Melacak Sejarah: Kisah Nyata di Balik Max Havelaar - Kabar Palu
Rabu, 15 Mei 2024

Melacak Sejarah: Kisah Nyata di Balik Max Havelaar

- Rabu, 15 Mei 2024 | 00:08 WIB
Dilahirkan di Amsterdam, Multatuli pernah diangkat sebagai asisten residen di Lebak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist pada periode Januari hingga April 1856.
Dilahirkan di Amsterdam, Multatuli pernah diangkat sebagai asisten residen di Lebak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist pada periode Januari hingga April 1856.

KABARPALU.NET - Rangkasbitung, Banten - Poster-poster wajah peserta Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, berjejer di sepanjang jalan dengan semangat perubahan yang diusung. Semangat yang mungkin pernah dirasakan oleh Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker, dalam novelnya yang terkenal, Max Havelaar.

Dilahirkan di Amsterdam, Multatuli pernah diangkat sebagai asisten residen di Lebak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist pada periode Januari hingga April 1856. Saat itu, Lebak merupakan wilayah terpencil di bawah residensi Banten.

Novel berjudul Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij, diterbitkan pada tahun 1860 di Belanda. Multatuli mengisahkan pengamatannya terhadap praktek pemerintahan lokal pada masa Cultuurstelsel—sistem tanam paksa—di Lebak pada pertengahan abad ke-19.

Karya ini kemudian mengubah pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dikuasainya. Bahkan, Cultuurstelsel dihapuskan pada tahun 1870. Multatuli berhasil mengungkap kebobrokan Hindia Belanda, tanpa memandang ras.

Di sebelah selatan alun-alun Lebak, terdapat sebuah rumah berarsitektur indies yang mengagumkan. Kelima anak tangganya menyambut tamu dengan ramah di beranda yang luas, dihiasi dengan empat pilar gaya tuskan.

Baca Juga: Mengungkap Perubahan Wilayah: Transformasi Vorstenlanden dari Masa ke Masa

Rumah ini dulu merupakan kediaman Bupati Raden Adipati Karta Natanagara pada pertengahan abad ke-19. Warga setempat mengenalnya sebagai Regen Sepoeh, seorang yang ditakuti dan dihormati di Kabupaten Lebak.

Novel Max Havelaar membuka mata banyak orang terhadap ketidakadilan di Lebak. Multatuli menyoroti kesenjangan antara kehidupan mewah bupati dengan penderitaan rakyatnya. Bahkan menantu sang bupati, Demang Raden Wirakusuma, terlibat dalam pemerasan terhadap warga.

Bagi warga Lebak, Multatuli telah diabadikan dalam sejarah mereka. Salah satu jalan raya utama di kota ini dinamai sesuai dengan namanya. Namun, pandangan tentang Multatuli dan perannya dalam sejarah Lebak masih diperdebatkan.

Eduard berhasil menggambarkan situasi saat itu dalam novelnya, menunjukkan bahwa ketidakadilan tidak hanya dilakukan oleh penguasa kolonial, tetapi juga oleh penguasa lokal. Para bupati dan demang melakukan eksploitasi terhadap penduduk setempat.

Rumah Multatuli, meski tidak lagi utuh, tetap menjadi bagian berharga dari sejarah Lebak. Meskipun novelnya berhasil mengakhiri sistem tanam paksa, ironisnya, Lebak tetap menjadi salah satu kabupaten termiskin di Banten hingga hari ini.

Kisah hidup Multatuli pun tak semulus novelnya. Setelah tidak lagi menjadi pegawai pemerintah, ia terjerumus ke dalam kehidupan yang sulit. Hingga akhirnya, ia meninggal sebagai gelandangan di Jerman.

Meskipun sebagian menganggap Max Havelaar hanya sebagai karya fiksi, banyak tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebutkan dalam novel tersebut benar-benar ada. Praktek pemerasan dan kerja paksa yang digambarkan juga merupakan hal yang umum terjadi pada masa itu.

Demikianlah kisah Max Havelaar yang mencerminkan realitas kehidupan di Lebak pada abad ke-19. Meski telah berlalu begitu lama, pesan tentang keadilan dan perubahan yang diusung oleh novel ini tetap relevan hingga kini.***

Halaman:

Editor: Moh. Fadhil Ramadhan Daud

Sumber: National Geographic Indonesia

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X