Solusi HMI bagi Bangsa Indonesia: Toleransi dalam Budaya HMI ~ Ferizal Mukhtar

Selasa, 14 Mei 2024

Solusi HMI bagi Bangsa Indonesia: Toleransi dalam Budaya HMI

"Dalam negara yang multikultural seperti Indonesia, isu toleransi merupakan isu yang tidak mungkin tidak untuk dibahas. Dengan berbagai macam kebudayaan yang ada di dalamnya, sangat susah jika tidak bisa dikatakan tidak mungkin bagi bangsa Indonesia untuk memaksa terjadinya penyatuan tunggal budaya dalam masyarakatnya. Perbedaan ini merupakan rahmat Ilahi yang semestinya dipandang sebagai anugrah bagi bangsa Indonesia. Hidup berdampingan terlepas dari perbedaan yang ada merupakan pilihan paling rasional bagi bangsa Indonesia. untuk itulah, toleransi antar manusia (tidak terpaku pada antar-umat beragama) dibutuhkan."

Will Kymlicka dalam Multiculturalism: Success, Failure, and Future (2012) melihat ada kelemahan fundamental dalam memandang multikulturalisme dalam sebuah masyarakat. Ia mengambil contoh kasus di Inggris. Kymlicka melihat kalau kajian multikulturalisme yang ada sebelumnya cenderung mengabaikan ketimpangan ekonomi dan politik. Jika membahas multikulturalisme, justru aspek-aspek seperti musik, tata boga, dan festival kebudayaan yang menjadi unit analisis utama. Padahal, multikulturalisme tidak sesempit itu. Seorang Briton atau penduduk pribumi Inggris[1] dapat dengan mudah menikmati music Dancehall etnis Jamaika dan musik India tanpa harus memikirkan atau ikut merasakan ketimpangan yang diterima oleh etnis kulit hitam Jamaika dan India. Jika dikontekstualisasikan di Indonesia, penulis disini setuju dengan Kymlicka. Dimensi multikulturalisme telah dipandang begitu sempit di bumi pertiwi. Masyarakat multikultural dipandang hanya sebagai kumpulan budaya yang tidak terintegrasi dan fakta yang harus bisa diterima tanpa harus dianalisis secara kritis. Untuk apa dianalisis secara kritis? Bukankah status quo saja sudah cukup? Jika menggunakan paradigma multikulturalisme lama mungkin jawabannya iya. Tetapi, apakah paradigma lama cukup untuk menjelaskan multikulturalisme di Indonesia? Jawabannya jelas tidak.

Konsep multikulturalisme lama yang hanya mensimplifikasi masalah multikulturalisme menimbulkan kerancuan dalam menganalisis bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berbicara tentang budaya Indonesia tidak hanya melulu berbicara tentang budaya Jawa, Minang, Bugis atau bahkan budaya yang sering disebut budaya non-pribumi seperti Tionghoa dan Arab. Diskursus multikulturalisme bahkan tidak berhenti sampai masalah Jawanisasi, Islamisasi, Kristenisasi, maupun Arabisasi. Multikulturalisme di Indonesia sangatlah kompleks. Mengesampingkan satu dimensi diatas yang lain tentu tidak akan menghasilkan solusi, yang ada malah memandu Pemerintah Indonesia untuk semakin memecah belah rakyatnya.

Kasus Sampit adalah contoh nyata bagaimana  kebijakan transmigrasi tanpa pengetahuan akan budaya yang cukup bisa mengakibatkan hilangnya nyawa orang banyak. Memang Kerusuhan Sampit di tahun 2001 disebabkan oleh pertikaian antara suku Madura dan suku Dayak. Kebijakan transmigrasi pada masa Orde Baru mengakibatkan terjadinya desentralisasi penduduk dari pulau Jawa ke pulau-pulau lainnya termasuk Kalimantan. Mungkin, niat dai program ini awalnya baik yaitu menghindarkan Pulau Jawa dari kelebihan penduduk dan menjadikan daerah lain selain Pulau Jawa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pembangunan infrastruktur untuk menopang kehidupan transmigran ini. Salah satu isu yang ada adalah isu ekonomi. Bagaimana para transmigran mencari nafkah di area baru? Mereka diberikan tanah oleh Pemerintah Indonesia untuk digarap agar dapat mencari nafkah sendiri. Luas tanah yang dibagikan seluas 35.000 hektar. Alhasil para pendatang terus berdatangan. Suku Dayakpun semakin tersudut dan ketika ada pemicu konflik yaitu, pembunuhan sepasang suami-isteri Dayak oleh orang Madura konflikpun tidak terelakkan. Pertama kali konflik terjadi di  Pangkalanbun, lalu merambat ke daerah lain hingga akhirnya sampai ke Sampit. Kejadian di Sampit bisa dikatakan sebagai titik balik segala peristiwa yang ada. 

Saat itu, suku Madura di Sampit adalah mayoritas dengan perbandingan 60:40. Mereka khawatir akan konflik-konflik yang terjadi sebelumnya dan mencurigai orang Dayak di Sampit. Konflik pun tidak bisa dihindari. Berawal dari penyerangan orang Dayak kepada orang Madura dibalas dengan serangan mendadak orang Madura kepada setnis Dayak yang mengakibatkan 24 orang Dayak tewas. Tidak hanya itu, orang Madura memprovokasi orang Dayak dengan mengatakan kalau Sampit adalah Sampang kedua. Alhasil orang Dayak yang selamat kabur dan melaporkan kejadian ini kepada tetua suku Dayak diluar Sampit. Suku Dayakpun berbondong-bondong menyerang Sampit. Tanpa pandang bulu, mereka menghabisi pria, perempuan, dan anak-anak suku Madura. Total 456 orang Madura terbunuh dalam peristiwa itu. Mereka dikejar-kejar hingga ke pelosok hutan belantara dan banyak diantara mereka dibunuh di hutan.

Alasan penyerangan yang hanya dari laporan orang Dayak yang meminta bantuan kepada tetua suku dan langsung menciptakan laskar secara instan diragukan. Ada dugaan terlibatnya politisi-politisi Dayak yang memantik kebencian terhadap etnis Madura. Pada April 2001, Mantan Rektor Universitas Palangkaraya Prof. H. KMA. Usop ditahan oleh pihak yang berwajib atas tuduhan memantik kebencian orang Dayak kepada orang Madura. Tuduhan lain juga dialamatkan kepada dua pejabat dari etnis Dayak bernama Pedlik Asser dan Lewis atas pembunuhan yang melatarbelakangi konflik Sampit. Hal ini diduga kuat terjadi karena Pedlik yang merupakan PNS kecewa saat terjadi perubahan struktur dalam Pemerintahan lokal yang menyusutkan jumlah PNS golongan atas menjadi 10 dari 20 orang dan semuanya Muslim Madura.

Disini bisa dilihat kalau konflik etnis yang terjadi di Sampit memiliki latar belakang yang kompleks. Pembunuhan yang melatarbelakangi konflik Sampit hanya bisa menjelaskan dari satu perspektif saja.  Ada perspektif ekonomi dan politik disamping perspektif konflik etnis yang melatarbelakangi konflik ini. Seperti inilah kajian etnis di Indonesia seharusnya. Hal ini juga harusnya diterapkan di kajian akan kasus-kasus konflik lain tidak hanya konflik etnis. Konflik antar-agama dan intra-agama juga harusnya bisa dianalisis dengan pendekatan yang multi-dimensi.

Peran HMI dalam Mewujudkan Toleransi dalam Perbedaan

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, perbedaan akan selalu ada dan tidak jarang menimbulkan konflik. Oleh karena itu perlu ada rasa toleransi terhadap perbedaan yang ditopang dengan kajian akan perbedaan tersebut. Harus ada satu identitas besar yang mempersatukan identitas-identitas yang lebih kecil agar setiap variabel-variabel yang berkonflik memiliki satu kesamaan yang mereka sama-sama akui yang nantinya kesamaan inilah yang menuntun mereka untuk mencari solusi atas perbedaan mereka. Penulis melihat kalau disini, Indonesia  bisa mencontoh desain dari kaderisasi HMI. Di HMI seluruh perbedaan identitas disatukan dalam satu panji: Islam. Anggota HMI, terlepas darimana latar belakang mereka, selama Islam adalah agama mereka, mereka bisa masuk HMI. Mungkin opini ini terlihat agak simplistis. Tapi, patut kita sadari ketika penulis menulis Islam dalam tulisan ini, penulis merujuk pada suatu identitas yang multi-interpretatif. Islam bukan agama yang homogen. Secara garis besar, di dunia ini ada denominasi dalam Islam yaitu, Sunni dan Syiah. Ini belum termasuk banyak denominasi lain seperti Alevi, Druze, dan Kejawen. Secara aqidah, selama mereka bertuhankan Allah dan percaya kalau Muhammad bin Abdullah adalah Rasulullah serta percaya terhadap Rukun Iman dan Rukun Islam, mereka adalah Muslim. Soal apakah praktek Islam mereka benar atau sesat, itu urusan lain. Tetapi, Syiah seperti fatwa ulama Al-Azhar, mereka masih Muslim. Sungguh aneh ketika sesama Muslim saling mengkafirkan sesama Muslim lainnya.

Di HMI, Syiah diakui keanggotaannya. Tidak ada satu pasalpun di HMI yang melarang Syiah untuk menjadi anggota. Jika ada anggota HMI menentang ajaran Syiah, itu diperbolehkan. Adalah hak bagi seorang anggota HMI untuk menyuarakan pendapatnya terhadap sebuah isu termasuk ketidaksetujuannya terhadap aqidah Syiah. Namun, ketidaksetujuan itu tidak bisa menjadi justifikasi untuk mengeluarkan orang Syiah di HMI. Syiah berhak menduduki jabatan-jabatan di korkom, cabang maupun PB HMI. Fenomena ini tidak hanya terjadi diatas kertas. Memang ada bahkan ketua umum PB-HMI MPO yang berasal dari kalangan Syiah. Saya rasa ini merupakan hal yang positif karena dengan hal ini HMI MPO konsisten dengan aturan main yang tertera dalam khittah perjuangan. Dengan ini, HMI telah menunjukan bukti nyata dari toleransi intra-agama di dalam organisasinya.

Akan tetapi, saya merasa toleransi yang dilaksanakan di HMI-MPO kurang kaffah. HMI memang menerima anggota terlepas dari latar belakang madzhab dan denominasi Islam anggotanya. HMI juga tidak pernah melarang etnis manapun untuk bergabung menegakkan panji Islam di bumi Nusantara kecuali satu, etnis Tionghoa. Mungkin secara garis besar keanggotaan, tidak ada aturan yang melarang etnis Tionghoa untuk bergabung ke HMI dan mungkin memang sudah ada kader yang berasal dari latar belakang etnis Tionghoa. Itu bagus sayangnya, kajian ekonomi-sosial-politik di HMI sering penulis lihat agak rasis dalam memandang peran tionghoa di ketiga aspek itu. Penulis sering mendengar istilah-istilah deregatoris terhadap etnis Tionghoa yang menguasai ekonomi Indonesia dari mulut anggota-anggota HMI baik saat non-formal maupun formal. Disini, penulis mencoba memahami sudut pandang pelaku. Ya, harus diakui banyak pebisnis Tionghoa yang menguasai ekonomi Indonesia dan banyak diantara mereka yang menindas rakyat kecil secara ekonomi. Namun, bukankah lebih baik jika kita tidak menyalahkan etnis mereka. ada juga pebisnis lokal yang menindas rakyat kecil. Kenapa tidak salahkan sistem kapitalisme? Atau bagi anggota HMI yang percaya akan pasar bebas dan membela kapitalisme, kenapa tidak salahkan Politik Kronisme atau politik patronase yang membuat pengusaha-pengusaha itu bekerjasama dengan oligark penguasa wilayah tersebut untuk terus menambah pundi-pundi dompetnya dan mencekik rakyat secara ekonomi? Menurut saya, jika HMI ingin dijadikan contoh oleh Indonesia dalam hal toleransi, gunakanlah setiap istilah pada tempatnya. Jangan salahkan kaum Tionghoa untuk kesalahan yang dilakukan oleh pengusaha kapitalis berlatarbelakang Tionghoa sama dengan jangan salahkan etnis Jawa untuk kesalahan yang dilakukan pebisni kapitalis beretnis Jawa.

Daftar Pustaka

Kymlicka, Will (2012), Multiculturalism: Success, Failure, and Future, Migration Policy Institute

  

 



[1] Sebenarnya penyebutan penduduk pribumi Inggris disini tidaklah tepat mengingat dalam sejarahnya, Inggris dikuasai oleh berbagai macam bangsa dan pada tahun 1066, Bangsa Anglo-Saxons yang merupakan penduduk status-quo telah ditaklukan oleh Bangsa Norman yang berasal dari Normandy, Prancis Utara jadi etnis Briton dalam konteks kontemporer diragukan keasliannya


0 comments:

Posting Komentar