TEMPO.CO, Jakarta - Selain menjalankan tugas dan fungsinya DPR juga memiliki sejumlah hak istimewa sebagai lembaga legislatif. Salah satunya ialah hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang (RUU). Namun, belakangan rancangan undang-undang yang diusulkan DPR kerap kali mendapat kritikan publik. Termasuk tiga di antaranya RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Kementerian Negara dan RUU Penyiaran.
1. RUU Mahkamah Konstitusi (RUU MK)
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menyepakati rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau RUU MK. Pembahasan RUU MK tersebut digelar diam-diam digelar pada hari terakhir reses atau Senin,13 Mei 2024. Pengesahan revisi UU MK di tahap I ini menimbulkan polemik. Sebab, dianggap bisa melemahkan independensi MK.
Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna, turut menyoroti revisi UU MK yang dibahas di DPR. Palguna mengaku tak habis pikir karena revisi UU MK itu dibahas diam-diam saat masa reses. Hal ini, kata mantan Hakim MK itu dalam diskusi ‘Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi’, patut dipertanyakan lantaran tak semua anggota DPR mengetahui, terlebih banyak pula yang masih di luar negeri.
Palguna juga menyoroti revisi UU MK Pasal 23 Ayat 1 yang membatasi masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Dia menilai, revisi ini sudah jelas bisa memengaruhi independensi hakim MK. Bahkan, kata dia, pengaruh itu sudah bisa dipahami oleh masyarakat awam tanpa perlu menjadi sarjana hukum terlebih dahulu. “Enggak perlu jadi sarjana hukum sudah tahulah itu bisa mempengaruhi independensi hakim konstitusi,” kata Palguna.
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva
Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, menyoroti revisi keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Menurut dia, revisi UU MK tak hanya menjadi ancaman bagi independensi lembaga peradilan, namun ancaman yang sangat serius bagi Indonesia sebagai negara hukum.
Melalui revisi terbaru, Hamdan menilai, hakim MK akan bergantung pada lembaga pengusul. Pasalnya, dalam revisi UU MK terbaru, masa jabatan hakim MK maksimal 10 tahun. Namun, setelah menjalani lima tahun pertama, hakim MK perlu mendapatkan persetujuan untuk menjalani lima tahun berikutnya dari lembaga pengusul. Ini menunjukkan bahwa posisi hakim menjadi sangat tergantung pada lembaga pengusul.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md
Mahfud MD mengatakan perubahan revisi UU MK dinilai mengganggu independensi hakim. RUU MK ini sebelumnya juga telah ditolak Mahfud Md selaku Menkopolhukam, saat mewakili Pemerintah periode 2019-2023 di DPR.
“Banyak itu yang saya blok, tapi yang terakhir itu UU MK, tidak ada di Prolegnas, tidak ada di apa, masuk, dibahas. Itu saya tolak ketika saya ditunjuk untuk menghadapi, mewakili pemerintah, saya bilang coret, dead lock, tidak ada perubahan UU menjelang begini,” ujar mantan calon wakil presiden nomor urut 03 itu.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
PSHK mengungkapkan ada 5 persoalan prosedural dalam rancangan perubahan RUU MK tersebut yaitu perencanaan perubahaan UU yang tidak terdaftar dalam Program Legilasi Nasional 2020-2024. Kedua pembahasan dilakukan tertutup dan tergesa-gesa. Ketiga menutup kanal partisipasi public terhadap dokumen RUU. Keempat pembahasa berada di masa lame duck atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru, dan kelima pembahasan revisi UU dilakukan di masa reses bukan di masa sidang.
Selanjutnya: Polemik RUU Kementerian Negara