Resensi Novel Maryam Karya Okky Madasari | kumparan.com

Resensi Novel Maryam Karya Okky Madasari

Winna Adelia
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
15 Mei 2024 18:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Winna Adelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Judul : Maryam
Penulis : Okky Madasari
ADVERTISEMENT
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 280 halaman
Tahun terbit : Februari 2012, cetakan pertama
ISBN : 978-979-22-8009-8
Kutipan di atas berhasil membuat saya berpikir bahwa “iman/kepercayaan” menjadi hak setiap individu. Tugas kita yang memiliki perbedaan dalam iman, wajib untuk menghargai. Hal ini yang menjadi alasan kenapa novel Maryam karya Okky Madasari harus dibaca.
Dikisahkan, Maryam Hayati adalah seorang perempuan yang cerdas dan ramah. Secara fisik, ia digambarkan memiliki mata bulat dan tajam, beralis tebal, berambut lurus dan hitam, serta berkulit sawo matang. Kecantikan khas yang dimiliki perempuan dari daerah timur.
ADVERTISEMENT
Cerita dalam novel ini dimulai dengan narasi di mana Maryam telah bercerai dengan Alam, mantan suami yang bekerja sebagai karyawan perusahaan konstruksi—dan kemudian ingin kembali ke rumah orangtuanya. Namun, sekembalinya ia ke tanah kelahirannya di Desa Gerupuk, Lombok, ia mendapati bahwa orang tuanya tak lagi tinggal di sana.
Kepada warga setempat, ia menanyakan keberadaan orang tuanya. Namun, semua yang ditanya hanya diam dan pura-pura tidak mengenal. Mereka enggan mengatakan apa yang telah terjadi pada keluarganya. Baru setelah dirinya bertemu dengan Jamil yang menceritakan semua yang terjadi pada keluarganya bahwa mereka diusir karena sebuah keyakinan yang oleh banyak orang dianggap sesat; dalam novel ini yang dimaksud adalah Ahmadiyah atau orang yang memeluk keyakinan Ahmadiyah.
ADVERTISEMENT
Memeluk keyakinan yang berbeda dengan orang kebanyakan membuat hidup Maryam dan keluarganya dikunjungi prahara. Layaknya dalam bermasyarakat, jika ada yang berbeda dari kebiasaan orang pada umumnya akan dianggap aneh dan tidak benar. Bahkan, mereka sering dijuluki sesat karena dianggap islam yang menyimpang. Dengan keyakinan inilah Maryam beserta keluarganya selalu terkucilkan.
Dalam novel ini, Okky Madasari tidak membahas tentang kesetaraan ajaran atau keyakinan yang dianut oleh keluarga Maryam. Melainkan, lebih membahas perihal sisi kemanusiaan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Oleh karenanya, dalam novelnya, Okky Madasari tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu Ahmadiyah, bagaimana ajarannya, dan sebagainya.
Dalam bercerita, Okky menuliskan kisah ini dengan diksi yang mudah dipahami dan sangat mengalir. Namun sayangnya, novel ini cenderung penuh narasi dan minim dialog. Hal itu membuat pembaca seperti saya sedikit sulit untuk merasakan emosi yang dialami tokoh Maryam yang coba dibangun sang penulis. Selain itu, penulis juga sukses membuat saya tidak bisa menebak akhir dari cerita Maryam.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, secara teknis, kover novel ini memiliki tone yang cukup menarik. Hanya saja saya sedikit merasa bingung dengan desain gambarnya. Di situ digambarkan seorang Perempuan yang sedang menggenggam sebuah rumah, dengan tiga telapak tangan. Entah apa tepatnya, tapi saya melihatnya sebagai tiga telapak tangan.
Tapi, di atas semua itu, ada satu hal yang saya pahami dan saya sangat mengapresiasi maksud dari Okky Madasari menulis novel Maryam ini. Tanpa memberikan penilaian mana yang benar dan mana yang salah, Okky menggugah kesadaran hati manusia untuk menyuarakan keadilan. Dalam konteks novel ini, keadilan yang dimaksud bukan pada ajarannya melainkan pada derita penindasan dan hak-hak dasar yang dirampas. Sebab, sebuah kaum yang dianggap “sesat” seringkali tak mampu bersuara karena dianggap bahwa keadilan bukan hak mereka, yang ada justru mereka harus diadili.
ADVERTISEMENT