Beda Akbar Tandjung, Beda Setya Novanto
Beda Akbar Tandjung, Beda Setya Novanto

Beda Akbar Tandjung, Beda Setya Novanto

Sudrajat - detikNews
Senin, 20 Nov 2017 17:00 WIB
(Ilustrasi: Edy Wahyono)
Jakarta -

Setya Novanto (Setnov) dan Akbar Tanjung punya kesamaan. Keduanya sama-sama ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar yang tersandung kasus korupsi. Akbar yang merintis karir politik sejak muda menjadi tersangka per 7 Januari 2002 dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog senilai Rp40 miliar.

Saat diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung, 7 Maret 2002, Akbar yang kala itu menumpang Toyota Land Curiser sempat hendak meninggalkan gedung Kejaksaan lewat pintu belakang sekitar pukul 16.30 WIB. Tapi pintu gerbang dengan cepat ditutup dan dikunci. Lelaki kelahiran Sibolga, 14 Agustus 1945 itu pun digiring kembali ke dalam gedung untuk ditahan.

Sementara Setnov sempat menghilang saat tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi kediamannya, Rabu (15/11/2017) malam. Keesokan harinya dia mengalami kecelakaan saat, konon, akan menyerahkan diri ke KPK. Pada Jumat kemarin, tim penyidik memindahkan perawatan Setnov dari rumah sakit di Permata Hijau ke RSCM, lalu pada Minggu (19/11/2017) malam dia dimasukkan ke rumah tahanan KPK.

Dengan posisinya tersebut, akankah dia secara kesatria melepas dua jabatan yang disandangnya? Jawabannya bisa iya dan tidak. Iya, karena faktanya Setnov pernah dengan 'sukarela' melepas jabatan ketua DPR saat tersandung kasus "Papa Minta Saham". Kalau pun kali ini dia tak mau mundur, secara legal bisa dipahami dengan merujuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Pasal 87 ayat 1, seorang pimpinan DPR dapat mundur ketika ia meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.

Pemberhentian posisi ketua DPR sendiri dapat dilakukan jika tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama 3 bulan, melanggar sumpah/janji jabatan atau kode etik DPR, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan hukum tetap, pemberhentian diusulkan oleh parpolnya.

Dengan demikian, Setnov baru bisa diberhentikan jika ia sudah dinyatakan bersalah dan putusan hukumnya berkekuatan hukum tetap (inkrah). Setya Novanto juga bisa diganti sebagai Ketua DPR jika Partai Golkar mengajukan pergantian pimpinan atau Partai Golkar menarik keanggotaan Setnov sebagai anggota DPR.

Secara politik, Setnov bisa berkilah dan berkaca dari kasus seniornya, Akbar Tanjung. Kala itu, dalam status terdakwa, Akbar sebagai ketua DPR malah memimpin delegasi Indonesia untuk konferensi Internasional Parliament Union (IPU) di Hanoi, Vietnam pada awal September 2002. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Amiruddin Zakaria baru menjatuhkan vonis penjara 3 tahun (tuntutan jaksa 4 tahun), pada 4 November 2002. Pengadilan Tinggi DKI kemudian mengukuhkan vonis tersebut pada 17 Januari 2003.

Toh, Akbar Tanjung tetap dalam posisinya sebagai ketua DPR maupun ketua umum Partai Golkar. Dia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan dikabulkan pada 12 Februari 2004.

Oh ya, selain postulat berkekuatan hukum tetap, yang perlu ditekankan ialah tuntutan di bawah 5 tahun penjara. Dalam kasus Akbar, tim jaksa penuntut umum cuma menuntutnya dengan hukuman 4 tahun.

Senjata lain yang digunakan Setnov adalah praperadilan. Dia pernah punya pengalaman tentang hal ini, ketika hakim Cepi Iskandar pada 29 September lalu mengabulkan praperadilannya melawan KPK. Kali ini pun, dia sudah mendaftarkan langkah serupa.

Di pihak lain, tentu KPK juga bisa berkaca dari pengalaman sebelumnya. Tim penyidik KPK kemungkinan tak akan seperti Kejaksaan yang cuma menuntut Akbar Tanjung 4 tahun penjara. Berpegang pada pengalaman sulitnya menangkan dan menahan Setnov, agak mustahil bila tim penyidik KPK tak akan menahan Setnov secara permanen sejauh dimungkinkan oleh hukum acara yang berlaku.

Sebagai pembanding, kala itu Akbar Tandjung hanya ditahan 29 hari oleh Kejaksaan dan mendapat penangguhan penahanan oleh majelis hakim. Artinya, selama hampir 2 tahun Akbar menjadi manusia bebas untuk memimpin DPR, sekalipun berstatus terdakwa di pengadilan sampai diputus bebas berkekuatan hukum tetap oleh MA. Agak ajaib tentunya membayangkan Setya Novanto akan bernasib seperti Akbar Tanjung, kecuali hakim praperadilan kembali menerima gugatannya.



ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(jat/jat)