Tumbuhan obat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kulit kayu pohon kina digunakan sebagai obat malaria
Lythrum salicaria telah digunakan sebagai pengecil pori-pori (astringent), obat diare, dan obat disentri di berbagai tempat di belahan bumi utara serta Australia

Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang telah diidentifikasi dan diketahui berdasarkan pengamatan manusia memiliki senyawa yang bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit, melakukan fungsi biologis tertentu, hingga mencegah serangan serangga dan jamur. Setidaknya 12 ribu senyawa telah diisolasi dari berbagai tumbuhan obat di dunia, tetapi jumlah ini hanya sepuluh persen dari jumlah total senyawa yang dapat diekstraksi dari seluruh tumbuhan obat.[1][2]

Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat telah ada sejak zaman prasejarah manusia. Pada tahun 2001, para peneliti telah mengidentifikasi bahwa 122 senyawa yang digunakan di dunia kedokteran modern merupakan turunan dari senyawa tumbuhan yang sudah digunakan sejak zaman prasejarah.[3] Begitu banyak obat-obatan yang tersedia saat ini merupakan turunan dari pengobatan herbal, seperti aspirin yang terbuat dari kayu pohon dedalu, juga digitalis, quinine, dan opium.

WHO memperkirakan bahwa 80 persen warga di benua Asia dan Afrika memanfaatkan pengobatan herbal untuk beberapa aspek perawatan kesehatan. Amerika Serikat dan Eropa memiliki ketergantungan yang lebih sedikit, tetapi memperlihatkan kecenderungan meningkat sejak efektivitas beberapa tumbuhan obat telah teruji secara ilmiah dan terpublikasikan. Pada tahun 2011, total tumbuhan obat yang diperdagangkan di seluruh dunia mencapai nilai lebih 2.2 miliar USD.[4]

Dengan sumber yang berasal dari tumbuhan, maka kekayaan hayati suatu negara seperti hutan menjadi penting,[5] dan kerusakan hutan mengancam keberadan tumbuhan obat yang pernah dan saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat penghuni kawasan hutan dan sekitarnya.[6] Keanekaragaman hayati di dalam hutan penting selain sebagai sarana melestarikan spesies tumbuhan obat untuk manusia, juga dapat menjadi sumber obat-obatan darurat bagi hewan langka yang ada di cagar alam. Tumbuhan yang bermanfaat tersebut perlu diidentifikasi dan diteliti lebih lanjut, dan pakar konservasi atau jagawana perlu dilatih untuk menggunakan tumbuhan obat tersebut.[7] Pengetahuan mengenai pemanfaatan tanaman obat di dalam hutan dapat digali dari masyarakat setempat berdasarkan pengalaman mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi.[8][9] Masyarakat Suku Tugutil di Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Halmahera, memiliki pengetahuan terhadap setidaknya 116 spesies tumbuhan lokal, dengan 71 spesies dimanfaatkan sebagai tanaman pangan dan 45 spesies dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat.[10]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejak zaman prasejarah, rempah-rempah pada awalnya digunakan sebagai bumbu penyedap makanan, tetapi perlahan diketahui memiliki beragam manfaat.[1][2] Terutama rempah-rempah yang memiliki kemampuan antimikroba sehingga dapat mengawetkan makanan. Cara ini diperkirakan berawal di wilayah tropis di mana makanan tidak bisa diawetkan karena faktor iklim. Berbeda dengan wilayah iklim sedang yang memiliki musim dingin sehingga makanan dapat diawetkan secara temperatur rendah.[11] Daging secara umum di berbagai budaya dibumbui lebih banyak dari sayuran karena daging lebih cepat rusak.[12]

Berbagai bukti arkeologis menemukan bahwa manusia menggunakan tumbuhan obat setidaknya sejak zaman Paleolitikum, sekitar 60 ribu tahun yang lalu. Namun diperkirakan hal itu terjadi lebih awal, karena primata yang masih hidup saat ini juga telah menggunakan berbagai dedaunan spesifik untuk menyembuhkan penyakit tertentu.[13] Sampel tumbuhan yang dikumpulkan dari lokasi prasejarah Neanderthal Gua Shanidar di Iran menemukan sejumlah besar polen dari 8 spesies tumbuhan, dengan tujuh di antaranya masih digunakan sampai sekarang sebagai pengobatan herbal.[14]

Dalam sejarah tertulis, setidaknya setudi mengenai rempah daun telah dilakukan sejak 5000 tahun lalu di Sumeria, dan tertulis di tablet tanah liat yang memuat daftar ratusan tumbuhan obat. Pada tahun 1500 SM bangsa Mesir Kuno menulis Papirus Eber yang berisi lebih dari 800 tumbuhan obat, termasuk di antaranya bawang putih dan mariyuana.[15] Di India, pengobatan Ayurveda telah menggunakan berbagai tumbuhan obat sejak 1900 SM.[16][17] Kaisar China Shennong disebutkan telah menulis setidaknya 365 tumbuhan obat dan pemanfaatannya, termasuk mariyuana dan ephedra (yang menjadi asal kata nama obat ephedrine).[18] Pada Yunani Kuno, setidaknya tumbuhan obat telah dipelajari sejak abad ke 3 SM oleh Diocles of Carystus, tetapi sebagian besar isinya mirip dengan yang ditemukan di Mesir.[19]

Fitokimia[sunting | sunting sumber]

Semua tumbuhan menghasilkan senyawa kimia sebagai bagian dari aktivitas metabolisme. Senyawa fitokimia ini dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

  • Metabolit primer seperti gula dan lemak yang ditemukan di seluruh jenis tumbuhan.
  • Metabolit sekunder yang tidak ditemukan di semua jenis tumbuhan, dan setiap jenis tumbuhan dapat memiliki jenis dan fungsi metabolit sekunder yang berbeda-beda.[20]

Contoh metabolit sekunder yaitu toksin yang digunakan untuk melawan predator dan feromon yang digunakan untuk menarik perhatian serangga untuk melakukan penyerbukan. Metabolit sekunder inilah yang banyak digunakan sebagai obat-obatan pada manusia, seperti inulin dari akar dahlia sebagai media penyimpanan energi digunakan manusia untuk pengobatan ginjal; kuinina dari kina menghasilkan rasa pahit sehingga mencegah tumbuhan dimakan herbivora, pada manusia dijadikan obat malaria; dan morfin dari lateks opium merupakan pertahanan ketika biji opium yang sedang berkembang diserang, oleh manusia dijadikan bahan obat-obatan.[20] Bahkan tumbuhan yang beracun dapat memiliki manfaat secara medis.[21]

Tumbuhan mensintesis berbagai jenis fitokimia, tetapi sebagian besar merupakan turunan dari senyawa biokimia dasar:[22]

  • Alkaloid merupakan senyawa kimia yang memiliki cincin nitrogen. Alkaloid dihasilkan dari berbagai jenis organisme dari bakteri hingga animalia. Alkaloid dapat dimurnikan dengan menggubakan ekstraksi asam-basa. Berbagai alkaloid bersifat toksik bagi organisme lain. Contoh alkaloid adalah kafeina. Secara umum alkaloid memiliki rasa pahit.
  • Polifenol adalah senyawa yang mengandung cincin fenol. Contoh polifenol yaitu antosianin yang memberi warna ungu pada anggur, tannin yang memberi rasa pada teh, dan isoflavon dari kedelai.
  • Glikosida adalah molekul gula yang terikat dengan substansi non-karbohidrat, biasanya senyawa organik. Glikosida berperan sebagai media penyimpanan energi pada tumbuhan dan dapat diaktifkan melalui hidrolisis oleh enzim yang melepaskan rantai gula dari glikosida sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan.
  • Terpena adalah senyawa organik yang umumnya dihasilkan oleh konifer. Terpena memiliki aroma yang kuat dan berfungi melindungi konifer dari serangan serangga. Terpena ada pada resin atau getah konifer. Oleh manusia, terpena digunakan sebagai parfum, pemberi rasa pada makanan, dan aromaterapi.

Uji klinis[sunting | sunting sumber]

Berbagai rempah daun memiliki efek positif ketika diuji secara in-vitro, pada hewan, dan uji klinis skala kecil,[23] namun tidak jarang beberapa tumbuhan obat memiliki efek negatif.[24]

Pada tahun 2002, National Institutes of Health mulai membiayai uji klinis terhadap efektivitas obat herbal.[25] Survey pada tahun 2010 terhadap 1000 jenis tumbuhan, 356 di antaranya telah memiliki hasil uji klinis mengenai manfaatnya secara farmakologi. Sekitar 12 persen dikatakan "tidak memiliki manfaat yang signifikan" meski telah tersedia di pasar.[26] Dan berdasarkan Cancer Research UK, tidak ada satupun pengobatan herbal yang terbukti secara klinis dapat mencegah atau mengobati kanker.[27] Berbagai pakar pengobatan herbal mengkritik studi ilmiah terhadap obat-obatan herbal karena tidak memasukkan pengetahuan historis yang dapat memberikan informasi mengenai dosis optimal, spesies yang detail, waktu pemanenan, dan target populasi penerima obat.[3][28]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Tapsell LC, Hemphill I, Cobiac L; et al. (August 2006). "Health benefits of herbs and spices: the past, the present, the future". Med. J. Aust. 185 (4 Suppl): S4–24. PMID 17022438. 
  2. ^ a b Lai PK, Roy J (June 2004). "Antimicrobial and chemopreventive properties of herbs and spices". Curr. Med. Chem. 11 (11): 1451–60. PMID 15180577. 
  3. ^ a b Fabricant DS, Farnsworth NR (March 2001). "The value of plants used in traditional medicine for drug discovery". Environ. Health Perspect. 109 Suppl 1 (Suppl 1): 69–75. PMC 1240543alt=Dapat diakses gratis. PMID 11250806. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-01. Diakses tanggal 2014-04-13. 
  5. ^ Zuhud, Ervizal A. M. (1989). "Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Obat Indonesia". Media Konservasi IPB. 
  6. ^ Zuhud, Ervizal A. M. (2009). "Kebijakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia yang "Bhineka Tunggal Ika" dengan Pengembangan Potensi Lokal Ethno-Forest-Pharmacy (Etno-Wanafarma) pada Setiap Wilayah Sosio-Biologi Satu-Satuan Masyarakat Kecil". Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 
  7. ^ Ulfah, Maria (2006). "The Potency of Medicinal Plants as A Multi Function Phytobiotic to Improve Performance and Health Condition of Wild Animals in Captivity". Media Konservasi IPB. 
  8. ^ Sangat, Harini M. (2006). "The Role Of Local Knowledge In Developing Indigenous Indonesian Medicine". Media Konservasi IPB. 
  9. ^ Pulunggono, Heru Bagus (1999). "Ethonobotany of People Live in Amarasi of Kupang, Mollo and Amanatun of South Central Timor, West Timor, Indonesia". Media Konservasi IPB. 
  10. ^ Karim, Kartini Abd.; Thohari, Mahmud; Sumardjo (2006). "Utilization of plant genetic biodiversity by Tugutil tribe in Aketajawe Lolobata National Park". Media Konservasi IPB. 
  11. ^ Billing, Jennifer; Sherman, PW (March 1998). "Antimicrobial functions of spices: why some like it hot". Q Rev Biol. 73 (1): 3–49. doi:10.1086/420058. PMID 9586227. 
  12. ^ Sherman, P; Hash, GA (May 2001). "Why vegetable recipes are not very spicy". Evol Hum Behav. 22 (3): 147–163. doi:10.1016/S1090-5138(00)00068-4. PMID 11384883. 
  13. ^ Sumner, Judith (2000). The Natural History of Medicinal Plants. Timber Press. hlm. 16. ISBN 0-88192-483-0. 
  14. ^ Solecki, Ralph S. (November 1975). "Shanidar IV, a Neanderthal Flower Burial in Northern Iraq". Science. 190 (4217): 880–881. doi:10.1126/science.190.4217.880. 
  15. ^ Sumner, Judith (2000). The Natural History of Medicinal Plants. Timber Press. hlm. 17. ISBN 0-88192-483-0. 
  16. ^ Aggarwal BB, Sundaram C, Malani N, Ichikawa H (2007). "Curcumin: the Indian solid gold". Adv. Exp. Med. Biol. ADVANCES IN EXPERIMENTAL MEDICINE AND BIOLOGY. 595: 1–75. doi:10.1007/978-0-387-46401-5_1. ISBN 978-0-387-46400-8. PMID 17569205. 
  17. ^ "Turmeric Herb". Tamilnadu.com. 15 December 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-08. Diakses tanggal 2014-04-15. 
  18. ^ Sumner, Judith (2000). The Natural History of Medicinal Plants. Timber Press. hlm. 18. ISBN 0-88192-483-0. 
  19. ^ Robson, Barry & Baek, O.K. (2009). The Engines of Hippocrates: From the Dawn of Medicine to Medical and Pharmaceutical Informatics. John Wiley & Sons. hlm. 50. ISBN 9780470289532. 
  20. ^ a b Meskin, Mark S. (2002). Phytochemicals in Nutrition and Health. CRC Press. hlm. 123. ISBN 9781587160837. 
  21. ^ "Angiospermae: Division Magnoliophyta: General Features". Encyclopædia Britannica (volume 13, 15th edition). 1993. hlm. 609. 
  22. ^ Springbob, Karen & Kutchan, Toni M. (2009). "Introduction to the different classes of natural products". Dalam Lanzotti, Virginia. Plant-Derived Natural Products: Synthesis, Function, and Application. Springer. hlm. 3. ISBN 9780387854977. 
  23. ^ Srinivasan K (2005). "Spices as influencers of body metabolism: an overview of three decades of research". Food Research International. 38 (1): 77–86. doi:10.1016/j.foodres.2004.09.001. 
  24. ^ Pittler, M; Abbot, NC; Harkness, EF; Ernst, E (2000). "Location bias in controlled clinical trials of complementary/alternative therapies". International Journal of Epidemiology. 53 (5): 485–489. doi:10.1016/S0895-4356(99)00220-6. PMID 10812320. 
  25. ^ Herbal Medicine, NIH Institute and Center Resources, National Center for Complementary and Alternative Medicine, National Institutes of Health.
  26. ^ Cravotto G, Boffa L, Genzini L, Garella D (February 2010). "Phytotherapeutics: an evaluation of the potential of 1000 plants". J Clin Pharm Ther. 35 (1): 11–48. doi:10.1111/j.1365-2710.2009.01096.x. PMID 20175810. 
  27. ^ "Herbal medicine". Cancer Research UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-28. Diakses tanggal August 2013. 
  28. ^ Eric Yarnell, N.D., R.H., and Kathy Abascal, J.D (2002). "Dilemmas of Traditional Botanical Research". HerbalGram. 55: 46–54. 

Bahan bacaan terkait[sunting | sunting sumber]