Film Vina: Sebelum 7 Hari menuai kontroversi di media sosial - Mengapa adegan kekerasan seksualnya tidak disensor?

Poster film Vina: Sebelum 7 Hari yang menunjukkan aktris Nayla Purnama sebagai Vina dalam keadaan terluka di jalan.

Sumber gambar, Dok. Dee Entertainment

Keterangan gambar, Poster film Vina: Sebelum 7 Hari yang menampilkan aktris Nayla Purnama sebagai Vina dalam keadaan terluka di jalan.

Peringatan: Artikel ini memuat topik kekerasan seksual yang dapat mengganggu kenyamanan Anda.

Sejak tayang di bioskop pada 8 Mei 2024, film Vina: Sebelum 7 Hari ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya TikTok dan X, lantaran menampilkan adegan kekerasan seksual. Oleh Lembaga Sensor Film (LSF), adegan tersebut dinilai masih wajar untuk film kategori 17 tahun ke atas. Namun, kritikus film, aktivis perempuan, dan sejumlah warganet menilai adegan itu terlalu brutal dan kurang etis.

Sebuah adegan di awal film itu, yang dibuat berdasarkan kisah nyata, menampilkan tokoh Vina mengalami kekerasan seksual di tangan anggota-anggota geng motor.

Beberapa penonton, termasuk pengamat dan kritikus film, bahkan memilih untuk tidak menonton film tersebut karena dinilai tidak etis dan kurang berpihak pada korban kekerasan seksual. Meski ada pula penonton yang merasa adegan itu perlu dimasukkan untuk menggambarkan realita yang dialami Vina.

Dheeraj Kalwani, produser sekaligus CEO Dee Company, mengatakan pihaknya membuat adegan kekerasan seksual secara "apa adanya" supaya penonton dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, menjelaskan kepada BBC News Indonesia bahwa adegan kekerasan dalam film itu masih berada dalam batas wajar untuk film dewasa sesuai pedoman sensor yang tertera dalam Permendikbud Nomor 14 tahun 2019.

“Adegan kekerasan yang sudah diluluskan itu dinilai LSF masih proporsional dan bisa diterima orang 17 tahun ke atas,” kata Rommy pada Jumat (10/05).

Meski begitu, aktivis perempuan, Tunggal Pawestri, mengatakan bahwa pembuat film dan lembaga sensor perlu mempertimbangkan pula sensitivitas terhadap korban serta penyintas kekerasan seksual dan tidak hanya menilai layak atau tidaknya sebuah adegan berdasarkan pedoman semata.

Di sisi lain, pengamat perfilman, Hikmat Darmawan, mengatakan adegan kekerasan seksual pada umumnya memang memicu protes dari berbagai kalangan.

Film Vina: Sebelum 7 Hari diangkat dari kisah nyata kasus pembunuhan dan pemerkosaan seorang remaja asal Cirebon bernama Vina pada 2016 lalu.

Melalui film ini, Marliana, kakak perempuan Vina, mengatakan keluarganya berharap kasus kematian adiknya dapat terangkat kembali dan diusut tuntas oleh pihak otoritas.

Lantas, apa pro dan kontra yang timbul dari film Vina: Sebelum 7 Hari?

Adegan kekerasan seksual menuai pro dan kontra di media sosial

Vina: Sebelum 7 Hari merupakan film horor terbaru yang disutradarai oleh Anggy Umbara dan diproduksi Dee Company.

Sebuah video yang sudah ditonton hampir 600.000 kali di media sosial X (sebelumnya bernama Twitter) menunjukkan rekaman layar bioskop pada akhir film yang memainkan rekaman suara Linda, sahabat Vina, ketika ia dirasuki oleh arwah temannya.

Dalam rekaman itu, Linda mendeskripsikan secara detil apa yang terjadi pada Vina.

Cuplikan video itu kemudian diunggah ulang oleh sejumlah akun di X yang menyebut adegan kekerasan seksual dibuat semirip mungkin dengan rekaman suara tersebut.

Seorang pengguna X dengan nama akun @junpalim, mengatakan ia sama sekali tidak tertarik menonton film horor tersebut karena “dari awal produksi dan promonya terendus [film itu] sangat nirempati.”

Hentikan Twitter pesan, 1
Izinkan konten Twitter?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati Twitter pesan, 1

Seorang warganet yang sudah menonton film tersebut, merasa bahwa ada beberapa adegan yang tidak perlu dimasukkan ke dalam film, khususnya bagian pemerkosaan dan tampilan almarhumah yang berlebihan atau didramatisir.

Meski begitu, ia berharap dengan tayangnya film itu, semakin banyak orang menjadi sadar akan kasus kematian Vina.

Hentikan Twitter pesan, 2
Izinkan konten Twitter?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati Twitter pesan, 2

Sementara, penonton lain yang bernama Monica (bukan nama sebenarnya) memberikan film tersebut skor sempurna. Karena, menurutnya, jalan cerita film itu cukup bagus dan adegan kekerasan seksual di dalamnya tidak bersifat eksploitatif atau dibuat berlebihan.

“Karena mungkin supaya penontonnya juga ikut merasakan emosi, sakitnya kalau jadi Vina itu sendiri. Tidak terbayang itu sakitnya bagaimana. Jadi menyentuh juga, bisa jadi pelajaran buat kita yang nonton,” kata Monica ketika dihubungi oleh BBC News Indonesia.

“Kalau disensor jadi kurang tersampaikan menurut saya,“ tambahnya.

Hentikan Twitter pesan, 3
Izinkan konten Twitter?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati Twitter pesan, 3

Penjelasan LSF soal adegan kekerasan seksual dalam film Vina: Sebelum 7 Hari

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Rommy Fibri Hardiyanto, menyebut adegan kekerasan seksual yang dilakukan oleh segerombolan pria geng motor terhadap Vina merupakan bagian dari konteks awal film.

Sehingga, menurut Rommy, adegan itu tidak serta-merta ada untuk mendramatisir tindakan keji itu sendiri.

“Artinya secara alur film, adegan ini harus ada karena memang itu bagian dari adegan yang kemudian memunculkan sebab-akibat di depan dan di belakangnya,“ ungkapnya.

Mengacu pada pedoman sensor yang tertera pada Permendikbudristek Nomor 14 tahun 2019 Pasal 8, penyensoran pada film dapat meliput kekerasan, perjudian, narkotika, pornografi, SARA, hukum, harkat dan martabat manusia serta usia penonton.

Dalam pasal 12 khususnya, terdapat sejumlah unsur yang tergolong pornografi, di antaranya visual telanjang setengah tubuh perempuan maupun seluruh tubuh perempuan maupun laki-laki, visual perkosaan, dialog atau monolog cabul.

Baca juga:

Cuplikan adegan dari film Vina: Sebelum 7 Hari.

Sumber gambar, Dok. Dee Entertainment

Keterangan gambar, Cuplikan adegan dari film Vina: Sebelum 7 Hari.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Namun, Rommy menjelaskan dalam konteks ini, unsur-unsur tersebut tidak menjadi “kisi-kisi saklek“ dalam menentukan apakah sebuah film dinilai lulus sensor.

Ia sebut film Vina tidak bisa dinilai dari satu adegan saja, melainkan harus dipertimbangkan juga pesan yang ingin disampaikan lewat film itu.

“Kalau digambarkan secara close-up [dekat] dan diulang-ulang adegannya, kemudian dilakukan secara berlebihan, itu eksploitasi namanya. Tapi kalau [adegan] ini hanya menggambarkan kejadiannya,“ katanya.

Itulah mengapa adegan itu, serta keseluruhan film Vina: Sebelum 7 Hari, dinyatakan lulus sensor. Hanya saja, dengan kategori usia 17 tahun ke atas.

“Dengan film ini, si pembuat film atau para penonton bisa melihat bahwa orang tua harus perhatian dalam pengasuhan anaknya. Supaya anaknya tidak melakukan tindakan negatif atau bahkan kriminal. Kedua, penegakan hukum itu seharusnya tidak tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,“ kata Rommy.

Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa LSF bukan lagi berperan sebagai “tukang gunting“. Artinya, jika ada adegan yang dinilai melampaui batas pedoman sensor, maka LSF akan memberikan catatan dan melakukan dialog dengan pembuat film.

“[LSF] tidak dalam konteks memotong atau menggunting adegan tetapi lebih mengklasifikasikan [sesuai usia penonton]. Kecuali satu yang enggak bisa debat, telanjang bulat,“ tutur Rommy.

Apa tanggapan produser Vina: Sebelum 7 Hari soal kontroversi ini?

Produser dan CEO Dee Company, Dheeraj Kalwani, menjelaskan bahwa pihaknya memutuskan untuk memasukkan adegan kekerasan seksual karena "penonton ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan almarhumah Vina".

"Kata keluarga memang seperti itu yang terjadi, dan kami [mengangkat] semuanya dari [kejadian di] 2016 muncul di media dan wawancara keluarga, itu semua ada di film.

"Semua yang ada di film itu fakta. Tidak mungkin kami mengangkat film tragedi tapi tragedinya tidak [diceritakan]," kata Dheeraj kepada BBC News Indonesia.

Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia sadar bahwa film tersebut akan menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Namum, ia merasa ada pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat film tersebut.

"Masih ada tiga pelaku yang belum terungkap. Kedua, mengenai bahaya perundungan yang dialami oleh Vina. Ketiga, mengenai geng motor liar yang terjadi di Indonesia. Keempat, adalah masalah pergaulan," ucapnya.

Lebih lanjut, ia menepis anggapan bahwa mereka membuat film itu hanya untuk meraup untung atau untuk mengeksploitasi korban.

"Kalau hanya ingin mengambil untung atau dianggap seperti itu mengapa keluarga mengizinkan? Saya rasa keluarga juga ingin film ini dibuat," tuturnya

Keluarga Vina: 'Sangat sulit untuk menemukan keadilan'

Marliana, 33, kakak perempuan dari almarhumah Vina, menceritakan bagaimana keluarganya membutuhkan waktu yang lama sebelum memberikan restu mereka kepada Dee Company untuk menggarap kisah Vina menjadi sebuah film konsumsi publik.

“Kami menerima mereka di sini sampai tiga kali, bolak-balik ke sini. Baru setelah itu keluarga menyetujui. Karena membuka luka lama, mengingat lagi kejadian yang waktu itu,” ungkap Marliana kepada wartawan Abdul Pahat di Cirebon, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Sabtu sore (11/05).

Marliana kemudian memperlihatkan beberapa foto dari masa kanak-kanak adiknya, Vina. Salah satunya menunjukkan Vina kecil dengan topi dan gaun, duduk di antara boneka-boneka.

Ia masih mengingat betul kejadian yang menghilangkan nyawa adiknya delapan tahun lalu, terutama reaksi publik yang heboh saat kasus itu viral.

“Sudah direncanakan semua. Kami tahunya dari HP pelaku, semuanya dicek. Katanya di situ memang ada percakapannya untuk melakukan kejahatan itu, sudah dikondisikan semua,” ujarnya.

Marliana dan keluarganya berharap kasus kematian Vina dapat diusut tuntas oleh pihak kepolisian.

Sumber gambar, Abdul Pahat

Keterangan gambar, Marliana dan keluarganya berharap kasus kematian Vina dapat diusut tuntas oleh pihak kepolisian.

Menurut Marliana, pembunuhan berencana itu berawal dari rasa sakit hati pelaku yang menjadi dalang utama. Cintanya ditolak oleh Vina yang saat itu sudah memiliki pacar yang bernama Rizky.

Ia mengatakan Vina selalu berusaha menolak pelaku dengan halus, hingga akhirnya ia tak tahan.

“Sampai pada akhirnya, adik saya nekat karena dia pikir ini dengan baik-baik enggak bisa dengan orang ini, dan ternyata imbasnya lebih parah yang didapat,” sebut Marliana.

Ia mengatakan keluarganya berharap film Vina: Sebelum 7 Hari dapat mengedukasi masyarakat terkait apa yang sebetulnya terjadi. Selain itu, ia juga menginginkan semakin banyak orang mendoakan almarhumah Vina agar diberi ketenangan di akhirat.

Foto masa kecil Vina di rumahnya di Cirebon masih disimpan baik-baik oleh keluarganya.

Sumber gambar, Abdul Pahat

Keterangan gambar, Foto masa kecil Vina di rumahnya di Cirebon masih disimpan baik-baik oleh keluarganya.

“Karena masyarakat dipertontonkan [kejadian] secara utuh, tidak terpotong-potong, jadi sedikit tercapai apa yang pihak keluarga inginkan dari film ini,” katanya.

Selain itu, ia berharap film ini dapat mengangkat lagi kasus Vina supaya pihak kepolisian terdorong untuk mengusut tuntas kematian adiknya yang belum sepenuhnya diselesaikan.

Sebab, dari total 11 orang tersangka, masih ada tiga orang yang belum ditangkap.

“Saya pikir keadilan itu hanya untuk orang-orang yang punya jabatan kekuasaan. Kalau untuk saya pribadi, keluarga yang tidak punya [kuasa] sangat sulit untuk menemukan keadilan, sulit sekali,” ujar Marliana.

Bagaimana sebaiknya pembuat film menggambarkan kekerasan seksual?

Pengamat perfilman, Hikmat Darmawan, mengaku dirinya tidak berencana menonton film horor Vina: Sebelum 7 Hari. Tak hanya Hikmat, ia juga menyebut lingkaran pengamat perfilma dan cukup banyak warganet di X pun memiliki pandangan yang sama.

“Sutradaranya dibilang tidak peka [dalam menggambarkan] kasus yang sangat mengerikan dan baru terjadi juga. Lalu, poster film awalnya sangat eksploitatif. Jadi orang pada marah,” jelas Hikmat.

Hikmat menilai bahwa masyarakat zaman sekarang memiliki “standar sensornya sendiri” yang dipicu oleh reaksi emosional. Unsur-unsur sensitif seperti agama, orientasi seksual dan kekerasan seksual dengan mudah dapat dijadikan alasan untuk memboikot sebuah film.

Dalam konteks kekerasan seksual, ia mengambil contoh film Women from Rote Island (2024) dan Like & Share (2022) yang sama-sama mengandung adegan kekerasan seksual. Keduanya dicap buruk oleh sebagian publik karena pembuat film dianggap “tidak peka” ketika mengangkat tema kekerasan seksual.

Meskipun menurut Hikmat, tidak semua film yang mengandung adegan kekerasan seksual dapat disamaratakan kualitasnya.

“Seharusnya itu tidak menjadi basis pelarangan untuk menonton film. Karena persoalannya, toh bisa diatasi dengan ada disclaimer di depan. Biasanya tuntutan dari para aktivis atau penyintas begitu,” sambungnya.

Baca juga:

Sutradara dan produser film Vina: Sebelum 7 Hari berdiri di tengah para pemeran dan anggota keluarga almarhumah Vina.

Sumber gambar, Febriyantino/detikHOT

Keterangan gambar, Sutradara dan produser film Vina: Sebelum 7 Hari berdiri di tengah para pemeran dan anggota keluarga almarhumah Vina.

Dari segi sensor film, ia mengatakan bahwa LSF kini lebih memberikan ruang bagi pembuat film untuk bebas berekspresi, asal masih dalam batasan pedoman yang berlaku dan tidak mengglorifikasi kekerasan.

“Kalau dalam konteks ini bukan persoalan peka atau tidak peka sehingga lolos sensor. Tapi persoalannya secara tertulis tidak ada larangan yang mengatakan tidak boleh beredar film yang mengeksploitasi,” paparnya.

Baca juga:

Aktivis perempuan, Tunggal Pawestri, mengatakan bahwa adegan kekerasan seksual seharusnya perlu dipertimbangkan matang-matang apakah perlu ada dalam film atau tidak.

Sebab, seringkali penggambaran kekerasan seksual dalam perfilma justru dilakukan lewat sudut pandang pria alias male gaze.

Male gaze dalam hal ini merujuk pada kondisi ketika perempuan direpresentasikan sebagai obyek pasif dari hasrat seorang laki-laki, yang cenderung adalah pembuat keputusan di balik layar.

“Sekarang sudah lebih baik keadaannya, tapi masih ada film-film yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Tapi lagi-lagi, nanti mereka akan berlindung di balik dalih “ini ranah produksi, ranah kreasi, ranah kreativitas”,” katanya.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Tunggal menyarankan agar pembuat film melakukan konsultasi dengan para aktivis atau lembaga yang bekerja di bidang perlindungan penyintas kekerasan seksual agar dapat memastikan bahwa gambaran dalam film tersebut cukup sensitif dan tidak eksploitatif.

Selain itu, mereka perlu mengedepankan standar yang menghargai hak dan martabat manusia, khususnya korban. Salah satu caranya dengan tidak menciptakan narasi yang menyalahkan atau menyudutkan korban.

Dalam salah satu cuitan yang ramai di X, sebuah akun membagikan tangkapan layar video TikTok yang menyalahkan sosok almarhumah Vina karena tidak “menjaga lisan dan tindakan menolak laki-laki”.

Pandangan ini pun dikecam oleh sejumlah netizen, termasuk akun @CeweBaik_ yang menyebut “sampai mati pun lagi-lagi korban yang disalahkan. Cacat logika”.

Hentikan Twitter pesan, 4
Izinkan konten Twitter?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati Twitter pesan, 4

“Kalau Anda bilang film-mu akan berdampak baik, maka prosesnya juga harus benar. Harus mengikuti peraturan dan standar. Dan itu bukan sesuatu yang baru, atau SJW banget. Tidak, itu standar soal respect terhadap korban,” ujar Tunggal.

Senada dengan Hikmat, Tunggal merasa perlu disertakan peringatan bahwa film yang akan ditonton mengandung adegan kekerasan seksual yang dapat menganggu kenyamanan penonton.

Menanggapi perihal ini, Dheeraj Kalwani mengatakan pihaknya memasukkan peringatan konten di bagian awal yang memberitahu penonton bahwa film itu mengandung kekerasan seksual.

Namun, ia tidak melakukan konsultasi dengan lembaga pelindung penyintas kekerasan seksual atau aktivis lainnya. Tim produksi, menurutnya, berfokus pada konsultasi dengan keluarga.

"Karena lembaga beda, ini masalah keluarga yang kehilangan seorang anak. Dan semua harus dari keluarga yang diceritakan," ujarnya.

Baca juga:

Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, mengatakan pihaknya sudah berupaya mengedukasi masyarakat lewat media sosial dan situs resmi LSF. Ia mengatakan seharusnya masyarakat memiliki kesadaran untuk memeriksa film yang hendak ditonton.

“Informasinya juga tersedia. Kalau mereka tidak mencari, jangan salahkan kami dan bilang kami tidak kasih tahu. Sinopsisnya sudah ada, klasfikasi usia sudah ada,” kata Rommy.

Berdasarkan deskripsi film Vina: Sebelum 7 Hari pada situs resmi LSF, di dalam deskripsi dan sinopsis film tidak ada satupun kata yang menyebut film itu mengandung adegan kekerasan seksual.

“Film ini diangkat dari kisah nyata seorang korban perundungan (bullying) hingga tindak kekerasan yang dilakukan sebuah gang motor yang berujung kematian,” bunyi keterangan dalam situs LSF.

Rommy menjelaskan bahwa istilah “kekerasan” dalam kode LSF sudah mencakup berbagai bentuk, termasuk kekerasan seksual.

“Kemarin berpikirnya masih di bawah klaster kekerasan semua. Kekerasan fisik, psikologis, kekerasan seksual. Kekerasan masih disatukan,” katanya.

Namun, Rommy tidak menutup kemungkinan kekerasan seksual ke depannya dapat menjadi “klaster khusus” yang dibuat terpisah karena temanya yang sensitif.

Kisah pembunuhan sepasang remaja di Cirebon yang menginspirasi film horor

Vina dan pacarnya, Rizky, tewas dalam pembunuhan berencana yang dilakukan oleh geng motor di Cirebon pada 2016.

Dalam pemberitaan kantor berita Antara, Kapolresta Cirebon, Jawa Barat, AKBP Indra Jafar mengatakan saat itu kedua korban dan beberapa rekannya sedang mengendarai sepeda motor sambil melintas di depan SMP 11 Kali Tanjung.

Namun, tiba-tiba sekelompok orang melakukan pelemparan batu terhadap Vina dan Rizky. Korban dan teman-temannya sempat melarikan diri.

Sayangnya, para pelaku berhasil memepet korban dengan memukul bambu hingga akhirnya jatuh di jembatan layang. Sementara, rekan-rekannya berhasil melarikan diri.

Para pelaku kemudian membawa korban Rizky ke TKP awal dan kemudian melakukan pengeroyokan serta penganiayaan.

Sementara, Vina diperkosa secara bergiliran oleh para pelaku. Setelah kedua korban meninggal dunia, para pelaku membuang korban ke jalan layang dengan diposisikan seolah-olah mereka merupakan korban kecelakaan.

Pada 31 Agustus 2016, pihak kepolisian berhasil menangkap delapan orang pelaku di Jl Perjuangan majasem Kampung Situgangga Kelurahan Karyamulya Kecamatan Kesambi kota Cirebon.

Sementara, tiga orang tersangka masih belum ditemukan.