[Tapak Tilas] “Panas Dingin” Arus Islam di Jerman – Muslimah News
[Tapak Tilas] “Panas Dingin” Arus Islam di Jerman

[Tapak Tilas] “Panas Dingin” Arus Islam di Jerman

Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

Muslimah News, TAPAK TILAS — Hubungan Jerman dengan umat Islam ternyata sudah terjalin sejak lama. Sejarah mencatat, sekira akhir abad ke-8, Raja Charlemagne dari Jerman (Prusia) sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Kekhalifahan Abbasiyah.

Meski demikian, keberadaan muslim di Jerman tercatat baru dimulai sekira tahun 1683. Saat itu, pasukan Khilafah Utsmani mengalami kekalahan saat berperang dengan Polandia ketika berupaya mengepung Wina. Tentara muslim yang tertawan itu lalu dibuang ke Jerman (saat itu masih bernama Prusia), dan disebut-sebut menjadi generasi muslim pertama di sana.

Perkembangan Islam

Jumlah muslim di Jerman bertambah ketika Khilafah terlibat perang dengan Rusia antara tahun 1735-1739. Saat itu Rusia berusaha untuk menguasai Laut Hitam dan berhasil mengalahkan pasukan Khilafah lalu mengirim tawanannya ke Jerman.

Namun, pada perkembangan berikutnya, tawanan-tawanan muslim ini direkrut oleh Kerajaan Prusia atau Jerman dan digabung dalam satuan unit yang disebut “Penunggang Muslim”. Lalu ketika hubungan Khilafah dengan Prusia membaik, Prusia mengeluarkan kebijakan membuka kesempatan bagi kaum muslim untuk tinggal di sana. Konon, saat itu beberapa pejabat Prusia ada yang masuk Islam.

Raja Prusia saat itu, yakni Kaiser/Raja Friedrich Wilhelm II memang dikenal cukup terbuka. Ia mengizinkan pendirian mesjid pertama di sana. Tahun 1740 ia yang saat itu memegang kekaisaran Roma, Yerusalem, dan Sicilia pernah berkata, ”Semua agama adalah sama dan baik, jika orang-orang yang memeluknya jujur, dan bila Turki datang kemari dan ingin tinggal di negara ini, maka kita akan dirikan bagi mereka masjid-masjid.” Hal ini direalisasikan dengan dibangunnya masjid di kompleks Istana Schwetzingen yang hari ini sudah berubah menjadi tempat wisata sejarah.

Hubungan baik ini terus berlanjut hingga tahun 1763, Khilafah mengirim perwakilan diplomatiknya dan mereka tinggal di Jerman. Ketika sang duta yang bernama Ali Aziz Efendi tersebut meninggal, Raja Friedrich Wilhelm III membuatkan pemakaman khusus sebagai penghormatan.

Pemakaman ini kemudian menjadi pemakaman muslim pertama di Jerman dan disebut pemakaman para syuhada (Sehitlik) karena banyak tentara Turki yang syahid saat Perang Dunia I dimakamkan di sana. Pada tahun 1989 di kompleks pemakaman ini dibangun masjid bernama Masjid Sehitlik yang hingga sekarang menjadi salah satu pusat kegiatan umat Islam di Jerman.

Perkembangan Islam di Tengah Ambisi Politik Global

Hubungan baik Khilafah-Jerman tidak serta merta memberi ruang besar bagi berkembangnya Islam di Jerman. Maklum hubungan itu tidak bisa dilepaskan dari pasang surut konstelasi politik global.

Saat itu dunia sudah memasuki era kolonialisme dengan Inggris dan Prancis sebagai pemegang medali negara pertamanya. Sementara itu, di pihak lain wilayah kekuasaan Turki yang meliputi 2/3 dunia menjadi sasaran penjajahan mereka dan bangsa Eropa lainnya.

Prusia sendiri sedang berusaha merebut posisi negara pertama. Tahun 1879, Prusia membuat persekutuan dengan Austria, Hongaria, dan Bulgaria. Lalu untuk memperkuat posisinya, Prusia berusaha membuka hubungan baik dengan Khilafah Turki, meski saat itu kondisinya sudah mulai lemah dalam berbagai aspeknya, terutama sisi ekonomi dan politik ideologinya.

Lemahnya kondisi Turki memang terjadi secara berangsur-angsur sejalan dengan melemahnya penerapan syariat Islam oleh negara. Hanya saja, perang Balkan melawan Rusia dan perang Italia-Turki di Afrika Utara, benar-benar telah menguras sumber dayanya. Lalu adopsi UU barat melalui Reformasi Tanzimat yang dilakukan tahun 1870 juga telah memperparah krisis hingga negara Khilafah mengalami krisis keuangan yang dahsyat.

Sebagian wilayah khilafah pun lepas. Disintegrasi terjadi di mana-mana. Negara-negara penjajah Eropa sudah berhasil membentuk kekuasaan boneka di berbagai negeri Islam, termasuk di Mesir, Jordania, dan Arab. Sampai-sampai Kekhalifahan Turki saat itu distigma dengan sebutan The Sick Man of Europe oleh Kaisar Rusia Nicholas I yang menjadi musuh bebuyutannya.

Hanya saja, pihak Jerman sendiri melihat Khilafah masih punya potensi besar untuk menyokong ambisi politiknya. Jumlah penduduknya yang sangat banyak di dunia dan wilayahnya yang masih luas membuat Prusia tetap menganggap penting untuk merangkul khilafah dalam dekapannya.

Sampai-sampai saat Kaiser Wilhelm II melakukan kunjungan kenegaraan di Provinsi Turki dan Arab tahun 1898, ia berpidato di depan makam Shalahuddin al-Ayyubi di Damaskus, memuji-muji Sultan Abdul Hamid II sembari berharap, “Semoga Sultan dan 300 juta warga muslimnya yang tersebar di seluruh pelosok dunia, yang memuliakannya sebagai khalifahnya, percaya bahwa Kaiser Jerman akan menjadi sahabat mereka selamanya.”

Yang dia inginkan adalah Khilafah mengeluarkan seruan jihad di tengah rakyatnya. Dalam bayangannya, jika ratusan juta umat Islam bergerak, termasuk di negeri-negeri yang sudah dijajah Eropa maka hal itu tentu akan mengguncang kekuasaan Eropa yang menjadi lawan politiknya.

Gayung pun bersambut. Khalifah Abdul Hamid II yang saat itu sedang berupaya mengembalikan wibawa, kekuatan, dan persatuan khilafah menerima tawaran bantuan Jerman untuk mewujudkan cita-citanya. Berbagai proyek prestisius yang dibangun termasuk proyek kereta api  trans-Khilafah yang menghubungkan Istanbul, Sana’a di Yaman, Damaskus, Yerusalem, dan Madinah dan dikenal sebagai kereta Hamidiye Hijaz (1876-1909) mendapat sokongan dari Jerman. Tentu bukan karena Jerman sepakat dengan cita-cita khalifah melayani dan menyatukan umat Islam, tetapi semata-mata karena target politik yang lebih besar.

Meski demikian, posisi tawar khyilafah masih kuat sehingga pihak Jerman tidak bisa mendikte sang khalifah. Situasi berubah saat kekhilafahan dipegang oleh Khalifah Muhammad V (berkuasa sejak 27 April 1909—3 Juli 1918). Melalui sebuah perjanjian rahasia yang dibuat pada 2 Agustus 1914, Jerman berhasil menarik Khilafah ke dalam proyek politik militer Blok Sentral yang dibentuknya untuk berhadapan dengan aliansi Triple Etente Eropa secara langsung.

Hal ini terjadi atas desakan Wazir Urusan Dalam Negeri Utsmani, Talat Pasha; Wazir Agung, Said Halim Pasha; Wazir Perang, Enver Pasha; dan Ketua Parlemen, Halil Bey yang diketahui sudah terpapar pemikiran-pemikiran Barat. Alhasil khiltafah masuk dalam Perang Dunia I yang membuka pintu kehancuran kian menganga. Kekalahan blok sentral di bawah pimpinan Jerman pada perang tersebut telah menjadikan wilayah Khilafah tercabik-cabik menjadi jajahan Barat dan Turki dikuasai kelompok sekuler di bawah kendali Inggris.

Islam di Jerman Hari Ini

Menurut laporan Pew Research Center pada 2017, umat Islam merupakan kelompok agama minoritas terbesar di Jerman dengan jumlah lebih dari lima juta orang. Angka ini mewakili sekitar 6,1 persen dari populasi Jerman yang mayoritasnya berasal dari Turki dan Kurdi, serta imigran dari Pakistan, Bosnia, Albania, Afrika Utara, Levant, Iran, Irak, dan Afganistan.

Meski Jerman menjadi negara yang netral secara ideologis dan menganut kebebasan beragama, tetapi tidak luput dari menguatnya arus islamofobia yang satu dekade terakhir ini mulai merebak di Eropa. Tahun 2022 saja terlapor ada 898 insiden antimuslim di Jerman yang sebagian besar di antaranya berupa serangan verbal seperti pernyataan provokatif, penghinaan, dan pemaksaan.

Bahkan sebuah laporan menyebutkan bahwa rasisme dan islamofobia sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Jerman hingga sekarang. Sampai-sampai untuk mengurangi dampak propaganda rasisme dan islamofobia yang membesar di Jerman, Presiden Frank-Walter Steinmeier secara khusus menyampaikan bahwa Islam adalah bagian dari Jerman, dan budayanya sudah menjadi bagian dari budaya Jerman.

Kelompok rasis ini berasal dari kelompok-kelompok dan partai ekstrem kanan. Mereka terus berusaha mengeksploitasi krisis pengungsi serta berupaya menanamkan kekhawatiran soal imigran. Sepanjang Juni 2023 saja, ada sekitar 44.500 pencari suaka yang diakui tinggal di Jerman. Sebagian besar mereka berasal dari Turki, Suriah, dan Iran.

Pada saat yang sama, sudah ada sekitar 755.000 orang yang mendapat perlindungan pengungsi berdasarkan Konvensi Pengungsi Jenewa dan terdaftar di Daftar Pusat Orang Asing. Mereka sebagian besar berasal dari Suriah, Irak, dan Afganistan. Bahkan di beberapa sekolah di kota-kota besar seperti Berlin atau Frankfurt, anak-anak muslimnya mencakup lebih dari 80 persen jumlah pelajar.

Situasi ini memberi dampak besar bagi penduduk asli Jerman. Kuatnya keberagamaan para imigran justru menarik hati sebagian dari mereka untuk lebih dekat mengenal Islam, bahkan menjadi mualaf. Tidak heran jika dalam dekade terakhir ini, gelombang mualaf di Jerman seperti tidak bisa dibendung lagi. Data tahun 2021 menyebut, dalam satu tahun saja, tercatat ada ribuan orang Jerman yang masuk Islam.

Khatimah

Peristiwa serangan Zionis atas Gaza sejak Oktober 2023 lalu,  juga meningkatkan perhatian warga muslim dan nonmuslim Jerman sebagaimana warga Eropa dan dunia lainnya. Mereka kerap turun ke jalan-jalan menuntut pemerintahnya mengambil sikap untuk membela Palestina dan menghentikan dukungan militernya terhadap pihak penjajah.

Sejauh ini pihak pemerintah melakukan bantahan bahwa mereka membantu Zionis, tetapi tidak membantah bahwa mereka telah mengambil untung dari penjualan senjata kepada Zionis. Fakta ini diperkirakan akan memicu gelombang protes yang lebih besar, dan menguatkan atensi masyarakat terhadap nasib umat Islam dan agamanya.

Kita tunggu, bagaimana ujung sejarah Islam di Jerman. Akankah gelombang mualaf terus meningkat dan akankah saat kemunculan Khilafah Rasyidah yang ke-2 kelak, Jerman termasuk yang menerima Islam dengan sukarela atau menjadi wilayah yang ditaklukkan dengan senjata? [MNews/Rgl]

*) Diramu dari berbagai sumber bacaan.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *