(PDF) Surveilans Epidemiologi | Achmad Rizki Azhari - Academia.edu
TUGAS TAKE HOME EXAMINATION MK SURVEILANS EPIDEMIOLOGI SEMESTER 4 (2 SKS) DISUSUN OLEH: ACHMAD RIZKI AZHARI NIM 25010113140258 KELAS D-2013 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO JUNI 2015 1.1. Definisi Surveilans Epidemiologi  Menurut German (dalam Kesmas, 2013), surveilans kesehatan masyarakat (public health surveillance) adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus berupa pengumpulan data secara sistematik, analisis dan interpretasi data mengenai suatu peristiwa yang terkait dengan kesehatan untuk digunakan dalam tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya mengurangi angka kesakitan dan kematian, dan  meningkatkan status kesehatan. Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). 1.2. Prinsip Umum Surveilans Epidemiologi Prinsip umum survelian epidemiologi adalah sebagai berikut (Eko Budiarto, 2003) : a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk. Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan masyarakat, dan petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang diamati. Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk; Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi; Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB. b. Pengelolaan data Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut harus dapat memberikan keterangan yang berarti. c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam masyarakat. d. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya. e. Evaluasi Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan. 1.3. Fungsi Surveilans Epidemiologi Surveilans epidemiologi pada umumnya berfungsi untuk (Amiruddin, 2013) :   Mengetahui dan melengkapi gambaran epidemiologi dari suatu penyakit  Meramalkan kejadian wabah  Menentukan penyakit apa yang diprioritaskan untuk diobati atau diberantas Menilai dan memantau pelaksanaan program pemberatasan penyakit menular, serta program-program kesehatan lainnya seperti program mengatasi kecelakaan, program  1.4. kesehatan gigi, dan program gizi Mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan Unsur Dasar Surveilans Epidemiologi Unsur-unsur surveilans epidemiologi untuk penyakit, khususnya penyakit menular, adalah sebagai berikut (Amiruddin, 2013) : a. Pencatatan Kematian Pencatatan kematian yang dilakukan di tingkat desa dilaporkan ke kantor kelurahan lalu ke kantor kecamatan dan Puskesmas. Sementara itu dari kantor kecamatan, pencatatan tersebut dikirim ke kantor kapupaten/kota. Unsur ini akan bermanfaat bila data pada pencatatan kematian cepat diolah dan hasilnya segera diberitahukan kepada yang berkepentingan. b. Laporan Penyakit Unsur ini penting untuk mengetahui distribusi penyakit menurut wajtu, apakah musiman, cylic, atau secular. Dengan demikian dapat diketahui pula ukuran endemis suatu penyakit. Jenis data yang diperlukan sesederhana mungkin, Contohnya variabel orang cukup dicatat nama dan umurnya, variabel tempat cukup alamatnya. Diagnosis penyakit dan waktu mulai timbulnya penyakit merupakan hal yang penting dicatat. c. Laporan Wabah Laporan wabah dengan distribusi penyakit menurut waktu, tempat, dan orang penting artinya untuk menganalisis dan menginterpretasikan data dalam rangka mengetahui sumber dan penyebab wabah tersebut d. Pemeriksaan Laboratorium Laboratorium merupakan suatu sarana yang penting untuk mengetahui kuman penyebbab penyakit menular dan pemeriksaan tertentu untuk penyakitpenyakit lainya, misalnya kadar gula darah untuk penyakit diabetes mellitus. e. Penyakit Khusus Penyelididkan kasus untuk penyakit khusus dimaksudkan untuk mengetahui riwayat alamiah penyakit yang belum belum diketahui, terjadi pada seorang atau lebih individu. f. Penyelidikan Wabah Bila terjadi lonjakan frekuensi penyakit yang melebihi frekuensi biasa, perlu diadakan penyelidikan wabah denan analisis data sekunder sehingga dapat diketahui terjadinya letusan tersebut. Dalam hal ini diperlukan diagnosis klisis dan diagnosis labiratoris disamping penyelidikan epidemic di lapangan. g. Survei Survei ialah suatu cara penelitian epidemiologi untuk mengetahui prevalens penyakit. Dengan ukuran ini dapat diketahui luas masalah penyakit tersebut. Setelah survey pertama dilakukan, berikan pengobatan terhadap penderita sehingga survey kedua dapat ditentukan keberhasilan pengobatan tersebut. h. Penyelidikan Tentang Distribusi Vector Dan Reservoir Penyakit Penyakit zoonis terdapat pada manusia dan hewan. Sehingga dalam hal ini manusia dan hewan merupakan reservoir. Penyakit pada hewan diselidiki oleh dokter hewan dan penyakit akibat vector seranggga diselidiki oleh ahli entomologis. i. Penggunaan Obat-Obatan, Sera, Dan Vaksin Keterangan yang menyangkut penggunaan bahan-bahan tersebut mengenai banyaknya, jenisnya , dan waktunya memberi petunjuk kepada kita mengenai masalah penyakit. Disamping itu, dapat pula dikumpulkan keterangan mengenai efek samping dari bahan-bahan tersebut j. Keterangan Tentang Penduduk Serta Lingkungan Keterangan penduduk penting untuk menetapkan “population at risk”. Persediaan bahan makanan juga penting diketahui apakah ada hunbungan kekurangan gizi, faktot-faktor lain yang berhubungan dengan kependudukan, dan lingkungan ini perlu selalu dipikirkan dalam rangka analisis epidemiologis. Data atau keterangan mengenai kependudukan dan lingkungan itu tentu harus didapat di lembaga-lemabaga nonkesehatan. 1.5. Lingkup Surveilans Epidemiologi Ruang lingkup surveilans epidemiologi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 pasal 4 ayat 1 adalah : a) Surveilans epidemiologi penyakit menular Merupakan analisis terus menerus dan sistematika terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk upaya pemberantasan penyakit menular. b) Surveilans epidemiologi penyakit tidak menular Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular. c) Surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungan. d) Surveilans epidemiologi masalah kesehatan Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan factor risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu. e) Surveilans epidemiologi kesehatan matra Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra 1.6. Pertimbangan Melakukan Survailans Epidemiologi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 pasal 5, penyelenggaraan surveilans kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ruang lingkup diatas dapat dilaksanakan secara terpadu yang didasarkan pada pertimbangan efektifitas dan efisiensi sesuai kebutuhan program 1.7. Indikator Pengukuran Penyakit Pengukuran penyakit/epidemiologis terdiri atas (M.N. Bustan, 2006) : 1) Angka (Rate) Nilai rate mengukur kemungkinan kejadian dalam populasi terhadap beberapa peristiwa tertentu. Contohnya adalah :  Angka Insidensi (Incidence Rate) Angka Insidensi adalah suatu ukuran freakuensi kejadian kasus baru penyakit  dalam suatu populasi tertentu selama suatu periode waktu tertentu Angka serangan (Attack Rate) Angka serangan adalah angka insidensi, biasanya dinyatakan dalam persen dan diterapkan terhadap populasi tertentu yang sempit dan terbatas pada suatu  periode, misalnya dalam suatu wabah (epidemic) Angka kematian Angka kematian adalah suatu ukuran frekuensi terjadinya kematian dalam suatu populasi tertentu selama suatu masa jeda tertentu. 2) Proporsi Distribusi proporsi adalah suatu persen yakni proporsi dari jumlah peristiwa-peristiwa dalam kelompok data yang mengenai masing-masing kategori (atau subkelompok) dari kelompok itu. 3) Rasio Rasio adalah suatu pernyataan frekuensi nisbi kejadian suatu peristiwa terhadap peristiwa lainnya. 1.8. Indikator Surveilans Indikator surveilans adalah sebagai berikut (Wahyudin Rajab, 2009) : a. Spesific (spesifik) b. Measurable (dapat diukur) c. Action oriented (orientasi pada aksi) d. Realistic (realistis) e. Timely (tepat waktu) 2.1. Penyakit yang Dilaporkan dan Mekanisme Pelaporan  Penyakit yang Dilaporkan Penyakit yang dilaporkan dalam surveilans menurut pasal 4 ayat (2) dan (3) PMK no 45 Tahun 2014 adalah : a) Penyakit menular  Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi;  Penyakit demam berdarah;  Penyakit malaria;  Penyakit zoonosis;  Penyakit filariasis;  Penyakit tuberkulosis;  Penyakit diare;  Penyakit tifoid;  Penyakit kecacingan dan penyakit perut lainnya;  Penyakit kusta;  Penyakit frambusia;  Penyakit HIV/AIDS;  Penyakit hepatitis;  Penyakit menular seksual  Penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi saluran pernafasan akut berat (severe acute respiratory infection). b) Penyakit tidak menular  Penyakit jantung dan pembuluh darah;  Diabetes melitus dan penyakit metabolik;  Penyakit kanker;  Penyakit kronis dan degeneratif;  Gangguan mental;   Gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan. Mekanisme Pelaporan Alur Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit : Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/Sk/X/2003 2.2. Definisi Statistik Vital Data statistik vital disebut juga kejadian vital yang mengacu pada proses pengumpulan data dan penerapan metode statistik dasar pada data tersebut guna mengidentifikasi faktafakta kesehatan yang vital di dalam sutau masyarakat, populasi atau wilayah tertentu. Data morbiditas, mortalitas, pernikahan, perceraian, kelahiran semuanya merupakan data statistik vital. (Efendi, 2009). 2.3. Tujuan Statistik Vital Mempublikasikan data kesehatan yang berguna sekali bagi evaluasi aktivitas, perencanaan, dasar tindak lanjut suatu pemantauan dan penelitian (Slamet, 2004). 2.4. Manfaat Statistik Vital Manfaat dari statistik vital adalah digunakan untuk mengevaluasi status kesehatan masyarakat dari kejadian yang terjadi sehari-hari. Selain itu, kegunaan statistik vital, antara lain (Lintang, 2015a): a. Mengidentifikasi perbedaan status kesehatan dalam kelompok-kelompok b. Menilai perbedaan berdasarkan area geografik dan pekerjaan c. Memonitor kematian yang dapat dicegah d. Menghasilkan hipotesis mengenai sebab atau korelasi yang mungkin berhubungan e. Melaksanakan aktivitas perencanaan kesehatan f. Memantau kemajuan kearah tujuan kesehatan 2.5. Pengkodean (Coding) Pengkodean adalah suatu kegiatan pemberian kode atau symbol pada keteranganketerangan tertentu, kalau pengolahan akan diakukan dengan computer elektronik. (Supranto, 2007). Pengkodean (coding) adalah prosedur teknis dimana data mentah diubah menjadi symbol-simbol. Simbol-simbol ini paling sering berupa angka-angka karena dapat ditabulasi dan dihitung dengan lebih mudah. (Churchill, 2005). 2.6. Klasifikasi Statistik Vital Data statistic vital terdiri atas (Wahyudin Rajab, 2009) : 1. Angka Kesakitan (Morbiditas) dan Usia Harapan Hidup Setiap gangguan di dalam fungsi maupun struktur tubuh seseorang dianggap sebagai penyakit. Penyakit, sakit, cedera, gangguan dan sakit, semuanyadikategorikan di dalam istilah tunggal yaitu morbiditas. Morbiditas (kesakitan) merupakan derajat sakit, cedera atau gangguan padasuatu populasi. Morbiditas juga merupakan suatu penyimpangan dari status sehat dan sejahtera atau keberadaan suatu kondisi sakit. Morbiditas juga mengacu pada angka kesakitan yaitu: jumlah orang yang sakit dibandingkan dengan populasi tertentu yang sering kali merupakan kelompok yang sehat atau kelompok yang beresiko. Di dalam epidemiologi, ukuran utama morbiditas adalah: Angka Insidensi dan Prevalensi dan berbagai ukuran turunan dari kedua indikator tersebut. Setiap kejadian penyakit, kondisi gangguan atau kesakitan dapat diukur dengan Angka Insidensi dan angka prevalensi. Keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial ekonomi pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduk dari suatu negara. Meningkatnya perawatan kesehatan melalui puskesmas, meningkatnya daya beli masyarakat akan meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, mampu memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, mampu mempunyai pendidikan yanglebih baik sehingga memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, yang pada gilirannya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidupnya. Angka harapan hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerjapemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. 2. Angka kelahiran dan angka kelahiran kasar Angka kelahiran (birth rate) suatu populasi biasanya merupakan angka kasar (crude rate) dan angka ini mengacu pada keseluruhan populasi. Saat menggunakan angka kasar (kelahiran maupun kematian) perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap penggunaan rate spesifik dan distribusi usia karena karaktaristik penduduk sangat beragam sehingga angka kasar juga menjadi beragam dan tidak akurat. Usia merupakan variable yang dapat menyebabkan semua rate pada keseluruhan populasi menghasilkan data yang beragam pada kelompok yangberlainan. Angka kelahiran kasar (crude rate birth) dan angka kematian kasar merupakan indikator yang sangat berguna karena memberikan informasi ringkas,sekaligus data statistic umum dari populasi yang besar. Angka kasar (crude rate) dapat dipakai dalam perbandingan internasional sekaligus dalam perbandinganumum kejadian vital selama beberapa waktu. 3. Angka Kematian Akta kematian juga termasuk dokumen yang penting bagi keluarga yang ditinggal. Alasan yang paling penting akta kematian sangat dibutuhkan adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum. Kematian ditangani dengan serius dan hokum memberikan perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya kematian akibatkesalahan melalui penelusuran dan pendataan kematian dengan metode yang ketat. Kematian harus diregistrasi dan jika ada sesuatu yang mencurugakan, kematiantersebut akan diselidiki termasuk melakukan autopsy. Akta kematian juga dibutuhkan untuk mengajukan klaim pensiun dan asuransi jiwa. Angka kematian dan data relevan diperoleh dari proses registrasi akta kematian. 4. Data statistik perkawinan dan perceraian Status perkawinan memengaruhi struktur keluarga, status sosial ekonomi, kesehatan mental, akses ke layanan kesehatan dan berbagai faktor lain yang berkaitan dengan status kesehatan. 2.7. Perhitungan Rate Rate adalah perbandingan antara suatu kejadian dengan jumlah penduduk yang mempunyai risiko kejadian tersebut, menyangkut interval waktu tertentu. Rate untuk menyatakan dinamika dan kecepatan kejadian dalam suatu populasi masyarakat tertentu. Contohnya, penyakit campak berisiko pada balita dan penyakit cancer servik berisiko pada wanita. (Eko Budiarto, 2003). 2.8. Kendali Mutu Data statistik vital mencakup data populasi yang dipadukan dengan informasi yang berkaitan dengan status kesehatan, penyakit, cedera, dan peristiwa kematian. Singkatnya, data statistik vital terdiri atas semua data penduduk ditambah dengan data yang berkaitan dengan kesehatan (penyakit). Informasi yang diperoleh dari pengumpulan, analisis, dan distribusi data penting untuk perencanaan dan prediksi pergerakan dan perubahan penduduk. Informasi kematian dan kelahiran merupakan inti dan sangat berguna di dalam perencanaan layanan kesehatan (Ferry Efendi, 2009). 3.1. Definisi Surveilans Sentinel Surveilans Sentinel adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas. (Dinkes Kota Semarang, 2004) 3.2. Sentinel Peristiwa Kesehatan “A Sentinel Health Event (SHE) is a preventable disease, disability, or untimely death whose occurrence serves as a warning signal that the quality of preventive and/or therapeutic medical care may need to be improved”. (David, 1983). Jika diartikan menjadi “sentinel kejadian kesehatan yakni berupa kejadian penyakit, kecacatan atau kematian yang dapat menjadi tanda penting bahwa upaya preventif atau pengobatan yang sedang dijalankan perlu melakukan perbaikan”. 3.3. Tempat Sentinel Tempat-tempat yang dipilih tidak begitu penting karena mewakili suatu area tertentu. Tempat-tempat sentinel dapat memberikan suatu gambaran yang lebih konsisten terhadap kesakitan didalam suatu area tertentu dibanding pada pelaporan rutin (Amiruddin, 2013). Tempat-tempat sentinel seperti rumah sakit, klinik, provinsi dan pusat kesehatan masyarakat. Peranan tempat sentinel yaitu memantau kondisi yang informasi lain tidak tersedia dan memantau kondisi dalam subkelompok yang rentan daripada populasi umum. Di bawah ini terdapat penjelasan dua tempat sentinel :  Puskesmas sentinel Puskesmas Sentinel adalah satu buah Puskesmas yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai Puskesmas Sentinel dengan memperhatikan sumber daya puskesmas dan kemampuan pembinaan .(Keputusan Menteri Kesehatan  Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/Sk/X/2003) Rumah sakit sentinel Rumah Sakit Sentinel adalah Rumah Sakit Pemerintah tipe A, tipe B dan sebuah Rumah Sakit tipe lain di Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai Rumah Sakit Sentinel. (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/Sk/X/2003). 3.4. Petugas Sentinel Staf (pegawai) pada daerah kerja sentinel diberikan pelatihan dan pengawasan khusus untuk meyakinkan bahwa pelaporan lengkap dan akurat (Amiruddin, 2013). Pertugas entinel bertugas untuk melaporkan data surveilans, meningkatkan mutu data, dan dapat menghitung serta mengestimasi morbiditas penyakit. 4.1. Register (Registrasi) Registrasi merupakan pencatatan yang terus menerus mengenai kejadian vital (kelahiran, kematian, status perkawinan, abortus, penyakit yang harus dilaporkan, dan riwayat penyakit menular tertentu) yang dialami penduduk. (Ferry dan Makhfudli, 2009). 4.2. Manfaat Register Manfaat register adalah memberikan perhatian pada penyakit yang menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat seperti tuberkulosis, kanker, demam reumatik dan penyakit jiwa. Semua kasus baru yang didiagnosis diidentifikasi melalui pelaporan rutin ke Dinas Kesehatan. (Fatkurahman, 2012). 4.3. Tipe Register Ada 2 registrasi yang digunakan untuk surveilans rutin yaitu: - Registrasi Klinik: semua program puskesmas yang berjalan telah diregistrasi, dimana hal tersebut dapat digunakan untuk surveilans penyakit atau program. - Registrasi Lapangan: bentuk ini dirancang untuk mengumpulkan data pada peristiwa kelahiran, kematian, imunisasi, diare dan status gizi tentang semua anak berusia dibawah lima tahun, serta kehamilan dan status imunisasi dari semua wanita menikah didalam rumah tangga. Sedangkan tipe register (Lintang, 2015a) yaitu:    4.4. Serial kausal dan didasarkan rumah sakit Didasarkan populasi Didasarkan pemajan Manfaat Survey Untuk memperkirakan tingkatan suatu penyakit atau kondisi pada suatu area tertentu. Survei adalah cara yang aktif dan cepat untuk mendapatkan keterangan mengenai keadaan suatu penyakit dimasyarakat. (Amiruddin, 2013). Survei bermanfaat untuk menyediakan informasi untuk penilaian prevalens kondisi kesehatan dan risiko, memantau perubahan dalam prevalens sepanjang waktu, dan menilai pengetahuan, sikap dan perilaku. 4.5. Perbedaan Register dan Survey Register dilakukan dari penyedia layanan kesehatan umum dan swasta yang menyediakan laporan kelahiran, kematian, dan data terseleksi lainnya kepada suatu sistem pusat. Sedangkan survey biasanya dilakukan secara periodik untuk memperkirakan suatu penyakit atau kematian dan merekomendasikan tindakan pencegahan jikalau hal tersebut terulang. (Amiruddin, 2013). Sehingga dapat disimpulkan perbedaan dari register dan survey adalah sebagai berikut : Survei Register Waktu tidak harus ditentukan secara Idealnya dilakukan setiap saat periodik (dapat dilaksanakan kapanpun sesuai kebutuhan) Populasi umumnya mewakili sumber Seluruh populasi 4.6. sumber populasi dicatat (deregister) Tipe Survey Tipe-tipe survey yaitu sebagai berikut (Fatkurahman, 2012) :  4.7.  Survey Morbiditas  Survey Pemeriksaan Kesehatan  Survey Nasional Pertumbuhan Keluarga  Survey Pelayanan Medis Rawat Jalan  Survey Wawancara Kesehatan  Survey Pencatatan Kesehatan  Survey yang berkaitan dengan catatan vital Survey untuk penyakit-penyakit tertentu, misalnya kanker Tipe Sistem Administratif Pengumpulan Data Terdapat lima tipe sistem administrative pengumpulan data, yaitu (Lintang, 2015a):      5.1. Ketersediaan dan kegunaan Sistem informasi kesehatan terpadu Sistem data pelaksanaan rumah sakit Pengumpulan data ruang emergensi Data rawat jalan Tahap-Tahap Perencanaan Surveilans Kesehatan Masyarakat Terdapat 8 tahapan dalam perencanaan surveilans kesehatan masyarakat, yaitu (Lintang, 2015b): 1. Menetapkan tujuan 2. Mengembangkan definisi kasus 3. Mengembangkan sistem pengumpulan data 4. Mengembangkan instrumen pengumpulan data 5. Menguji metode dilapangan 6. Mengembangkan pendekatan analisis data 7. Menentukan mekanisme diseminasi (penyebaran) 8. Menentukan metode evaluasi 5.2. Rasional (Alasan-Alasan) Untuk Setiap Tahap Perencanaan Alasan-alasan untuk setiap tahap perencanaan surveilans kesehatan masyarakat, yaitu (Amiruddin, 2013): 1. Menetapkan tujuan Sebelum merancang suatu sistem, sangat penting untuk menentukan tujuan yang jelas. 2. Mengembangkan definisi kasus Definisi kasus ini perlu dikembangkan agar semua petugas kesehatan menggunakan definisi dan criteria yang sama untuk mendiagnsis suatu penyakit spesifik. 3. Mengembangkan sistem pengumpulan data Secara mendasar, sistem pengumpulan data perlu diseleksi untuk tiap-tiap indicator. Hal ini berarti akan diputuskan apakah mengumpulkan data dari pelaporan rutin, menyusun suatu sistem sentinel, atau melakukan suatu survey untuk mengumpulkan data. 4. Mengembangkan instrumen pengumpulan data Instrument pengumpulan data merupakan perlengkap yang digunakan didalam surveilans rutin dan sentinel. 5. Menguji metode dilapangan Untuk mengumpulkan masalah dalam sistem pengumpulan data, mengidentifikasi masalah-masalah validitas, mengoreksi masalah-masalah sistem pengumpulan data sebelum pelaksanaan. 6. Mengembangkan pendekatan analisis data Untuk menjamin bahwa sumber data dan proses pengumpulan adekuat/memadai 7. Menentukan mekanisme diseminasi (penyebaran) Diseminasi informasi dimaksudkan untuk memberikan informasi yang dapat dimengerti kemudian dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya pengendalian dan evaluasi serta kesimpulan analisis. 8. Menentukan metode evaluasi Evaluasi sistem surveilans perlu dilakukan agar memberikan rekomendasi untuk perbaikan kualitas dan efisiensi. 5.3. Aktivitas Yang Dilakukan Dalam Setiap Tahap Perencanaan Aktivitas yang dilakukan dalam setiap tahap perencanaan surveilans kesehatan masyarakat, yaitu (Amiruddin, 2013): 1. Menetapkan tujuan Langkah untuk mengkhusukan kegiatan surveilans:    Kegunaan surveilans Penggunaan informasi yang dihasilkan oleh sistem, ruang lingkup surveilans Kelompok sasaran yang akan diamati 2. Mengembangkan definisi kasus Pengembangan definisi kasus sebaiknya didiskusikan dalam kelompok sehingga keseluruhan poin penting dari sudut pandang diperhatikan. Definisi digunakan untuk masing-masing penyakit yang rencananya akan diamati. Faktor yang mempengaruhi pada definisi kasus: peningkatan pengetahuan, kriteria pendefinisian kasus. 3. Mengembangkan sistem pengumpulan data Jika suatu prosedur surveilans telah dipilih, muailah merancang prosedur pengumpulan data. Hal ini memuat 3 langkah:    Mengembangkan definisi operasional kasus Mengembangkan atau memperbaiki perlengkapan pengumpulan data dan pencatatan data Pengujian perlengkapan Tipe sistem pengumpulan data: 1. Sistem pencatatan vital 2. Kumpulan data yang ada 3. Pencatatan/registrasi atau survei yang ada 4. Mengembangkan instrumen pengumpulan data Ada 3 jenis perlengkapan yang dapat digunakan didalam surveilans rutin dan sentinel yaitu registrasi, kuesioner suvei dan protkol pengujian kasus. Setelah mengembangkan instrumen pengumpulan data, sebaiknya diuji dibawah kondisi normal (mencoba diluar program untuk melihat apakah instrument tersebut mudah dipahami oleh staf, mudah digunakan dan menghasilkan jenis data yang dibutuhkan). 5. Menguji metode dilapangan Dilakukan seleksi terhadap prosedur pengumpulan data untuk tiap indikator. Perlu dipertimbangkan pilihan secara teliti, khususnya jika menyusun suatu sistem pelaporan sentinelyang baru. Hal ini bisa saja memakan waktu dan biaya, khususnya jika kebutuhan pelaporan besar. 6. Mengembangkan pendekatan analisis data Analisis sebaiknya dilakukan pada tiap tingkatan sistem surveilans. Kegunaan analisis adalah untuk mengidentifikasi pola penyakit dan mengidentifikasi penyebab penyakit atau kematian. 7. Menentukan mekanisme diseminasi (penyebaran) Dalam menentukan mekanisme diseminasi, perlu merancang strategi diseminasi yang mampu menjawab tiga pertanyaan penting:    Siapakah pengguna potensial hasil surveilans yang kita lakukan? Hasil tertentu manakah yang akan paling diminati oleh maisng-masing kelompok pengguna potensial? Saluran media apakah yang paling baik yang dapat menjangkau kelompok pengguna potensial? Cara diseminasi:   Membuat suatu laporan yang disampaikan kepada unit kesehatan pada tingkat yang lebih tinggi. Membuat suatu laporan yang disampaikan dalam seminar atau pertemuan lain  Membuat suatu tulisan dimajalah atau jurnal rutin 8. Menentukan metode evaluasi Evaluasi sistem surveilans akan meningkatkan penggunaan terbaik sumber kesehatan dengan meyakinkan bahwa hanya masalah penting yang menjalani surveilans dengan sistem surveilans yang yang berlangsung secara efisien. (Amiruddin, 2013) 6.1. Peranan Etika (Kode Etik) Dalam Kesehatan Masyarakat Etika kesehatan masyarakat adalah suatu tatanan moral berdasarkan system nilai yang berlaku secara universal dalam eksistensi mencegah perkembangan risiko pada individu, kelompok dan masyarakat yang mengakibatkan penderitaan sakit dan kecacatan, serta meningkatkan keberdayaan masyarakat untuk hidup sehat dan sejahtera. (Eryati Darwin, 2014). Sebuah kode etik untuk kesehatan masyarakat dapat memperjelas elemen khas kesehatan masyarakat dan prinsip-prinsip etis yang mengikuti dari atau menanggapi elemen-elemen masyarakat. Hal ini dapat memperjelas kepada penduduk dan masyarakat cita-cita lembaga kesehatan masyarakat yang melayani mereka, cita-cita yang dapat dipertanggungjawabkan oleh lembaga-lembaga tersebut. (Eryati Darwin, 2014). 6.2. Prinsip Moral Prinsip-prinsip moral yang diterapkan dalam suatu riset ataupun surveilans (Lingtang, 2015): - Penghargaan otonomi - Kedermawanan - Paternalisme - Keadilan - Kejujuran - Privasi (bersifat pribadi) - Konfidensialitas - Kebenaran/ketelitian adalah 6.3. Isu Etika dan Tanggung Jawab dalam Surveilans - Tipe kontak yang terlibat dalam surveilans, yaitu (Lintang, 2015c) :    - Surveilans lingkungan Surveilans pencatatan Surveilans dengan wawancara atau pemeriksaan Etika-etika peserta, yaitu (Lintang, 2015c) :  Hubungan yang tampak dan tidak tampak antar peserta-peserta menggambarkan kewajiban etika mereka satu sama lain - Etika tanggung jawab antar praktisi surveilans dan masyarakat luas, adalah (Lintang, 2015c) :  Melaksanakan surveilans pada isu-isu prioritas dengan keuntungan kesehatan  masyarakat yang potensial  Menghindari conflict of interest  Mencari keadilan adalah juga rasional moral utama untu surveilans Hasil-hasil harus dilaporkan dalam cara yang sesitif, bertanggung jawab, dapat dimengerti dan tepat waktu - - Etika tanggungjawab antara investigator dan subjek, yaitu (Lintang, 2015c):   Kemurahan hari  Perlindungan privasi  Penyingkapan  Konfidensialitas  Tidak melakukan pelanggaran  Informed consent (persetujuan subjek)  Diseminasi  Kejujuran Orang dalam lingkungan social disekitar subjek Prinsip-prinsip menjustifikasi akses yang luas (Lintang, 2015c):   Meningkatkan kualitas keilmuan dengan memperkenankan studi-studi yang direanalisis dan studi-studi konfirmasi Meluaskan pengetahuan dengan memfasilitasi analsis tambahan   7. Mengurangi beban surveilans terhadap subjek Mengurangi beban surveilans pada praktisi Komputerisasi Surveilans Penggunaan komputer di bidang kesehatan di negara-negara berkembang, seperti di berbagai daerah di Indonesia masih belum merata. Tidak hanya dari segi fasilitas komputer dan jaringannya, tetapi dari segi sumber daya manusia. Di Indonesia masih sedikit tenaga kesehatan yang sekaligus dapat mengoperasikan komputer. Hal ini salah satu penyebab masih minimalnya penggunaan komputer sebagai pendukung kesejahteraan kesehatan masyarakat. Padahal, maksud pemerintah mengadakan sistem informasi kesehatan berbasis komputer adalah untuk mempermudah pekerjaan dalam keterbatasan sumber daya manusia. Penggunaan komputer tentunya tidak lepas dari listrik. Seperti yang kita tahu, komputer membutuhkan listrik untuk dapat beroperasi. Meskipun pemerintah sudah merencanakan sebuah sistem informasi kesehatan di daerah-daerah, tetap saja hal itu kurang dapat memberikan hasil yang baik, karena masih banyak daerah yang mendapat pemadaman listrik bergilir atau bahkan sama sekali belum teraliri listrik. Oleh karena itu dibutuhkan peran serta yang tinggi, konsisten dan intensif dari pemerintah dalam hal penyediaan aliran listrik yang baik dan merata hingga daerah terkecil di nusantara. Masalah utama dari masih minimalnya penggunaan komputer di daerah adalah masih sedikitnya penyediaan komputer bahkan di tingkat rumah sakit. Hal inilah yang membuat daerah masih kesulitan dalam hal pengolahan data kesehatan. Penggunaan teknologi komputer di daerah terpencil masih sangat minimal. Salah satu contoh adalah di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki peringkat ke-31 dari 33 provinsi dalam Indeks Pembangunan Manusia. Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia. Dalam pembangunan kesehatan itu sendiri, dibutuhkan penggunaan sistem informasi yang tepat. Akan tetapi, kendala yang dihadapi oleh Provinsi NTT adalah terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana sistem informasi dan minimnya penggunaan fasilitas komputer. Terbatasnya ketersediaan sistem informasi dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga pelaksanaan yang dilakukan oleh Provinsi NTT kurang maksimal. Selain di Provinsi NTT, Provinsi NTB yang berada pada peringkat ke-32 dari 33 provinsi juga memiliki masalah terkait penggunaan teknologi komputer, yaitu adanya fragmentasi dalam sistem informasi kesehatan. Maksud dari fragmentasi tersebut adalah banyaknya penggunaan sistem informasi kesehatan yang berbeda-beda di semua tingkat administrasi (kabupaten, kota, provinsi). Hal ini mengakibatkan terjadinya duplikasi data, kurangnya kelengkapan data, dan data yang tidak valid. Hasil penelitian di NTB membuktikan bahwa puskesmas harus mengirim lebih dari 300 laporan dan terdapat 8 macam sistem yang digunakan sehingga beban administrasi dan beban petugas terlalu tinggi. Beban-beban yang terlalu tinggi mengakibatkan ketidakefektifan dan ketidakefisiensian sistem informasi kesehatan yang digunakan. Selain itu, masalah yang dihadapi dalam sistem informasi kesehatan ialah format pencatatan dan pelaporan masih berbeda-beda dan belum memiliki standar secara nasional. Hal ini diwujudkan dari masih adanya daerah yang mencatat dan menyerahkan laporan kesehatan yang diisi dengan tulisan tangan. Lebih buruknya, mereka terkadang menyusun sendiri poin-poin pelaporan sehingga tidak sesuai dengan standar yang sudah dibuat oleh pemerintah. Sudah dapat dipastikan, metode pencatatan dan data basing seperti ini sangat tidak efektif dan memberi informasi yang baik. Masalah tersebut mendorong pemerintah untuk membuat perencanaan sistem informasi kesehatan daerah yang baru pada tahun 2008, yakni Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) “Satu Pintu”. Sistem ini merupakan sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan yang berpusat pada sebuah bank data sebagai pintu masuk dan keluarnya data, yang berisikan data individu dan atau agregat yang berasal dari setiap fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta serta sektor terkait. Untuk menerapkan SIKDA “Satu Pintu”, dibutuhkan sarana pendukung, antara lain bangunan, hardware, software, SDM untuk pengumpulan, pengolahan, analisa, dan visualisasi data. Terlebih, 96% puskesmas harus memiliki minimal satu unit computer untuk dapat melaksanakan program ini. Selain hal di atas, dalam penggunaan teknologi komputer dibutuhkan tenaga ahli profesional untuk menjalankan sistem pelayanan kesehatan berbasis komputer. Dengan adanya tenaga ahli, maka penggunaan teknologi komputer dalam sistem pelayanan kesehatan menjadi optimal dan saat terjadi masalah dalam penggunaan komputer, mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut. 8. Sistem Surveilans  Tipe-Tipe Sistem Surveilans, Pengumpulan, dan Entry Data Cara-cara penyelenggaraan surveilans epidemiologi dibagi berdasarkan atas metode pelaksanaan, aktifitas pengumpulan data dan pola pelaksanaannya. (KMK No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003). B. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan, dan atau faktor risiko kesehatan b. Surveilans Epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor risiko atau situasi khusus kesehatan c. Surveilans Sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas. d. Studi Epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada periode tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau faktor risiko kesehatan C. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data a. Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya. b. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya. D. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan a. Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana. b. Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan atau bencana. E. Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan. b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya.  Persoalan Dokumentasi Dan Latihan Dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan melihat/mengacu pada dokumentasi atau catatan masalah kesehatan serta data hasil penelitian. Alat: a. Alat catatan b. Pustaka atau referensi Contoh: dokumen dari pusat pelayanan kesehatan tentang kejadian suatu masalah kesehatan yang terjadi diwilayahnya. Pelatihan digunakan ntuk kelancaran kegiatan surveilans di desa siaga sangat dibutuhkan tenaga kesehatan yang mengerti dan memahami kegiatan surveilans. Petugas seyogyanya disiapkan dari tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Puskesmas sampai di tingkat Desa/Kelurahan. Untuk menyamakan persepsi dan tingkat pemahaman tentang surveilans sangat diperlukan pelatihan surveilans bagi petugas. Untuk keperluan respon cepat terhadap kemungkinan ancaman adanya KLB, di setiap unit pelaksana (Puskesmas, Kabupaten dan Propinsi) perlu dibentuk Tim Gerak Cepat (TGC) KLB. Tim ini bertanggung jawab merespon secara cepat dan tepat terhadap  adanya ancaman KLB yang dilaporkan oleh masyarakat. Laporan Dan Pembagian Data (Data Sharing) Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat penelitian dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi. Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional. Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh unit kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk disebarluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi lebih lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit kesehatan pemberi laporan. Umpan balik atau pengiriman informasi kembali kepada sumber-sumber data (pelapor) mengenai arti data yang telah diberikan dan kegunaannya setelah diolah, merupakan suatu tindakan yang penting, selain tindakan follow up. Sasaran penyebaran informasi adalah instansi terkait baik secara vertikal maupun horizontal dengan tujuan untuk memperoleh kesepahaman dan feedback dalam perumusan kebijakan. Manfaat penyebaran informasi adalah mendapatkan respon dari instansi terkait sebagai feedback, tindak lanjut, dan kesepahaman. Metode yang dapat digunakan dalam penyebaran informasi adalah tertulis dan deseminasi laporan,  verbal dalam rapat, media cetak dan elektronik (Noor, 2008). Peranan Pengelola Data, Cara-Cara Mengelola Data Pernanan Pengelola Data Penyajian dan analisis data hasil kegiatan secara statistic sederhana sehingga dapat memberikan informasi surveilans yang optimal dan keterampilan mengoperasikan software pengolahan data. Cara-cara mengelola data Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya dengan menggunakan program (software) seperti epid info, SPSS, lotus,  excel dan lain-lain (Budioro, 2007). Tujuan penilaian survailans Tujuan dari penilaian system surveilens adalah untuk meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber yang ada di bidang kesehatan secara maksimal melalui pengembangan system surveilans yang efektif dan efisien.  Protocol Penilaian Survailans Pentingnya suatu peristiwa kesehatan dilihat dari segi kesehatan masyarakat adalah: a) Jumlah kasus atau besarnya kasus, insiden dan prevalen.  b) Indikator dari besarnya masalah: angka kematian preventabilitas. Tujuan Sistem Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans, antara lain (Giesecke, 2002): a) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; b) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; c) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi; d) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan; e) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; f) Mengidentifikasi kebutuhan riset  Gambaran Sistem perencanaan, Gambaran system berisi di antaranya ada daftar tujuan system, definisi kasus peristiwa kesehatan, diagram alur dari system yang akan dievakuasi, komponen dan pelaksanaan system, populasi, periode pengumpulan data, informasi yang telah dikumpulkan.  Kemampuan dan Atribut (Sifat) Sistem Kemampuan dan atribut (sifat) system terdiri dari (Romaguera, 2000) :  Kesederhanaan (Simplicity) Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data, organisasi yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan analisa data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu besar dan prosedur yang terlalu rumit.  Fleksibilitas (Flexibility) Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, waktu dan tenaga.  Dapat diterima (Acceptability) Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi individu, organisasi dan lembaga kesehatan. lnteraksi sistem dengan mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor, kelengkapan pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan. Tingkat partisipasi dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya kejadian kesehatan yang dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap saran atau komentar, beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan perundangan yang dijalankan dengan tepat.  Sensitivitas (Sensitivity) Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan kemampuan mengidentifikasi adanya KLB. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah :  Proporsi penderita yang berobat ke pelayanan kesehatan.  Kemampuan mendiagnosa secara benar dan kemungkinan kasus yang terdiagnosa akan dilaporkan.  Keakuratan data yang dilaporkan  Nilai Prediktif Positif (Positive predictive value)  Nilai Prediktif Positif Adalah proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, yang kenyataannya memang menderita penyakit atau kondisi sasaran surveilans. Nilai Prediktif Positif menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi/  insidensi penyakit atau masalah kesehatan di masyarakat. Representatif (Representative). Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara akurat distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan tempat. Kualitas data merupakan karakteristik sistem surveilans yang representatif. Data surveilans tidak sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi juga diskripsi atau ciriciri demografik dan infomasi mengenai faktor resiko yang penting.  Tepat Waktu. Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaporan penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan secara efektif atau tidak meluas sehingga membahayakan masyarakat. Ketepatan waktu dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk perencanaan program dalam jangka panjang. Teknologi komputer dapat sebagai faktor pendukung sistem surveilans  dalam ketepatan waktu penyediaan informasi. Koordinasi 1. Koordinasi pada system surveilans dapat berupa : Dalam rangka penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, dibangun dan dikembangkan koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan antar instansi pemerintah dan pemangku kepentingan baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. 2. Koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan diarahkan untuk :  Identifikasi masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan  Kelancaran pelaksanaan investigasi dan respon cepat  Keberhasilan pelaksanaan penanggulangan KLB/wabah  Peningkatan dan pengembangan kapasitas teknis dan manajemen sumber daya manusia  Pengelolaan sumber pendanaan.  Mekanisme Respons untuk Intevensi Mekanisme Respons untuk intevensi “Information for Action” ILI, yaitu (Kepmenkes RI Nomor 300/ MENKES/SK/IV/2009): 1. Pencegahan ILI: Tindakan pencegahan berupa peningkatan kesehatan personal, seperti mencuci tangan dan menghindari kontak dengan unggas yang sakit, pelaksanaan vaksin virus influenza dan pelayanan kesehatan seperti pemberian obat anti viral. 2. Pengendalian ILI :  Pembentukan pos komando dan koordinasi sebagai pusat operasi penanggulangan  Surveilans epidemiologi  Respon medik dan laboratorium  Intervensi farmasi  Intervensi nonfarmasi  Pengawasan perimeter oleh POLRI dan TNI  Komunikasi risiko  Tindakan karantina di bandar udara, pelabuhan, pos lintas batas darat (PLBD), terminal, dan stasiun  Mobilisasi sumber daya Kebijakan ILI  Meningkatkan usaha pengamatan (surveilans) pada manusia dan hewan (sistem kewaspadaan dini, investigasi epidemiologis, dan reaksi/penanggulangan cepat) 9.1. Pemikiran Epidemiologis Untuk Pencegahan Dan Pemberantasan Penyakit Menular Epidemiologi merupakan suatu cabang suatu ilmu yang mempelajari, menganalisis serta berusaha memecahkan berbagai masalah kesehatan maupun masalah yang erat hubungannya dengan kesehatan pada suatu kelompok tertentu. Epidemiologi menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah kesehatan serta mempelajari sebab timbulnya masalah kesehatan tersebut untuk tujuan pencegahan maupun penanggulangannya. (Nasry, 2008) Wade Hampton Frost (1972) mendefinisikan epidemiologi sebagai suatu pengetahuan tentang fenomena massal ( mass phenomen ) penyakit infeksi atau sebagai riwayat alamiah ( natural history ) penyakit menular. Di sini tampak bahwa pada waktu itu perhatian epidemiologi hanya ditujukan kepada masalah penyakit infeksi yang terjadi/mengenai masyarakat/massa. Epidemiologi penyakit menular telah banyak memberikan peluang dalam usaha pencegahan dan penanggulangan penyakit menular tertentu. Berhasilnya manusia mengatasi berbagai gangguan penyakit menular deswasa ini merupakan salah satu hasil yang gemilang dari epidemiologi. Peranan surveilans epidemiologi yang mulanya hanya ditujukan pada pengamatan penyakit menular secara seksama, ternyata telah memberikan hasil yang cukup berarti dalam menanggulangi berbagai masalah penyakit menular. (Nasry, 2008) Program pencegahan dan pemberantasan penyakit akan sangat efektif bila mendapat dukungan oleh sistem surveilans yang aktif, karena fungsi surveilans yang utama adalah menyediakan informasi epidemiologi yang peka terhadap perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit yang menjadi prioritas pembangunan. 9.2. Epidemiologi Sebagai Dasar Kesehatan Masyarakat “Epidemiologi” berasal dari dari kata Yunani epi= atas, demos= rakyat, populasi manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara. Secara etimologis epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa yang banyak terjadi pada masyarakat, yakni penyakit dan kematian yang diakibatkannya yang disebut epidemi. (M.N. Bustan, 2006). Profesor Sally Blakley menyebutkan epidemiologi ”the mother science of public health”. Kesehatan masyarakat bertujuan melindungi, memelihara, memulihkan, dan meningkatkan kesehatan populasi. (Bernard, 2014). Sedangkan epidemiologi memberikan kontribusinya dengan mendeskripsikan distribusi penyakit pada populasi, meneliti paparan faktor-faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya perbedaan distribusi penyakit tersebut. Pengetahuan tentang penyebab perbedaan distribusi penyakit selanjutnya digunakan untuk memilih strategi intervensi yang tepat untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi, dengan cara mengeliminasi, menghindari, atau mengubah faktor penyebab tersebut. (Wahyudin Rajab, 2009). Epidemiologi adalah bagian dari ilmu kesehatan masyarakat yang merupakan inti atau induk ilmu kesehatan masyarakat, memiliki pengertian, filosofi, dan pelaksanaan metode yang terkandung dalam public health. (Eko Budiarto, 2003). 9.1. Kontribusi GIS dalam Kesehatan Masyarakat Menurut WHO (dalam Dodiet Aditya, 2014), SIG (Sistem Informasi Geografis) dalam kesehatan masyarakat dapat digunakan antara lain untuk: (1) Menentukan Distribusi Geografis Penyakit; (2) Analisis trend Spasial dan Temporal: (3) Pemetaan Populasis Berisiko: (4) Stratifikasi Faktor risiko; (5) Penilaian Distribusi Sumberdaya; (6) Perencanaan dan Penentuan Intervensi; (7) Monitoring Penyakit. Berikut ini adalah beberapa contoh pemanfaatan SIG dalam bidang Kesehatan Masyarakat berdasarkan analisa CDC tersebut (Dodiet Aditya, 2014): a) Fungsi pertama yaitu memonitor status kesehatan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Dalam mendukung fungsi ini, SIG dapat digunakan untuk memetakan kelompok masyarakat serta areanya berdasarkan status kesehatan tertentu, misalnya status kehamilan. Dengan SIG, peta mengenai status kesehatan dapat digunakan untuk merencanakan program pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh kelompok tersebut, misalnya pelayanan ANC, persalinan dll. b) Fungsi yang kedua yaitu mendiagnosa dan menginvestigasi masalah serta risiko kesehatan di masyarakat. Sebagai contoh, seorang epidemiologis sedang mengolah data tentang kasus asma yang diperoleh dari Rumah Sakit, Puskesmas, dan Pusat – Pusat Kesehatan lainnya di masyarakat, ternyata dia menemukan terjadi kenaikna kasus yang cukup signifikan di suatu Rumah Sakit, maka kemudian dia mencari tahu data dari pasien – pesien penderita asma di Ruimagh sakit. Ternyata ditemukan bahwa 8 dari 10 orang penderita asma yang dirawat di Rumah Sakit tersebut bekerhja di perusahaan yang sama. Demikian seterusnya hingga kemudian SIG dapat digunakan untuk memberikan data yang lengkap mengenai pola pajanan kimia tertentu di perusahaan – perusahaan dalam suatu wilayah, yang merupaka informasi yang penting utnuk para karyawan. Informasi ini juga dapat diteruskan kepada ahli – ahli terkait, dalam hal ini ahli K3 untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap masalah yang ditemukan c) Fungsi yang ketiga yaitu menginformasikan, mendidik dan memberdayakan masyarakat nmengenai isu – isu kesehatan. SIG dalam hal ini dapat menyediakan informasi mengenai kelompok masyarakat yang diidentifikasi masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai informasi kesehatan tertentu, sehingga kemudian dapat dicari media komunikasi yang paling efektif bagi kelompok tersebut, serta dapat dibuat perencanaan mengenai waktu yang paling tepat untuk melakukan promosi kesehatan kepada kelompok masyarakat tersebut. d) Fungsi yang keempat yaitu membangun dan menggerakkan hubungan kerjasama dengan masyarakat untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan. Dalam hal ini SIG dapat digunakan untuk melihat suatu pemecahan masalah kesehatan berdasarkan area tertentu dan kemudian memetakan kelompok masyarakat yang potensial dapat mendukung program tersebut berdasarkan area – area yang terdekat dengannya. Misalnya masalah imunisasi yang ada pada wilayah kerja tingkat RW atau Posyandu, maka dapat dipetakan kelompok potensial pendukungnya yaitu Ibu – Ibu PKK yang dapat diberdayakan sebagai kader pada Posyandu – Posyandu yang terdekat dengan tempat tinggalnya e) Fungsi yang kelima yaitu membangun kebijakan dan rencana yang mendukung usaha individu maupun masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan. Contohnya dalam hal analisa wilayah cakupan Puskesmas. Dalam hal ini SIG digunakan untuk memetakan utillisasi dari tiap – tiap Puskesms oleh masyarakat sehingga dapat dibuat perencanaan yang jelas mengenai sumber daya kesehatan yang perlu disediakan untuk Puskesmas tersebut disesuaikan dengan tingkat utilitasnya. f) Fungsi yang keenam yaitu membangun perangkat hukum dan peraturan yang melindungi kesehatan dan menjamin keselamatan masyarakat. Dalam hal ini SIG dapat digunakan untuk membagi secara jelas kewenangan dan tanggung jawab suatu pusat pelayanan kesehatan pada tiap – tiap wilayah kerja dalam menjamin dan menangani segala bentuk masalah yang terjadi di wilayah tersebut. Dengan demikian maka manajemen komplain dapat terkoordinir dengan baik. g) Fungsi yang ketujuh yaitu menghubungkan individu yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan tersebut jika belum tersedia. Misalnya seorang warga negara asing diidentifikasi menderita suatu penyakit tertentu yang membutuhkan penanganan yang serius. Maka untuk mengatasinya, dengan melihat peta dan data akses pelayanan kesehatan yang tersedia dapat dicari tenaga kesehatan terdekat yang dapat membantu orang tersebut, dan menguasai bahasa yang digunakannya. Dengan data SIG juga dapat diketahui bagaimana akses transportasi termudah yang dapat dilalui oleh warga negara asing tersebut menuju fasilitas kesehatan terdekat. h) Fungsi kedelapan yaitu menjamin ketersediaan tenaga kesehatan dan ahli kesehatan masyarakat yang berkompeten di bidangnya. Dalam hal ini SIG dapat menyediakan peta persebaran tenaga kesehatan dan ahli kesehatan masyarakat di tiap – tiap daerah, sehingga dengan demikian dapat dilihat jika ada penumpukan atau bahkan kekurangan personel di suatu daerah. Lebih lanjut, data tersebut dapat digunakan dalam hal perencanaan pengadaan tenaga – tenaga kesehatan untuk jangka waktu ke depan untuk masing – masing wilayah. i) Fungsi kesembilan yaitu mengevaluasi efektifitas, kemudahan akses dan kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat. Data SIG dapat menyediakan data yang lengkap mengenai potensi tiap – tiap daerah serta karakter demografis masyarakatnya untuk dihubungkan dengan fasilitas – fasilitas kesehatan yang tersedia dan tingkat utilitasnya. Dengan demikian dapat dievaluasi kembali kesesuaian dan kecukupan dari penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang ada. j) Fungsi kesepuluh yaitu penelitian untuk menciptakan penemuan baru dan inovasi dalam memecahkan masalah – masalah kesehatan di masyarakat. Salah satu kegunaan SIG dalam hal ini adalah untuk menyediakan data yang akurat mengenai perubahan – perubahan yang terjadi di suatu daerah seperti pertambahan jumlah perumahan, jalan, pabrik atau sarana - sarana lainnya yang berpengaruh pada lingkungan dan berpotensi mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Data ini kemudian dapat digunakan untuk merancang dan merencanakan inovasi – inovasi tertentu yang dapat menjamin kesehatan suatu masyarakat. 9.2. Aplikasi GIS Untuk P2M Penyakit Aplikasi GIS untuk P2M penyakit yaitu (Dodiet Aditya, 2014): a) menemukan penyebaran dan jenis-jenis penyakit secara geografis, b) meneliti perkembangan trend sementara suatu penyakit, c) mengidentifikasi kesenjangan, celah di daerah terpencil, d) mengurangi kerugian masyarakat melalui pemetaan dan stratifikasi faktor-faktor risiko, e) menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dalam pelayanan kesehatan berdasarkan data dari masyarakat dan menilai alokasi sumber daya, f) meramalkan kejadian wabah, g) memantau perkembangan penyakit dari waktu ke waktu, dan h) dapat menempatkan fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat 10. Standarisasi Langsung dan Tidak Langsung Standarisasi langsung dan tidak langsung akan dijelaskan dalam standarisasi angka kematian. Standarisasi Angka Kematian Dalam membandingkan dua angka kematian (menurut umur) dari wilayah yang berbeda harus hati-hati karena harus menghilangkan dulu faktor yng mempengaruhi angka kematian tersebut, atau dengan kata lain harus dilakukan standarisasi. Standarisasi diperlukan untuk menghilangkan pengaruh susunan penduduk, antara lain umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, suku. Ada dua cara standarisasi langsung (direct) dan tidak langsung (indirect) a. Standarisasi langsung Untuk membandingkan angka kematian dua tempat atau daerah, digunakan daerah lain sebagai standar yang diketahui jumlah penduduk menurut umur (atau variabel lain yang dianggap mempengaruhi) baik angka sebenarnya atau teoritis saja. Dalam cara langsung ini, dua daerah yang akan dibandingkan harus mempunyai data kematian menurut umur (ASDR), sedangkan daerah yang akan dijadikan standar adalah daerah yang mempunyai jumlah penduduk menurut umur baik empirik maupun teoritis, atau bahkan salah satu dari daerah yang akan dibandingkan menjadi penduduk standar. Keterangan : Expected death pada kolom terakhir didapatn dengan mengalikan ASDR masing-masing kelompokumur dengan jumlah penduduk standar pada kelompok umur yang bersangkutan. Contoh:  Expected death untuk kelompok umur 0-14 th daerah A adalah ,  Expected death untuk kelompok umur 60-74 th daerah B adalah  Angka kematian daerah A yang sudah distandarisasi :  Angka kematian daerah B yang sudah distandarisasi :  Rasio kematian daerah A dan B = Dengan standarisasi terlihat bahwa anagka kematian, alam hal ini CDR unutk daerah A yang tadinya dianggap lebih rendah, ternyata setelah dilakukan standarisasi berubah lebih tinggi . Hal ini terjadi karena adanya komposisi penduduk menurut umur yang berbeda.Kalau diperhatikan pada daerah A jumlah kelompok umur yang ASDR-nya tertinggi (150/1000) adalah kelompok umur 75+ tahun keatas dengan jumlah 1000 orang. Sedangkan pada daerah B, kelompok umur yang ASDR-nya tertinggi adalah kelompok umu 75+ dengan jumah hanya 400 orang. b. Standarisasi Tidak Langsung Pada standarisasi tidak langsung, angka kematian daerah A dan B tidak mempunyai ASDR, hanya ada CDR dan penduduk menurut kelompok umur. Oleh karena itu, diperlukan dari daerah standar adalah harus mempunyai angka standar Sumber : (Chandra, 1995) Untuk mendapatkan angka kematian yang distandarisasi, diperlukan perhitungan indeks angka kematian dan faktor koreksi dengan perhitungan seperti dibawah ini.  Indeks angka kematian daerah A= B=  Faktor koreksi untuk kematian kasar ASDR daerah : A= B=  Rasio angka kematian yang sudah distandarisasi daerah A dan B : = 11. Tes Performance  Sensitivitas Adalah kemampuan uji skrining untuk memberikan hasil positif mereka yang  mengidap penyakit. (Richard, 2009). Spesifisitas Adalah kemampuan uji untuk memberikan hasil negative pada mereka yang sehat  (tidak sakit). (Richard, 2009). Perhitungan Sensifitas dan Spesifitas Berdasarkan tabel matriks skring dibawah ini, dapat ditentukan rumus sensifitas dan spesifitas (Richard, 2009): Keterangan : a = True positive b = False positive c = False negative d = True Negative  Cut Off Cutoof dapat dicontohhkan misalnya menetapkan titik potong (cut off point) dalam menentukan pasien mana yang akan dinyatakan memiliki glaukomatosa oleh skrining. (Richard, 2009). Dari gambar di atas, tampak bahwa untuk mendeteksi semua mata yang glaukomatosa (untuk mencapai sensitivitas 100 %) maka titik potong harus berada pada 22 mm Hg. Pada titik potong ini, semua kasus glaukomatosa akan terdeteksi, tetapi berakibat pada tercakupnya sejumlah besar mata yang normal, yaitu yang berada pada ekor sebelah kanan pada distribusi mata non glaukomatosa, pada tekanan 22-27. Hal ini menunjukkan spesifisitas kurang dari 100 %. (Richard, 2009). Selanjutnya, diasumsikan bahwa seluruh mata normal dikeluarkan agar mendapatkan spesifisitas 100 %. Hal ini memerlukan titik potong pada tekanan 27 agar seluruh mata normal dapat dikeluarkan. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya sejumlah kasus glaukomatosa sehingga sensitivitas kurang dari 100 %. (Richard, 2009). Pada praktiknya, titik potong ditetapkan pada tekanan 24. Hal ini mengakibatkan sensitivitas maupun spesifisitas kurang dari 100 % dan baik hasil positif palsu maupun negatif palsu akan muncul, tetapi dalam jumlah kecil. Distribusi populasi yang sehat dan sakit bertumpang tindih berkenaan dengan variabel yang diukur. Hasil uji bergantung pada pembacaan satu titik potong saja,  sensitivitas dan spesifisitas selalu saling berbanding terbalik. (Richard, 2009). PVP (Nilai Prediktif Positive) dan PVN (Nilai Prediktif Negatif) PVP adalah prsentase dari mereka dengan hasil tes positive yang benar benar sakit, sedangkan PVN adalah porsentase dari mereka dengan hasil tes negative yang benar benar tidak sakit. (Rizchard, 2009) Berdasarkan tabel matrik skrining di atas, rumus PVP dan PVP : PVP = a / (a+b)  PVN = d/ (c+d) Peranan Prevalensi Rate Penyakit Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari uji tapis (skrining). Prevalensi penyakit yang tidak tampak dapat mempengaruhi yield. (Eko Budiarto, 2003). Makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat akan meningkat yield, terutama penyakit-penyakit kronis seperti TBC, karsinoma, hipertensi, dan diabetes mellitus. (Eko Budiarto, 2003). Rendahnya prevalensi rate, maka test skring akan mengambil lebih banyak true negative. Sedangkan tingginya prevalensi rate, maka test skrining akan mengambil lebih banyak false negative. “increased prevalence results in decreased negative predictive value”, meningkatnya prevalensi rate akan menghasilkan penurunan hasil negative predictive. (Penn State Science, 2015). (Relationship between disease prevalence and predictive value in a test with 95% sensitivity and 85% specificity. 12. Analisis Data Surveilans  Pendekatan Metode Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologi deskriptif dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan surveilans yang ditetapkan. Epidemiologi deskriptif dalam surveilans akan menggambarkan distribusi masalah kesehatan berdasarkan orang, tempat, dan waktu dan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini (M.N. Bustan, 2006): a) Who (Siapa), dapat menyangkut variabel umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan populasi berisiko. b) Where (dimana), mengenai faktor tempat dimana masyarakat tinggal atau bekertja atau dimana saja kemungkinan mereka mengahdapi masalah kesehatan. Faktot tempat dapat berupa: kota (urban) dan desa (rural); pantai dan pegunungan; daerah pertanian, industry, tempat bermukim atau kerja. c) When (kapan), kejadian masalah kesehatan berdasarkan waktu. Misalnya jam, hari, minggu, bulan, dan tahun; musim hujan dan musim kering. Sedangkan epidemiologi analtik akan menganalisis factor penyebab (determinant)  masalah kesehatan. (M.N. Bustan, 2006). Konsep dan Standarisasi Rate Rate salah satu alat ukur untuk mengukur peristiwa penting yang terjadi di masyarakat (vita event) dan pengukuran terhadap jumlah kesakitan yang terjadi di masyarakat. Rate dipergunakan untuk menyatakan frekuensi distribusi suatu kejadian atau suatu keadaan yang terjadi pada populasi yang sedang diobservasi.(Chandra, 1995) Rate adalah ukuran untk menunjukkan perhitungan yang mempunyai implikasi probabilitas terhadap suatu kejadian. Rate dinyatakan dalam bentuk: frekuensi suatu kejadian / event dalam ajangka waktu tertentu (umumnya dalam 1 tahun) jumlah orang yang terpapar untuk berisiko kejadian tersebut dalam periode yang sama konstanta tertentu (misalnya 100, 1000, atau 100.000) Perlu diperhatikan dalam rumus tersebut bahwa pembilang merupakan bagian dari penyebut. Tujuan pengalian k adalah untuk menghindari angka yang terlalu kecil dari hasil perhitungan rate tersebut. Pemilihan besarnya tergantung dari besarnya angka pembilang dan penyebut. (Krisanti, 2008) Rate dapat digunakan untuk mengukur angka kematian, kelahiran, dan kesakitan. Dalam hal ini akan dijelaskan rate dalam angka kematian. Ada beberapa ukuran (rate/angka ) kematian mortalitas, yaitu : - Angka kematian kasar (crude death rate/CDR) - Angka kematian khusus menurut kelompok umur dan penyebab penyakit( age and cause specific death rate/ ASDR dan CSDR) - Angka kematian bayi (Infant mortality rate/IMR) - Angka kematian neonatal (neonatal mortality rate/NMR) - Dan lain-lain Standarized Death Rate Dalam keadaan keadaan tertentu, angka kematian perlu dilakukan standarisasi bila kita ingin membandingkan keadaan status kesehatn dua daerah atau dua negara yang berbeda struktur penduduknya, dan dalam hal ini CDR tidak dipakai karena hanya menyatakan angka kematian kasar tanpa menyebutkan adanya komposisi umur dans eks dari penduduk. Ada dua cara untuk melakukan standarisasi atau adjusted dari angka kematian tersebut, yaitu: a. Direct method Standarisasi Angka Kematian Menurut Umur dan Seks Laki-laki dengan Direct Method antara Argentina dan Meksiko, 1082 b. Indirect Method Pada keadaan tertentu kita hanya mengetahui jumlah kematian berdasarkan kelompok umur, maka kita harus melakukan standarisasi secara indirect.  (Chandra, 1995) Pendekatan-Pendekatan Untuk Analisis Data Eksploratif Analisis Eksplorasi data merupakan metode untuk mengenali pola data nelalui diagram atau grafik, mendeteksi adanya nilai ekstrim agar analisis yang dibuat dapat tidak terpengaruh efek ekstrem, menentukan pola hubungan antar variabel dengan menggunakan diagram pencar dan membuat garis persamaan serta melakukan smoothing data. Penyajian data dalam bentuk tabel kontingensi dan melakukan analisis hubungan dari variabel yang bersifat kategori. Analisis data eksploratif (Exploratory Data Analysis – EDA) merupakan metode eksplorasi data dengan menggunakan teknik aritmatika sederhana dan teknik grafis dalam meringkas data pengamatan. EDA banyak digunakan dalam berbagai hal seperti:        Memaksimalkan telaahan data Mencari struktur data yang tersembunyi (mengungakp misteri yang tersembunyi) Mengeluarkan variable penting Mendeteksi kelainan dan anomali Melakukan test suatu asumsi Membangun model Melakukan optimasi Adapun tahap-tahap dalam analisis data eksploratif, yaitu (Lintang, 2015c): 1. Gunakan peragaan visual untuk menyampaikan struktur dan analisis data. 2. Trabsformasikan data secara matematis untuk menyederhanakan distribusi 3. Selidiki pengaruh outlier (data-data ekstream) 4. Jelaskan residual-residual  Menguraikan Manfaat Grafik Dan Peta Penyajian dalam bentuk grafik bermanfaat untuk hal-hal berikut ini (Budiarto, 2001): 1. Membandingkan beberapa variabel, beberapa kategori dalam variabel atau satu variabel pada waktu dan tempat yang berbeda 2. Meramalkan perubahan yang terjasi dengan berjalannya waktu (time series) 3. Mengetahui adanya hubungan dua variabel atau lebih 4. Memberikan penerangan pada masyarakat. Peta merupakan gambar visual. Penyajian data dalam bentuk peta memudahkan untuk mengidentifikasi kasus. Hal tersebut memberikan gambaran cepat tentang bagaimanapenyakit menyebar. Peta memudahkan untuk perencanaan karena dapat menyajikan data rumah tangga dengan suatu masalah kesehatan.Selain itu, peta juga berguna untuk menyajikan data pada tingkat administrasi yang lebih tinggi (desa, kota, kabupaten). (Amirudin, 2012).  Membuat Interpretasi Yang Sistematik Dari Data Surveilens Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam masyarakat. Analisis data diperlukan untuk menjamin bahwa sumber data dan proses pengumpulan data adalah adekuat. Untuk menganalisis data surveilans kita harus memperhatikan beberapa hal berikut: 1. Apa keistimewaan atau kekhasan data yang didapat? 2. Memulai dari data yang paling sederhana ke data yang paling kompleks 3. Menyadari bila ketidaktepatan dalam data menghalangi analisis-analisis yang lebih canggih. Jika ada data yang bias maka data tersebut tidak perlu digunakan. 4. Sifat data surveilans 5. Perubahan dari waktu ke waktu 6. Beberapa sumber-sumber informasi 7. Masalah kualitas dan kelengkapan 8. Butuh pengetahuan yang mendalam tentang sistem evaluasi 13. A. Sifat Data Surveilans   Specific (spesifik)  Actioned Oriented (orientasi pada aksi)  Measurable (dapat diukur)  Realistic (realistis) Timely (tepat waktu) B. Definisi Nomenklatur Nomenklatur merupakan metode penamaan yang diperlukan dalam klasifikasi. Sistem nama ini diciptakan oleh Carolus Linnaeus pada tahun 1753. Nomenklatur merupakan bahasa Latin nomen, yang artinya nama. C. Menyajikan Manfaat Yang Benar Metode Analitik Dan Grafik Untuk Mengkoreksi Aberasi/ Penyimpangan Analisis dengan metode epidemiologi analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variable yang dapat mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan atau masalah kesehatan. Untuk mempermudah melakukan analisis dengan metode epidemiologi analitik dapat menggunakan alat bantu statistik. Manfaat Grafik yaitu (Budiarto, 2002) : 1. Membandingkan beberapa variabel, beberapa kategori dalam variabel atau satu variabel pada waktu dan tempat yang berbeda. 2. Meramalkan perubahan yang terjadi dengan berjalannya waktu (time series) 3. Mengetahui adanya hubungan dua variabel atau lebih. Jenis-jenis grafik, yaitu (Amiruddin, 2013):  Grafik Batang (Bar)  Grafik Garis (line)  Grafik Lingkaran (Pie)  Grafik Interaksi (Interactive)  Spot map (diagram map)  Poligon Frekuensi D. Menyajikan Penilaian Yang Benar Kelengkapan Sistem Surveilens Penilaian Sistem Surveilans Ukuran yang dipakai dalam melakukan evaluasi pada sistem surveilans didasarkan pada beberapa aspek berikut: 1) Kepentingan Pentingnya suatu peristiwa kesehatan dilihat dari segi kesehatan masyarakat dan kebutuhan untuk mengamati tersebut dapat dilihat dari beberapa cara. Suatu peristiwa kesehatan yang menyerang banyak penduduk atau menyerap sumber daya dan sumber dana besar jelas akan mempunyai arti penting. Namun demikian, bukan tidak mungkin bahwa suatu peristiwa kesehatan yang menyerang penduduk dalam jumlah relatif sedikit juga dapat dikatakan mempunyai arti penting seperti adanya KLB suatu penyakit yang sifatnya terbatas. Akhirnya, pentingnya suatu peristiwa kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh preventabilitas. 2) Kegunaan Suatu sistem dapat dikatakan bermanfaat bila sistem tersebut mempunyai andil dalam penanggulangan dan pencegahan penyakit, termasuk meningkatkan pemahaman akan implikasi dari penyakit tersebut terhadap kesehatan masyarakat. Sistem juga akan dianggap tidak penting, tetapi ternyata terbukti bahwa peristiwa tersebut sebenarnya penting. (Sugiasih, 2012). Dalam menilai manfaat suatu sistem surveilans, harus dimulai dengan meninjau tujuan dari sistem tersebut disamping mempertimbangkan peranan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada dalam pengambilan keputusan dan tindakan pencegahan. Sistem akan menjadi lebih bermanfaat bila sistem tersebut dapat (Sugiasih, 2012): a) Mendeteksi tanda-tanda adanya perubahan kecenderungan penyakit.\ b) Mendeteksi adanya KLB. c) Memperkirakan besar kesakitan atau kematian. d) Merangsang penelitian epidemiologis untuk mengawali tindakan penanggulangan atau pencegahan. e) Mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit. f) Memungkinkan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap tindakan penanggulangan. g) Mengawali upaya untuk meningkatkan tindakan-tindakan praktek klinis oleh petugas yang terlibat dalam sistem surveilans. Kegunaan/ manfaat sistem surveilans dipengaruhi oleh beberapa atribut dari sistem tersebut meliputi kesederhanaan, fleksibilitas, akseptabilitas, sensitivitas, nilai predektif positif, kerepresentatifan, ketepatan waktu. (Sugiasih, 2012) a. Kesederhanaan Kesederhanaan dari suatu sistem surveilans mencakup kesedehanaan dalam hal struktur dan kemudahan pengoprasiaannya. Sistem surveilans dirancang sesederhana mungkin, namun masih dapat mencapai tujuan yang diinginkan. b. Fleksibilitas Suatu sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan perubahan informasi yang dibutuhkan atau situasi pelaksanaan tanpa disertai peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, tenaga, dan waktu. Sistem yang fleksibel dapat menerima, misalnya penyakit dan masalah kesehatan yang baru diidentifikasikan, perubahan definisi kasus, dan variasi-variasi dari sumber pelaporan. c. Akseptabilitas Akseptabilitas menggambarkan kemauan seseorang atau organisasi untuk berpartisipasi dalam melaksanakan sistem surveilans mencakup kemauan seseorang yang bertangungjawab terhadap pelaksanaan sistem surveilans untuk menyediakan data yang akurat, konsisten, lengkap, dan tepat waktu (Laksono dkk, 2004: 95). d. Sensitivitas Sensitivitas dari suatu sistem surveilans dapat dilihat pada tingkat pengumpulan data, proporsi kasus dari suatu penyakit masalah kesehatan yang terdeteksi oleh sistem surveilans. e. Nilai Predektif Positif Nilai predektif positif (NPP) adalah proporsi dari populasi yang diidentifikasikan sebagai kasus oleh suatu sistem surveilans dan kenyataannya memang kasus. f. Kerepresentatifan Suatu sistem surveilans yang representatif akan menggambarkan secara akurat kejadian dari suatu peristiwa kesehatan dalam periode waktu tertentu dan distribusi peristiwa tersebut dalam masyarakat menurut tempat dan orang. Kerepresentatifan dinilai dengan membandingkan karakteristik dari kejadiankejadian yang dilaporkan dengan semua kejadian yang ada. g. Ketepatan Waktu Ketepatan waktu menggambarkan kecepatan atau kelambatan diantara langkah-langkah dalam suatu sistem surveilans dan waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi tren, KLB, atau hasil dari tindakan penanggulangannya, serta adanya informasi mengenai upaya penanggulangan penyakit, baik dalam hal tindakan penanggulangan yang segera dilakukan maupun rencana jangka panjang dari upaya pencegahan. 14. Diseminasi  Konsep Dasar Diseminasi Kata diseminasi berasal dari bahasa Latin, disseminates. Lalu dimasukkan ke dalam Inggris dengan sebutan dissemination, yang diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mendapatkan informasi, sehingga timbul kesadaran, menerima dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut. (Soleman, 2013). Diseminasi merupakan sinonim dari kata penyebaran. Jadi, pengertian diseminasi informasi adalah penyebaran informasi. Penyebaran informasi yang dimaksud dapat dilakukan melalui berbagai jenis media seperti buku, majalah, surat kabar, film, televisi, radio, musik, game dan sebagainya. Dengan kata lain, diseminasi merupakan kegiatan penyebaran informasi ke dalam lingkungan masyarakat. (Soleman, 2013). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014, Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin, surat edaran, laporan berkala, forum pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi informasi dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi yang mudah diakses. Diseminasi informasi dapat juga dilakukan apabila petugas surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring  evaluasi program kesehatan, dengan menyampaikan hasil analisis. Diseminasi/Komunikasi Informasi Cara diseminasi/penyebarluasan informasi adalah (Amiruddin, 2013) : a) Membuat suatu laporan yang disampaikan kepada unit kesehatan pada tingkat yang lebih tinggi. b) Membuat suatu laporan yang disampaikan dalam seminar atau pertemuan lain  c) Membuat suatu tulisan di majalah atau jurnal rutin. Contoh Diseminasi A. Diseminasi Penyakit Malaria Stakeholder yang memiliki peranan penting dalam penanganan masalah penyakit malaria diantaranya (Permenkes no.45 tahun 2014): 1) Dinas Kesehatan Berikut ini merupakan contoh – contoh dari peranan yang dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan untuk masalah malaria : a. Kebijakan Kebijakan Departemen Kesehatan RI untuk pengendalian malaria 1) Diagnosa Malaria harus terkonfirmasi atau Rapid Diagnostic Test. 2) Pengobatan Menggunakan Combination Therapy/ ACT 3) Pencegahan penularan malaria dengan kelambu ( Long Lasting Insekticidal Net ) 4) Kerjasama lintas sektor dalam forum gebrak malaria dan lintas program 5) Memperkuat Desa Siaga dengan pembentukan Pos Malaria Desa (Posmaldes ) 6) Kebijakan Departemen Kesehatan RI untuk pengendalian vektor 7) Pelatihan petugas 8) Penemuan aktif penderita 9) Penatalaksanaan kasus dan pengobatan 10) Pengendalian vektor 11) Pos malaria desa 12) Penyediaan sarana ( mikroskop, RDT ) bahan laboratorium dan obatobatan (ACT) b. Program Kegiatan Kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan : 1) Penemuan penderita malaria baik secara aktif melalui kegiatan Mass Blood Survey ( MBS ) maupun pasif ( rutin puskesmas ) 2) Pembagian kelambu berinsektisida kepada masyarakat miskin, ibu hamil, bayi dan balita 3) Screening malaria bagi ibu hamil saat kunjungan trimester pertama pada tenaga kesehatan 4) Penyemprotan dinding luar rumah ( Indoor Residual Sprying ) 5) Sosialisasi dan Publikasi Kegiatan untuk Dinas Kesehatan (mis. Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI) dalam upaya untuk menanggulangi masalah malaria di Indonesia dapat berupa Sosialisasi da Publikasi. Sosialisasi dan publikasi dalam hal ini bisa dalam bentuk media seperti poster atau web/blog, serta bisa secara langsung terjun ke masyarakat yang bisa berupa penyuluhan – penyuluhan (3M plus, pencegahan dan lain-lain) oleh Puskesmas setempat. Dinas Kesehatan merupakan penyelenggara kegiatan surveilans terhadap penyakit malaria. Hasil kegiatan surveilans ini berupa data kesakitan malaria akan digunakan untuk penanganan masalah lebih lanjut. Seperti penggalakan program pemberantasan sarang nyamuk (fogging dan program 3M Plus) terhadap masyarakat, penyuluhan tentang bahaya malaria oleh puskesmas setempat,juga pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan. 2) Pemerintah Kota/Kabupaten Pemerintah kota/kabupaten berwenang dalam masalah kebijakankebijakan pencegahan dan penanggulangan malaria. Kebijakan ini menjadi langkah represif untuk penanganan dan pencegahan malaria dari Pemerintah kota/kabupaten langsung ke masyarakat. Bentuk peran lainnya adalah pengalokasian dana untuk program pemberantasan dan pencegahan penyakit malaria. Peranan pemerintah setempat untuk membantu menanggulangi masalah malaria bisa berupa penyediaan sarana prasarana untuk membantu dan menunjang dari kegiatan – kegiatan maupun program – program dalam pemberantasan malaria. 3) Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dalam pemberantasan malaria di lingkungan sekolah. Dinas pendidikan memberi instruksi kepada sekolah-sekolah untuk membantu pelaksanaan program pemberantasan dengan cara menjaga lingkungan sekolah dan rumah para siswa untuk mencegah malaria. Juga menjaga diri dari gigitan nyamuk selama kegiatan belajar-mengajar di sekolah dengan cara pemakaian lotion anti nyamuk. B. Contoh Diseminasi Informasi Pada Surveilans Penyakit Tidak Menular Contoh diseminasi informasi pada surveilans penyakit tidak menular adalah sebagai berikut (Permenkes no.45 tahun 2014): a. Hasil-hasil analisis dan interpretasi dibuat dalam bentuk laporan dan atau presentasi. Laporan tersebut dikirimkan oleh unit penanggungjawab kepada jenjang struktural yang lebih tinggi, dari Puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten/kota, dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke dinas kesehatan provinsi dan Kementerian Kesehatan. Umpan balik diberikan ke unit jenjang dibawahnya, seperti ke dinkes kabupaten/kota dan dinkes provinsi. b. Diseminasi informasi ditujukan kepada seluruh stakeholder yang terkait, seperti jajaran kesehatan, LSM, profesi, perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya. Untuk jajaran kesehatan, khususnya dinas kesehatan informasi akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pengendalian PTM serta evaluasi program. 15. A. Otoritas Untuk Pelaporan Data Surveilens Di Tingkat Lokal Maupun Propinsi Pakar epidemiologi yang paling dekat dengan unit pelaporan setempat harus menyelidiki dugaan KLB penyakit yang dideteksi oleh sistem surveilans secepat mungkin. Sampai bantuan epidemiologi tiba, upaya penyelidikan dan pengendalian awal menjadi tanggung jawab unit kesehatan setempat. (Fauziyah, 2006). Rangkuman laporan dari temuan teknis sistem surveilans harus diumpan balikkan ke Komite Darurat Nasional, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan, kemudian tindakan yang tepat diambil untuk memperkenalkan upaya pengendalian yang tepat jika kondisi yang ada di luar kemampuan pakar epidemiologi. (Fauziyah, 2006). B. Sumber-Sumber dari Jenjang Surveilans Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014, sumber surveilans berupa dari individu, fasilitas pelayanan kesehatan, unit statistic dan demografi dan sebagainya. C. Persoalan-Persoalan Dalam Sederetan Daftar Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Disease) Notifable disease terdiri atas (Permenkes RI Nomor 45 Tahun 2014): A. Penyakit-penyakit menular : a. surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi; b. surveilans penyakit demam berdarah; c. surveilans malaria; d. surveilans penyakit zoonosis; e. surveilans penyakit filariasis; f. surveilans penyakit tuberkulosis; g. surveilans penyakit diare; h. surveilans penyakit tifoid; i. surveilans penyakit kecacingan dan penyakit perut lainnya; j. surveilans penyakit kusta; k. surveilans penyakit frambusia; l. surveilans penyakit HIV/AIDS; m. surveilans hepatitis; n. surveilans penyakit menular seksual;dan o. surveilans penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi saluran pernafasan akut berat (severe acute respiratory infection). B. Penyakit-penyakit tidak menular : a) surveilans penyakit jantung dan pembuluh darah; b) surveilans diabetes melitus dan penyakit metabolik; c) surveilans penyakit kanker; d) surveilans penyakit kronis dan degeneratif; e) surveilans gangguan mental; dan f) surveilans gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan. Persoalan-persoalan yang terjadi pada saat pelaporan penyakit-penyakit diatas yaitu dalam hal aksesibilitas, kelengkapan data, keakuratan data, dan kejelasan informasi yang dihasilkan. (Erlinawati, 2015). D. Pendekatan-Pendekatan Menterjemahkan Data Ke Dalam Aksi Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans aktif. Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas. Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif. Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006). E. Surveilans di Negara Berkembang Permasalahan tidak berjalannya sistem surveilans tidak saja terjadi pada sistemnya melainkan pada pelaksanaanya. Selain itu, pelaksanaan program surveilans oleh unit kesehatan belum terintegrasi secara menyeluruh dan perlunya kehadiran petugas kesehatan ditengah-tengah masyarakat sebagai tempat mereka bertanya tentang masalah kesehatan yang mereka hadapi agar dapat dicarikan aletrnatif dan solusi untuk permasalahan tersebut. (WHO, 2006). Lemahnya sistem investigasi dan surveilans di negara berkembang untuk penyakit bawaan makanan menyebabkan angka kasus yang tinggi atau berita mengenai KLB tersebut jarang ditemui, tetapi hal ini menggugah kewaspadaan negara diseluruh dunia tentang potensi masalah yang membayangi dibidang keamanan makanan dan potensi peningkatan serta penyebaran penyakit bawaan makanan. (WHO, 2006). Oleh karena itu, masih banyak diperlukan pembenahan pada pelaksanaan program surveilans agar dapat ditingkatkan derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat secara umum. (WHO, 2006). F. Terminologi Kunci Yang Digunakan Dalam Surveilens Di Negara Sedang Berkembang Di negara epidemiologi. berkembang Baik surveilans terkadang menggunakan kesehatan masyarakat istilah surveilans maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health). G. Surveilans Berbasis Populasi Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit. H. Pembangunan Sistem-Sistem Surveilens Terpadu Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006). Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002). 16. Peran Surveilans dan Surveilans KLB  Peran surveilans dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit adalah (Wahyudin Rajab, 2009):  Deteksi KLB, letusan, wabah (epidemic)  Memamntau kecenderungan penyakit endemic  Evaluasi intervensi penyakit  Memantau kemajuan pengendalian penyakit  Memantau kinerja program pencegahanan, pengendalian dan penanggulangan penyakit  Prediksi KLB, letusan, wabah (epidemic)  Memperkirakan dampak masa dating dari penyakit  KLB serta Pencegahan dan Penanggulangan Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010, KLB (kejadian luar biasa) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Suatu penyakit dapat dikategorikan menjadi KLB jika memenuhi salah satu syaratsyarat, dibawah ini : a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah. b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya. c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya. d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya. e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya. f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama. g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama. Penanggulangan KLB/wabah meliputi penyelidikan epidemiologi dan surveilans; penatalaksanaan penderita; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada  masyarakat; dan upaya penanggulangan lainnya. (Permenkes 1501 Tahun 2010). Surveilans KLB Surveilans di daerah wabah dan daerah-daerah yang berisiko terjadi wabah dilaksanakan lebih intensif untuk mengetahui perkembangan penyakit menurut waktu dan tempat dan dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan yang sedang dilaksanakan, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut (Permenkes 1501 Tahun 2010): a. Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-pos kesehatan dan unit-unit kesehatan lainnya, membuat tabel, grafik dan pemetaan dan melakukan analisis kecenderungan wabah dari waktu ke waktu dan analisis data menurut tempat, RT, RW, desa dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu lainnya. b. Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepala desa, kader dan masyarakat untuk membahas perkembangan penyakit dan hasil upaya penanggulangan wabah yang telah dilaksanakan. c. Memanfaatkan hasil surveilans tersebut dalam upaya penanggulangan wabah. Hasil penyelidikan surveilans secara teratur disampaikan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan provinsi dan Menteri up. Direktur Jenderal sebagai laporan perkembangan penanggulangan wabah. 17. Contoh Surveilans Nasional: Surveilans Gizi (Sumber: Kemenkes RI, 2012)  Tujuan i. Umum Terselenggaranya kegiatan surveilans gizi untuk memberikan gambaran perubahan pencapaian kinerja pembinaan gizi masyarakat dan indikator khusus lain yang diperlukan secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan dalam rangka pengambilan tindakan segera, perencanaan jangka pendek dan menengah serta perumusan kebijakan. ii. Khusus a. Tersedianya informasi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan mengenai perubahan pencapaian kinerja pembinaan gizi: 1) Persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan; 2) Persentase balita yang ditimbang berat badannya; 3) Persentase bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eksklusif; 4) Persentase rumah tangga mengonsumsi garam beriodium; 5) Persentase balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A; 6) Persentase ibu hamil mendapat 90 tablet Fe; 7) Persentase kabupaten/kota melaksanakan surveilans gizi; 8) Persentase penyediaan bufferstock MP-ASI untuk daerah bencana. b. Tersedianya informasi indikator gizi lainnya secara berkala jika diperlukan, seperti: 1) Prevalensi balita gizi kurang berdasarkan antropometri; 2) Prevalensi status gizi anak usia sekolah, remaja dan dewasa; 3) Prevalensi risiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur ( WUS) dan ibu hamil; 4) Prevalensi anemia gizi besi dan Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI), Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah gizi mikro lainnya; 5) Tingkat konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (defisiensi zat besi, defisiensi iodium); 6) Data pendistribusian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT);  7) Data terkait lainnya yang diperlukan. Indikator (Indikator Keberhasilan Surveilans) A. Indikator Input a. Adanya tenaga manajemen data gizi yang meliputi pengumpul data dari laporan rutin atau survei khusus, pengolah dan analis data serta penyaji informasi b. Tersedianya instrumen pengumpulan dan pengolahan data c. Tersedianya sarana dan prasarana pengolahan data d. Tersedianya biaya operasional surveilans gizi B. Indikator Proses a. Adanya proses pengumpulan data b. Adanya proses editing dan pengolahan data c. Adanya proses pembuatan laporan dan umpan balik hasil surveilans gizi d. Adanya proses sosialisasi atau advokasi hasil surveilans gizi C. Indikator Output a. Tersedianya informasi gizi buruk yang mendapat perawatan b. Tersedianya informasi balita yang ditimbang berat badannya (D/S) c. Tersedianya informasi bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eksklusif d. Tersedianya informasi rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium e. Tersedianya informasi balita 6-59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A f. Tersedianya informasi ibu hamil mendapat 90 tablet Fe g. Tersedianya informasi kabupaten/kota yang melaksanakan surveilans gizi h. Tersedianya informasi penyediaan bufferstock MP-ASI untuk daerah bencana i. Tersedianya informasi data terkait lainnya (sesuai dengan situasi dan  kondisi daerah) Sumber Data dan Waktu Pelaporan  Alur Pelaporan dan Umpan Balik serta Koordinasi Penjelasan Alur Pelaporan dan Umpan Balik serta Koordinasi: 1. Laporan kegiatan surveilans dilaporkan secara berjenjang sesuai sumber data (bisa mulai dari Posyandu atau dari Puskesmas) 2. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi berkoordinasi dengan Rumah Sakit (RS)2 Pusat/Provinsi/Kabupaten/ Kota tentang data terkait, seperti data kasus gizi buruk yang mendapat perawatan. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengirimkan rekapitulasi laporan dari Puskesmas (Kecamatan) dan dari RS Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI, sesuai dengan frekuensi pelaporan. 4. Umpan balik hasil kegiatan surveilans disampaikan secara berjenjang dari Pusat ke Provinsi setiap 3 bulan atau setiap saat bila terjadi perubahan kinerja, dari Provinsi ke Kabupaten/Kota dan dari Kabupaten/Kota ke Kecamatan (Puskesmas) serta Desa/Kelurahan (Posyandu) sesuai dengan frekuensi  pelaporan pada setiap bulan berikutnya. Penyelidikan Epidemiologi Penyelidikan epidemiologi yang dilakukan dalm surveilans gizi berupa penyelidikan kasus gizi buruk balita, cakupan ASI eksklusif bayi 0-6 bulan, rumah tangga mengonsumsi garam beriodium, balita 6-59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A, ibu hamil mendapat 90 Tablet Tambah Darah (TTD) atau tablet Fe, kabupaten/kota yang melaksanakan surveilans gizi, dan penyediaan bufferstock MP-ASI untuk daerah bencana. 18. Monitoring dan Evaluasi Surveilans Monitoring Surveilans Kesehatan dilaksanakan secara berkala untuk mendapatkan informasi atau mengukur indikator kinerja kegiatan. Kinerja penyelengaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan diukur dengan indikator masukan, proses dan keluaran. Monitoring dilaksanakan sebagai bagian dalam pelaksanaan surveilans yang sedang berjalan. Disamping itu monitoring akan mengawal agar tahapan pencapaian tujuan kegiatan sesuai target yang telah ditetapkan. Bila dalam pelaksanaan monitoring ditemukan hal yang tidak sesuai rencana, maka dapat dilakukan koreksi dan perbaikan pada waktu yang tepat. (PMK no. 45 Tahun 2014). Indikator kinerja surveilans sebagaimana dimaksud pada peraturan menteri kesehatan no. 45 tahun 2014 paling sedikit meliputi: a. kelengkapan laporan; b. ketepatan laporan; dan c. indikator kinerja surveilans lainnya yang ditetapkan pada masing-masing program. Menurut keputusan menteri kesehatan no. 1116/MENKES/SK/VIII/2003 indikatorindikator kinerja surveilans adalah sebagai berikut : Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur hasil dari Surveilans Kesehatan yang telah dilaksanakan dalam perode waktu tertentu. Disebabkan banyaknya aspek yang berpengaruh dalam pencapaian suatu hasil, maka evaluasi objektif harus dapat digambarkan dalam menilai suatu pencapaian program. Peran dan kontribusi Surveilans Kesehatan terhadap suatu perubahan dan hasil program kesehatan harus dapat dinilai dan digambarkan dalam proses evaluasi. (Peraturan Menteri Kesehatan no. 45 Tahun 2014). 19. Problematika Survailans Di Negara Berkembang Permasalahan tidak berjalannya sistem surveilans tidak saja terjadi pada sistemnya melainkan pada pelaksanaanya. Selain itu, pelaksanaan program surveilans oleh unit kesehatan belum terintegrasi secara menyeluruh dan perlunya kehadiran petugas kesehatan ditengah-tengah masyarakat sebagai tempat mereka bertanya tentang masalah kesehatan yang mereka hadapi agar dapat dicarikan aletrnatif dan solusi untuk permasalahan tersebut. (WHO, 2006). Lemahnya sistem investigasi dan surveilans di negara berkembang untuk penyakit bawaan makanan menyebabkan angka kasus yang tinggi atau berita mengenai KLB tersebut jarang ditemui, tetapi hal ini menggugah kewaspadaan negara diseluruh dunia tentang potensi masalah yang membayangi dibidang keamanan makanan dan potensi peningkatan serta penyebaran penyakit bawaan makanan. (WHO, 2006). Oleh karena itu, masih banyak diperlukan pembenahan pada pelaksanaan program surveilans agar dapat ditingkatkan derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat secara umum. (WHO, 2006). Daftar Pustaka Amiruddin, Ridwan. 2013. Surveilans Kesehatan Masyarakat. Bogor: IPB Press. Arjuna, Fatkurahman. 2012. "Manfaat Epidemiolog". http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Fatkurahman%20Arjuna,%20 M.Or/sumber-data-kesehatan-masyarakat.pdf. Diakses pada 15 Juni 2015. Budiarto, Eko dan Dwi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: EGC Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Budiarto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC Budioro. 2007. Pengantar Epidemiologi Edisi II. Semarang: Badan Penerbit Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip. Bustan, M.N., 2006. Pengantar Epidemiologi (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Rineka Cipta. Chandra, Budiman. 1995. Pengantar Statistika Kesehatan. Jakarta: EGC. Churchill, Gilbert A. 2005. Dasar-Dasar Riset Pemasaran. Jakarta: Erlangga. Darwin, Eryati. 2014. Etika Profesi Kesehatan. Yogyakarta: Depublish. DCP2. 2008. “Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control Priority Project”. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf. Diakses pada 9 Juni 2015. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2004. Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang 2004. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang. Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Erlinawati, Yulis. 2011. “Pengembangan Sistem Informasi Posyandu Guna Mendukung Surveilans Kesehatan Ibu dan Anak Berbasis Masyarakat Pada Desa Siaga”. Program Magister Keperawatan, Kekhususan Keperawatan Komunitas, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Fauziyah, Munaya. 2006. Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC J., Giesecke. 2002. Modern Infectious Disease Epidemiology. London: Arnold. JHU (=Johns Hopkins University). 2006. Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/Sk/Viii/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/Sk/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 300/ MENKES/SK/IV/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza Kesmas. 2013. “Pengertian Surveilans Kesmas”. http://www.indonesian- publichealth.com/2013/07/teori-surveilans-kesmas.html. Diakses pada 9 Juni 2015. Krisanti J, Diana dan Slamet Santoso. 2008. Metodologi Penelitian Biomedis Edisi 2. Bandung: Danamartha Sejahtera Utama (DSU) Montori, Soleman. 2013. "Apakah Diseminasi Informasi Itu". http://www.manadokota.go.id/berita-1194-apakah--diseminasi--informasi-itu.html. Diakses pada 15 Juni 2015. Morton, Richard F.; J. Richard Hebel: dan Robert J. McCarter. 2009. Epidemiologi dan Biostatistika: Panduan Studi Edisi 5. Jakarta :EGC Murti, Bhisma. “Sejarah Epidemiologi”. Bagian Ilmu Kesehatan Mayarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret. Nasry, Nur N. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta Penn State Science. 2015. "10.3 - Sensitivity, Specificity, Positive Predictive Value, and Negative Predictive Value". https://onlinecourses.science.psu.edu/stat507/node/71. Diakses pada 18 Juni 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan Rajab, Wahyudin. 2009. Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC. Romaguera, A. Raul., German, R.Robert & Klaucke N. Douglas, 2000 Evaluating Public Health Surveillance in : Teutsch, M. Steven and Churchill, E. R. ed. Principles and Practice of Public Health Surveillance: New york : Oxford University Press pp. Rutstein, David D. 1983. Sentinel Health Events (OCcupational): A Basis for Physician Recognition And Public Health Surveilance. AJPH September 1963, Vol 73, No. 9. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1651048/. Diakses pada 14 Juni 2015. Saraswati, Lintang Dian. 2015a. "Sumber-Sumber yang Secara Rutin Mengumpulkan Data Untuk Surveilans". Saraswati, Lintang Dian. 2015b. "Pertimbangan dalam Perencanaan Surveilans Kesehatan Masyarakat". Saraswati, Lintang Dian. 2015c. "Persoalan Etika dalam Surveilans". Setyawan, Dodiet Aditya. 2014. Pengantar Sistem Informasi Geografis [Manfaat SIG dalam Kesehatan Masyarakat]. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta. Sugiasih, Ety. 2012. “Gambaran Pelaksanaan Surveilans Campak Di Puskesmas Cepu Dan Tunjungan Kabupaten Blora Tahun 2012”. Universitas Negeri Semarang. Supranto, J. 2007. Statistik untuk Pemimpin Berwawasan Global. Jakarta: Salemba Empat Turnock, Bernard J. 2014. Essentials of Public Health. United States: Jones & Bartlett Publishers. WHO. 2001. “An integrated approach to communicable disease surveillance”. Weekly epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer/ WHO. 2002. Surveillance: slides. http://www.who.int WHO. 2006. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC.