanti,
2015) kebutuhan pelatihan merupakan cara yang
digunakan dalam peningkatan sikap dan keterampilan
serta pemenuhan pengetahuan yang kurang. Dalam
melakukan pelatihan ada beberapa tahap dalam
penilaian kebutuhan pelatihan yaitu meliputi analisis
organisasi, analisis pekerjaan dan analisis individu
(Budiyanti & Damayanti, 2015). (1) Analisis
organisasi merupakan strategi bagi organisasi atau
manajemen HRD untuk mendiagnosa kebutuhan
pelatihan yang akan dilakukan. Menurut Irwin
Goldstien (dalam Chaerudin,2019) dalam strategi
organisasi
ini
mengidentifikasi
atau
menentukanpelatihan yang akan dilakukan dengan
melakukan beberapa hal seperti tujuan organisasi,
kendala lingkungan, iklim organisasi, dan sumber
137
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
daya. (2) Analisis pekerjaan merupakan strategi dalam
menentukan hal hal yang harus diberikan kepada
karyawan, hal tersebut guna untuk karyawan dapat
melakukan tugas pekerjaanya dengan baik dan sesuai
serta dapat membantu organisasi dalam penerapan
kemampuan kinerja yang lebih berkompetensi
(Chaerudin, 2019). (3) analisis individu merupakan
strategi yang dilakukan untuk mengetahui kinerja
karyawan dalam melakukan pekerjaannya (Chaerudin,
2019). Dalam ketiga analisis tersebut analisis
organisasilah yang menjadi dasar dalam sebuah
pelatihan serta dalam pelatihan ketiga analisis tersebut
harus terlaksana secara baik dan terintegrasi agar dapat
memberikan hasil yang sesuai.
Menurut Chaerudin (2019), dalam penilaian
kebutuhan pelatihan terdapat tahapan tahapan agar
dapat menghasilkan progam pelatihan yang sesuai
nantinya yang akan membawa dampak yang lebih baik
dari sebelumnya. Organisasi akan melakukan tahapan
tahapan sebagai berikut : (1) penilaian kebutuhan
pelatihan, hal tersebut dilakukan dengan melakukan
analisis organisasi, analisis karyawan dan analisis
individu; (2) kepastiankaryawan dalam mengikuti
suatu progam pelatihan dengan menganalisis sikap,
keterampilan dan motivasi; (3) penciptaan di
lingkungan belajar dengan melakukan identifikasi
tujuan pelatihan, materi yang akan dibutuhkan, umpan
balik hasil dari pelatihan; (4) kepastian alih pelatihan
dengan melakukan rencana rencana strategi dalam
manajemen agar menciptakan hubungan yang baik
antara karyawan dan atasan (5) metode dalam
pelatihan dengan melakukan analisis metode apa yang
akan digunakan; dan (6) evaluasi progam pelatihan
dengan melakukan identifikasi hasil, evaluasi serta
anggaran progan dari pelatihan.
McClelland
(dalam
Chaerudin,2019)
mengemukakan bahwa metode penilaian kebutuhan
pelatihan adalah cara yang konsisten dalam SDM di
sebuah organisasi. Dengan melakukan hal tersebut
organisasi dapat memperoleh keuntungan salah
satunya yaitu mengatsai masalah yang ada di sebuah
organisasinya. Dalam penilaian kebutuhan pelatihan
yang berhak melakukannya adalah staf yang
berpengalaman dalam penilaian kebutuhan pelatihan.
Menurut Schuler (dalam Budiyanti & Damayanti,
2015) penilaian kebutuhan pelatihan ini digunakan
dalam tahap awal proses pengadaan pelatihan. Dalam
melakukan pelatihan yang dapat menghasilkan sebuah
pelatihan yang sesuai dan tepat maka harus dilakukan
langkah yang tepat dengan melakukan penilaian
kebutuhan pelatihan. Penilaian kebutuhan pelatihan
juga dapat mengantisipasi terjadinya masalah masalah
yang akan datang pada nantinya. Penilaian kebutuhan
pelatihan dapat diartikan sebagai pengevaluasian
kinerja karyawan yang kedepannya akan membawa
kompetensi yang sesuai oleh karyawan dan organisasi
serta dapat mengembangkan produktivitas kinerja
karyawan (Chaerudin, 2019).
Peningkatan produktivitas kinerja karyawan dapat
diwujudkan dengan melakukan salah satunya yaitu
progam pelatihan. Sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Mile, dkk (2014) yang
menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara pelatihan
dengan peningkatan kinerja karyawan. Pelatihan
membawa pengaruh yang positif bagi karyawan dan
dapat mengembangkan karir, produktivitas kinerja
serta kemampuan karyawan. Menurut Hasibuan
(2014), dilakukannya pelatihan dan pengembangan
karyawan guna untuk meningkatkan kemampuan
karyawan seperti teknis, teoritis, konseptual dan moral
karyawan. Hal itu sejalan dengan prestasi dan
produktivitas karyawan menjadi lebih baik serta dapat
optimal dalam melakukan kinerjanya. Menurut
Sutrisno (2012), sasaran pelatihan yang dilakukan
organisasi pastinya memiliki sasaran. Salah satu
sasaran tersebut adalah untuk meningkatkan
produktivitas kerja karyawan yang ada di dalam
organisasi agar dapat mencapai tujuan organisasi.
Sebuah organisasi tentunya melakukan hal hal
yang akan mencapai target dan tujuan sebuah
organisasi. Tercapainya sebuah organisasi pada
tujuannya yaitu dengan memiliki sumber daya
manusia yang baik. sebuah organisasi pastinya juga
melakukan
hal
hal
agar
meningkatkan
produktivitasnya seperti melakukan hubungan baik
antara karyawan dengan atasan serta melakukan
penilaian kebutuhan pelatihan agar mampu
meningkatkan produktivitas kinerja (Mile; Mekel &
Karuntu, 2014).
Menurut Elbadiansyah (2019)
produktivitas kerja merupakan suatu hal yang dapat
menyatakan ukuran keberhasilan sumber daya
manusia dalam mencapai kinerjanya. Menurut Fahmi
(dalam Fibriany, 2017) produktivitas kerja karyawan
sangat berhubungan dengan kinerja karyawan karena
hal tersebut sama sama mengahasilkan suatu hasil saat
bekerja yang telah diperoleh oleh suatu organisasi.
Menurut Sutrisno (2012) terdapat faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi produktivitas karyawan seperti
sarana produksi, lingkungan kerja dan kesehatan.
Sedangkan menurut Polyzos (dalam Prabawa &
Supartha, 2018) menyebutkan faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas yaitu terletak pada
keefektifan yang diberikan organisasi yaitu berupa
kerjasama antar karyawan dan atasan, misalnya
138
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
dengan melakukan penilaian kebutuhan pelatihan
sehingga membuat karyawan dapat meningkatkan
produktivitasnya serta dapat mengembangkannya
menjadi lebih optimal. Sehingga hal tersebut akan
membawa pengaruh yang baik bagi organisasi itu
sendiri dalam peningkatan produktivitas karyawan
dari segi aspek aspek tertentu yang mendukung.
Dari latar belakang diatas maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tentang penilaian
kebutuhan pelatihan (Trainning Needs Analysis) pada
progam pelatihan untuk meningkatkan produktivitas
kerja karyawan. Hasil dari penelitian ini diharapkan
akan
memberikan
informasi
guna
untuk
mengembangkan produktivitas di sebuah organisasi.
METODE
Pada penelitian ini menggunakan studi literature
dengan melakukan telaah pada buku dan jurnal terkait
penilaian kebutuhan pelatihan pada produktivitas
kinerja. Studi literature ini digunakan dalam
mengidentifikasi hasil dari penelitian yang terdahulu
serta untuk mengetahui suatu gambaran dari suatu
fenomena yang telah diketahui maupun belum
diketahui peneliti. Menurut Cooper (dalam Creswell,
2010) studi literature memiliki tujuan, ayitu untuk
memberikan informasi mengenai hasil penelitian yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan pada
saat ini, mengaitkan penelitian yang dilakukan saat ini
dengan penelitian terdahulu, studi literature berisikan
suatu telaah dan rangkuman, serta gagasan peneliti
mengenai kajian pustaka yang sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti saat ini. Jenis data pada
peneletian ini berupa data sekunder. Metode
pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
studi pustaka. Hasil dari studi literatur ini akan
digunakan dalam mengidentifikasi tujuan dari
penelitian.
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini,
yaitu buku dan jurnal yang berkaitan dengan topik
penelitian. Sumber data tersebut terdiri dari satu buku
dan enam jurnal mengenai penilaian kebutuhan
pelatihan terhadap produktivitas kinerja karyawan.
Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang
digunakan, yaitu melakukan pencarian terhadap datadata yang berupa buku, catatan, jurnal atau artikel, dan
lain-lain (Arikunto, 2010). Sedangkan teknik analisa
data pada penelitian ini, yaitu dengan menggunakan
metode analisis isi yang dapat digunakan dalam proses
pencarian suatu kesimpulan yang akurat, di mana hal
tersebut dapat diteliti kembali menurut konteksnya
(Kripendoff dalam Mirzaqon dan Purwoko, 2018).
Proses dalam analisis ini, yaitu dengan cara memilih
literature yang sesuai dengan penelitian yang akan
dilakukan,
membandingkannya,
melakukan
penggabungan terhadap keduanya, dan memilah
definisi yang relevan dan sesuai dengan topik pada
penelitian yang akan dilakukan (Sebaguna dalam
Mirzaqon dan Purwoko, 2018).
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang topik
penilaian kebutuhan pelatihan terhadap produktivitas
kerja menurut beberapa literature, seperti buku dan
jurnal yang relevan dengan topik tersebut diperoleh
berbagai data yang menunjukkan bahwa penilaian
kebutuhan pelatihan dapat dijadikan sebagai langkah
awal dalam pengembangan produktivitas kinerja
karyawan. Proses penyusunan penilaian kebutuhan
pelatihan telah dibahas dalam bagian pendahuluan.
Dalam melakukan kajian pustaka mengenai topik ini,
peneliti mengalami suatu kendala, yaitu kesulitan
dalam mencari literature yang relevan dengan topik
penelitian.
Studi literature pertama yang relevan dengan topik
penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Putri
dan Karjono (2017) mengenai kebutuhan pelatihan di
RSUD dr. R Sodarsono Pasuruan yang didasarkan
pada training needs analysis (penilaian kebutuhan
pelatihan) bagi pejabat structural di rumah sakit
tersebut. Kesenjangan yang terjadi pada fenomena
tersebut, yaitu adanya para pejabat di rumah sakit
tersebut tidak melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan yang disebabkan karena rendahnya
kompetensi yang dimiliki. Oleh sebab itu, peneliti
melakukan langkah awal dalam melakukan
penelitiannya, yaitu dengan membuat dokumen TNA
(Training Needs Analysis) yang digunakan dalam
proses identifikasi kebutuhan pelatihan di bagian
kepemimpinan dan manajemen di rumah sakit
tersebut. Hasil dari penelitian tersebut, menunjukkan
bahwa langkah awal dalam menyusun TNA dapat
menjadikan kompetensi dari para pejabat di rumah
sakit tersebur semakin meningkat yang disertai dengan
dilakukannya pelatihan pengembangan karir.
Studi literature kedua yang relevan dengan topik
penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh
Wijayanti, Purba, dan Wahyudi (2017) mengenai
rancangan TNA dalam menyusun pelatihan terhadap
sumber daya manusia di Rumah Sakit Bhayangkara
Brimob bagi karyawan bagian pengelolaan
pembelakan farmasi. Kesenjangan yang terjadi pada
fenomena tersebut, yaitu adanya perbedaan yang
terjadi antara keahlian atau keterampilan bidang
139
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
Sumber Daya Manusia (SDM) bagian pengelolaan
pembekalan farmasi saat ini dengan yang diinginkan
di rumah sakit tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan
adanya TNA Sumber Daya Manusia bagian
pengelolaan pembekalan farmasi yang digunakan
dalam menyusun program pelatihan dengan beberapa
tujuan. Tujuan tersebut, yaitu untuk meningkatkan
kompetensi SDM; supaya karayawan bidang tersebut
dapat melaksanakan tugas, pokok, fungsinya dengan
benar; membekali pengetahuan yang dibutuhkan; dan
diharapkan TNA ini dapat menjadi awal bagi
pengembangan SDM pada karyawan tersebut supaya
dapat memaksimalkan produktivitasnya. Hasil dari
penelitian tersebut, menunjukkan bahwa TNA
bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi dan
layanan karyawan bagian pengelolaan pembekalan
farmasi. Karena TNA dijadikan sebagai langkah awal
dalam proses pelatihan yang diberikan kepada
karyawan tersebut. Sehingga TNA direkomendasikan
pada bagian manajemen untutk diterapkan di Rumah
Sakit Bhayangkara Brimob.
Studi literature ketiga yang relevan dengan topik
penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh
Febriani dan Yusuarsono (2018) mengenai jenis TNA
yang digunakan dalam meningkatkan kompetensi pada
PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana)
BKKBN yang terletak di Provinsi Bengkulu.
Kesenjangan yang terjadi pada fenomena tersebut,
yaitu perbedaan antara kompetensi standar dengan
kompetensi actual pada PLKB BKKBN Provinsi
Bengkulu. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu
rancangan TNA yang sesuai, yaitu jenis TNA reaktif.
TNA tersebut merupakan suatu langkah sederhana
dalam menganalisis, melakukan identifikasi terhadap
kebutuhan pelatihan dengan menerapkan langkahlagkah, seperti menemukan fenomena (kesenjangan),
setelah itu dijabarkan untuk mendapatkan informasi,
prosesTNA, dan hasil TNA. Hasil dari penelitian
tersebut,
menujukkan
bahwa
TNA
dapat
menyelesaikan dan memberi solusi terhadap
kesenjangan yang terjadi, serta dapat meningkatkan
kompetensi pada PLKB BKKBN di Provinsi
Bengkulu karena TNA menjadi langkah awal dalam
pelaksanaan pelatihan yang mereka jalani.
Studi literature keempat yang relevan dengan topic
penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Rahma
Mulyaningsari, Siti Juhairah dan Arif Surjadi (2016)
mengenai kebutuhan pelatihan di Rumah Sakit Wava
Husada yang didasarkan pada penerapan Training
Needs Analysis bagi perawat. Kesenjangan yang
terjadi fenomena tersebut adalah kurangnya
kompetensi pada perawat di Rumah Sakit Wava
Husada. Oleh sebab itu diadakan pelatihan yang
berbasis training needs analysis untuk meningkatkan
kompetensi perawat di rumah sakit Wave Husada.
Hasil dari penelitian ini adalah dari tersusunnya
progam pelatihan yang akan diberikan kepada perawat
rumah sakit wave husada baik dari segi kompetensi
teknis dan kompetensi manajrial bedasarkan training
need analysis mampu meningkatkan kompetensi
perawat. Dengan berjalannya pelatihan berdasarkan
training needs analysis dengan baik maka akan
menghasilkan kompetensi yang baik bagi perawat di
rumah sakit wave husada serta dengan melakukan
berdasarkan training need analysis maka pelatihan
berjalan dengan efektif dan efisien.
Studi literature kelima yang relevan dengan topic
penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Abdul
Qodir, Pudji Muldjono dam M Joko (2018) mengenai
jenis penilaian kebutuhan pelatihan yang dilakukan
untuk meningkatkan kompetensi professional
pustakawan. Kesenjangan yang terjadi pada fenomena
tersebut adalah adanya kurangnya keterampilan dan
kompetensi yang dimiliki pustakawan. Kesenjangan
keterampilan tersebut yaitu seperti kompetensi
jaringan internet untuk layanan perpustakaan dan
perawatanuntuk
bahan
pustaka.
Sedangkan
kesenjangan kompetensi yaitu kurangnya literasi,
pengadaan
bahan
perpustakaan,
pengadaan,
pengatalokan subjek dan haringan internet. Oleh sebab
itu, diperlukan adanya suatu rancangan pelatihan yang
susuai dan yang berdasarkan training needs analysis
seperti menetapkan kebutuhan pelatihan dan prioritas
pelatihan agar mampu meningkatkan keterampilan dan
kompetensi pustakawan. Dalam melakukan penilaian
kebutuhan pelatihan terdapat rekomendasi agar dapat
meningkatkan
keterampilan
dan
kompetensi
pustakawan seperti mengikuti progam pelatihan on the
job training dan off the training. Hasil dari penelitian
tersebut,
menujukkan
bahwa
TNA
dapat
menyelesaikan dan memberi solusi terhadap
kesenjangan yang terjadi, serta dapat meningkatkan
kompetensi dan keterampilan pustakawan.
Studi literature keenam yang relevan dengan topic
penelitian, yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Netty
Lisdiantini, Eva Mirza dan Yosi Afandi (2018)
mengenai rancangan training needs analysis bagi
tenaga sekretaris direksi PT industry kereta api
(persero) Madiun dalam menyusun pelatihan yang
akan diberikan. Hal ini dilakukan agar kemampuan
dan kompetensi bagi tenaga sekretaris direksi PT
industry kereta api (persero) Madiun meningkat dan
mampu membantu pekerjaan pimpinan. training needs
analysis adalah salah satu metode yang dilakukan
140
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
peneliti dalam menganalisis kesenjangan kemampuan
kerja yang dimiliki oleh bagi tenaga sekretaris direksi
PT industry kereta api (persero) Madiun. Kesenjangan
yang dimiliki bagi tenaga sekretaris direksi PT
industry kereta api (persero) Madiun adalah rata rata
sedang dan kemampuan serta keterampilan yang
dimiliki belum sesuai dengan yang diharapkan oleh
organisasi. Hal ini dirasa organisasi melakukan
pelatihan agar mampu meningkatkan kemampuan dan
keterampilan dengan menggunakan training needs
analysis.
Studi literature ketujuh relevan dengan topik
penelitian, yaitu buku yang ditulis oleh Ginting (2011)
mengenai manajemen yang digunakan ketika
melakukan pelatihan. Salah satu materi dalam
bukunya, yaitu membahas mengenai pentingnya
penilaian kebutuhan pelatihan dalam mengembangkan
produktivitas karyawan. Menurut Ginting (2011)
terdapat enam cakupan kebutuhan yang harus
direalisasikan ketika menyelenggarkan penilaian
kebutuhan pelatihan, yaitu: a) kebutuhan dari
organisasi sebagai usaha dalam pengembangan
organisasi secara efisien dan efektif; b) kebutuhan
akan tuntutan pekerjaan, seperti produktivitas,
kompetensi, keterampilan, dan pengetahuan; c)
kebutuhan dari individu sendiri yang berkaitan dengan
kinerja, motivasi, dan promosi; d) kebutuhan yang
sudah ada pada saat ini namun belum juga terpenuhi;
e) kebutuhan akan inovasi dan pembaharuan; f)
kebutuhan yang digunakan untuk mengantisipasi suatu
kejadian yang tidak terduga. Oleh karena itu, dari
pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
penilaian kebutuhan pelatihan dapat berdampak dalam
pengembangan produktivitas pada karyawan. sehingga
diperlukan suatu rancangan penilaian kebutuhan
pelatihan yang baik dan sesuai untuk meujudkan hal
tersebut.
Berdasarkan beberapa studi literature yang telah
dipaparkan, penilaian kebutuhan pelatihan (TNA)
dapat mengembangkan kompetensi dan keterampilan
karyawan di mana kedua aspek tersebut dapat
digunakan dalam mengembangkan sumber daya
manusia, seperti produktivitas kinerja pada karaywan.
Menurut Benny (dalam Abubakar 2018) sumber daya
manusia merupakan unsur terpenting dalam suatu
organisasi karena akan menjadi penentu keberhasilan
tujuan dari organisasi. Apabila sumber daya manusia
dalam suatu organisasi tidak dapat bekerja dengan baik
serta tidak didasari oleh suatu kompetensi, maka
tujuan dari organisasi tidak dapat tercapai dengan
optimal. Sumber daya manusia yang didasari adanya
suatu kompetensi yang mumpuni, maka dapat
menciptakan karakter sumber daya manusia yang baik
dan mampu meningkatkan keterampilan karayawan.
Hal ini dikarenakan jika karyawan yang bekerja di
suatu organisasi mempunyai kompetensi yang sesuai
dengan pekerjaannya, maka karyawan tersebut akan
mempunyai kemampuan kinerja yang optimal dari
segi
kemampuan,
sikap,
dan
pengetahuan
mengidentifikasi adanya suatu produktivitas kinerja
yang baik.
Menurut Marwansyah (2012) kompetensi
karyawan merupakan gabungan dari sikap,
karakteristik, pengetahuan, dan keterampilan yang
dibutuhkan dalam pencapaian suatu keberhasilan pada
pekerjaannya di mana hal tersebut dapat
dikembangkan melalui rancangan penilaian kebutuhan
yang diterapkan dalam pelatihan. Kompetensi
karyawan yang terdiri dari gabungan beberapa sikap
tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat pada
produktivitas kinerja karyawan (Abubakar, 2018). Hal
tersebut bermakna bahwa secara tidak langsung
produktivitas kinerja karyawan memerlukan adanya
kompetensi dan keterampilan yang mumpuni,
sehingga karyawan dapat menjalankan tupoksi (tugas,
pokok, dan fungsinya) dengan baik dan sesuai
prosedur dari organisasinya.
Menurut teori Mc.Clelland (dalam Sedarmayanti,
2011) mengungkapkan bahwa kompetensi merupakan
ciri khas umum yang dapat mempengaruhi
produktivitas kinerja yang baik pada individu. Teori
tersebut selaras dengan teori yang diungkapkan oleh
Becher, Huslid & Ulrich (dalam Abubakar, 2018) yang
mengungkapkan bahwa kompetensi merupakan suatu
ciri khas, kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan
yang dimiliki oleh individu yang dapat berpengaruh
secara langsung terhadap produktivitas kinerja.
Sehingga, pengetahuan dan keterampilan menjadi dua
hal yang penting dalam mencapai produktivitas yang
optimal. Oleh karena itu, penting bagi suatu organisasi
adanya produktivitas yang optimal yang berkaitan
dengan sumber daya manusia.
Menurut Handoko (dalam Nuryanto, Enggok dan
Abdurrahman 2017) faktor yang berpengaruh terhadap
produktivitas kinerja karyawan, yaitu keterampilan,
kompetensi, motivasi, gaji, jenis pekerjaan, dan
kondisi dari organisasi. Tingkatan produktivitas
kinerja karyawan dapat ditentukan berdasarkan
kompetensi yang mereka miliki. Sehingga hal tersebut
sangatlah berpengaruh pada organisasi. Oleh karena
itu, kompetensi yang dimiliki oleh karyawan harus
segera diketahui supaya karyawan mampu bekerja
dengan produktiv untuk mencapai tujuan dari
organisasi. Dengan demikian, maka diperlukan suatu
141
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
penilaian kebutuhan dalam mengetahui kesenjangan
yang terjadi dalam suatu organisasi demi terciptanya
kompetensi yang mumpuni dalam meningkatkan dan
mengembangkan produktivitas pada karyawan.
Menurut Mulyaningsari R., Juhariah, S. & Surjadi,
A. (2016), Training Needs Analysis merupakan hal
penting agar tercapainya suatu pelatihan yang baik dan
sesuai. Training Needs Analysis digunakan untuk
menentukan kebutuhan pelatihan yang akan dilakukan
dengan tujuan yang sesuai. Hal tersebut bertujuan
untuk menciptakan keefektifan dan menghindari hal
hal yang tidak diperlukan dalam sebuah progam
pelatihan. Jika tanpa dilakukan Training Needs
Analysis maka bisa membuat tujuan tidak terfokus
pada prioritas dalam pengembangan atau peningkatan
kemampuan karyawan serta timbul kesenjangan pada
kinerja karyawan.
Menurut Rothwell (dalam Chaerudin, 2019)
terdapat beberapa kesenjangan pada karyawan yang
mungkin timbul dalam sebuah organisasi, yaitu (1)
kesenjangan kinerja pada karyawan pada saat ini yang
berarah ke negatif , (2) kesenjangan kinerja pada
karyawan pada saat ini yang berarah positif, (3)
kesenjangan kinerja pada karyawan yang berarah
netral, (4) kesenjangan kinerja pada karyawan pada
saat masa depan yang negatif, (5) kesenjangan kinerja
pada karyawan saat masa depan yang netral, dan (6)
kesenjangan kinerja pada karyawan pada masa depan
yang positif. Kesenjangan pada kinerja karyawan tidak
selalu kea rah negatif. Kesenjangan kesenjangan yang
terjadi pada karyawan baik buruknya akan
berpengaruh pada suatu organisasi. Namun sebuah
organisasi akan tetap menuntut agar karyawan mampu
memiliki kompetensi yang baik agar dapat bekerja
dengan baik dan sesuai. Maka dari itu penilai
kebutuhan pelatihan sangat diperlukan agar dapat
mampu mengidentifikasi kebutuhan prioritas
karyawan.
Menurut Chaerudin (2019) progam pelatihan yang
efektif akan membawa keuntungan baik seperti
meningkatkan produktivitas kinerja, menaikkan
potensi sebuah organisasi dan memperbaiki etos kerja
karyawan. Dalam mendapatkan keefektifan dalam
suatu progam pelatihan, sebuah organisasi harus dapat
memantau karyawan dalam pelaksanaan pelatihan.
Sebelum pelatihan dan pengembangan pada karyawan
dilakukan maka sebuah organisasi melakukan
penilaian atau analisis kebutuhan. Menurut
Mulyaningsari R., Juhariah, S. & Surjadi, A. (2016),
pelatihan merupakan salah satu sarana agar karyawan
mampu meningkatkan produktivitasnya. Dalam
meningkatnya produktivitas kinerja, hal tersebut akan
mendukung pelaksanaan kerja yang baik secara efisien
dan efektif serta mencapai sasaran yang telah
ditetapkan oleh organisasi.
Menurut Ginting (2011), dalam melakukan
penilaian kebutuhan pelatihan terdapat hasil yang
diharapkan , yaitu (1) Tingkat suatu kebutuhan
karyawan terhadap materi yang akan disampaikan
pada pelatihan, (2) alokasi waktu yang tepat yang akan
diberikan kepada karyawan yang mengikuti pleatihan
dan (3) strategi dalam menyajikan materi pelatihan,
materi yang disajikan disarankan sesuai dengan
kesenjangan kemampuan pada karyawan yang
mengikuti progam pelatihan. Hasil yang diharapkan
dari peniilaian kebutuhan pelatihan tersebut bila
dilakukan dengan baik, maka akan terwujud suatu
pelaksanaan pelatihan yang efektif dan mampu
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi karyawan
yang mengikuti. Hal tersebut akan dapat
mengembangkan peningkatan kemampuan kinerja
karyawan serta produktivitas yang akan dihasilkan
dalam melakukan kinerjanya.
Menurut Fuanida (dalam Budiartha., Bagia &
Suwendra, 2015) suatu progam pelatihan secara
simultan maupun parsial akan membawa pengaruh
terhadap kinerja karyawan. Pengaruh tersebut akan
meningkatkan produktivitas kinerja karyawan, karena
dengan mengikuti suatu progam pelatihan maka
karyawan akan termotivasi dan dapat meningkatkan
produktivitas untuk mencapai sasaran / target
pekerjaan. Wibowo (dalam Budiartha., Bagia &
Suwendra, 2015) menyebutkan bahwa seseorang yang
mengikuti
pelatihan
mampu
meningkatkan
produktivitas. Semakin sering seseorang mengikuti
suatu progam pelatihan, maka semakin termotivasi
untuk bekerja lebih giat lagi. Hal tersebut dapat
disiratkan bahwa jika sering mengikuti suatu progam
pelatihan maka karyawan akan dapat meningkatkan
produktivitasnya
karena
karyawan
tersebut
mendapatkan motivasi dalam pelaksanaan suatu
progam pelatihan. Hal ini juga sejalan dengan teori
Hasibuan (2014) yang mengatakan bahwa pelatihan
dapat membentuk serta meningkatkan kemampuan
karyawan. Dengan meningkatkan kemampuan
karyawan maka karyawan dapat pula meningkatkan
produktivitas kinerjanya disebuah organisasi.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa penilaian kebutuhan pelatihan (Trainning Needs
Analysis) pada progam pelatihan dapat meningkatkan
dan mengembangkan produktivitas kinerja pada
142
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
karyawan. Produktivitas pada karyawan dapat
meningkat dan berkembang dengan diadakannya suatu
progam pelatihan. Selain itu pelatihan juga digunakan
dalam mengurangi kesenjangan kemampuan karyawan
dalam bekerja. Sebuah progam pelatihan yang
menunjukkan keefesienan dan keefektifan adalah
pelatihan yang berdasarkan pada penilaian kebutuhan
karyawan (training needs analysis). Dengan
meningkatkan dan mengembangkan produktivitas
kinerja karyawan maka membawa pengaruh yang
positif bagi individu maupun organisasi. Penilaian
kebutuhan pelatihan merupakan komponen inti dari
suatu progam pelatihan. Dalam menyelenggarakan
pelatihan, organisasi berperan dalam penentuan
kebutuhan pelatihan secara tepat dan sesuai, supaya
penggunaan anggaran pelatihan dan sumber yang lain
dapat berjalan efektif.
Saran
Bagi organisasi
Untuk
meningkatkan
dan
mengembangkan
produktivitas kinerja pada karyawan, yaitu dapat
dilaksanakan dengan merencanakan dan menyusun
penilaian kebutuhan pelatihan bagi karyawan melalui
informasi yang diperoleh dari kesenjangan yang ada
dalam organisasi tersebut. Sehingga organisasi dapat
melaksanakan pelatihan untuk mengatasinya.
Bagi studi literature selanjutnya
a. Supaya lebih disiapkan tentang ketersediaan
sumber atau literature , seperti jurnal, artikel, buku,
dan lain sebagainya. Sehingga ketika proses
mengerjakan artikel jurnal dapat mengkaji teori
secara lebih mandalam.
b. Supaya lebih disiapkan kondisi mental dan fisik,
karena dalam melakukan penelitian dengan
menggunakan metode studi literature dapat
menghabiskan lebih banyak waktu untuk duduk,
membaca buku atau referensi dan menghadap
laptop atau computer, di mana hal tersebut dapat
membuat mata menjadi lelah. Sehingga harus
dijaga dan dipersiapkan.
Bagi peneliti selanjutnya
a. Hasil penelitian ini hanya berbentuk literature awal
mengenai manfaat penilaian kebutuhan pelatihan
dalam meningkatkan dan mengembangkan
produktivitas kinerja pada karyawan. Sehingga
dibutuhkan tindak lanjut lebih dalam untuk
membahas hal tersebut.
b. Pada penelitian selanjutnya, bisa memanfaatkan
penelitian studi literature ini dengan mengadakan
penelitian lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, R.R.T. (2018). Pengaruh kompetensi
pegawai terhadap produktivitas kerja pegawai
Dinas Kesehatan Kota Bandung. Jurnal
Administrasi Negara, 24(1), 17-32.
Arda, I.B.N., (2019). Mencetak SDM Unggul di UPTD
BLKIP Disnakersdm Provinsi Bali. Jurnal Bali
Membangun Bali, 2(3), 119-136
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu
pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Budiartha, I.G.N., Bagia, I.W., & Suwendra, I.W.
(2015). Pengaruh pelatihan dan motivasi kerja
terhadap produktivitas kerja karyawan. Jurnal
Bisma Universitas Pendidikan Ganesh, 3 (1).
Budiyanti,H., & Damayanti, N.A. (2015). Penilaian
kebutuhan pelatihan pada tingkat individu petugas
rekam medis. Jurnal Administrasi Kesehatan
Indonesia, 3 (1), 70- 79.
Chaerudin, A. (2019). Manajemen pendidikan dan
pelatihan SDM. Sukabumi: CV. Jejak.
Creswell John W., 2010, Research Design :
Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches, 3th, terjemahan Achmad Fawaid,
Yogyakarta.
Elbadiansyah. (2019). Manajemen sumber daya
manusia. Malang:CV. IRDH.
Fatihin, A. (2014). Pengaruh pelatihan dan budaya
organisasi terhadap efektivitas kinerja karyawan.
Jurnal STAIN Kudus, 2(1), 140-154.
Febriani & Yusuarsono. (2018). Model training needs
analysis (TNA) Petugas Lapangan Keluarga
Berencana (PLKB) di BKKBN Provinsi Bengkulu
dalam
meningkatkan
kompetensi.
Jurnal
SNISTEK, 1(1), 61-66.
Fibriany, F.W. (2017). Peningkatan produktivitas
melalui pelatihan karyawan pada PT. Giordano
Indonesia. Jurnal Cakrawala, 17 (2), 165-170.
Ginting, A. (2011). Manajemen pendidikan dan
pelatihan:esensi praktis. Bandung: Humaniora.
Hasibuan, M., S., P. (2014). Manajemen sumber daya
manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hutajulu, S.M. & Supriyanto. (2013). Tinjauan
pelaksanaan pelatihan dan pengembangan
karyawan pada PT. Inalum Kabupaten Batubara.
Jurnal Bisnis Administrasi, 2(2), 30-39.
Lisdiantini, N., Syafitri, E. M., & Afandi, Y. (2018).
Analisis kebutuhan pelatihan bagi tenaga sekretaris
direksi PT Industri Kereta Api (Persero) Madiun
143
Studi Literatur Mengenai Penilaian Kebutuhan Pelatihan (TNA) terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan dalam Organisasi
Alma Abidah Sakaluri, Dwi Hestya
(training need analysis for secretary). Jurnal
Epicheirisi, 2(1), 22-25.
Marwansyah. 2012. Manajemen
Manusia. Bandung : Alfabeta.
Sumber
Daya
Mile,R., Mekel, P.A., & Karuntu, M. (2014). Analisis
terhadap pelatihan dan pengembangan karyawan
bagi peningkatan kinerja di PT. Pegadaian
Gorontalo Utara. Jurnal EMBA, 2(4), 167- 174).
Wijayanti, R., Purba A.V. & Wahyudi. (2017).
Training needs analysis dan perencanaan program
pelatihan sumber daya manusia bidang
pengelolaan perbekalan faramasi Rumah Sakit
Bhayangkara Brimob. Social Clinical Pharmacy
Indonesian Journal, 2(1), 17-28.
Mirzaqon, A. & Purwoko, B. (2018). Studi
kepustakaan mengenai landasan teori dan praktik
konseling expressing writing. Jurnal BK Unesa,
8(1), 1-8.
Mulyaningsari, R., Juhariah, S., & Surjadi, A. (2016).
Penerapan training needs analysis dalam upaya
peningkatan kompetensi perawat di rumah sakit
wava husada. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29(3),
291-299.
Nuryanto, Enggok, M.S. & Abdurahman, A. (2017).
Pengaruh kompetensi terhadap produktivitas kerja
pegawai kantor unit penyelenggaran pelabuhan
kelas iii Satui. Jurnal Ilmu Administrasi dan
Manajemen, 1(1), 83-96.
Prabawa, I.M.A., & Supartha, I.W.G. (2018).
Meningkatkan produktivitas karyawan melalui
pemberdayaan, kerja sama tim dan pelatihan di
perusahaan jasa. Jurnal manajemen Unud, 7(1),
497-524.
Putri, E.N.R. & Karjono. (2017). Analisis kebutuhan
pelatihan pejabat structural berdasarkan training
needs assessment di RSUD dr. Soedarsono Kota
Pasuruan. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan
RS dr. Soetomo, 3(1), 47-57.
Qodir, A., Muljono, P., & Affandi, M.J. (2017).
Analisis kebutuhan pelatihan pustakawan berbasis
kompetensi inti di Institute Pertanian Bogor.
Jurnal Pustakawan Indonesia, 16(1), 28-35.
Sahanggamu, P.M. & Mandey, S.L. (2014). Pengaruh
pelatihan kerja, motivasi dan disipilin kerja
terhadap kinerja karyawan pada PT. Bank
Perkreditan Rakyat Dana Raya. Jurnal EMBA,
2(4), 514-523.
Sedarmayanti. 2011. Manajemen Sumber Daya
Manusia, Reformasi Birokrasi dan. Manajemen
Pegawai Negeri Sipil (cetakan kelima). Bandung:
PT Refika.
Sefriady, D.F. & Iskandar, D.A. (2018). Pengaruh
pelatihan dan disiplin kerja terhadap kinerja
pegawai di Biro Organisasi dan Kepegawaian
Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan.
Jurnal Elektronik REKAMAN, 2(1), 57-68.
Sutrisno, E. (2012). Menejemen sumber daya
manusia: edisi pertama. Jakarta: Prenadamedia
Group.
144
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG DAPAT MEMPENGARUHI DISIPLIN
KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN
Siti Nur Aini Hidayati
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, siti.17010664145@mhs.unesa.ac.id
Kintan Cahya Oktaviani
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, kintan.17010664163@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memiliki sumber daya manusia dan kinerja yang
bagus. Disiplin kerja merupakan salah satu aspek kinerja yang sangat penting dan harus dimiliki
karyawan sebuah perusahaan. Disiplin kerja adalah sikap menghormati, menghargai, mentaati dan
patuh terhadap peraturan yang ada baik yang tersirat maupun yang tersurat serta sanggup
menjalankan tugas dengan tepat dan bertanggung jawab. Dalam penerapannya, masih ada saja
organisasi atau perusahaan yang memiliki disiplin kerja yang rendah. Karyawan yang memiliki
kedisiplinan tinggi bisa mengemban dan melakukan pekerjaan dengan baik dan semaksimal
mungkin, sehingga tujuan perusahaan akan tercapai dengan optimal. Peneliti melakukan studi
tentang faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan perusahaan
dengan tujuan untuk mengetahui hal-hal yang dapat meningkatkan disiplin kerja karyawan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan dengan memanfaatkan bahanbahan pustaka seperti buku, jurnal, dan karya tulis ilmiah lainnya. Hasil penelitian yang didapatkan
adalah ada tujuh faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan antara lain: kepemimpinan,
pengawasan, penerapan absensi online, budaya organisasi, konsep diri dan efikasi diri, motivasi
kerja, dan kepuasan kerja.
Kata Kunci: disiplin kerja, faktor yang mempengaruhi
PENDAHULUAN
Seiring
perkembangan
jaman,
lingkungan
organisasipun turut berkembang terutama perusahaanperusahaan yang telah ataupun yang baru dibangun.
Tentunya perusahaan yang dinamis akan berusaha
mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
tersebut agar dapat tetap bersaing untuk mencapai
tujuan masing-masing. Perusahaan tentunya harus
memiliki sistem internal yang bagus terkait
pengoordinasian dan perencanaan strategi pemasaran
produk atau jasa. Hal yang tidak kalah penting adalah
bagaimana pengelolaan sumber daya manusia (SDM)
yang ada. Perusahaan yang baik dapat dilihat dari SDM
yang dimilikinya karena SDM tersebutlah yang
mencerminkan citra dari perusahaan.
SDM sebuah perusahaan merupakan faktor penting
atau faktor sentral. Bagaimanapun bentuk, tujuan dan
visi sebuah perusahan dibuat untuk kepentingan
manusia. Menurut (Susiawan & Muhid, 2015), SDM
merupakan aset paling penting sebuah organisasi baik
itu organisasi skala kecil atau besar karena SDM
merupakan sumber penggerak dan yang mengarahkan
organisasi tersebut serta mempertahankan dan
mengembangkan organiasai dalam berbagai tuntutan
masyarakat. Pentingnya SDM ini menuntut perusahaan
harus memiliki SDM yang berkualitas. Memiliki SDM
yang berkualitas merupakan investasi jangka panjang
yang menjamin bagi sebuah perusahaan dilihat dari
peran SDM itu sendiri yang menjaga keberlanjutan
organisasi atau perusahaan, kredibilitas dan
kepercayaan khalayak umum (Kalangi, 2015) . Oleh
sebab itu, tidak sembarangan dalam memilih atau
merekrut SDM atau karyawan pada sebuah perusahaan.
Perlu spesifikasi khusus mengenai kompetensi,
keterampilan, sikap, dan profesionalitas tergantung
dengan kebutuhan perusahaan itu sendiri yang nantinya
akan direncanakan dan dilaksanakan oleh bagian
manajemen sumber daya manusia (MSDM). Dengan
memiliki spesifikasi yang sesuai dengan perusahaan,
maka SDM atau karyawan dapat melaksanakan
kinerjanya dengan baik.
Kualitas SDM dapat dilihat dari bagaiman kinerja
yang dilakukan oleh SDM dan produktivitasnya.
Kinerja karyawan sendiri merupakan hasil kerja
karyawan baik itu secara kualitas maupun kuantitas
yang telah dicapai dalam menjalankan tugas-tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh
perusahaan (Tampi, 2014). Penjelasan lainnya adalah
kinerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh
sesorang atau kelompok dan memiliki hubungan erat
dengan kinerja perusahaan. Dengan kata lain, jika
kinerja karyawan baik maka berdampak baik pula pada
kinerja perusahaan (Setyawan, 2018). Aspek-aspek
dalam kinerja karyawan menurut Hasibuan
(Mangkunegara, 2006) adalah kesetiaan, hasil kerja,
145
Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan
Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani
kejujuran, kreativitas, kerja sama, kepemimpinan,
kepribadian, prakarsa, kecakapan dan tanggung jawab.
Aspek lain yang sangat penting adalah disiplin kerja.
Disiplin kerja adalah sikap menghormati,
menghargai, mentaati dan patuh terhadap peraturan
yang ada baik yang tersirat maupun yang tersurat serta
sanggup menjalankan tugas dengan tepat dan
bertanggung jawab (Simamora, 2011). Sedangkan
menurut Rivai (2011) disiplin kerja merupakan alat
para manajer untuk berkomuniasi dengan karyawan
agar bersedia dan mampu mengubah perilaku sebagai
upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan
dalam memenuhi semua peraturan perusahaan yang
berlaku. Jadi dapat dikatakan bahwa disiplin kerja
merupakan sikap kerja yang berupa kemauan atau
kesadara untuk mentaati, menghormati dan
melaksanakan semua peraturan yang berlaku di suatu
organisasi baik itu peraturan yang tertilis maupun tidak
tertulis.
Disiplin kerja merupakan salah satu prinsip
profesionalitas yang berpengaruh dalam peningkatan
kinerja. Dari disiplin kerja, rasa tanggung jawab akan
melekat saat pelaksanaan suatu tugas atau pekerjaan.
Seorang karyawan yang memiliki profesionalitas dalam
pekerjaan dapat mempertanggungjawabkan hasil
kerjanya dan akan melaksanakan sebaik mungkin untuk
mendapatkan kinerja yang maksimal. Jika disiplin kerja
tidak diberlakukan, maka karyawan merasa tidak
memiliki tanggung jawab atas hasil dan akibat yang
akan timbul sehingga kinerja akan rendah. Dengan
adanya disiplin kerja ini, karyawan akan semakin
termotivasi dan terdorong untuk mengerahkan semua
kemampuan
dan
keterampilannya
dalam
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang
diberikan oleh perusahaan serta meningkatkan
pelayanan terhadap masyarakat umum. Semakin tinggi
tingkat disiplin kerja seorang karyawan, maka semakin
tinggi pula kinerjanya bagi karyawan tersebut dan
perusahaan.
Pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan
sangat penting sehingga sudah wajib seorang karyawan
memiliki kedisiplinan kerja yang tinggi agar semua
tugas-tugas yang diberikan dapat berjalan dengan
lancar dan tidak menghambat pekerjaan rekan kerja
yang lain. Jika disiplin kerja karyawan tidak optimal
atau rendah dapat berdampak negatif bagi perusahaan.
Misalnya saja karyawan A terlambat kerja, sehingga
dalam penyelesaian tugasnya akan terburu-buru dan
pekerjaannya tidak maksimal. Contoh lainnya jika
karyawan B tidak masuk tanpa alasan, maka tugas yang
seharusnya dikerjakan menjadi tertunda atau bahkan
dialihkan kepada koleganya di divisi yang sama. Untuk
kelancaran produktivitas perusahaan perlu disiplin
kerja baik yang harus dimiliki tiap karyawan untuk
kemajuan perusahaan di era globalisasi dimana
semakin meningkatnya permintaan pasar.
Ada beberapa kondisi dimana dapat menyebabkan
ketidakdisiplinan karyawan. Menurut (Khanka, 2013)
kondisi terdapat pada aktivitas manajemen yang berupa
Kepemimpinan yang lemah, fleksibel dan tidak
kompeten; Pengawasan yang tidak baik dan tidak
berpengetahuan; kebijakan pembagian kekuasaan yang
merusak semangat tim atau tidak ada keadilan dalam
pembagian kekuasaan dalam tim; kondisi lingkungan
kerja yang buruk; diskriminasi berdasarkan status
sosial, jenis kelamin, ras, budaya, agama dan kasta;
koordinasi dan penetapan tanggung jawab yang salah;
komunikasi yang tidak efektif; dan terlambatnya
pemberian gaji serta menanganan keluhan karyawan.
Sehingga baiknya kondisi-kondisi tersebut dapat
dihindari agar karyawan dapat mempertahankan dan
meningkatkan disiplin kerjanya.
Keberhasilan penerapan disiplin kerja tidak sama
tiap perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari
beberapa penelitian yang dilakukan. Penelitian yang
dilkukan oleh (Lestari & Setiawan, 2015) yang
menganalisis penerapan disiplin kerja dan pengelolaan
lingkungan kerja guna meningkatkan kinerja guru di
SMP Terpadu Darur Roja’ Srengat ini mengungkapkan
bahwa penerapan disiplin kerja masih kurang. Banyak
guru yang tidak hadir dengan keterangan maupun tidak
dengan berbagai alasan seperti malas datang tepat
waktu, kendaraan mogok atau ban bocor.
Ketidakhadiran karena sakit yang seharusnya dengan
surat dari dokterpun tidak dilampirkan tetapi hanya
menghubungi pihak sekolah dengan pesan singkat atau
telepon saja. Penelitian yang lain dilakukan oleh
Sarwanto (2007) mengenai pengaruh disiplin kerja
terhadap kinerja karyawan di kantor Departemen
Agama kabupaten Karanganyar. Dalam penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa disiplin kerja
karyawan masih terbilang sedang atau cukup sehingga
perlu ditingkatkan lagi. Penelitian yang dilakukan oleh
Satriawan (2015) mengenai penerapan disiplin kerja di
bagian organisasi Sekretariat Daerah (SEKDA) Kota
Semarang. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa disiplin kerja pada bagian organisasi SEKDA
dalam hal absensi sudah baik dengan metode absensi
manuak saat masuk kantor dan keluar kantor diwaktu
pulang. Namun masih ada kendala dalam pelaksanaan
disiplin kerja seperti budaya ewuh perkewuh tinggi dan
pengetahuan cara memeriksa kegiatan kerja. Dari
beberapa penelitian masih ada organisasi yang
146
Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan
Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani
memiliki disiplin kerja yang rendah pada karyawannya
atau masih ada kendala terkait disiplin kerja.
Dari uraian yang telah dipaparkan, sangat penting
adanya disiplin kerja yang dimiliki oleh karyawan
dalam sebuah perusahaan. Untung meningkatkan
disiplin kerja tersebut, perlu untuk mengetahui apa saja
faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan
yang menjadi aspek penting kinerja karyawan dan
dapat berdampak pada kinerja perusahaan. Manfaat
lainnya jika mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi disiplin kerja adalah menghindari halhal yang dapat menurunkan disiplin kerja karyawan.
Oleh karena itu, peneliti melakukan studi mengenai
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi disiplin
kerja karyawan.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian studi literatur
dengan metode penelitian yaitu studi kepustakaan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
pemanfaatan bahan pustaka dengan mengkaji dari
berbagi sumber buku, jurnal dan karya tulis lainnya
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin
kerja karyawan. Metode penelitian kepustakaan
merupakan serangkaian kegiatan yang bekenaan
dengan pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat bahan penelitian (Zed, 2008).
PEMBAHASAN
Disiplin kerja merupakan sikap patuh dan hormat yang
ada dalam diri karyawan terhadap ketetapan dan
peraturan perusahaan atau organisasi, sehingga
karyawan dapat menyesuaikan diri terhadap peraturan
perusahaan secara suka rela (Sutrisno, 2009).
Sedangkan menurut Mohtar (2019), disiplin kerja
merupakan suatu sikap taat pada diri karyawan
terhadap segala kententuan yang belaku dalam
perusahaan atau organisasi atas dasar kesadaran dan
bukan suatu paksaan. Peraturan perusahaan dalam ini
bukan hanya yang tertulis, tetapi juga peraturan yang
tidak tertulis seperi budaya atau kebiasaan yang dianut
dalam suatu perusahaan. Dimana pelanggaran atau
ketidaktaatan karyawan terhadap peraturan ini akan ada
sanksi yang berlaku. Disiplin kerja mempunyai manfaat
besar bagi karyawan maupun kepentingan organisasi.
Bagi perusahaan, dengan adanya disiplin kerja, tata
tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas akan
terpelihara dengan baik sehingga bisa mencapi hasil
yang optimal. Bagi karyawan, disiplin kerja
menciptakan suasana kerja yang menyenangkan
sehingga akan menambah semangat dalam
mengerjakan pekerjaannya. Dengan adanya disiplin,
karyawan dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik
mungkin serta dengan penuh kesadaran demi
terwujudnya tujuan perusahaan (Sutrisno, 2009).
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan,
diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhi disiplin
kerja karyawan, antara lain sebagai berikut:
1. Kepemimpinan.
Penelitian
Liyas
(2017),
menyatakan kepemimpinan memberikan pengaruh
positif terhadap disiplin kerja karyawan, dimana
kepemimpinan dapat mempengaruhi individu
dibawahnya untuk bekerja sesuai tujuan yang ingin
dicapai perusahaan.
2. Pengawasan. Berdasarkan penelitian Sigar,
Sambul, and Asaloei (2018), pengawasan
merupakan salah satu faktor penting terhadap
disiplin kerja karyawan. Pengawasan yang
dilakukan meliputi menentukan ukuran kerja
(target dan waktu), penilaian, dan korektif.
3. Penerapan absensi online. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Safudin (2018), absensi online
berpengaruh pada peningkatan disiplin kerja
karyawan. Sistem aplikasi absensi online
memudahkan
pimpinan
untuk
memantau
kedisiplinan karyawan, karena sistem ini
mengahasilkan data yang akurat dan realtime.
4. Budaya organisasi. Penelitian Pribadi and Herlena
(2016) menunjukkan nilai-nilai budaya organisasi
berperan terhadap terbentuknya disiplin kerja
karyawan. Sikap disiplin kerja merupakan bentuk
kebiasaan dari nilai-nilai budaya dalam organisasi,
dimana nilai-nilai budaya organisasi akan
mengarahkan karyawan pada perilaku dan sikap
disiplin.
5. Konsep diri dan efikasi diri. Konsep diri dan efikasi
diri yang tinggi dapat berpengaruh pada
peningkatan disiplin kerja yang tinggi pada
karyawan. Konsep diri berperan sebagai
pandangan individu mengenai dirinya sendiri dan
didukung oleh efikasi diri yang membuat individu
menjadi lebih gigih ketika menghadapi tantangan
dan berguna untuk mengurangi perilaku terlambat
serta untuk meningkatkan perilaku disiplin kerja
(Siregar, 2016).
6. Motivasi kerja. Menurut Fauzan (2017), motivasi
kerja merupakan sebuah aktualisasi seorang
karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.
Motivasi menjadi pendorong karyawan untuk
melakukan tindakan uang menguntungkan bagi
perusahaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
motivasi kerja mempunyai pengaruh positif
terhadap disiplin kerja.
147
Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan
Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani
7. Kepuasan Kerja. Penelitian Manik (2017)
menujukkan adanya pengaruh positif kepuasan
kerja terhadap disiplin kerja. Manik (2017)
mengatakan peningkatan disiplin kerja karyawan
bisa dilakukan dengan cara meningkatkan
kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja bisa
dilakukan dengan pemberian tunjangan kepada
karyawan.
PENUTUP
Simpulan
Disiplin kerja merupakan sikap hormat dan patuh yang
ada dalam diri karyawan terhadap aturan atau standar
yang ditetapkan perusahaan, baik itu tertulis maupun
tidak tertulis. Disiplin kerja merupakan salah satu
prinsip yang sangat berpengaruh pada kinerja
karyawan. Karyawan yang memiliki kedisiplinan tinggi
bisa mengemban dan melakukan pekerjaan dengan baik
dan semaksimal mungkin, sehingga tujuan perusahaan
akan tercapai dengan optimal. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan adalah
kepemimpinan, pengawasan, penerapan absensi online,
budaya organisasi, konsep diri dan efikasi diri, motivasi
kerja, dan kepuasan kerja.
Saran
Sari penelitian ini telah diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi didiplin kerja karyawan. Pada
penelitian selanjutnya, dapat diteliti mengenai variabelvariabel yang menarik untuk dikaitkan dengan disiplin
karya karyawan untuk perkembangan ilmu
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzan, M. (2017). Pengaruh kepemimpinan dan
motivasi kerja terhadap disiplin kerja pegawai
(sebuah kajian ekonomi sumber daya manusia studi
kasus pada PT. Bank Muamalat Indonesia cabang
Pematangsiantar). Jurnal Ekonomi & Studi
Pembangunan,
18(1),
34-40.
doi:10.18196/jesp.18.1.3781
Kalangi, R. (2015). Pengembangan sumber saya
manusia dan kinerja aparat sipil negara di
kabupaten kepulauan sangihe provinsi sulawesi
utara. Jurnal LPPM bidang ekososbudkum, 2(1), 118.
Retrieved
from
https://media.neliti.com/media/publications/10852
2-ID-pengembangan-sumber-daya-manusia-dankin.pdf.
Khanka, S. S. (2013). Human resource management
(text and cases). New Delhi: S. Chand & Company
Ltd.
Lestari, T. P., & Setiawan, R. I. (2015). Analisa
penerapan disiplin kerja dan pengelolaan
lingkungan kerja guna meningkatkan kinerja guru
di SMP Terpadu Darur Roja’ Srengat Riset
mahasiswa ekonimi (RITMIK), 2(3). Retrieved
from
http://journal.stieken.ac.id/index.php/ritmik/article
/view/249.
Liyas, J. N. (2017). Pengaruh kepemimpinan terhadap
disiplin kerja karyawan pada PT. Bank Syariah
Mandiri Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 2(2),
121-129.
doi:http://dx.doi.org/10.15548/jebi.v2i2.98
Mangkunegara, P. (2006). Manajemen sumber daya
manusia perusahaan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Manik, S. (2017). Pengaruh kepuasan kerja terhadap
disiplin kerja pegawai kantor camat Pendalian IV
Koto kabupaten Rokan Hulu. International Journal
of Social Science & Business, 1(4), 257-264.
doi:http://dx.doi.org/10.23887/ijssb.v1i4.12526
Mohtar, I. (2019). Hubungan Antara Motivasi Kerja
Dan Pengalaman Kerja Dengan Kinerja Guru
Madrasah. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.
Pribadi, M. L., & Herlena, B. (2016). Peran budaya
organisasi terhadap disiplin kerja karyawan
direktorat produksi PT Krakatau Steel (Persero)
Tbk Cilegon. Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(2), 225234. doi:10.15575/psy.v3i2.1112
Rivai, V. (2011). Manajemen sumber daya manusia
untuk perusahaan : dari teori ke praktik. Jakarta:
Raja Garfindo Persada.
Safudin, M. (2018). Pengaruh penerapan absensi
online terhadap disiplin karyawan pada purple
express laundry Jakarta. Jurnal Kajian Ilmiah,
18(2), 104-109. doi:10.31599/jki.v18i2.189
Sarwanto, J. (2007). Pengaruh disiplin kerja terhadap
kinerja karyawan di kantor departemen agama
kabupaten karanganyar. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Satriawan, A. (2015). Penerapan disiplin kerja di
bagian organisasi sekretariat daerah (SEKDA)
kota semarang. Universitas Negeri Semarang,
Semarang.
Setyawan, A. (2018). Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja karyawan (studi kasus pada
tiga perusahaan fabrikasi lepas pantai di Batan dan
Karimun). Journal of accounting dan management
innovation, 2(1), 67-89. Retrieved from
https://ejournal.medan.uph.edu/index.php/jam/arti
cle/view/175.
Sigar, J. A. B., Sambul, S. A. P., & Asaloei, S. (2018).
Pengaruh pengawasan terhadap disiplin kerja
karyawan pada Hotel Sintesa Peninsula Manado.
148
Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang dapat Mempengaruhi Disiplin Kerja Karyawan Perusahaan
Siti Nur Aini Hidayati, Kintan Cahya Oktaviani
Jurnal Administrasi Bisnis, 6(3), 52-60.
doi:https://doi.org/10.35797/jab.6.003.2018.20286
.%25p
Simamora, H. (2011). Manajemen sumber daya
manusia. Yogyakarta: STIE YKPN.
Siregar, R. J. E. (2016). Pengaruh konsep-diri dan
efikasi-diri terhadap disiplin kerja karyawan
bagian pemasaran PT. Pertamina (Persero) UPMS
V Surabaya. sosio e-kons, 8(3), 234-250.
doi:http://dx.doi.org/10.30998/sosioekons.v8i3.11
69
Susiawan, S., & Muhid, A. (2015). Kepemimpinan
transformasional, kepuasan kerja dan komitmen
organisasi. Persona, jurnal psikologi indonesia,
4(3),
304-313.
doi:https://doi.org/10.30996/persona.v4i03.725
Sutrisno, E. (2009). Manajemen Sumber Daya
Manusia (1 ed.). Jakarta: Kencana.
Tampi, B. J. (2014). Pengaruh gaya kepemimpinan dan
motivasi terhadap kinerja karyawan pada PT
Bangk Negara Indonesa, tbk (regional sales
Manado). Journal acta diurna, 3(4), 1-20.
Retrieved
from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurnak
omunikasi/article/view/6228.
Zed, M. (2008). Metode penelitian kepustakaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
149
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI MAHASISWA ILMU HUKUM
PADA ERA MERDEKA BELAJAR
Muh Ali Masnun
Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya, alimasnun@unesa.ac.id
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan pengembangan kompetensi
mahasiswa hukum pada era merdeka belajar. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif
kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan (studi literatur). Berdasarkan pembahasan bahwa
perubahan dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan tidak terkecuali perubahan dalam
bidang pendidikan tinggi hukum sebagai bentuk tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kebutuhan pengguna. Kebijakan merdeka belajar kampus merdeka pada perguruan tinggi
hukum sebagai hal yang baru memiliki peluang sekaligus tantangan yang perlu dipersiapkan.
Peluang tersebut antara lain dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa, khususnya pada aspek
keterampilan dan kemahiran hukum. Magang sebagai bentuk pengejawantahan model triple helix
maka peluang kolaborasi, sinergi, sekaligus kerjasama. Adapun tantangan kebijakan penerapan
merdeka belajar dan kampus merdeka berupa penyiapan kurikulum yang sesuai dengan merdeka
belajar serta kesiapan sumber daya manusia. Kebijakan penerapan Merdeka Belajar Kampus
Merdeka perlu disikapi dengan positif. Atas peluang dan tantangan kampus merdeka merdeka
belajar, maka Perguruan tinggi hukum perlu menyiapkan beberapa hal: pertama perlu menyiapkan
pedoman teknis kurikulum merdeka belajar berikut dengan sumber daya manusia secara optimal
yang akhirnya kompetensi mahasiswa ilmu hukum dan berkembang.
Kata Kunci: Peluang dan Tantangan, Pendidikan Hukum, Merdeka Belajar
PENDAHULUAN
Pendidikan tinggi hukum yang notabene lazim dikenal
dengan fakultas hukum memiliki jumlah yang relatif
banyak, yang mana hingga tahun 2015 telah memiliki
jumlah 330 yang terdiri dari 306 fakultas dan 24
sekolah tinggi (Chandranegara, 2019:150). Jumlah
yang relatif banyak tersebut salah satunya dilatar
belakangi karena perguruan tinggi hukum merupakan
salah satu program studi yang cukup banyak diminati
oleh calon mahasiswa di Indonesia. Hal tersebut tidak
terlepas karena lulusan dari perguruan tinggi hukum
memiliki peluang kerja yang relatif cukup luas, dan
terbuka baik di kantor pemerintahan (pusat maupun
daerah), perusahaan (swasta maupun BUMN), maupun
bekerja mandiri secara profesional. Secara umum,
bahwa profil lulusan mahasiswa fakultas hukum dapat
menjadi praktisi di bidang hukum antara lain hakim,
jaksa, advokat, panitera, mediator, legal drafter, legal
officer maupun bagian personalia di perusahaan,
akademisi, peneliti, serta tidak menutup kemungkinan
profesi lain.
Terbukanya peluang bagi lulusan perguruan tinggi
hukum tersebut masih memiliki memiliki beberapa
catatan dari para pemerhati hukum. Antara lain bahwa
lulusan perguruan tinggi hukum dianggap masih belum
memiliki daya saing dengan para lulusan perguruan
tinggi hukum dari negara lain, paling tidak ditingkat
regional (Juwana, 2005:8). Hal tersebut menurut
Hikmahanto disebabkan oleh lima hal, yaitu belum
adanya pembedaan yang tegas antara pendidikan
hukum akademis dan profesi, kurang diperhatikannya
infrastruktur pendukung, kelemahan pada sistem kredit
semester, dan kuatnya intervensi pembuat kurikulum.
Tidak hanya sampai disitu, Dekan Fakultas Hukum
UGM Paripurna P. Sugarda menambahkan bahwa
“Keprihatinan kita selama ini, produk lulusan dari
pendidikan Fakultas Hukum di Indonesia lebih kuat
dalam hal teori. Keterampilan teknis di bidang hukum
masih jauh dari yang diharapkan” (Gusti, 2013). Hal
lain juga diungkapkan pula Rizky Yudha bahwa lulusan
fakultas hukum masih belum dapat dikatakan siap di
dunia kerja, hal ini disebabkan mata kuliah hanya
mempelajari materi secara umum “kulitnya” saja oleh
karena itu lulusan fakultas hukum yang ingin bekerja
langsung setelah lulus studinya perlu belajar kembali
(Bramantyo, 2018:140).
Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut,
kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Merdeka Belajar Kampus Merdeka menurut pandangan
penulis sangat relevan untuk mengurai permasalahan
pendidikan hukum di Indonesia. Merdeka belajar pada
dasarnya adalah upaya untuk memberikan pemahaman
pada segenap pengambil dan pelaksana kebijakan
pendidikan bahwa nilai atau hasil belajar tidak menjadi
penentu kompetensi seseorang, peringkat akreditasi
tidak menjadi tolok ukur kemampuan sebuah lembaga
pendidikan dalam mencetak luaran yang berkualitas
(Houtman, 2020).
150
Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar
Muh Ali Masnun
Paket kebijakan merdeka belajar kampus merdeka
salah satunya program studi wajib memberikan
kesempatan (hak) belajar mahasiswa di luar program
studi selama 3 semester. Skema tersebut berupa 1
semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar
program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas
pembelajaran di luar perguruan tinggi. Kesempatan
mahasiswa untuk melakukan aktivitas kegiatan
pembelajaran di luar perguruan tinggi sangat terbuka,
antara lain mahasiswa dapat melakukan magang/
praktik kerja di Industri atau tempat kerja lainnya,
melaksanakan proyek pengabdian kepada masyarakat
di desa, mengajar di satuan pendidikan, mengikuti
pertukaran mahasiswa, melakukan penelitian,
melakukan kegiatan kewirausahaan, membuat
studi/proyek independen, dan mengikuti program
kemanusisaan. Kesempatan yang diberikan tersebut
agar supaya mahasiswa dapat meningkatkan
kompetensinya secara holistik, siap dengan dunia kerja,
atau bahkan dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Relevansi antara permasalahan pendidikan hukum
dengan kebijakan merdeka belajar kampus merdeka
tersebut adalah dengan kesempatan (hak) mahasiswa
untuk dapat magang ke kantor firma hukum, kejaksaan,
pengadilan, kantor pemerintahan (pusat maupun
daerah), perusahaan (swasta maupun BUMN), yang
akhirnya memiliki kompetensi lulusan yang lengkap
(soft skills maupun hard skills), lebih siap dan relevan
dengan kebutuhan para pengguna. Magang sebagai
bentuk perimbangan antara teori dan praktek, karena
sepengetahuan penulis bahwa kurikulum perguruan
tinggi hukum yang apabila dipersentase maka hampir
95% (sembilan puluh lima) masih sebatas materi, teori,
konsep, dalam perkuliahan. Magang belum diberikan
hak secara tegas sebagaimana kebijakan merdeka
belajar kampus merdeka, sehingga bagi mahasiswa
yang memiliki kesadaran diri untuk meningkatkan
kompetensinya akan magang secara sukarela meski
belum ada mekanisme, standar, monitoring atas
pelaksanaan tersebut, sehingga belum dapat
disetarakan dengan bobot sks sebagaimana pada
merdeka belajar. Kebijakan penerapan merdeka belajar
kampus merdeka pada perguruan tinggi khususnya
pada perguruan tinggi merupakan sebuah peluang
sekaligus tantangan bagi pengelola untuk dapat
mengoptimalkan atas penerapan kebijakan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan
mengelaborasi peluang sekaligus tantangan untuk
pengembangan kompetensi mahasiswa ilmu hukum
sehingga dapat mengetahui, memahami, menguasai
dan menganalisis isu-isu hukum yang terus-menerus
berkembang seiring dinamika manusia.
METODE
Artikel ini merupakan penelitian dengan menggunakan
penelitian deskriptif kualitatif yang disusun
berdasarkan pengalaman selama menempuh studi dan
pengalaman empiris penulis menjadi bagian tim
penyusun kurikulum program studi ilmu hukum. Studi
ini menggunakan data sekunder dengan menggunakan
studi literatur (kepustakaan) berupa buku, jurnal,
peraturan perundang-undangan, maupun hasil
penelitian.
PEMBAHASAN
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Satu
kalimat yang tampaknya memang sangat relevan dalam
kehidupan manusia yang terus dinamis berubah.
Perubahan tersebut menuntut manusia untuk dapat
selalu beradaptasi menyesuaikan agar terus dapat
bertahan. Tidak terkecuali dengan perubahan dalam
dunia pendidikan tinggi, yang pada awal tahun 2020
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah
mengeluarkan kebijakan baru berupa merdeka belajar
kampus merdeka yang hingga saat ini terus menjadi
topik bahan diskusi baik di kalangan akademisi maupun
pemerhati pendidikan.
Penerapan kebijakan tersebut di latar belakangi oleh
berbagai perubahan, baik sosial, budaya, dunia kerja
(pengguna) dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat
relevan bila perguruan tinggi menerapkan merdeka
belajar kampus merdeka agar kompetensi mahasiswa
selaras dengan kebutuhan zaman sehingga tercipta
kultur belajar yang partisipatif, inovatif, emansipatoris,
tidak mengekang, serta sesuai dengan kebutuhan
mahasiswa. Paket kebijakan merdeka belajar kampus
merdeka terdiri dari kemudahan pembukaan program
studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan
tinggi, kemudahan perguruan tinggi negeri menjadi
PTN berbadan hukum, dan hak belajar tiga semester di
luar program studi (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2020).
Artikel dalam tulisan ini mengkhususkan terkait
hak belajar mahasiswa tiga semester, mengacu
Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi yang menyebutkan bahwa
Perguruan Tinggi wajib memfasilitasi hak bagi
mahasiswa (bersifat opsional yang artinya mahasiswa
dapat mengambil ataupun tidak) untuk melaksanakan
pembelajaran di luar perguruan tinggi paling lama 2
semester (setara dengan 40 SKS) atau untuk
melaksanakan pembelajaran program studi yang
berbeda di perguruan tinggi yang sama sebanyak 1
semester (setara dengan 20 SKS). Bahwa hak
151
Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar
Muh Ali Masnun
mahasiswa untuk dapat belajar selama 2 semester dapat
dilakukan dengan beberapa pihak terkait sebagaimana
ilustrasi dalam gambar 1
Gambar 1
Kegiatan Pembelajaran di Luar Perguruan Tinggi
(Sumber: Buku Panduan Merdeka Belajar Kampus
Merdeka 2020)
Hak untuk melaksanakan pembelajaran di luar
perguruan tinggi menjadi hal yang sangat potensial
untuk dikembangkan untuk meningkatkan kompentensi
dan pengalaman mahasiswa dengan dunia kerja
langsung. Terlebih dengan perguruan tinggi hukum
yang pada dasarnya mahasiswa tidak hanya dibekali
dengan doktrin, teori-teori, konsep, asas-asas saja
melainkan juga perlu dibekali dengan kemampuan
keterampilan dan kemahiran hukum yang saat ini masih
sangat minim mereka dapatkan dalam bangku kuliah.
Hal tersebut sangat beralasan karena sampai saat ini
kurikulum di perguruan tinggi hukum didominasi
dengan mata kuliah yang sifatnya lebih teoritis. Bahwa
penyusunan kurikulum tidak terlepas dari arah tujuan
pendidikan hukum yang belum menentukan apakah
pendidikan hukum akademis atau pendidikan profesi
(layaknya S-1 Kedokteran, untuk dapat menjadi dokter
dan praktek harus menempuh profesi terlebih dahulu).
Menurut Hikmahanto bahwa sejak awal
diperkenalkannya pendidikan hukum di Indonesia dua
jenis pendidikan hukum yang berbeda ini disatukan
(Juwana, 2003).
Konsekuensi atas hal tersebut
kurikulum disusun bagaimana mahasiswa mampu
menguasai baik dari sisi akademis maupun profesi.
Akademis artinya lulusan fakultas hukum mampu
menguasai berbagai doktrin, teori, konsep, asas-asas
dalam ilmu hukum, sementara profesi lebih diarahkan
lulusan hukum dapat menyesuaikan dengan kebutuhan
pengguna yang mana mahasiswa dituntut untuk
memiliki keterampilan hukum misalnya menyusun
surat kuasa, legal opinion, kontrak, analisis kasus, legal
drafter dan keterampilan hukum lain yang dituntut oleh
dunia profesi.
Pada dasarnya penyatuan kedua hal tersebut relatif
cukup sulit untuk dapat dijalankan secara optimal,
utamanya terkait dengan masalah masa studi yang
dibatasi. Sulit bukan berarti tidak bisa, karena
penyatuan tujuan pendidikan tinggi hukum telah
menjadi semacam konsensus (meski ada beberapa ahli
hukum yang kurang setuju) perlu disikapi dengan bijak.
Kebijakan merdeka belajar kampus merdeka menurut
pandangan penulis sudah cukup tepat untuk menyikapi
penyatuan tujuan akademis dan profesi tersebut.
Merdeka belajar yang memberikan hak kepada
mahasiswa untuk belajar di luar perguruan tinggi
maksimal dua semester menjadi peluang sekaligus
tantangan untuk dapat mewujudkan tujuan profesi.
Sebagai kebijakan yang baru, maka perguruan tinggi
hukum perlu benar-benar menyiapkan secara matang
terkait hal tersebut. Sebagaimana diungkapkan bahwa
tujuan pendidikan hukum tidak dapat dilepaskan dari
keinginan pemerintah dan situasi kondisi negara
(Anwar, 2011).
Peluang tersebut tiada lain dan tiada bukan untuk
meningkatkan kompetensi mahasiswa, khususnya pada
aspek keterampilan dan kemahiran hukum. Mahasiswa
yang diberikan hak secara penuh, sejak awal sudah
dapat merencanakan sekaligus menentukan bidang
yang mereka minati, berdasarkan peminatan tersebut
mereka dapat memilih untuk belajar di luar perguran
tinggi dalam hal ini magang (praktek kerja). Hal
tersebut sangat relevan dengan pepatah terkenal
“practice makes perfect” dan “experience is the best
teacher”. Mahasiswa yang memilih untuk mengambil
magang akan praktek langsung, berdasarkan teori-teori
yang mereka dapatkan di kelas, dengan demikian teoriteori yang mereka dapatkan benar-benar dapat
dipraktekkan. Berdasarkan dari pengalaman tersebutlah
mahasiswa ilmu hukum dapat menjadi bekal bila
mereka telah menyelesaikan studinya. Secara tidak
langsung, perguruan tinggi hukum sebagai produsen
sarjana hukum dapat menghasilkan lulusan
sebagaimana diinginkan oleh pengguna.
Penerapan magang bagi mahasiswa hukum menurut
pandangan penulis sebagai bentuk pengejawantahan
dari konsep triple helix, yang mana konsep tersebut
menggambarkan adanya kolaborasi dan sinergi antara
Academia,
Business,
Government.
Academia
merupakan sivitas akademika yang terdiri dari dosen
dan mahasiswa yang merupakan “pemain inti” dari
konsep triple helix ini. Bahwa perguruan tinggi hukum
dengan tri dharma perguruan tingginya dapat
152
Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar
Muh Ali Masnun
berkolaborasi salah satunya melalui magang yang
dilakukan oleh mahasiswa dengan bimbingan dari
dosen. Business dalam konteks hukum dapat dimaknai
firma hukum, advokat, konsultan di bidang hukum
yang akan menjadi mitra tempat magang mahasiswa
yang mana mereka akan menjadi supervisor untuk
menyempurnakan kompetensi yang mereka miliki
dengan praktek langsung. Government dalam hal ini
adalah pemerintah yang memiliki peran ganda. Pertama
pemerintah sebagai regulator yang telah menerapkan
kebijakan merdeka belajar kampus merdeka dengan
segala peraturan pelaksananya. Kedua pemerintah juga
dapat berperan sebagai mitra tempat magang
mahasiswa, dalam hal ini mahasiswa hukum dapat
magang atau praktek kerja di lembaga negara,
kejaksaan, pengadilan, ataupun kantor pemerintahan
(pusat maupun daerah). Kolaborasi dan sinergi juga
sangat terbuka peluang juga di bidang riset dan
publikasi secara kontinyu. Isu alih teknologi yang sejak
lama diwacanakan sangat terbuka untuk dapat
terealisasi.
Magang sebagai salah satu bentuk kolaborasi dan
sinergi satu dengan yang lainnya sehingga misi dari
masing-masing dapat berjalan beriringan, saling
memenuhi, saling melengkapi dan saling kerjasama.
Konsekuensi atas hal tersebut, maka perguruan tinggi
hukum sangat terbuka untuk memperluas jejaring
kerjasama (tridharma perguruan tinggi). Jejaring kerja
sama ini juga berpeluang dapat meningkatkan penilaian
pada proses akreditaasi baik di tingkat program studi
atau pun perguruan tinggi.
Kebijakan Penerapan Merdeka Belajar Kampus
Merdeka tidak hanya memiliki peluang baik yang bisa
dioptimalkan oleh sivitas akademika, melainkan
tantangan bagi yang patut untuk disikapi. Salah satu
tantangan tersebut bahwa perguruan tinggi hukum
perlu menyiapkan kurikulum untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Harmonisasi kurikulum eksisting
dengan merdeka belajar merupakan sebuah
keniscayaan. Selama ini perguruan tinggi hukum yang
hanya menyiapkan satu kurikulum, maka untuk
selanjutnya perlu menyiapkan dua model kurikulum.
Pertama adalah kurikulum murni hukum, yang mana
kurikulum tersebut dirancang untuk mahasiswa yang
tidak mengambil merdeka belajar (hanya mengambil
proses perkuliahan/pembelajaran dalam program studi
saja). Kedua, adalah model kurikulum sebagai
mengakomodir merdeka belajar dengan penambahan
komposisi hak mahasiswa untuk dapat belajar di luar
program studi. Hal yang patut diperhatikan adalah
pelaksanaan magang disetarakan dengan bobot 40 SKS,
maka konsekuensinya akan ada pengurangan beberapa
mata kuliah.
Teknis dalam hal pelaksanaan magang maka
perguruan tinggi hukum perlu menyiapkan sumber
daya manusia sivitas akademika secara baik khususnya
dosen. Hal ini sangat beralasan, dengan rekam jejak
dosen di bidang tridharma yang linier dan kontinyu
menjadi salah satu pertimbangan mitra magang. Mitra
tempat magang mahasiswa akan semakin tertarik
apabila sumber daya manusia yang dimiliki perguruan
tinggi memiliki kompetensi yang baik, apalagi dosen
akan dijadikan sebagai pembimbing pelaksanaan
magang dengan supervisor langsung dari tempat
magang yang masing-masing akan melakukan
asesmen/penilaian (meskipun sampai sejauh ini juga
masih menjadi perdebatan terkait tolok ukur penilaian
dan keberhasilan magang).
Tantangan lain yang perlu menjadi perhatian adalah
merubah pola pikir (mindset) sivitas akademika yang
selama ini sudah “nyaman” dengan model
pembelajaran yang selama ini dilakukan. Terkadang
relatif masih banyak muncul resistensi karena sebuah
hal yang baru, oleh karenanya sivitas akademika perlu
memandang merdeka belajar sebagai kesempatan emas
untuk melakukan berbagai akselerasi, terobosan,
inovasi di bidang tridharma perguruan tinggi.
Secara umum, bahwa merdeka belajar kampus
merdeka dalam bentuk hak mahasiswa untuk dapat
belajar di luar program studi melalui program magang
bagi mahasiswa hukum perlu disambut dengan tangan
terbuka. Peluang tersebut antara lain dapat
meningkatkan kompetensi mahasiswa, khususnya pada
aspek keterampilan dan kemahiran hukum. Magang
sebagai bentuk pengejawantahan model triple helix
maka peluang kolaborasi, sinergi, sekaligus kerjasama.
Adapun tantangan kebijakan penerapan merdeka
belajar dan kampus merdeka berupa penyiapan
kurikulum yang sesuai dengan merdeka belajar serta
kesiapan sumber daya manusia.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, bahwa perubahan
dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan tidak
terkecuali perubahan dalam bidang pendidikan tinggi
sebagai bentuk tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta kebutuhan pengguna. Kebijakan
merdeka belajar kampus merdeka pada perguruan
tinggi hukum sebagai hal yang baru memiliki peluang
sekaligus tantangan yang perlu dipersiapkan. Peluang
tersebut antara lain dapat meningkatkan kompetensi
mahasiswa, khususnya pada aspek keterampilan dan
153
Peluang dan Tantangan Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Ilmu Hukum pada Era Merdeka Belajar
Muh Ali Masnun
kemahiran hukum. Magang sebagai bentuk
pengejawantahan model triple helix maka peluang
kolaborasi, sinergi, sekaligus kerjasama. Adapun
tantangan kebijakan penerapan merdeka belajar dan
kampus merdeka berupa penyiapan kurikulum yang
sesuai dengan merdeka belajar serta kesiapan sumber
daya manusia.
Saran
Kebijakan penerapan Merdeka Belajar Kampus
Merdeka perlu disikapi dengan positif. Atas peluang
dan tantangan kampus merdeka merdeka belajar, maka
Perguruan tinggi hukum perlu menyiapkan beberapa
hal: pertama perlu menyiapkan pedoman teknis
kurikulum merdeka belajar berikut dengan sumber
daya manusia secara optimal yang akhirnya kompetensi
mahasiswa ilmu hukum dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, K. (2011). Pendidikan Hukum Di Era Transisi
Dalam Negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 40(2), 236–243.
Bramantyo, R. Y. (2018). Strategi Mewujudkan
Lulusan Fakultas Hukum Berkompetensi Spesifik
(Pendidikan Hukum Indonesia Dalam Tantangan
Era Revolusi Industri 4.0). Jurnal Transparansi
Hukum, 1(2), 140–151.
Chandranegara, I. S. (2019). Reorientasi Pendidikan
Hukum Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0.
150–182.
Gusti. (2013). Pendidikan Hukum di Indonesia Minim
Praktik Keterampilan Hukum. Retrieved from
Universitas
Gadjah
Mada
website:
https://ugm.ac.id/id/berita/8514-pendidikanhukum-di-indonesia-minim-praktik-keterampilanhukum
Houtman. (2020). Merdeka Belajar Dalam Masyarakat
5.0. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas PGRI
Palembang, (10 Januari), 39–46.
Juwana, H. (2003). Memikirkan Kembali Sislem
Pendidikan Hukum di Indonesia, Edisi Khusus.
Jentera.
Juwana, H. (2005). Reformasi Pendidikan Hukum di
Indonesia. Jurnal Hukum Dan Pembangunan,
Tahun
Ke-3(1),
1–26.
Retrieved
from
http://www.jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/vie
wFile/1458/1373
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020).
Buku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka
2020. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
154
STUDI LITERATUR: ANALISIS PERAN KEPEMIMPINAN DALAM MENINGKATKAN KINERJA
PEGAWAI SEBAGAI BENTUK KESUKSESAN BAGI PERUSAHAAN
Firsta Hernie Kartika Prameswari
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, firsta.17010664055@mhs.unesa.ac.id
Nurul Savira Fauziah
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, nurul.17010664060@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Dalam mencapai tujuan organisasi diperlukan pemimpin yang memiliki sikap dan perilaku yang
bertanggung jawab serta memiliki kemampuan yang baik. Menjadi seorang pemimpin tentu saja
memiliki peran dan tanggung jawab untuk memandu dan meyakinkan bawahannya untuk mancapai
sebuah kesuksesan dari tujuan sebuah organisasi. Jika tujuan organisasi tersebut dapat dicapai, maka
hal tersebut mampu meningkatkan kinerja karyawan. Pola tingkah laku dari seorang pemimpin yang
mempengaruhi bawahannya disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan sendiri antara
lain: gaya kepemimpinan otokratis, militeristis, paternalistis, kharismatis, dan demokratis. Tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui peran kepemimpinan yang diterapkan sehingga
mampu meningkatkan kinerja pegawai. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi
literatur. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, menunjukkan hasil bahwa tipe gaya
kepemimpinan demokratis sering digunakan pada beberapa perusahaan atau organisasi karena tipe
gaya kepmimpinan demokratis dinilai menjadi tipe yang efektif dalam meningkatkan kinerja
karyawan.
Kata Kunci: peran kepemimpinan, kinerja pegawai, gaya kepemimpinan.
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial manusia akan selalu
berhubungan dan membutuhkan bantuan dari orang
lain untuk memeuhi hubungan sosialnya. Setiap
inidvidu memiliki karakter dalam dirinya yang mana
karakter ini menunjukkan bagaimana kepribadian dan
watak dari individu tersebut. Karena pada dasarnya
manusia merupakan makhluk sosial dan akan selalu
membutuhkan bantuan dari orang lain, maka mereka
akan membuat suatu kelompok. Dari kelompok inilah,
nantinya mereka akan mengembangkan kelompok
tersebut menjadi suatu organisasi. Dalam organisasi,
manusia menjadi elemenn yang sangat penting untuk
membantu mencapai tujuan dari organisasi tersebut.
Seperti yang telah disebutkan, bahwa keberhasilan
suatu perusahaan atau organisasi tidak terlepas dari
peran sumber daya manusia yang ada. Jika suatu
perusahaan beroperasi tanpa didukung dengan peran
sumber daya manusia yang memadai, tentu bisa saja
mengurangi kualitas dari perusahaan tersebut meskipun
sumber daya lainnya telah terpenuhi. Maka dari itu,
sangat penting bagi perusahaan dalam menjalankan
perusahaannya untuk memiliki sumber daya manusia
yang bermutu yang dapat saling bekerjasama dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam proses mencapai tujuan tersebut, organisasi
atau perusahaan membutuhkan individu-individu yang
memiliki sikap dan perilaku bertanggung jawab dan
memiliki kemampuan yang baik. Terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi hasil kinerja
karyawan, salah satunya yaitu kemampuan seorang
pemimpin (Inaray, Nelwan, & Lengkong, 2016:460).
Dalam struktur organisasi yang ada di perusahaan
terdapat sebuah jenjang atau tingkatan hierarki
organisasi dimana yang dimaksud ini adalah adanya
atasan dan bawahan. Sebagai seorang atasan, memiliki
peran yang lebih dari seorang pemimpin bagi
bawahannya. Atasan memiliki peran untuk memandu
dan meyakinkan bawahannya untuk mancapai
kesuksesan (Mustapa & Maryadi, 2018:11). Dalam
dunia organisasi, setiap pemimpin memiliki cara
tersendiri dalam menjalankan fungsi dan kewajibannya
sebagai pemimpin, dan biasanya terlihat dari
perilakunya. Pola tingkah laku pemimpin yang
mempengaruhi bawahannya inilah yang disebut dengan
gaya kepemimpinan.
Seorang
pemimpin
bisa
memilih
gaya
kepemimpinnanya yang sesuai selama itu bisa
diterapkan untuk bawahannya. Sehingga, tidak
menutup kemungkinan bahwa gaya kepemimpinan dari
setiap divisi berbeda-beda. Maka dari itu, penting
adanya memiliki pemimpin yang bijak dalam membaca
situasi ketika menerapkan gaya kepemimpinannya
(Zulkarnain & Sumarsono, 2015:61).
Kepemimpinan
155
Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi
Perusahaan
Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah
Menurut Sanusi (dalam Mustapa & Maryadi, 2018:40)
kepemimpinan adalah gabungan dari kemampuan, citacita dan semangat untuk mengatur dan mengelola
organisasi. Sedangkan menurut Yaverbaum & Sherman
(dalam Mustapa & Maryadi, 2018:41) yang
berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu
kegiatan dalam mendapatkan kerjasama dari orang lain
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Lebih lanjut,
menurut Ruch dan Behling (dalam Sagala, 2018:55)
kepemimpinan adalah metode mempengaruhi orang
lain atau kelompok yang terstruktur guna mencapai
tujuan atau sasaran.
Pandangan
lainnya
mengenai
definisi
kepemimpinan adalah pendapat dari Hemphill & Coons
yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan
suatu perilaku pemimpin untuk memimpin kegiatan
kelompok guna mencapai tujuan yang akan diraih
bersama (Hemphill & Coons, 1957:7).
Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah kaidah atau tata cara dari
perilaku individu yang digunakan individu pada saat ia
mencoba mempengaruhi tingkah laku orang lain
berdasarkan apa yang ia lihat (Thoha, 2012). Lebih
lanjut menurut Hasibuan, gaya kepemimpinan adalah
bentuk perilaku dari atasan yang memberikan pengaruh
pada bawahannya guna mendorong semangat kerja,
kepuasan kerja, dan keproduktifan pegawai yang tinggi
untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan
(Hasibuan, 2016).
Tipe-tipe Gaya Kepemimpinan
Setiap gaya kepemimpinan didasari oleh dua unsur
utama, yaitu bantuan (supporting behavior) dan
pengarahan (directive behavior) (Paramita, 2011).
Eugene Emerson Jennings dan Robert T.
Golembiewski membagi gaya kepemimpinan menjadi
lima tipe (dalam Hidayat, Alam, & Syamsu, 2018),
yaitu :
1. Tipe Pemimpin Otokratis
Individu dengan tipe kepemimpinan otokratis
cenderung menjadikan dirinya sebagai pusat
pengendali (sentralistik). Anggota atau karyawan
tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi
dalam proses penetapan keputusan.
2. Tipe Pemimpin Militeristis
Individu dengan tipe kepemimpinan militeristis
memiliki beberapa sifat, seperti (1) Pencapaian
tujuan digunakan sebagai dasar instruksi dalam
memberikan perintah pada anggota atau karyawan,
(2) Sangat bergantung pada jabatan yang dimiliki,
(3) Formalitas secara berlebihan, (4) Anggota atau
karyawan harus secara mutlak disiplin dan patuh
selama berada dalam masa kepemimpinannya, (5)
Tidak menerima kritikan, dan (6) Selalu
mengadakan perayaan untuk berbagai pencapaian.
3. Tipe Pemimpin Paternalistis
Individu dengan tipe kepemimpinan paternalistis
memegang prinsip bahwa pemimpin merupakan
seseorang yang haru bertanggung jawab dan
menjadi tumpuan bagi anggota dan karyawannya.
Beberapa sifat individu dengan tipe kepemimpinan
paternalistis,
yaitu
memberikan
bantuan,
melindungi, dan mengayomi anggota dan karyawan
yang berada dalam masa kepemimpinannya.
4. Tipe pemimpin kharismatis
Individu dengan kepemimpinan kharismatis
mampu membuat anggota atau karyawan tertarik
dengan karakteristik dan kepribadian yang
dimilikinya. Kepemimpinan kharismatik sangat
membutuhkan kepercayaan diri yang tinggi (highself confidence), kekuasaan (strong need for
power), prinsip, dan idealitas yang kuat.
5. Tipe pemimpin demokratis
Individu dengan kepemimpinan demokratis
dianggap sebagai pimpinan yang ideal. Tipe
kepemimpinan demokratis selalu memprioritaskan
kepentingan kelompok, dibandingkan kepentingan
individu. Terdapat beberapa sifat yang dimiliki oleh
individu dengan tipe kepemimpinan demokratis,
yaitu: (1) Selalu melakukan diskusi saat akan
mengambil
keputusan,
(2)
Memberikan
kesempatan pada anggota atau karyawan untuk
memberikan gagasan atau saran, (3) Terbuka akan
kritikan, dan (4) Mampu menyeimbangkan tujuan
organisasi dan keinginan pribadi.
Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan merupakan sebuah hasil pencapaian
karyawan secara individu atau berkelompok dengan
berbentuk output kualitatif atau kuantitatif. Kinerja
karyawan dapat dikatakan baik, jika menghasilkan
kinerja yang dapat membantu organisasi atau
perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Masram dan Mu’ah, 2015). Sedangkan,
menurut Simora (dalam Sulaksono, 2015:103) kinerja
karyawan adalah hasil kerja karyawan dalam mencapai
standart perusahaan atau target yang diberikan
perusahaan pada pegawai.
Faktor-Faktor
Karyawan
yang
Mempengaruhi
Kinerja
156
Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi
Perusahaan
Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah
Menurut Simora (dalam Sulaksono, 2015:103) secara
umum, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kinerja
karyawan, antara lain:
1. Faktor Individual, diantaranya adalah kemampuan
dan keahlian latar belakang dan demografis
karyawan; usia, gender, dan pendidikan.
2. Faktor Psikologis, diantaranya adalah persepsi,
attitude personality, serta pembelajaran.
3. Faktor Organisasi, diantaranya adalah sumber daya
yang memadai, kompensasi, penghargaan, struktur
jabatan maupun struktur organisasi, serta job
design.
Pengaruh
Gaya
Kepemimpinan
dalam
Meningkatkan Kinerja Pegawai
Individu yang menerapkan tipe kepemimpinan yang
tepat dapat mempengaruhi persepsi dan kepuasan
anggota atau karyawan, sehingga berdampak pada
kinerja karyawan secara maksimal. Pemimpin yang
memiliki tujuan yang jelas dapat membimbing anggota
atau karyawannya untuk melakukan kinerja dengan
baik, sehingga tujuan lebih mudah tercapai (Khairizah,
Noor, & Suprapto, 2015). Berdasarkan penjelasan di
atas, dapat diambil sebuah simpulan bahwa faktor
kepemimpinan memiliki peran besar dalam
mempengaruhi kinerja karyawan.
Dengan hasil yang diperoleh dari studi pendahuluan
yang telah dipaparkan, terdapat rumusan masalah
dalam penelitian ini yakni “Bagaimana peran
kepemimpinan yang diberlakukan sehingga mampu
meningkatkan kinerja pegawai?”.
Adapaun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, yakni
untuk mengetahui peran kepemimpinan yang
diterapkan sehingga mampu meningkatkan kinerja
pegawai.
METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Jenis serta sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian berdasarkan data sekunder yakni yang
berasal dari artikel, jurnal ilmiah, penelitian terdahulu
maupun dari situs internet yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data berupa studi literatur atau yang
sering disebut dengan studi pustaka. Sedangkan, untuk
metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif yang kemudian akan dianalisis secara
induktif.
PEMBAHASAN
Dalam penelitian dengan judul “Pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap kinerja karyawan (studi pada
karyawan di Perpustakaan Universitas Brawijaya
Malang)” (Khairizah et al., 2015) menemukan tiga hasil
penelitian, yaitu:
1. Tipe gaya kepemimpinan direktif, suportif, dan
partisipatif saling memiliki pengaruh terhadap
kinerja karyawan
2. Tipe gaya kepemimpinan direktif memiliki
pengaruh yang signifikan pada kinerja
karyawan. Pemimpin berperan sebagai mentor
dan juga pembimbing bagi karyawan, sehingga
karyawan mendapatkan pandangan yang jelas
mengenai tugas atau jobdesk yang harus
dilakukan. Dengan adanya bimbingan yang
sesuai, maka dapat memperbaiki kinerja
karyawan secara maksimal.
3. Tipe gaya kepemimpinan suportif dan
partisipatif tidak memiliki pengaruh yang
signifikan pada kinerja karyawan. Hal tersebut
terjadi karena kemungkinan adanya perbedaan
faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pada
setiap karyawan, seperti faktor keberhasilan
yang berasal dari diri sendiri, atau lingkungan
sekitar, serta kemampuan motivasi, dan mental
dalam meningkatkan kinerja.
Dalam
penelitian
dengan
judul
“Gaya
kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja Pegawai
Negeri Sipil” (Ilmi, 2016) memiliki hasil yang
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh
dalam meningkatkan kinerja karyawan. Kinerja yang
dimiliki
oleh
karyawan
Biro
Administrasi
Kemasyarakatan Prvovinsi Jawa Timur tergolong
sebagai kinerja yang sangat baik. Hal tersebut
disebabkan karena adanya peran kepala biro yang
menerapkan
gaya
kepemimpinan
demokratis/partisipatif,
seperti
memberikan
kesempatan pada karyawan dalam pengambilan
keputusan, menyampaikan pendapat, serta menerima
kritik dan juga saran. Dengan menerapkan gaya
kepemimpinan tersebut, kepala biro berhasil
menetapkan standar kinerja yang didasarkan pada mutu
kerja daripada volume kerja, sehingga kinerja
karyawan dapat meningkat. Tetapi, terdapat beberapa
ciri-ciri yang tidak sesuai dengan indikator gaya
kepemimpinan demokratis/partisipatif, seperti tidak
memperhatikan perasaan karyawan, dan menuntut
kesetiaan yang tidak wajar.
Dalam
penelitian
dengan
judul
“Gaya
kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja karyawan
157
Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi
Perusahaan
Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah
pada PT. BPR Ambulu Dhanaartha cabang RambipujiJember” (Hariyanto, Sutrisno, & Supriyanto, 2013)
menjelaskan bahwa pada PT. BPR Ambulu Dhanaartha
cabang Rambipuji-Jember, pemimpin menerapkan tipe
gaya kepemimpinan demokratis. Hal tersebut dapat
disimpulkan dari hasil penelitian yang dicantumkan,
yaitu pengambilan keputusan melibatkan unit atau
bidang yang berkaitan, pimpinan cabang memberikan
wewenang kepada kepala unit untuk melakukan
pengawasan kinerja, komunikasi terjalin dengan baik
antara pimpinan dan karyawan, dan pimpinan
memberikan kesempatan pada karyawan untuk
menyatakan pendapat, saran, maupun kritik. Meskipun,
gaya kepemimpinan yang diterapkan terlihat telah
sesuai terdapat kuantitas hasil kinerja yang tidak
mencapai apa yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi
karena faktor internal yang dimiliki oleh setiap
karyawan, seperti memiliki motivasi yang tinggi untuk
menjadi kompeten dalam melakukan tugas yang
diberikan.
Dalam
penelitian
dengan
judul
“Gaya
kepemimpinan kepala dinas dalam meningkatkan
kinerja Pegawai Negeri Sipil (studi pada Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Minahasa
Selatan) (Tumbelaka, 2013) menyatakan bahwa
pemimpin Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
menerapkan tipe gaya kepemimpinan demokratis, yang
terdiri dari coaching, directing, supporting, dan
delegating. Berdasarkan hal itu, kinerja yang dimiliki
karyan termasuk berada dalam kategori yang tinggi.
Dalam
penelitian
dengan
judul
“Gaya
kepemimpinan dalam upaya meningkatkan kinerja
karyawan pada PT. Sumber Mas Indah Plywood”
(Ambarwati, 2015) menjelaskan bahwa PT. Sumber
Mas Indah Plywood menerapkan tipe gaya
kepemimpinan otokratis, seperti tidak memberikan
karyawan kepercayaan, tidak memberikan kesempatan
pada karyawan untuk menyatakan pendapat,
melakukan pengambilan keputusan secara sepihak,
tidak menerima saran dan kritik, kurang menghargai
kinerja karyawan, dan tidak terdapat komunikasi yang
baik diantara pimpinan dan karyawan. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya penurunan kinerja pada
karyawan, seperti melaksanakan tugas secara terpaksa,
tidak memiliki semangat dalam menjalankan tugas
yang diberikan, dan terdapatnya karyawan yang absen
dari pekerjaannya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah
disebutkan di atas, tipe gaya kepemimpinan demokratis
dinilai menjadi tipe yang efektif dalam meningkatkan
kinerja karyawan. Individu yang menjadi pemimpin
dalam
sebuah
organisasi
atau
perusahaan
membutuhkan beberapa kompetensi yang harus
dimiliki untuk mencapai tujuan atau keberhasilan yang
telah ditetapkan bersama, seperti memiliki informasi
dan keterampilan dalam proses pengambilan keputusan
yang tepat. Selain itu, pemimpin harus dapat
memberikan pengaruh dan bimbingan pada
karyawannya agar tingkah laku sesuai dengan nilainilai organisasi atau perusahaan yang telah ditetapkan
(Paramita, 2011).
PENUTUP
Simpulan
Peran dari seorang pemimpinan sangat menentukan
arah dan tujuan dari sebuah organisasi. Menjadi
seorang pemimpin hendaknya memiliki rasa
bertanggung jawab yang tinggi dan bertingkah laku
yang baik. Pola tingkah laku dari seorang pemimpin
yang mempengaruhi bawahannya disebut dengan gaya
kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan sendiri antara lain: gaya
kepemimpinan otokratis, militeristis, paternalistis,
kharismatis, dan demokratis. Berdasarkan studi
literatur yang telah dilakukan, menunjukkan hasil
bahwa tipe gaya kepemimpinan demokratis sering
digunakan pada beberapa perusahaan atau organisasi
karena tipe gaya kepmimpinan demokratis dirasa
adalah tipe yang paling efektif dalam meningkatkan
kinerja karyawan.penelitian.
Saran
Gaya kepemimpinan yang diterapkan pada beberapa
organisasi yang telah dibahas dinilai sudah cukup baik.
Hal tersebut dapat diketahui dari hasil peran
kepemimpinan yang digunakan dalam meningkatkan
kinerja pegawai menunjukkan hasil yang baik.
Terdapat beberapa saran yang bisa digunakan dari
peneliti untuk organisasi yakni:
1. Tetap menjaga komunikasi yang baik antara atasan
dan bawahan, dengan pimpinan yang lain maupun
karyawan yang lainnya.
2. Meningkatkan rasa tanggung jawab karyawan
dalam menjalankan tugas-tugasnya
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, N. (2015). Gaya kepemimpinan yang
efektif dalam upaya meningkatkan kinerja pada
karyawan pada PT. Sumber Mas Indah Plywood.
Jurnal
Akuntansi,
3(3),
1–22.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hariyanto, T., Sutrisno, & Supriyanto, T. (2013). Gaya
kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja
karyawan pada PT. BPR Ambulu Dhanaartha
Cabang Rambipuji-Jember. Artikel Ilmiah Hasil
158
Studi Literatur: Analisis Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai sebagai Bentuk Kesuksesan Bagi
Perusahaan
Firsta Hernie Kartika Prameswari, Nurul Savira Fauziah
Penelitian Mahasiswa, 1–6.
Hasibuan, M. S. P. (2016). Manajemen sumber daya
manusia (Ed. Revisi). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Hemphill, J. K., & Coons, A. E. (1957). Development
of the leader behavior description questionare.
Colombusn: Bereau of Bussiness Research, Ohio
State University.
Hidayat, R., Alam, A. S., & Syamsu, S. (2018).
Analisis tipe kepemimpinan Aras Tammauni di
Kabupaten Mamuju Tengah. JAKPP (Jurnal
Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik), 4(1),
46–59.
Ilmi, M. U. (2016). Gaya kepemimpinan dalam
meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil ( studi
deskriptif di Biro Administrasi Kemasyarakatan
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur ).
Kebijakan Dan Manajemen Publik, 4(3), 6–12.
Inaray, J. C., Nelwan, O. S., & Lengkong, V. P. .
(2016). Pengaruh kepemimpinan dan motivasi
kerja terhadap kinerja karyawan pada PT. Amanah
Finance di Manado. Jurnal Berkala Ilmiah
Efisiensi, 16(2), 459–470.
Khairizah, A., Noor, I., & Suprapto, A. (2015).
Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja
karyawan (studi pada karyawan di Perpustakaan
Universitas
Brawijaya
Malang).
Jurnal
Administrasi Publik (JAP), 3(7), 1268–1272.
Masram dan Mu’ah. (2015). Manajemen sumber daya
manusia. Sidoarjo: Zifatama Publisher.
Mustapa, Z., & Maryadi, M. (2018). Kepemimpinan
pelayan: Dimensi baru dalam kepemimpinan.
Makassar: Celebes Media Perkasa.
Paramita, P. D. (2011). Gaya kepemimpinan (style of
leadership) yang efektif dalam suatu organisasi.
Dinamika Sains, 9(21), 1–7.
Sagala, S. (2018). Pendekatan dan model
kepemimpinan. Jakarta: Prenada Media Group.
Sulaksono, H. (2015). Budaya organisasi dan kinerja.
Yogyakarta: Deepublish.
Thoha, M. (2012). Kepemimpinan dalam manajemen.
Jakarta: PT Raja Grafindo.
Tumbelaka, C. O. (2013). Gaya kepemimpinan kepala
dinas dalam meningkatkan kinerja Pegawai Negeri
Sipil (Suatu studi pada Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Minahasa Selatan).
Governance, 5(1), 1–13.
Zulkarnain, W., & Sumarsono, R. B. (2015).
Manajemen perkantoran profesional. Malang:
Gunung Samudera
159
PENGEMBANGAN LITERASI MORAL PESERTA DIDIK DENGAN BIMBINGAN KONSELING
PERKEMBANGAN
Swiejti Maghfira Regita
Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan Swiejti1600001074@webmail.uad.ac.id
Caraka Putra Bhakti
Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan Caraka@webmail.uad.ac.id
Abstrak
Penulisan karya tulis ini dilatar belakangi karena kurangnya kepedulian, empati, dan rasa hormat
peserta didik terhadap guru disekolahnya yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
individu. Literasi adalah kemampuan individu dalam ,menulis, berbicara,membaca dan
menghitung, serta memecahkan masalah dalam tingkat keahlian yang diperlukan pada pekerjaan
masyarakat dan keluarga (National Institute For Literasi). Sedangkan moral merupakan seperangkat
aturan yang berkaitan pantas atau tidak pantas, baik atau buruk, benar atau salah yang harus
dilaksanakan dalam kehidupan sosial (santrock dan yusan : 1997). Indikator literasi moral individu
sebagai berikut: (1) dapat mengenali diri sendiri, (2) mempunyai hati nurani dan keyakinan (hati
emas), (3) menunjukkan karakter dengan perilaku tidak hanya dengan kata-kata. Asumsi dasar
dalam pendekatan bimbingan konseling perkembangan merupakan
pemikiran bahwa
perkembangan individu yang sehat akan terjadi dalam interaksi yang sehat antar individu dan
lingkungannya. Dengan kata lain, lingkungan tersebut bagi individu menjadi lingkungan belajar.
Peranan guru bimbingan konseling dalam litersai moral adalah sebagai berikut: (1) layanan dasar:
dengan memberikan kegiatan persiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok
dengan materi tentang butir-butir karakter cerdas, (2) layanan responsif: konseling individu
mengenai evaluasi diri berdasarkan moral value, (3) layanan perencanaan dan peminatan individual:
mengakomodasikan kemampuan peserta didik dengan orientasi pemusatan sosial skill, (4)
dukungan sistem: kolaborasi guru BK dengan kepala sekolah melalui program 5S, kolaborasi oleh
guru BK dengan guru agama melalui pembelajaran berbasis tarbiyah project, kolaborasi guru BK
dengan guru seni budaya melalui pembelajaran tentang pendidikan multi budaya.
Kata Kunci: literasi, moral, bimbingan konseling, perkembangan
PENDAHULUAN
Dalam Undang-undang Nomor20 tahun2003 tentang
sistem pendidikan pasal 3, mengatakan bahwa
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi peserta didik tersebut
menjadi manusia Berakhlaq mulia, yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, cakap,
kreatif,mandiri, berilmu dan dapat menjadi warga
negara indonesia yang bertanggung jawab dan
demokratis. Namun dunia pendidikan yang telah
membuat program pendidikan berkarakter ini, yang
merupakan suatu sistem dalam pendidikan untuk
menanamkan nilai-nilai karakter kepada mayarakarat,
khusunya warga sekolah. Komponen tersebut meliputi
komponen
pengetahuan,kesadaran,kemauan,dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, orang lain, diri
sendiri, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga
menjadi insan kamil.
Tetapi
program
dengan
maksud
dapat
mengembangkan kognisi yang dimiliki peserta didik
tersebut. Dinilai kurang berhasil, pasalnya dunia
pendidikan akhir-akhir ini digoncangkan oleh berbagai
kasus pengaduan kekerasan yang dilakukan oleh guru
yang mencubit kepada seorang peserta didiknya yang
bermaksud untuk mengajarkan hal-hal yang baik
kepada peserta didiknya tersebut.kemudian karena
tidak terima peserta didik mengadukan hal itu kepada
ayahnya, sehingga wali peserta didik dan peserta didik
bersama-sama memukuli guru nya. (Kompas harian 12
September 2016) Rasa kepedulian, empati dan saling
menhormati oleh peserta didik terhadap terhadap guru
disekolahnya.
Demikian hal nya, masyarakat indonesia merasa
tertantang meningkatkan penguatan nilai-nilai budi
luhur sejak kecil/dini. penurunan moral tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor.seperti yang kita
ketahui bahwa setiap individu lahir dengan ekspresi
pribadi dan mempunyai keunikan tersendiri. Itu semua
dikarenakan mereka lahir dari gen yang berbeda dan
berasal dari berbagai lingkungan masyarakat yang
mempresentasikan suatu kumpulan sikap, nilai, dan
norma yang berbeda-beda. Oleh karena itu, faktor
internal dan eksternal individu sangat mempengaruhi
perubahan psikologi,fisiologi,dan proses sosial
160
Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan
Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti
individu. Menurut
sudut pandang erikson,
perkembangan awal seseorang sangatlah penting
dimaksimalkan, karena apabila perkembangan awal
terhambat maka akan mempengaruhi perkembangan
selanjutnya.
Keluarga merupakan lingkungan yang paling
pertama dapat membentuk karakter seorang individu.
Namun selain keluarga, lingkungan sekolah juga tidak
kalah berpengaruh dalam mengembangkan karakter
individu khusunya peserta didik. Sekolah mempunyai
peran dalam mengembangkan kepribadian individu
hurlock dalam buku jurnal konseling komprehensif
mengemukakan bahwa pendidikan sekolah merupakan
faktor penentu bagi perkembangan kepribadian
anak(siswa) baik dalam berfikir, bersikap maupun
berperilaku. Menurut Havighurst dalam jurnal
konseling komprehensif, sekolah mempunyai
tanggung jawab membantu para peserta didik agar
dapat mencapai tugas perkembangannya.
Abad ke-21 ini, keterampilan membaca atau
kemampuan memahami informasi secara kritis,
reflektif dan analitis. berkaitan dengan kemampuan
literasi pada peserta didik. Berdasarkan hasil Temuan
UNESCO pada tahun 2012, tercatat bahwa
perbandingan kebiasaan membaca maasyarakat
indonesia seperti satu dari 1.000 orang masyarakat,.
Hal tersebut, sangat memkhawatirkan karena
keterampilan dan kemampuan membaca adalah dasar
pemerolehan pengetahuan, keterampilan, serta
pembentukan
sikap
peserta
didik
menurut
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, tentang
kebijakan perlunya sekolah memberikan waktu secara
berkala untuk pembiasaan membaca sebagai bagian
dari penumbuhan budi pekerti. Menurut Suherman
(2008:49) Peran guru bimbingan dan konseling
sebagai
fasilitator
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan siswa dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan sangat lah penting.
Dalam jurnal bimbingan dan konseling
komprehensif
,
bimbingan
dan
konseling
perkembangan atau komprehensif adalah model yang
memiliki prinsip perkembangan (Supriatna :2011).
Bimbingan dan konseling perkembangan berasumsi
bahwa perkembangan yang sehat terjadi melalui
interaksi yang sehat antara lingkungan dan individu itu
sendiri. Hal ini dapat diartikan bahwa pengembangan
lingkungan perkembangan merupakan wahana
strategis perkembangan peserta didik yang harus
dikembangkan.
Lingkungan
perkembangan
merupakan lingkungan belajar yang terstruktur dan
secara sengaja dirancang untuk memberi peluang
kepada siswa untuk mempelajari perilaku baru,
membentuk ekspektasi dan persepsi, memperbaiki dan
bahkan mengganti perilaku yang tidak sesuai,
memperhalus dan menginternalisasi perilaku.
Menurut Suherman (2008:49) peran yang dimiliki
Guru bimbingan dan konseling sangat penting, hal
yang utama yaitu sebagai fasilitator bagi
perkembangan dan pertumbuhan peserta didik dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan. Adapun
implementasi gerakan literasi nasional sebagai peran
guru bimbingan dan konseling dalam sebagi berikut :
Guru Bimbingan dan konseling berperan menyediakan
layanan yaitu :a. Layanan dasar b. layanan responsi c.
layanan perencanaan individual d. dukungan sistem.
METODE
Mixed Method Design merupakan kombinasi atau
gabungan penelitian pendekatan kuntitatif dan
pendekatan kualitatif dalam satu kajian tunggal (Gay,
Mills & Airasian, 2009). Metode kuantitatif digunakan
untuk menghasilkan gambaran yang literasi moral
peserta didik. Sedangkan metode kualitatif digunakan
untuk mendalami sesuatu dibalik perubahan karakter
dengan bimbingan konseling perkembangan yang
diperoleh dengan instrumen wawancara serta
pemaknaan data.
PEMBAHASAN
Literasi moral berfokus pada perkembangan anak.
Menurut Tauhidi (2003), literasi moral meliputi 3
aspek: Values & Identity (Knowing Yourself) Nilainilai dan identitas (mengenali diri sendiri), Conscience
& Conviction (A Heart of Gold) Hati nurani dan
keyakinan (hati emas). Dan Character & Conduct
(Actions Speak Louder) Menunjukkan karakter dengan
perilaku tidak hanya kata-kata.
Tujuan dari komponen literasi moral adalah
membentuk karakter manusia yang mulia. Komponenkomponen tersebut merujuk pada nilai-nilai atau
konsep-konsep seperti tradisi moral, etika, nurani,
kontrol diri, empati, kehendak bebas, dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan hati (Tauhidi,2003). Individu
sebagai peserta didikk, saat ini berada dalam proses
berkembang (becoming);berkembang ke arah
kemandirian atau kematangan. Agar dapat mencapai
kemandirian atau kematangan tersebut, siswa
memerlukan bimbingan yang sesuai dengan data
assesment yang didata, agar pemahaman atau wawasan
tentang dirinya dan lingkungannya juga pengalaman
dalam menentukan arah kehidupannya meningkat.
Moral bisa dikembangkan dengan melaksanakan
bimbingan konseling perkembangan yang merupakan
suatu proses pemberian bantuan kepada peserta didik
161
Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan
Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti
dengan memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan,
minat, dan isu-isu yang berkaitan dengan tahapan
perkembangan peserta didik yang merupakan bagian
terpenting dan integral dari keseluruhan program
pendidikan.
Bimbingan
dan
konseling
komprehensif
merupakan pemberian bantuan dalam bentuk layanan
BK kepada siswa yang dirancang dengan
memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan ,minat, dan
isu-isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan
peserta dan merupakan bagian penting integral dari
keseluruhan program pendidikan (Supriyatna,
2013:30).
Keutamaan bimbingan komprehensif adalah
pertumbuhan positif individu, daripada menekankan
orientasi kritis sehingga memungkinkan guru BK
untuk memfokuskan pada gangguan emosional peserta
didik, dan lebih mengutamakan pencapaian tujuan
dalam kaitan penugasan tugas-tugas perkembangan,
menjembatani tugas-tugas yang muncul pada saat
tertentu, peserta meningkatkan sumber daya dan
kompetensi dalam memberikan bantuan terhadap
perkembangan peserta didik secara optimal.
Isi
program
bimbingan
dan
konseling
perkembangan dilaksanakan melalui komponen
layanan dasar, layanan responsif, layanan perencanaan
individual, dan dukungan sistem.
Layanan dasar bimbingan adalah layanan bantuan
bagi seluruh peserta didik melalui kegiatan-kegiatan
kelas atau diluar kelas yang disajikan secara sistematis,
dalam
rangka
membantu
peserta
didik
mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Pada
kegiatan program layanan dasar dapat diberikan
kegiatan persiapan pengalaman tersruktur secara
klasikal atau kelompok dengan materi tentang butirbutir karakter cerdas.
1. Bimbingan klasikal dalam layanan dasar,
dilakukan guru BK dengan cara kontak langsung
dengan peserta didik di kelas. Pemebrian layanan
dilakukan secara terjadwal, guru BK memberikan
materi butir-butir karakter cerdas yang harus
dimiliki oleh setiap peserta didik sesuai dalam
landasan yuridis,filosofis,dan empiris tentang
pendidikan karakter cerdas. Berkarakter berarti
sesuatu yang melekat pada individu yang bersifat
unik atau khas yang dinilai baik sesuai dengan
norma dan aturan yang ada dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat. Cerdas adalah daya
kemampuan yang dimiliki seorang individu baik
yang sudah ada sejak lahir maupun yang dilatih
saat telah tumbuh dewasa. Butir-butir karakter
cerdas
antara
lain
olah
hati(jujur),olah
pikir(cerdas),
olahraga(tangguh),dan
olah
rasa(peduli) dan karsa.
2. Bimbingan Kelompok dalam layanan dasar melalui
kelompok-kelompok kecil yang ditujukan untuk
merespon kegiatan layanan sehingga dapat
menumbuhkan karakteristik yang bermoral. Untuk
membangun karakter bermoral dalam peserta didik
tersebut dapat dilakukan kegiatan : 1) koherensi
yaitu kegiatan yang membangun rasa percaya diri
dan keberanian peserta didik, 2) otonomi yaitu
kegiatan peserta didik dalam menghayati dan
mengamalkan aturan dari luar sampai dalam
pribadinya sendiri, 3) keteguhan yaitu kegiatan
mengembangkan daya tahan peserta didik dalam
mengwujudkan apa yang dipandang baik, 4)
kesetiaan yaitu kegiatan untuk mengembangkan
rasa hormat atas komitmen yang dipilih.
3. Media dapat membantu meningkatkan keefektifan
program layanan, guru BK dapat menyampaikan
materi menggunakan media yang menurut belawati
( 2003 :12 ) dikelompokkan menjadi tiga bagian
yaitu : media cetak, media non cetak, dan media
display.
4. Asessment dapat dilakukan guru BK dalam
mengidentifikasi dan merumuskan tingkat
perkembangan moral untuk pesrta didik. Ada dua
hal yang perlu diperhatikan: (1) mengkaji materi
moral sesuai dengan kebutuhan siswa yang nyata
dilapangan (2) membaca harapan-harapan moral
bagi sekolahh dan masyarakat untuk menciptakan
peserta didik yang berkarakter.
Layanan responsif adalah pemberian bantuan untuk
siswa yang memiliki kebutuhan atau masalah yang
memerlukan pertolongan dengan segera (immediate
needs and concerns) salah satu caranya dengan
melakukan konseling individu mengenai evaluasi diri
berdasarkan moral value yang bertujuan membantu
peserta didik yang mengalami kesulitan atau hambatan
moralitas yang ada dalam dirinya. Dalam layanan
responsif ini, guru BK dapat melakukan layanan
responsif seperti layanan konsultasi.
1. Guru BK memberikan layanan konsultasi kepada
peserta didik dalam rangka mengevaluasi diri
berdasarkan moral value secara perseorangan atau
hubungan tatap muka (face to face relationship)
dan secara langsung tanpa perantara media atau alat
bantu apapun.tahap pertama dalam layanan
konseling individu mengenai evaluasi diri
berdasarkan moral value adalah : 1) tahap
pengantaran (introduction) yaitu tahap yang
berisikan segenap pengertian, tujuan dan prinsip
dasar melalui proses kegiatan penerimaan yang
162
Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan
Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti
hangat, permisif, tidak menyalahkan,penstrukturan
yang jelas dan penuh pemahaman sehingga peserta
didik termotivasi untuk menjalani tahap konseling
selanjutnya. 2) tahap penjajagan yaitu kegiatan
yang membahas tentang permasalahan dan
perkembangan peserta didik. 3) tahap penafsiran
yaitu kegiatan evaluasi perilaku
Layanan perencanan individual adalah layanan
untuk semua peserta didik dengan tujuan mampu
membuat dan melaksanakan perencanaan masa
depannya, dari hasil pemahaman akan kekuatan dan
kelemahan dirinya sendiri. mengakomodasikan
kemampuan peserta didik dengan orientasi pemusatan
sosial skill.
Dukungan sistem merupakan komponen program
yang secara tidak langsung memberikan bantuan
kepada peserta didik, atau memfasilitasi kelancaran
perkembangan peserta didik.
1. Pengembangan pengetahuan dan skill
Guru BK secara konsisten berusaha untuk “mengupdate”atau meningkatkan pengetahuan tentang
moralitas dan kemampuannya melalui in-service
training.
2. Berkolaborasi dan pemberian konsultasi
Guru BK perlu melakukan berkolaborasi dan
konsultasi dengan pihak-pihak lainnya agar
mendapatkan umpan balik dan informasi tentang
layanan pemberian kepada siswa, menciptakan
suasana kondusif bagi lingkungan sekolah, layanan
referal, dan meningkatkan kualitas program
bimbingan konseling perkembangan. Contoh
kolaborasi yang dapat meningkatkan moral peserta
didik antara lain: Kolaborasi guru BK dengan
kepala sekolah melalui program 5S, Kolaborasi
guru BK dengan guru agama melalui tarbiyah
project, Kolaborasi guru BK dengan guru seni
budaya melalui pendidikan multibudaya,
Bimbingan konseling adalah bagian integral dari
pendidikan yang memiliki fungsi dan peranan yang
strategis. Bimbingan dan konseling mengutamakan
kekmpuan siswa mengenal, lingkungannya, dirinya,
dan mampu merencanakan masa depannya.
Implementasi bimbingan konseling juga sangat
diperlukan untuk mendukung pembentukan karakter
siswa,melalui kerja sama seluruh personil sekolah
sehingga mampu berkontribusi terhadap terwujudnya
daya manusia yang berkualitas.
PENUTUP
Simpulan
Moral dapat dikembangkan melalui bimbingan
konseling perkembangan yang merupakan suatu
proses pemberian bantuan kepada peserta didik dengan
memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan, minat, dan
isu-isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan
peserta didik yang merupakan bagian terpenting dan
integral dari keseluruhan program pendidikan. Fokus
utama dari literasi moral yaitu mengembangkan
pemahaman yang kuat tentang karakter manusia yang
baik dan membantu siswa mencapai hal tersebut dalam
kehidupannya sendiri melaui gaya hidup yang
bermoral. Komponen-komponen tersebut merujuk
pada nilai-nilai atau konsep-konsep seperti tradisi
moral, etika, nurani, kontrol diri, empati, kehendak
bebas.
Bimbingan konseling perkembangan merupakan
model bimbingan dan konseling yang berpegang pada
prinsip untuk meningkatkan moral peserta didik
melalui 4 program layanan; dukungan sistem, layanan
responsif, layanan dasar, layanan perencanaan dan
peminatan individual. Peran guru bimbingan dan
konseling antara lain : (1) layanan dasar: dengan
memberikan kegiatan persiapan pengalaman terstruktur
secara klasikal atau kelompok dengan materi tentang
butir-butir karakter cerdas, (2) layanan responsif:
konseling individu mengenai evaluasi diri berdasarkan
moral value, (3) layanan perencanaan dan peminatan
individual: mengakomodasikan kemampuan peserta
didik dengan orientasi pemusatan sosial skill, (4)
dukungan sistem: kepala sekolah dengan guru BK
melalui program 5S, kolaborasi guru BK dengan guru
agama melalui pembelajaran berbasis tarbiyah project,
kolaborasi guru BK dengan guru seni budaya melalui
pembelajaran tentang pendidikan multi budaya.
Saran
Dalam mengembangakn literasi moral peserta didik,
Guru BK dapat melakukan hal sebagai berikut ;
mengambil langkah yang konkrit dengan memantau
sikap peserta didik dalam melaksanakan program
layanannya, menjalin kerjasama dengan pihak lain
seperti kepala sekolah, orang tua, serta guru mata
pelajaran yang bersangkutan; dan melaksanakan
program layanan sampai peserta didik mampu
meningkatkan moralitasnya dan mengembangkan
keterampilan sosialnya secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, P. A. (2014). A Studi Deskriptif Mengenai
Tahapan Penalaran Moral Pada Mahasiswa S1
Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Dalam
Pengisian Daftar Hadir (Doctoral Dissertation,
Universitas Padjadjaran).
163
Pengembangan Literasi Moral Peserta Didik dengan Bimbingan Konseling Perkembangan
Swiejti Maghfira Regita, Caraka Putra Bhakti
Astuti, B. 2012. The Model Of Developmental
Guidance And Counseling To Improve The
Adolescent’s Emotion Controls.
Sunaryo
Kartadinata.2011.
Menguak
Bimbingan Dan Konseling Sebagai
Pedagogis .Bandung : Upi Press.
Bhakti, C. P., & Rahman, F. A. 2017. Implementasi
Tarbiyah Project Berbasis Peer Counseling:
Alternatif Solusi Perilaku Candu Pornografi. In
Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Konseling
(Vol. 1, No. 1,Pp. 104-114).
Sutoyo, Anwar., D.Y.P, Sugiiharto., & Edy Purwanto.
2015.
Bimbingan
Dan
Konseling
Perkembangan.Universitas Negeri Semarang.
Caraka, P.B., Hasan, S.U.N.,& Hasan, U.N. 2015.
Peran Layanan Bimbingan Dan Konseling
Komprehensif Dalam Pengembangan Karakter
Cerdas Anak Sekolah Dasar. Jurnal Konseling
Komprehensif,2(2), 204-212.
Cooper,D. Dan Chapman, C.1993. Risk Analysiss For
Large Project. First Edition. John Willey & Sons
Ltd.,Norwich.
Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan Profesional
Guru Bk Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling
Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta
:Depdiknas.
Tabiir
Upaya
Uman, Suhermann. 2011. Pembangun Karakter Dan
Budaya Bangsa Melalui Bimbingan Komprehensif
Berbasis Nilai Alquran (Tinjauan Filosofis
Tentang Hakikat Dan Peran Manusia). Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Bandung : Upi.
Undang-Undang No.20/2003
Pendidikan Nasional.
Tentanng
Sistem
Urbayatun, Siti., Dkk. 2017. Modul Pelatihan
Komunikasi Pedagogis Untuk Mewujudkan
Literasi Smic. Ristekdikti: Universitas Ahmad
Dahlan.
Handaka, I. B., & Maulana, C. 2017. Peran Guruu
Bimbingan Dan Konseling Dalamm Implementasi
Gerakan Literasi Nasional. In Prosiding Seminar
Nasional Bimbingan Konseling (Vol. 1, No. 1, Pp.
227-237).
Havighurst, R.J. 1953. Developmental Tasks And
Education. New York: David Mckay.
Makmun, Abin Syamsudin. 1997. Psikologi
Kependidikan. Bandung:Rosdaa Karya.
Mamat Supriatna.2011. Bimbingan Dan Konseling
Berbasis Kompetensi. Jakarta : Pt Raja Grafindo
Persada.
Muro Annd Kottman. 1995. Guidance And Counseling
In The Elementary And Middle Schools. Iowa:
Brown & Benchark Publisher.
Myrick, Robert D. 2011. Developmental Guidance
And Counseling : A Practical Approach Fifth
Edition. Minneapolis : Educational Media
Corporation.
Natawidjaja, Rochman. 1998. Peranan Guru Dalam
Bimbingan Di Sekolah. Bandung: Abardin.
Permendikbud Tahun 2014 No.111 Tentang
Bimbingan Dan Konseling Pada Pendidikan Dasar
Dan Pendidikan Menengah.
Pristanti, Nindya A. 2016. Penguatan Orientasi Nilai
Dalam Bimbingan Dan Konseling Sebagai Upaya
Pengembangan
Karakter
Generasi
Muda
Indonesia.
Proceeding
Seminar
Nasional
Bimbingan Dan Konseling. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Suherman. 2008. Konsep Dan Aplikasi Bimbingaan
Dan Konseling. Bandung: Jurusan Psikologi
Pendidikan Dan Bimbingan Fip-Upi.
164
HUBUNGAN SELF COMPASSION UNTUK MENINGKATKAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA
MAHASISWA ORGANISASI UNESA
I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, i.17010664158@mhs.unesa.ac.id
Yoga Seto Asmoro
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, yoga.17010664153@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Organisasi kemahasiswaan merupakan perkumpulan mahasiswa yang dibentuk sesuai dengan prinsip
oleh dan untuk mahasiswa (Sudarman, 2004). Memutuskan untuk terlibat dalam kegiatan organisasi
kemahasiswaan bukanlah suatu hal yang mudah, selain harus membagi waktu antara perkuliahan
dengan kegiatan organisasi, mengikuti banyak kegiatan sekaligus dapat membuat individu merasa
kurang di salah relasi dengan individu lainnya (Nayana, 2013). Sedangkan penilaian afektif ialah
berkaitan dengan emosi, mood (suasana hati), serta feelings (perasaan) yang dialami individu
tersebut (Damayanti, Benu, & Pello, 2018). Tentu saja harapannya adalah setiap mahasiswa yang
menjalankan beberapa peran sekaligus dapat mengelola agar nilai subjective well-beingnya tinggi.
Subjective well-being mahasiswa dapat dikategorikan tinggi jika sebagian besar emosi yang
dirasakan bersifat positif layaknya antusias dan merasa puas dengan kehidupan akademik
perkuliahan yang dijalani, aktif melakukan banyak kegiatan positif baik dalam bidang akademik
maupun non-akademik, serta memiliki relasi positif dengan lingkungan dan teman sebaya (Diener &
Lucas, 2009). Self-compassion dapat menjadi suatu wadah yang memberikan dampak signifikan
terhadap kesejahteraan individu (Neff & McGehee, 2010). Metode dalam penelitian ini kami metode
kuantitatif yaitu penyebaran kuisioner dan perhitungan data melalui uji korelasi dengan SPSS 22.0
for windows. Jumlah sampel adalah 79 orang. Subjective Well Being berkorelasi positif secara
signifikan dengan Self-Compassion, pada nilai p 0.033 < 0,01 dengan nilai r = 2.52. Dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya ada hubungan antara Subjective Well Being dengan SelfCompassion.
Kata Kunci: subjective well being, self compassion, mahasiswa.
PENDAHULUAN
“Love, connection, and acceptance are your birthright.
To claim them you need only look within yourself” –
Kristin Neff.
Perguruan tinggi tidak hanya sebuah jenjang
pendidikan yang memfasilitasi kegiatan akademik saja,
namun juga kegiatan-kegiatan non-akademik. Hal
tersebut sebagai wujud dari keseriusan perguruan tinggi
untuk mengembangkan bakat, minat, potensi, dan
kecerdasan mahasiswanya. Salah satu bidang kegiatan
non-akademik ialah organisasi mahasiswa internal
kampus seperti Himpunan Mahasiswa (HIMA), Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Dewan Perwakilan
Mahasiswa (DPM). Hal ini tidak jauh berbeda dengan
Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Unesa adalah salah satu perguruan tinggi negeri
yang terletak di kota Surabaya. Unesa juga memiliki
organisasi mahasiswa intra kampus sesuai dengan
jenjangnya masing-masing, dari tingkat jurusan hingga
tingkat universitas. Pada tingkat jurusan terdapat
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), lalu di tingkat
fakultas terdapat BEM-Fakultas dan DPM, serta di
tingkat universitas terdapat BEM-Universitas dan
MPM. Untuk memudahkan maka akan penulis rinci
dalam bagan berikut ini.
BEM-U
MPM
BEM-F
DPM
HMJ
Bagan 1. Struktur organisasi mahasiswa
internal Unesa
Organisasi adalah sebuah perkumpulan orang yang
sepakat untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan
bersama (Anwar, 2003). Organisasi kemahasiswaan
merupakan perkumpulan mahasiswa yang dibentuk
sesuai dengan prinsip oleh dan untuk mahasiswa
(Sudarman, 2004). Memutuskan untuk terlibat dalam
kegiatan organisasi kemahasiswaan bukanlah suatu hal
yang mudah, selain harus membagi waktu antara
perkuliahan dengan kegiatan organisasi, mengikuti
banyak kegiatan sekaligus dapat membuat individu
merasa kurang di salah satu bidang sehingga dapat
165
Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa
I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro
mengganggu kesejahteraan psikologis individu
tersebut.
Subjective well-being merupakan sebuah penilaian
terhadap diri sendiri mengenai perasaannya yang
dikaitkan berdasarkan kebahagiaan, kesejahteraan,
serta kepuasan hidup (Arianti, 2010). Seseorang
dengan nilai subjective well being yang tinggi maka
individu tersebut akan mencapai kepuasan dan
kegembiraan hidup (Nurussalam & Izzati, 2018).
Penilaian subjective well-being adalah melalui dua
unsur yaitu afektif dan kognitif. Unsur kognitif dinilai
melalui pikiran individu terhadap kepuasan kehidupan
yang dijalani secara menyeluruh maupun spesifik,
seperti kehidupan organisasi maupun relasi dengan
individu lainnya (Nayana, 2013). Sedangkan penilaian
afektif ialah berkaitan dengan emosi, mood (suasana
hati), serta feelings (perasaan) yang dialami individu
tersebut (Damayanti, Benu, & Pello, 2018).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang
menghasilkan; (1) subjective well-being individu usia
20-30 tahun relatif tinggi (Ulloa, Moller, & Poza,
2013); (2) subjective well-being mahasiswa lebih
rendah dibanding orang dewasa (Vaez, Kristenson, &
Laflamme, 2004); (3) Ehrlich dan Isaacowitz (2002)
menyimpulkan bahwa subjective well-being pada
mahasiswa adalah rendah serta mahasiswa cenderung
mengalami emosi negatif secara signifikan; (4)
mahasiswa dapat memiliki subjective well-being yang
tinggi bila mahasiswa tersebut merasa mendapat
pengalaman
berharga
dalam
perkuliahan,
mengembangkan keterampilan sosial, serta mengasah
pola pikir (Putri, Agustina, & Ranimpi, 2019).
Berbagi peran antara menjadi seorang anak,
mahasiswa, serta pengurus organisasi tentulah
memiliki dinamika bagi seorang individu. Membagi
waktu, menyusun kegiatan, bertanggung jawab,
memiliki tujuan di bidang yang berbeda, memiliki
tanggung jawab yang harus dipenuhi dapat membuat
seorang mahasiswa memiliki penilaian yang berbedabeda terhadap kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kepuasan hidupnya. Adanya perbedaan peran diikuti
dengan adanya kecenderungan salah satu peran tidak
berjalan secara maksimal sehingg dapat menimbulkan
kecenderungan mahasiswa untuk menyalahkan dirinya
sendiri jika apa yang dijalani jauh dari apa yang
diekspektasikan.
Tentu saja harapannya adalah setiap mahasiswa
yang menjalankan beberapa peran sekaligus dapat
mengelola agar nilai subjective well-beingnya tinggi.
Subjective well-being mahasiswa dapat dikategorikan
tinggi jika sebagian besar emosi yang dirasakan bersifat
positif layaknya antusias dan merasa puas dengan
kehidupan akademik perkuliahan yang dijalani, aktif
melakukan banyak kegiatan positif baik dalam bidang
akademik maupun non-akademik, serta memiliki relasi
positif dengan lingkungan dan teman sebaya (Diener &
Lucas, 2009).
Untuk mengurangi kecenderungan pikiran dan
emosi negatif serta untuk meningkatkatkan rasa positif
pada individu dapat dilakukan dengan sikap belas kasih
atau self-compassion. Self-compassion dapat menjadi
suatu wadah yang memberikan dampak signifikan
terhadap kesejahteraan individu (Neff & McGehee,
2010). Self-compassion adalah suatu bentuk perhatian
serta kebaikan dari dan untuk diri sendiri ketika
dihadapkan pada kesulitan ataupun kekurangan dalam
dirinya (Neff, 2010).
Telah banyak dilakuakan penelitian mengenai selfcompassion yang berkorelasi positif dengan subjective
well-being seseorang. Self-compassion menjadi unik
karena merupakan konsep yang masih segar dimana
individu akan diarahkan untuk menilai dirinya sendiri
secara sehat tanpa harus melakukan perbandingan
sosial.
Self-compassion akan mengacu kepada empat
aspek, sebagai berikut.
1) Self-kindness : aspek ini mengukur tingkat
responden dapat mengasihi dirinya serta tidak
menyalahkan diri sendiri atas kegagalan yang
terjadi di dalam hidupnya
2) Kemanusiaan : aspek ini mengukur tingkat
responden menyadari bahwa masih terdapat banyak
orang yang lebih kurang beruntung dibanding
dirinya
3) Mindfulness : aspek ini mengukur tingkat
responden akan memahami dengan jelas kejadian
yang dialami
4) Self-compassion : aspek ini mengukur tingkat
responden dapat mempraktikkan keterampilan dari
3 tahap sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari
(Akmala, 2019).
Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan self-compassion
dalam meningkatkan subjective well-being mahasiswa
organisasi di Unesa.
METODE
Metode dalam penelitian ini kami metode kuantitatif
yaitu penyebaran kuisioner. Kuisioner terdiri dari
beberapa pertanyaan favorable dan unfavorable yang
terdapat 4 pilihan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju,
Tidak Setuju, Setuju, Sangat Setuju.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa Unesa yang ikut serta dalam kepengurusan
166
Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa
I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro
organisasi internal kampus. Sedangkan untuk
sampelnya sendiri berjumlah 79 subjek yang diambil
dengan teknik simple random sampling.Adapun
kriteria yang dapat mengisi kuisioner adalah :
1. Mahasiswa yang pernah mengikuti organisasi
kampus (HMJ, BEM, DPM, MPM) di Unesa
minimal 1 periode kepengurusan
2. Angkatan 2017-2018
3. Bersedia mengisi kuisioner
Instrumen yang digunakan untuk mengukur
subjective well-being adalah kuisioner The College
Students Subjective Well-Being Questionnaire
(CSSWQ) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia. Sampel akan diminta mengisi kuisioner pada
link google form yang telah diberikan dengan memilih
angka 1-4 berdasarkan skala likert sesuai dengan
pernyataan yang ada dan keadaan subjek.
Sedangkan untuk mengukur self-compassion
sampel menggunakan instrumen Self-Compassion
Scale modifikasi dari Dr. Kristin Neff. Sampel akan
diminta mengisi kuisioner pada link google form yang
telah diberikan dengan memilih angka 1-4 berdasarkan
skala likert sesuai dengan pernyataan yang ada dan
keadaan subjek.
Analisis data akan menggunakan Product Moment
yang dihitung melalui SPSS IBM 22.0 for windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3. Jumlah Responden ditinjau dari Organisasi
yang Pernah diikuti
Hasil pada bahasan kali ini dapat di analisa dengan
menggunakan perhitungan statistik pada SPSS.
Berdasarkan perhitungan tersebut terdapat hubungan
yang signifikan antara Subjective Well Being dengan
Self-Compassion pada mahasiswa organisasi unesa.
Tabel 1. Model Summary
R²
F
Linier
0.018
1.441
Quadratik
0.125
5.503
S
0.027
2.155
Sig
2.234
0.006
0.146
Uji asumsi menggunakan Model Summary and
Parameter Estimates diatas menunjukkan model yang
tepat untuk menganalisis data pada penelitian kali ini.
Ketiga model ini adalah yang paling umum, meskipun
masih ada kemungkinan model yang lain. Dari
nilai R² pada tabel terlihat bahwa model yang paling
tepat adalah model Quadratic karena memiliki R²
paling tinggi diantara semua pola. Jika menggunakan
model kudratik kita akan mendapatkan sumbangan
efektif sebesar 12.5% sedangkan kalau menggunakan
model linear hanya menghasilkan 1.8%.
Gambar 1. Jumlah Responden ditinjau dari Fakultas di
Unesa
Gambar 2. Jumlah Responden ditinjau dari Angkatan
Gambar 4. Grafik Quadratic
Berdasarkan gambar grafik diatas menunjukkan
bahwa model Quadratic hampir menyamai pola
hubungan antara Subjective Well Being dengan Self-
167
Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa
I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro
Compassion. Pada Subjective Well Being tingkat
kelompok rendah, semakin rendah Subjective Well
Beingnya maka semakin tinggi juga SelfCompassionnya. Sedangkan Subjective Well Being
kelompok tinggi, semakin rendah Subjective Well
Beingnya maka semakin rendah juga SelfCompassionnya. Kesimpulannya adalah terdapat 2
hasil bahwa tidak menutup kemungkinan seseorang
yang memiliki Subjective Well Being yang tinggi maka
Self-Compassionnya juga ikut semakin tinggi.
Meskipun demikian pola hubungan yang terjadi tidak
linear, namun justru membentuk pola Quadratic seperti
pada grafik diatas.
Tabel 2. Uji Korelasi
Pearson
Variabel
Correlatio
n (r)
SWB
-3.79
Compassio
Kelompo
k SWB
1
n
2
SWB
Compassion
0.252
Sig
(p)
0.01
2
0.03
3
Output di atas dibedakan berdasarkan kelompok
Subjective Well Being. Pada Kelompok 1 (kelompok
rendah), Subjective Well Being berkorelasi negatif
secara signifikan dengan Self-Compassion, dimana
pada nilai p 0.012 < 0,01 dengan r = -3.79. Sedangkan
pada kelompok 2 (kelompok tinggi), Subjective Well
Being berkorelasi positif secara signifikan dengan SelfCompassion, pada nilai p 0.033 < 0,01 dengan nilai r =
2.52. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa
sebenarnya ada hubungan antara Subjective Well Being
dengan Self-Compassion. Pada Subjective Well Being
tingkat kelompok rendah, dapat diketahui bahwa
semakin rendah Subjective Well Beingnya maka
semakin tinggi juga Self-Compassionnya. Sedangkan
pada Subjective Well Being kelompok tinggi, dapat
diketahui bahwa semakin rendah Subjective Well
Beingnya semakin rendah juga Compassionnya.
Berdasarkan hasil analisis penelitian maka terdapat
kecenderungan
hubungan
antara
aspek-aspek
Subjective Well Being dengan aspek-aspek pada SelfCompassion. Seseorang dengan nilai subjective well
being yang tinggi maka individu tersebut akan
mencapai kepuasan dan kegembiraan hidup
(Nurussalam & Izzati, 2018). Penilaian subjective wellbeing adalah melalui dua unsur yaitu afektif dan
kognitif. Unsur kognitif dinilai melalui pikiran individu
terhadap kepuasan kehidupan yang dijalani secara
menyeluruh maupun spesifik, seperti kehidupan
organisasi maupun relasi dengan individu lainnya
(Nayana, 2013). Sedangkan penilaian afektif ialah
berkaitan dengan emosi, mood (suasana hati), serta
feelings (perasaan) yang dialami individu tersebut
(Damayanti, Benu, & Pello, 2018).
Self-compassion akan mengacu kepada empat
aspek, sebagai berikut; (1) self-kindness : aspek ini
mengukur tingkat responden dapat mengasihi dirinya
serta tidak menyalahkan diri sendiri atas kegagalan
yang terjadi di dalam hidupnya; (2) kemanusiaan :
aspek ini mengukur tingkat responden menyadari
bahwa masih terdapat banyak orang yang lebih kurang
beruntung dibanding dirinya; (3) mindfulness : aspek
ini mengukur tingkat responden akan memahami
dengan jelas kejadian yang dialami; (4) selfcompassion : aspek ini mengukur tingkat responden
dapat mempraktikkan keterampilan dari 3 tahap
sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari (Akmala,
2019).
Secara aspek kognitif dalam subjective well being
berkaitan erat dengan aspek mindfullness dan
keterampilan self-compassion pada aspek selfcompassion. Sedangkan untuk aspek afektif dalam
subjective well-being berkaitan dengan aspek selfkindness dan kemanusiaan pada self-compassion.
PENUTUP
Simpulan
Pada Kelompok 1 (kelompok rendah), Subjective Well
Being berkorelasi negatif secara signifikan dengan SelfCompassion, dimana pada nilai p 0.012 < 0,01 dengan
r = -3.79. Sedangkan pada kelompok 2 (kelompok
tinggi), Subjective Well Being berkorelasi positif secara
signifikan dengan Self-Compassion, pada nilai p 0.033
< 0,01 dengan nilai r = 2.52. Kesimpulannya adalah
terdapat 2 hasil bahwa tidak menutup kemungkinan
seseorang yang memiliki Subjective Well Being yang
tinggi maka Self-Compassionnya juga ikut semakin
tinggi. Secara aspek kognitif dalam subjective well
being berkaitan erat dengan aspek mindfullness dan
keterampilan self-compassion pada aspek selfcompassion. Sedangkan untuk aspek afektif dalam
subjective well-being berkaitan dengan aspek selfkindness dan kemanusiaan pada self-compassion.
Saran
Saran penulis akan penulis tujukan kepada seluruh
mahasiswa organisasi agar senantiasa melatih,
membentuk, dan membangun self compassion sehingga
subjective well-being juga dapat meningkat. Hal
tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap
168
Hubungan Self Compassion untuk Meningkatkan Subjective Well Being pada Mahasiswa Organisasi Unesa
I Gusti Ayu Agung Istri Risna Prajna Devi, Yoga Seto Asmoro
jalannya organisasi kemahasiswaan yang sedang
diikuti.
Vaez, M., Kristenson, M., & Laflamme. (2004).
Perceived quality of life and self-rated health
among first-year university students. Social
Indicators Research, 68(2), 221-234
DAFTAR PUSTAKA
Akmala, L.A. (2019). Efektivitas pelatihan selfcompassion untuk meningkatkan resiliensi pada
anak keluarga tidak harmonis. Jurnal Psikologi
Islam, 6(1), 13-24
Anwar, P.M. (2003). Manajemen sumber daya
manusia perusahaan. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Arianti, J. (2010). Subjective well-being (kesejahteraan
subjektif) dan kepuasan kerja pada staf pengajar
(dosen) di lingkungan fakultas psikologi
Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Undip,
8(2)
Creswell, J.W. (2010). Research design : qualitative,
quantitative, and mixed methods approaches 3th.
(Achmad Fawaid, penerjemah). Yogyakarta
Damayanti, Y., Benu, J.M.Y., & Pello, S.C. (2018).
Hubungan subjective well-being dan psychological
well-being mahasiswa prodi psikologi Universitas
Nusa Cendana. Seminar Nasional Psikologi
Diener, E. Lucas. (2009). The science of well-being the
collected works of Ed Diener. USA : Springer
Ehrlich, B., & Isaacowitz. (2002). Does subjective
well-being increase with age? Perspective in
Psychology. Journal Spring, 5
Nayana, N.F. (2013). Kefungsian keluarga dan
subjective well-being pada remaja. Jurnal
Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Neff, K.D. (2010). Self-compassion, self-esteem, and
well-being. Journal of Social and Personality
Psychology Compass, 1-12
Neff, K.D., & McGehee, P. (2010). Self-compassion
and psychological resillience among adolescents
and young adults. Journal of Self and Identity, 9,
225-240
Nurussalam, A.R., & Izzati, U.A. (2018). Hubungan
antara komitmen organisasi dengan subjective
well-being pada guru. Jurnal Penelitian Psikologi
Character, 5(2), 1-5
Putri, S., Agustina, V., & Ranimpi, Y.Y. (2019).
Subjective well-being berhubungan dengan
prestasi akademik mahasiswa program studi ilmu
keperawatan. Jurnal keperawatan, 11(4), 243-250
Sudarman. (2004). Motivasi kepemimpinan dan
efektivitas kelompok. Jakarta : Rineka Cipta
Ulloa., moller, V., & Poza,A. (2013). How does
subjective well-being envolve with age? A literatur
review. German : Discussion paper, 7328
169
HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASI DALAM UPAYA
PEMBENTUKAN KARAKTER MAHASISWA
Lika Purnama Ning Wulan
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, lika.17010664002@mhs.unesa.ac.id
Chabibatul ‘Alimah
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, chabibatul.17010664017@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Mahasiswa memerlukan fondasi karakter yang kuat untuk dapat menjadi social control, agent of
change, dan iron stock. Dalam lingkungan kampus, terdapat berbagai organisasi yang memiliki
tujuan untuk membantu mahasiswa mengembangkan minat, bakat, kepemimpinan, cara berpikir
kritis, kebangsaan, hingga menumbuhkembangkan nilai moral dan sosial. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasi dan budaya organisasi dalam upaya
pembentukan karakter. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan jumlah sampel
sebanyak 106 mahasiswa yang ikut dalam organisasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam uji
hipotesis adalah teknik correlation product moment pearson. Hasil analisis data menunjukkan hasil r
= 0.819, dan Sig. 0.000 (p<0.05), yang berarti hasil penelitian signifikan dan korelasi positif
(berbanding lurus) pada kedua variabel. Sehingga semakin tinggi komitmen organisasi yang dimiliki
anggota, maka semakin tinggi budaya organisasi anggota organisasi.
Kata Kunci: Komitmen organisasi, Hubungan Organisasi, Pembentukan Karakter.
PENDAHULUAN
Berdasarkan pengertian yang tercantum dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa merupakan
seseorang yang sedang belajar di perguruan tinggi
(Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa, 2020).
Selain belajar, mahasiswa juga diberi 3 tugas khusus
yaitu sebagai social control, agent of change, dan iron
stock. Sebagai pengendali sosial, mahasiswa bertugas
untuk mengambil posisi sebagai penengah antara
rakyat dan pemerintah sekaligus menjadi pengamat,
dan memberikan kritik membangun atas peraturan dan
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebagai
agen perubahan, mahasiswa diharapkan dapat menjadi
sumber perubahan yang dapat menghasilkan sesuatu
yang positif bagi sosial kemasyarakatan. Kemudian
yang terakhir, sebagai iron stock mahasiswa
diharapkan menjadi manusia yang kuat, kokoh,
tangguh dan berakhlak mulia sebagai sosok yang akan
meneruskan bangsa (Istichomaharani & Habibah,
2016).
Namun, dalam pelaksanaan nya, mahasiswa
memiliki tantangan yang besar. Di zaman yang serba
maju dengan begitu banyak kemudahan yang
ditawarkan membuat mahasiswa terancam lupa akan
tujuan awalnya. Maka dari itu untuk menuntaskan
tugasnya, diperlukan fondasi karakter yang kokoh.
Karakter sendiri adalah identitas yang ada dalam diri
seseorang sekaligus merepresentasikan bagaimana
sesungguhnya diri orang tersebut (Rabbani, 2019).
Dalam definisinya, karakter memiliki konotasi positif,
dan memiliki moral yang kuat. Karakter tidak dapat
tercipta hanya dengan waktu singkat. Proses ini
memerlukan waktu yang lama dan kompleks seiring
dengan seseorang tumbuh dewasa (Anistyasari &
Muslim, 2020). Ada beberapa hal yang memengaruhi
bagaimana karakter seseorang terbentuk yaitu dari
keluarga, lingkungan, hingga lembaga pendidikan
tempat seseorang menimba ilmu (Rabbani, 2019).
Di lingkungan universitas terdapat lembaga
organisasi
kemahasiswaan
atau
lembaga
kemahasiswaan yang terbagi menjadi dua jenis yaitu
organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi yang
artinya diselenggarakan oleh satu perguruan tinggi dan
disetujui oleh pimpinan tertinggi. Kemudian ada
organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi yang
merupakan penyatuaan atau gabungan dari beberapa
himpunan dan organisasi kemahasiswaan yang
bertempat di salah satu perguruan tinggi yang menjadi
anggota (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi,
2019). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi,
fungsi dari organisasi kemahasiswaan adalah
sedikitnya untuk 1) memberikan wadah bagi
mahasiswa untuk mengembangkan kelebihan, bakat
dan minat yang dimiliki mahasiswa. 2) organisasi
kemahasiswaan berfungsi membantu mahasiswa
mengembangkan rasa berani, kemampuan berpikir
kritis, kreatifitas, kepemimpinan, kepekaan, hingga
rasa kebangsaan. 3) organisasi kemahasiswaan juga
bermaksud memenuhi kesejahteraan dan kepentingan
mahasiswa. 4) membantu mahasiswa menumbuh
170
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
kembangkan tanggung jawab dengan cara
mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat.
Untuk membuat sebuah organisasi menjadi
berhasil dibutuhkan partisipasi penuh dari anggota
nya. Menurut Yulianto (dalam Adnan & Prihatsanti,
2017) seseorang yang terlibat aktif dalam organisasi
akan dapat meningkatkan softskill nya dengan baik.
Kerelaan untuk berusaha yang terbaik serta
kepercayaan yang tinggi terhadap nilai yang dimiliki
organisasi disebut dengan komitmen organisasi
(Hanggardewa, 2018). Definisi lain menyebutkan
bahwa Komitmen organisasi merupakan keinginan
yang kuat seseorang supaya tetap menjadi anggota
suatu organisasi. Individu yang memiliki komitmen
terhadap organisasi akan mencerminkan loyalias
mereka,
dimana
individu
tersebut
akan
mengekspresikan rasa peduli pada organisasi,
keberhasilan dan kesejahteraan yang berkelanjutan
(Luthans, 2011). Selain itu, komitmen organisasi juga
berulangkali diakui sebagai faktor signifikan yang
menentukan cara kerja anggota dalam organisasi.
Komitmen juga merupakan faktor yang membuat
anggota terhubung dengan organisasi (Yahaya &
Ebrahim, 2016).
Meyer dan Allen dalam Luthans menyebutkan tiga
dimensi komitmen organisasi, yaitu:
1) Affective commitment
Dimensi ini terkait dengan anggota yang merasa
memiliki
hubungan
emosional
dengan
organisasinya. Hal ini membuat anggota tersebut
kemungkinan akan terus bertahan karena keinginan
nya sendiri.
2) Normative commitment
Dimensi ini terkait perasaan terikat dalam tanggung
jawab dan kewajiban sehingga ia memutuskan
terlibat aktif dalam organisasi. Komitmen ini bisa
terbentuk setelah anggota merasa mendapatkan
sesuatu yang istimewa atau sangat berharga dari
organisasi.
3) Continuance commitment.
Dimensi ini terkait pertimbangan seseorang
bertahan dalam organisasi karena memikirkan
resiko serta kerugian yang akan ditanggung apabila
ia memilih meninggalkan.
Selain itu, setiap organisasi pada umumnya
memiliki tata cara, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan
keunikannya masing-masing. Secara tidak sadar
anggota-anggota yang tergabung dalam organisasi
belajar tentang budaya yang dimiliki organisasinya
(Sutrisno, 2010). Secara lebih dalam, anggota
organisasi terdoktrinasi ke dalam sebuah keyakinan dan
asumsi yang unik yang pada akhirnya membentuk
sebuah dasar untuk berperilaku yang sama (Driskill,
2019). Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2018)
menyebutkan bahwa budaya yang ada dalam sebuah
organisasi akan menentukan perilaku seluruh anggota
dalam organisasi tersebut. Selain itu, budaya organisasi
terbukti berpengaruh positif terhadap pembentukan
karakter mahasiswa (Muslianti, 2019). Sehingga dapat
diartikan bahwa, jika sebuah organisasi memiliki
budaya yang baik maka akan dapat membawa anggota
di dalamnya berperilaku baik pula.
Sutrisno (2010) membahas lebih dalam mengenai
budaya organisasi. Tokoh ini mendefinisikan budaya
organisasi sebagai sebuah kesatuan nilai (beliefs),
pandangan, keyakinan, norma yang telah lama
digunakan, dan secara sepakat dilakukan oleh anggota
sebagai suatu tuntunan untuk menyelesaikan persoalan
yang dihadapi oleh organisasi. Masih menurut Sutrisno,
budaya organisasi adalah sebuah kekuatan sosial yang
tidak dapat dilihat namun mampu membuat anggotanya
melakukan berbagai hal.
Menurut Denison & Mishra (1995) terdapat empat
dimensi dari budaya organisasi, yaitu:
1) Adaptability
Dimensi ini menggambarkan organisasi yang
mampu beradaptasi, berani mengambil resiko untuk
menciptakan perubahan, serta organisasi yang
sanggup belajar dan memahami lingungan sekitar.
2) Mission
Adalah arah dan tujuan kemana organisasi ini akan
dibawa. Dimensi ini mencakup visi, misi, sasaran,
dan arahan strategi.
3) Involvement
Dimensi ini terkait dengan keterlibatan anggota
dalam organisasi. Segala aktifitas yang dilakukan
oleh anggota organisasi adalah berdasarkan tujuan
yang telah di tetapkan sebelumnya. Dimensi ini
terkait memprioritaskan upaya pengembangan
kemampuan anggota, dan bekerja sama dalam tim.
4) Consistency
Dimensi ini terkait tingkat integrasi dan koordinasi
yang tinggi. Konsisten berjalan pada nilai-nilai inti,
kesepakatan, koordinasi, dan integrasi.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
komparatif. Sampel penelitian ini berjumlah 106
mahasiswa yang mengikuti organisasi universitas, baik
HMJ, BEM F, BEM U, dll. Instrumen penelitian yang
digunakan adalah angket dengan modifikasi skala yang
sudah ada sebelumnya. Skala komitmen organisasi
yang digunakan adalah skala komitmen organisasi yang
dikembangkan oleh
Hidayat (2018) dengan
171
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
berdasarkan definisi komitmen organisasi Luthans.
Sedangkan skala budaya organisasi yang digunakan
merupakan skala yang telah diadaptasi oleh Baroroh
(2016) dengan aspek-aspek budaya organisasi Denison.
Analisis data penelitian menggunakan teknik product
moment Pearson dengan menggunakan bantuan
program aplikasi komputer SPSS 24.0 for windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan adalah
mahasiswa yang aktif mengikuti kegiatan organisasi di
lingkungan Universitas Negeri Surabaya. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara
komitmen organisasi terhadap budaya organisasi dalam
upaya pembentukan karakter mahasiswa. Hasil
penelitian dilaporkan dengan menggunakan statistik
deskriptif dan inferensial. Hasil perhitungan deskriptif
kuantitatif disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Statistik Deskriptif Skor Komitmen
Organisasi dan Budaya Organisasi
Skor
Skor
Variab
Me
n
SD
Minim Maksim
el
an
um
um
Komit
men
10 68.0 9.16
21
84
Organis 6
5
2
asi
Budaya
10 66.3 11.6
Organis
21
84
6
8
45
asi
Berdasarkan Tabel 1 tersebut, diketahui bahwa
skor hipotetik pada kedua variabel (komitmen
organisasi dan budaya organisasi) terdiri atas 21 aitem
valid. Mean hipotetik variabel komitmen organisasi
adalah 68.05 dan mean hipotetik variabel budaya
organisasi adalah 66.38.
Untuk uji hipotesis dilakukan menggunakan
statistik inferensial uji korelasional product moment
pearson. Hasil analisis tersebut disajikan dalam pada
tabel 2.
Tabel 2. Tabel Uji Korelasi Komitmen Organisasi
terhadap Budaya Organisasi
Komitmen
Organisasi
Budaya
Organisasi
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
n
0.819
0.000
106
Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan
dengan menggunakan product moment correlation
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara
kedua variabel. Hasil tersebut ditunjukkan oleh tabel
yang menunjukkan hasil Sig. 0.000 yang berarti lebih
kecil dari 0.05. Hasil tersebut dapat diartikan bahwa
hasil penelitian signifikan. Kemudian pada tabel
tersebut juga didapatkan hasil pearson correlation
sebesar 0.819, yang berarti hasil korelasi pada hasil
analisis data memiliki arti korelasi positif (berbanding
lurus) pada kedua variabel.
Pembahasan
Bedasarkan uraian hasil penelitian, diketahui jika hasil
korelasi yang positif dan signifikan menunjukkan
bahwa komitmen organisasi memiliki peran penting
pada budaya organisasi. Hal ini sesuai dengan
penelitian lain. Penelitian lain dilakukan oleh Dewi &
Farida (2015) pada karyawan PT. Bank Tabungan
Negara (Persero),Tbk dengan hasil penelitian thitung
4,665 > ttabel 1,997. dengan arah hubungan positif yang
berarti semakin baik budaya organisasi, semakin tinggi
komitmen organisasi karyawan.
Penelitian serupa juga dilakukan Nurrahma dan
Widawati (2019) pada Tim Mataharikecil Bandung
dengan hasil penelitian terdapat hubungan signifikan
antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi
yang berarti semakin kuat budaya organisasi, maka
akan semakin tinggi komitmen organisasinya.
Budaya organisasi adalah sebuah kekuatan sosial
yang tak benar-benar dilihat tetapi bisa menggerakkan
orang dalam organisasi agar melakukan suatu aktivitas
kerja (Sutrisno, 2010). Dalam budaya organisasi ini
juga terdapat beberapa dimensi. Denison dan Mishra
(1995) menyebutkan empat dimensi budaya organisasi
terdiri atas adaptability, mission, involvement, dan
consistency. Keempat dimensi tersebut secara
keseluruhan akan menggambarkan kemampuan untuk
merespon perubahan lingkungan eksternal, tujuan inti
organisasi, tingkat partisipasi anggota, dan
kesepakatan anggota pada nilai serta asumsi dasar
organisasi.
Dalam suatu lingkungan kampus, terdapat
bermacam-macam organisasi. Dalam organisasi
tersebut terdiri atas banyak individu dengan latar
belakang buadaya yang berbeda-beda. Sedangkan
dalam setiap organisasi itu sendiri pasti memiliki
budaya yang unik dan khas yang hanya ada ada
organisasi tersebut. oleh karenanya agar bisa berbaur
dan beradaptasi dengan organisasi tersebut, anggotanya
juga harus mampu untuk beradaptasi dengan budaya
organisasi itu.
172
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
Selain berbeda latar belakang budaya, setiap
anggota organisasi tersebut juga memiliki tingkat
komitmen organisasi yang berbeda-beda pula. Luthans
(2011) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
keinginan yang kuat seseorang supaya tetap menjadi
anggota suatu organisasi. Individu yang memiliki
komitmen terhadap organisasi akan mencerminkan
loyalias mereka, dimana individu tersebut akan
mengekspresikan rasa peduli pada organisasi,
keberhasilan dan kesejahteraan yang berkelanjutan
(Luthans, 2011). Seperti halnya budaya organisasi,
komitmen organisasi ini juga terdiri atas beberapa
dimensi. Meyer dan Allen dalam Luthans menyebutkan
tiga dimensi komitmen organisasi yaitu affective
commitment, normative commitment, dan continuance
commitment.
Karakter dalam KBBI berarti “(n) sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain; tabiat; watak” (Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Samrin
(2016) mengatakan bahwa karakter identik terhadap
akhlak atau kepribadian. Sehingga karakter adalah
identitas yang ada dalam diri seseorang dan
merepresentasikan kepribadian. Oleh karenanya
karakter ini dianggap sebagai suatu yang positif dan
memiliki nilai moral yang kuat.
Karakter akan terbentuk apabila budaya
organisasinya kuat atau baik dan komitmen
organisasinya tinggi. seperti penelitian yang dilakukan
oleh Messner dalam Jabri dan Ghazzawi (2019)
menyebutkan bahwa saat budaya etis sebuah organisasi
meningkat, maka loyalitas, perasaan bangga, dan
dukungan anggota yang mengarah kepada komitmen
organisasi yang lebih besar. Selain itu, Yoon dan Park
dalam Jabri dan Ghazzawi (2019) juga menyatakan
bahwa pelaksanaan ethical corporate menjadi sangat
penting untuk membentuk komitmen tertinggi dan
budaya yang saling menghormati.
Oleh karena itu, jika dalam sebuah organisasi nilai
budaya dan juga komitmennya tinggi, akan menjadikan
salah satu bentuk upaya pengembangan karakter yang
cukup efektif. Hal itu pun sesuai dengan tujuan
mahasiswa sebagai agent of change, social control dan
iron stock.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil serta pembahasan penelitian dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan signifikan positif antara
komitmen organisasi dengan budaya organisasi
pada mahasiswa yang mengikuti organisasi di
lingkungan Universitas Negeri Surabaya. Hasil
korelasi positif ini menunjukkan jika komitmen
organisasi seseorang tinggi, maka budaya
organisasi mereka juga akan tinggi.
2. Hubungan komitmen organisasi dan budaya
organisasi yang kuat akan mampu menjadi salah
satu upaya pengembangan karakter mahasiswa.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti ingin
memberikan saran kepada 1) pihak organisasi untuk
terus meningkatkan komitmen organisasi, seperti
secara berkala mengadakan kegiatan outbond, atau
upgrading yang mengedepankan kegiatan bersama
anggota lain dalam organisasi serta menguatkan budaya
organisasi yang baik agar pembentukan karakter pada
anggota dapat semakin baik pula. 2) kepada peneliti
selanjutnya yang tertarik meneliti topik yang sama agar
dapat memperluas jangkauan subyek penelitian agar
didapatkan pandangan baru serta hasil yang lebih
kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, B. R., & Prihatsanti, U. (2017). Hubungan
antara psychological capital dengan komitmen
organisasi pada mahasiswa UNDIP. Jurnal
Empati, 6(4), 185-194.
Anistyasari, Y., & Muslim, S. (2020). Pengaruh
praktik kerja industri terhadap pembentukan
karakter mahasiswa teknik informatika Universitas
Negeri Surabaya. Journal of Vocational and
Technical Education, 2(1), 30-36.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online].
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. Dipetik April 25, 2020, dari
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gaji
Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa. (2020).
Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Daring.
Diambil
kembali
dari
kbbi.web.id:
kbbi.web.id/mahasiswa.html
Baroroh, N. A. (2016). Peran budaya organisasi
terhadap efektivitas organisasi di HMI cabang
kota Malang. Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik
Ibrahim.
Denison, D. R., & Mishra, A. K. (1995). Toward a
theory of organizational culture and effectiveness.
Organization Science, 6(2), 204-223.
Dewi, S., & Farida, L. (2015). Hubungan budaya
organisasi dengan komitmen organisasi pada PT.
Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk kantor
cabang Pekanbaru. JOM FISIP, 2(2), 1-12.
173
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
Driskill, G. W. (2019). Organizational Culture in
Action: A Cultural Analysis Workbook (3rd ed.).
New York: Routledge.
Hanggardewa, A. A. (2018). Hubungan kohesivitas
kelompok dengan komitmen organisasi pada
anggota organisasi mahasiswa Universitas Negeri
Surabaya Periode 2017. Jurnal Penelitian
Psikologi, 5(3), 1-5.
Sutrisno, E. (2010). Budaya Organisasi. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Yahaya, R., & Ebrahim, F. (2016). Leadership styles
and organizational commitment: Literature review.
Journal of Management Development, 35(2), 190216.
Hidayat, O. (2018). Pengaruh kecerdasan adversitas
terhadap komitmen dalam berorganisasi pengurus
organisasi kemahasiswaan FIP UNY. Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Istichomaharani, I. S., & Habibah, S. S. (2016).
Mewujudkan peran mahasiswa sebagai "Agent of
Change, Social Control, dan Iron Stock". Prosiding
Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
"Pengintegrasian
Nilai
Karakter
dalam
Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN".
Jabri, B. A., & Ghazzawi, I. (2019). Organizational
commitment: A review of the conceptual and
empirical literature and a research agenda.
International Leadership Journal “ILJ”, 11(1), 78119.
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi. (2019).
Panduan bantuan dana kegiatan organisasi
kemahasiswaan. RISTEKDIKTI.
Luthans, F. (2011). Organizational behavior (12th
ed.). New York: The McGraw-Hill Co., Inc.
Muslianti. (2019). Pengaruh budaya organisasi
himpunan mahasiswa program studi pendidikan
IPS terhadap pembentukan karakter mahasiswa
program studi pendidikan IPS FIS UNM. Naskah
Publikasi , 1-15.
Nurrahma, R. F., & Widawati, L. (2019). Hubungan
budaya organisasi dengan komitmen organisasi
pada tim Mataharikecil Bandung. Prosiding
Psikologi, 5(1), 37-44.
Presiden Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012, tentang
Pendidikan Tinggi. Jakarta: Sekretariat Negara.
Rabbani, M. F. (2019). Peran organisasi mahasiswa
MENWA UMS terhadap pengembangan karakter
tanggung jawab bagi anggota tahun angkatan
2018/2019.
Samrin. (2016). Pendidikan karakter (Sebuah
pendekatan nilai). Jurnal Al-Ta'dib, 9(1), 120-143.
Setiawan, A. A. (2018). Pengaruh kerjasama tim dan
budaya organisasi terhadap loyalitas organisasi
pada organisasi Pusat Studi Islam Mahasiswa
Universitas Mulawarman. Psikoborneo, 6(3), 535546.
174
TRADISI GAWI ADAT DAN IMPLIKASINYA DALAM MKU PENDIDIKAN ETIKA DAN
KEARIFAN LOKAL
Farida Ariyani
Magister Pendidikan Bahasa dan Kebudayaan Lampung, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Lampung, farida.ariyani@fkip.unila.ac.id
Edi Siswanto
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung,
edi.siswanto@fkip.unila.ac.id
Siska Mega Diana
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung,
siskamega.diana@fkip.unila.ac.id
Abstrak
Tradisi upacara adat merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat yang masih dianggap memiliki nilai-nilai budaya luhur. Kampung Tua
Negara Batin Kabupaten Way Kanan sampai saat ini meski di tengah Pandemi Covid-19 masih
mempertahankan keaslian potensi kearifan lokal, salah satunya adalah upacara tradisi Gawi Adat.
Fokus kajian penelitian ini adalah tradisi Gawi Adat dengan tujuan penelitian mendeskripsikan
tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan dan implikasinya dalam
Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Manfaat penelitian ini adalah sebagai
bentuk pendokumentasian kajian interaksi simbolik tradisi Gawi Adat sebagai penambah referensi
materi perkuliahan. Penelitian kualitatif digunakan sebagai desain dari proses pengambilan data
sampai analisis data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi Gawi Adat diawali dengan
bentuk upacara tradisi Gawi Adat, fungsi upacara Gawi Adat, dan makna tradisi Gawi Adat.
Implementasi tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way Kanan sebagai
refernsi/materi pembelajaran tambahan pada CPMK3 (Budaya Lampung dan Sejarah
Perkembangannya) dengan salah satu indikator mahasiswa mampu memamhami tentang sistem
perkawinan adat Lampung dan merupakan inovasi baru dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan
Lokal, khususnya di Kampus Hijau Universitas Lampung. Sebagai produk inovasi pembelajaran,
pada tahap implementasi dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk dosen dan mahasiswa dalam
pembentukan karakter serta mendongkrak keberadaan tradisi lokal Lampung untuk lebih membumi
dan membantu mahasiswa untuk dapat mengerti sekaligus menerapkan dalam kehidupan
mendatang sebagai pewaris kebudayaan Lampung.
Kata Kunci: tradisi gawi adat, implikasi, pendidikan etika dan kearifan lokal.
PENDAHULUAN
Setiap kelompok masyarakat di suatu wilayah pasti
memiliki kehidupan berbudaya. Dalam masyarakat
yang berbudaya tersebut memuat sebuah tradisi yang
memiliki ciri khas berbeda-beda di setiap
kelompoknya. Tradisi atau kebiasaan itu merupakan
sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan kelompok masyarakat lokal
tertentu di suatu wilayah. Di Kampung Tua Negara
Batin Kabupaten Way Kanan sampai saat ini meski di
tengah Pandemi Covid-19 masih mempertahankan
keaslian potensi kearifan lokal, salah satunya adalah
upacara tradisi Gawi Adat. Kampung Tua Negara Batin
merupakan salah satu kecamatan yang ada dan terletak
di sebelah utara Kabupaten Way Kanan. Kampung Tua
Negara Batin ini dihuni oleh orang Lampung yang
berasal dari keturunan Lampung sehingga tradisi-
tradisi adat masih hidup, berkembang, dan terjaga.
Salah satu tradisi adat yang ada adalah tradisi Gawi
Adat. Gawi Adat adalah proses penyelesaian
pengakuan seseorang oleh para punyimbang (tokoh
adat di komunitas keadatan tertentu). Potensi kearifan
lokal seperti inilah yang dapat dijadikan salah satu
bahan kajian dalam perkuliahan (Ariyani, 2018: 1).
Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan Kearifan
Lokal merupakan salah satu mata kuliah penciri
Universitas Lampung yang memangku amanah untuk
merepresentasikan nilai-nilai kelokalan Provinsi
Lampung itu sendiri. Di dalam Rancangan
Pembelajaran Semester (RPS) Mata Kuliah Umum
Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal terdapat capaian
pembelajaran mata kuliah yang mengharuskan
mahasiswa dapat memahami budaya Lampung dan
perkembangannya, salah satu submateri yang
175
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
disuguhkan adalah upacara perkawinan masyarakat
adat Lampung. Maka, tradisi Gawi Adat di Kampung
Tua Negara Batin Way Kanan diharapkan dapat
dijadikan referensi tambahan bagi dosen pengajar dan
mahasiswa dalam mengimplementasikan kearifan
lokal Lampung. Hal ini tentunya akan menambah
wawasan khasanah budaya bagi mahasiswa asli Suku
Lampung maupun mahasiswa di luar Suku Lampung.
Dari uraian latar belakang tersebut, maka peneliti
merasa perlu dan penting untuk melakukan penelitian
dengan judul “Tradisi Gawi Adat dan Implikasinya
dalam Mata Kuliah Umum Pendidikan Etika dan
Kearifan Lokal”. Penelitian ini akan dianalisis
menggunakan kajian interaksi simbolik sehingga
mahasiswa benar-benar dapat memahami suatu tradisi
yang baik yang dimiliki masyarakat adat Lampung.
Budaya berasal dari kata Sansakerta buddhayah,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi”
atau “akal” (Koentjaraningrat, 2009: 146). Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang
bersangkutan dengan akal”. Manusia belajar berpikir,
merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang
patut menurut budayanya. Selanjutnya Soemanrjan dan
Soemardi dalam (Soekanto, 1990: 173) merumuskan
kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat.
Karya
masyarakat
menghasilkan
teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudaayaan jasmaniah (material
culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat
diabadikan untuk keperluan masyaarakat. Kebudayaan
juga mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya seseorang bertindak, berbuat, menentukan
sikapnya jika mereka berhubungan dengan orang lain.
Kebudayaan merupakan suatu garis-garis pokok
tentang perilaku yang menetapkan peraturan-peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang
seharusnya dilakukan, apa yang dilarang dan lain
sebagainya (Robin M. Williamms dalam Soekanto,
1990: 173).
Upacara adat merupakan salah satu tradisi
masyarakat tradisional. Upacara adat terdiri dari dua
kata, upacara dan adat. Upacara adat juga merupakan
tingkah laku resmi yang dilakukan untuk peristiwaperistiwa yang dapat ditunjukkan pada kegiatan teknis
sehari-hari, tetapi mempunyai kaitan dengan kekuatan
diluar kemampuan manusia atau gaib (Adrianto, 2010:
794). Upacara adat ini dilakukan oleh masyarakat yang
menjadi pencerminan semua perencanaan dan tindakan
yang diatur dalam tata nilai luhur dan diwariskan
secara turun temurun kemudian mengalami perubahan
menuju kebaikan sesuai dengan tuntutan zaman.
Eksisnya sebuah tradisi tentu tidak lepas dari peran
masyarakaat pendukungnya untuk menegaskan bahwa
masyarakat memiliki sistem nilai yang mengatur tata
kehidupan dalam masyarakat. Sistem nilai budaya
merupakan suatu rangkaian konsep-konsep abstrak
yang hidup di dalam pikiran sebagian besar warga
suatu masyarakat. Sistem nilai budaya tersebut
berfungsi sebagai pedoman sekaligus pendorong sikap
dan perilaku manusia dalam hidupnya, sehingga
berfungsi sebagai suatu sistem kelakuan yang paling
tinggi tingkatannya (Muhannis, 2004: 4).
Pendidikan merupakan salah satu proses belajar
kebudayaan yang didapat manusia di lingkungan
formal. Pendidikan secara praktis tidak dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Keduanya sangat
erat hubungannya karena saling melengkapi dan
mendukung antara satu sama lainnya. Menurut UU No.
23 Tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Pendidikan juga suatu usaha
masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi
mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat
dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya
dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan
bangsa. Oleh karena itu, untuk meneruskan tradisi
budaya yang ada maka diperlukan suatu proses
pendidikan sebagai media untuk mentransfer nilai-nilai
budaya.
Saat ini kreativitas dan inovasi menjadi kata kunci
penting untuk memastikan pembangunan Indonesia
yang berkelanjutan. Di dunia pendidikan khususnya
pendidikan tinggi, para mahasiswa harus disiapkan
menjadi pembelajar sejati yang terampil, lentur dan
ulet. Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka
yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan merupakan kerangka untuk menyiapkan
mahasiswa menjadi sarjana yang tangguh, relevan
dengan kebutuhan zaman, dan siap menjadi pemimpin
dengan semangat kebangsaan yang tinggi. Kebijakan
Merdeka Belajar - Kampus Merdeka ini sesuai dengan
Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi, pada Pasal 18 disebutkan
bahwa pemenuhan masa dan beban belajar bagi
mahasiswa program sarjana atau sarjana terapan dapat
dilaksanakan: 1) mengikuti
seluruh
proses
pembelajaran dalam program studi pada perguruan
176
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
tinggi sesuai masa dan beban belajar; dan 2) mengikuti
proses pembelajaran di dalam program studi untuk
memenuhi sebagian masa dan beban belajar dan
sisanya mengikuti proses pembelajaran di luar program
studi (Kemdikbud: 2020: 2).
Kearifan lokal merupakan pengetahuan masyarakat
yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan menciptakan kedamaian bagi masyarakat dalam
suatu komunitas. Nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya berasal dari nilai budaya yang luhur dan
dapat
digunakan
untuk
menata
kehidupan
bermasyarakat (Sibarani, 2012: 111-113). Salah satu
pembelajaran yang dapat dikembangkan di Universitas
Lampung di masa Merdeka Belajar adalah Mata Kuliah
Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Mata kuliah ini
sangat penting untuk diterapkan seorang pendidik
dalam proses belajar mengajar untuk mengembangkan
karakter peserta didik. Pendidikan etika dan kearifan
lokal adalah sebuah pendidikan yang mengutamakan
karakter dan etika seorang peserta didik untuk
menghadapi tantangan globalisasi tanpa meninggalkan
kearifan lokal budayanya. Oleh karenanya, hal yang
ingin dicapai dalam penelitian tradisi Gawi Adat ini
dapat diimplikasikan dalam mata kuliah pendidikan
etika dan kearifan lokal sebagai proses belajar yang
dibangun oleh dosen untuk mengembangkan kreatifitas
berpikir mandiri di masa Merdeka Belajar sehingga
dapat membentuk etika yang baik dalam memahami
kearifan lokal yang merupakan warisan budaya
Lampung.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data
upacara tradisi adat yang masih dilaksanakan dan terus
diwarisi pada generasi penerusnya di Kampung Tua
Negara Batin Kabupaten Way Kanan melalui
pendeskripsian:
1. bentuk, fungsi, dan makna tradisi Gawi Adat di
Kampung Tua Negara Batin Way Kanan;
2. implementasi tradisi Gawi Adat dalam Mata Kuliah
Umum Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal.
METODE
Berkaitan dengan model yang digunakan dalam
penelitian budaya ini, jenis penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif.
Penelitian kualitatif adalah pendekatan yang digunakan
untukmeneliti pada kondisi objek alamiah, peneliti
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi, analisi bersifat induktif
kualitatif, dan hasil penelitian lebih menekankan
makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2015: 16).
Penahapan penelitian ini merujuk pada pendapat
Endraswara (2012: 2014) bahwa pada prinsipnya
metode penelitian budaya meliputi wilayah (setting),
cara memperoleh data, teknik yang digunakan dalam
analisi, validitas dan reabilitas data yang digunakan.
Penelitian ini memfokuskan pada tradisi Gawi Adat
yang ada di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten
Way Kanan. Penentuan lokasi tersebut adalah dengan
pertimbangan bahwa Kampung Tua Negara Batin Way
Kanan adalah kampung yang pertama kali ada dalam
sejarah terbentuknya kecamatan Negara Batin, yang
telah berusia ratusan tahun. Selain itu, Kampung Tua
Negara Batin ini dihuni oleh orang Lampung asli yang
berasal dari keturunan Lampung yang masih
mempertahankan keaslian potensi kearifan lokal.
Aktivitas budaya di Kampung Tua Negara Batin masih
sangat terasa. Hal itu bisa langsung kita dapatkan saat
memasuki wilayah Kampung Tua dengan disambut
symbol-simbol bangunan adat yangmasih terhitung
banyak, seperti bangunan rumah juga balai-balai
tempat pertemuan masyarakat.
Dalam
menentukan
informan
penelitian,
menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan
informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan
informan berikutnya sampai mendapatkan ‘data jenuh”
tidak terdapat informasi lagi (Endraswara, 2012: 239).
Informan kunci dalam penelitian ini adalah dua sosok
yang merupakan bagian dari tokoh adat juga panitia inti
pelaksana upacara tradisi adat di Kampung Tua Negara
Batin Way Kanan. Informan kunci adalah (1) Hi.
Pahman Jamal R,S.E. dengan Adok Sutan Paku Alam,
usia 61 tahun. Dalam masyarakat berkedudukan
sebagai Punyimbang dalam Marga Buay Pemuka
Pangeran Ilir, Negara Batin; dan (2) Lukman dengan
Adok Tuan Kemala Sakti, usia 58 tahun. Kedudukan
dalam masyarakat adat Lampung sebagai Ketua Panitia
Adat dalam upacara tradisi di Kampung Tua Negara
Batin Way Kanan.
Teknik participant onservation dan indepth
interview yang dijelaskan dalam Endraswara (2012:
240) dipilih sebagai teknik yang digunakan untuk
pengumpulan data dalam penelitian ini dalam
melakukan participant observation merujuk pada
pendapat Spradley bahwa peneliti berusaha
menyimpan pembicaraan informan, membuat
penjelasan berulang, menegasakan pembicaraan
informan, dan tidak
menanyakan makna tetapi
gunanya. Untuk memaksimalkan perolehan data,
wawancara mendalam dilakukan sebelum dan sesudah
pelaksanaan penelitian. Dalam rangka mencapai
keabsahan data, dilakukan dengan cara pengamatan
secara terus-menerus dan triangulasi. Pengamatan
terus-menerus dipilih dengan cara sedikitnya dua atau
tiga kali melalui video yang diputar. Triangulasi
177
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
dilakukan dengan cara pengecekan ulang oleh
informan setelah wawancara ditranskrip.
Data penelitian adalah upacara tradisi Gawi Adat
yang dilaksanakan di Kampung Tua Negara Batin.
Dalam penelitian ini menggunakan model of yakni
mengadakan pengamatan terlibat, kemudian secara
emik (merujuk pada pendapat Kaplan dan Manners
dalam Endraswara, 2012: 242) yaitu menanyakan
kepada pelaku upacara tradisi Gawi Adat tersebut
untuk mengungkapkan makna dan fungsi sesuai
dengan “kategori kemasyarakatan setempat”. Peneliti
melakukan refleksi dengan informan terhadap sikap,
ucapan, dan tindakan ritual, serta simbol kebendaan
yang dilakukan dalam upacara tradisi Gawi Adat
tersebut sehingga terjadi penafsiran intersubjektif.
Hasil penafsiran ini kemudian direalisasikan dengan
kerangka teori yang telah dibangun untuk menemukan
pemahaman makna dan fungsi dari upacara tradisi
Gawi Adat secara menyeluruh
HASIL DAN PEMBAHASAN
Masyarakat adat Lampung Kampung Tua Negara Batin
mengenal istilah Gawi Adat. Gawi Adat adalah proses
penyelesaian pengakuan seseorang oleh para
penyimbang (tokoh adat di komunitas keadatan
tertentu). Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin
adalah pengakuan oleh Buay Pemuka Pengiran Ilir
(BPPI) yang terdiri atas marga dalom, marga gedung,
mala pura, dan bangsa raja.
Bentuk Tradisi Upacara Gawi Adat
Gawi Adat dalam tradisi masyarakat adat Lampung
Kampung Tua Negara Batin meliputi:
(1) Begawi Balak yang terbagi menjadi dua gawi adat
yaitu cakak pepaddun dan mancor jaman.
(2) Begawi Biasa yang di dalamnya gawi adat balin
adok
Pada begawi balak, peristiwa adat yang
diekspresikan meliputi cakak pepaddun dan mancor
jaman. Cakak pepaddun merupakan upacara gawi adat
yang mengakui seseorang laki-laki karena hak dan
kewajibannya, ia menjadi punyimbang marga. Hal
tersebut ditandai dengan proses menaiki pepaddun
(singgahsana kursi yang diduduki). Dalam upacara
cakak pepaddun terdapat acara serak sepih, pesuwa,
tari tigol, panca haji, penjarau (panjat pinang), dan
melaksanakan canggot. Untuk prosesi gawi adat
mancor jaman adalah sebuah gawi adat yang
merekonstruksi atau menggambarkan kembali
kedudukan yang pernah melekat pada seorang kakek
yang akan diulang oleh cucunya sebagai pewaris adat
milik kakeknya. Pada peristiwa itu dimaknai sebagai
upaya memperbaharui atau membersihkan lagi karena
pernah begawi. Selanjutnya, balin adok adalah
menerangkan adok yang dimiliki sebelum menikah dan
pemberian setelah menikah baik oleh keluarga laki-laki
maupun keluarga perempuan.
Fungsi Tradisi Upacara Gawi Adat
Untuk masyarkat adat Lampung di Kampung Tua
Negara Batin melaksanakan gawi adat memiliki fungsi
untuk melaksanakan representasi Piil Pesenggiri yang
terdiri atas 4 pilar, yaitu bejuluk-beadek, nemui
nyimah, nengah nyappur, sakai sambayan. Selain itu
gawi adat dalam masyarakat Lampung di Kampung
Tua Negara Batin bisa menjadi indikator penentu atau
penunjuk status sosial dalam adat berada pada
tingkatan 24, 18, 16, 12. Sisi lain hal tadi, secara
konvensi ulun lappung kebanggaan hidupnya ulun
lappung itu ditandai dengan tiga hal, yaitu (1) begawi,
(2) nganak ragha (punya anak laki-laki), dan (3) cakak
aji atau naik haji (informasi diperoleh dari Alm.
OmTanto Marga)
Makna Tradisi Upacara Gawi Adat
Selanjutnya, makna tradisi upacara Gawi Adat dalam
masyarakat Lampung di Kampung Tua Negara Batin
adalah pewarisan nilai-nilai hidup yang diturunkan
pada anak keturunannya dengan tujuan untuk terus
dapat dilestarikan dan dikembangkan sebagai potensi
hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan
agama. Untuk keturunan masyarakat adat lampung di
Kampung Tua Negara Batin baru akan diakui
keabsahan Gawi Adat jika pelaksanaanya di lakukan di
Sesat Puranti Gawi di Negara Batin. Hal itu
sesungguhnya secara implisit bagi siapapun keturunan
keluarga adat Negara Batin harus kembali pulang
untuk mengunjungi tanah leluhur untuk menunjukkan
asal muasal leluhurnya.
Implementasi Tradisi Gawi Adat dalam MKU
Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal
Pada dasarnya kegiatan pembelajaran di perguruan
tinggi, selain menjadikan mahasiswa menguasai
capaian mata kuliah yang ditargertkan, juga merancang
mahasiswa untuk menjadi manusia yang baik, peka,
peduli dan juga mampu menginternalisasi nilai-nilai
luhur yang bersumber dari kearifan lokal setempat. Hal
tersebut dapat menjadikan mahasiswa berperilaku
lebih baik dari fase sebelumnya di kehidupan seharihari. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
diperoleh data bahwa tradisi Gawi Adat dapat
diimplementasikan ke dalam MKU Pendidikan Etika
dan Kearifan Lokal. Pengimplementasian ini dapat
178
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
dilihat dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS)
yang dapat dijadikan modal dasar oleh dosen dan
mahasiswa sebagai pembentukan karakter dan sebagai
alat bantu untuk melestarikan potensi kearifan lokal
Lampung. Melalui pengimplementasian ini mahasiswa
dapat dengan mudah memahami dan menjalankan
Merdeka Belajar karena materi telah terintegrasikan
secara baik.
Adapun cuplikan Rencana Pembelajaran Semester
(RPS) Mata Kuliah Pendidikan Etika dan Kearifan
Lokal adalah sebagai berikut.
UNIVERSITAS LAMPUNG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)
179
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
Dari hasil dan pembahasan disebutkan bahwa
tradisi Gawi Adat di Kampung Tua Negara Batin
Kabupaten Way Kanan merupakan kajian interaksi
simbolik: bentuk, fungsi, dan makna) dan telah
diuraikan di atas. Berdasarkan tabel cuplikan RPS,
tradisi Gawi Adat dapat dijadikan referensi pada
CPMK3
yaitu
Budaya
Lampung
dan
Perkembangannya. Setelah dilakukan pengecekan di
bahan kajian/materi pembelajaran maka ditemukan
salah satu indikator yang membahas tentang sistem
perkawinan adat Lampung. Penelitian ini jelas
terintegrasi ke dalam 9
CPMK3.
Implementasi tradisi Gawi Adat di Kampung Tua
Negara Batin Kabupaten Way Kanan sebagai
refernsi/materi pembelajaran merupakan hal baru
dalam MKU Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal,
khususnya di Kampus Hijau Universitas Lampung.
Sebagai produk inovasi pembelajaran, pada tahap
implementasi tentu diharapkan mampu mendongkrak
keberadaan tradisi lokal Lampung untuk lebih dikenal
dan membumi dan membantu mahasiswa untuk dapat
mengerti sekaligus menerapkan dalam kehidupan
mendatang sebagai pewaris kebudayaan Lampung.
hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
dan agama
Pengimplementasiannya dalam MKU Pendidikan
Etika dan Kearifan Lokal di Universitas Lampung
yaitu pada CPMK3 (Budaya Lampung dan Sejarah
Perkembangannya) dengan salah satu indikator
mahasiswa mampu memamhami tentang sistem
perkawinan adat Lampung. Hal ini dapat dijadikan
sebagai modal dasar untuk dosen dan mahasiswa dalam
pembentukan karakter dan sebagai alat bantu untuk
melestarikan potensi kearifan lokal Lampung.
Saran
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa tradisi Gawi
Adat di Kampung Tua Negara Batin Kabupaten Way
Kanan merupakan upaya peneliti untuk melestarikan
dan mengembangkan tradisi budaya adat sekaligus
memberi informasi budaya untuk pewarisan budaya
dan dapat diimplementasikan dalam MKU Pendidikan
Etika dan Kearifan Lokal. Berdasar data yang telah
dipaparkan maka dapat menjadi ruang untuk peneliti
atau penelitian lain agar dapat memunculkan tematema baru untuk menindaklanjuti data terkait tradisi
Gawi Adat selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP
Simpulan
Penelitian tentang Tradisi Gawi Adat di Kampung Tua
Negara Batin Kabupaten Way Kanan memiliki
interaksi simbolik: bentuk, fungsi, dan makna sehingga
dapat diimplikasinya dalam MKU Pendidikan Etika
dan Kearifan Lokal. Adapun kajian interaksi simbolik
adalah sebagai berikut.
1. Bentuk Tradisi Gawi Adat: (a) Begawi Balak yang
terbagi menjadi dua gawi adat yaitu cakak
pepaddun dan mancor jaman, (b) Begawi Biasa
yang di dalamnya gawi adat balin adok.
2. Fungsi Tradisi Gawi Adat: untuk masyarkat adat
Lampung di Kampung Tua Negara Batin
melaksanakan gawi adat memiliki fungsi untuk
melaksanakan representasi Piil Pesenggiri yang
terdiri atas 4 pilar, yaitu bejuluk-beadek, nemui
nyimah, nengah nyappur, sakai sambayan. Selain
itu gawi adat dalam masyarakat Lampung di
Kampung Tua Negara Batin bisa menjadi indikator
penentu atau penunjuk status sosial.
3. Makna Tradisi Gawi Adat: dalam masyarakat
Lampung di Kampung Tua Negara Batin adalah
pewarisan nilai-nilai hidup yang diturunkan pada
anak keturunannya dengan tujuan untuk terus dapat
dilestarikan dan dikembangkan sebagai potensi
Adrianto, A. (2010). “Makna Simbolik Ritual Adat
Tengger”. Jurnal Patrawidya 11(3):794.
Ariyani, Farida dkk. (2018). Pemetaan Tradisi
Upacara Adat Lampung sebagai Strategi
Pelestarian Nilai Hidup Di Kampung Tua Tiyuh
Negara Batin, Kabupaten Way Kanan (Kajian
Interaksi Simbolik: Bentuk, Fungsi, dan Makna).
Prosiding Seminar Nasional Bahasa, Sastra Daerah,
dan Pembelajarannya. Semarang. Universitas PGRI
Semarang.
Endraswara, Suwardi. (2012). Metodologi Penelitian
Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Kemdikbud. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar –
Kampus Merdeka. Jakarta: Dirjen Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muhannis. (2004). Upacara Mappogau Hanua:
Tradisi
Mangalitik
dan
Kawasan
Adat
Karampuang Kabupaten Sinjai. Makasaar: Balai
Sejarah dan Nilai Tradisional Bekerjasama dengan
UNHAS.
Sibarani,
Robert.
(2012).
Kearifan
Lokal:
Hakikat,Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta:
Asosiasi Tradisi Lisan.
180
Hubungan antara Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Upaya Pembentukan Karakter Mahasiswa
Lika Purnama Ning Wulan, Chabibatul ‘Alimah
Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiyono.
2015.
Metode
Penelitian
dan
Pengembangan Research and Development.
Bandung: Alfabeta.
181
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA ANGGOTA
HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN (HMJ) PSIKOLOGI UNESA
Hanifa Rahma
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, hanifa.17010664049@mhs.unesa.ac.id
Sindy Elbahani Syahputri
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, sindy.17010664054@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasi pada anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Psikologi Unesa. Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan di HMJ
Psikologi Universitas Negeri Surabaya dengan jumlah responden sebanyak 48 mahasiswa dari
Psikologi angkatan 2017 dan 2018 yang pernah atau sedang mengikuti organisasi HMJ. Teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria tertentu yang telah
ditetapkan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah dua macam alat ukur yang terdiri atas skala
kepuasan kerja dan skala komitmen organisasi disusun menggunakan skala Likert. Data dalam
penelitian ini dianalisis menggunakan teknik statistik uji regresi sederhana dengan bantuan SPSS
versi 24.0. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan linier
antara kepuasan kerja pada komitmen organisasi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan Psikologi
Unesa. Kepuasan kerja memberikan pengaruh sebesar 68,8 persen pada komitmen organisasi
sedangkan 31,2 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.
Kata Kunci: Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi, Mahasiswa.
PENDAHULUAN
Perguruan tinggi merupakan salah satu pendidikan
formal yang ditempuh setelah lulus dari jenjang sekolah
menengah atas. Salah satu figur penting dalam
perguruan tinggi adalah mahasiswa yang merupakan
subjek dari pelaksanaan kegiatan pembelajaran oleh
tenaga pengajar atau dosen. Berbeda dengan tingkat
sekolah, di perguruan tinggi mahasiswa dituntut untuk
memiliki pemikiran yang lebih logis, inovatif, serta
mampu menghasilkan suatu kreativitas tertentu. Selain
itu, mahasiswa juga berperan sebagai agen perubahan
yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam
menuangkan ide serta gagasannya sehingga dapat
berpengaruh dan berguna bagi lingkungan masyarakat
di masa yang akan datang. Peran yang telah dilabelkan
tersebut pada akhirnya tidak hanya menuntut
mahasiswa untuk mendalami ilmu yang dimilikinya
saja melainkan juga mengharuskan mahasiswa untuk
ikut mengembangkan hard skill serta soft skillnya. Hal
ini sesuai dengan peran lembaga perguruan tinggi
sebagai wadah untuk mengembangkan kreativitas serta
menampung ide dan solusi mahasiswa melalui
organisasi kemahasiswaan (ormawa) sehingga dapat
membantu menghadapi permasalahan yang terjadi di
masyarakat. Hal ini sesuai dengan gagasan Yulianto
(dalam Adnan & Prihatsanti, 2017) yang menyatakan
bahwa keikutsertaan individu secara aktif dalam
organisasi tertentu memiliki hubungan yang positif
dalam mengembangkan soft skill individu.
Sebagai salah satu perguruan tinggi, Universitas
Negeri Surabaya memiliki berbagai macam organisasi
mahasiswa dari yang tertinggi setingkat Universitas
seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM
U), lalu dibawahnya ada setingkat fakultas seperti
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM F), hingga
yang terendah setingkat jurusan seperti Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ), serta berbagai organisasi
mahasiswa lainnya. Pada masing-masing jurusan
terdapat HMJ beserta peraturannya sendiri yang berada
dibawah tanggungjawab dan bimbingan dosen
kemahasiswaan setiap jurusan. Selain itu, mahasiswa
sebagai anggota organisasi HMJ juga memiliki peran
penting tersendiri untuk menjalankan organisasi
dengan baik agar dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Tercapainya tujuan organisasi perlu dilakukan
melalui beberapa upaya salah satunya dengan
menyediakan aspek kepuasan kerja kepada setiap
anggota organisasi. Pada dasarnya, kepuasan kerja
berkaitan dengan sikap yang menandakan adanya suatu
emosi negatif maupun positif yang dirasakan oleh
individu pada obyek tertentu, misalkan benda, tempat,
ataupun orang lain. Hal ini dikarenakan ketika individu
merasa puas dengan berbagai peraturan, kondisi,
maupun perlakuan yang diterima dalam organisasi
tersebut maka individu akan berusaha melakukan yang
terbaik untuk organisasi yang diikutinya. Kepuasan
kerja yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi
182
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (Hmj) Psikologi
Unesa
Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri
berbeda-beda dan bersifat individual bergantung pada
apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu
dari organisasi yang diikutinya tersebut. Sebagaimana
disebutkan oleh Widyastuti dan Palupiningdyah (2015)
bahwa tingkat kepuasan kerja yang dirasakan oleh
masing-masing individu berbeda menurut sistem nilai
yang dianut. Pada beberapa mahasiswa yang memiliki
kepuasan kerja yang tinggi akan berusaha untuk
mengikuti kembali organisasi yang sama dalam periode
kepemimpinan yang berbeda untuk terus memberikan
usaha terbaiknya dalam memajukan organisasi
berdasarkan asas-asasnya hingga membentuk sebuah
komitmen yang berkelanjutan. Berdasarkan pernyataan
tersebut bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat
kepuasan kerja yang tinggi terhadap organisasinya
cenderung akan memiliki performa kerja yang lebih
baik serta motivasi yang mendorong mahasiswa
tersebut untuk menjalankan setiap kegiatan yang
disusun oleh organisasi dan menjadi bagian penting
dalam organisasi.
Komitmen organisasi yang dimiliki setiap individu
merupakan salah satu bentuk perwujudan dari kepuasan
yang dirasakan oleh individu dalam keikutsertaannya
menjalankan organisasi. Komitmen organisasi
merupakan suatu kesediaan individu untuk
menyesuaikan perilakunya dengan tujuan organisasi
dan menjadikan organisasi yang diikutinya sebagai
salah satu prioritas penting. Namun, komitmen yang
dimaksud bukan hanya sekedar kesediaan individu
untuk memprioritaskan organisasi melainkan juga
suatu dorongan untuk individu agar berusaha secara
maksimal dalam menjalankan tugas-tugas yang
berkaitan dengan kemajuan dan tujuan organisasi.
Tercapainya tujuan dari organisasi tidak pernah terlepas
dari peran penting yang diberikan oleh para anggotanya
karena dengan adanya anggota yang memiliki motivasi
beserta komitmen yang baik maka akan menghasilkan
produktivitas dan kinerja yang baik pula sehingga pada
akhirnya tujuan organisasi pun dapat tercapai. Pada
masing-masing individu memiliki komitmen organisasi
yang berbeda-beda berdasarkan karakter individualnya,
meliputi jenis kelamin, usia, dan pengalaman yang
dimiliki. Komitmen yang dimiliki oleh anggota
organisasi dapat dikatakan sebagai bentuk kesetiaan
terhadap organisasinya. Hal ini dikarenakan ketika
anggota organisasi memiliki komitmen terhadap
organisasinya, maka akan muncul kesadaran untuk
menjunjung nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi,
mempertahankan keanggotaannya demi kemajuan
organisasinya, serta mau melakukan pekerjaan dengan
penuh tanggung jawab. Sehingga dengan adanya
komitmen organisasi dapat mencegah munculnya
kelalaian atau penghindaran tanggung jawab maupun
pengunduran diri dari anggota oganisasi tersebut.
Berdasarkan pernyataan Sutrino (2018), komitmen
organisasi merupakan sikap loyalitas anggota
organisasi terhadap organisasi dan menjadi proses
untuk mengekspresikan perhatian dan partisipasinya
terhadap organisasi. Mowday dkk (1982 dalam
Utaminingsih, 2014) menyebutkan bahwa komitmen
organisasi merupakan “…kekuatan relatif dari
identifikasi individu terkait dengan keterlibatannya
sebagai anggota organisasi”. Sementara Odoch dan
Nangoli (2014, dalam Hafid & Fajariani, 2019)
mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan
kekuatan dari identifikasi dan keikutsertaan seseorang
pada kegiatan dalam organisasi. Allen dan Meyer
(1990, dalam Spanuth & Wald, 2017) mengatakan jika
komitmen organisasi dapat dijelaskan sebagai keadaan
emosional dan psikologis yang menunjukkan identitas
karyawan pada organisasi. Komitmen organisasi
merupakan sebuah keinginan pada individu untuk tetap
menjadi anggota organisasi (Alvani, Hartini, & Putra,
2019). Komitmen organisasi memiliki beberapa aspek
yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1991, dalam
Shaleh, 2018), antara lain komitmen afektif, kontinyu,
dan normatif. Komitmen afektif ditunjukkan dengan
adanya ikatan emosional anggota terhadap organisasi,
komitmen kontinyu ditunjukkan dengan adanya
keinginan bertahan di organisasi, serta komitmen
normatif ditunjukkan dengan adanya usaha untuk
melakukan yang terbaik bagi organisasi.
Komitmen organisasi dapat terbentuk jika anggota
memiliki kepuasan kerja. Menurut Amah & Oyetunde
(2019) kepuasan kerja didefinisikan sebagai perasaan
seseorang mengenai beberapa aspek yang berbeda pada
pekerjaannya. Kepuasan kerja juga memiliki
pengertian sebagai “suatu tingkat kesenangan atau
sikap dan emosional yang positif yang direspons
sebagai hasil penilaian terhadap pekerjaan yang telah
dilakukan” (Fattah, 2017). Fattah (2017) juga
menyebutkan bahwa kepuasan kerja memiliki beberapa
dimensi yang terdiri atas pekerjaan yang dilakukan,
kompensasi, kesempatan promosi, pengawasan, serta
rekan kerja yang baik.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka
dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk menguji
adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen
organisasi pada anggota HMJ Psikologi Unesa.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan
pendekatan kuantitatif yang menggunakan analisis
regresi sederhana. Metode pengumpulan data untuk
183
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (Hmj) Psikologi
Unesa
Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri
penelitian ini menggunakan kuisioner yang mengukur
dua skala. Intrument yang digunakan terdiri atas skala
komitmen organisasi oleh Allen dan Meyer (1991,
dalam Shaleh, 2018) dan skala kepuasan kerja oleh
Fattah (2017). Variabel dalam penelitian ini adalah
kepuasan kerja (X) dan komitmen organisasi (Y).
Peneliti mengajukan hipotesis nol (Ho) adalah
“tidak ada pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen
organisasi pada anggota HMJ Psikologi Unesa” dan
hipotesis alternatif (Ha) “terdapat pengaruh kepuasan
kerja terhadap komitmen organisasi pada anggota
himpunan mahasiswa jurusan Psikologi Unesa”.
Populasi dalam penelitian ini adalah 382 mahasiswa
Universitas Negeri Surabaya Psikologi angkatan 2017
dan 2018. Cara pengambilan sampel yang diterapkan
dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling
dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Sampel
yang dapatkan sejumlah 48 mahasiswa.
Data dianalisis menggunakan SPSS 24.0. Analisis
deskriptif diterapkan pada data subjek. Uji validitas
dilakukan menggunakan Pearson’s product moment.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji
asumsi terlebih dahulu, yakni uji normalitas, uji
linearitas, kemudian dilakukan uji korelasi dengan
menggunakan analisis regresi sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji normalitas sebaran data penelitian dilakukan
untuk mengetahui apakah variabel penelitian telah
terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas data
menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov. Sebaran data
dikatakan normal apabila P > 0,05 serta jika P < 0,05
maka sebaran data tidak normal. Kedua variabel
memiliki hasil persebaran sebesar 0,200. Sesuai dengan
norma P > 0,05 adalah sebaran data berdistribusi
normal, maka kedua variabel memiliki sebaran data
normal karena 0,200 > 0,05.
Uji linearitas yang menggunakan Test of Linearity
ini bermaksud untuk mengetahui hubungan linier
antara variabel bebas dengan variabel terikatnya, yaitu
kepuasan kerja dan komitmen organisasi, sebelum
melakukan uji analisis regresi. Norma pengujian
linearitas adalah 0,05. Jika hasil signifikansi P > 0,05
maka dapat dikatakan variabel bersifat linier dan jika P
< 0,05 maka variabel bersifat non-linier. Hasil uji
linearitas antara variabel kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasi menunjukkan nilai sebesar 0,221
atau P > 0,05. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hubungan antara variabel kepuasan kerja dan komitmen
organisasi bersifat linier.
Hipotesis diuji untuk menemukan penyelesaian dari
rumusan masalah dan mendapatkan jawaban yang
benar dari hipotesa penelitian. Uji hipotesis dalam
penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana
(simple regression). Hipotesis yang akan diuji dalam
penelitian ini adalah terdapat pengaruh kepuasan kerja
terhadap komitmen organisasi.
Tabel 1. Uji Hipotesis
Sum of
Mean
Model
Squares df Square
F
1 Regression 18005.587 1 18005.587 101.239
Residual
8181.225 46
177.853
Total
26186.812 47
a. Dependent Variable: KomitmenOrganisasi
b. Predictors: (Constant), KepuasanKerja
Berdasarkan tabel 1, dijelaskan bahwa uji hipotesis
memiliki nilai pengujian analisis regresi sederhana
sebesar 0,000. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai
signifikansi (0,000) lebih kecil dari standar signifikansi
(0,05) atau dapat ditulis P < 0,05, sehingga
menunjukkan bahwa hipotesis yang terbukti adalah Ha,
yaitu terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasi pada anggota HMJ Psikologi
Unesa”.
Tabel 2. Sumbangan Efektif
Std. Error
R
Adjusted of the
Model R
Square R Square Estimate
1
.829a
.688
.681
13.336
a. Predictors: (Constant), KepuasanKerja
b. Dependent Variable: KomitmenOrganisasi
Berdasarkan tabel 2, dijelaskan bahwa penelitian ini
memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0,688. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki
pengaruh sebesar 68,8% pada komitmen organisasi dan
memiliki 31,2% faktor lain yang memengaruhi namun
tidak diteliti pada penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan pada 48 anggota HMJ
Psikologi Unesa ini memperoleh hasil berupa
hubungan yang linier dan positif yang signifikan antara
kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja
yang dirasakan oleh anggota himpunan, maka semakin
tinggi pula komitmen organisasi. Hubungan yang linier
tersebut dikarenakan kepuasan kerja memiliki
pengaruh sebesar 68,8% pada komitmen organisasi
individu.
PENUTUP
Simpulan
Penjelasan-penjelasan pada bab “Hasil dan
Pembahasan” memiliki kesimpulan jika terdapat
184
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi pada Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (Hmj) Psikologi
Unesa
Hanifa Rahma, Sindy Elbahani Syahputri
hubungan yang linier dan signifikan antara kepuasan
kerja dengan komitmen organisasi pada anggota HMJ
Psikologi Unesa. Variabel kepuasan kerja memprediksi
komitmen organisasi sebesar 68,8% dan 31,2%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini.
Saran
Kepada para peneliti selanjutnya yang memiliki tema
sama dengan penelitian kami, diharapkan untuk dapat
meneliti variabel lain yang juga memengaruhi
komitmen organisasi atau menemukan variabel lain
yang dapat menjadi penghubung antara variabel
kepuasan kerja dan komitmen organisasi serta dapat
melakukannya kepada organisasi yang lain.
Sutrisno, E. (2018). Budaya organisasi. Diunduh dari
https://books.google.co.id/books?id=pd6VDwAA
QBAJ&printsec=frontcover&authuser=0#v=onepa
ge&q&f=false
Utaminingsih, A. (2014). Perilaku organisasi: Kajian
teoritik & empirik terhadap budaya organisasi.
Diunduh
dari
https://books.google.co.id/books?id=wVRDwAAQBAJ&printsec=frontcover&authuser
=0#v=onepage&q&f=false
Widyastuti, N., & Palupiningdyah, P. (2015). Pengaruh
kepuasan dan motivasi kerja terhadap kinerja
karyawan dengan organizational citizenship
behavior (OCB) sebagai variabel intervening.
Management Analysis Journal. 4(1), 76-86.
https://doi.org/10.15294/maj.v4i1.7221
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, B. R., & Prihatsanti, U. (2017). Hubungan
antara psychological capital dengan komitmen
organisasi pada mahasiswa UNDIP. Jurnal Empati,
6(4),
185-194.
Diunduh
dari
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/artic
le/view/20030/18907
Alvani, S., Hartini, S., & Putra, A. I. D. (2019). Kaitankaitan keadilan organisasional terhadap komitmen
organisasional pada karyawan. Psycho Idea, 17(2),
130-138.
http://dx.doi.org/10.30595/psychoidea.v17i2.4199
Amah, O. E., & Oyetunde, K. (2019). Human resources
management practice, job satisfaction and affective
organisational commitment relationships: The
effects of ethnic similarity and difference. SA
Journal of Industrial Psychology, 45(0), 1-11.
http://dx.doi.org/10.4102/sajip.v45i0.1701
Fattah, A. H. (2017). Kepuasan kerja & kinerja
pegawai (R. Wardarita, ed.). Diunduh dari
https://books.google.co.id/books?id=w3pCDwAA
QBAJ&source=gbs_navlinks_s
Hafid, H., & Fajariani, N. (2019). Hubungan
profesionalisme, komitmen organisasi dan kinerja
dosen pada STIE Muhammadiyah Mamuju.
Kinerja,
16(1),
58-68.
http://dx.doi.org/10.29264/jkin.v16i1.5189
Shaleh, M. (2018). Komitmen organisasi terhadap
kinerja pegawai (Firman, ed.). Diunduh dari
https://books.google.co.id/books?id=LWR9DwAA
QBAJ&printsec=frontcover&authuser=0#v=onepa
ge&q&f=false
Spanuth, T., & Wald, A. (2017). Understanding the
antecedents of organizational commitment in the
context of temporary organizations: An empirical
study. Scandinavian Journal of Management,
33(3),
129-138.
https://doi.org/10.1016/j.scaman.2017.06.002
185
GAMBARAN RESILIENSI PADA BURUH PABRIK YANG MENGALAMI DAMPAK PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA (PHK)
Ahmad Aldy Hisbullah
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA, Ahmad.17010664200@mhs.unesa.ac.id
Akhmad Mitakhul Hudin
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA, Akhmad.17010664180@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk resiliensi dan dampak seseorang karyawan
yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), serta faktor yang mempengaruhi proses
pembentukan resiliensi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
fenomenologi. Metode pengambilan data menggunakan teknik wawancara semi terstruktur dan
observasi dengan sampel partisipan 2 orang yang memenuhi kriteria tujuan peneliti. Uji keabsahan
data menggunakan teknik triangulasi data yaitu triangulasi sumber. Hasil dari penelitian ini adalah
menemukan bahwa setiap subjek mempunyai cara tersendiri dalam proses pembentukan resiliensi.
Tahap proses yang dialami subjek JK adalah succumbing, survival, recovery, dan thriving,
sedangkan yang dialami oleh subjek AP adalah succumbing dan survival saja. Dari hal tersebut
didapatkan perbedaan oleh kedua subjek dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor dukungan
sosial eksternal dan lingkungan, usia, locus of control, dan strategi coping ability. Dimana faktor
dukungan sosial keluarga maupun lingkungan sangat mempengaruhi konsep diri seseorang untuk
membentuk keyakinan akan keberhasilan dan kehidupan yang lebih baik. Dampak akibat PHK
sendiri sangat mempengaruhi kondisi seseorang, terutama dampak psikologis dan ekonomi yang
sesuai dialami kedua subjek.
Kata Kunci: Resiliensi, Buruh, Pemutusan Hubungan Kerja
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar
didunia baik secara dimensi luasan batas negara
maupun volume jumlah penduduk. Dengan
berkembang pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk
maka semakin tinggi pula kemungkinan angka
pengangguran di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan
sempitnya peluang kesempatan bekerja, sedangkan
laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi. Data
badan pusat statistik (BPS), menyatakan bahwa pada
tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia mencapai
238,5 juta jiwa, dan laju pertumbuhan di indonesia
pada tahun 2010 sampai 2015 sebesar 1,38%, sehingga
dapat kita ketahui angka pertumbuhan di Indonesia
tergolong tinggi. Dari fenomena tersebut diharapkan
adanya solusi terbaik dengan usaha maksimal baik
peran pemerintah dalam mengatasi peluang
kesempatan lapangan kerja di Indonesia maupun dari
individu masing-masing melalui usaha mandiri.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di
wilayah Asia Tenggara, tentunya memiliki beberapa
sektor usaha yang turut berperan dalam proses
pengembangan negara ini. Salah satunya adalah sektor
industri. Perkembangan industri di Indonesia saat ini
mengalami kemajuan yang cukup baik, didapatkan
data kementrian perindustrian, yaitu pada tahun 2018
pertumbuhan perekonomian di Indonesia tumbuh
sebesar 5,17%, angka tersebut lebih tinggi daripada
tahun sebelumnya sebesar 5,07 %. Faktor eksternal
menjadi salah satu dorongan utama pertumbuhan saat
ini terutama melalui kenaikan harga komoditas ekspor
bahan. Namun dari data laju kenaikan pertumbuhan
industri di indonesia tersebut tidak memungkinkan
terdapat juga permasalahan yang dialami pekerja,
terutama buruh pabrik yaitu mengalami PHK besarbesaran setiap tahunnya.
PHK sendiri merupakan suatu hal yang ditakuti
bagi pekerja, namun hal tersebut tidak serta merta
dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya.
PHK sendiri sudah diatur dalam undang-undang No.
13 tahun 2003 yang isinya mengatur tentang
pemutusan hubungan kerja atas dasar pemberhentian
pekerja melihat dari pertimbangan perusahaan dan
karyawan akibat dari hal tertentu, sehingga
berakhirnya kewajiaban pemenuhan antara pekerja dan
pengusaha. Terdapat proses perbandingan antara
kedua belah pihak dalam menimbang antara kerugian
yang akan dialami baik bagi perusahaan maupun
karyawan yang di PHK. Ketua umum Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal (dalam
Fajriyah, 2018), menyatakan bahwa terdapat empat
gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang
terjadi di indonesia dimulai pada tahun 2015 sampai
2019 secara besar, hal tersebut dikarenakan banyaknya
sektor industri yang melakukan efisiensi maupun
186
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
penutupan perusahaan karena faktor eksternal. Sudah
sekitar 50 ribu pekerja pada tahun 2015 yang terkena
PHK. Jumlah tersebut bisa saja tercapai karena
berbagai perusahaan besar pun turut melakukan PHK
terhadap karyawan-karyawannya. Banyak berbagai
alasan kendala yang dialami perusahaan dalam
melakukan PHK karyawan, terutama karyawan tidak
tetap.
Dalam hal ini, manajeman sumber daya manusia
sendiri seharusnya mampu dalam mengantisipasi
adanya perubahan dan perkembangan sektor industri
yang sedang dan akan terjadi, kemudian diharapkan
dalam diri individu melakukan berbagai tindakan
untuk menjawab tantangan atas laju perkembangan
tersebut, yang pada akhirnya individu dapat
menciptakan inovasi terbaru yang mana tidak ada
sebelumnya dimiliki oleh orang lain, sehingga akan
lebih siap dalam menghadapi berbagai tekanan
persoalan baik dari dalam maupun luar organisasi
(Dessler, 2003). Perlu adanya kontribusi terbaik bagi
pemerintah untuk menangani permasalahan peluang
inovasi yang ada dalam konteks budaya masyarakat
yang selaras dengan daerah masing-masing. Seperti
halnya jika seseorang yang tinggal di perkotaan maka
pemasukan atau dalam rangka pemenuhan hidup
adalah menjadi karyawan atau melakukan usaha
mandiri, berbeda jika seseorang yang tinggal di
pedesaan maka ia lebih memilik untuk memanfaatkan
segala sumber daya alam yang ada, misalnya
pertanian.
Untuk mengatasi permasalahan ketenagakerjaan
yang menjadi masalah utama terutama bagi karyawan
perusahaan yang sesuai dari permasalahan diatas dapat
diketahui salah satu tindakan yang dapat dilakukan
oleh perusahaan adalah dengan melakukan efisiensi
untuk mengatasi laju perkembangan industri, selain itu
beberapa faktor lain yang menyebabkan perusahaan
mengurangi jumlah karyawannya mulai dari krisis
ekonomi sampai penutupan perusahaan. Namun yang
alasan perusahaan yang sering terjadi adalah adanya
ketidakseimbangan
permasalahan
keuangan
perusahaan, sehingga terjadilah PHK yang
mengakibatkan hilangnya penghasilan karyawan dari
perusahaan tersebut. Hasibuan (2000), menambahkan
bahwa efisiensi diartikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan
perbandingan terbaik antara pemasukan dan
pengeluaran perusahaan, atau dengan kata lain
merupakan suatu ukuran dalam membandingkan
antara penggunaan masukan dengan penggunaan yang
sebenarnya.
Seperti yang telah kita ketahui PHK sendiri
merupakan suatu hal yang ditakuti oleh para pekerja.
Hal ini dikarenakan dengan di-PHKnya seorang buruh
maka secara otomatis dia akan kehilangan satu-satunya
lapangan pekerjaan yang dimiliinya, dan tentu saja ini
dapat mempengaruhi kelangsungan hidup individu
yang bersangkutan. Banyak hal yang dapat merubah
tatanan kehidupan akibat di-PHKnya seorang
karyawan, antara lain status sosial yang ia terimanya
akibat tidak adanya pekerjaan atau kata lain
pengangguran, perubahan aktivitas keseharian,
sehingga seseorang diharuskan untuk beradaptasi
dengan aktivitas hal baru yang sedang dialami setiap
hari, dari hal tersebut titik yang paling utama adalah
bagaimana sesesorang harus mengolah manajemen
keuangan yang dihadapinya.
Dalam beberapa kasus dan penelitian seseorang
setelah mengalami PHK biasanya dengan mencari
pekerjaan yang lain tetapi dengan konsekuensi upah
yang diterima tidak lebih tinggi, dan pada umumnya
seseorang dapat diterima untuk bekerja oleh
perusahaan adalah usia 19-45 tahun karena itu
merupakan usia produktif seseorang untuk bekerja,
sehingga seringkali mereka yang terkena PHK
mengalami masalah psikis yang tinggi disebabkan oleh
beban ekonomi yang ditanggung untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Bahkan terdapat kasus
seseorang melakukan bunuh diri akibat korban PHK.
Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Looker &
Gregson (2005), individu sebagian besar akan
mengalami stress akibat dampak dari korban PHK. Hal
itu karena individu merasakan keresahan akibat tidak
adanya pemasukan ekonomi atau gaji yang ia
dapatkan, seringkali individu mengalami perasaan
kosong dalam melakukan kegiatan keseharian, serta
adanya perubahan dinamika kehidupan dalam aktivitas
bekerja yang telah ia alami. Hal ini menuntut adanya
perubahan dalam diri individu dalam menjalani
aktivitas kehidupannya, sehingga diperlukan adaptasi
baru bagi individu untuk bisa kembali menetapkan
kenyamanan pada dirinya.
Dalam hal ini, kemampuan individu untuk
melanjutkan hidup setelah mengalami berbagai
tekanan dan situasi sulit biasa disebut dengan resiliensi
(Tugade & Fredrikson, 2004). Reivich & Shatte (2002)
mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan suatu
bentuk respon terhadap berbagai kegagalan atau
hambatan dalam hidup dengan bentuk yang sehat dan
produktif. Sehingga resiliensi merupakan hal penting
dalam upaya mengurangi tekanan hidup seseorang
dengan hal yang positif guna melanjutkan
kelangsungan hidupnya.
187
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
Maka dari itu ketika seorang buruh mampu
melakukan resiliensi dari keadaan yang dialaminya hal
ini mungkin dapat berpengaruh pada hidupnya.
Dengan adanya relisiansi yang terjadi pada buruh
diharapkan mampu merubah mindset untuk bisa
merubah keadaan dimana harus berusaha mencari
pengalaman dan hal baru sebagai pandangan dari
proses peningkatan hidup. Selanjutnya relisiansi juga
memberikan dampak sikap yang positif bagi seseorang
untuk mau mengekplorasi hal baru dengan
kepercayaan diri yang tinggi, serta berani dalam
menanggung resiko atas kemauan untuk mengubah
keadaan menjadi lebih baik.
Penelitian ini didasari pada banyaknya fenomena
seseorang jika mengalami pemutusan hubungan kerja
(PHK) mereka lebih banyak mengalami permasalahan
dalam
menjalani
kehidupannya,
terutama
ketidakpercayaan diri yang tinggi, karena adanya
perubahan status dan hilangnya pemasukan gaji yang
harus dipenuhi sebagai kepala rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namum sebelumnya peneliti kurang tertarik karena
hal tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk bisa
menjelaskan bahwa seseorang jika di PHK selalu
diasumsikan mengalami stress bahkan depresi, karena
setiap individu mempunyai pengertian untuk bisa
mendefisikan atau mengartikan sebuah PHK bersifat
negatif atau positif. Tetapi setelah melakukan
penelitian dilapangan secara mendalam secara
langsung kepada beberapa subjek yang berbeda
permasalahan mengapa ia harus di PHK tetapi
mempunyai kesamaan yaitu adanya kesenjangan
pekerjaan yang dirasa lebih baik bekerja di pabrik
karena gaji terjamin, berbeda dengan yang sekarang
mereka masih ambang dalam mendapatkan
pemasukan.
Dari latar belakang diatas maka hal itulah yang
menjadi perhatian peneliti. Peneliti merasa tertarik
untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana
bentuk resiliensi yang terjadi pada buruh pabrik yang
mengalami PHK serta berbagai dampak yang muncul
akibat di PHKnya seseorang.
Banyak beberapa faktor yang menyebabkan
pemutusan kerja, termasuk masalah pekerja yang
melanggar aturan bahkan sampai ke permasalahan
perusahaan sendiri karena beberapa masalah internal
maupun ekternal perusahaan. Banyak beberapa alasan
mengapa seseorang berhenti ataupun pemutusan
hubungan kerja, antara lain peraturan undang-undang
yang sudah diatur Negara, pensiun, adanya kontrak
kerja, meninggal dunia, dan masih banyak lagi.
Sehingga terdapat beberapa pemaknaan oleh pekerja
atau buruh dalam hal positif maupun negatif. Dalam
pengertian negatif, buruh seringkali memunculkan
stress akibat dari tidak ada kesiapan atau terpaksa
mengalami PHK yang menyebabkan tidakadanya
aktivitas pekerja yang menyebabkan pengangguran,
dan permasalahan pengangguran mempunyai dampak
buruk secara psikis.
Seringkali kita mendengar istilah PHK banyak
yang salah mengartikan bahwa PHK adalah pemutusan
hubungan kerja akibat dari kesalahan pekerja atau
buruh, padahal PHK sendiri mempunyai banyak
definisi sebagai akibat suatu pemutusan kewajiban
pekerja dengan pengusaha. Menurut undang-undang
No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
menjelaskan bahwa pemberhentian buruh atau
pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan adalah
pengakhiran atas kewajiaban yang ditimpa pekerja
terhadap tanggung jawabnya kepada perusahaan atau
instansi tertentu yang disebabkan oleh hal-hal tertentu.
Terdapat beberapa pengertian atau istilah dari PHK
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Manulang
(1988), yaitu:
3. Termination, yaitu PHK yang terjadi karena
selesainya atau berakhirnya kontrak kerja antara
pengusaha dan pekerja yang telah disepakati.
4. Dismissal, yaitu PHK yang terjadi karena terdapat
suatu pelanggaran pekerja yang menyebabkan
permalasahan, namun sudah terjadi kesepakatan
peraturan sebelum pekerja melakukan kesalahan.
5. Redundancy, yaitu PHK diakibatkan karena ada
pergantian buruh dengan mesin-mesin canggih
yang berperan menggantikan jasa buruh, sehingga
terjadi kesenjangan antara buruh dengan mesih
canggih
yang
dikembangankan
untuk
mempercepat pekerjaan dan efisien.
6. Retrenchment, yaitu PHK yang diakibatkan karena
berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi yang
sedang terjadi, seperti masalah krisis ekonomi,
pemasaran perusahaan, atau bahkan tutupnya
perusahaan, sehingga perusahan tidak bisa
memberi gaji terhadap pekerjanya.
Selanjutnya dalam berbicara permasalahan yang
terjadi pada persoalan PHK, Flippo (1981),
menambahkan bahwa terdapat perbedaan pengertian
pemutusan hubungan kerja yang terjadi diluar konteks
akibat pensiun, yaitu:
a. Layoff, yaitu keputusan perusahaan untuk
memutuskan hubungan kerja terhadap karyawan
yang benar-benar mumpuni dalam bidangnya
untuk ditugaskan, namun karena perusahaan tidak
lagi membutuhkan sumbangan jasanya sehingga
harus terjadi pengurangan karyawan.
188
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
b. Out placement, yaitu PHK yang dikarenakan oleh
perusahaan yang benar-benar ingin mengurangi
jumlah tenaga kerja secara menyeluruh. Tetapi
pada
dasarnya
perusahaan
juga
mempertimbangkan kinerja karyawan yang tidak
memuaskan, sehingga perusahaan lebih memilih
karyawan tertentu yang dianggapnya kurang dalam
berkontribusi dalam perusahaan.
c. Discharge, yaitu PHK yang terjadi karena kurang
mumpuninya seorang karyawan dalam bidang
yang dilakukannya. Hal ini membuat perusahaan
terpaksa mengambil kebijakan untuk melakukan
PHK terhadap karyawan tersebut. Sehingga dalam
hal ini murni terjadi atas kesalahan kinerja
karyawan yang tidak mampu bekerja secara penuh.
Sehingga dapat kita ketahui bahwa pemutusan
hubungan kerja bukanlah hal yang sederhana untuk
diartikan bahwa semata-mata karyawab dikeluarkan
atau diberhentikan dari pekerjaannya karena kesalahan
pekerja, banyak hal yang dapat memengaruhi hal
tersebut, salah satunya adanya faktor internal dan
eksternal perusahaan itu sendiri, yang termasik
menyangkut permasalahan ekonomi Negara.
Suatu kemampuan individu untuk bangkit
melanjutkan hidupnya setelah ditimpa permasalahan
atau setelah mengalami tekanan yang berat dan situasisituasi yang semakin sulit bukanlah hal yang tidak bisa
terduga
sebelumnya,
tetapi
hal
tersebut
menggambarkan adanya suatu kemampuan tertentu
yang terdapat pada individu untuk bisa mengendalikan
diri menuju yang lebih baik yang dikenal dengan
istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004). Reivich
& Shatte (2002), menambahkan bahwa resiliensi
merupakan suatu bentuk respon terhadap berbagai
kegagalan atau hambatan dalam hidup dengan bentuk
yang sehat dan produktif ketika mengalami kegagalan
atau kesengsaraan, terutama pada saat mengendalikan
berbagai tekanan kehidupan sehari-hari, Reivich &
Shatte (2002), memandang bahwa individu pada
dasarnya mempunyai bentuk relisiansi positif
tersendiri dalam mengatasi berbagai trauma tekanan
eksternal
yang
mengakibatkan
adanya
ketidakpercayaan diri individu. Resiliansi tidak hanya
bagaimana individu bisa keluar dari konflik tekanan
traumatik, namun juga memberikan arah bagaimana
individu harus meneruskan perjuangan dalam
meningkatkan aspek kualitas hidup.
Sehingga dapat disimpulkan relisiansi merupakan
hal penting dalam memutuskan bagaimana individu
mampu mengatasi hal terberat termasuk terdapat
tekanan didalamnya disaat kondisi-kondisi tersulit
sekaligus. Relisiansi adalah bentuk mindset yang
dimiliki oleh seseorang sebagai penguat kemampuan
untuk meningkatkan tarap pengalaman hidup serta
mencari hal-hal baru sebagai bentuk motivasi positif
terhadap kemampuan yang dimilikinya.
Menurut London & Mone (1987), individu yang
memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap
lingkungan baru yang terus berubah, bahkan pada saat
lingkungannya sangat kacau atau terganggu, disebut
sebagai individu yang memiliki resiliensi dalam
berkarir setelah mengalami kegagalan. Rickwood
(2002), selanjutnya mengemukakan bahwa resiliensi
dalam berkarir secara mendasar merupakan sistem
keyakinan yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga
dalam meningkatkan resiliensi berkarir individu dapat
melakukan dengan mengubah sistem keyakinannya
sendiri. Sistem keyakinan baru yang perlu ditanamkan
adalah melakukan perubahan pola pikir diri sendiri
yang bersifat konstan, mengikuti kemana arah kata hati
dengan mempertimbangkan konsekuensi secara
matang, memfokuskan diri pada perjalanan atau
pandangan hidup dengan tujuan merubah kegagalan
menjadi suatu keberhasilan, serta harus selalu ingin
untuk belajar, dan membangun relasi dengan orang
lain.
Menurut Connor & Davidson (2003), mengatakan
bahwa ada beberapa hal yang berkaitan dengan
resiliensi, antara lain:
1. kompetensi personal, yaitu dimana setiap individu
mempunyai standar tertinggi kesiapan dalam
kegagalan. Individu akan merasa mampu mencapai
tujuan jika terjadi kemunduran dari perusahaan.
2. Percaya diri, dalam artian seseorang jika
dihadapkan dengan suatu permasalahan yang rumit
sekaligus, ketenangan dan fokus akan tetap
dilakukannya. Tetap kuat dalam menghadapi
stress.
3. Adaptasi yang baik, artinya individu lebih siap jika
dihadapkan dengan lingkungan yang baru dan
dapat membuat relasi hubungan yang baik dengan
orang lain.
4. Kontrol diri, pengendalian diri yang baik akan
menciptakan hubungan yang baik ketika
membangun dan meminta bantuan kepada orang
lain.
5. Spiritual yang tinggi terhadap tuhan.
Resiliensi merupakan usaha bangkit seseorang
ketika dihadapkan suatu permasalahan bahkan tekanan
ketika mengalami kegagalan dalam hidupnya. Coulson
(2006), mengemukakan terdapat empat psoses
resiliensi ketika seseorang dihadapkan dengan keadaan
tertekan, yaitu:
189
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
1. Succumbing (Mengalah), yaitu istilah yang
menggambarkan kondisi dimana individu
mengalah dan pasrah terhadap ancaman tekanan
yang dialaminya. Sehingga pada hal ini individu
berdampak mengalami depresi yang tinggi karena
pada umumnya beban tekanan yang diterimanya
sangat berat.
2. Survival (Bertahan), pada hal ini individu mampu
mengendalikan seluruh fungsi emosi untuk bisa
menerima tekanan, dan menanggapi berbagai hal
dengan positif, sehingga individu pada umunya
bersikap baik-baik saja, tetapi masih terdapat
keganjalan perasaan.
3. Recovery (Pemulihan), individu setelah mengalami
berbagai tekanan situasi pada level ini, individu
lebih dapat mengontrol diri, sehingga mampus
beradaptasi dengan permasalahan kondisi yang
menekan. Tetapi efek negatif pesaraan masih
sedikit ada.
4. Thriving (Berkembang secara pesat), dalam level
ini individu lebih siap dalam menghadapi hal baru
yang sedang dialami, dengan kata lain individu
sudah mencapai level baik seperti awal.
Menurut Reivich & Shatte (2002), mengemukakan
bahwa terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi
pada individu, yaitu: 1. Regulasi emosi, 2.
Pengendalian dorongan atau impuls, 3. Kepercayaan
diri atau optimisme, 4. Kemampuan analisis masalah,
5. Empati, 6. Efikasi diri, dan 7. Kemampuan untuk
meraih apa yang diinginkan.
Holaday
&
McPhearson
(1997),
juga
menambahkan
terdapat
tiga
faktor
yang
mempengaruhi resiliensi individu, yaitu:
a. Psychological Resources, yang termasuk di
dalamnya locus of control internal, empati, rasa
ingin tahu, memahamis setiap pelajarang yang
didapatkan dari pengalaman, dan selalu fleksibel
dan kondisional dalam menghadapi berbagai
situasi.
b. Social Support, termasuk di dalamnya pengaruh
budaya masyarakat, dukungan keluarga dan
individu, serta dukungan komunitas.
c. Cognitive Skills, termasuk di dalamnya intelegensi
kepribadian seseorang, gaya coping permasalahan,
kemampuan
untuk
menghindarkan
dari
menyalahkan diri sendiri, kontrol terhadap diri
sendiri, dan spritualitas.
Dari hasil fenomena yang ada, dalam penelitian
kami menggunakan 2 partisipan yang bersedia dan
mau untuk dijadikan subjek penelitian dengan kriteria
sebagai berikut: subjek pertama berinisial AP berusia
35 tahun yang sudak di PHK setahun yang lalu
tepatnya bulan januari 2019 di salah satu perusahaan
pengemasan minyak goreng di gresik dikarenakan
adanya pelanggaran. AP mempunyai 2 anak yang
masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sampai
sekarang AP masih bergantung pada kondisi ekonomi
orang tua karena hidup dalam satu rumah dengan orang
tua, sehingga dalam memenuhi kewajiban kebutuhan
keluarga ia hanya bekerja ketika sedang membutuhkan
saja, dan perkerjaan tersebut tidak tetap atau buruh
kasar. Subjek yang kedua berinisial JK dengan usia 50
tahun status sekarang berumahtangga mandiri dan
mempunyai anak 3, yang mana anak pertama sudah
bekerja di salah satu sekolahan swasta, dan yang anak
kedua dan terakhir masih sekolah. Dalam hal ini satu
keluarga JK menetap dalam satu rumah yang
berjumlah 5 orang termasuk JK. Ia di PHK lantaran
usianya sudah dianggap tidak produktif lagi di
perusahaan pengolahan dan produksi kayu PT di
gresik. Hal itu disadari karena memang perjanjian
kontrak kerja di perusahaan itu yang dialami JK harus
diganti dengan karyawan baru yang masih dianggap
produktif. Ia di PHK di akhir 2019 yang lalu. Sekarang
menyandang pekerjaan menjadi petani dan buruh tani
di desa.
METODE
Berdasarkan permasalahan topik yang telah dipaparkan
sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan pendekatan
yang dimulai dengan berpikir deduktif untuk
menurunkan hipotesis, kemudian melakukan pengujian
di lapangan. Azwar (2004), menambahkan penelitian
dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan pada
analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan
induktif serta pada analisis terhadap dinamika
hubungan antar fenomena yang diamati dengan
menggunakan logika ilmiah. Pendekatan dan strategi
penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif karena
membutuhkan suatu pemaham yang detail dan lengkap
tentang suatu permasalahan yang diungkap (Creswell,
2014). Pendekatan ini tidak diarahkan pada latar dan
individu atau organisasi kedalam variabel atau
hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian
dari suatu keseluruhan.
Dalam penelitian ini, strategi penelitian yang
digunakan adalah fenomenologi, Fenomenologi
bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana partisipan
memahami dunia pribadi dan sosial menurut sudut
pandang mereka sendiri (Smith, 2015). Menurut
Herdiyansyah
(2015),
fenomenologi
lebih
memfokuskan diri pada konsep supaya fenomena
tertentu dan bentuk dari studinya itu untuk melihat dan
190
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
memahami arti dari suatu pengalaman individual yang
berkaitan dengan fenomena tersebut. Karena
pendekatan fenomenologi membuat peneliti dapat
memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi
mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari
kasus yang diteliti khususnya pada pemahaman tentang
diri subjek.
Teknik pengambilan sampling yang digunakan
adalah purposive sampling dengan penentuan sampel
berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian, yaitu dengan Sampel Kriteria Tertentu dan
diambil secara convenience yaitu sampling yang
diambil secara mudah, yaitu orang yang sudah dikenal
oleh peneliti (poerwandri, 2007). Metode pengambilan
data menggunakan teknik wawancara semi terstruktur
dan observasi secara mendalam (depth interview) guna
mengetahui lebih lengkap informasi dari subjek. Dan
penelitian ini diambil dari lokasi dimana peneliti
tinggal, yaitu daerah Gresik dengan tujuan
mempermudah membangun rapport untuk menggali
informasi lebih mendalam. Penelitian ini dilaksanakan
dan sudah berjalan sebulan yang lalu hingga berlanjut
sampai menjadi sebuah penelitian yang diinginkan oleh
peneliti.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menghasilkan 3 sumber utama yang
sesuai dengan tujuan awal peneliti, yaitu yang pertama
dampak dan permasalahan yang muncul akibat PHK
oleh perusahaan, kedua bentuk-bentuk dan faktor
pembentukan resiliensi yang didapatkan dari subjek,
sehingga dari hal tersebut kami mengelompokkan
dalam 2 pembahasan:
Dampak dan permasalahan korban PHK
Dari segi ekonomi sudah jelas akan sangat
mempengaruhi kebutuhan hidup sehari-hari, hal ini
diungkapkan oleh Subjek JK, ia mengungkapakan
ketika baru sadar ia akan di PHk dalam waktu dekat, ia
belum memikirkan pekerjaan baru yang harus ia jalani
untuk memenuhi kebutuhan, dalam kurun waktu
sebulan ia mengatakan bahwa keadaan ekonomi sangat
turun drastis, ditambah ia harus memberikan biaya 2
anaknya yang masih bersekolah, namun ada anak
pertama yang sudah bekerja sehingga turut membantu
sedikit perekonomian keluarga. Dampak tersebut juga
diungkapkan oleh subjek AP ketika tidak lagi bekerja
sebagai karyawan yang mempunyai gaji tetap, ia
merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
keluarganya sendiri, sehingga satu-satunya adalah ia
masih bergantung pada perekonomian orang tuanya,
semasa hidupnya ia memang terbiasa tinggal bersama
istrinya di rumah orangtuanya bersama satu anak,
sehingga ketika ada permasalahan ekonomi ia menjadi
tidak terlalu terbebani, namun tetap saja ia harus
menghidupi anak dan istrinya. Dari dua kasus subjek
tersebut didapatkan bahwa keadaan ekonomi sangatlah
penting untuk menunjang kehidupan, dengan adanya
ketergantungan kepada orang lain menyebabkan
adanya ketenangan dan sedikit bantuan dalam
memenuhi kewajiban.
Dampak selanjutnya yaitu dari sisi psikologis
subjek, AP mengatakan ia harus menerima beban
psikologis yang cukup berat dari lingkungan, terutama
tetangga rumahnya, sehingga seringkali AP mengalami
depresi ringan bahkan sampai berat. AP sering
mendapat perkataan yang tidak enak didengar karena
telah tidak bekerja untuk istri dan anaknya karena PHK
tersebut, banyak yang mengatakan bahwa ia juga tidak
bertanghung jawab atas keluarganya. Dari ungkapan
AP tersebut didapatkan gejala-gejala depresi yang
membuatnya semakin tertekan dan membuatnya putus
aja ketika mau melamar pekerjaan, karena menganggap
bahwa dirinya sudah tidak mampu dalam memenuhi
kebutuhan keluarganya, sehingga AP hanya
mengandalakan pekerjaan panggilan sebagai buruh
kasar yang mana pekerjaan tersebut tidak menentu dan
dirasa masih kurang dalam memenuhi kebutuhan
keluarganya tetapi ia harus menjalaninya. Dari hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang sudah
dilakukan oleh Siregar (2019), bahwa gejala-gejala
yang timbul akibat depresi buruh yang di PHK
mengalami 10 gejala yang dapat menimbulkan tidak
bersemangatnya dalam melakukan aktivitas dalam
kesehariannya. Ditambah jika seseorang merupakan
kepala keluarga yang sudah mempunyai keluarga besar
tentunya banyak sekali tekanan yang harus ia
terimanya, mulai harus memenuhi kebutuhan finansial
dan menanggung malu atas statusnya yang tidak lagi
bekerja dan menjadi pengangguran yang menjadikan
seseorang akan kurang percaya diri dalam
mengahadapi tuntutan keluarga. Terdapat hubungan
yang tidak harmonis yang seringkali terjadi antara
suami dan istri setelah kepala keluarga mengalami
PHK, karena pada dasarnya seorang istri juga
mempunyai kebutuhan yang besar dalam memenuhi
kebutuhan keluarga, sehingga ia harus mengandalkan
kepala keluarga untuk menerima pemasukan. Itulah
salah satu penyebab mengapa seseorang yang sedang
maupun sudah mengalami PHK akan mengalami
depresi. Sedangakan subjek JK adalah sebelumnya
menjadi karyawan perusahaan yang mendapatkan PHK
akibat dari faktor usia dan kontrak kerja yang sudah
selesai secara psikologis ia mengungkapkan hanya
191
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
berdampak sangat kecil, hanya awalnya saja ia harus
menahan emosi untuk bersabar karena memang sudah
waktunya untuk di PHK, sehingga dalam menerima itu
JK tidak terlalu memikirkan akibat ia di PHK dan
lingkungan masyarakat pun dapat menyadari akan hal
itu karena batas usia. Ditambah JK mendapat dukungan
penuh dari istrinya yang senantiasa mendukung
pekerjaannya sekarang sebagai buruh tadi, sedangkan
pemasukan perekonomian untuk membantu sedikit
kebutuhan keluarganya dibantu anak pertamanya yang
sudah bekerja, itulah yang membuat dampak psikologis
yang diterima JK menjadi berkurang. Hal ini sejalan
dengan kasus penelitian yang ditulis oleh Sari, N. A.
(2015), menyebutkan penelitian tentang psychological
well being pada kepala keluarga yang mengalami PHK
terdapat subjek yang mendapatkan dukung penuh oleh
istri dan keluarganya, sehingga subjek mampu
produktif lagi dalam mencari pengahsilan, karena pada
dasarnya keberhasilan relisiensi seseorang yang
mengalami PHK adalah bagaimana keluarga bisa
menerima dan mampu mendukung untuk percaya diri
dalam mencari penghasilan dari cara lain.
Faktor dan bentuk resiliensi
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi proses
resiliensi
menurut Grotberg (2005), yaitu usia
seseorang, dukungan sosial, locus of control,
kompetensi, penghargaan terhadap diri (self esteem),
watak (temperament), kedewasaan sosial (social
maturity), kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement), dan kemampuan untuk mengatasi
peristiwa masa lalu (past coping ability). Dari subjek
JK menghasilkan data bahwa dengan usianya yang
sudah berumur dan tidak mampu produktif lagi di ranah
pekerjaan sebagai karyawan maka timbul kesadaran
diri yang matang dan mampu mengendalikan minded
atau locus of control dalam kehidupan, semakin dewasa
maka faktor cenderung proses resiliensi akan berhasil.
JK juga mendapatkan dukungan penuh dari istri dan
keluarganya, ditambah ia mendapatkan bantuan
perekonomian dari anak pertama untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya, dan untuk mengatasi
permasalahan aktivitas akibat PHK, JK mempunyai
solusi untuk menjadi petani dan buruh tani di desanya
karena faktor lingkungan tempat tinggal juga
mendukung. Namun didalam interview yang telah
dilakukan tidak terdapat keinginan ataupun harapan JK
dalam mendapatkan penghargaan ataupun prestasi atas
dirinya, ia menganggap bahwa diusianya memang
harus sudah berhenti dari aktivitas yang melelahkan
atau bekerja penuh. Sesuai dengan teori Coulson (2006)
mengemukakan empat level yang dapat terjadi ketika
seseorang mengalami situasi cukup menekan
(significant adversity), yaitu succumbing (mengalah),
survival (bertahan), recovery (pemulihan), dan thriving
(Berkembang dengan Pesat) dan hasil data yang
didapatkan JK mampu melakukan 4 hal tersebut dengan
mudah, dimulai dari proses perasaan megalah akibat
PHK, lalu bertahan untuk memenuhi kehidupan dengan
bekerja sebagai buruh tani, pemulihan, dan akhirnya
dapat berkembang untuk menjadi individu yang lebih
baik.
Sedangkan pada subjek AP dalam membantu proses
resiliensi, ia hanya mampu succumbing (mengalah) dan
survival (bertahan) di usianya yang seharusnya masih
produktif tetapi tidak adanya keinginan untuk bangkit
dan mau berusaha lebih keras lagi dalam bekerja,
didapatkan data bahwa locus of control subjek AP
sangat rendah, ditambah faktor keluarga yang tidak
mendukung kemampuan AP untuk mau bekerja,
keluarga lebih mementingkan tuntutan ke AP sehingga
tekanan yang didapatkan lebih berat. Selain itu
lingkungan masyarakat juga banyak yang tidak
mendukung bahkan mengejek dan membicarakan
keburukan AP. Sehingga tidak adanya lagi keinginan
AP untuk terus berkembang dan berprestasi di usianya
yang masih produktif, namun sebenarnya masih tetap
ada rasa tanggung jawab dalam membantu memenuhi
kebutuhan istrinya karena tuntutan dan kebutuhan
anaknya dengan mau bekerja sebagai buruh kasar.
Untuk itu didapatkan kesimpulan bahwa AP sangat
sulit untuk mendapatkan bentuk resiliensi yang harus ia
lakukan akibat faktor lingkungan. Dan dapat
disimpulkan dari 2 subjek tersebut yang mampu dalam
proses resiliensi adalah mereka yang mampu
mengendalikan kontrol diri dan keinginan yang kuat
dari dalam individu, serta faktor lingkungan sangat
berpengaruh.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa pemutusan hubungan kerja
(PHK) adalah suatu hal yang tidak diinginkan oleh
seseorang karena selain kehilangan pekerjaan,
seseorang juga kehilangan aktivitas, status, dinamika
sosial, dan dampak akibat PHK. Dari hasil interview
didapatkan dua subjek yang mempunyai bentuk
resiliensi tersendiri. Subjek JK dengan faktor usianya
yang sudah tidak produktif mampu menjalankan bentuk
resiliensi dengan baik, JK mampu menerapkan
succumbing, survival,
recovery, dan thriving,
sedangkan subjek AP didapatkan bentuk resiliensi
hanya succumbing dan survival. Dari penelitian ini juga
192
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
didapatkan dampak permasalahan yang timbul akibat
PHK, sehingga subjek mendapat tuntutan dan tekanan
untuk menerapkan bentuk resiliensi yang sesuai dengan
kemampuan dan keinginan subjek.
Grotberg, E. (2005). A guide to promoting resilience
in children : Strengthening the human spirit.
Benard :Van Leer Foundation
Saran
1. Bagi subjek
Diharapkan dengan kondisi seseorang yang
mengalami PHK diharapkan adanya kesadaran diri
untuk tetap melanjutkan kehidupan yang baik tanpa
melihat kekurangan diri sebagai suatu hambatan,
dan diharapkan dengan adanya tuntutan dan
tekanan, subjek tetap bertanggung jawab atas
kehidupannya sebagai kepala rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk
menggunakan subjek yang mengalami PHK dengan
tuntutan dan tekanan yang lebih berat, dengan
gejala depresi yang lebih serius, sehingga
didapatkan penelitian yang kompleks tentang
fenomena subjek PHK.
Herdiyansyah, H. (2015). Metodologi Penelitian
Kualitatif Untuk Psikologi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Hasibuan, S.P.M. (2000). Manajemen Dasar,
Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Gunung Agung.
Holaday & McPhearson. (1997). Resilience and
Severe Burns. Journal of Counseling and
Development. Vol. 75 (5): hal. 346-356.
Kementrian
Perindustrian.
(2019).
Analisis
Perkembangan Industri, edisi I-2019. PUSDATIN
KEMENPERIN.
Jakatra.
Online:
http://kemenperin.go.id. Diakses pada Senin,14
Oktober 2019.
DAFTAR PUSTAKA
London, M., & Mone, E. M (1987). The Jossey-Bass
Social Management Series and the Jossey-Bass
Social and Behavioral Science Series. Career
Management and Survival in the Workplace:
Helping Employees Make Tough Career Decisions,
Stay Motivated, and Reduce Career Stress. San
Francisco, CA, US: Jossey-Bass. Online:
http://psycnet.apa.org/record/1987-97737-000.
Diakses pada: Selasa, 15 Oktober 2019.
Azwar, S. (2004). Metode penelitian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Looker & Gregson. (2005). Mengelola stress. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Badan Pusat Statistik. (2012). Estimasi Parameter
Demografi: Tren Fertilitas, Moralitas, dan
Migrasi. Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan
Pusat Statistik. Jakarta. Online: www.bps.go.id.
Diakses pada Senin,14 Oktober 2019.
Manulang, S. H. (1988). Pokok-pokok Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Connor & Davidson. (2003). Psychomatric Analysis
and Refinement of the Connor-Davidson
Resilience Scale (CD-RISC): Validation of a 10Item Measure of Resilience. Journal of Traumatic
Stress. Vol. 3 (6): hal. 1019-1028.
Coulson, R. (2006). Resilience and self-talk in. Thesis.
University Students: University of Calgary.
Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain
Riset: Memilih Diantara Lima Pendekatan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dessler, G. (2003). Human resources management, 9th
edition. California: Prentice Hall.
Fajriyah, L. R. (2018). KSPI Sebut Ada 4 Gelombang
PHK Besar-besaran Sejak 2015. Jakarta.
Online:https://ekbis.sindonews.com/read/1365790
/34/kspi-sebut-ada-4-gelombang-phk-besarbesaran-sejak-2015-1545803881. Diakses pada
Senin, 14 Oktober 2019.
Flippo, E. B. (1984). Personel Management, 5th
Edition. Sydney: McGraw-Hill International Book
Company.
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The resilince factor; 7
Essential skill for overcoming lifes inevitable
obstacle. New York: Random House Inc.
Rickwood, R. R. (2002). Enabling high-risk clients:
exploring a career resiliency model. Online:
www.contactpoint.ca/natconconat/2002/pdf/pdf02-10.pdf. Diakses pada: Minggu, 13 Oktober
2019.
Sari, N. A. (2015). Psychological Well-Being Pada
Kepala Keluarga Yang Mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja Oleh Perusahaan Batu Bara Di
Desa Bukit Pariaman. eJournal Psikologi. Vol. 4
(1): hal. 1-12.
Siregar, A. G. (2019). Sistem Pakar Menentukan
Tingkat Depresi Pekerja yang di PHK
Menggunakan Metode Certainly Factor. Jurnal
Riset Komputer (JURIKOM). Vol. 6 (1): hal. 6169.
Smith, J .A & Osborn, M. (2015). Interpretative
phenomenological analysis. SAGE. Vol. 9 (1): hal.
41-42.
Tugade, M., M. & Fredrickson, B.L. (2004). Resilient
Individual Use Positive Emotions To Bounce Back
193
Gambaran Resiliensi pada Buruh Pabrik yang Mengalami Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Ahmad Aldy Hisbullah, Akhmad Mitakhul Hudin
From Negative Emotional Experiences. Journal of
Personality and Social Psychology. Vol. 24 (2):
hal. 320-333.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan.
194
PENGARUH SELF LEARNING TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR PESERTA
PELATIHAN DASAR CPNS ONLINE BMKG
Juniarto Widodo
Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG, juniarto2013@gmail.com
Abstrak
Peningkatan hasil belajar peserta dalam pelatihan adalah merupakan salah satu bentuk keberhasilan
dalam sebuah pelatihan. Penelitian ini dilakukan Pelatihan Latsar CPNS BMKG yang dilakukan
secara pelatihan online Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana peningkatan hasil
belajar setelah dilakukan self learning. Peningkatan belajar tersebut diukur melalui penerapan
perlakuan self learning sebelum kelas pelatihan diberikan. Berdasarkan hasil belajar peserta,
diperoleh perbedaan hasil belajar sebelum dan setelah pembelajaran dikelas. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode statistik sederhana menggunakan Microsoft Excel dengan pendekatan
kuantitatif, dengan obyek penelitian adalah peserta pelatihan Latsar BMKG angkkatan XI dan
Angkatan XV, adapun pada objek penelitian kelas Angkatan XV tidak diterapkan self learning.
Penugasan self learning dirancang dalam bentuk pemberian tugas mandiri melalui modul atau buku,
kemudian diberikan penugasan untuk membuat refleksi pembelajaran dari video pembelajaran studi
kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan kuisioner melalui google
form melalui pengujian secara kognitif melalui pre-test dan post-test. Hasil penelitian diperoleh dari
data hasil pengolahan data berupa peningkatan nilai yang diperoleh berdasarkan nilai pre-test dan
post-test. Secara signifikan diperoleh hasil penelitian bahwa perlakuan self learning sebelum
pembelajaran mampu meningkatkan hasil belajar peserta, dengan rata-rata peningkatan sebanyak 20
poin lebih tinggi. Dengan penerapan self learning sebelum pembelajaran akan mendorong peserta
untuk mampu memahami isi modul pelatihan sehingga dengan sendirinya peserta akan membaca isi
modul. Hal ini telah berpengaruh langsung terhadap hasil belajar peserta pelatihan.
Kata Kunci: self learning, pelatihan online. refleksi pembelajaran.
PENDAHULUAN
Generasi milenial adalah tantangan baru bagi para
pendidik dalam tugas profesionalnya mengajar generasi
yang lahir dengan internet menjadi kebutuhan utama
terhadap beragam akses informasi dan kemudahan
untuk membagikan beragam informasi tersebut secara
cepat hampir dimanapun, kemanapun dan kapanpun.
Sehingga pejuang pembelajar mulai berpikir mencari
pendekatan proses belajar mengakomodasi pendekatan
pedagogi dan andragogi yang telah biasa digunakan
dalam pendidikan maupun pelatihan di sekolah maupun
di lembaga pendidikan.
Secara kebahasaan, self learning berarti
pembelajaran secara mandiri oleh siswa yang bertujuan
untuk memberikan penugasan kepada siswa untuk
secara mandiri melakukan aktivitas berkaitan dengan
pembelajaran. Penugasan secara mandiri tersebut bisa
berupa memberikan tugas antara lain membaca buku
atau modul, menonton video pembelajaran, meminta
siswa mengerjakan tugas individu maupun
berkelompok, meminta peserta mencari bahan atau
materi di internet dan lain-lain. Karena penugasan ini
berlangsung secara online, maka self learning dapat
dimanfaatkan sebagai aktivitas pendukung pelatihan
agar peserta senantiasa aktif dan tidak pasif selama
pelatihan. Dengan aktivitas online dengan pengajar dan
peserta lain akan menjadi penyemangat tersendiri oleh
peserta untuk mampu menuntaskan pembelajaran
sampai dengan akhir pelatihan. Menurut Roy Kellen
(1998) (dalam Riza dkk, 2017) bahwa dilihat dari
pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis
pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered
approach) dan (2) Pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered
approach). Dalam hal ini perlakuan penerapan sebelum
pembelajaran menggunakan pendekatan student center
approach.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemajuan penyerapan materi pelatihan, dalam hal ini
adalah mata pelatihan Komitmen Mutu dalam Pelatihan
Latsar CPNS. Peningkatan hasil belajar peserta
dihitung berdasarkan perbedaan nilai pre-test dan posttest. Proses pengujian pre-test dan post-test dilakukan
secara online menggunakan google form pada saat awal
mulai pembelajaran dan saat akhir pembelajaran.
Penulis menggunakan perlakuan pembelajaran self
learning sehari sebelum pembelajaran di kelas secara
online melalui grup whatsapp (WAG). Perlakuan self
learning, peserta disediakan bahan pembelajaran
berupa modul dan penugasan studi kasus membahas
video pembelajaran. Setelah menyimak video peserta
kemudian diminta untuk membentuk kelompok
membahas refleksi studi kasus yang ada di dalam video
195
Pengaruh Self Learning Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Dasar Cpns Online Bmkg
Juniarto Widodo
pembelajaran dengan menggunakan bahan modul
belajar yang sudah diberikan. Hasil pembahasan secara
berkelompok kemudian diupload dalam Learning
Management System (LMS) Pusdiklat pada keesokan
hari sebelum pembelajaran kelas dimulai. Penulis
belum menemukan penelitian sejenis sebelumnya,
sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian
ini sebagai bagian yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan hasil belajar peserta pelatihan.
METODE
Penelitian ini menggunakan sampel Pelatihan Latsar
CPNS di BMKG tahun 2020 yang berlangsung secara
daring. Sampel peserta menggunakan dua kelas
pelatihan Latsar CPNS dengan sampel kelas Angkatan
XI dan Angkatan XV dengan masing-masing kelas
berjumlah 41 orang peserta. Pada kedua kelas sampel
dilakukan perlakuan yang berbeda yaitu menggunakan
perlakuan sesi self learning sebelum memasuki kelas
pembelajaran dan satu kelas tidak menggunakan
perlakuan self learning sebelum memasuki kelas. Pada
perlakuan sesi self learning sebelum pelatihan peserta
diberikan pembelajaran mandiri membahas studi kasus
sebuah film secara berkelompok dan membuat refleksi
dari film tersebut dengan bantuan modul mata
pelatihan.
Penelitian ini menggunakan sampel pembelajaran
mata pelatihan Komitmen Mutu yang merupakan
bagian dari materi ANEKA dan agenda utama dalam
Pelatihan Dasar CPNS. Peningkatan hasil belajar
peserta diukur dengan membandingkan hasil belajar
melalui pengujian pre-test dan post-test. Dengan
melihat hasil belajar dari dua sampel kelas yang diuji
maka dapat diketahui sejauh apa efektifitas hasil belajar
peserta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan sampel pembelajaran mata
pelatihan Komitmen Mutu yang merupakan bagian dari
materi ANEKA dan agenda utama dalam Pelatihan
Dasar CPNS. Peningkatan hasil belajar peserta diukur
dengan membandingkan hasil belajar melalui
pengujian pre-test dan post-test. Dengan melihat hasil
belajar dari dua sampel kelas yang diuji maka dapat
diketahui sejauh apa efektifitas hasil belajar peserta.
Dalam penerapan metode self learning, pengajar
bertindak sebagai fasilitator. Pengajar hanya
menstimulasi dan mengarahkan tujuan pembelajaran
melalui aktivitas belajar peserta secara mandiri dan
berkelompok. Pengajar menstimulasi pengetahuan
sebelum memasuki kelas melalui penugasan kepada
peserta. Peserta secara berkelompok diberikan
stimulasi pengetahuan tentang mata pelatihan
Komitmen Mutu melalui penugasan pemutaran video
“LEBARAN” dan pemberian modul pelatihan.
Selanjutnya secara berkelompok, peserta membahas isi
video dan membuat refleksi pembelajaran tentang
penerapan nilai dasar Komitmen Mutu melalui tokoh
yang ada dalam video studi kasus tersebut. Dewi, O, R
(2010) menjelaskan model self directed learning
memungkinkan siswa dapat mengatur proses belajar
dalam bentuk inisiatif sendiri, pengaturan diri,
eksplorasi diri, dan kebebasan belajar untuk mencapai
hasil belajar yang optimal dan meningkatkan
kemandirian belajar.
Penugasan selanjutnya adalah meminta peserta
membuat refleksi pembelajaran menggunakan bahan
modul yang telah disampaikan. Melalui penugasan
membuat refleksi dari video pembelajaran studi kasus
diatas, akan mendorong peserta untuk membaca dan
akan berusaha untuk memahami apa isi modul secara
lengkap untuk disampaikan dalam pembahasan refleksi
yang dibahas dalam kelompok masing-masing. Tabel 1
diatas adalah gambaran skema pembelajaran mata
pelatihan Komitmen Mutu secara keseluruhan.
Tabel 1. Kegiatan Belajar Peserta Melalui Self
Learning
Aktifitas
Proses
Output
Media
Belajar
Belajar
Belajar
Self Learning
- Modal
Knowledg
Async
Membaca
e
Menyima
- Film
Async
Insight
k
- Diskusi
Berdiskus Analisis
Async
Kelompok
i
Refleksi
Pembelajaran
Inti
Menyima
Knowledg
- Sinkronous Sync
k
e
PPT Hasil
- Ungroup
Async
Diskusi
Diskusi
Resume
Presentasi
diskusi
Sync/As
- Regroup
Tanya
knowledg
ync
Jawab
e
Resume,
- Refleksi
Sync/As Penutupan
Kesimpul
Belajar
ync
Kelas
an
Resume
Hasil
- Tugas
Async
Pembelaja Tugas di
Mandiri
ran
LMS
Nilai Pre
- Pre Test /
Sync
Ujian
Test / Post
Post Test
Test
196
Pengaruh Self Learning Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Dasar Cpns Online Bmkg
Juniarto Widodo
Aktivitas pembelajaran self learning diberikan
diawal pembelajaran, dengan demikian melalui proses
penugasan tersebut peserta terbuka kesadarannya untuk
menggali nilai-nilai pembelajaran Komitmen Mutu
dengan mengambil referensi melalui modul yang telah
dibaca. Karidha dkk (2009), menjelaskan bahwa self
directed learning adalah untuk memberikan
kesempatan kepada siswa mengungkapkan idenya
untuk memecahkan masalah; membimbing kelompok
dalam mengumpulkan data. Selanjutnya menurut Eni
Susilowati (2018), dalam diklat online, peserta dapat
belajar secara tidak langsung (Asynchronous) dimana
saja, kapan saja, atau dengan cara apa saja sesuai
dengan kebutuhan. Dalam belajar secara tidak
langsung, bahan belajar yang digunakan adalah modul,
program video dan media lain yang memungkinkan.
Pada pengujian pre-test dan post-test, dapat
dijelaskan bahwa dari dua kelas Latsar Angkatan XI
dan Angkatan XV menunjukkan bahwa pada kelas
Latsar angkatan XI diperoleh peningkatan hasil yang
signifikan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelas
Latsar Angkatan XV. Untuk menghasilkan pengukuran
hasil
yang
murni,
pada
kedua
angkatan
tidakmdiinformasikan akan diadakan pre-test dan posttest. Dengan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dengan
demikian peserta tidak ada persiapan membaca materi,
atau boleh dikatakan tanpa persiapan sama sekali. Hal
ini untuk menunjukkan pengaruh murni dari self
learning dalam peningkatan hasil belajar peserta di
awal dan dan akhir pembelajaran di dalam kelas.
Berdasarkan presentase pengukuran setelah
mengikuti rangkaian pre-test dan post-tes, maka dapat
diketahui bahwa adanya peningkatan hasil belajar yang
terjadi pada peserta pelatihan. Tabel 2. berikut adalah
hasil penerapan pembelajaran self learning yang
terdiri dari nilaia rata-rata peningkatan hasil belajar,
nilai maksimum peningkatan belajar dan nilai
minimum peningkatan belajar :
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Belajar Peserta
Kelas
Agk11
Agk15
RataRata
Pre-Test
RataRata
Post Test
PreTest –
Post
Test
Maks
PreTest/Po
st-Test
Min
PreTest/P
ostTest
64.88
95.95
31.07
90/100
35/60
54.88
65.73
10.85
80/100
15/40
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi
perbedaan yang cukup mencolok dari nilai rata-rata dari
kedua angkatan dengan perbedaan berkisar 20 poin.
Pada Kelas Angkatan XI yang dilakukan self learning
peningkatan secara rata-rata adalah 31.07 sedangkan
kelas Angkatan XV yang tidak dilakukan self learning
peningkatan hasil belajar secara rata-rata hanya sebesar
10.85. Demikian juga bila melihat nilai maksimum dan
minimum juga terjadi perbedaan yang cukup
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan self
learning memberikan pengaruh yang positif terhadap
peningkatan hasil belajar peserta pelatihan. prestasi
belajar yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya
metode pembelajaran yang berkualitas, pengajar yang
mampu dalam menerapkan metode pembelajaran
dengan benar dan tepat sesuai dengan kebutuhan
didalam kelas, dapat memberikan dampak yang positif
terhadap peningkatan prestasi belajar.
Pada Grafik 1. menggambarkan perbedaan hasil
peningkatan belajar peserta diklat Latsar Angkatan XI
dan Angkatan XV. Peningkatan hasil belajar pada
angkatan XI disebabkan oleh pengaruh perlakuan self
learning sebelum pembelajarn yang berupa penugasan
membuat refleksi video pembelajaran dengan
menggunakan modul sebagai sumber belajar.
Susilowati, dkk (2015) mengatakan melalui belajar,
siswa harus dihadapkan dengan permasalahan dan
langkah-langkah mencari solusinya dan melalui proses
interaksi memungkinkan kemampuan siswa akan
berkembang.
Tabel 3. Grafik Perbandingan Peningkatan Hasil
Belajar
Grafik Perbandingan Peningkatan Hasil Belajar
100
0
-100
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40
delta11
delta15
Sedangkan Mardiah Kalsum Nasution (2017)
menjelaskan bahwa prestasi belajar yang tinggi dapat
disebabkan oleh adanya metode pembelajaran yang
berkualitas, dan pengajar mampu dalam menerapkan
metode pembelajaran dengan benar dan tepat sesuai
dengan kebutuhan didalam kelas, akan dapat
memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan
prestasi belajar.
Bila memperhatikan Grafik 1 diatas, peningkatan
hasil belajar tidak sepenuhnya terjadi karena pada
beberapa siswa tidak terjadi peningkatan, bahwa terjadi
penurunan sehingga selisih nilai pre-test dan post-test
menghasilkan nilai negatif. Pada hasil belajar juga
menunjukkan bahwa peningkatan hasil belajar terbesar
adalah pada kelas Angkatan XI dengan diterapkannya
197
Pengaruh Self Learning Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Dasar Cpns Online Bmkg
Juniarto Widodo
self learning. Hasil belajar pada dasarnya adalah
perubahan perilaku peserta didik sebagai akibat dari
proses pembelajaran yang dilakukannya. Aspek
perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan
pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson,
dan Harrow (dalam Riza dkk, 2017) mencakup aspek
kognitif. afektif dan psikomotor.
Sesuai dengan hasil Grafik1. diatas, dalam
penelitian ini hanya mengukur aspek kognitif peserta
sejauh mana mampu memahami materi pelatihan
kemudian mampu mengaplikasikan dalam pembahasan
permasalahan melalui studi kasus. Hal-hal yang
dituangkan oleh peserta ke dalam refleksi studi kasus
memberi bekal pengetahuan peserta sehingga siap
dalam menghadapi ujian pre-test maupun pos-test.
Aspek kognitif yang diukur antara lain kemampuan
peserta dalam mengingat, menghapal dan menganalisis
permasalahan menggunakan sumber belajar berupa
modul pelatihan Komitmen Mutu yang diterbitkan oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan
Peraturan Nomor 12 Tahun 2018. Belajar kolaboratif
dalam mengerjakan proyek dalam satu kelompok,
memberi peluang siswa saling belajar yang akan
meningkatkan pemahaman konseptual maupun
kecakapan technical. Berorientasi pada belajar aktif
memecahkan masalah riil yang memberi kontribusi
pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan
(Wibowo, F.C dan Suhandi, 2013).
PENUTUP
Simpulan
Penerapan self learning sebelum pembelajaran
berpengaruh positif terhadap peningkatan hasil belajar
peserta pada pelatihan Latsar CPNS di BMKG yang
berlangsung secara online.
Peningkatan hasil belajar menunjukkan hasil yang
signifikan meningkat dengan dilakukannya self
learning pada kelas latsar Angkatan XI dibandingkan
dengan Angkatan XV yang tidak menerapkan self
learning.
Peningkatan hasil belajar secara rata-rata naik
berkisar 20 poin pada kelas yang menerapkan self
learning sebelum pembelajaran apabila dibandingkan
dengan yang tidak diterapkan self learning.
DAFTAR PUSTAKA
Eni Susilowati. (2018). Dampak Program Diklat
Online TIK Guru
Pustekkom Terhadap
Aksesibilitas Konten Pembelajaran Pada Fitur
Rumah Belajar, Jurnal Pendidikan Vol. !9 No. 2
Tahun 2018.
Kharida, L, A dkk (2009), Penerapan Model
Pembelaaran
Berbasis
Masalah
Untuk
Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pokok
Bahasan Elastisitas Bahan,Jurnal Pendidikan
Fisika Indonesia.
Mardiah, K. N (2017), Penggunaan Metode
Pembelajaran Dalam Peningkatan Hasil Belajar
Siswa. Jurnal Ilmiah Bidang Pendidikan, Vol. 11.
No. 1, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
“SMH” SerangUniversity of California Press.
Dewi Oktofa Rachmawati (2010), Penerapan Model
Self-Directed Learning Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Dan Kemandirian Belajar Mahasiswa,
Jurnal Pendidikan dan pengajaran, Universitas
Pendidikan Ganesha, Volume 43.
Susilawati, dkk (2015). Pembelajaran Real
Laboratory Dan Tugas Mandiri Fisika Pada Siswa
Smk Sesuai Dengan Keterampilan Abad 21. Jurnal
Pendidikan Fisika Indonesia.
Riza dkk (2017). Penerapan Metode Pembelajaran
Mandiri Dalam Meningkatkan Hasil Belajar
Peserta Didik, Jurnal pendidikan Luar Sekalah
Volume I.
Wibowo, F. C dan Suhandi A, (2013), Penerapan
Model Science Creative Learning (Scl) Fisika
Berbasis Proyek Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Kognitif Dan Keterampilan Berpikir
Kreatif, Jurnal PendidikaN IPA Indonesia.
Peraturan LAN Nomor 12 Tahun 2018 Tentang
Pelatihan Dasar CPNS, Lembaga Administrasi
Negara
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut terhadap penerapan self
learning pada mata pelatihan yang lain dalam Pelatihan
Latsar BMKG, hal ini untuk membuktikan apakah
terjadi peningkatan hasil belajar yang sama terhadap
peserta.
198
BURNOUT DAN KOMITMEN TERHADAP TUGAS: TANTANGAN TENAGA MEDIS DALAM
MENGHADAPI PANDEMI COVID-19
Rizky Ananda Artiningsih
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, rizky.17010664090@mhs.unesa.ac.id
Fazaiz Khoirotun Chisan
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, fazaiz.17010664080@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Salah satu karakter yang menjadi nilai tambah bagi seorang SDM yaitu komitmen terhadap tugas.
Hal tersebut berlaku tak terkecuali pada tenaga medis. Saat ini tenaga medis sedang dihadapkan pada
tantangan menghadapi pandemi COVID-19. Tuntutan yang tinggi dan penanganan yang segera dapat
memberikan tekanan bagi para tenaga medis di tengah terbatasnya sumber daya yang ada. Hal
tersebut dapat menyebabkan tenaga medis mengalami burnout. Burnout merupakan kondisi dimana
seseorang mengalami kelelahan hingga ia tidak dapat melakukan fungsinya sebagai mana mestinya
akibat terlalu keras dalam bekerja. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengeksplorasi faktor penyebab
burnout pada tenaga medis dalam menghadapi pandemi COVID-19 serta menganalisa keterkaitan
dengan komitmen dalam bekerja. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu literature review dengan mengumpulkan data dari artikel di internet hingga artikel jurnal. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya beban kerja dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan
berkontribusi terhadap pada tenaga medis dalam menghadapi pandemi COVID-19. Seseorang
dengan komitmen yang tinggi terhadap tugas akan lebih adaptif dalam menyikapi yang mereka
alami.
Kata Kunci: komitmen terhadap tugas, burnout, tenaga medis, COVID-19.
PENDAHULUAN
Setiap organisasi tentu memiliki target ideal masingmasing sebagaimana tujuan dibentuknya organisasi
tersebut. Terlepas dari berbagai tujuan tersebut,
sumber daya manusia yang berkualitas merupakan
sebuah aset penting dalam suatu organisasi. Apabila
suatu organisasi memiliki SDM yang berkualitas,
maka tujuan dari suatu organisasi tentu akan lebih
mudah untuk tercapai. Sebaliknya, apabila SDM yang
dimiliki tidak memadahi maka kemajuan dan
perkembangan suatu organisasi juga akan berjalan
lambat.
Selain kompetensi yang baik, kualitas seseorang
juga dapat dilihat dari karakter yang baik. Seseorang
yang berkarakter pasti memiliki komitmen yang tinggi
dalam melakukan segala hal, akan memberikan yang
terbaik, dan melakukannya sesuai dengan tujuan
awalnya ia mengerjakan hal tersebut (Dhiu & Bete,
2017). Individu yang memiliki karakter baik dan
tangguh dalam dirinya akan berusaha untuk
memberikan yang terbaik terhadap segala hal yang
dilakukannya. Ia akan melakukannya dengan
berkomitmen
memberikan
yang
terbaik,
melakukannya secara tuntas, dan mengerahkan seluruh
potensi yang dimilikinya agar tujuannya tercapai
secara optimal.
Hal tersebut berlaku tak terkecuali pada tenaga
medis. Mereka telah melakukan sumpah profesi
sehingga dalam melaksanakan tugasnya, mereka wajib
mengacu pada kode etik dan undang-undang terkait
yang mengatur. Namun, tanggungjawab yang dimiliki
oleh tenaga medis yang berkaitan dengan nyawa orang
lain, rutinitas yang padat, banyaknya pasien, serta
tuntutan kecepatan dalam penanganan seringkali tidak
dapat dihindari dan menyebabkan mereka mengalami
stres (Andarini, 2018).
Saat ini, tenaga medis di seluruh dunia sedang
mendapatkan tantangan lebih dibandingkan dengan
biasanya karena sedang dihadapkan pada pandemi
COVID-19. Dilansir dari Tirto.id, data Worldometers
yang diperbarui pada 6 Mei 2020 pukul 15.23 WIB
menunjukkan bahwa total kasus positif COVID-19 di
dunia mencapai 3.741.276 orang dengan 258.511
diantaranya telah meninggal dan pasien sembuh
mencapai 1.247.414 orang (Tirto.id, 2020). Di
Indonesia sendiri, terhitung hingga 6 Mei 2020, jumlah
kasus positif mencapai 12.438 dengan total pasien
positif meninggal sebanyak 895, pasien sembuh 2.317
orang, pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak
26.932 orang, dan orang dalam pengawasan (ODP)
sebanyak 240.726 orang (Tirto.id, 2020).
Jumlah kasus tersebut semakin mengalami
peningkatan dari hari ke hari. Sayangnya, peningkatan
tersebut tidak diiringi dengan kesiapan fasilitas dan
tenaga medis di Indonesia. Dalam jurnal yang berjudul
“Critical care bed capacity in Asian countries and
regions”, Phua dkk. (2020) menyebutkan bahwa rasio
199
Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19
Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan
tempat tidur ICU di Indonesia per 100.000 yaitu
sebesar 2,7. Sedangkan perbandingan antara dokter di
Indonesia per 1000 penduduk menurut data World
Bank yang dilansir Jayani (2020) dalam katadata.co.id
yaitu sebesar 0,4 yang berarti bahwa dalam menangani
10.000 penduduk hanya ditangani oleh 4 dokter. Tidak
jauh berbeda dengan para dokter, rasio perawat yaitu
sebesar 2,1 per 1000 penduduk, dimana hanya ada dua
perawat untuk menangani 1000 penduduk.
Kesenjangan yang tinggi tersebut tentu akan
berpengaruh pada meningkatnya beban pada tenaga
medis. Tidak sedikit tenaga medis yang bekerja
melebihi shift yang seharusnya. Dalam mengatasi hal
tersebut, banyak tenaga medis yang dipekerjakan serta
ditempatkan dalam spesialiasi baru bahkan dengan
kesulitan yang lebih tinggi daripada sebelumnya
(Maben & Bridges, 2020).. Hal tersebut tentu
memberikan beban tersendiri bagi tenaga medis
tersebut. Belum lagi terkait keterbatasan APD.
Selain perbandingan ICU dan jumlah dokter yang
rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk,
minimnya alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis
khususnya yang menangani pasien covid juga
menambah beban bagi tenaga medis terkait. Padahal
APD merupakan salah satu protokol yang dapat
melindungi mereka agar tidak tertular virus dari pasien
yang mereka tangani. Dilansir dari Medistiara (2020),
IDI melaporkan bahwa jumlah dokter yang tewas
dalam menangani COVID-19 yaitu mencapai 23
orang. Kondisi tersebut sempat membuat lima asosiasi
tenaga medis yang ada di Indonesia yaitu Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Besar Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sempat
membuat pernyataan sikap yang menyebutkan bahwa
mereka terpaksa tidak berpartisipasi menangani pasien
virus corona apabila kebutuhan APD belum dipenuhi
oleh pemerintah (Jatmiko, 2020).
Sekalipun mereka mendapatkan APD, mereka
harus memakai APD tersebut yang terdiri dari masker,
sarung tangan, kacamata pelindung, dan baju hazmat
selama setidaknya sepuluh jam (BBC Indonesia detikNews, 2020). Setelah lelah seharian berjuang di
rumah sakit, tidak sedikit dari mereka yang juga tidak
bisa pulang dan harus rela jauh dari keluarga akibat
tuntutan pekerjaan di rumah sakit (BBC Indonesia detikNews, 2020).
Kelelahan baik secara fisik maupun mental yang
dialami oleh para tenaga medis tersebut
menggambarkan fenomena burnout (Maharja, 2015;
Sari, 2016). Burnout merupakan kondisi dimana
seseorang mengalami kelelahan hingga ia tidak dapat
melakukan fungsinya sebagai mana mestinya akibat
terlalu keras dalam bekerja (Freudenberger, 1974).
Bahkan, apabila apabila kebutuhan tenaga medis baik
secara fisik maupun mental tidak terpenuhi, maka ada
potensi ia akan keluar dari pekerjaannya (Mitchel,
2020). Apabila hal tersebut benar terjadi, maka akan
menimbulkan beban baru bagi selainnya mengingat
adanya tuntutan penanganan terhadap COVID-19
secara cepat dikarenakan peningkatan kasus dari hari
ke hari.
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas,
peneliti tertarik lebih lanjut mengulas hubungan
komitmen terhadap tugas dan kecenderungan burnout
yang dialami oleh tenaga medis dalam menangani
pandemi COVID-19.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
pertimbangan pihak rumah sakit serta pemerintah
dalam menetapkan kebijakan dan fasilitas kepada
tenaga medis sehingga mereka tetap dapat
menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Sekalipun
mengalami burnout, diharapkan dengan kebijakan
yang tepat maka komitmen tenaga medis dalam
menjalankan perannya tetap terjaga.
METODE
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dengan melakukan studi pustaka
atau literatur review. Data diperoleh dari artikel berita
di internet hingga artikel jurnal yang dipublikasi.
Pencarian artikel ini dilakukan dengan menggunakan
kata kunci “SDM yang berkarakter”, “karakter
menentukan komitmen bekerja”, “work task
commitment”, “burnout pada tenaga medis”, dan
beberapa kata kunci lainnya.
PEMBAHASAN
Burnout merupakan kondisi dimana seseorang
mengalami kelelahan hingga ia tidak dapat melakukan
fungsinya sebagai mana mestinya akibat terlalu keras
dalam bekerja (Freudenberger, 1974). Salah satu
penyebab seseorang mengalami burnout yaitu
tingginya beban kerja (Maharja, 2015; Sari, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Maharja (2015) terhadap perawat di Instalasi inap RSU
Haji Surabaya, tuntutan beban kerja yang tinggi dapat
menyebabkan para perawat mengalami kelelahan baik
secara fisik maupun emosional. Dengan tuntutan
bekerja selama 24 jam dalam seminggu membuat
waktu istirahat mereka berkurang. Setelah dilakukan
penelitian lebih lanjut, hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa sebanyak 20 orang (74,1%) dari
200
Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19
Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan
perawat tersebut memiliki beban kerja fisik kategori
sedang. Sedangkan sisanya mengalami beban kerja
fisik ringan. Ditinjau dari tingkat burnout, lebih dari
50% perawat tersebut mengalami burnout kategori
sedang. Hasil dari penelitian tersebut membuktikan
terdapat hubungan positif antara beban kerja dengan
tingkat burnout yang dialami oleh perawat.
Selain kelelahan (exhaustion) akibat beban kerja
berlebih, terdapat dua dimensi lainnya pada burnout
yaitu melakukan penghindaran terhadap tugas
(cynicism) serta penurunan terhadap kepercayaan diri
akan kemampuannya dalam mengerjakan tugas
(Ineffectiveness/Low Personal Accomplishment)
(Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).
Pada penelitian yang dilakukan Sari (2016) pada
perawat pelaksana di ruang rawat inap RSJ Provinsi
Kalimantan Barat, beban kerja berlebih dapat terlihat
dari jumlah perawat pada shift sore dan malam yang
harus menangani 60-70 pasien per ruangan dengan
gangguan jiwa hanya dengan satu hingga dua perawat.
Selain itu, mereka mengaku sering mendapatkan
kekerasan dari pasien gangguan jiwa yang mereka
rawat. Hal tersebut menyebabkan mereka mengalami
kelelahan (exhaustion) baik secara fisik maupun
mental. Setelah itu penghindaran terhadap tugas
(cynicism) dapat terlihat dari mengabaikan kebutuhan
pasien serta perilaku perawat yang datang terlambat
namun pulang lebih awal. Kemudian munculnya
pandangan negatif terhadap diri (Ineffectiveness/Low
Personal Accomplishment) merupakan akibat dari rasa
bersalah terhadap pasien karena tidak mampu
memberikan pelayanan secara maksimal.
Jika dikontekskan pada tenaga medis yang sedang
bekerja dalam pandemi COVID-19, indikasi kelebihan
beban kerja dapat terlihat dari tuntutan yang tidak
sesuai dengan realita yang ada. Berdasarkan data
World Bank yang dilansir Jayani (2020) dalam
katadata.co.id yaitu sebesar 0,4 yang berarti bahwa
dalam menangani 10.000 penduduk hanya ditangani
oleh 4 dokter. Tidak jauh berbeda dengan para dokter,
rasio perawat yaitu sebesar 2,1 per 1000 penduduk,
dimana hanya ada dua perawat untuk menangani 1000
penduduk. Tingginya beban kerja tersebut
menyebabkan kelelahan fisik pada perawat dimana
mereka tidak jarang harus melakukan shift lebih dari
biasanya. Mereka juga harus senantiasa waspada dan
mengenakan APD hingga selama 10 jam (BBC
Indonesia - detikNews, 2020). Selain itu kelelahan
emosional juga dapat muncul akibat terpisahnya dari
anggota keluarga karena masih harus bekerja di rumah
sakit menangani pasien covid yang dari hari ke hari
jumlahnya semakin meningkat (BBC Indonesia detikNews, 2020).
Adanya tuntutan yang tidak realistis dimana
mereka harus menangani pasien covid sedangkan APD
yang ada di rumah sakit terbatas, sempat membuat
kelima asosiasi tenaga kesehatan yaitu Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter
Gigi Indonesia (PB PDGI), Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) membuat
pernyataan sikap bahwa mereka terpaksa tidak
berpartisipasi untuk sementara dalam menangani
pasien virus corona apabila kebutuhan APD belum
dipenuhi oleh pemerintah (Jatmiko, 2020). Hal
tersebut merupakan salah satu bentuk cynicism, yaitu
penghindaran akibat ketidakrealistisan tuntutan yang
diberikan. Walaupun beberapa hari kemudian hal
tersebut telah dikonfirmasi bahwa mereka tetap akan
menjalankan pekerjaan mereka,
Mitchel (2020)
menyebutkan bahwa apabila kebutuhan tenaga medis
baik secara fisik maupun mental tidak terpenuhi secara
terus menerus, maka kondisi tersebut memungkinkan
tenaga medis untuk keluar dari pekerjaannya (Mitchel,
2020).
Bektas dan Peresadko (2013) menyebutkan bahwa
salah satu yang dapat menurunkan burnout yaitu
organizational effort factor. Yang termasuk dalam
organizational effort factor yaitu dukungan dari rekan
kerja (support of workmate), dukungan dari atasan
(managerial support), serta motivasi yang dihasilkan
dari perilaku organisasi (organizational atmosphere).
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Andarini (2018)
yang menghasilkan semakin tinggi organizational
effort factor dapat menyebabkan turunnya burnout dan
meningkatnya kepuasan kerja pada perawat di Rumah
Sakit Petrokimia Gresik.
Jika dikontekskan dalam kondisi tenaga medis
yang sedang mengalami burnout akibat tuntutan tinggi
menghadapi pandemi, organizational effort factor
yang meliputi managerial support dalam hal ini
pemerintah masih belum memadai.
Selain itu,
lambannya pemerintah dalam menyediakan APD
untuk para tenaga medis menjadi salah satu
ketidakpuasan tenaga medis. Sikap ketidakpuasan
tenaga medis yang menangani COVID-19 sempat
ditunjukkan dengan pernyataan sikap dari lima asosiasi
tenaga kesehatan sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya. Dengan demikian, hal tersebut
menyebabkan kecenderungan burnout pada tenaga
medis mengingat kebutuhan mereka secara fisik dan
emosional tidak terpenuhi sebagaimana mestinya.
Apabila kebutuhan tenaga medis dalam mengatasi
201
Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19
Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan
burnout tidak segera diatasi, mereka akan berpotensi
keluar dari pekerjaan (turnover) (Mitchel, 2020).
Dalam Sutanto dan Gunawan (2013), selain
kepuasan kerja, komitmen terhadap organisasi juga
berpengaruh kepada kecenderungan turnover. Individu
yang mengatakan dirinya berkomitmen dalam sebuah
organisasi merupakan individu yang mampu
mengidentifikasi hubungan atau ikatan dirinya dengan
sebuah organisasi (Haryanto dkk., 2018). Tidak hanya
itu, ia juga akan memiliki ketertarikan secara fisik
dengan pekerjaannya, hal ini dikarenakan ia harus
berada didalam organisasi tersebut sepanjang jam
kerjanya, menyelesaikan segala kebutuhan dan target
pekerjaan mereka (Haryanto dkk., 2018). Hal ini
sering dikenal juga dengan komitmen terhadap tugas.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Dhiu dan Bete
(2017), seseorang yang memiliki komitmen yang
tinggi dalam melakukan segala hal, akan memberikan
yang terbaik, dan melakukannya sesuai dengan tujuan
awalnya ia mengerjakan hal tersebut. Selain itu,
apabila komitmen terhadap tugas yang dimiliki tinggi,
individu tersebut akan dapat menyelesaikan tugasnya
secara mandiri, mampu mengidentifikasi masalah,
serta senantiasa berusaha mencari solusi untuk
masalah tersebut (Utami dkk., 2016). Dengan
demikian respon yang ditimbulkan lebih adaptif.
PENUTUP
Simpulan
Tingginya beban kerja dan ketidakpuasan terhadap
pekerjaan berkontribusi terhadap burnout pada tenaga
medis dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Seseorang dengan komitmen yang tinggi terhadap
tugas akan lebih adaptif dalam menyikapi burnout yang
mereka alami. Mereka memiliki kecenderungan
turnover
rendah
dikarenakan
senantiasa
mengidentifikasi masalah serta berusaha mencari solusi
atas permasalahan tersebut.
Saran
Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan,
ditemukan bahwa tingginya beban kerja dan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan oleh tenaga medis
berkontribusi pada burnout yang mereka alami. Salah
satu yang dapat menurunkan burnout yaitu dengan
meningkatkan organizational effort factor.
Bagi pemerintah
Bagi pemerintah, sebaiknya lebih memperhatikan
kondisi dan kebutuhan para tenaga medis khususnya
apabila terkait dengan kesejahteraan pasien maupun
tenaga medis itu sendiri, baik tenaga medis yang sudah
lama maupun relawan yang baru membantu.
Bagi pihak rumah sakit
Bagi pihak rumah sakit, hendaknya mampu
menciptakan kondisi yang kondusif bagi kesejahteraan
bersama. Bagi sesama rekan tenaga medis bisa saling
membantu dan menguatkan satu sama lain.
Bagi masyarakat
Bagi masyarakat hendaknya menaati aturan yang telah
diterapkan pemerintah agar pandemi bisa segera
berakhir (melakukan physical distancing, senantiasa
menjaga kebersihan dan kesehatan, tidak keluar rumah
apabila tidak mendesak, dan sebagainya). Hal tersebut
guna mencegah meningkatnya penyebaran COVID-19
yang dapat meningkatkan burnout pada tenaga medis.
Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang berminat dalam
penelitian sejenis, hendaknya memperhatikan
beberapa hal berikut:
a. Mengkaji lebih dalam lagi terkait topik atau tema
yang akan digunakan.
b. Mempertimbangkan faktor internal dan sosial
budaya individu dalam menganalisa faktor
penyebab burnout.
DAFTAR PUSTAKA
Andarini, E. (2018). Analisis faktor penyebab
syndrome dan job satisfaction perawat di Rumah
Sakit Petrokimia Gresik. Thesis, Universitas
Airlangga.
BBC Indonesia - detikNews. (2020, April 1). Cerita
tenaga medis yang jauh dari keluarga dan harus
gunakan APD 10 Jam. Retrieved Mei 6, 2020, from
BBC
Indonesia
detikNews:
https://news.detik.com/bbc-world/d4960635/cerita-tenaga-medis-yang-jauh-darikeluarga-dan-harus-gunakan-apd-10-jam
Bektas, C., & Peresadko, G. (2013). Frame of
workplace guidance how to overcome burnout
syndrome: A model suggestion. Social and
behavioral science , 879-884.
Dhiu, K. D., & Bete, N. (2017). Pentingnya pendidikan
karakter di perguruan tinggi: kajian teoritis dan
praktis. Annual Proceeding (pp. 172-176). Bajawa,
NTT: STKIP Citra Bakti.
Freudenberger, H. (1974). Staff burnout. Journal of
social issues , 30 (1), 159-165.
Haryanto, R., Fathoni, A., & Minarsih, M. M. (2018).
Pengaruh karakteristik pekerjaan, employee
engagement, dan motivasi terhadap komitmen
202
Burnout dan Komitmen Terhadap Tugas: Tantangan Tenaga Medis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19
Rizky Ananda Artiningsih, Fazaiz Khoirotun Chisan
organisasi dengan kepuasan kerja sebagai
intervening pada pt. eka farma di semarang.
Journal of Management , 4 (4), 1-18.
Jatmiko, A. (2020, Maret 27). Tenaga medis ancam
tidak tangani pasien corona bila APD tak
memadai. Retrieved Mei 6, 2020, from
KataData.co.id:
https://katadata.co.id/berita/2020/03/27/tenagamedis-ancam-tidak-tangani-pasien-corona-bilaapd-tak-memadai
https://tirto.id/update-corona-6-mei-2020indonesia-dunia-data-COVID-19-hari-ini-flwx
Utami, S., Nursalam, Rachmat, H., & Susilaningrum,
R. (2016). Midwives performance in early
detection of growth and development irregularities
of children based on task commitment.
International Journal of Evaluation and Research
in Education (IJERE) , 5 (4), 300-305.
Jayani, D. H. (2020, April 2). Rasio dokter Indonesia
terendah kedua di Asia Tenggara. Retrieved Mei 6,
2020,
from
KataData:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/0
4/02/rasio-dokter-indonesia-terendah-kedua-diasia-tenggara
Maben, J., & Bridges, J. (2020). Covid‐19: Supporting
nurses’ psychological and mental health. Journal of
Clinical Nursing .
Maharja, R. (2015). Analisis tingkat kelelahan kerja
berdasarkan beban kerja fisik perawat di instalasi
rawat inap RSU Haji Surabaya. The Indonesian
Journal of Occupational Safety and Health , 4 (1),
93-102.
Maslach, C., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2001).
Job burnout. Annual review of psychology , 52 (1),
397-442.
Medistiara, Y. (2020, April 15). Total 23 dokter
meninggal dunia selama pandemi corona, ini
daftarnya. Retrieved Mei 6, 2020, from
DetikNews:
https://news.detik.com/berita/d4977804/total-23-dokter-meninggal-duniaselama-pandemi-corona-ini-daftarnya
Mitchel, G. (2020, April 24). Danger of nurses quitting
after COVID-19’ if mental health overlooked.
Retrieved Mei 6, 2020, from NusingTimes:
https://www.nursingtimes.net/news/mentalhealth/danger-of-nurses-quitting-after-COVID-19if-mental-health-overlooked-24-04-2020/
Phua, J., Faruq, M., Kulkarni, A., Redjeki, I.,
Detleuxay, K., ..., N. M., et al. (2020). Critical care
bed capacity in Asian countries and regions.
Society of Critical Care Medicine , 48 (5), 654-662.
Sari, N. L. (2016). Hubungan beban kerja terhadap
burnout syndrome pada perawat pelaksana ruang
intermediet RSUP Sanglah. Jurnal Dunia
Kesehatan , 5 (2), 87-92.
Sutanto, E. M., & Gunawan, C. (2013). Kepuasan
kerja, komitmen organisasional dan turnover
intentions. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen
Bisnis , 4 (1), 76-88.
Tirto.id. (2020, Mei 6). Update corona 6 Mei 2020
Indonesia & dunia: Data COVID-19 hari ini.
Retrieved Mei 6, 2020, from Tirto.id:
203
PERAN PENTING KEPEMIMPINAN TERHADAP BUDAYA ORGANISASI GUNA
MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DI TENGAH PESATNYA GLOBALISASI
Miftahul Fitri Ramadhani
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, miftahul.17010664037@mhs.unesa.ac.id
Wiwik Wijayanti
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, wiwik.17010664044@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Pesatnya globalisasi yang terjadi menjadi salah satu faktor terhadap cepatnya perubahan dalam
persaingan antar organisasi. Salah satu peran penting yang mampu menstabilkan dan
mempertahankan sebuah organisasi agar tetap mampu bersaing dengan organisasi lain ialah dengan
adanya seorang pemimpin yang tepat. Kepemimpinan yang berdedikasi tinggi akan mempengaruhi
budaya organisasi yang akan dianut karena pemimpin yang baik akan mampu mengarahkan
anggotanya untuk menerapkan budaya organisasi yang baik pula demi mencapai sebuah tujuan
bersama yang telah ditentukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya kepemimpinan
dalam budaya organisasi. Penelitian ini menggunakan metode study literature yang bersumber dari
berbagai jurnal yang relevan dengan judul. Hasil dari penelitian ini yaitu kepemimpinan memiliki
peranan yang sangat penting dan berpengaruh besar terhadap sebuah organisasi. Dalam menjalankan
tugasnya, seorang pimpinan harus mampu mengarahkan anggotanya demi tercapainya sebuah tujuan
yang telah ditetapkan. Kemampuan pemimpin untuk memahami anggotanya juga merupakan hal
yang sangat penting karena hubungan dan interaksi yang terbentuk antara pemimpin dan anggota
akan membentuk sebuah budaya organisasi.
Kata Kunci: Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Sumber Daya Manusia.
PENDAHULUAN
Perubahan dalam dunia organisasi saat ini begitu pesat.
Banyak faktor penyebab yang membuat perubahan
begitu cepat terjadi. Perubahan tersebut ditandai
dengan tingginya tingkat persaingan antar organisasi.
Globalisasi juga memengaruhi cepatnya perubahan
dalam organisasi (Pramudyo, 2013). Organisasi
dituntut untuk bisa bertahan dalam segala bentuk
persaingan yang ada. Suatu organisasi harus terus
berkembang dan berinovasi agar tetap bertahan
ditengah persaingan ketat dunia saat ini. Bertahan
dalam menjalankan sebuah organisasi bukanlah hal
yang mudah, tentu harus ada sistem yang kuat agar
organisasi bisa terus bertahan. Organisasi juga harus
mampu beradaptasi dengan kondisi dan situasi yang
ada. Disini kepemimpinan memiliki peranan yang
sangat penting dalam suatu organisasi. Suatu
organisasi bisa dikatakan berhasil atau tidak salah
satunya ditentukan dengan adanya sumber daya
manusia yang ada dalam organisasi tersebut (Soliha &
Hersugondo, 2008).
Sumber daya manusia menjadi pusat perhatian dan
tumpuan di dalam organisasi (Faturahman, 2018).
Tuntutan dan persaingan yang semakin ketat membuat
organisasi harus mampu bertahan di era globalisasi
saat ini, untuk itu sumber daya dalam organisasi harus
mampu dikelola sebaik mungkin agar tujuan dan
segala kebutuhan organisasi bisa terpenuhi dengan
baik (Faturahman, 2018). Peran kepemimpian disini
sangat penting dalam tercapainya tujuan dari
organisasi sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Kepemimpinan diyakini menjadi kunci utama
organisasi dalam membentuk dan mengarahkan
organisasi menjadi lebih baik lagi. Peran
kepemimpinan yaitu memengaruhi anggota organisasi
lainnya untuk melaksanakan tugasnya demi
tercapainya tujuan organisasi tersebut.
Organisasi terdiri dari sekumpulan orang yang
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan
memenuhi kebutuhan masing-masing dari anggota
(Pramudyo, 2013).
Kepemimpinan merupakan suatu tindakan dimana
pemimpin membuat orang lain melakukan suatu
tindakan yang sesuai dengan tujuan organisasi.
Adapun sifat-sifat yang dimiliki seorang pemimpin
meliputi integritas atau kejujuran, berkarisma atau
bijaksana, memiliki kreatifitas, mampu beradaptasi,
serta memiliki kepercayaan diri (Soliha &
Hersugondo, 2008).
Seorang pemimpin yang sejati ialah ia yang
mampu memberi semangat (encourager), mampu
menjadi inspirator, motivator, serta mampu
memaksimalkan sesuatu yang dilakukan (Marliani,
2015). Seorang pemimpin tentu sangat dibutuhkan
untuk menghandle setiap kelompok, suatu organisasi,
ataupun sebuah perusahaan. Dalam hal ini pemimpin
tentu akan memiliki tanggung jawab yang besar karena
204
Peran Penting Kepemimpinan Terhadap Budaya Organisasi Guna Mempertahankan Eksistensi di Tengah Pesatnya
Globalisasi
Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti
seorang pemimpin memiliki tugas yang sangat penting
yaitu membantu menyukseskan dan memperoleh
target atau tujuan yang telah ditentukan. Robert
(Marliani, 2015) mendefinisikan seorang pemimpin
ialah individu yang memiliki kemampuan untuk
memberi petunjuk, memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi, serta mampu menentukan individu
lain untuk mencapai sebuah tujuan dalam organisasi.
Sedangkan Spillane menyebutkan bahwa pemimpin
ialah agen perubahan yang memiliki tugas untuk dapat
mempengaruhi orang-orang daripada pengaruh orangorang terhadapnya (Marliani, 2015).
METODE
Penelitian ini menggunakan study literature dimana
sesuai dengan hasil data yang didapat penulis yakni
dari berbagai sumber literatur, maka penelitian ini
menggunakan pendekatan content analysis karena
karya tulis ini menggunakan sumber data yang
merupakan hasil dari penggabungan beberapa hasil
penelitian yang telah ada sebelumnya. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu data diambil dari berbagai sumber
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh pihak-pihak terpercaya yang
relevan dengan judul penelitian ini. Selain itu, data
juga dikumpulkan dari sumber literatur berupa jurnaljurnal dan buku yang ada. Untuk mengolah dan
menganalisis data dalam karya tulis ini, data yang
dipilih penulis dikaji dan dianalisis dengan
menggunakan teori-teori mengenai kepemimpinan,
budaya organisasi, serta hubungan antara keduanya
sehingga dapat menghasilkan suatu gagasan
konseptual berupa kepemimpinan dalam budaya
organisasi.
PEMBAHASAN
Kepemimpinan dalam suatu organisasi juga menuntut
adanya pengetahuan tentang buadaya organisasi yang
ada di organisasi tersebut. Sebuah organisasi tentunya
tidak akan pernah luput dari budaya yang menjadi dasar
dalam melakukan kegiatan kerjanya mewujudkan
tujuan yang telah ditetapkan. Budaya dalam organisasi
dapat muncul karena adanya gabungan dari beberapa
anggota yang beragam baik dari segi sikap, tingkah
laku, cara berpikir, dan lain sebagainya yang pada
akhirnya menjadi satu dan membentuk sebuah
kebiasaan dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu
dalam organisasi tersebut untuk mencapai tujuan
bersama.
Budaya organisasi seringkali didefinisikan sebagai
sebuah nilai-nilai atau simbol-simbol yang dimengerti
serta dipatuhi bersama dan dimiliki oleh sebuah
organisasi sehingga para anggotanya merasa saling
memiliki dan mampu menimbulkan sebuah kondisi
dimana para anggota tersebut memiliki keunikan dari
organisasi yang lainnya (Hakim & Hadipapo, 2015).
Terdapat beberapa fungsi dari budaya organisasi,
yaitu memberikan identitas pada sesuatu yang lebih
besar daripada hanya dari minat anggota atau secara
perorangan, memberi batasan terkait peran sehingga
dapat terlihat perbedaan antar organisasi, serta budaya
organisasi mampu membentuk perilaku anggota dan
pola pikirnya (Amanda, Budiwibowo, & Amah, 2017).
Wood dan Menezes mendefinisikan budaya
organisasi sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh
suatu organisasi serta nilai yang dikembangkan di
dalamnya mampu menuntun perilaku anggotanya
(Marliani, 2015).
Sedangkan Tosi, Rizzo, Caroll menyebutkan
bahwa budaya organisasi ialah cara berperasaan,
berpikir, serta bereaksi terhadap pola tertentu di dalam
sebuah organisasi (Marliani, 2015).
Budaya organisasi menurut Robbins ialah satu
persepsi yang sama yang dianut oleh anggota-anggota
asebuah organisasi (Marliani, 2015). Cushway dan
Lodge mengatakan bahwa budaya organisasi ialah
nilai-nilai organisasi yang dapat mempengaruhi cara
karyawan berperilaku serta melakukan pekerjaan
(Marliani, 2015). Selain itu Amanda, Budiwibowo, &
Amah (2017) juga menyebutkan beberapa indikator
dari budaya organisai yang meliputi banyak hal
diantaranya kepribadian yang baik, kesadaran diri dari
para anggota organisasi, orientasi tim yaitu ketika
anggota mampu bekerjasama dengan baik dan mampu
melakukan komunikasi serta koordinasi yang efektif,
keagresifan dalam menentukan tujuan.
Budaya organisasi menurut Mc Gregor memiliki
sebuah sisi yang menampilkan sifat dan perilaku
manusia yang bisa dijadikan sebagai pedoman untuk
membentuk gaya kepemimpinan dalam menjalankan
organisasi (Faturahman, 2018). Menurut Mc Gregor
sisi dari manusia yang memuat sifat dan perilaku
dikenal dengan teori X (berdasarkan asumsi petunjuk
dan kontrol) dan Teori Y (berdasakan asumsi integrasi
dan dukungan).
Berikut gambaran singkat mengenai kepemimpinan
dalam budaya organisasi.
205
Peran Penting Kepemimpinan Terhadap Budaya Organisasi Guna Mempertahankan Eksistensi di Tengah Pesatnya
Globalisasi
Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti
Feedback
Anggota/bawah
an
Pemimpin
Patoka
Gambar 1. Contoh Gambaran
Berdasarkan gambaran teori tersebut maka seorang
pemimpin tidak hanya berfokus pada diri sendiri namun
juga harus melihat sisi manusia yang membentuk
budaya di dalam organisasi tersebut. Seorang
pemimpin harus berpatokan pada sifat dan perilaku dari
anggota atau bawahannya dalam menjalankan tugas
dan fungsinya sebagai pemimpin dalam organisasi
(Faturahman, 2018). Cara kerja kepemimpinan sendiri
lebih fleksibel dengan memberikan dorongan yang
lebih efektif kepada orang lain dari sekedar rutinitas.
Hubungan antara berbagai pihak yang ada di
organisasi seperti hubungan antara pemimpin dan
anggota organisasi yang terjalin secara rutin akan
menjadi sebuah budaya baru di organisasi. interaksi
yang terus terjadi inilah yang menjadikan terbentuknya
sebuah budaya organisasi. Adanya budaya organisasi
ini sendiri akan memunculkan rasa saling memiliki di
dalam organisasi, meningkatkan kekompakan antar
anggota, menjaga stabilitas organisasi, serta
mempermudah dalam pengambilan suatu keputusan
(Faturahman, 2018).
Mc Gregor menjelaskan dalam teori X bahwa ratarata manusia tidak menyukai tentang pekerjaan. Hal
tersebut dibuktikan dengan adanya sistem kerja yang
menerapkan reward dalam pelaksanaan pekerjaan,
dengan sistem reward mengharuskan manusia untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut agar mendapatkan
reward, jika tidak melaksanakan pekerjaan tersebut
maka reward tidak akan didapatkan. Jika dianalisis
maka manusia cenderung akan melaksanakan
pekerjaan jika mendapatkan sesuatu dan cenderung
tidak akan melaksanakan pekerjaan jika tidak
mendapatkan sesuatu. Penerapan reward secara sadar
merupakan bentuk pemaksaan agar manusia mau
bekerja dengan baik dan sebagai hadiahnya maka
diberikannya reward tersebut (Faturahman, 2018).
Manusia harus dipaksa agar mau melaksanakan
pekerjaannya meskipun sebenarnya tidak menyukai
pekerjaan tersebut. Setelah manusia mendapatkan apa
yang yang diinginkan maka akan muncul keinginankeinginan lainnya. Sesuai dengan teori hierarki
kebutuhan Maslow dimana menurut Maslow saat satu
kebutuhan terpenuhi maka akan memunculkan
kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, dimulai dari
kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan untuk diterima, kebutuhan untuk dihargai,
dan kebutuhan aktualisasi diri (Iskandar, 2016).
Gambaran diatas dapat dianalisis bagaimana upayaupaya manusia dalam memenuhi kebutuhannya dengan
melakukan pekerjaannya dalam berorganisasi.
Kemudian munculnya teori Y teori ini sebagai bentuk
kritikan terhadap teori X. Teori Y memiliki pandangan
bahwa manusia tidak menolak pekerjaan namun
manusia akan menganggap pekerjaan tersebut sebagai
sebuah kepuasan atau sebuah hukuman tergantung dari
mana manusia tersebut melihat konteksnya
(Faturahman, 2018).
Berdasarkan dua perbedaan antara teori X dan Y
tentang pandangan manusia terhadap pekerjaan maka
jika dikaitkan dengan kepemimpinan maka tugas dari
kepemimpinan di dalam organisasi yaitu harus bisa
mengelola atau menerapkan sistem yang tepat untuk
mengatasi situasi yang bisa membuat organisasi
menjadi memburuk dan tidak bisa maju.
Kepemimpinan yang baik harus bisa mengatur
bagaimana bawahan atau anggota organisasinya agar
mampu mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan job
desk yang diberikan. Mampu untuk mengarahkan
bawahan atau anggota organisasi untuk mengingat
tujuan utama dari organsasi sendiri seperti apa agar
bawahan mampu bekerja sama untuk memajukan
organisasi tersebut di tengah kemajuan pesat era
globalisasi. Kepemimpinan yang baik akan dijadikan
kunci dalam organisasi agar organisasi tetap bertahan
dan mampu berkembang. Penerapan kepemimpinan
yang baik dan sesuai dengan sifat dan perilaku dari
bawahan akan menjadi sebuah budaya dalam organisasi
yang akan terus dilaksanakan selama organisasi terus
bergerak.
Kutipan dan Acuan
Penelitian ini didasarkan pada Teori Kepemimpinan
(Group and Exchange Theories of Leadership) dimana
dalam teori ini pendapat C. Barnard dikemukakan oleh
Fred Luthan (1998 dalam (Suherman, 2019).
“Exchange theoris propose that group member
make contribution at cost to themselves and
receive benefit at a cost to the group or other
member. Interaction continues because member
find the social exchange mutually rewarding.”
206
Peran Penting Kepemimpinan Terhadap Budaya Organisasi Guna Mempertahankan Eksistensi di Tengah Pesatnya
Globalisasi
Miftahul Fitri Ramadhani, Wiwik Wijayanti
Dalam kalimat tersebut dijelaskan bahwa pertukaran
terjadi antara pemimpin dan anggota atau pengikutnya,
sehingga teori ini berkaitan dengan penelitian ini
tentang pentingnya kepemimpinan dalam organisasi
untuk turut membentuk budaya organisasi.
Pramudyo, A. (2013). Implementasi manajemen
kepemimpinan
dalam
pencapaian
tujuan
organisasi. JBMA, 49-61.
PENUTUP
Simpulan
Kepemimpinan memiliki peranan penting terhadap
sebuah organisasi karena kepemimpinan memiliki andil
dalam menjalankan sebuah organisasi. Kepemimpinan
bertugas untuk mengarahkan bawahan atau anggota
untuk menjalankan kewajiban atau tugasnya sesuai
dengan tujuan organisasi. Kepemimpinan dijalankan
oleh seorang pemimpin, dimana pemimpin yang baik
tidak hanya mampu mengatur diri sendiri namun juga
mampu mengatur orang lain yaitu bawahan atau
anggotanya sehingga seorang pemimpin juga harus
mampu memahami sisi manusia dari anggotanya dalam
bentuk sifat dan perilaku. Apabila seorang pemimpin
telah mampu memahami anggotanya dengan baik,
maka hubungan yang terbentuk atau interaksi yang
terjadi secara teratur antara pimpinan dan anggota akan
membentuk sebuah budaya organisasi.
Soliha, E., & Hersugondo. (2008). Kepemimpinan
yang efektif dan perubahan organisasi. Fokus
ekonomi, 83-93.
Suherman, U. D. (2019). Pentingnya Kepemimpinan
dalam Organisasi. Jurnal Ilmu Akutansi dan Bisnis
Syariah , Vol 1 (2). hal: 260-274.
Saran
Saran yang diberikan untuk peneliti yang ingin
mengkaji topik ini dalam penelitian di masa yang akan
datang yaitu agar lebih memperdalam lagi pembahasan
teori serta memperluas sumber literatur yang akan
dijadikan acuan.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, E. A., Budiwibowo, S., & Amah, N. (2017).
Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan di PDAM Tirta Taman Sari Kota
Madiun. Jurnal Akutansi dan Pendidikan, Vol 6
(1). hal: 85-92.
Faturahman, B. M. (2018). Kepemimpinan dalam
budaya organisasi. Madani jurnal politik dan sosial
kemasyarakatan, 1-11.
Hakim, A., & Hadipapo, A. (2015). Peran
Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap
Kinerja Sumber Daya Manusia di Wawotobi.
EKOBIS, Vol 16 (1). hal: 1-11.
Iskandar. (2016). Implementasi teori hirarki kebutuhan
abraham maslow terhadap peningkatan kinerja
pustakawan. Khizanah al-hikmah, 24-32.
Marliani, R. (2015). Psikologi Industri
Organisasi. Bandung: CV. Pustaka Setia.
dan
207
MENGIMPLEMENTASIKAN ENAM LANGKAH STRATEGIS DALAM PEMBELAJARAN
SEBAGAI UPAYA UNTUK MENDIDIK ANAK BERKARAKTER
Muhammad Akbar
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Al-Mawaddah Warrahmah Kolaka,
akbar@iaialmawar.ac.id
Hasmiati
Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Kolaka
Abstrak
Pendidikan tidak hanya proses mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru kepada peserta
didiknya namun juga membentuk kepribadian yang baik kepada peserta didiknya. Pada umumnya
masyarakat mulai sadar akan kebutuhan kita terhadap manusia yang bukan hanya cerdas secara
intlektual namun baik secara emosional, punya kepribadian dan karakter yang baik. Para guru sebagai
ujung tombak pendidikan diharapkan bisa memberikan solusi untuk mengatasi hal itu. Salah satu
upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan enam langkah strategis. (1) Guru harus
menjadi teladan bagi para siswa, dengan cara menampilkan contoh dan sikap yang baik baik ucapan
maupun perbuatan; (2) Guru sedapat mungkin selalu memberikan penghargaan kepada apa yang
dilakukan oleh siswa. Dalam aktivitas pembelajaran guru selalu memberikan apresiasi terhadap
setiap prestasi siswa, bukan hanya aspek kognitif namun juga aspek yang lain; (3) Menghubungkan
setiap peristiwa dalam aktivitas pembelajaran dengan nilai-nilai moral; (4) Guru harus selalu jujur
dalam berbuat dan berucap (5) Membiasakan siswa melakukan adab dengan baik; (6) Berbagi kisah
inspiratif tentang pengalaman ataupun kisah nyata yang dapat memberikan hikmah untuk berbuat
lebih baik.
Kata Kunci: strategi pembelajaran, anak berkarakter
PENDAHULUAN
Pendidikan sangatlah penting dan mutlak bagi setiap
manusia untuk menyempurnakan diri manusia secara
terus menerus. Pendidikan tidak hanya proses
mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru
kepada peserta didiknya namun juga membentuk
kepribadian yang baik kepada peserta didiknya.
Pendidikan berupaya untuk membentuk peserta didik
yang unggul dalam hal pengetahuan (knowledge),
sikap (attitude) maupun ketrampilan (skill).
Pendidikan di Indonesia yang ada sekarang dalam
keadaan belum berhasil sepenuhnya terutama dalam
hal penanaman karakter pada peserta didik.
Beberapa tahun belekang ini, diskursus kajian
mengenai pendidikan karakter atau pendidikan yang
berbasis pada pembangunan karakter menjadi
pembahasan yang ramai dibicarakan, baik di dunia
pendidikan ataupun di kalangan masyarakat pada
umumnya. Pada umumnya masyarakat kita mulai
sadar akan kebutuhan kita terhadap manusia yang
bukan hanya cerdas secara intlektual namun baik
secara emosional, punya kepribadian dan karakter
yang baik. Menurut (Hamid & Saebani, 2013) karakter
dimaknai
sebagai
memfokuskan
tata
cara
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
dan tingkah laku
Untuk itulah berbagai riset coba dilakukan, dalam
rangka menemukan solusi alternative menyelesaikan
persoalan karakter siswa. Ratnawati (2018)
menawarkan solusi dengan cara menjadikan guru
sebagai role model pendidikan karakter. Begitupun
dengan (Sauqi & Prasandha, 2018) menawarkan solusi
pemberian materi cerita inspiratif. Dan adapula yang
menggunakan model pembelajaran search, solve,
create, and share (Assidiqi, 2015)
Pada dasarnya semua penelitian tersebut diatas
bermuara pada satu hal, yakni peran sentral seorang
guru. Pendidikan hakikatnya tidak lepas dari peran
sentra seorang guru. Guru berperen penting sebagai
ujung tombak proses belajar mengajar serta proses
penyelenggaraan pendidikan. Guru adalah aktor utama
dalam kegiatan pendidikan sekaligus orang yang
menentukan
berhasil
atau
tidaknya
proses
pembelajaran. Maka kualitas pendidikan ditentukan
oleh kualitas pembelajaran, dan kualitas pembelajaran
ditentukan oleh kualitas guru, dengan kata lain guru
kualitas menentukan kualitas pendidikan.
Sebagai guru harus mampu menggunakan strategi
pembelajaran yang digunakan dalam mengajar, guru
harus mengelola kelas dengan berbagai strategi
pembelajaran
sesuai
dengan
materi
yang
diajarkan.Dalam
menggunakan
strategi
pembelajaran, guru hendaknya mampu mengelola
semua komponen yang ada dalam kegiatan proses
208
Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter
Muhammad Akbar, Hasmiati
pembelajaran hendaknya disusun secara sistematis
untuk
membantu memudahkan murid belajar.
Komponen-komponen dalam
kegiatan
proses
pembelajaran antara lain guru, murid, materi, strategi,
metode, alat atau media, dan waktu. Tugas untuk
menyusun rencana dan melaksanakan strategi
pembelajaran memerlukan suatu kemampuan dari
guru. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan
tentang strategi pembelajaran akan memberikan
landasan ilmiah tentang bagaimana menyusun dan
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang
dapat memudahkan
siswa
belajar
sehingga
tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan
harapan atau tujuan pendidikan nasional.
Guru dituntut untuk menguasai pengetahuan
yang luas mengenai pendidikan dan sejumlah besar
keterampilan professional dalam pembelajaran. Hal
ini menunjukkan bahwa mengajar di sekolah dasar
khususnya
dalam pendekatan
pembelajaran
hendaknya mengutamakan prinsip murid agar ia
senang belajar. (Masitoh & Laksmi, 2009:7)
Guru memiliki peranan penting dalam membentuk
karakter peserta didik. Untuk itu guru harus berusaha
menjadi guru yang ideal dalam pandangan siswa,
selain menjadi contoh moralitas yang baik, guru juga
diharapkan memiliki wawasan pengetahuan yang luas
sehingga materi yang disampaikan dapat ditinjau
dari berbagai disiplin keilmuan yang lain.
Guru juga harus mampu memahami kondisi
psikologi setiap murid. Sehingga dengan demikian,
maka guru dalam melakukan aktivitas transfer nilai
tidak hanya diberikan dalam bentuk yang monoton,
tetapi Guru dapat berkreasi dalam memberikan
strategi. Untuk itulah kami merumuskan enam langkah
strategis untuk menanamkan pendidikan karakter
kepada siswa.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih
menekankan pada makna dan proses daripada hasil
suatu aktivitas. Menurut Sugiyono, (2007) metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
didasarkan pada filsafat postpositivisme. Metode ini
digunakan untuk meneliti suatu obyek yang kondisinya
bersifat alamiah dan pada penelitian ini posisi peneliti
bertindak sebagai instrument kunci.
Adapun penelitian ini didasarkan pada pengalaman
penulis sebagai seorang tenaga pendidik dalam
menerapkan enam langkah strategis ini dalam
pembelajaran untuk memberikan makna pendidikan
karakter kepada para siswa.
PEMBAHASAN
Guru adalah pendidik professional yang mempunyai
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik atau siswa. Dalam konteks pencapaian
tujuan pendidikan karakter, Guru menjadi ujung
tombak keberhasilan tersebut. Guru, sebagai sosok
yang dijadikan contoh memiliki peran penting dalam
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah maupun di
luar sekolah. Sebagai seorang pendidik, guru menjadi
model terbaik dalam kacamata anak, guru akan menjadi
patokan bagi sikap dan ucapan peserta didik.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa setiap guru harus memiliki
tiga kompetensi utama, yakni kompetensi pedagogik,
kompetensi sosial dan kompetensi professional.
kompetensi kepribadian yang baik. Kompetensi
pedagogik adalah kemampuan guru yang berkaitan erat
dengan tugas dan fungsinya sebagai seorang guru
dalam proses pembelajaran. Kemampuan pedagogik
adalah ilmu yang berkaitan dengan desain dan strategi
pembelajaran pada saat guru mengajar.(Rusman, 2014)
Inilah salah satu kemampuan yang mesti terus diasah
dan di-upgrade sebab ilmu pendidikan senantiasa
berkembang setiap waktu.
Peranan Strategi Pembelajaran
Menjadi seorang guru tidaklah semudah yang
dibayangkan. Itulah sebabnya guru adalah jabatan
profesi. Artinya seorang guru adalah orang yang sudah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan sebagai
seorang guru. Dengan demikian, guru idealnya
memiliki strategi yang terencana dan sistematis
berdasarkan pengalaman pembelajaran di setiap kelas
dalam
sebuah sekolah. Suparman (1997:157)
mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran adalah
keseluruhan
proses
dari
urutan
kegiatan,
mengorganisasikan materi pelajaran, alat dan bahan,
serta waktu yang digunakan dalam aktivitas
pembelajaran.
Dalam upaya membentuk kemampuan siswa guru
perlu untuk mendesain sebuah cara yanag efektif. Cara
efektif itulah yang dimaksud dengan strategi. Strategi
adalah salah satu komponen yang sangat penting
dalam pembelajaran. Strategi diperlukan sebagai salah
satu upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Untuk itu keberadaannya harus ada dalam setiap
proses pembelajaran. Penggunaan strategi sedapat
mungkin harus menciptakan terjadinya interaksi antara
siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru
sehingga proses pembelajaran dapat dilakukan secara
maksimal.
209
Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter
Muhammad Akbar, Hasmiati
Berbagai kegiatan yang ada dalam strategi
merupakan proses pengorganisasian materi pelajaran
secara teratur melalui peralatan, bahan dan waktu
untuk
sebuah
tujuan
pembelajaran.Sehingga
ketercapaian proses pembelajaran selaras dengan
strategi yang telah ditentukan sebelumnya. Walaupun
seperti itu, seorang guru juga harus memperhatikan
efektivitas dan efisiensi waktu penerapan strategi
dalam proses pembelajaran.
Strategi merupakan salah satu cara untuk mencapai
tujuan. Sebuah tujuan tidak akan tercapai jika strategi
yang direncanakan tanpa konsep dan analisa di
lapangan secara nyata. Pentingnya strategi bisa
dijadikan
sebagai
landasan
penerapan,
makanya penerapan strategi perlu dikaji terlebih
dahulu agar tujuan tercapai sesuai harapan.
Strategi yang tepat adalah mengkombinasikan
antara teori dan pengelaman. Apabila strategi belum
mencapai hasil yang maksimal maka kita perlu untuk
menganalisis sebab sehingga strategi itu tidak berjalan
sesuai harapan. Setiap hasil yang tidak sesuai harapan
maka perlu ada perbaikan ditahapan strategi
selanjutnya. Jangan berhenti pada satu level untuk
mengenal strategi, butuh ketelitian, kejelian, kesabaran
demi sebuah tujuan sesua harapan. Mengingat arti
penting strategi dalam aktivitas pembelajaran maka
sudah sepantasnya setiap guru memiliki strategi
pembelajaran yang kreatif dalam mendidik siswa.
Enam Langkah Strategis Membentuk Anak
Berkarakter
a. Menjadi Teladan bagi Siswa
Guru dalam lingkup persekolahan adalah orang
dipandang sebagai orang tua oleh para siswanya. Ini
berarti siswa melihat dan menjadikan guru sebagai
contoh dalam bertutur dan berperilaku. Kondisi ini
menjadikan guru harus pandai dalam menjaga ucapan,
sikap dan perilakunya agar mampu memberikan
contoh yang terbaik.
(Akbar, 2019) mengungkapkan bahwa sikap
seorang guru yang layak diteladani merupakan salah
satu metode yang ampuh dan efektif dalam
membentuk anak yang berkarakter. Sebab, seorang
pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan
anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya akan
ditiru, disadari
atau
tidak,
bahkan
semua
keteladanaan itu akan melekat dalam diri dan
perasaannya, baik dalam bentuk ucapan ataupun
perbuatan. Bahkan tidak jarang kita dapati anak yang
lebih mempercayai apa yang dikatakan gurunya
dibanding ucapan orang tuanya. Sejalan dengan itu
Ratnawati (2018) mengungkapkan bahwa keteladanan
guru di sekolah adalah cara yang paling efektif
untuk menumbuhkan kembangkan sikap perilaku
yang baik pada peserta didik. Guru dapat menjadi
model dalam pembelajaran pendidikan karakter,
pendidikan karakter kebangsaan (nasionalisme) atau
pendidikan karakter keagamaan (akhlak).
Secara psikologi manusia butuh sesuatu untuk
diteladani. Yang dimaksud teladan disini adalah
motivasi yang mendorong anak atau seseorang untuk
mencontoh perilaku orang dewasa, atau orang yang
dinilai mempunyai pengaruh.
Keteladanan memiliki peranan penting dalam
mendidik anak. Implementasi dari keteladanan ini
adalah orangtua dan guru menjadi figur yang akan
ditiru oleh anak di mana setiap perbuatan dari orang
tua dan guru tersebut harus diperhatikan. Mulai dari
cara dia berpakaian, cara bertingkah laku dan attitude
yang baik, cara bicara yang sopan dan penuh kasih
saying. Semua ini, jika terlaksana dengan baik, secara
langsung anak akan menirunya. Keteladanan adalah
pembiasaan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti:
berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca,
memuji kebaikan atau keberhasilan orang lain, datang
tepat waktu.
Dengan mengingat peran penting guru sebagai
model keteladanan siswa, maka guru akan lebih
berhati-hati dalam berucap dan bersikap.
b. Memberi Apresisasi
Seorang guru dalam proses pembelajaran seyogyanya
tidak hanya mengejar nilai akademis siswa, tetapi
sedapat mungkin juga mengapresiasi usaha siswanya.
Sebagai seorang guru, menilai siswa dari sisi akademis
memang penting, namun perlu diingat bahwa
menghargai setiap proses yang dilakukan siswa juga
tidak kalah pentingnya.
Dalam proses pembelajaran, memberikan apresiasi
kepada siswa sangat penting. Apresiasi merupakan
pujian atau penghargaan yang diberikan kepada orang
lain atas keunggulannya. Walau demikian, kadangkala
kita mendapati sebahagian guru yang masih
menganggap remeh, tidak penting, atau bahkan sepele.
Padahal efek apresiasi sangatlah luar biasa, terlebih
untuk siswa dalam proses pembelajaran.
Saat guru mengajar, pasti akan ada yang namanya
kesulitan, baik dalam cara menyampaikan atau
penerimaan materi oleh siswa. Untuk mengatasinya,
salah satunya adalah dengan cara memberikan
apresiasi kepada siswa. Pemberian apresiasi terbukti
memberikan motivasi kepada siswa. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Uzer Usman, 2006) penguatan
bermanfaat untuk meningkatkan perhatian siswa
210
Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter
Muhammad Akbar, Hasmiati
terhadap pelajaran; merangsang dan meningkatkan
motivasi belajar, meningkatkan kegiatan belajar
serta membina tingkah laku siswa yang produktif
Cara sederhana dalam proses belajar mengajar
adalah guru harus bisa mengapresiasi usaha siswa
tanpa selalu membandingkan dengan nilai yang
didapatkan dengan temannya apalagi memvonisnya.
Guru juga bisa memberikan pujian bagi siswa datang
lebih awal, rajin mengerjakan tugas, atau bersikap baik
selama di sekolah. Dengan membiasakan hal kecil
seperti itu, siswapun akan dapat mengapresiasi diri atas
usaha yang telah dilakukannya. Sehingga, akan
terbangun karakter yang terus mau belajar dan
memperbaiki diri untuk lebih baik.
c. Mengajarkan Nilai Moral di setiap Pembelajaran
Guru mengajarkan mata pelajaran adalah hal yang
lumrah karena memang hal itu termaktub dibuku-buku
acuan guru dalam memberikan pelajaran. Namun
berbeda dengan moral, guru harus cerdas menanamkan
hal ini kepada para siswa. Untuk itu, ada baiknya
dalam setiap pelajaran, guru juga menanamkan nilai
moral yang bisa dijadikan bahan pelajaran hidup.
Misalnya, saat mengajarkan Matematika guru
tidak hanya sekadar memberikan rumus dan cara
pengerjaan kepada siswa. Tetapi juga bisa
mengajarkan nilai kehidupan seperti dengan
mengerjakan soal Matematika kita bisa belajar untuk
bersabar dan berusaha untuk memecahkan suatu
masalah dengan mengasah logika berpikir. Pada saat
memberikan tugas guru menanamkan pentingnya
memiliki sikap kejujuran. Guru harus sedapat mungkin
menhubungkan antara materi pelajaran yang diberikan
dengan nilai-nilai moral yang relevan dengan
kehidupannya.
d. Jujur dalam berkata dan berbuat
Guru adalah seorang manusia biasa, ia tidak luput dari
suatu kesalahan meski tidak pernah berniat melakukan
hal itu atau tanpa sengaja. Misalnya, suatu ketika guru
datang terlambat, salah dalam mengoreksi jawaban
siswa. Ketika guru mendapati hal demikian, guru
sebaiknya mau mengakui kesalahan yang dibuat
sekecil apapun itu untuk memberikan contoh yang baik
kepada para siswa.
Sehingga hal itu akan teringat dalam diri siswa
untuk bersikap yang sama ketika melakukan kesalahan
meski tidak disengaja. Mungkin terkadang ada rasa
gengsi, tetapi tetap harus dilakukan, karena itu bisa
menjadi pelajaran yang baik pada siswa. Bahwa
sebagai manusia kita harus berani jujur sama diri
sendiri dan mau mengakui kesalahan yang telah
diperbuat. Guru tidak boleh mencari-cari alasan
pembenaran atas sikapnya yang salah.
Dengan demikian, maka para siswa akan belajar
untuk memperbaiki kesalahannya dan berani
bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya.
e. Membiasakan Siswa Menunjukan Adab yang
Baik
Hal yang sering luput diajarkan di sekolah adalah
bagaimana cara bersikap sopan santun. Mungkin
terdengar sederhana, tetapi ini merupakan hal penting
yang layak diajarkan kepada siswa untuk menjaga
sikap dan mengetahui mana yang benar dan salah.
Tidak jarang guru menemui siswa yang bersikap tidak
sopan hanya karena mereka tidak tahu bagaimana cara
bersikap yang baik dan benar. Atau malah selama ini
mereka mencontoh sikap negatif orang di sekitarnya.
Sehingga mereka menganggap itu sebagai hal yang
lumrah.
Ada baiknya, ketika ada siswa bersikap kurang
baik atau kurang sopan, guru berperan untuk
mengoreksi sikap tersebut. Jangan memarahi, tetapi
cukup mengingatkan saja bahwa sikapnya itu kurang
baik dan berikan alternatif tindakan lain yang lebih
positif. Gunakan pendekatan yang halus namun
mengena.
f. Berbagi Kisah Inspiratif
Kisah adalah metode pendidikan karakter yang paling
praktis. Dengan kisah kita mampu belajar bagaimana
bersikap dan melakukan sesuatu. Alquran sebagai
pedoman hidup seorang muslim mengajarkan kita
tentang hal itu. oleh (Hanafi, 1984:22) menjelaskan
bahwa dari 6666 ayat dalam Alquran.
1600
diantaranya adalah kisah. Ini menandakan bahwa kisah
mendapat tempat tersendiri dalam pembelajaran
Alquran. Al-Jamaly dalam (Rahmawati & As’ ad,
2018) mengatakan bahwa dalam cerita terdapat
pendidikan dan sasaran moral yang bisa menyentuh
hati seseorang sehingga dapat menggugah,
merangsang serta mendorong anak untuk dapat
mengerjakan berbagai macam sikap yang baik dan
meninggalkan bisikan-bisikan syetan. Cerita bisa
juga membuat pembaca atau pendengarnya cenderung
untuk melakukan perbuatan yang baik.
Untuk itu dalam upaya mengajarkan moral kepada
siswa, sedapat mungkin guru selalu memberikan kisah
teladan yang bersumber dari kisah orang lain atau true
story yang pernah didengarkan atau dialami. Tidak
harus cerita yang hebat untuk menginspirasi, sekecil
apapun pengalaman yang diceritakan tetap bisa
menjadi pembelajaran yang berguna untuk para siswa
211
Mengimplementasikan Enam Langkah Strategis dalam Pembelajaran sebagai Upaya untuk Mendidik Anak Berkarakter
Muhammad Akbar, Hasmiati
PENUTUP
Simpulan
Untuk menjadi guru yang hebat, guru dituntut untuk
memiliki banyak cara kreatif untuk mengajarkan siswa.
Salah satu diantaranya adalah mendesain aktivitas
pembelajaran yang didasarkan pada karakteristik siswa
yang dihadapinya. Salah satu formula strategi yang bisa
diupayakan dalam pendidikan karakter dalam aktivitas
pembelajaran adalah (1) Guru harus menjadi teladan
bagi para siswa; (2) Guru sedapat mungkin selalu
memberikan penghargaan kepada apa yang dilakukan
oleh siswa walaupun belum sesuai apa yang
diharapkan; (3) Menghubungkan setiap peristiwa
dalam aktivitas pembelajaran dengan nilai-nilai moral;
(4) Guru harus selalu jujur dalam berbuat; (5)
Membiasakan siswa beradab dengan baik; (6) Berbagi
kisah inspiratif
Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Sauqi, A & Diyamond Prasandha. Penggunaan Materi
Cerita Inspiratif Untuk Menumbuhkan Nilai
Konservasi Moral Pada Siswa SMP. Prosiding
Seminar Nasional II Pascasarjana UNS 2018.
Sugiyono, (2007). Pendekatan Kuantitatif. Kualitatif,
dan R&D, Bandung: Alfabeta.
Uzer Usman, M. (2006). Menjadi Guru Profesional.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Saran
Penelitian ini bisa menjadi rekomendasi oleh para guru
untuk dilakukan dalam aktivitas pembelajaran. Dengan
strategi ini diharapkan bisa menjadi cara untuk
memberikan pendidikan karakter kepada para siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M. (2019). Mendidik Siswa dengan Prinsip
Keteladanan. Jurnal Teknologi Pendidikan
Madrasah,
2(1),
89–96.
DOI:
10.5281/zenodo.2575867
Assidiqi, H. (2015). Membentuk Karakter Peserta
Didik Melalui Model Pembelajaran Search, Solve,
Create, And Share. Math Didactic: Jurnal
Pendidikan Matematika, 1(1), 45–55. DOI :
https://doi.org/10.33654/math.v1i1.94
Hamid, H., & Saebani, B. A. (2013). Pendidikan
Karakter Perspektif Islam. Bandung: Pustaka
Setia.
Hanafi, A. (1984). Segi-Segi Kesusastraan Pada
Kisah-Kisah Al Qur’an. Jakarta : Pustaka Alhusna.
Masitoh & Laksmi, D. (2009). Strategi Pembelajaran.
Jakarta: Depag RI.
Rahmawati, A., & As’ ad, A. (2018). Penguatan
Pendidikan Karakter Dengan Qashash Al-Qur’an.
Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, 15(1). DOI :
10.34001/tarbawi.v15i1.722
Ratnawati. (2018). Peranan Guru Sebagai Model
Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan . STKIP
Andi Matappa Pangkep, 05 Mei 2018. ISSN :
2620-9136
212
PENERAPAN KEPEMIMPINAN UNTUK MENCAPAI KEMAJUAN ORGANISASI (SEBUAH STUDI
LITERATUR TENTANG KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI)
Safira Salsabila
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, safira.17010664175@mhs.unesa.ac.id
Jimmy Nugroho Mukti
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, jimmy.17010664185@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk membahas dan mengkaji mengenai penerapan kepemimpinan yang
dilakukan untuk mencapai kemajuan suatu organisasi. Metode penelitian yang digunakan dalam
artikel ini yaitu studi literatur, yang mana data diperoleh dengan cara mengkaji berbagai sumber
literatur. Studi literatur yang dilakukan mencakup tentang kepemimpinan yang ada dalam
organisasi. Hasil dari studi literatur menunjukan bahwa kepemimpinan memiliki peran yang sangat
penting dalam sebuah organisasi. Pemimpin dalam organisasi memiliki kemampuan untuk
menggerakkan dan mengarahkan anggotanya untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusi yang
lebih banyak untuk organisasi. Pemimpin dengan kemampuan kepemimpinan yang baik akan
mampu mencapai tujuan bersama serta menjadi penentu keberhasilan suatu organisasi. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kepemimpinan yaitu keyakinan, harapan, rasa optimis, keuletan,
interpretasi moral, dan pengalaman yang ada pada diri pemimpin tersebut. Dalam penerapan
kepemimpinan di sebuah organisasi, terdapat tantangan yang akan dihadapi. Tantangan tersebut
yaitu ketika adanya perubahan dalam organisasi tersebut. Perubahan yang muncul dalam organisasi
tersebut akan memicu seorang pemimpin untuk menentukan gaya kepemimpinan yang terpat untuk
diterapkan.
Kata Kunci: Kepemimpinan, Pemimpin, Organisasi
PENDAHULUAN
Organisasi merupakan suatu wadah bagi siapa saja
untuk bersosialisasi dan mempelajari sesuatu yang
baru. Organisasi tidak hanya diperuntukkan bagi orang
yang sudah bekerja saja, tetapi juga untuk para pelajar
dan siapapun itu yang ingin memperoleh pengetahuan
dan pengalaman lebih banyak. Organisasi berisikan
sekumpulan orang yang memiliki visi dan misi yang
sama demi tercapainya tujuan bersama. Untuk
mencapai tujuan tersebut, para anggota akan saling
melakukan kerjasama untuk mewujudkannya
(Sulaksono, 2019).
Kementerian dalam negeri Republik Indonesia
(2019) menyatakan bahwa terdapat sebanyak 420.381
organisasi kemasyarakatan yang terdaftar di negara ini.
Jumlah tersebut tentunya merupakan jumlah yang
cukup besar. Jenis organisasi yang ada pun
beranekaragam seperti organisasi berbadan hukum,
perkumpulan, hingga yayasan.
Dalam beberapa penelitian atau literatur
menunjukan bahwa salah satu faktor keberhasilan
suatu organisasi adalah berdasarkan kepemimpinan
yang ada di dalamnya. Pramudyo (2013) menyatakan
bahwa kepemimpinan merupakan sebuah penentu
berhasil
atau
tidaknya
suatu
organisasi.
Kepemimpinan akan mengarahkan anggota organisasi
untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan organisasi.
Selain itu, kepemimpinan juga dianggap sebagai
sesuatu yang penting dalam sebuah organisasi.
Faturahman (2018) menyatakan bahwa kepemimpinan
merupakan penentu utama bagi suatu organisasi dalam
hal pencapaian tujuannya. Oleh karena itu, artikel ini
akan membahas mengenai “kepemimpinan dalam
organisasi”.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode studi literatur
terhadap buku, artikel ilmiah, dan sumber literatur
lainnya. Studi literatur merupakan metode
pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber
kepustakaan tanpa perlu terjun ke lapangan (studi
lapangan) (Zed, 2008). Metode studi literatur ini
memiliki beberapa ciri, yaitu: (a) peneliti yang
menggunakan metode ini hanya akan menemui data
berupa naskah dan angka, tidak termasuk kejadian
maupun saksi mata; (b) data yang digunakan dalam
metode ini merupakan data yang bersifat siap pakai; (c)
data yang diperoleh dari metode ini berupa data
sekunder; dan (d) data yang diperoleh dari metode ini
tidak dibatasi oleh ruang maupun waktu (Hermawan,
2019). Oleh karena atas pertimbangan-pertimbangan
tersebut, peneliti lebih memilih menggunakan metode
studi literatur.
213
Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam
Organisasi)
Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti
PEMBAHASAN
Kepemimpinan
Pemimpin memegang peranan penting dalam rangka
menggerakkan orang yang berada dibawahnya,
keterampilan kepemimpinan yang dimiliki harus baik
dan efektif sehingga dapat membangun, mendorong,
dan meningkatkan kualitas kinerja bawahannya yang
berdampak pada mencapainya keberhasilan tujuan
organisasi (Badu & Djafri, 2017). Menurut Griffin dan
Ebert (Khamdani, 2014) kepemimpinan (leadership)
merupakan suatu proses memotivasi karyawan atau
anggota yang bertujuan agar dapat mencapai tujuan
tertentu sesuai dengan yang ditetapkan. Sedangkan
menurut Cisma (2017) gaya kepemimpinan adalah
perilaku yang dilakukan oleh seseorang dan strategi
yang dibentuk sebagai hasil kombinasi dari
keterampilan sifat sikap yang bertujuan mempengaruhi
kinerja karyawannya atau anak buahnya.
Menurut Robert gaya kepemimpinan adalah
bagaimana seorang pemimpin melaksanakan fungsi
kepemimpinannya dan bagaimana ia dilihat oleh
mereka yang berusaha dipimpinnya atau mereka yang
mungkin sedang mengamati dari luar (Indriyati, 2017).
Kepemimpinan ini biasanya digunakan untuk
mengelola suatu organisasi dengan dihubungkan
bagaimana upaya atau usaha dari seseorang tersebut
dalam organisasi kesusasteraan yang memiliki
pengaruh untuk golongan masyarakat dilingkungannya
(Din & Abdul, 2016). Gaya kepemimpinan merupakan
sebuah perilaku yang dijadikan suatu strategi yang
dilakukan oleh seorang pemimpin dimana didalamnya
perilaku yang mencangkup sikap, sifat, dan
keterampilan yang digunakan untuk berkomunikasi dan
mempengaruhi karyawan atau kinerja bawahannya
(Salahudin, Lengkong, & Tulung, 2018).
Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan memiliki beberapa teori yang masingmasing dapat dikaji dan dipelajari. Nur (2017)
menyatakan
jika
ditinjau
dari
sejarah
perkembangannya, terdapat tiga teori yang dapat
dikaji. Teori yang pertama yaitu teori genetis atau
keturunan. Teori ini menyatakan bahwa setiap individu
dapat menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan
merupakan kemampuan yang dimiliki oleh tiap
individu sejak lahir.
Teori yang kedua yaitu teori sosial. Teori ini
berkebalikan dengan teori genetis atau keturunan.
Teori ini menyatakan bahwa setiap individu dapat
menjadi pemimpin apabila dididik dan memiliki
pengalaman yang cukup luas. Selain itu teori ini juga
menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya seorang
pemimpin tidak hanya berdasarkan sifat yang dimiliki,
tapi juga mengacu pada kelompok yang ia pimpin.
Teori yang ketiga yaitu teori ekologis. Teori ini
menyatakan bahwa setiap individu dapat dikatakan
berhasil menjadi pemimpin apabila memiliki bakat
dalam kepemimpinan. Bakat kepemimpinan yang
dimaksud diperoleh dari pendidikan dan pengalaman
yang dimiliki oleh individu tersebut.
Mataputun (2018) menyatakan terdapat enam teori
mengenai kepemimpinan yang secara umum dapat
dikaji. Teori yang pertama yaitu teori kepemimpinan
orang besar atau a great man theory. Hampir sama
seperti teori genetis yang telah dipaparkan
sebelumnya, teori ini menyatakan bahwa setiap
individu memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin sejak ia lahir. Namun dalam teori ini juga
dijelaskan bahwa hanya individu yang memiliki
kemampuan saja yang dapat menjadi seorang
pemimpin, dalam artian tidak semua individu dapat
menjadi seorang pemimpin atau terlahir dengan
kemampuan untuk menjadi pemimpin. Teori yang
kedua yaitu teori kepemimpinan perilaku atau
behavioral theory. Teori ini menyatakan bahwa
kepemimpinan setiap individu diamati berdasarkan
aspek perilaku.
Teori yang ketiga yaitu teori kepemimpinan
situasional atau kontigensi. Teori ini menyatakan
bahwa gaya kepemimpinan yang akan diterapkan
harus disesuaikan dengan situasi yang ada. Situasi
yang dimaksud dapat mengacu pada anggota yang
dipimpin, serta sifat dan perilaku yang dimiliki oleh
pemimpin. Teori yang keempat yaitu teori
kepemimpinan transaksional. Teori ini menyatakan
bahwa kepemimpinan merupakan sebuah bentuk
kontrak sosial antara pemimpin dengan anggotanya.
Teori ini menjelaskan bahwa kepemimpinan
transaksional merupakan cara yang dilakukan oleh
seorang pemimpin untuk menggerakkan anggotanya
supaya memberikan kontribusi yang lebih kepada
kelompok atau organisasi.
Teori yang kelima yaitu teori kepemimpinan
transformasional. Teori ini menyatakan bahwa yang
dimaksud dari kepemimpinan transformasional yaitu
kemampuan yang dimiliki oleh individu mengenai cara
penyampaian harapan, memberikan perhatian,
melakukan interaksi, dan upaya pengembangan
sumber daya manusia demi tercapainya tujuan
bersama. Untuk itu, pemimpin perlu menyampaikan
visi dan misi organisasi kepada anggotanya untuk
tercapainya tujuan yang diharapkan. Dan teori yang
terakhir yaitu teori kepemimpinan pancasila. Teori ini
menyatakan bahwa kepemimpinan harus didasarkan
214
Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam
Organisasi)
Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti
pada pancasila yang mana merupakan ideologi negara
Indonesia.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kepemimpinan
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
sebuah kepemimpinan dalam suatu organisasi.
Beberapa tokoh memiliki pendapat tersendiri
mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kepemimpinan dalam organisasi. Timotious (2016)
menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi
kepemimpinan yaitu keyakinan, harapan, rasa optimis,
keuletan, interpretasi moral, dan pengalaman.
Hidayatullah dan Dahlan (2019) menyatakan
bahwa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
kepemimpinan yaitu terdiri dari: (a) kepribadian,
pengalaman, dan harapan yang dimiliki; (b) harapan
dan perilaku atasan; (c) karakteristik, harapan, dan
perilaku bawahan; (d) kebutuhan tugas; (e) aturan
dalam organisasi; serta (f) harapan dan perilaku rekan
kerja.
Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt
(dalam Suparman, 2019) menyatakan terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan
gaya kepemimpian yang sekiranya cocok untuk
diterapkan dalam suatu organisasi. Faktor-faktor
tersebut yaitu: (a) kekuatan-kekuatan yang ada dalam
diri individu yang terdiri dari sistem nilai, rasa percaya
terhadap
anggota
organisasi,
kecenderungan
kepemimpinan yang ada pada dirinya, dan rasa aman
ataupun tidak aman; (b) kekuatan-kekuatan yang ada
dalam diri anggota organisasi yang terdiri dari
kebutuhan mengenai kebebasan, kebutuhan mengenai
peningkatan tanggung jawab, ketertarikan dan
keahlian dalam pemecahan masalah, serta harapan
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan; (c)
kekuatan-kekuatan yang muncul dari sebuah situasi
yang terdiri dari tipe organisasi, efektifitas kelompok,
tuntutan waktu, dan sifat dari masalah yang ada.
Soekarso dan Putong (2015) juga menyatakan
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kepemimpinan. Faktor-faktor tersebut yaitu: (a)
seorang pemimpin itu sendiri; (b) anggota yang
dipimpin; (c) kekuasaan yang dimiliki; (d) pengaruh;
(e) nilai; dan (f) tujuan.
Kepemimpinan dalam Organisasi
Menurut Crow, Matthews, dan McCleary
kepemimpinan dalam organisasi ialah kepemimpinan
yang bersifat kualiti personal atau pribadi, dimana
kepemimpinan merupakan sebuah tingkah laku yang
berhubungan dengan situasi, dan moral yang
mempengaruhi cara berfikir sistematik pemimpin (Din
& Abdul, 2016). Biasanya pemimpin didalam
organisasi sering dikenal sebagai manajer, akan tetapi
pemimpin dan manajer ialah hal yang beda dimana
manajer lebih kedalam konsep perancanaan,
pengendalian, dan pengorganisasian.
Di dalam organisasi terdapat sumber daya manusia
yang dapat dioptimalkan dan dikelola, sumber daya
pengelolaan harus dilakukan dengan baik dan efektif.
Hal tersebut menjadi tanggung jawab seorang
pemimpin atau manajerial yang terdapat didalam
perusahaan tersebut. Selain itu pemimpin juga harus
dapat menyusun strategi dan mampu untuk
mengkoordinasi semua lingkup yang ada didalam
organisasi tersebut terumasuk sumber daya.
Kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang
pemimpin dapat mampu membedakan karakteristik
organisasinya dengan organisasi yang lain, potensi
yang paling utama ialah kepemimpinan yang bersifat
dinamis dan harus efektif (Tiogas & Walukow, 2014).
Kepemimpinan ialah salah satu kunci bergeraknya
organisasi yang dapat membangun suatu perubahan
yang baik, kemudian kepemimpinan dipercayai
sebagai keberhasilan suatu organisasi dimana seorang
pemimpin memiliki posisi yang sangat dominan dalam
membuat suksesnya organisasi tersebut (Pramudyo,
2013).
Soliha dan Hersugondo (2008) menyatakan bahwa
kepemimpinan yang bersifat efektif dipengaruhi oleh
pemimpin yang mampu memberikan pengaruh dan
arahan kepada para anggotanya. Tantangan terbesar
dalam kepemimpinan yaitu ketika terjadi perubahan
dalam suatu organisasi. Hal tersebut dikarenakan
pemimpin akan dihadapkan pada pilihan mengenai
gaya kepemimpinan yang tepat dan sekiranya dapat
diterapkan pada organisasi tersebut.
Kepemimpinan
merupakan
faktor
yang
menentukan keberhasilan suatu organisasi. Hal
tersebut dikarenakan kepemimpinan menjadi titik
pusat dari sebuah perubahan yang signifikan dalam
suatu organisasi, menjadi kepribadian yang dapat
memberikan pengaruh, serta termasuk dalam seni yang
membuat keselarasan serta kestabilan organisasi.
Pemimpin memiliki peran yang sangat penting dalam
suatu organisasi. Pemimpin memiliki tugas untuk
mengatasi konflik atau permasalahan yang terjadi
dalam organisasi dan sebagai koordinator dalam
aktivitas organisasi yang mengarah pada pencapaian
tujuan organisasi tersebut (Suherman, 2019). Chairil,
Darwis, dan Jamaluddin (2016) menyatakan bahwa
kepemimpinan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap motivasi kerja. Hal tersebut menandakan
215
Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam
Organisasi)
Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti
semakin baik kepemimpinannya, maka semakin baik
pula motivasi kerja yang muncul.
Gaya kepemimpinan berkaitan dengan komunikasi
organisasi dan budaya organisasi. Jika gaya
kepemimpinan
dan
komunikasi
organisasi
dikembangkan dengan baik, maka dapat membentuk
budaya organisasi menjadi lebih baik dan terkendali
pada suatu organisasi. Gaya kepemimpinan dan
komunikasi organisasi merupakan faktor utama dalam
pembentukan budaya organisasi. Budaya organisasi
yang baik dapat menambah pengetahuan serta
optimisme dalam menjalankan pekerjaan (Harsono,
Supratomo, & Faria, 2015). Gaya kepemimpinan dan
komunikasi organisasi memiliki hubungan yang positif
dan signifikan dengan budaya organisasi. Semakin
baik gaya kepemimpinan dan komunikasi organisasi,
maka semakin baik pula budaya organisasi yang
terbentuk, begitu juga sebaliknya (Harsono,
Supratomo, & Faria, 2015).
PENUTUP
Simpulan
Pemimpin mempunyai peran yang sangat penting
dalam mencapai keberhasilan suatu organisasi.
Sehingga kepemimpinan dalam organisasi sangatlah
penting. Seorang pemimpin dapat menggerakkan serta
mengarahkan anggotanya untuk berpartisipasi atau
memberikan kontribusi yang lebih banyak untuk
mencapai tujuan bersama dalam organisasi. Setiap
organisasi memiliki karakteristik dan budaya organisasi
yang berbeda-beda, maka pemimpin harus
menyesuaikan gaya kepemimpinan seperti apa yang
akan diterapkan.
Saran
Untuk penelitian berikutnya, diharapkan untuk
menambah lebih banyak referensi supaya data yang
diperoleh semakin kaya. Referensi yang digunakan
diharapkan merupakan referensi terbaru dengan usia
maksimal 10 tahun supaya data yang diperoleh
merupakan data yang akurat. Selain itu, untuk
penelitian berikutnya juga dapat menggunakan dua
macam variabel. Hal tersebut dilakukan agar dapat
menambah pengetahuan atau wawasan baru mengenai
topik ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badu, S. Q., & Djafri, N. (2017). Kepemimpinan dan
perilaku organisasi. Ideas Publishing: Gorontalo.
Chairil, A., Darwis, M., & Jamaluddin. (2016).
Pengaruh fungsi kepemimpinan terhadap motivasi
kerja pegawai pada kantor dinas pendidikan
Kabupaten Sinjai. Jurnal Office , 1-8.
Cisma, F. (2017). Leadership styles and employee
performance. IRE Journals , 6-10.
Din, G., & Abdul, A. H. (2016). Kepemimpinan
kesukarelaan dalam organisasi kesusteraan.
Journal of Malay Language, Education, and
Literature , 52-62.
Faturahman, B. M. (2018). Kepemimpinan dalam
budaya organisasi. MADANI Jurnal Politik dan
Sosial Kemasyarakatan , 1-11.
Harsono, A. Y., Supratomo, & Faria, M. (2015).
Analisis gaya kepemimpinan dan komunikasi
organisasi
antara
atasan-bawahan
dalam
membangun budaya organisasi di lingkungan
sekretariat dprd Kota Bengkulu. Jurnal
Komunikasi KAREBA , 328-343.
Hermawan, I. (2019). Metodologi penelitian
pendidikan: Kuantitatif, kualitatif, dan mixed
methode. Kuningan: Hidayatul Quran Kuningan.
Hidayatullah, M. N., & Dahlan, M. Z. (2019). Menjadi
kepala sekolah ideal, efektif & efisien. Malang:
CV. Literasi Nusantara Abadi.
Indriyati, E. S. (2017). Pengaruh gaya kepemimpinan,
motivasi, dan disiplin kerja terhadap kinerja
karyawan dengan pemahaman etika kerja islami.
Upajiwa Dewantara , 134-146.
Khamdani, P. (2014). Kepemimpinan dan pendidikan
islam. Jurnal Madaniyah , 259-276.
Lebih dari 400 ribu ormas terdaftar di Indonesia.
(2019, Agustus 1). Dipetik April 30, 2020, dari
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia:
https://www.kemendagri.go.id/berita/baca/22589/
Lebih-dari-400-Ribu-Ormas-Terdaftar-diIndonesia
Mataputun, Y. (2018). Kepemimpinan kepala sekolah:
Berbasis kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual terhadap iklim sekolah. Ponorogo: Uwais
Inspirasi Indonesia.
Nur, P. (2017). Kepemimpinan. Yogyakarta: Relasi
Inti Media.
Pramudyo, A. (2013). Implementasi manajemen
kepemimpinan dalam pencapaian tujuan organisasi
. JMBA , 49-61.
Salahudin, D., Lengkong, V., & Tulung, J. E. (2018).
Pengaruh komunikasi dan gaya kepemimpinan
serta budaya organisasi terhadap komitmen
organisasi dan dampaknya pada kepuasan kerja
pegawai negeri sipil pada kantor kecamatan se
Kota Kotamobagu. Jurnal EMBA , 1858-1867.
Soekarso, & Putong, I. (2015). Kepemimpinan: Kajian
teoritis dan praktis. Buku&Artikel Karya Iskandar
Putong.
216
Penerapan Kepemimpinan untuk Mencapai Kemajuan Organisasi (Sebuah Studi Literatur Tentang Kepemimpinan dalam
Organisasi)
Safira Salsabila, Jimmy Nugroho Mukti
Soliha, E., & Hersugondo. (2008). Kepemimpinan
yang efektif dan perubahan organisasi. Fokus
Ekonomi , 83-93.
Suherman, U. D. (2019). Pentingnya kepemimpinan
dalam organisasi. Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis
Syariah , 259-274.
Sulaksono, H. (2019). Budaya organisasi dan kinerja.
Sleman: Deepublish.
Timotius. (2016). Kepemimpinan dan kepengikutan:
teori dan perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
Tiogas, D., & Walukow, A. (2014). Pengaruh
kepemimpinan kepala sekolah, supervisi dan
kepuasan kerja guru terhadap kinerja guru mipa di
Yayasan Pendidikan Advent Timika. Jurnal Ilmu
Pendidikan Indonesia , 41-51.
Zed, M. (2008). Metode penelitian kepustakaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
217
PERBEDAAAN OCB DITINJAU DARI JENIS KELAMIN PADA ANGGOTA DPM FAKULTAS X
UNESA
Gilang Rahmadani
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, glngrhmdn@gmail.com
Ratih Ayu Dwi Arindawanti
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, ratiharinda09@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat Organizational Citizenship Behavior
(OCB) ditinjau dari jenis kelamin pada anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas X
Universitas Negeri Surabaya, karena dalam kemajuan organisasi diperlukan tindakan dan
pengambilan keputusan yang inisiatif untuk kemajuan suatu organisasi. Laki-laki dan perempuan
dinilai memiliki perbedaan dalam berbagai aspek termasuk dalam kontribusi di dunia organisasi.
Peneliti dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis
komparatif. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu anggota Dewan Perwakilan
Mahasiswa (DPM) Fakultas “X” Universitas Negeri dengan menggunakan sampel jenuh yaitu
keseluruhan anggota yang berjumlah 57 orang dengan klasifikasi 36 anggota perempuan dan 21
anggota laki-laki. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu skala kuisioner organizational
citizenship behavior, dengan teknik analisis data menggunakan Uji Independen t-tes. Analisis data
menggunakan Uji Independen T-tes menunjukkan hasil taraf signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05)
yang maknanya adalah terdapat perbedaan tingkat OCB berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan pada anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas X Universitas Negeri Surabaya
yang berdasarkan hasil analisis OCB tersebut menunjukkan perempuan memiliki OCB lebih tinggi
daripada laki-laki.
Kata Kunci: OCB,Jenis kelamin, DPM Unesa.
PENDAHULUAN
Organisasi merupakan suatu bentuk hubungan antar
individu yang terstruktur dan terkoordinasi demi
mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan bersama
(Firmansyah, 2019:48). Organisasi tidak akan berjalan
bila tidak ada anggota di dalamnya sebagai motor dan
penentu jalannya roda organisasi. Anggota datang dari
berbagai karakter, latar belakang, dan jenis kelamin
yang disatukan untuk bekerja sama, tanpa membatasi
keunikan masing-masing. Keunikan yang ada dalam
diri anggota justru diperlukan dalam hal membangun
suatu organisasi. Keunikan ini salah satunya nampak
pada perilaku yang anggota tersebut tunjukkan dalam
kesehariannya ketika berada pada lingkup oragnisasi.
Bekerja membangun suatu organisasi tanpa pamrih
adalah salah satu contohnya. Organizational
Citizenship Behavior (OCB) atau perilaku yang muncul
karena inisiatif sendiri tanpa terikat peraturan (Organ,
1988:4) akan lebih menunjang keberhasilan suatu
organisasi, daripada hanya mengikuti jalannya arus.
Anggota yang memiliki OCB yang baik akan
meningkatkan kinerja organisasi (Robbin dan Judge,
2016:40). Berbagai faktor dapat mempengaruhi
perbedaan tingkat OCB tersebut, salah satunya adalah
jenis kelamin Laki-laki seringkali diidentikan dengan
sosok yang kuat dan mampu mengambil keputusan
dengan mengutamakan akal, sedangkan wanita
cenderung mengambil keputusan menggunakan hati.
Perilaku seperti menolong orang lain, ramah, mudah
bergaul, dan bekerja sama cenderung lebih banyak
dilakukan oleh wanita (Konrad dkk, 2000:616).
Perbedaan jenis kelamin dipandang menjadi yang
paling mencolok dalam mempengaruhi tingkat OCB
pada suatu organisasi. Organisasi Dewan Perwakilan
Mahasiswa atau DPM Fakultas X Universitas Negeri
Surabaya (UNESA) adalah salah satu contohnya. DPM
di UNESA merupakan suatu organisasi yang bertugas
di bidang legislatif mahasiswa yang memiliki tugas
lumayan berat yaitu sebagai dewan pengawas eksekutif
dan sebagai penyusun undang-undang kemahasiswaan
di UNESA. DPM Fakultas X UNESA sendiri memiliki
berbagai komisi yang memiliki tugas bermacammacam misalnya komisi pemerintahan, pengembangan
sumber daya mahasiswa, kesejahteraan mahasiswa,
hubungan masyarakat, dan audit keungan. Divisi
tersebut diisi oleh laki-laki dan perempuan yang
bekerja sama demi mencapai tujuan organisasi.
Tujuan organisasi yang besar yang telah disusun di
awal periode, tentu membutuhkan kerja keras dan
ketepatan dalam pengambilan keputusan. OCB yang
tinggi, baik dari anggota laki-laki maupun perempuan
layak diperhitungkan. Organisasi tidak hanya
menginginkan tujuan tercapai, namun juga
218
Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa
Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti
menginginkan hasil optimal dalam pencapain tujuan
tersebut. Keputusan-keputusan atau OCB yang tepat
dan tinggi yang dimiliki dari para anggota membuat
organisasi mampu berjalan dengan lebih optimal.
Organ (1988:4) mendefinisikan OCB merupakan
perilaku individu yang didasarkan pada keputusan
sendiri secara bijaksana tanpa adanya peraturan dimana
perilaku tersebut dilakukan tanpa mengharapkan sistem
imbalan formal dan perilaku tersebut meningkatkan
fungsi organisasi secara efektif. Robbins and Judge
(2016:14) mendefinisikan OCB adalah perilaku bekerja
ekstra yang bukan bagian dari persyaratam pekerjaan
formal karyawan dan berdampak pada psikologis dan
lingkungan sosial tempat kerja. Pourgaz, Naruei, and
Jenaabadi (2015:801) mendefinisikan OCB sebagai
perilaku individu yang didasarkan pada kebijaksanaan
pribadi yang terlepas dari kewajiban pekerjaan dimana
perilaku tersebut dapat meningkatkan efektivitas
organisasi untuk memenuhi manfaat bagi organisasi.
Organ dkk. (2006:22) menjelaskan terdapat lima
dimensi yang membangun OCB. Kelima dimensi
tersebut yaitu:
1. Altruism merupakan perilaku anggota organiasasi
untuk menolong sesama anggota organisasi yang
sedang bertugas dan mengalami permasalahan.
Pertolongan yang diberikan anggota organisasi
bukan merupakan tugas yang dimiliki anggota
tersebut melainkan pertolongan pada hal diluar
tugas atau pekerjaannya.
2. Courtesy merupakan perilaku anggota organisasi
dengan tujuan menjaga hubungannya sesama
anggota organisasi agar saling mempehatikan antar
anggota. Anggota organisasi yang memiliki
Courtesy tinggi akan berusaha untuk berteman baik
pada sesama anggota serta berusaha menghargai
dan mengapresiasi kinerja rekannya.
3. Sportmanship merupakan perilaku anggota
organisasi dalam organisasi untuk menciptakan
iklim organisasi yang baik. Perilaku tersebut dapat
berupa berpikir terbuka tentang keadaan organisasi
yang kurang kondusif dan tidak mengajukan
komentar-komentar yang dapat menyebabkan
lingkungan kurang stabil.
4. Conscientiousness adalah perilaku anggota
organisasi yang melebihi dari tugas yang diberikan
dari organisasi. Anggota organisasi akan
mengerjakan beberapa tugas meskipun tugas
tersebut bukanlah tanggung jawabnya. Anggota
organasasi yang memiliki Conscientiousness tinggi
akan terus berusaha untuk melakukan sesuatu
melebihi yang diharapkan oleh organisasi tersebut.
5. Civic Virtue adalah perilaku anggota organisasi
yang mememnuhi tanggung jawabnya sebagai
anggota kehidupan organisasi. Organisasi yang
dinaungi oleh anggotanya pasti memiliki peraturan,
batasan, mengalami perubahan dimana anggota
organisasi berpartisipasi dalam kehidupan tersebut.
William dan Anderson dalam Wicaksana dkk.
(2012:244) menjelaskan bahwa OCB terikat dengan
faktor demografis pada setiap anggota organisasi.
Faktor demografis tersebut diantaranya usia atau umur,
jenis kelamin, level jabatan, status kerja, dan lama masa
kerja. OCB yang dikaitkan faktor demografis jenis
kelamin dapat dikaji tentang perbedaan OCB antara
perempuan dengan laki-laki dalam suatu organisasi.
Morrison (1994:1553) menjelaskan bahwa anggota
organisasi dengan jenis kelamin perempuan akan lebih
banyak menampilkan OCB daripada laki-laki. Konrad,
dkk (2000:616) menemukan bahwa beberapa perilaku
atau atribut kerja lebih menonjol dilakukan oleh
perempuan daripada laki-laki. Atribut kerja yang lebih
menonjol pada perempuan diantaranya menolong,
bersahabat, dan bekerja sama dengan anggota
organisasi lain. Lovell dkk. (1999:475) juga
mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan
OCB antara laki-laki dan perempuan dimana perbedaan
tersebut cukup signifikan.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti
pada empat orang anggota, ditemukan beberapa hal
yang bersangkutan dengan OCB. Organisasi tersebut
beberapa kali mengadakan acara atau program kerja.
ketika organisasi mereka mengadakan suatu acara atau
program kerja tersebut, anggota organisasi laki-laki
biasanya lebih banyak bertugas dibagian perlengkapan
dan logistik sedangkan anggota organisasi perempuan
cenderung bertugas dibagian acara dan administrasi.
Anggota organisasi laki-laki biasanya kerja lebih lama
karena jumlahnya yang sedikit meskipun tugasnya
tidak banyak. Ketika anggota perempuan meminta
tolong, anggota laki-laki biasanya hanya meng’iya’kan
saja permohonan namun tidak tanggap untuk segera
berdiri. Selain itu, anggota organisasi selalu
mengevaluasi program kerja dengan kritis dan
dianggap ketus. Hal tersebut terjadi apabila terjadi
kesalahan dalam kegiatan yang telah terselenggara.
Para anggota baik laki-laki maupun perempuan
cenderung merasa merekalah yang paling berkontribusi
dalam pengambilan langkah ketika terdapat proker dan
semacamnya. Mereka menyatakan anggota perempuan
cenderung lebih dalam pengambilan keputusan ketika
berjalannya program kerja organisasi. Anggota lakilaki lebih kepada mengerjakan pada yang menjadi tugas
mereka saja.
219
Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa
Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti
Berdasarkan fenomena diatas , peneliti berminat
mengkaji lebih dalam bagaimana perbedaan OCB pada
anggota organisasi DPM Fakultas X Universitas Negeri
Surabaya.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan
penelitian yang memfokuskan pada pengujian hipotesis
dengan data yang terukur dan dapat menghasilkan data
simpulan yang dapat digeneralisasikan (Anshori &
Iswati, 2009:13). Jenis penelitian ini adalah penelitian
komparatif. Menurut (Hermawan, 2019:39) penelitian
komparatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui apakah diantara dua macam kelompok
terdapat perbedaan atau tidak pada sisi variabelnya.
Penelitian komparatif tidak melakukan kontrol variabel
(Hermawan, 2019:39). Tujuan dari penelitian
komparatif ini adalah untuk mengetahui perbedaan
OCB pada anggota organisasi DPM Fakultas X
Universitas Negeri Surabaya. Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh anggota DPM Fakultas X
UNESA, dengan sampel keselurahan atau sampel jenuh
yang berjumlah 57 orang anggota, dengan 36 anggota
perempuan dan 21 anggota laki-laki. Menurut
Sugiyono dalam Endra (2017:117) sampel jenuh adalah
sampel yang menggunakan keseluruhan anggota
populasi sebagai sampel. Peneliti mengumpulkan data
menggunakan skala organizational citizen behavior.
Teknik analisis yang dgunakan untuk mengolah data
yaitu menggunakan uji T sampel independen. Menurut
(Riyanto dan Hatmawan, 2020:93) Uji T sampel
independen digunakan untuk melihat apakah dua
sampel yang tidak berhubungan memiliki perbedaa
rata-rata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil Uji statistik Deskriptif
Jenis
N Min. Max. Mean Std.
kelamin
Dev.
Perempuan 36 136
172
152,81 12,76
Laki-laki
21
89
144
116,81
8,2
Berdasarkan tabel hasil uji analisis deksriptif
diketahui bahwa sampel dengan jenis kelamin
perempuan berjumlah 36 anggota ditunjukan dari N=36
dan sampel dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 21
anggota ditunjukan dari N=21. Nilai OCB terendah dari
anggota DPM jenis kelamin perempuan yaitu 136 dan
nilai tertingginya yaitu 172. Nilai OCB terendah dari
anggota DPM jenis kelamin laki-laki yaitu 89 dan nilai
tertingginya yaitu 144. Mean atau rata-rata nilai OCB
untuk anggota DPM jenis kelamin perempuan sebesar
152,81 dan jenis kelamin laki-laki sebesar 116,81.
Kemudian, nilai standar deviasi untuk anggota jenis
kelamin perempuan sebesar 12,76 dan untuk anggota
jenis kelamin laki-laki sebesar 8,2.
Tabel 2. Kategorisasi OCB Anggota DPM
Jenis
Kategori Jumlah
Presentase
Kelamin
Rendah
Perempuan
Laki-laki
Sedang
11
19,3%
Tinggi
25
43,9%
Rendah
1
1,8%
Sedang
20
35%
Tinggi
-
Total
57
100%
Berdasarkan Tabel diatas, OCB yang dimiliki oleh
sampel terbagi menjadi tiga kategori yaitu kategori
lemah (X < 93,4), sedang (93,4 ≤ X < 146,6), dan tinggi
(X ≥ 146,6). Berdasarkan data pada tabel diatas,
terdapat 1,8% sampel yang terkategori rendah yaitu 1
orang anggota DPM berjenis kelamin laki-laki.
Anggota DPM dengan OCB yang masuk kategori
sedang berjumlah 31 anggota dimana 11 anggota
(19,3%) berjenis kelamin perempuan dan 20 anggota
(35%) berjenis kelamin laki-laki. Anggota DPM
dengan OCB kategori tinggi berjumlah 25 anggota
(43,9%) dimana seluruh anggota tersebut berjenis
kelamin perempuan.
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data Variabel OCB
Kategori
Nilai
Keterangan
Signifikasi
Perempuan 0,2
Berdistrubusi
normal
Laki-laki
0,148
Berdistrubusi
normal
Berdasarkan hasil uji normalitas diatas, diketahui
nilai signifikasi dari variabel OCB pada anggota dpm
perempuan sebesar 0,2 sedangkan nilai signifikasi pada
anggota dpm laki-laki sebesar 0,148. Subjek
dikategorikan berdistribusi normal apabila nilai
signifikasi lebih dari 0,05 sedangkan subjek
dikategorikan tidak berdistribusi normal apabila nilai
signifikasi kurang dari 0,05.
Levene
Statistic
Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas
df1
df2
Sig.
220
Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa
Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti
3,378
1
55
0,071
Berdasarkan hasil uji homogenitas diatas, diketahui
nilai signifikasi dari variabel OCB pada anggota dpm
sebesar 0,071 sehingga data penelitian ini disimpulkan
homogen. Subjek dikategorikan homogen apabila nilai
signifikasi lebih dari 0,05 sedangkan subjek
dikategorikan tidak heterogen apabila nilai signifikasi
kurang dari 0,05.
Tabel 5. Hasil Analisis independent T test
T
df
sig
Mean difference
12.981
55
0,000
-35.996
Berdasarkan hasil analisis independent T test diatas
menunjukan nilai signifikan sebesar 0. Nilai signifikan
0,00 tersebut lebih kecil dari 0,05 dimana 0,05
merupakan taraf signifikansi yang digunakan dalam
penelitian ini. Hal tersebut berarti hipotesis dalam
penelitian ini diterima. Hipotesis tersebut menyatakan
adanya perbedaan tingkat OCB berdasarkan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan pada anggota Dewan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas X Universitas Negeri
Surabaya.
Penelitian ini mengkaji tentang variabel OCB yang
ditinjau dari jenis kelamin dimana berdasarkan uji
hipotesis disimpulkan bahwa adanya perbedaan antara
OCB yang dimiliki oleh anggota DPM laki-laki dengan
anggota DPM perempuan. Hasil penelitian tersebut
sesuai dengan pernyataan Lovell dkk. (1999:475) yang
mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan
OCB antara laki-laki dan perempuan dimana perbedaan
tersebut cukup signifikan. Perbedaan yang cukup
signifikan tersebut dapat diprediksi dari perilaku
menolong, mudah memahami orang lain, dan peduli
pada orang lain. Perilaku-perilaku tersebut apabila
terjadi dalam lingkup organisasi tentu dapat
memprediksi seseorang memiliki OCB yang tinggi.
Hasil uji deskriptif menunjukan nilai rata-rata OCB
pada anggota dpm jenis kelamin laki-laki sebesar 116,
81 dan pada anggota dpm jenis kelamin perempuan
sebesar 152,81. Data tersebut menunjukan bahwa
dalam Organisasi tersebut rata-rata anggota perempuan
memiliki OCB yang lebih besar daripada anggota OCB
laki-laki yang artinya anggota perempuan memiliki
OCB lebih besar daripada anggota laki-laki. Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian lainnya yang
mengungkap bahwa OCB lebih sering nampak dan
menonjol pada anggota organisasi dengan jenis
kelamin perempuan (Morrison, 1994:1553; Konrad,
dkk, 2000:616). Konrad, dkk (2000:595) menjelaskan
dalam lingkup organisasi, individu yang feminis dalam
dimensi afiliasi dan pengasuhan akan memiliki peluang
untuk berteman, berpeluang untuk membantu anggota
lain dan mudah bekerjasama dengan orang lain dalam
lingkup organisasi sedangkan seseorang yang maskulin
akan cenderung otonom, suka tantangan, dan mencari
keuntungan. Hal tersebut menunjukan bahwa individu
yang feminis seperti anggota organisasi perempuan
cenderung memiliki sikap membantu dan peduli pada
lingkup organisasi.
Hasil rata-rata nilai OCB pada anggota perempuan
dalam tabel uji statistik deskriptif menunjukan angka
152,81 yang mana rata-rata tersebut tersebut masuk
dalam kategori tinggi (X ≥ 146,6) sedangkan hasil ratarata nilai OCB pada anggota laki-laki menunjukan
angka 116,81 yang mana rata-rata tersebut masuk
dalam kategori sedang (93,4 ≤ X < 146,6). Data tersebut
diartikan bahwa OCB yang dimiliki anggota dpm
perempuan berada pada kategori tinggi sedangkan
OCB pada anggota dpm laki-laki berada pada kategori
sedang. Tingkatan OCB yang tinggi pada anggota
perempuan tersebut menandakan bahwa mereka sering
melakukan perilaku-perilaku extra role atau perilaku
yang lebih dari sekedar tugas yang diberikan dan
tanggung jawab yang diemban. Pada anggota laki-laki,
tingkatan OCB yang masuk dalam kategori sedang
bukan berarti tidak melakukan perilaku peran yang
lebih namun perilaku tersebut tidak sering dilakukan
oleh anggota laki-laki.
OCB dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut
pendapat William dan Anderson dalam Wicaksana dkk.
(2012:244) menjelaskan bahwa OCB sangat
bergantung faktor demografis yang diantaranya usia
atau umur, jenis kelamin, level jabatan, status kerja, dan
lama masa kerja. Faktor jenis kelamin merupakan salah
satu dari penentu yang membedakan pada besarnya
tingkat OCB. Penelitian yang dilakukan pada DPM
Fakultas X Universitas Negeri Surabaya menunjukkan
kecenderungan OCB perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki, hal ini dapat terjadi dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Dagun (dalam Oktavianto, 2014:3)
menyebutkan salah satu faktor tersebut adalah dari
perbedaan karakteristik laki-laki dan perempuan sendiri
dari segi psikologisnya, yaitu kepribadian. Perempuan
memiliki sisi kepribadian yang tersusun dari sisi
emosionalitas, misalnya memiliki perilaku yang kurang
terbuka, lebih subjektif dalam melihat sesuatu, dan
sangat bergantung pada suasana hati. Laki-laki lebih
dominan pada sisi pikiran, yaitu terdapat rasio yang
jelas dalam pemikiran dan emosionalitas, ditunjukkan
dalam hal, misalnya lebih tegas, memiliki pembagian
sesuatu yang jelas, tidak bergantung suasana hati.
Anggota DPM Fakultas X membuktikan faktor
tersebut, dimana anggota perempuan lebih bekerja
221
Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa
Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti
menggunakan suasan hati dan emosionalitas, mereka
akan cenderung melakukan pekerjaan lebih dari
tugasnya, namun juga akan menunjukkan kinerja apa
yang telah mereka berikan, sebaliknya anggota lakilaki memiliki tingkat OCB yang rendah, bukan berarti
tidak bekerja namun pada lebih menjalankan apa yang
telah ditugaskan kepada mereka, hal ini menunjukkan
anggota laki-laki cenderung lebih tegas terlebih kepada
pembagian tugas. Tugas tersebut akan dilaksanakan
tergantung persetujuan dan pembagian di awal karena
itu anggota laki-laki jarang melakukan pekerjaan
melebihi tugas mereka, karena mereka akan melihat
sesuatu berdasarkan sisi rasionalitas dibandingkan
emosionalitas, yang membuat tingkat OCB laki-laki
berada di bawah OCB wanita.
OCB sangat menentukan kemajuan suatu
organisasi, maka dari itu OCB dapat digunakan untuk
melihat hasil kerja anggotanya, karena hasil kerja tidak
hanya melihat output namun juga melihat perilaku lain
apa sajakah yang dilakukan untuk kemajuan organisasi
(Auliana dan Nurasiah, 2017:160). Penelitian pada
organisasi DPM Fakultas X tersebut telah
menunjukkan terdapat ketimpangan terhadap besarnya
OCB pada anggota, Perempuan lebih dominan dalam
menyelesaikan program kerja dibandingkan anggota
laki-laki, yang berarti tingkat kemajuan organisasi
DPM Fakultas X sendiri sangat bergantung pada
anggota perempuan sebagai sumber poros penggerak
yang tidak jarang anggota perempuan tersebut
menyampaikan keluhannya terhadap anggota laki-laki.
Penelitian yang mendukung hasil penelitian ini
yaitu milik Sahrah (2010) yang menunjukkan bahwa
tingkat OCB pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki
yang ditunjukkan dengan rata-rata OCB pada
perempuan bernilai 197,40 sedangkan pada laki-laki
menunjukkan angka rata-rata 172,63. Penelitian lain
yang mendukung datang dari Sari, dkk (2018) yang
menyebukan bahwa OCB pada perempuan lebih tinggi
pada laki-laki. Penelitian ini idlakukan di RSD Balung,
Jember. Angka yang ditunjukkan OCB pada pegawai
perempuan mencapaib 14,37 % dan laki-laki sebesar
14,07 % setelah diukur dengan Uji Two Independet
Sample t-test. Adanya dukungan terdapat penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan OCB pada
perempuan dan laki-laki dalam sebuah organisasi,
dengan perempuan cenderung lebih besar, namun
faktor lain juga tidak dapat diabaikan dalam melihat
besarnya tingkat OCB ini, seperti yang dipaparkan
William dan Anderson dalam Wicaksana dkk.
(2012:244) bahwa faktor demografis lain yang bisa
menentukan faktor OCB diantaranya usia atau umur,
level jabatan, status kerja, dan lama masa kerja.
PENUTUP
Simpulan
Penelitian ini bertujuan mengukur perbedaan OCB
ditinjau dari jenis kelamin pada anggota DPM Fakultas
X Universitas Negeri Surabaya Berdasarkan hasil
analisis menggunakan Uji Independen T-tes
menunjukkan hasil taraf signifikansi sebesar 0,000
(p<0,05) yang menunjukkan l terdapat perbedaan OCB
pada laki-laki dan perempuan, dengan kecenderungan
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hasil ini
ditunjukkan oleh angka rata-rata OCB perempuan
mencapai angka 152,81 yang mana rata-rata tersebut
tersebut masuk dalam kategori tinggi (X ≥ 146,6)
sedangkan hasil rata-rata nilai OCB pada anggota lakilaki menunjukan angka 116,81 yang mana rata-rata
tersebut masuk dalam kategori sedang (93,4 ≤ X <
146,6).
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat
beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti,
yaitu:
1. Bagi Organisasi
Adanya perbedaan tingkat OCB pada organisasi
pada anggota laki-laki dan perempuan, haruslah
dijadikan bahan evaluasi, karena menyangkut
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Faktorfaktor penyebab harus ditemukan, karena terdapat
protes yang seringkali secara tersirat disampaikan
anggota perempuan yang dapat berakibat negatif
bagi organisasi. Selain itu, keadaan tingginya OCB
pada perempuan harus dipetahankan atau
ditingkatkan disamping mencari solusi untuk
meningkatkan OCB pada anggota laki-laki.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini hanya berfokus pada perbedaan OCB
ditinjau dari jenis kelamin tanpa mengungkap
faktor lain yang menjadi penyebab. Penelitian
selanjutnya dapat mengungkap perbedaan OCB
berdasarkan faktor demografi lain yaitu umur,
lama bekerja, status pekerjaan, daan level jabatan.
Penelitian ini menggunakan subjek yang tidak
terlalu besar, sehingga diharapkan penelitian
selanjutnya dapat menggunakan subjek yang lebih
besar dan juga kuisioner yang dikemas lebih
menarik untuk meningkatkan minat mengisi dari
subjek.
DAFTAR PUSTAKA
222
Perbedaaan Ocb Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Anggota Dpm Fakultas X Unesa
Gilang Rahmadani, Ratih Ayu Dwi Arindawanti
Anshori, M. & Iswati, S. (2009). Buku ajar metode
penelitian kuantitatif. Surabaya: Airlangga
University Press.
Auliana, S., & Nurasiah, I. (2017). Penerapan
Organizational Citizenship Behavior di STIE Bina
Bangsa. Jurnal Manajerial, 2(2), 149-162
Endra, F. (2017). Pedoman metodologi penelitian
(statistika praktis). Sidoarjo: Zivatama Jawara.
Firmansyah, A. (2019). Manajemen. Surabaya: Qiara
Media.
Hermawan, I. (2019). Metodologi penelitian
pendidikan kuantitatif, kualitatif dan mixed method.
Cetakan pertama. Kuningan: Hidayatul Quran
Kuningan.
Konrad, A. M., Ritchie, J. E., Lieb, P., & Corrigall, E.
(2000). Sex differences and similarities in job
attribute
preferences:
a
meta-analysis.
Psychological
bulletin,
126(4),
593-641.
doi:10.1037/0033-2909.126.4.593
Sahrah, A. (2010). Organizational Citizenship
Behavior ditinjau dari kepuasan kerja dan jenis
kelamin para prawat rumah sakit. Yogyakarta:
Universitas Mercu Buana.
Sari, R., Sampeadi, Sunardi. (2018). Perbedaan
Organizational Citizenship Behavior (OCB),
kepuasan kerja dan stress kerja berdasarkan gender
pada perawat instalasi rawat inap RSD Balung
Kabupaten Jember. Jurnal Bisnis dan Manajemen,
12(3),
331-340.
Retrieved
from:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/BISMA/article/d
ownload/9003/6029/
Wicaksana, Y. A., Efar, M., Mewengkang, M. D.,
Miranti, I., Halim, M., & Suwartono, C. (2012).
Adapatasi skala organzational citizenship behavior
(OCB). Manasa: jurnal ilmiah psikologi, 2(1), 244.
Retrieved
from
http://ojs.atmajaya.ac.id/index.php/manasaold/article/view/705.
Lovell, S. E., Kahn, A. S., Anton, J., Davidson, A.,
Dowling, E., Post, D., & Mason, C. (1999). Does
gender a ffect the link between organizational
citizenship behavior and performance evaluation?
Sex roles, 41(516), 469-478. Retrieved from
https://link.springer.com/content/pdf/10.1023/A:10
18883018719.pdf.
Morrison, E. W. (1994). Role definitions and
organizational citizenship behavior: the importance
of the employee’s perspective. Academy of
management
journal,
37(6),
1543-1567.
doi:10.5465/256798
Oktovianto, R. (2014). Organizational Citizenship
Behavior ditinjau dari jenis kelamin pada pegawai
Dinas Pendidikan Kota Cilegon. Skripsi
diterbitkan, Unversitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.
Organ, D. W. (1988). Organizational citizenship
behavior: The good soldier syndrome. Lexington,
MA: Lexington.
Organ, D. W., Podsakoff, P. M., & MacKenzie, S. B.
(2006). Organizational citizenship behavior: its
nature, antecedents, and consequences. California:
Sage Publication, Inc.
Pourgaz, A. W., Naruei, A. G., & Jenaabadi, H. (2015).
Examining the relationship of organizational
citizenship
behavior
with
organizational
commitment and equity perception of secondary
school administrators. Psychology, 6, 800-807.
doi:10.4236/psych.2015.66079
Riyanto, S. & Hatmawan, A.A (2020). Metode riset
penelitian kuantitatif. Yogyakarta: Deepublish.
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2016). Essentials of
organizational behavior. Boston: Pearson.
223
GAMBARAN KECENDERUNGAN KEMAMPUAN KERJASAMA AUD DI PPT SEKAR ARUM
JAMBANGAN SURABAYA
Sumartik
PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id
Fifi Khoirul Fitriyah
PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id
Tatik Muflihah
PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id
Jauharotur Rihlah
PG PAUD, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 4230016039@student.unusa.ac.id
Abstrak
Kemampuan bekerjasama mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Manusia adalah makhluk hidup yang selalu melakukan interaksi dengan sesama terlebih di era
revolusi industry 4.0 dan 5.0, kemampuan kerjasama merupakan dasar dalam membangun
hubungan kolaborasi. Stimulasi dari orang tua dan guru sangat dibutuhkan agar kemampuan
kerjasama anak berkembang sesuai dengan tahapan pencapaian perkembangan anak. Tujuan dari
penelitian ini untuk melihat sejauh mana kecenderungan kemampuan kerjasama anak usia 3-4 tahun
di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan
deskriptif kuantitatif dengan teknik pengumpulan data berupa angket. Hasil penelitian menunjukkan
kecenderungan kemampuan kerjasama anak Usia 3-4 Tahun di PPT Sekar Arum Jambangan
Surabaya tertinggi pada Aspek kemampuan membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan
tugas kelompok dengan rata-rata 96% dan terendah pada Aspek kemampuan menyelesaikan tugas
yang telah dibagi dalam kelompoknya dengan rata-rata 85,55% sehingga Kecenderungan
Kemampuan Kerjasama Anak Usia 3-4 Tahun Di PPT Sekar Arum Jambangan mencapai rata-rata
89,26% (kriteria sangat tinggi). Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya
yang berkaitan dengan kemampuan kerjasama anak usia 3-4 tahun terutama untuk meningkatkan
aspek kemampuan menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya dengan
menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Kata kunci : kemampuan kerjasama, deskriptif, anak
PENDAHULUAN
Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan
bermain, anak juga sekaligus belajar. Semua aspek
perkembangan anak ditumbuhkan dengan bermain
sehingga anak-anak menjadi lebih sehat sekaligus
cerdas. Anak-anak bermain dengan menggunakan
seluruh emosinya, perasaannya, dan pikirannya
(Adriana, 2013:15), di sisi lain, emosi positif anak
akan berdampak pada sisi empatinya dan menurunkan
kecemasannya dalam berinteraksi sosial (Fitriyah,
2019). Bermain dengan anak-anak lain juga
memudahkan anak untuk mengembangkan makna
hubungan sosial. Ketika bermain dengan anak-anak
lain, anak belajar untuk berteman, memahami diri
sendiri, dan memahami bahwa orang lain memiliki
pandangan dan nilai-nilai yang berbeda dengannya.
Lewat permainan dengan anak-anak lain, anak belajar
untuk memecahkan masalah dan bekerjasama
(Morrison, 2012:69). Sayangnya saat ini permainan
anak didominasi dengan permainan menggunakan
gadget dan dilakukan secara online, sehingga bermain
anak konsep dulu dan sekarangpun berbeda
(Kusumaningayu, dkk., 2019).
Kurniasih
(2009:11)
menyatakan
bahwa
perkembangan kecerdasan anak usia dini terjadi sangat
pesat pada usia 0-4 tahun dimana perkembangan
kecerdasannya mencapai 50% dan 30% berikutnya
hingga usia 8 tahun. Pesatnya perkembangan
kecerdasan ini membuat masa ini disebut sebagai
periode emas. Perkembangan yang didapat pada
periode emas ini akan menjadi periode kritis. Periode
kritis ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan
anak dikemudian hari. Ketika secara emosional anak
cenderung negatif maka yang muncul adalah perilaku
agresif, di sisi lain agresif pada anak usia dini akan
berdampak pada perkembangan anak selanjutnya
(Fitriyah, 2017).
Anak sangat membutuhkan berbagai macam
asupan dalam periode kritis. Asupan tersebut
diantaranya meliputi aspek kesehatan, aspek gizi dan
224
Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya
Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah
aspek pendidikan. Tiga aspek ini menjadi pilar utama
dalam perkembangan anak yang akan mempengaruhi
kualitas anak dimasa mendatang.
Orang tua memegang peranan penting dalam
pengenalan pola makan yang baik dan teratur antara
lain pemberian makan yang tepat waktu dan makanan
yang bervariasi yang mengandung berbagai zat gizi
diantaranya zat tenaga yaitu karbohidrat
bisa
diperoleh antara lain dari beras, roti, kentang, bihun,
mi, singkong, ubi, dan talas. Zat pembangun yaitu
protein bisa diperoleh antara lain dari daging, ikan,
ayam, tahu, tempe, keju, susu dan kacang-kacangan.
Zat pengatur yaitu vitamin dan mineral bisa diperoleh
dari sayuran dan buah-buahan. Jika dari awal
kehidupan anak mendapatkan makanan yang sehat dan
seimbang maka akan menghasilkan SDM yang
berkualitas yang sehat secara fisik, mental dan sosial .
Zona perkembangan proximal merupakan istilah
yang dimunculkan oleh Vygotsky yang mengacu pada
keadaan
yang
menghubungkan
peningkatan
pemahaman anak akibat interaksi sosial. Vygotsky
merupakan peneliti usia dini pertama yang sangat
perhatian pada interaksi sosial anak. Ia beranggapan
bahwa permainan sosial anak adalah unsur penyusun
yang paling penting. Pada usia tiga tahun, karena
makin matang dan berpengalaman, bisa bermain
dengan lebih dari satu anak secara bersamaan. Saat
mereka makin kurang egois dan lebih bisa memahami
pandangan anak-anak lain, anak usia 3 tahun lebih
berhasil dengan permainan sosial. Menggunakan
bahasa lebih matang, mendengarkan teman bermain
mereka, dan menyesuaikan perilaku mereka dengan
situasi ini semua mendukung permainan sosial itu
(Beaty, 2015:133).
Namun menurut Einon (2008) anak-anak belum
benar-benar berinteraksi dengan teman sebaya sampai
usia dua tahun, namun mereka senang berteman.
Tahun pertama mereka menunjukkan ketertarikan, di
tahun kedua, bermain berdampingan, dan pada tahun
ketiga mulai terlibat dalam permainan bersama.
Salah satu strategi melatih perkembangan sosial
emosional anak adalah dengan bermain kelompok.
Usia dini adalah masa-masa bermain pada anak-anak,
segala macam kegiatan anak tidak dapat terlepas dari
bermain. Anak akan sangat senang ketika bermain di
dalam kelompok bersama teman-temannya, melalui
bermain kelompok akan dapat mengoptimalkan
perkembangan sosial emosional anak (Kertamuda,
2015:56).
Menurut Leach dalam Douglas (2009) bagi seorang
anak kecil tidak ada pemisahan antara bermain dan
belajar,
diantara
“bersenang-senang”
dan
“pendidikan”. Seorang anak belajar hidup, dan bagian
dari kehidupan yang bisa dinikmati adalah juga
bermain. Pendekatan pembelajaran pada anak usia dini
bisa dilakukan dengan bermain. Pendidikan yang akan
diberikan kepada anak harus dengan kondisi yang
menyenangkan. Penggunaan metode pembelajaran,
strateg dan pemberian materi harus menggunakan
media yang menarik agar mudah dipahami anak.
Pembelajaran akan semakin bermakna jika anak diajak
untuk mengeksplorasi dan menemukan serta m
emanfaatkan obyek-obyek yang dekat dengan anak
melalui bermain. (Kurniasih, 2009:115).
Namun demikian menurut Beaty (2015:145)
apapun yang akan dilakukan, jangan memaksa.
Beberapa anak belum cukup nyaman di ruang kelas
untuk bergabung dengan anak lain dalam permainan
kelompok. Beri mereka kesempatan agar terbiasa
dengan program. Anak-anak akan nyaman dengan
sendirinya dan sebagian besar anak akan bergabung
sesuai keinginan sendiri. Mereka perlu terbiasa dengan
pemain lain dan mungkin berteman dengan mereka.
Mereka juga harus tertarik pada apa yang dikerjakan
kelompok. Peran guru adalah mendorong permainan
kelompok dengan memberi anak kesempatan
melakukannya selama periode pilihan bebas, dengan
mendukung pilihan permainan anak sendiri atau
memberi mereka ide permainan baru tiap saat.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan
penelitian mengenai Gambaran Kecenderungan
Kemampuan Kerjasama Anak Usia 3-4 Tahun di PPT
Sekar Arum Jambangan Surabaya: Survey
Berdasarkan Penilaian Orangtua. Penelitian perlu
dilakukan karena anak yang memiliki kemampuan
kerjasama akan lebih mudah berinteraksi dan
bersosialisasi dengan lingkungannya. Kemampuan
kerjasama ini merupakan modal bagi anak untuk
menjalani kehidupan di masa mendatang karena pada
dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak
bisa hidup sendiri. Manusia selalu dibutuhkan dan
membutuhakn orang lain.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kuantitatif yang
bertujuan mengungkapkan suatu apa adanya. Menurut
Arikunto (dalam Putra, 2015) mengungkapkan bahwa
penelitian deskriptif tidak di maksudkan untuk
menguji
hipotesis
tertentu,
tetapi
hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel.
Dalam penelitian ini populasinya adalah siswa usia
3-4 tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya
tahun ajaran 2019/2020 yang berjumlah 10 anak
225
Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya
Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah
dengan rincian 6 siswa perempuan dan 4 siswa lakilaki.
Pada penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan data berupa angket atau kuesioner tidak
langsung berupa google form. Angket diberikan
kepada orang tua siswa. Hal ini dilakukan karena
situasi pandemi Covid-19 saat ini sehingga tidak
memungkinkan dilakukan pengumpulan data secara
langsung. Hal ini merujuk pada Margono., dkk (dalam
Sari, 2016).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini akan diperoleh gambaran
kecenderungan kemampuan kerjasama anak usia 3-4
tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya survey
berdasarkan penilaian orangtua.
Angket yang diberikan berisi 22 pernyataan.
Responden dapat memilih jawaban “ya” atau “tidak”
yang berhubungan dengan kemampuan kerjasama
anak. Pernyataan dengan jawaban “ya” akan mendapat
skor 1 sedangkan jawaban “tidak” akan mendapat skor
0. Menurut Ali (dalam Sari, 2016) persentase
kemampuan kerjasama dari skor responden dapat
dihitung dengan memakai rumus dibawah ini:
5
Sangat rendah
(Sumber: Riduwan dalam Sari, 2016)
Tabel 3. Persentase Kecenderungan kemampuan
kerjasama anak didasarkan pada penilaian
orangtua
No
Aspek Kemampuan Kerjasama Anak
1
Anak mampu berinteraksi dengan teman
kelompoknya
Anak dapat menyelesaikan tugas yang
telah dibagi dalam kelompoknya
Anak dapat membantu teman yang
kesulitan dalam mengerjakan tugas
kelompok
2
3
96
2
3
92
90
88
Anak dapat
menyelesaikan
tugas yang telah
dibagi dalam
kelompoknya
Kecenderungan
kemampuan
kerjasama anak
didasarkan pada
penilaian orangtua
Nomor
pernyataan
1-8
9-17
18-22
(Sumber: Fauziddin, 2016)
Tabel 2. Kriteria Kemampuan Kerjasama anak
didasarkan pada penilaian orangtua
No
Kriteria
96
80
Tabel 1. Kisi-kisi Kuesioner Kemampuan
Kerjasama Anak
1
85,55
82
Keterangan :
% = persentase kemampuan kerjasama anak
berdasarkan penilaian orang tua
n = skor yang diperoleh
N = jumlah seluruh skor
Anak mampu berinteraksi dengan
teman kelompoknya
Anak dapat menyelesaikan tugas
yang telah dibagi dalam
kelompoknya
Anak dapat membantu teman yang
kesulitan dalam mengerjakan tugas
kelompok
86,25
Anak mampu
berinteraksi dengan
teman
kelompoknya
94
84
Aspek yang diamati
Persentase
(%)
Grafik 1. Kecenderungan kemampuan kerjasama
anak didasarkan pada penilaian orangtua
86
No
0-20
Persentase (%)
1
Sangat tinggi
81-100
2
Tinggi
61-80
3
Sedang
41-60
4
Rendah
21-40
Anak dapat
membantu teman
yang kesulitan
dalam mengerjakan
tugas kelompok
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa:
1. Aspek kemampuan berinteraksi dengan teman
kelompoknya rata-rata 86,25% (kriteria sangat
tinggi).
2. Aspek kemampuan menyelesaikan tugas yang
telah dibagi dalam kelompoknya rata-rata 85,55%
(kriteria sangat tinggi).
3. Aspek kemampuan membantu teman yang
kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok ratarata 96% (kriteria sangat tinggi).
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan
tentang Gambaran Kecenderungan Kemampuan
Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan
Surabaya dapat diambil kesimpulan bahwa
kecenderungan kemampuan kerjasama anak Usia 3-4
Tahun di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya
226
Gambaran Kecenderungan Kemampuan Kerjasama AUD di PPT Sekar Arum Jambangan Surabaya
Sumartik, Fifi Khoirul Fitriyah, Tatik Muflihah, Jauharotur Rihlah
tertinggi pada Aspek kemampuan membantu teman
yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok
dan terendah pada Aspek kemampuan menyelesaikan
tugas yang telah dibagi dalam kelompoknya sehingga
Kecenderungan Kemampuan Kerjasama Anak Usia 34 Tahun Di PPT Sekar Arum Jambangan mencapai
rata-rata 89,26% (kriteria sangat tinggi).
Saran
Dengan demikian, kedepannya tugas guru adalah
mempertahankan kemampuan kerjasama anak dengan
tetap memberikan metode-metode pembelajaran yang
sesuai. Salah satu permainan yang dapat
direkomendasikan untuk meningkatkan kerjasama
anak adalah dengan permainan gobak sodor.
Permainan ini terbukti mampu meningkatkan
kemampuan interaksi sosial siswa-siswa sekolah dasar
(Fitriyah, 2019).
Dalam penelitian ini hasilnya dapat digunakan oleh
peneliti selanjutnya terutama yang berkaitan dengan
kemampuan kerjasama anak usia 3-4 tahun terutama
untuk
meningkatkan
aspek
kemampuan
menyelesaikan tugas yang telah dibagi dalam
kelompoknya dengan menggunakan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK).
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, Dian. (2013). Tumbuh Kembang dan Terapi
Bermain pada Anak-Edisi Revisi. Jakarta: Salemba
Medika
Beaty, Janice J. Alih Bahasa oleh Arif Rakhman.
(2015). Observasi Perkembangan Anak Usia Dini.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
EMPATI. Education and Human Development
Journal, 4(1),
95-102.
https://doi.org/10.33086/ehdj.v4i1.1088
Fitriyah, F. K. (2019). PENGARUH PERMAINAN
TRADISIONAL GOBAK SODOR DALAM
BIMBINGAN
KELOMPOK
TERHADAP
PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL ANAK
AUTIS. Education and Human Development
Journal, 4(2),
13-20.
https://doi.org/10.33086/ehdj.v4i2.1293
Kertamuda, Miftahul Achyar. (2015). GOLDEN AGE
Strategi Sukses Membentuk Karakter Emas Pada
Anak Usia Dini. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kurniasih, Imas. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini.
Edukasia.
Kusumaning Ayu, R. F. ., Puspita Sari, S. ., Yunarti
Setiawan, B. ., & Khoirul Fitriyah, F. . (2019).
Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Daerah
Melalui Cerita Rakyat Digital pada Siswa Sekolah
Dasar: Sebuah Studi Pengembangan. Child
Education
Journal, 1(2),
65-72.
https://doi.org/10.33086/cej.v1i2.1356
Morrison, George S. Alih Bahasa oleh Suci
Romadhona dan Apri Widiastuti. (2012). Dasardasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks.
Putra, Erik Ade. 2015. Anak Berkesulitan Belajar Di
Sekolah Dasar Se-Kelurahan Kalumbuk Padang
(Penelitian Deskriptif Kuantitatif).E-JUPEKhu
(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS).
Volume 4. Nomor 3.
Sari, Evi Yunita., dkk. 2016. Profil Kemampuan
Kerjasama Siswa Dalam Pembelajaran Ipa (Studi
Deskriptif pada Siswa Kelas IV dan V Semester
Genap SD Negeri 1 Rajabasa Jaya Bandar
Lampung Tahun Ajaran 2015/2016)
Douglas, Ann. Alih Bahasa oleh Bambang Ryadi
Soetrisno. (2009). Buku Batita Terlengkap. Jakarta:
Dian Rakyat.
Einon, Dorothy. Alih Bahasa oleh Ariy Nilandari.
(2008). Learning Early. Jakarta: Dian Rakyat.
Fauziddin, Moh. 2016. Peningkatan Kemampuan
Kerja Sama melalui Kegiatan Kerja Kelompok
Pada Anak Kelompok A TK Kartika Salo
Kabupaten Kampar. Jurnal PGPAUD STKIP PTT
Volume 2 Nomor 1 Halaman 29 – 45
Fitriyah, F.K. (2017). REDUCING AGGRESSIVE
BEHAVIOR USING SOLUTION-FOCUSED
BRIEF
COUNSELING
(SFBC).
Jurnal
Bimbingan Konseling Indonesia, Volume 2 Nomor
2 bulan September 2017. Halaman 34-39,
DOI: http://dx.doi.org/10.26737/jbki.v2i2.254.
Fitriyah, F. K. (2019). PENGARUH PERILAKU
AGRESIF
PADA
ANAK
USIA
DINI
TERHADAP
KECEMASAN
DAN
227
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASI DENGAN PERILAKU INOVATIF PADA
MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Erlina Yupra Handayani
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, erlina17010664003@mhs.unesa.ac.id
Aulia Rahmah
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, aulia17010664013@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Perkembangan zaman membuat persaingan antara organisasi satu dengan organisasi lain semakin
ketat, tak terkecuali organisasi dalam lingkup UNESA. Untuk menjawab persoalan tersebut,
organisasi dalam lingkup UNESA perlu mengembangkan sikap inovatif agar dapat terus berkembang
dan kompetitif dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Penelitian-penelitan terdahulu menemukan
indikasi bahwa terdapat hubungan antara komitmen organisasi dengan perilaku inovatif individu
dalam lingkup organisasi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan
anatara komitmen organisasi dengan perilaku inovatif pada mahasiswa UNESA. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner dengan uji
hipotesis menggunakan uji korelasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa koefisien korelasi (r)
sebesar 0.406 yang menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara kedua variabel tersebut.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa komitmen organisasi dengan variabel inovatif
berhubungan secara positif pada aspek komitmen afektif dari hasil uji regresi sebesar 0.316 atau
sebesar 31.6% , sehingga dapat disimpulkan bahwa makin tinggi seorang mahasiswa memiliki
komitmen organisasi, makin tinggi pula perilaku inovatif yang dapat ia capai. Begitu pula sebaliknya,
makin rendah komitmen organisasi yang ia miliki, makin rendah pun perilaku inovatif yang dapat
mahasiswa tersebut capai.
Kata Kunci: perilaku inovatif, komitmen organisasi, mahasiswa.
PENDAHULUAN
Inovatif merupakan perilaku dalam suatu rangkaian
kerja yang secara bertahap dilakukan oleh individu
dalam mengembangkan dan/atau meningkatkan
perilaku kerja yang lebih efektif (De Jong & Hartog,
2010).
Sedangkan menurut Gaynor (dalam
Prayudhayanti, 2014), inovatif diartikan sebagai
tindakan dalam menciptakan dan mengadaptasi ide,
pemikiran, ataupun cara baru yang kemudian
diterapkan dalam suatu kegiatan atau pekerjaan. Selain
itu, menurut Janssen (2000), perilaku inovatif
merupakan
pengenalan,
pembuatan,
dan
pengaplikasian ide baru dalam pekerjaan agar dapat
meningkatkan kinerja individu, kelompok, ataupun
suatu organisasi. Melalui pernyataan-pernyataan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa inovatif merupakan
perilaku individu dalam menciptakan ide-ide baru yang
dapat diterapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.
Dewasa ini, mahasiswa semakin dituntut untuk
menjadi lebih inovatif dalam lingkup kelompok atau
organisasi, tak terkecuali pada mahasiswa UNESA. Hal
tersebut bertujuan agar organisasi tersebut dapat
berkembang dan bersaing dalam memenuhi dan
mencapai tujuan organisasi. Organisasi yang inovatif
dinilai lebih unggul dalam merespon tantangan
lingkungan secara cepat dan baik jika dibandingkan
dengan organisasi yang tidak inovatif (Damanpour &
Gopalakrishnan, 1998). Tidak heran jika banyak
organisasi yang mulai menempatkan inovasi sebagai
salah satu dari visi dan misi atau kemampuan yang
wajib dimiliki oleh anggotanya.
Meskipun begitu, bukan hal yang mudah untuk
melakukan perilaku invofatif. Inovatif merupakan
perilaku yang harus terus diasah dan dikembangkan,
bukan sekedar suatu kecerdasan yang dibawa sejak
lahir. Agar mahasiswa mampu mengembangkan
perilaku inovatif, maka organisasi harus mendukung
dan memfasilitasi mahasiswa dalam mengembangkan
perilaku inovatif. Langkah tersebut dapat menjadi
investasi yang cukup menguntungkan bagi organisasi
agar dapat mempertahankan keunggulannya. Perilaku
inovatif dapat menjadi faktor penting dalam
mendorong keberhasilan organisasi (Yuan &
Woodman, 2010).
Jansen (2000) menyatakan bahwa terdapat tiga
macam aspek yang dapat mengukur perilaku inovatif,
yaitu:
a. Menghasilkan Ide
Individu mampu menciptakan ide dan solusi yang
baru ketika ia dihadapkan pada suatu masalah yang
terjadi dalam organisasi. Ide dan solusi ini bisa
bersifat orisinil ataupun diadaptasi dari ide yang
sebelumnya telah ada.
228
Hubungan antara Komitmen Organisasi dengan Perilaku Inovatif pada Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Erlina Yupra Handayani, Aulia Rahmah
b. Mempromosikan Ide
Individu mencari dan memperoleh dukungan dari
rekan yang lain dengan cara mempromosikan ide
dan solusi baru yang ia buat. Dukungan t