6 Fakta Fahri Hamzah yang Menang Lawan PKS Rp 30 M
6 Fakta Fahri Hamzah yang Menang Lawan PKS Rp 30 M

6 Fakta Fahri Hamzah yang Menang Lawan PKS Rp 30 M

Niken Widya Yunita - detikNews
Kamis, 10 Jan 2019 12:59 WIB
6 Fakta Fahri Hamzah yang Menang Lawan PKS Rp 30 M (Tsarina/detikcom)
Jakarta - Fahri Hamzah menang melawan PKS dan menagih partai berlambang bulan sabit kembar dan padi itu membayar Rp 30 miliar. Ada beberapa fakta tentang pria berumur 47 tahun itu.

Fahri tiba-tiba menjadi heboh karena Mahkamah Agung (MA), melalui putusan bernomor 1876 K/Pdt/2018 sebelumnya telah memutuskan menolak kasasi yang dilayangkan DPP PKS. Kasasi itu dilayangkan sebagai upaya hukum dari dua putusan sebelumnya, yakni putusan PN Jaksel dengan nomor perkara 214/Pdf.G/2016/PN JKT.SEL yang memenangkan Fahri Hamzah sebagai penggugat dan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan nomor perkara 539/PDT/2017/PT.DKI yang menguatkan putusan PN Jaksel.

Pihak pria yang aktif di Twitter ini telah menerima salinan putusan PN Jaksel yang mewajibkan PKS membayar denda Rp 30 miliar ini dan langsung meneruskannya ke PKS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut ini 6 fakta Fahri Hamzah.



1. Asal NTB

Fahri Hamzah lahir di Utan, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada 10 November 1971. Dia menjabat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2014.

2. Pernah Kuliah di Fakultas Pertanian

Fahri, yang baru-baru ini 'menyentil' komisioner KPU Wahyu Setiawan saat menjadi narasumber pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne, tercatat pernah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram) pada 1990-1992. Dia tidak melanjutkan kuliahnya di Unram dan memilih masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1992.

3. Aktivis

Kegiatan aktivis Fahri Hamzah di UI berkembang. Ia menjadi Ketua Umum Forum Studi Islam di Fakultas Ekonomi UI. Dia juga tercatat pernah menjadi ketua departemen penelitian dan pengembangan di senat mahasiswa UI periode 1996-1997.

Fahri juga turut membidani kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang dan menjabat Ketua I pada periode 1998-1999. Hal ini seiring bergulirnya reformasi pada 1998.

Ia ikut serta mengorganisasi gerakan-gerakan melawan rezim Orde Baru bersama KAMMI. Bahkan, setelah Soeharto jatuh, ia bersama gerakannya tetap mendukung presiden baru BJ Habibie, meskipun sebagian besar mahasiswa saat itu mulai menentang Habibie, yang dianggap tidak berbeda dengan pendahulunya.

4. Anggota DPR

Teman Fadli Zon itu terpilih menjadi anggota DPR dalam Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 2004 lewat daerah pemilihan NTB, tanah kelahirannya. Ia terpilih ke komisi III, yang membidangi hukum dan menjadi wakil ketua. Dia terus di sana sampai terpilih kembali dalam pemilihan umum legislatif Indonesia 2009. Pada 15 November 2011, ia dipindahkan ke komisi IV yang membidangi antara lain BUMN dan perdagangan, sekaligus ke Badan Kehormatan DPR menggantikan Ansory Siregar. Posisinya sebagai wakil ketua di komisi tersebut digantikan oleh Nasir Djamil, rekannya di Fraksi PKS. Pada Mei 2013, Fahri dan Nasir (yang sebelumnya dipindahkan ke komisi VIII) dikembalikan ke komisi III.


5. Usul Bubarkan KPK

Fahri mengusulkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebuah rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, pada 3 Oktober 2011. Ia beralasan KPK gagal menjawab waktu delapan tahun untuk menangani korupsi sistemik dan mengklaim DPR sudah memberikan dukungan luar biasa untuk pemberantasan korupsi.

Saat itu, elite PKS mendukung pendapat Fahri dan Fraksi PKS di DPR menolak memberikan sanksi. PKS menyebut opini tersebut sebagai bagian dari 'kebebasan berekspresi'.

6. Minta PKS Bayar Rp 30 M hingga 16 Januari

Fahri Hamzah memberikan tenggat waktu selama satu pekan bagi PKS untuk membayar ganti rugi immateriil Rp 30 miliar. Jika PKS tak membayar, Fahri akan meminta bantuan pengadilan.

Ketua Departemen Hukum dan HAM DPP PKS Zainudin Paru mengatakan PKS tidak akan begitu saja membayar Rp 30 miliar kepada Fahri Hamzah. Sebab, PKS menganggap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, yang menyatakan PKS harus membayar ganti rugi Rp 30 miliar ke Fahri, non executable (eksekusi tidak bisa dijalankan). PKS tetap akan menempuh upaya peninjauan kembali (PK).

Kuasa hukum Fahri, Mujahid A Latief, sebetulnya mempersilakan PKS mengajukan permohonan PK. Tapi, menurut pengacara Fahri, hal tersebut tak menghalangi eksekusi ganti rugi Rp 30 miliar yang harus dibayarkan PKS.


Simak Juga 'Fahri: BPJS TK Seharusnya Bantu BPJS Kesehatan':

[Gambas:Video 20detik]


(nwy/van)