Jejak Nusantara di Ibu Kota Peru lewat Perbudakan & PerdaganganMenuju konten utama
Mozaik

Jejak Nusantara di Ibu Kota Peru lewat Perbudakan & Perdagangan

Pada masa kolonial, orang-orang Hindia Timur migrasi ke wilayah jajahan lainnya, baik sebagai budak maupun pedagang, akhirnya membentuk koloni sendiri.

Jejak Nusantara di Ibu Kota Peru lewat Perbudakan & Perdagangan
Header Mozaik Jejak Nusantara di Peru. tirto.id/Fuad

tirto.id - Hindia Timur, juga dikenal sebagai Kepulauan Melayu, adalah gugusan pulau yang luas antara Asia Tenggara di utara dan barat, hingga Australia di selatan dengan mayoritas 13 ribu pulaunya terkonsentrasi di tempat yang sekarang dikenal sebagai Indonesia.

Meski secara geografis Filipina masuk ke dalam kepulauan ini, namun karena alasan sejarah, penyebutan Hindia Timur lebih terkonsentrasi kepada wilayah kepulauan yang ada di selatan.

Geologi, iklim, dan keanekaragaman hayati di kawasan ini dipengaruhi oleh lokasinya yang terletak di sistem angin dan jalur perdagangan yang strategis, sehingga menghasilkan lingkungan alam yang kaya dan beragam, khususnya rempah-rempah.

Kekuatan-kekuatan Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Spanyol, bersaing untuk menguasai Hindia Timur selama berabad-abad hingga gerakan kemerdekaan menyebabkan pembubaran pemerintahan kolonial pada pertengahan abad ke-20.

Pada masa kolonial, terdapat migrasi orang-orang Hindia Timur ke wilayah jajahan lainnya, baik sebagai budak maupun pedagang hingga akhirnya mereka membentuk koloni sendiri seperti orang-orang Jawa di Suriname yang hingga hari ini keberadaannya masih bisa ditemukan.

Pada 1613 di ibu kota Peru, Lima, terdapat kelompok bangsa Melayu dari Malaka, Sulawesi, Borneo, Maluku, dan suku Jawa serta beberapa wilayah jajahan Portugis lainnya di Hindia Timur seperti Makau, Kamboja, dan Filipina.

Mereka datang ke Peru dari Meksiko setelah berlayar mengarungi Samudra Pasifik dari Manila di Filipina ke Acapulco di Meksiko melalui kapal dagang Spanyol yang berlayar setahun hingga dua tahun sekali.

Orang-orang dari Hindia Timur ini lantas dikenal dengan sebutan “Indios de la India de Portugal” atau orang India dari India di Portugal.

Berebut Rempah di Hindia Timur

Ketika Christoper Columbus berlayar ke barat untuk mencari rute terpendek dari Asia ke Spanyol, ia menemukan pulau-pulau di Karibia yang dianggapnya sebagai tempat berpenghuninya orang India.

Beberapa tahun kemudian, Vasco da Gama mengira bahwa India adalah Hindia Timur. Disusul Ferdinand Magellan yang menemukan rute jalur timur usai mengelilingi Afrika dan India.

Sementara para penjelajah Eropa itu menyadari kesalahannya, kepulauan di Karibia lalu dinamakan Hindia Barat. Sedangkan istilah Hindia Timur pada mulanya tersematkan pada India dan “India yang Jauh” meliputi sebagian besar Asia Tenggara.

Saat kesultanan Mughal di India mulai melemah, Inggris memanfaatkan situasi hingga akhirnya menguasai sebagian besar India dan menjadikannya sebagai wilayah koloni mereka. Kondisi ini menjadikan istilah Hindia Timur hanya berlaku bagi pulau-pulau di Kepulauan Melayu.

Saat Belanda memerintah, istilah Hindia Timur bagi wilayah Nusantara bergeser menjadi Hindia Belanda.

Bangsa Portugis pertama kali masuk pada tahun 1511 dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque dengan tujuan mencari rempah-rempah, memonopoli perdagangan rempah, dan menyebarkan agama Katolik. Mereka tiba di Maluku setelah mengunjungi Tanjung Harapan di Afrika Selatan, India, dan Malaka.

Rempah-rempah yang mereka incar meliputi produksi pertanian jangka panjang dan sangat penting bagi Eropa dalam pengolahan bahan baku obat atau pengawet makanan dan bumbu masakan. Rempah-rempah ini bernilai jual tinggi, yakni kayu manis, jahe, lada, cengkeh, kunyit, pala, kayu manis, dan kapulaga.

Warsa 1512, Portugis berhasil menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku setelah menjalin hubungan dagang dengan kesultanan Ternate. Atas restu Sultan Ternate, mereka diizinkan membangun benteng dan memonopoli jalur rempah sebagai imbal jasa dalam membantu peperangan dengan kesultanan Tidore.

Seiring waktu, mereka mulai berkonflik dengan beberapa kerajaan Melayu dan Jawa, namun dengan persenjataan dan teknologi yang lebih maju, perlawanan tersebut mampu diredam Portugis.

Sepuluh tahun kemudian, Portugis memperluas wilayah penguasaan rempah lewat kerja sama dengan Kerajaan Sunda lewat Perjanjian Padrao.

Para Imigran Asia di Amerika Latin

Migrasi orang Asia ke Amerika Selatan dan Karibia dimulai pada abad ke-16 dari negara-negara seperti Cina, Jepang, dan India. Mereka dipersilakan untuk menetap dan mengolah tanah di Amerika Selatan serta menyediakan tenaga kerja, terutama di negara-negara perhasil gula seperti Kuba.

Sebuah sensus kota Lima, ibu kota Peru, tahun 1613 mengungkapkan keberadaan orang Asia yang berperan sosial ekonomi secara signifikan. Mayoritas adalah budak dari India dan Hindia Timur. Banyak yang diyakini datang ke Lima dari Meksiko, meskipun ada pembatasan perdagangan yang diberlakukan oleh Kerajaan Spanyol.

Selain budak, pekerjaan seperti penjaga toko kelontong, pengrajin ukiran, tukang cukur, dan penjual tekstil teridentifikasi, terutama di kalangan orang Cina, yang juga memiliki toko sendiri di jalan utama Lima.

Pola ini berbeda dengan kehadiran orang Cina di Meksiko, mereka terutama melakukan pekerjaan sebagai pemangkas rambut, sehingga memerlukan peraturan untuk membatasi jumlahnya.

Meskipun tidak ada aturan pengecualian bagi penduduk asli, integrasi orang Asia ke dalam masyarakat kolonial relatif sangat terlihat jelas. Selain itu, menurunnya populasi penduduk asli di kawasan pertambangan mengharuskan munculnya sumber tenaga kerja baru, sehingga mendorong masuknya budak-budak Asia.

Begitu juga para pemilik perkebunan di Amerika Latin yang memerlukan tenaga kerja dari Asia yang dikenal sangat menjunjung tinggi etos kerja dan harganya lebih murah dibandingkan buruh dari Afrika.

Pada 1899, gelombang pertama imigran Jepang tiba di Pelabuhan El Callao, Peru, mengangkut 790 rombongan buruh yang hendak mengadu Nasib di benua Amerika. Mereka menjadi kuli Perkebunan, tukang cukur, pembantu rumah tangga, dan buruh-buruh toko.

Para Imigran dari Hindia Timur berangkat melalui kapal dagang Spanyol yang dikenal dengan Galleon Manila. Kapal ini melayani rute Manila ke Apaculco Spanyol Baru atau Meksiko yang dimulai sejak tahun 1565.

Kala itu, mahkota Spanyol, Felipe II, mulai memberi izin agar produk-produk dari wilayah Asia dan sebagian besar Meksiko, Amerika Tengah, dan Peru diberikan keleluasaan untuk membuka akses lalu lintas saat Galleon Manila melintas.

Imigran Asia telah meninggalkan dampak jangka panjang pada lanskap budaya yang akhirnya memengaruhi makanan, musik, bahasa, dan seni di wilayah tersebut, sehingga menciptakan identitas budaya bersama.

Orang Nusantara di Ibu Kota Peru

Orang Asia memasuki Lima melalui dua jalur utama, satu menghubungkan Filipina, Acapulco, dan Peru, dan satu lagi menghubungkan langsung Cina ke Peru. Jalur migrasi ini sangat penting dalam mobilitas sosial dan proses globalisasi pada masa itu.

Lima pada awal abad ke-17 merupakan pusat kota yang beragam, menarik orang-orang dari berbagai daerah seperti Spanyol, Portugis, Cina, maupun Jepang.

Raja Muda Montesclaros, Juan de Mendoza, melakukan sensus penting pada tahun 1613 dengan tujuan untuk mengoptimalkan tenaga kerja pribumi dan memahami kondisi sosial dan ekonomi, khususnya imigran Asia.

Saat itu ia diangkat sebagai raja muda dan membantu kampanye Portugis di Peru dari tahun 1607 hingga 1615.

Dalam sensusnya, jumlah penduduk Lima tercatat 25.154 jiwa, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dari 14.262 jiwa terhitung tiga belas tahun sebelumnya. Kelompok terbesar adalah budak sebanyak 41 persen, diikuti oleh orang Spanyol 39 persen, dan sisanya adalah individu yang dikategorikan sebagai “orang India”.

Seturut catatan Perpustakaan Nasional Spanyol, orang Hindia Timur yang dikategorikan sebagai “orang India” terhitung 56 orang yang terdiri dari 34 laki dan 22 perempuan. Sementara individu dari Asia lainnya 38 orang berasal dari Jepang dan 38 orang dari Cina.

Mereka tinggal di rumah milik para pedagang Spanyol, orang asing, atau pejabat kota Lima yang akhirnya terlibat dalam perdagangan budak dan impor pakaian Cina dari Meksiko.

Sensus yang dilakukan raja muda tersebut juga berhasil memetakan rentang usia orang Asia yang berkisar antara 12 hingga 40 tahun, dengan mayoritas dalam rentang usia 20-30 tahun. Banyak orang Cina dan Hindia Timur yang berusia lebih tua pada saat itu, sekitar 40 tahun.

Infografik Mozaik Jejak Nusantara di Peru

Infografik Mozaik Jejak Nusantara di Peru. tirto.di/Fuad

Beberapa orang Asia tiba di Lima melalui jalur langsung antara Filipina dan pelabuhan El Callao, menghindari persinggahan di pelabuhan Spanyol. Jalur ilegal ini digunakan untuk mengangkut barang-barang Asia, seperti perak dan tembaga, serta awak kapal dengan latar belakang sosial yang beragam.

Lain itu, jalur ilegal ini juga bersih dari pungutan liar dan bebasan pajak dari para pedagang Portugis yang kerap memanfaatkan Galleon Manila sebagai tempat negosiasi penjualan budak yang menguntungkan. Budak Hindia Timur dapat dibeli seharga 100 peso di Manila dan dijual seharga 420 peso di Acapulco.

Karena kebijakan tuannya dan statusnya dalam membaur di Masyarakat, para budak ini akhirnya ada yang menjadi orang merdeka. Mereka lantas berasimilasi dan menikah dengan warga lokal maupun orang yang berasal dari bangsa lain.

Seorang gadis bernama Andrea Anna asal Makassar, misalnya, ia seorang pelayan atau budak di sebuah rumah milik orang Spanyol. Lantas dibebaskan sebelum akhirnya dinikahi penjahit asal Jepang pada 1607.

“Mereka menikah dan memiliki toko penjahit di sebelah gereja San Agustin,” tutur Antonio C. Campo, seorang pemerhati relasi sejarah antara Indonesia dan Spanyol.

Antonio juga menyebut ragam profesi orang Nusantara selain menjadi budak, mulai dari pengrajin sepatu hingga pemilik toko, dari pemahat batu hingga juru masak, dari sutra hingga pakaian, keahlian mereka dalam menangani kain dan bahan khusus telah diakui secara luas di kota Lima.

Keberagaman profesi ini menunjukkan kontribusi mereka terhadap berbagai sektor perekonomian lokal.

Baca juga artikel terkait PERU atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi