Berdasarkan data tahun 2019, jumlah anak di Indonesia berada pada posisi 31,6% atau 84,4 juta. Hal ini mengalami kenaikan dari angka sebelumnya yaitu 80 juta. Dari jumlah anak tersebut, tidak semuanya berada dalam keluarga yang utuh dan ada sejumlah anak-anak yang masuk dalam kategori penyandang disabilitas

Nahar, SH., M.Si., Plt. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA mengatakan, angka tersebut bukanlah angka sedikit sehingga patut mendapat perhatian serius. Semua pihak perlu melakukan langkah-langkah untuk memberikan hak yang layak bagi mereka, khususnya anak-anak penyandang disabilitas.

“Kita harus memberikan upaya pemenuhan hak pada anak-anak khususnya bagi anak-anak penyandang disabilitas yang masih memiliki persoalan terkait stigma, bullying dan masih banyak lagi,” tutur Nahar dalam webinar bertajuk Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas di Satuan Pendidikan pada Rabu, 24 Maret 2021.

Berdasarkan data tahun 2019, lanjut Nahar, anak disabilitas usia 2 sampai 17 tahun berdasarkan tempat tinggal dan jenis kelamin ada dalam angka 0,79%. Sementara persentase anak disabilitas usia 7 sampai 17 tahun berdasarkan partisipasi sekolah mengalami kesulitan untuk bisa bersekolah. Bahkan ketika ada sekolah khusus pun anak-anak masih memiliki keterbatasan seperti keterbatasan guru serta sarana dan prasarana.

“Akan tetapi sekarang kondisi kebutuhan guru dan sarana untuk anak disabilitas sudah jauh lebih baik. Saya mengucapkan terima kasih kepada Kemendikbud sudah memberikan upaya terbaiknya. Karena kita tahu anak penyandang disabilitas adalah bagian dari anak yang memerlukan perlindungan khusus,” ujar Nahar.

Berbicara anak yang menyandang disabilitas, setiap negara harus memenuhi kewajibannya. Salah satunya adalah menyusun atau menyempurnakan regulasi perlindungan anak-anak disabilitas. Oleh karena itu setiap tahun Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan upaya untuk terus mengevaluasi sistem perlindungan anak di daerah melalui pendekatan kabupaten kota layak anak.

Dari pendekatan kabupaten kota layak anak tersebut kemudian menghasilkan evaluasi diantaranya memperoleh catatan tentang aksesibilitas anak penyandang disabilitas, keterbatasan guru khusus yang menangani anak penyandang disabilitas di sekolah.

“Selain itu juga mendapatkan informasi terkait minimnya sarana prasarana yang ramah anak penyandang disabilitas, perundungan atau bullying terkait kondisi anak penyandang disabilitas masih tinggi, serta informasi terkait kekerasan fisik, psikis dan seksual dari pendidik, tenaga kependidikan atau sesama peserta didik,” Nahar memaparkan.

Kerentanan anak mengalami kekerasan dalam pendidikan berdasarkan tahun pelaporan yang diakses tanggal 23 Maret tahun 2019, ada sekitar 946 dari 12.031 anak sebagai korban kekerasan di lingkungan sekolah. Namun pada tahun 2020 mengalami penurunan yaitu korban menjadi 619 dari 12.482 anak, dan tahun 2021 menjadi 35 dari 1.355 anak korban mengalami kekerasan di lingkungan sekolah.

“Kita berharap upaya-upaya penyediaan akomodasi yang layak perlu terus dipastikan, bahwa itu bermanfaat untuk anak-anak penyandang disabilitas. Oleh karena itu peran Kementerian PPPA memastikan bahwa penguatan sekolah-sekolah yang menginisiasi menjadi sekolah ramah anak terus kita kawal. Kami juga melakukan evaluasi setiap tahun melalui penghargaan kepada wilayah-wilayah yang memastikan sekolah-sekolahnya sudah ramah anak,” tutupnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud menyampaikan masih banyak persoalan pendidikan bagi anak penyandang disabilitas yang harus diurai.

Kewajiban pemerintah terhadap peserta didik penyandang disabilitas berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 adalah memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Pendidikan untuk penyandang disabilitas dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusi dan pendidikan khusus. Mengikutsertakan anak penyandang disabilitas dalam program wajib belajar 12 (dua belas) tahun. Mengutamakan anak penyandang disabilitas bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya. Memfasilitasi penyandang disabilitas yang tidak berpendidikan formal untuk mendapatkan ijazah pendidikan dasar dan menengah melalui program kesetaraan.

Kemudian menyediakan beasiswa untuk peserta didik penyandang disabilitas berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Menyediakan biaya pendidikan untuk anak dari penyandang disabilitas yang tidak mampu membiayai pendidikannya. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga wajib memfasilitasi Lembaga Penyelenggara Pendidikan dalam menyediakan akomodasi yang layak.

“Selain itu, fasilitasi penyediaan akomodasi yang layak oleh Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pendidikan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama sesuai dengan kewenangannya. Serta fasilitasi penyediaan akomodasi yang layak oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya,” papar Sri Wahyuningsih.

Sementara itu, lanjutnya, hak pendidikan untuk penyandang disabilitas berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 diantaranya hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus. Hak untuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

Hak untuk mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; dan Hak untuk mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.

“Hak pendidikan untuk penyandang disabilitas berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 lainnya adalah setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus dan pendidikan khusus dapat dilaksanakan melalui lembaga pendidikan khusus (SLB) atau inklusif (terintegrasi ke dalam lembaga pendidikan reguler),” paparnya.

Pendidikan inklusif sendiri adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pendidikan inklusif memiliki berbagai macam tujuan antara lain memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Dan memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

”Tidak hanya itu, penyediaan akomodasi yang layak di bidang pendidikan juga bertujuan yang baik yaitu untuk menjamin terselenggaranya atau terfasilitasinya pendidikan untuk peserta didik penyandang disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal ini dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus,” ujar Sri Wahyuningsih.

Beliau melanjutkan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang sesuai kewenangannya wajib memfasilitasi satuan pendidikan atau lembaga penyelenggara pendidikan dalam menyediakan akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas.

“Paling sedikitnya melalui penyediaan dukungan anggaran atau bantuan pendanaan, penyediaan sarana prasarana, penyiapan serta penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan, dan penyediaan kurikulum,” ujar Sri Wahyuningsih.

Direktorat Sekolah Dasar sendiri sudah melakukan berbagai upaya untuk memberikan hak layak pendidikan bagi anak penyandang disabilitas melalui berbagai program diantaranya, mendorong kab/kota dalam upaya perlindungan anak disabilitas di satuan pendidikan jenjang sekolah dasar, khususnya dalam hal penghapusan 3 Dosa Pendidikan yaitu Intoleransi, Kekerasan Seksual dan Perundungan.

Melakukan pendampingan pencegahan kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan termasuk di dalamnya anak disabilitas. Memberikan pendampingan penguatan pendidikan karakter dalam rangka pencegahan perundungan di sekolah dasar.

“Kami juga memberikan pendampingan peserta didik termasuk peserta didik penyandang disabilitas seperti pendampingan psikososial peserta didik sekolah dasar masa pandemi dalam implementasi pembelajaran jarak jauh. Dan memberikan pendampingan peserta didik di bidang ekstrakurikuler kepramukaan sebagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan kemampuan dan peningkatan pembentukan kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan,” paparnya. (Hendriyanto)